PENDAHULUAN
penyelenggaraan kekuasaan negara Indonesia. Hal ini jelas terlihat dari penjelasan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD. NRI. 1945), Pada
pasal 1 ayat (3) yang menyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum.1 Ketentuan ini merupakan pernyataan bahwa hukum akan sangat
berdasarkan hukum.
Oleh Karena itu, dalam negara Indonesia yang memiliki cita hukum
peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang
keyakinan dan kesadaran hukum masyarakat dan berakar pada nilai-nilai moral
Salah satu aspek perubahan penting dan menarik untuk dikaji setelah
1 Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD. 1945.
2 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang
Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual), Kencana, Jakarta: 2009,
Hal. 9.
1
2
Daerah. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa orde baru yang
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.3 Setelah Indonesia memasuki masa
muncul melalui sidang MPR. 1998 yang dituangkan dalam ketetapan MPR. No.
keuangan pusat dan daerah dalam negara kesatuan republik indonesia. 4 Artinya
daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang meliputi politik luar negeri,
daerah untuk menampung kondisi khusus suatu daerah serta penjabaran lebih
3Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta: 2010,
hal. 1.
4 Ibid., 271-272.
jenis tugas pembantuan yang menjadi urusan rumah tangga tugas pembantuan.6
daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dengan demikian,
oleh DPRD. dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal Pasal 7 ayat (1)
ayat (6) UUD 1945). Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
6Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Jakarta: 1997, hal. 154.
7 Ibid., 197.
4
tinggi.8
mengabaikan sistem hukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi
Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam
8http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 06 Juli 2017
pukul 15.00).
9 Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta:
2008, hal. 57.
5
berikut ini:
wet gaat voor de lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 251 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang
No. 23 Tahun 20014, harus dilihat sebagai norma yang bersifat khusus bagi
10http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+lembaga+
+negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b0dd2da61f4fbd4
( terakhir dikunjungi tanggal 06 Juli 2017 Pukul 15.00).
6
12 Tahun 2011.
tunduk kepada sejumlah asas hukum. Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang memuat sejumlah norma hukum yang
sejumlah asas hukum. Dalam hal ini menurut penulis meyakini bahwa Undang-
peraturan perundang-undangan saja, yang dimana perlu untuk bentuk atau jenis
khusus. Keseluruhan hal itu disebut sebagai asas- asas dalam pembentukan
ditentukan dalam Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Pemerintahan Daerah yang termaktub dalam pasal 251 ayat (4), lebih kepada
Dalam hal ini peraturan perundang- undangan yang tidak dibentuk oleh lembaga
atau organ pembentuk yang tepat dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dalam
kasus Perda, pembatalan dapat dilakukan karena ketika suatu Perda memuat
norma hukum yang tidak semestinya, maka Perda tersebut dapat dipandang
sebagai bentukan oleh lembaga atau organ pembentukan yang tidak tepat, karena
undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada
undang” dan Undang- undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
13http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materi- perda-
ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi tanggal 06 Juli 2017 Pukul 15.00).
8
merujuk Pasal 7 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tentang Perubahan atas (UU. No.4
tahun 2004) dalam Pasal 20 ayat (2) juga dinyatakan: “ Mahkamah Agung
mempunyai kewenangan:
Mahkamah Agung berwenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai isi dari
undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari kekuasaan
hal tertentu. Apabila Peraturan Daerah yang diujikan tersebut, isinya bertentangan
Daerah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada
diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU. No. 48 tahun 2009 dan Pasal 6 ayat (2)
harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak
norma umum yang berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma
Alasan hukum yang mengatur tentang uji materiil dan pembatalan Perda
tersebut diatur dalam Pasal 251 UU. No. 23 tahun 2014, yaitu sebagai berikut:
Peraturan Presiden.
Sejak berlakunya UU. No.32 Tahun 2004 hingga 9 oktober 2006 produk
hukum daerah yang dibatalkan oleh pemerintah sebanyak 215 buah yang terdiri
dari 204 Perda dan 11 Keputusan Kepala Daerah.14 Adapun contoh Perda yang
UU. No.18 Tahun 1997 dan PP. No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi
Daerah.16
permohonan dan Pendaftaran Perda yang dibatalkan dan diajukan gugatan judicial
15 Ibid., 228.
16 Ibid., 235.
13
yang terdiri dari 5 Perda dan 1 Keputusan kepala daerah. 17 Adapun contoh Perda
untuk menguji materil serta membatalkan suatu peraturan daerah. Ketidak jelasan
ini juga menimbulkan polemik dikalangan para pakar maupun praktisi, sehingga
mana yang berhak untuk menguji materil dan membatalkan suatu Peraturan
oleh dua lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru
dengan kewenangan yang juga ada pada Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan
17 Ibid., 266-267.
Agung, berarti Peraturan Daerah mutlak hanya dilihat sebagai salah satu bentuk
Karena itu, terlepas dari kenyataan bahwa Peraturan Daerah tersebut juga
merupakan produk “legislatif acts”, tetapi berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat
(1) UUD. 1945, pengujian atasnya mutlak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah
Agung.19 Dan hal ini tentunya berimplikasi pada akibat hukum yang timbul
dimana Perda yang dinyatakan berlaku oleh Pemerintah sewaktu-waktu dapat saja
dibatalkan oleh adanya putusan dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 9 ayat (2) UU.
No. 12 tahun 2011 juga disebutkan “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-
Undang menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”
Hal ini tentunya menguatkan kedudukan dari Mahkamah Agung dimana judicial
saja mengubah Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal
kewenangan Pemerintah Pusat dalam meng- executive review suatu Perda yang
bermasalah.
Kemudian dalam pasal 245 ayat (2) Undang-undang No. 23 tahun 2014
19 Ibid., 76.
15
undangan yang lebih tinggi tidak ditindakalanjuti oleh gubernur dan DPRD,
dan tetap ditetapkan menjadi Perda, maka Menteri Dalam Negeri dapat
membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur tersebut.20 Hal ini senada dengan
ketentuan Teori Hukum Tata Negara yang dianut di Indonesia “ada berbagai
macam cara pembatalan Perda. Karena ada beberapa pihak yang mempunyai hak
uji terhadap Perda. “Hak uji dilakukan bukan hanya oleh MA, tapi juga oleh
pemerintah. Ada yang oleh Presiden, dan ada yang oleh Menteri Dalam Negeri”. 21
Namun Peraturan Daerah tidak dapat dibatalkan oleh keputusan Menteri, karena
21http://basisme1484.wordpress.com/2009/12/03/problematika-hukum-hak-uji-materiil-dan-
formil-peraturan-daerah/(terakhir dikunjungi pada tanggal 7 Juni 2011 Pukul 20.00).
sisi lain secara de jure UUD. NRI. 1945 mengamanatkan kepada Mahkamah
Negara di Indonesia.
dipergunakanlah beberapa teori, konsep, asas serta pandangan dan pendapat para
ahli hukum sebagai pisau analisis untuk mengkaji serta memberikan argumentasi
Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan
abstraksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
dalamnya terkandung (bertumpu) ideologi tertib hukum. Teori, konsep, dan asas
1. Negara Hukum
3. Teori Kewenangan
4. Asas Desentralisasi
6. Konsep Pengawasan
hukum bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu
dasarnya)”24.
Anglo Saxon menyebut dengan istilah rule of law. Unsur dari Rechstaat :
politika.
van bestuur).
23 Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung, hal. 19-22.
24 Herlin Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum
Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 82.
25 Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, hal. 92.
20
the law).
individual rights).26
hukum, yaitu:
undang-undang formal.
26Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia Jakarta, hal.
226.
21
merdeka.27
28A.V. Dicey, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan
Pertama, Nusamedia, Bandung, hal. 251-261.
22
merupakan negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD. NRI.
atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh
arti merdeka, berdaulat, adil dan makmur yang didasarkan atas hukum
29W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 12-13.
30Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka
Pblisher, Jakarta, hal. 162.
23
baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis sebagai wahana untuk
lanjuti apa yang dimaksudkan UUD. NRI. Tahun 1945 maka setiap
diatur untuk itu hukum disini bentuknya tertulis dan tidak tertulis.
negara);
31Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.18.
(Selanjutnya disebut Ridwan H.R. I).
33Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta, hal. 153-155.
24
(rechterilije control).34
34A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 59.
(Selanjutnya disebut A. Mukthie Fadjar I).
25
dimana dalam suatu negara tidak ada negara lagi yang berbeda dengan
pengawasan.
ditingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha
36 Dodi Haryono, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdiklat, Pekanbaru: 2009, hal. 95.
26
aturan tingkah laku yang bersifat umum. Dan dalam arti formil,
37 Ibid., 9.
38 Ibid., 10.
27
berkaiatan dengan hierarki norma hukum dapat dicari dari teori yang
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut berlaku,
39 Ibid., 11.
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan
1) “ Undang-Undang Dasar
2) Ketetapan MPR.
3) Undang-Undang/ Perppu.
4) Perturan
Pemerintah
5) Keputusan Presiden
berikut:
2) Ketetapan MPR.
3) Undang-Undang
42 Ibid., 35.
29
7) Peraturan Daerah”
oleh UU. Nomor 12 tahun 2011. Menurut pasal 7 ayat (1) UU. No.
4) Peraturan Pemerintah;
5) Peraturan Presiden;
hakim. Secara teoritis maupun praktek, dikenal ada dua macam hak uji,
yaitu hak uji formil (formele toetsingsrecht) dan hak uji materil
(materiele toetsingsrecht).44
43 Fatmawati, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem Hukum
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hal. 5
44 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta: 2005,
hal. 73.
45 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung: 1997, hal. 1
(1)
materil.
pengikat.49
1945.
eksekutif.50
power).51
51 Ibid., 9.
beradasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu
ini sesuai dengan apa yang menjadi prinsip dasar hukum, yaitu:
ada dibawahnya, atau dapat juga dikatakan bahwa norma yang ada
54Ibid., 26. Pendapat Hans Kelsen ini berdasarkan teori Adolf Merkl, salah seorang muridnya
yang mengemukakan bahwa norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (des Doppelte
Rechtsantlitz).
35
diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu Undang-
56Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam sistem Hukum Indonesia,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005; hal. 94.
57Asshidiqqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK. RI,
Jakarta, 2006; hal. 63-64.
36
Undang;
atau dengan kata lain jika “tidak sah” berarti dianggap tidak
59 Padahal di ketentuan sebelumnya sudah tidak ditemukan lagi redaksi : “Mahkamah Agung
menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku” dan : “Putusan mengenai tidak sahnya peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan
dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada
Mahkamah Agung” (Ayat (1) dan (2) pasal 31 UU. No. 5/2004).
38
dalam keppres lain yang terkait dalam objek permohonan hak uji
61 Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU. No. 48/2009). Putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1) UU. No. 48/2009).
39
ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah (the
kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum yang oleh Henc Van
diakui dan dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh
40
negara.62
seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu
menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara”.63
1) John Locke
62 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung:2006, hal. 207-208.
63 Ibid.
undang);
undang);
66 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII. Press,
Yogyakarta: 2001, hal. 32.
42
2) Montesquieu
67 Ibid., 33.
68 Ibid.
43
pengadilan di bawahnya).69
lebih tinggi daripada yang lain.70 Hal ini berbeda dengan John Locke
Politica”.
69 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, PT. Gramedia,
Jakarta: 2007, hal. 3.
dapat berfungsi secara wajar demi penegakan hukum dan keadilan serta
71 Ibid., 51.
72 Ibid.
73 Ibid., 46.
45
1. Desentralisasi
dilaksanakan.76
otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal
18 ayat (2) UUD. 1945 dan Pasal 57 UU. No.23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan daerah.77
2. Dekosentrasi
75 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 1994, hal. 78.
77 Ibid., 98.
78 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 2008,
hal. 6.
47
pusat.
3. Pembantuan
79 Ibid., 7-8.
medebewind.82
81 Sadu Wastiono, Etin Indrayani dan Andi Pitono, Memahami Tugas Pembantuan (Pandangan
Legalistik, Teoretik, dan Implementatif), Fokusmedia, Bandung: 2006, hal.58
82 Ibid.
49
ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
suatu kebenaran.84
hokum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah filosofi,
penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat
83Jhony Ibrahim; 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, Malang; Bayu Media
Publishing, hal. 57.
84 Kartini Hartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung,
Mandar Maju, hal. 58.
50
penelitian ini.
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan beranjak
yang dibahas.
b. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach), hal ini
bersumber dari :
a) UUD. NRI. Tahun 1945;
b) Undang Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang
Mahkamah Agung;
c) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman;
d) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang diubah
Pemerintahan Daerah;
f) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004
kabar, jurnal ilmiah, dokumentasi dari berbagai instansi yang terkait dengan
penelitian ini, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kerangka teori dari
dikutip, topic yang dikutip, dan halaman dari sumber kutipan, sehingga
klasifikasi sistematika rencana tesis ini ada kartu untuk bahan pada Bab I, II,
88Soeryono Soekanto; 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press
(UI-Press), hal. 52.
53
hukum yang ada. Analisis akan dilakukan baik terhadap bahan hukum
primer , sekunder dan tertier, agar hasil analisis ini merupakan suatu
analisis.
89Sunaryati Hartono; 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung,
Alumni, hal. 150.
54
hubungan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya yang terdapat di
90Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,
Bumi Aksara, Jakarta, hal. 59-60.