Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di Indonesia hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam

penyelenggaraan kekuasaan negara Indonesia. Hal ini jelas terlihat dari penjelasan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD. NRI. 1945), Pada

pasal 1 ayat (3) yang menyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah

negara hukum.1 Ketentuan ini merupakan pernyataan bahwa hukum akan sangat

menentukan dalam pelaksanaan kenegaraan dan segala sesuatunya senantiasa

berdasarkan hukum.

Oleh Karena itu, dalam negara Indonesia yang memiliki cita hukum

pancasila sekaligus sebagai norma fundamental negara, maka hendaknya

peraturan yang hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang

terkandung dalam cita hukum tersebut.2 Sehingga dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan dimuat ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan,

keyakinan dan kesadaran hukum masyarakat dan berakar pada nilai-nilai moral

yang baik pula yang diwujudkan dalam Pancasila.

Salah satu aspek perubahan penting dan menarik untuk dikaji setelah

1 Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD. 1945.

2 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang
Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual), Kencana, Jakarta: 2009,
Hal. 9.

1
2

jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto (Pemerintahan Orde Baru) melalui

reformasi 1998, adalah perkembangan hubungan antara Pemerintah Pusat dan

Daerah. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa orde baru yang

bersifat sentralistik mengalami perubahan Paradigmatik, ditandai dengan sifat

hubungan yang desentralistik dengan melimpahkan urusan daerah melalui

otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.3 Setelah Indonesia memasuki masa

Reformasi pada 1998, aspirasi mengenai otonomi daerah dan desentralisasi

muncul melalui sidang MPR. 1998 yang dituangkan dalam ketetapan MPR. No.

XV/ MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan pembagian,

dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah dalam negara kesatuan republik indonesia. 4 Artinya

sejumlah wewenang pemerintahan diserahkan oleh pemerintah pusat kepada

daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang meliputi politik luar negeri,

pertanahan, keamanan dan yustisi yang tetap menjadi kewenangan pemerintah.5

Dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah dibentuklah Peraturan

Daerah sebagai suatu sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi

daerah untuk menampung kondisi khusus suatu daerah serta penjabaran lebih

lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah dibuat

3Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta: 2010,
hal. 1.

4 Ibid., 271-272.

5A.A.Oka Mahendra,”Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah”:


(2006), Jurnal Legislasi Indonesia, hal. 21.
3

untuk melaksanakan otonomi atau tugas pembantuan (medebewind). Materi

muatan Peraturan Daerah di bidang tugas pembantuan ditentukan sesuai dengan

jenis tugas pembantuan yang menjadi urusan rumah tangga tugas pembantuan.6

Peraturan Daerah termasuk salah satu dari perundang-undangan di

Indonesia yang menjadi kewenangan daerah tersebut. Akan tetapi, pembentukan

Peraturan Daerah tidak dapat bersandarkan pada kewenangannya sendiri karena

daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dengan demikian,

pembentukan Peraturan Daerah meskipun memiliki kualifikasi yang disesuaikan

dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat daerahnya, tetapi juga memiliki

sinkronisasi dan harmonisasi dengan hukum nasionalnya.7

Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

oleh DPRD. dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal Pasal 7 ayat (1)

huruf (f) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011), tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan). Peraturan Daerah mendapatkan landasan Konstitusional

dalam Konstitusi untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18

ayat (6) UUD 1945). Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

pasal 14 menentukan materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi

muatan dalam rangka:

a. penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;


b. menampung kondisi khusus daerah; serta
c. penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih

6Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Jakarta: 1997, hal. 154.

7 Ibid., 197.
4

tinggi.8

Dalam praktiknya, pembentukan Peraturan Daerah cenderung

mengabaikan sistem hukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi

muatan yang berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah itu

sendiri. Disamping itu, pembentukan Peraturan Daerah tidak sesuai dengan

tujuan, situasi dan kondisi nasional, sehingga kadangkala menimbulkan

pertentangan dengan ketentuan diatasnya.9 Pemerintah Daerah memperlihatkan

kecenderungan untuk membuat Perda sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan

rambu-rambu peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan kepentingan

umum yang cukup luas.

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang menegaskan mengenai Pembentukan

Peraturan Daerah yakni, Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh

Pemerintah. Pembentukan Perda harus terdapat kesesuaian bentuk atau jenis

atau peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama dengan

harmonisasi peraturan yang tingkatnya lebih tinggi atau sederajat sebab

ketidaksesuaian dapat menjadi alasan untuk membatalkan Perda tersebut.

8http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 06 Juli 2017
pukul 15.00).

9 Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta:
2008, hal. 57.
5

Dalam pembentukan Perda beberapa asas kiranya perlu diperhatikan,

berikut ini:

1. Muatan Perda mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke

depan (asas positivisme dan perspektif);

2. Memperhatikan asas “lex specialis derogat legi generalis”

(debijzondere wet gaat voor de algemene wet), yakni ketentuan yang

bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum.

3. Memperhatikan asas “lex superior derogat legi inferiori (de hogere

wet gaat voor de lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi

derajatnya menyampingkan ketentuan yang lebih rendah.

4. Memperhatikan asas “lex posterior derogate legi priori” (de

laterewet gaat voor de eerdere), yakni ketentuan yang kemudian

menyampingkan ketentuan terdahulu.10

Dalam pada inilah norma hukum yang mengatur pembentukan Perda

yang terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 harus ditempatkan.

Dengan demikian, adanya kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda

sebagaimana dimaksud dalam pasal 251 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang

No. 23 Tahun 20014, harus dilihat sebagai norma yang bersifat khusus bagi

Perda, yang melengkapi norma bersifat umum tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan (termasuk Perda) yang terdapat dalam Undang-Undang No.

10http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+lembaga+
+negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b0dd2da61f4fbd4
( terakhir dikunjungi tanggal 06 Juli 2017 Pukul 15.00).
6

12 Tahun 2011.

Diyakini oleh para ahli pembentukan peraturan perundang- undangan juga

tunduk kepada sejumlah asas hukum. Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar

yang terdapat dibelakang atau didalam sistem hukum.11 Dengan demikian,

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang memuat sejumlah norma hukum yang

mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan, juga dilatarbelakangi oleh

sejumlah asas hukum. Dalam hal ini menurut penulis meyakini bahwa Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011 hanya memuat norma-norma umum pembentukan

peraturan perundang-undangan saja, yang dimana perlu untuk bentuk atau jenis

peraturan perundang-undangan tertentu diadakan suatu pengaturan yang bersifat

khusus. Keseluruhan hal itu disebut sebagai asas- asas dalam pembentukan

peraturan-peraturan yang patut (beginselen van behoorlijke regeling), baik bersifat

formal maupun material.12

Kewenangan Mendagri untuk membatalkan Perda APBD. sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 20014 tentang

Pemerintahan Daerah yang termaktub dalam pasal 251 ayat (4), lebih kepada

penormaan atas perlunya perhatian terhadap asas “kelembagaan atau organ

pembentuk yang tepat” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

11 Tim Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran“ Jatim,


Handout Pengantar Ilmu Hukum, 2007.

12Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pembentukannya


2010, Penerbit: Kanisius, Jakarta, hal. 23.
7

Dalam hal ini peraturan perundang- undangan yang tidak dibentuk oleh lembaga

atau organ pembentuk yang tepat dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Dalam

kasus Perda, pembatalan dapat dilakukan karena ketika suatu Perda memuat

norma hukum yang tidak semestinya, maka Perda tersebut dapat dipandang

sebagai bentukan oleh lembaga atau organ pembentukan yang tidak tepat, karena

kemungkinan merupakan kewenangan atau tugas dari lembaga atau organ

pembentuk peraturan perundang-undangan yang lain. Mengingat Peraturan

Daerah merupakan produk legislatif di daerah, maka timbul persoalan dengan

kewenangan untuk menguji dan membatalkannya terkait lembaga manakah yang

berwenang membatalkan Peraturan Daerah.Dalam Peraturan perundang-

undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan Perda berada

di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara para

pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya.13

Berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang

menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili tingkat kasasi,

menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap

undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-

undang” dan Undang- undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

pasal 31 yang bunyinya :

1. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan


perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

2. Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-

13http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materi- perda-
ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi tanggal 06 Juli 2017 Pukul 15.00).
8

undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

3. Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan
dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan
langsung pada Mahkamah Agung.

4. Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.

Memberi wewenang kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk

“Menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang”. Dengan

merujuk Pasal 7 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan berarti peraturan perundang undangan yang dapat diuji oleh

Mahkamah Agung adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan

Peraturan Daerah Provinsi/ dan atau Peraturan Daerah Kab./Kota terhadap

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, namun tidak

termasuk terhadap Undang-Undang Dasar. Didalam Undang-undang Nomor

48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tentang Perubahan atas (UU. No.4

tahun 2004) dalam Pasal 20 ayat (2) juga dinyatakan: “ Mahkamah Agung

mempunyai kewenangan:

1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan


pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung;

2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang


terhadap undang-undang; dan
9

3. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”

Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut

kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan

perundang-undangan oleh lembaga kehakiman.

Jika dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji

suatu Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa, maka dapat dikatakan bahwa

Mahkamah Agung berwenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai isi dari

suatu peraturan daerah terhadap Undang-undang atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari kekuasaan

Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan suatu peraturan daerah yang mengatur

hal tertentu. Apabila Peraturan Daerah yang diujikan tersebut, isinya bertentangan

dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

derajatnya, maka Mahkamah Agung akan mengeluarkan Putusan bahwa Peraturan

Daerah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada

instansi yang bersangkutan segera melakukan pencabutannya, sebagaimana

diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU. No. 48 tahun 2009 dan Pasal 6 ayat (2)

Perma. No.1 tahun 2004 yang bunyinya:

1. “Dalam hal mahkamah agung berpendapat bahwa permohonan


keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan
tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
perundang- undangan tingkat lebih tinggi, mahkamah agung
mengabulkan permohonan tersebut.
10

2. Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan


perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak
sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada
instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.

3. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan


keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan
keberatan tersebut.”

Namun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah dijumpai adanya bentuk pengujian yang dilakukan dalam

konteks menjaga keberlakuan/penerapan Perda yang tidak bertentangan atau

harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak

berbenturan atau kontradiktif dengan kepentingan umum dan kaedah-kaedah

norma umum yang berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma

kesopanan kemudian dikenal dengan executive review.

Alasan hukum yang mengatur tentang uji materiil dan pembatalan Perda

tersebut diatur dalam Pasal 251 UU. No. 23 tahun 2014, yaitu sebagai berikut:

1) “Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri.
2) Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
3) Dalam hal gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
membatalkan Perda Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali
kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membatalkan Perda
Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota.
11

4) Pembatalan Perda Provinsi dan peraturan gubernur sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Menteri dan
pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
5) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama
kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
6) Paling lama 7 (tujuh) Hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepala daerah harus
menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah
mencabut Perkada dimaksud.
7) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi tidak
dapat menerima keputusan pembatalan Perda Provinsi dan gubernur
tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan yang dapat
dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan, gubernur
dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat
belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda atau peraturan gubernur
diterima.
8) Dalam hal penyelenggara Pemerintahan Daerah kabupaten/kota
tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan
bupati/wali kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan
bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan,
bupati/wali kota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling
lambat 14 (empat belas) Hari sejak keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota atau peraturan bupati/wali kota diterima”.

Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah justru karena Pemerintah

Daerah merupakan bagian dari Pemerintah (eksekutif) dimana Pemerintah Daerah

berada di bawah Pemerintah, dan juga ada di struktur Pemerintah. Jadi

Pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat

oleh daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi

kewenangan untuk mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan


12

keberlakuan Perda yang bermasalah tersebut melalui instrument hukum berupa

Peraturan Presiden.

Sejak berlakunya UU. No.32 Tahun 2004 hingga 9 oktober 2006 produk

hukum daerah yang dibatalkan oleh pemerintah sebanyak 215 buah yang terdiri

dari 204 Perda dan 11 Keputusan Kepala Daerah.14 Adapun contoh Perda yang

dibatalkan oleh Pemerintah melalui executive review yakni :

1) Perda Kota Pekan No. 09 Tahun 2000 Tentang Perizinan Usaha

Perikanan karena bertentangan dengan dengan UU. No. 18 Tahun 1997

dan PP. No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.15

2) Perda Kabupaten Pelalawan No. 12 Tahun 2003 Tentang Retribusi

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja karena bertentangan dengan

UU. No.18 Tahun 1997 dan PP. No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi

Daerah.16

Selama kurun waktu tersebut produk hukum daerah yang diajukan ke

Mahkamah Agung untuk dilakukan pengujian secara materiil berjumlah 28

permohonan dan Pendaftaran Perda yang dibatalkan dan diajukan gugatan judicial

review di Mahlamah Agung selama tahun 2003-2004 berjumlah 6 buah Perda

14 Ni’matul Huda, Op.Cit, 219.

15 Ibid., 228.

16 Ibid., 235.
13

yang terdiri dari 5 Perda dan 1 Keputusan kepala daerah. 17 Adapun contoh Perda

yang dibatalkan oleh Pemerintah melalui Judcial review yakni :

1) Perda Kab. Tebo No. 12 Tahun 2001 Tentang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan dengan No. Registrasi 09.G/Hum/2003 yang

diajukan oleh Nanang Joko Prinantoro.


2) Perda Kab. Nias No.6 Tahun 2002 Tentang Pembentukan 5

Kecamatan di Kabupaten Nias dengan No. Registrasi 06.G/Hum/2002

yang diajukan oleh Fill’ard Bawamenewi.

Hal ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga yang berwenang

untuk menguji materil serta membatalkan suatu peraturan daerah. Ketidak jelasan

ini juga menimbulkan polemik dikalangan para pakar maupun praktisi, sehingga

tidak terdapat kesatuan pendapat dalam menjawab pertanyaan mengenai lembaga

mana yang berhak untuk menguji materil dan membatalkan suatu Peraturan

Daerah. Dimana kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang diperbolehkan

oleh dua lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru

berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Dasar pemikiran Indonesia adalah

Negara kesatuan (unitary state), sehingga dinilai rasional apabila pemerintahan

pusat sebagai pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan

sistem hukum dilingkungan pemerintahan daerah18 dinilai bertolak belakang

dengan kewenangan yang juga ada pada Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan

17 Ibid., 266-267.

18 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat Jenderal MK,


Jakarta: 2006, hal. 67.
14

jika kewenangan untuk menguji peraturan daerah diberikan kepada Mahkamah

Agung, berarti Peraturan Daerah mutlak hanya dilihat sebagai salah satu bentuk

peraturan perundang-undangan yang berada dibawah undang-undang.

Karena itu, terlepas dari kenyataan bahwa Peraturan Daerah tersebut juga

merupakan produk “legislatif acts”, tetapi berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat

(1) UUD. 1945, pengujian atasnya mutlak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah

Agung.19 Dan hal ini tentunya berimplikasi pada akibat hukum yang timbul

dimana Perda yang dinyatakan berlaku oleh Pemerintah sewaktu-waktu dapat saja

dibatalkan oleh adanya putusan dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 9 ayat (2) UU.

No. 12 tahun 2011 juga disebutkan “Dalam hal suatu Peraturan Perundang-

undangan dibawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-

Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”, putusan Mahkamah

Agung tersebut menyatakan Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-

Undang menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”

Hal ini tentunya menguatkan kedudukan dari Mahkamah Agung dimana judicial

review dipandang lebih kuat dibandingkan kedudukan executive review yang

dipegang Pemerintah karena putusan lembaga peradilan ini sewaktu-waktu dapat

saja mengubah Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal

kewenangan Pemerintah Pusat dalam meng- executive review suatu Perda yang

bermasalah.

Kemudian dalam pasal 245 ayat (2) Undang-undang No. 23 tahun 2014

19 Ibid., 76.
15

tentang pemerintahan daerah diatur kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk

mengevaluasi Rancangan Perda tentang APBD. dan Peraturan Kepala Daerah

tentang APBD, Perubahan APBD. dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.

Apabila hasil evaluasi menyatakan Ranperda dan rancangan Peraturan Gubernur

tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tidak ditindakalanjuti oleh gubernur dan DPRD,

dan tetap ditetapkan menjadi Perda, maka Menteri Dalam Negeri dapat

membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur tersebut.20 Hal ini senada dengan

ketentuan Teori Hukum Tata Negara yang dianut di Indonesia “ada berbagai

macam cara pembatalan Perda. Karena ada beberapa pihak yang mempunyai hak

uji terhadap Perda. “Hak uji dilakukan bukan hanya oleh MA, tapi juga oleh

pemerintah. Ada yang oleh Presiden, dan ada yang oleh Menteri Dalam Negeri”. 21

Namun Peraturan Daerah tidak dapat dibatalkan oleh keputusan Menteri, karena

kedudukannya berada langsung dibawah hierarki Peraturan Presiden.22

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapatlah

dirumuskan masalahnya sebagai berikut :

20 Ni’matul Huda, Op.Cit., 15-16.

21http://basisme1484.wordpress.com/2009/12/03/problematika-hukum-hak-uji-materiil-dan-
formil-peraturan-daerah/(terakhir dikunjungi pada tanggal 7 Juni 2011 Pukul 20.00).

22 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., 70.


16

1. Lembaga manakah yang berwenang melakukan pembatalan

peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan Undang-Undang

yang lebih tinggi ?.


2. Apakah permasalahan-permasalahan hukum yang timbul akibat

pembatalan Peraturan Daerah (Perda) ?.

3. Bagaimana bentuk ideal kewenangan Pengawasan dan pembatalan

peraturan daerah (Perda) berdasarkan permasalahan yang timbul ?.

Tesis ini menekankan pada penelitian permasalahan hukum mengenai

Pembatalan Peraturan Daerah (Perda), yang dimana secara de facto pemerintah

pusat (executive review) berwenang membatalkan Peraturan Daerah (Perda) dan di

sisi lain secara de jure UUD. NRI. 1945 mengamanatkan kepada Mahkamah

Agung (judicial review) sebagai pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi

berwenang membatalkan Peraturan Daerah (Perda).

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu

hukum, terutama konsentrasi di bidang hukum pemerintahan yang

berkaitan dengan pengujian keabsahan peraturan daerah (Perda) tentang

dualisme kewenangan pembatalan sebuah produk hukum dibawah

Undang-undang yaitu kewenangan Pemerintah (executive review) dan

kewenangan Mahkamah Agung (judicial review).

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan dan menganalisis kewenangan 2 (dua)

lembaga, yaitu lembaga executive (Pemerintah) dan Lembaga


17

Yudikatif dalam hal ini Mahkamah Agung sebagai pemegang

tampuk kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia.

b. Mengungkapkan dan mengkaji sejauh mana azas

legalitas/keabsahan dan kewenangan lembaga executive

(Pemerintah) dan Lembaga Yudikatif (Mahkamah Agung) dalam

membatalkan peraturan daerah (Perda) dan bagaimana

implikasinya terhadap legalitas hukum Perda yang sudah

dibatalkan oleh Executive (pemerintah) tanpa terlebih dahulu

mengajukan pengujian keabsahannya baik secara formiil dan

materiil oleh lembaga yang berwenang (Lembaga Yudikatif) yang

telah diamanatkan oleh konstitusi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan berguna untuk :

1.4.1. Manfaat Teoritis

Kepentingan Teoritis, yaitu bermanfaat bagi pengembangan

wawasan keilmuan Peneliti, masukan/input bagi pengembangan Ilmu

Hukum dan pengembangan bacaan bagi pendidikan hukum, terutama

konsentrasi di bidang hukum pemerintahan.

1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat Praktis, yaitu sebagai sumbangsih bagi perkembangan

hukum positif, terutama di bidang Hukum Pemerintahan dan Hukum Tata

Negara di Indonesia.

1.5 Landasan Teoritis


18

Untuk menjawab permasalahan yang akan dibahas pada tesis ini

dipergunakanlah beberapa teori, konsep, asas serta pandangan dan pendapat para

ahli hukum sebagai pisau analisis untuk mengkaji serta memberikan argumentasi

bahkan memberikan pembenaran berkaitan dengan permasalahan tersebut.

Menurut Neuman, teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh hubungan

abstraksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan

mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.

Asas-asas hukum berfungsi memberikan pedoman bagi suatu perilaku, sekalipun

tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-

asas hukum menjelaskan dan menjastifikasikan norma-norma hukum, yang di

dalamnya terkandung (bertumpu) ideologi tertib hukum. Teori, konsep, dan asas

yang dipergunakan untuk membahas permasalah tersebut seperti :

1. Negara Hukum

2. Pertanggaan Peraturan Perundang-undangan

3. Teori Kewenangan

4. Asas Desentralisasi

5. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

6. Konsep Pengawasan

7. Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-undangan

Berkenaan dengan mekanisme kewenangan pembatalan Perda oleh

lembaga Negara, ada beberapa pendapat yang memberikan penjelasan mengenai

yang berkaitan dengan pembatalan Perda adalah sebagai berikut :

1.5.1. Teori Negara Hukum


19

Kajian terhadap konsep negara akan diawali dengan ketentuan

bahwa: “Negara adalah suatu masyarakat hukum, yang secara kekal

menempati suatu daerah tertentu dan yang diperlengkapi dengan

kekuasaan tertinggi untuk mengurus kepentingan umum”23. Selanjutnya

pada penegasan Kelsen, yang menganggap negara sebagai komunita

hukum bukan sebagai sesuatu yang terpisah dari tata hukumnya, sesuatu

selain korporasi yang berbeda dari tata pembentuknya (anggaran

dasarnya)”24.

Negara hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh para ahli

hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Frederich Julius

Stahl menyebut dengan istilah rechtstaat, sedangkan beberapa ahli hukum

Anglo Saxon menyebut dengan istilah rule of law. Unsur dari Rechstaat :

a. Adanya perlindungan hak asasi manusia.

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berdasarkan trias

politika.

c. Pemerintahan berdasarkan Undang-undang (wetmatigheid

van bestuur).

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.25

Sedangkan Rule of Law seperti yang diungkapkan oleh ahli hukum

Anglo Saxon yang lain, unsurnya adalah :

23 Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2005, Teori Hukum, Replika Aditama, Bandung, hal. 19-22.

24 Herlin Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum
Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 82.

25 Bellefroid dalam N.H.T. Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, hal. 92.
20

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law)

tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif,

semuanya berdasarkan pada hukum.

2. Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau

kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before

the law).

3. Perlindungan/penjaminan hak akan kebebasan individu

yang didasarkan pada Konstitusi (the constitution based on

individual rights).26

Inti sari dari prinsip-prinsip yang harus terpenuhi dalam negara

hukum, yaitu:

1. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh

Pemerintah) harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang

yang merupakan peraturan umum yang merupakan peraturan

umum. Undang-undang secara umum harus memberikan jaminan

(terhadap warga negara) dari tindakan (pemerintah) yang

sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak

benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus

dikembalikan dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni

undang-undang formal.

2. Perlindungan hak asasi;

26Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Alih Bahasa, Somardi, Bee Media Indonesia Jakarta, hal.
226.
21

3. Pemerintah terikat pada hukum;

4. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan

hukum. Hukum harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut

dilanggar. Pemerintah harus menjamin bahwa di tengah

masyarakat terdapat instrument yuridis penegakan hukum.

Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum

melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik

secara prinsip merupakan tugas pemerintah.

5. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum

yang dapat ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya

dilaksanakan organ pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap

negara hukum diperlukan pengawasan oleh hakim yang

merdeka.27

Dengan kenyataan bahwa secara konstitusional Negara

Indonesia menganut prinsip “Negara hukum yang dinamis” atau

Welfare State, maka dengan sendirinya tugas pemerintah Indonesia

begitu luas. Pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan

kepada masyarakat baik dalam bidang politik maupun dalam sosial

dan ekonominya. Konsep negara hukum selanjutnya berkembang

menjadi dua sistem hukum yakni, sistem hukum eropa kontinental

dengan istilah rechtsstaat dan sistem anglo saxon (rule of law).28


27 Meriam Budiardjo, 2010, Dasar-Dasar ilmu Politik, Edisi Revisi Cetakan Keempat, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 113

28A.V. Dicey, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan
Pertama, Nusamedia, Bandung, hal. 251-261.
22

Konsep Negara hukum, Pemerintah memiliki fungsi untuk

menyelenggarakan pemerintahan. Kekuasaan menyelenggarakan

pemerintahan bukan berarti Pemerintah dapat bertindak sewenang-

wenang sebab Negara hukum (rechtstaat) sebagaimana yang

disebutkan oleh ahli hukum Tata Negara dengan mengutip pendapat

Burken : “Adalah Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar

kekuasaan Negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam

segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum“.29

Adapun tujuan dari pada hukum ialah “Untuk mencapai

ketertiban, keadilan dan kepastian hukum dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara“.30 Mengingat Indonesia

merupakan negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD. NRI.

Tahun 1945 yang menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum”. Negara hukum yang dianut Indonesia bukanlah negara

hukum dalam artiaan formal melainkan negara hukum dalam artian

materiil yakni negara kesejahteraan (welfarestate). Konsep negara

hukum yang dianut oleh Indonesia yakni negara hukum Pancasila.

Negara hukum Pancasila adalah suatu kehidupan bangsa Indonesia

atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh

keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam

arti merdeka, berdaulat, adil dan makmur yang didasarkan atas hukum

29W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 12-13.

30Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka
Pblisher, Jakarta, hal. 162.
23

baik hukum tertulis maupun hukum tak tertulis sebagai wahana untuk

ketertiban dan kesejahteraan dalam arti menegakan demokrasi,

perikemanusiaan dan perikeadilan.31 Kemudian untuk menindak

lanjuti apa yang dimaksudkan UUD. NRI. Tahun 1945 maka setiap

tindakan harus didasarkan atas hukum. Hukum disini harus telah

diatur untuk itu hukum disini bentuknya tertulis dan tidak tertulis.

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat). Dalam konsep

negara hukum, asas legalitas merupakan unsur yang utama dalam

sebuah negara hukum.32 Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan

demokrasi dan gagasan negara hukum.33

Selanjutnya, ada 4 (empat) hal yang dapat dijumpai dalam

suatu Negara Hukum, yakni:

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan

kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan

atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga

negara);

3. Adanya pembagian kekuasaan negara;

31Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.18.
(Selanjutnya disebut Ridwan H.R. I).

32Mochtar Kusumaatmadja, 1995, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan


Nasional, Bina Cipta, Bandung, hal. 2.

33Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta, hal. 153-155.
24

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan

(rechterilije control).34

Negara hukum merupakan dasar suatu negara dalam

melaksanakan tindakan yang menempatkan asas legalitas sebagai

dasar tindakan dari suatu negara. Dalam melaksanakan pemerintahan

Pemerintahan Indonesia yang menggambarkan negara hukum haruslah

sesuai dengan unsur-unsur yang telah dikemukakan tadi, sehingga

nantinya apabila pemerintah daam melaksankan tindakannya dalam

rangka menyelenggarakan pemerintahan memiliki dasar pembenaran,

maupun ketika tindakannya itu menyimpang dapat diajukan suatu

upaya hukum sebagaimana unsur dari negara hukum lainnya yakni

peradilan administrasi, sebagai suatu lembaga yang diberikan kepada

masyarakat untuk melawan serta memperoleh keadilan ketika

berhadapan dengan negara. konsep negara hukum ini sendiri erat

kaitannya dengan asas legalitas yang memberikan dasar serta

kepastian akan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah serta

memudahkan masyarakat untuk mengontrol tindakan pemerintah

tersebut apakah telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

Adanya peradilan administrasi merupakan suatu bentuk

pengawasan yang dilaksanakan oleh lembaga yudikatif yang dalam

hal ini merupakan tujuan daripada adanya suatu pengawasan.

Pengawasan dalam rangkan pelaksanaan pemerintahan yang berada

34A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 59.
(Selanjutnya disebut A. Mukthie Fadjar I).
25

pada bidang eksekutif dilaksanakan oleh pemerintah pusat sebagai

bagian adanya pelaksanaan desentralisasi. Sehingga kepada daerah

dengan adanya desentralisasi tidak berarti daerah bisa bertindak

semuanya mengingat Indonesia merupakan negara kesatuan yang

dimana dalam suatu negara tidak ada negara lagi yang berbeda dengan

negara federal. Oleh karenanya maka pemerintah pusat memiliki

kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada daerah yang

dimana erat kaitannya dengan fungsi peradilan dalam hal ini

pengawasan.

1.5.2. Teori Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan yang

tertulis oleh pejabat yang berwenang dalam kekuasaan legislatif

berdasarkan wewenang atribusi atau delegasi yang muatannya berisi

aturan tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum.35

Yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah semua

peraturan yang mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan

Perwakilan Rakyat bersama pemerintah, baik ditingkat pusat maupun

ditingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha

Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah yang juga

bersifat mengikat secara umum.36

35 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op.Cit., 57.

36 Dodi Haryono, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdiklat, Pekanbaru: 2009, hal. 95.
26

Dalam perkembangan ditengah masyarakat banyak terjadi salah

arti istilah-istilah, yang diantaranya peraturan perundang-undangan,

Undang-undang dan hukum. Ketiga istilah tersebut meskipun mirip,

sebetulnya mempunyai arti yang berbeda. Undang-Undang merupakan

salah satu bagian dari peraturan perundang-undangan. Peraturan

perundang-undangan terdiri dari Undang-Undang dan peraturan

perundangan lainnya, seperti Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan

presiden, Peraturan daerah.37

Perlu juga dicermati pemaknaan Undang-Undang secara

materil (wet in materiele zin) maupun Undang-Undang secara formil

(wet in formele zin). Dalam arti materil, Undang-Undang adalah setiap

keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang dan berisi

aturan tingkah laku yang bersifat umum. Dan dalam arti formil,

Undang-Undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama

antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan

tingkah laku dan bersifat atau mengikat secara umum.38

Dengan penjelasan diatas sehingga dapat diketahui beberapa

ciri-ciri peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

a. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis,

jadi mempunyai bentuk atau format tertentu.


b. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang

37 Ibid., 9.

38 Ibid., 10.
27

berwenang, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.


c. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan

pola tingkah laku.


d. Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur.
e. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum,

tidak ditujukan kepada seseorang atau individu tertentu.


f. Peraturan perundang-undangan berlaku secara terus

menerus, sampai diubah, dicabut atau digantikan dengan

peraturan perundang-undangan yang baru.39

Selain itu, didalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia juga dikenal adanya hirarki peraturan perundang-undangan.

Hirarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-

undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.40 Secara teoritik,

berkaiatan dengan hierarki norma hukum dapat dicari dari teori yang

dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Hans kelsen

mengemukakan teori jenjang norma yang sering dikenal dengan

stufentheori.41 Menurutnya norma-norma hukum itu berjenjang-

jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana

suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada

norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi tersebut berlaku,

39 Ibid., 11.

40 Penjelasan pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

41 Dodi Haryono, op.cit., 17.


28

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian

seterusnya samapai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri

lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan

norma dasar (Grundnorm).42

Jenis dan hiraki peraturan perundang-undangan berdasarkan

ketetapan MPRS. No. XX/ MPRS / 1966 adalah sebagai berikut:

1) “ Undang-Undang Dasar

2) Ketetapan MPR.

3) Undang-Undang/ Perppu.

4) Perturan
Pemerintah

5) Keputusan Presiden

6) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti


Peraturan Menteri,Instruksi Mentri, dan lain-lain.”

Adapun jenis dan hirarki peratuan perundang-undangan

berdasarkan ketetapan MPR. No. III/MPR/2000, adalah sebagai

berikut:

1) “Undang-Undang Dasar dan perubahan UUD. 1945

2) Ketetapan MPR.

3) Undang-Undang

4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


(Perpu)

42 Ibid., 35.
29

5) Peraturan Pemerintah (PP)

6) Keputusan Presiden (Kepres); dan

7) Peraturan Daerah”

Sejak MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk

menetapkan GBHN. yang mana MPR bukan lagi lembaga negara

yang berhak atas tugas dan wewenang untuk membentuk peraturan

perundang-undangan berupa ketetapan MPR. maka ketentuan

tentang hirarki perundang-undangan diatas dicabut dan digantikan

oleh UU. Nomor 12 tahun 2011. Menurut pasal 7 ayat (1) UU. No.

12 Tahun 2011 meyebutkan tentang jenis dan hirarki peraturan

perundang-undangan sebagai berikut:

1) “UUD. NRI. 1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang;

4) Peraturan Pemerintah;

5) Peraturan Presiden;

6) Peraturan Daerah Provinsi; dan

7) Peraturan Daerah Kabupaten / Kota”.

1.5.3. Teori Toetsingsrecht

Apabila diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem

hukum tertentu, Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan judicial


30

review berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan sehingga pada

dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu

kewenangan untuk menguji atau meninjau.43 Perbedaannya adalah

dalam istilah judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa

kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan, yaitu

hakim. Secara teoritis maupun praktek, dikenal ada dua macam hak uji,

yaitu hak uji formil (formele toetsingsrecht) dan hak uji materil

(materiele toetsingsrecht).44

1) Hak Uji Formiil (Formele Toetsingsrecht)

Hak menguji formiil adalah wewenang untuk menilai

apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya

terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah

ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku ataukah tidak.45 Pengujian formal biasanya terkait dengan

soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi

institusi yang membuatnya.46 Dalam hal ini hakim dapat

membatalkan suatu peraturan bila proses penetapannya tidak

43 Fatmawati, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem Hukum
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hal. 5

44 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta: 2005,
hal. 73.

45 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung: 1997, hal. 1

46 Fatmawati, Loc. cit.


31

mengikuti prosedur pembentukan peraturan yang resmi. Hakim

juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang ditetapkan oleh

lembaga yang tidak memiliki kewenangan resmi untuk

membentuknya.47 Pada Pasal 31 Undang-Undang No. 03 Tahun

2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 04

Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung :

(1)

Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji

peraturan perundang- undangan di bawah undang-

undang terhadap undang-undang.

(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah

peraturan perundangundangan di bawah undang-undang

atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku.

(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan

perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan

pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan

langsung pada Mahkamah Agung.

Jadi selain bertentangan dengan peraturan Perundang-

undangan yg berlaku juga pembentukannya tidak sesuai dengan

47 Fatmawati, op. cit., 7.


32

ketentuan yang berlaku. Istilah “pembentukan” ini bukankah

mengacu kepada proses pembuatan PerUndang-undangan itu

sendiri, dengan kata lain bagian ini bermakna formalitas sebuah

PerUndang-undangan yg seharusnya diuji secara formil, bukan

materil.

2) Hak Uji Materiil (Materiele Toetsingsrecht)

Hak uji materil (materiele toetsingsrecht) adalah suatu

wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi apakah suatu

peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi derajatnya.48

Berdasarkan definisi di atas, hak uji materil berkaitan

dengan isi atau substansi dari suatu undang-undang dilihat dari

isinya. Apabila bertentangan dengan Undang- Undang Dasar, maka

Undang-Undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya

pengikat.49

Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji

material tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan

untuk menilai peraturan perundang-undangan terhadap UUD.

1945.

48 Sri Soemantri, op. cit., 11.

49 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit., 112.


33

b. Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan

perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi

juga oleh lembaga Negara lain yang diberikan kewenangan

tersebut berdasarkan peraturan perundang- undangan. Selaian

hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim, juga

terdapat hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki legislatif

dan hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh

eksekutif.50

Selain dari hak menguji (toetsingsrecht) ini, juga dikenal

adanya judicial review yang menurut ahli hukum Tata Negara

merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk

hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif,

atau judikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances

berdasarkan system pemisahan kekuasaan negara (separation of

power).51

Terkait dengan masalah kebutuhan, keberadaan

judicial review sangat dibutuhkan baik secara yuridis, politis

maupun pragmatis.52 Secara yuridis hal ini sesuai dengan teori

Stufenbau Des Rech (stufentheorie) hasil pemikiran Hans Kelsen.

Teori ini menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-

50 Fatmawati, op. cit., 7.

51 Ibid., 9.

52Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin Memahami Keberadaan Mahkmah


Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004, hal. 24.
34

jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di

mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan

beradasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi

lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak

dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu

Norma Dasar (Grundnorm).53

Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma

hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya,

tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan

menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. 54 Teori

ini sesuai dengan apa yang menjadi prinsip dasar hukum, yaitu:

“Lex Superior Derogate Lex Inferior”, yang bermakna

bahwa norma yang paling tinggi mempengaruhi norma yang

ada dibawahnya, atau dapat juga dikatakan bahwa norma yang ada

di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di

atasnya. Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak boleh

bertentangan dengan Undang- Undang Dasar.

Secara politis, kebutuhan akan judicial review sangat

53Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan Pembentukannya,


Kanisius, Yogyakarta: 2006, hal. 25.

54Ibid., 26. Pendapat Hans Kelsen ini berdasarkan teori Adolf Merkl, salah seorang muridnya
yang mengemukakan bahwa norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (des Doppelte
Rechtsantlitz).
35

diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu Undang-

Undang tidak bertentangan dengan undang- undang dasar, karena

pada hakekatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan

Undang-Undang dasar. Secara pragmatis, kebutuhan terhadap

judicial review ini diperlukan untuk mencegah praktek

penyelengaraan pemerintahan Negara yang tidak sesuai atau

menyimpang dari Undang-Undang Dasar.55

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa

konsekuensi dari pengujian secara formal adalah keseluruhan isi

Undang-Undang menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat secara

hukum, sedangkan uji materiil hanya beberapa ketentuan sepeti

pasal, ayat, atau huruf56. Pengertian yang dapat dikembangakan

dalam rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu

bersifat kompleks. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk

menilai konstitusionalitas suatu Undang-Undang dari segi

formalnya (formele toetsing) adalah sejauh mana Undang-Undang

itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appopriate form), oleh

intitusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur

yang tepat (appropriate procedur)57. Jika dijabarkan dari ketiga

55 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Op.Cit., 24.

56Fatmawati. Hak Menguji (Toetsingrecht) yang dimiliki Hakim dalam sistem Hukum Indonesia,
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005; hal. 94.

57Asshidiqqie, Jimly. Perihal Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK. RI,
Jakarta, 2006; hal. 63-64.
36

kriteria ini, pengujian formil ini dapat mencakup :

a) Pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur

pembentukan Undang-Undang, baik dalam pembahasan

maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu

Undang-Undang menjadi Undang-Undang;

b) Pengujian atas bentuk, format, atau struktur Undang-

Undang;

c) Pengujian yang berkenaan dengan keberwenangaan

lembaga yang mengambil keputusan dalam proses

pembentukan Undang-Undang; dan Pengujian atas hal-hal lain

yang tidak termasuk pengujian materil.

Dalam Perma. No. 1 Tahun 2011 disebutkan bahwa Hak Uji

Materil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan

Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang

terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi.

Perma mengatur tersebut tidak menjelaskan apakah dalam

pengujian hak uji materil di Mahkamah Agung hanya mencakup

pengujian secara materil atau meliputi pengujian secara materil dan

formil dari suatu ketentuan peraturan perundang- undangan.

Kendati demikian dalam praktek, seperti dalam kasus pengujian

perda. sarang burung walet di Kab. Berau, Kalimantan Timur aspek

pengujian peraturan tersebut meliputi formil dan materil58.


58Soebechi, Imam. Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Sinar Grafika, Jakarta,
2012.
37

Dalam kaitannya dengan pengujian formil (formele

toestsing) atau procedural review dan pengujian materil atau

substantive review (materiele toetsing), membawa konsekuensi

terhadap jenis pembatalan suatu norma dan daya berlakunya suatu

pembatalan. Dalam hal permohonan Hak Uji Materiil (HUM.)

beralasan karena peraturan perundang-undangan tersebut

bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-

undangan lebih tinggi, Mahkamah Agung dalam putusannya

menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang

dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak

berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang

bersangkutan segera pencabutannya (Pasal 6 ayat (2) Perma No. 1

Tahun 2011)59. Bukankah istilah “Tidak sah” mengacu kepada

makna retro aktif, sedangkan batal mengacu konsep prospektif ?,

atau dengan kata lain jika “tidak sah” berarti dianggap tidak

pernah ada Peratuan perundang-undangan itu (ex tunc).

Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan istilah “batal”

dalam konteks putusan yang “prospektif” atau bersifat ex nunc

atau pro future yaitu putusan yang berlaku ke depan. Dijelaskan :

“peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi

59 Padahal di ketentuan sebelumnya sudah tidak ditemukan lagi redaksi : “Mahkamah Agung
menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku” dan : “Putusan mengenai tidak sahnya peraturan
perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan
dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada
Mahkamah Agung” (Ayat (1) dan (2) pasal 31 UU. No. 5/2004).
38

Negara dipandang sebagai suatu yang sah sampai saat

diinyatakan batal (dibatalkan). Istilah “tidak sah” digunakan

dalam konteks putusan “retroaktif” atau bersifat “ex tunc”; dengan

kata lain putusan semacam ini menganggap peraturan perundang-

undangan atau perbuatan administasi tidak pernah ada. Putusan ini

bersifat deklaratur, bukan konstitutif.60

Sejalan dengan hal tersebut, menjadi penting juga untuk

dicermati apakah dalam mengadili PHUM. hanya menggunakan

peraturan-perundang-undangan sebagai batu uji (toetsingronden) ?.

Atau dapat juga meliputi asas-asas hukum seperti AAUPB.

sebagaimana dalam pengujian suatu KTUN. ?61 Dalam putusan

PHUM. No. 08P/HUM/2001 tertanggal 31 Juli 2001, Mahkamah

Agung menyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum

Keppres. No. 77 Tahun 2001 dengan alasan Keppres tersebut

bertentangan dengan asas kepastian hukum karena Keppres

tersebut ditetapkan dengan berlaku surut, disamping adanya

pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik

dalam keppres lain yang terkait dalam objek permohonan hak uji

materil tersebut. Putusan ini menjadi penting karena suatu


60 Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan Pemerintah,
Bandung, PT. Alumni, 2004; hal. 242.

61 Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU. No. 48/2009). Putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat (1) UU. No. 48/2009).
39

keputusan yang didasarkan oleh diskresi dan kemudian dituangkan

dalam bentuk keputusan yang bersifat mengatur (regelend) pada

akhirnya dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung,

sebagaimana dikutip berikut ini :

“Bahwa kewenangan untuk menerbitkan dan menentukan


perubahan atas suatu Keputusan Presiden yang telah
dikeluarkan sebelumnya adalah memang merupakan
kewenangan Presiden atas dasar diskresi yang dimilikinya
selaku pucuk pimpinan pemerintahan. Bahwa akan tetapi
pelaksanaan atau penggunaan diskresi ini oleh Presiden,
tidaklah berarti sebebas-bebasnya tanpa batas, sebab
pelaksanaan kewenangan ini tetap akan dapat dinilai dan
diuji oleh Hakim manakala mengandung penyalahgunaan
wewenang atau tindakan yang bersifat sewenang-wenang,
atau melanggar asas-asas umum penyelenggaraan
administrasi negara yang baik”.

1.5.4. Teori Pemisahan Kekuasaan

Kekuasan merupakan adanya suatu hubungan dalam arti bahwa

ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah (the

ruler and the ruled). Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi

kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum yang oleh Henc Van

Marseveen disebut sebagai “blote macht” dan kekuasaan yang

berkaitan dengan hukum yang oleh Max Weber disebut sebagai

wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu

sistem hukum yang dapat dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah

diakui dan dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh
40

negara.62

Kekuasaan juga merupakan inti dari penyelenggaraan negara

agar negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging), sehingga

negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi dan

berkinerja melayani warganya, oleh karena itu negara harus diberi

kekuasaan. Pengertian kekuasaan adalah: “Kemampuan seseorang atau

sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku

seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu

menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara”.63

Pentingnya pemisahan kekuasaan dalam suatu negara berarti

pula adanya batas-batas terhadap penggunaan kekuasaan. Pembatasan

kekuasaan meliputi: Pertama, jangka waktu kekuasaan itu

dilakukan; Kedua, perincian daripada kekuasaan yang diberikan

kepada setiap lembaga negara; Ketiga, seleksi pejabat publik yang

berarti oleh rakyat; Keempat, pelaksanaan pemerintahan oleh pejabat

publik yang diseleksi dengan cara yang menunjukkan tanggung jawab

terhadap keinginan rakyat.64 Gagasan pemisahan kekuasaan negara

mendapat dasar pijakan dari pemikiran John Locke dan Montesquieu.

1) John Locke

62 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung:2006, hal. 207-208.

63 Ibid.

64 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., 34.


41

Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”

mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara dibagi-bagi kepada

organ-organ yang berbeda. Menurut John Locke, agar pemerintah tidak

sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan negara

ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu :

a) Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat Undang-

undang);

b) Kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan Undang-

undang);

c) Kekuasaan federatif (kekuasaan melakukan hubungan

diplomatik dengan negara-negara lain).65

Locke meletakkan kekuasaan pembentuk undang-undang

(legislatif) sebagai kekuasaan tertinggi (supreme power)66 dan

cenderung menyerahkan kekuasaan pembentuk undang-undang

kepada dewan atau mejelis. Kekuasaan pembentuk undang-undang

perlu dipisahkan dengan kekuasaan pelaksana undang-undang.

Kekuasaan pelaksana adakalanya memerlukan paksaan, sehingga

diperlukan adanya kekuasaan untuk melaksanakannya secara tetap.

65 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit., 18.

66 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII. Press,
Yogyakarta: 2001, hal. 32.
42

Maka seyogianya kedua kekuasaan itu tidak berada di satu tangan.67

Untuk kekuasaan federatif, kekuasaan ini bertugas untuk

menyatakan perang atau melaksanakan perdamaian dengan negara lain,

ataupun mengadakan perjanjian kerja sama sejauh menyangkut

keharmonisan dan kebaikan lembaga antarnegara. Hubungan ini biasa

disebut hubungan diplomatik.68

2) Montesquieu

Melalui bukunya “I’espirit des lois” (The Spirit of Law),

Montesquieu menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang

ditawarkan John Locke. Montesquieu mengembangkan lebih jauh

ajaran John Locke dengan menawarkan konsepsi monarki

konstitusional, dimana kekuasaan absolut dicegah dan menawarkan

konsep pemisahan kekuasaan.

Montesquieu berpendapat agar tidak terjadi pemusatan

kekuasaan pada satu orang/ satu organ lembaga, maka diadakan

pemisahan kekuasaan pemerintahan menjadi tiga jenis, dan

kekuasaan pemerintahan negara itu harus didistibusikan kepada

beberapa organ/ lembaga negara, dan satu organ/ lembaga hanya

memiliki satu kekuasaan saja, kekuasaan-kekuasaan itu adalah:

a) Kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang,

67 Ibid., 33.

68 Ibid.
43

dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan (parlemen);

b) Kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang,

dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan

bantuan menteri-menteri atau kabinet);

c) Kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk

menegakkan perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran,

dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan

pengadilan di bawahnya).69

Kedudukan ketiga kekuasaan di atas seimbang, yang satu tidak

lebih tinggi daripada yang lain.70 Hal ini berbeda dengan John Locke

yang menempatkan legislatif lebih tinggi. Ketiga poros kekuasaan

terpisah satu sama lain, baik mengenai organ maupun fungsinya.

Immanuel Kant memberi nama ajaran Montesquieu ini dengan “Trias

Politica”.

Perkembangan doktrin Trias Poitica diawal abad ke-20 bagi

negara berkembang dalam bentuk “pemisahan kekuasaan” pada

umumnya sulit diterapkan. Pada negara berkembang, negara dituntut

ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, sehingga

69 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, PT. Gramedia,
Jakarta: 2007, hal. 3.

70 Sobirin Malian, op.cit., 18.


44

fungsi negara sudah melebihi tiga fungsi yang disebutkan

Montesquieu.71 Perkembangan pokok-pokok kenegaraan yang

sedemikian rupa mengakibatkan penafsiran doktrin Trias Politica

bergeser menjadi Division of Power (pembagian kekuasaan). Menurut

teori Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan

maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah

kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur

tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif

dapat berfungsi secara wajar demi penegakan hukum dan keadilan serta

menjamin hak-hak asasi manusia.

Dalam rangka gagasan Trias Politica dengan sistem check and

balances, pengujian konstitusional mempunyai arti lebih memperkuat

lagi kedudukan lembaga peradilan sebagai jabatan yang bebas dari

pengaruh jabatan eksekutif dan legislatif.72 Melalui asas kebebasan

yudikatif, diharapkan putusan yang tidak memihak dan semata-mata

berpedoman kepada norma-norma hukum dan keadilan serta nurani

hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau

kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena

memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaikan konflik

yang terjadi dalam kehidupan suatu negara.73

71 Ibid., 51.

72 Ibid.

73 Ibid., 46.
45

1.5.5. Teori Pemerintahan Daerah

Pemerintah daerah adalah satu kesatuan dalam mata rantai

organisasi pemerintah yang bertanggung melaksanakan tugas dan fungsi

pemerintahan Negara dalam territorial daerah otonom yang berhak

mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan negara serta

urusan rumah tangga sendiri.74 Pemerintah daerah adalah gubernur,

bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggaraan pemerintah daerah. Dalam menyelenggarakan urusan

pemerintahanan, pemerintah daerah diawasi oleh DPRD sebagai

lembaga perwakilan rakyat di daerah. Penyelenggaraan pemerintahan

derah didasarkan pada 3 (tiga) asas pemerintah daerah, yaitu :

1. Desentralisasi

Istilah desentralisasi berasal dari bahas latin “de” berarti lepas

dan “centrum” yang artinya pusat. Desentralisasi adalah lawan kata

dari sentralisasi, karena pemakaian kata “de” dimaksudkan untuk

menolak kata sebelumnya, jadi desentralisasi adalah penyerahan

segala urusan, baik pengaturan dalam arti pembuatan peraturan

perundang-undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan itu

sendiri, dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, untuk

selanjutnya menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah

74 Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan, PT. Perca, Jakarta : 2005, hal. 86


46

tersebut.75 Berdasarkan asal perkataannya, desentralisasi adalah

melepaskan dari pusat. pengertian desentralisasi dalam hal ini adalah

pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak lain untuk

dilaksanakan.76

Inti desentralisasi pemerintah daerah bahwa penyelenggaraan

pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dengan

demikian, pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dapat

mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal

18 ayat (2) UUD. 1945 dan Pasal 57 UU. No.23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan daerah.77

2. Dekosentrasi

Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada

instansi vertikal di wilayah tertentu.78 Asas dekosentrasi adalah asas

pelimpahan wewenang pemerintahan yang sebenarnya

kewenangannya itu ada ditangan pemerintah pusat, yakni menyangkut

penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya,

75 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 1994, hal. 78.

76 Ni’matul Huda, Op.Cit., 307.

77 Ibid., 98.

78 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 2008,
hal. 6.
47

diberikan kepada gubernur atau instansi vertikal di daerah sesuai

arahan kebijaksanaan umum dari pemerintah pusat, sedangkan sektor

pembiayaannya tetap dilaksanakan leh pemerintah pusat.79

Ketentuan dasar hukum asas dekosentrasi terdapat pada pasal 4

ayat (1) UUD. 1945 yang menyatakan : Presiden republik Indonesia

memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang dasar.

Kekuasaan pemerintahan ini disebut wewenang pemerintahan umum,

meliputi segenap tindakan dan kegiatan pemerintahan dalam rangka

mensejahterakan rakyat yang adil berdasarkan pancasila yang

merupakan tujuan nasional dan menjadi tugas pokok pemerintahan

pusat.

3. Pembantuan

Tugas Pembantuan adalah asas untuk turut sertanya

Pemerintah Daerah bertugas dalam melaksanakan urusan Pemerintah

Pusat yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah

Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.80

Menurut Bayu Suningrat, bahwa tugas pembantuan tidak

beralih menjadi urusan yang diberi tugas, tetapi tetap merupakan

urusan pusat atau Pemerintah tingkat atasnya yang memberi tugas.

79 Ibid., 7-8.

80 Inu Kencana Syafiie, Op.Cit., 104.


48

Pemerintah dibawahnya sebagai penerima tugas bertanggung jawab

kepada yang member tugas dan turut serta dalam melaksanakan

urusan pemerintahan yang bersangkutan. Tugas pembantuan tidak

diberikan kepada pejabat pemerintahan yang ada didaerah, melainkan

kepada Pemerintah Daerah, karenanya bukanlah suatu dekosentrasi,

tetapi bukan pula suatu desentralisasi karena urusan pemerintahan

yang diserahkan tidak menjadi urusan rumah tangga daerah.81

Dalam menjalankan medebewind, urusan yang dilaksanakan

oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan urusan pusat atau

daerah yang lebih tinggi tingkatannya, dan tidak beralih menjadi

urusan rumah tangga daerah, sepanjang masih berstatus

medebewind.82

Arah Pemberian tugas pembantuan menurut pasal 19 dan pasal

20 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 :

a. Pemerintah Pusat dapat memberikan tugas pembantuan

kepada daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) dan Desa.

b. Pemerintah Provinsi dapat memberikan tugas pembantuan

kepada Kabupaten/Kota dan Desa.

Kabupaten dapat member tugas pembantuan kepada Desa,

sedangkan Kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada desa

81 Sadu Wastiono, Etin Indrayani dan Andi Pitono, Memahami Tugas Pembantuan (Pandangan
Legalistik, Teoretik, dan Implementatif), Fokusmedia, Bandung: 2006, hal.58

82 Ibid.
49

apabila diwilayah kota terdapat desa.

1.6. Metodelogi Penelitian


1.6.1. Jenis Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini adalah suatu penelitian hukum yang akan

mengkaji dan menganalisis mengenai pengujian pembatalan peraturan

daerah dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia. Bentuk penelitian hukum

ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan

jalan melakukan penelusuran dokumen yang berkaitan dengan fokus

masalah yang diteliti. Dalam penelitian hukum normative, peneliti mencoba

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi

normatifnya.83 Sedangkan metode penelitian adalah cara-cara berpikir dan

berbuat, yang dipersiapkan dengan baik untuk mengadakan penelitian dan

guna mencapai tujuan penelitian. Dari diatas dapat di mengerti bahwa

penelitian merupakan kegiatan terencana dilakukan dengan metode ilmiah

yaitu bertujuan untuk mendapatkan data/bahan hukum guna membuktikan

suatu kebenaran.84

Penelitian hukum normative adalah penelitian hukum yang mengkaji

hokum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah filosofi,

perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsisten,

penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat

83Jhony Ibrahim; 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Normatif, Malang; Bayu Media
Publishing, hal. 57.

84 Kartini Hartono, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung,
Mandar Maju, hal. 58.
50

suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak

mengkaji aspek terapan atau implementasinya.85

1.6.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan ini mengandalkan pada pendekatan yuridis normative, yakni :

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan tidak

melupakan pengungkapan ratio legis dan dasar onthologis lahirnya

perundang-undangan khususnya peraturan perundang-undangan yang

terkait dengan pengujian peraturan daerah yang menjadi objek dalam

penelitian ini.
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

dalam ilmu hukum yaitu :


a. Teori Otonomi Daerah.
b. Teori Perundang-undangan, yaitu dengan menggunakan

peraturan Perundang-undangan sebagai sumber bahan hukum

primer, terutama yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah

(Executive Review) dan kewenangan Mahkamah Agung (Yudicial

Review) dalam pembatalan Peraturan Daerah (Perda).


c. Teori Pengujian.

Dalam penelitian ini beberapa cara pendekatan untuk menganalisa

permasalahan. Hal ini dikemukakan oleh Cambell dan Glasson, bahwa

“There is no single technique that is megically “right” for all problem”.86

a. Pendekatan Analisis konsep hukum (Legal Analycal and

conceptual Approach), yaitu konsep yang digunakan antara lain

85 Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit., 101.

86 Jhonny Abrahal, Op. Cit., 301.


51

mengenai pengertian-pengertian yang berhubungan dengan masalah

yang dibahas.
b. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach), hal ini

dimaksudkan untuk mepertajam analisis terhadap obyek penelitian.

Perbandingan dilakukan dengan mengadakan studi pebandingan

hukum. Perbandingan dilakukan dengan mencari persamaan dan

perbedaan obyek yang dibandingkan. Bahwa persamaan dan

perbedaan-perbedaan itulah yang memperlihatkan hakikat

sebenarnya dari pada obyek-obyek yang dibandingkan.87


1.6.3. Sumber Bahan Hukum
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang diperoleh

dari norma atau kaidah-kaidah dasar, dan bahan penelitian ini

bersumber dari :
a) UUD. NRI. Tahun 1945;
b) Undang Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang

Mahkamah Agung;
c) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman;
d) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang diubah

dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;


e) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang diubah

dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah;
f) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004

yang telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung No.

1 tahun 2011 tentang Uji Materiil.

87 Sjahran Basah, Op. Cit., 12.


52

2. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak

termasuk peraturan perundang-undangan, akan tetapi dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yakni hasil

penelitian, buku-buku, dan bahan bacaan lainnya yang relevan

dengan masalah yang diteliti.


3. Bahan hukum tertier (penunjang), yaitu kamus Bahasa

Indonesia dan Kamus Hukum.88


1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menelaah bahan-

bahan pustaka yang relevan dengan penelitian yaitu literatur-literatur, karya

ilmiah (hasil penelitian), peraturan perundang-undangan, majalah, surat

kabar, jurnal ilmiah, dokumentasi dari berbagai instansi yang terkait dengan

penelitian ini, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan kerangka teori dari

hasil pemikiran para ahli.

Disamping itu untuk klasifikasi menurut sistematika rencana tesis

dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara

pencatatan atau pengutipan dengan menggunakan system kartu. Kartu-kartu

tersebut diklasifikasikan atas kartu kutipan, ikhtisar, dan kartu ulasan

Masing-masing kartu diberikan identitas; sumber bahan hukum yang

dikutip, topic yang dikutip, dan halaman dari sumber kutipan, sehingga

klasifikasi sistematika rencana tesis ini ada kartu untuk bahan pada Bab I, II,

dan seterusnya, kecuali untuk bagian penutup. Kemudian dari bahan-bahan

88Soeryono Soekanto; 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press
(UI-Press), hal. 52.
53

tersebut dilakukan kualifikasi fakta dan hukum, yang dilakukan melalui

penelusuran kepustakaan yang berkaitan dengan topic penelitian.89

1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang telah terkumpul baik sekunder maupun primer,

selanjutnya akan disusun dalam suatu susunan yang komprehensif, untuk

selanjutnya akan dibuat deskripsi dan kemudian akan dianalisis secara

yuridis kualitatif dengan berpedoman pada norma-norma (aturan-aturan)

hukum yang ada. Analisis akan dilakukan baik terhadap bahan hukum

primer , sekunder dan tertier, agar hasil analisis ini merupakan suatu

deskripsi analitis yang komprehensif. Sistematisasi terhadap bahan-bahan

hukum bertujuan untuk mengklasifikasikan dan memudahkan pekerjaan

analisis.

Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan

suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-

undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Berkaitan dengan

adanya suatu pertentangan suatu peraturan perundang-undangan atau

terjadinya konflik norma penyelesaiaannya dapat dilakukan dengan

mempergunakan asas preferensi yakni :

1. Lex Specialis Derogat Legi Generalis (Ketentuan yang bersifat

khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum).

2. Lex Posteriori Derogat Legi Priori (Peraturan yang lebih baru

mengesampingkan peraturan yang terdahulu).

89Sunaryati Hartono; 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Bandung,
Alumni, hal. 150.
54

3. Lex Superiori Derogat Legi Inferiori (Ketentuan yang lebih tinggi

tingkatannya mengesampingkan ketentuan yang lebih rendah).90

Analisis bahan-bahan dalam penelitian ini dilakukan dengan tehnik

diskripsi, interpretasi, dan argumentasi. Pertama-tama akan dilakukan

interpretasi otentik, yakni dengan menggunakan pengertian yang ditentukan

di dalam peraturan perundang-undangan. Jika hal tersebut tidak mencukupi,

maka akan dilakukan interpretasi gramatikal dengan cara menemukan

pengertian-pengertian, konsep-konsep yang terdapat di dalam kamus.

Selain itu dilakukan pula secara sistematis, yakni dengan mencari

hubungan antara satu pasal dengan pasal yang lainnya yang terdapat di

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan.

Selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada alasan-alasan yang

bersifat penalaran hukum, yakni mengemukakan doktrin dan asas-asas yang

ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas.

90Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup : Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,
Bumi Aksara, Jakarta, hal. 59-60.

Anda mungkin juga menyukai