Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik terjadi secara cepat dan menjadi isu

kesehatan global. Peningkatan prevalensi resistensi bakteri menjadi maasalah besar dalam

kesehatan global dan menjadi perhatian khusus untuk setiap rumah sakit (Rogues et al.,

2007; Lee et al ., 2010). Resistensi bakteri merupakan ancaman bagi rumah sakit dan

kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan kegagalan pengobatan, infeksi yang

berhubungan dengan pelayanan kesehatan (healthcare-associated infections = HAI), dan

dapat meningkatkan morbiditas serta mortalitas akibat infeksi bakteri multiresisten

(Hseuh et al., 2005; WHO, 2011). Selain itu, resistensi bakteri juga meningkatkan biaya

kesehatan dan beban keuangan untuk pasien karena jika terjadi resistensi terhadap

antibiotik ini pertama , maka harus di gunakan antibiotik yang lebih mahal dengan

durasi yang panjang (WHO,2011).

Menurut European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) dan

European Medicines Agency(EMEA), setiap tahun di Uni Eropa 25.000 orang

meningggal karena terinfeksi bakteri multiresisten. Demikian juga di Amerika Serikat ,

setiap tahun sekitar dua juta pasien terinfeksi bakteri multiresisten dan 90.000 diantaranya

meninggal. Selain itu , infeksi karena bakteri multiresisten di Eropa menghabiskan sekitar

1,5 juta Euro untuk biaya perawatan tambahan dan biaya produktivitas setiap tahun

(ECDC dan EMEA, 2009).

Laju resistensi bakteri dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: program

pengendalian infeksi , pola penggunaan antibiotik , pola presepan antibiotik , prosedur

medis dan operasi yang diterapkan , serta sistem pengawasan dan pemantauan
penggunaan antibiotik (Rogues et al.,2007; WHO,2011; Ranji et al ., 2008). Penggunaan

antibiotik yang tidak sesuai dengan kondisi pasien merupakan salah satu faktor penting

yang menyebabkan terjadinya resistensi bakteri , tetapi hubungan antara kedua hal

tersebut sangat kompleks(Lai et al., 2011; Miliani et al., 2011).

Beberapa penelitian diluar negeri telah dilakukan untuk melihat hubungan antara

tingkat presepan antibiotik dan tingkat pengguanaan antibiotik terhadap laju resistensi

bakteri. Penelitian Rogues et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan penggunaan

siprofloksasin dan levofloksasin berhubungan dengan prevalensi methicillin resistant

Staphylococcus aureus (MRSA). Penelitian Lai et al.(2011) menyatakan bahwa

peningkatan penggunaan siprofloksasin berhubungan dengan peningkatan resistensi

Acinetobacter baumannii; peningkatan peresepan seftazidim berhubungan dengan

peningkatan resistensi Pseudomonas aeruginosa. Selain itu, penelitian HSU et

al.(2010) menyatakan bahwa peningkatan peresepan siprofloksasin dan sftriakson

berhubungan dengan peningkatan peresepan siprofloksasin dan seftriakson berhubungan

dengan peningkatan resistensi E.Coli ; sedangkan peningkatan penggunaan imipenem

dan karbapenem berhubungan dengan peningkatan penggunaan imipenem dan

karbapenem berhubungan dengan peningkatan resistensi Acinetobacter sp.

Pada tahun 2011 , Hartono melakukan penelitian mengenai pola kepekaan kuman di

salah satu rumah sakit swasta di Surabaya selama tahun 2008 – 2009 . Penelitian tersebut

bertujuan untuk mengetahui peringkat jenis bakteri terbanyak , jenis antibiotik yang

masih sensitif , dan mengetahui antibiotik yang paling banyak di gunakan. Berdasarkan

hasil penelitian tersebut diketahui jenis bakteri terbanyak dari data laboratorium

mikrobiologi pasien rawat inap selama tahun 2008 – 2009 adalah E.coli, Klebsiella

pneumoniae,P.aeruginosa, A.baumannii, Staphylococcus epidermidis , dan Streptococcus

non-haemolytic(gamma). Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah


amoksisilin, seftriakson, dan kotrimoksazol, tetapi hanya amoksisilin yang sensitivitasnya

lebih dari 60%(Hartono,2011).

Oleh karena penelitian Hartono bersifat deskriptif , maka dilakukan penelitian

lanjutan untuk mengetahui hubungan antara tingkat penggunaan antibiotik dan persentase

resistensi bakteri terhadap antibiotik dirumah sakit tersebut. Penelitian ini diharapkan

dapat menjadi dasar evidence untuk merencanakan program guna mengontrol resistensi

bakteri terhadap antibiotik , khususnya yang terkait dengan penggunaan antibiotik di

rumah sakit lokasi penelitian.

1.2. Fokus Penelitian

Penelitian ini di lakukaan di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya. Penelitian ini

menggunakan data penjualan antibiotik sistemik pasien rawat inap , data persentase

resistensi bakteri terhadap antibiotik, dan data bed occupancy rate (BOR). Penelitian

akan di fokuskan pada :

1. Tingkat penggunaan antibiotik sistemik pasien rawat inap yang di ukur

berdasarkan data penjualan antibiotik selama tahun 2008 – 2010.

2. Persentase resistensi enam bakteri terbanyak terhadap antibiotik pada hasil kultur

pasien rawat inap selama tahun 2008 – 2010.

3. Hubungan tingkat penggunaan antibiotik sistemik pasien rawat inap dan

persentase resistensi bakteri terhadap antibiotik selama tahun 2008 – 2011.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas , maka dirumuskan masalah

utama “ Adakah hubungan antara tingkat penggunaan antibiotik sistemik pasien rawat

inap dan persentase resistensi bakteri terhadap antibiotik di rumah sakit lokasi

penelitian selama tahun 2008 – 2010?


1.4. Hipotesis

Terdapat hubungan antara tingkat penggunaan antibiotik sistemik pasien rawat inap

dan persentase resistensi bakteri terhadap antibiotik.

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara

tingkat penggunaan antibiotik sistemik pasien rawat inap dan persentase resistensi bakteri

terhadap antibiotik di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya selama tahun 2008 – 2010.

1.6. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang farmasi dan kedokteran , hasil penelitian

dapat memberikan informasi tentang hubungan tingkat penggunaan antibiotik dan

kejadian resistensi bakteri sehingga farmasis dan dokter dapat saling bekerja sama

dalam hal peresepan antibiotik.

2. Bagi rumah sakit tempat penulis melakukan penelitian , diharapkan penelitian ini

dapat membantu untuk merencanakan program guna mengontrol resistensi bakteri

terhadap antibiotik.

3. Bagi peneliti selain untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

Magister Farmasi Klinik , penelitian ini memberi pengalaman dalam melakukan

analisis data penggunaan antibiotik dan resistensi bakteri terhadap antibiotik.

Di samping itu, penulis juga dapat memperoleh pengalaman dalam merencanakan ,

melaksanakan , dan mengkomunikasikan karya ilmiah secara lisan dan tulisan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TINJAUAN TENTANG PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

Penggunaan antibiotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang

berdasarkan asas tepat , yang mana pasien menerima obat yang tepat , dalam dosis

yang benar untuk jangka waktu yang tepat , dan dengan biaya yang terjangkau.

Penggunaan antibiotik yang tepat bertujuan untuk memperoleh hasil terapi yang

aman, efektif dan efisien (van Dijk et al., 2011). Menurut World Health

Organization (WHO) dan Center for Disease Control and Prevention (CDC),

hanya sekitar 30 – 40 % penggunaan antibiotik yang tepat , sedangkan lebih dari

50 % penggunaan antibiotik di rumah sakit untuk tujuan terapi dan profilaksis

tidak tepat (CDC).

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat meliputi pemberian antibiotik tanpa

ada infeksi , jumlah dan dosis yang berlebihan , waktu pemberian yang tidak

tepat, serta tidak menggunakan antibiotik yang efektif dan efisien (van Dijk et

al., 2011). Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi penggunaan antibiotik

yang tidak tepat yaitu faktor internal terkait peresepan antibiotik , faktor yang

berhubungan dengan lingkungan dan fasilitas layanan kesehatan, dan faktor

eksternal yang berasal dari pasien. Faktor internal meliputi terbatasnya

pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan, pemberian antibiotik hanya

berdasarkan gejala tanpa adanya diagnosis yang tepat , kecemasan terhadap hasil

klinis yang buruk , dan tekanan dari berbagai promosi yang ditawarkan oleh

perusahaan farmasi. Faktor yang berhubungan dengan lingkungan dan fasilitas

layanan kesehatan antara lain: lingkungan kerja dan norma sosial – budaya

termasuk budaya kesehatan masyarakat sekitar , pasokan antibiotik yang terbatas


sehingga mendorong penggunaan antibiotik yang tersedia tetapi tidak sesuai dengan

indikasi , terbatasnya waktu untuk memberikan edukasi kepada pasien , dan tidak

adanya pedoman penggunaan dan kebijakan pemakaian antibiotik di tempat

layanan kesehatan. Selain kedua faktor tersebut , faktor eksternal yang berasal dari

pasien juga mempengaruhi penggunaan antibiotik yang tidak tepat , antara lain :

pasien tidak menebus jumlah antibiotik yang dituliskan pada resep karena

keterbatasan ekonomi , tidak patuh terhadap aturan penggunaan yang disarankan ,

pasien membeli dan menggunakan antibiotik tanpa resep dokter, dan kurangnya

pengetahuan pasien terhadap dampak penggunaan antibiotik yang tidak tepat

(Marjadi,2009).

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat menjadi masalah dalam kesehatan

global , baik terhadap kesehatan individu maupun populasi karena menimbulkan

dampak yang merugikan. Dampak yang ditimbulkan antara lain : efek samping obat,

resistensi bakteri, kegagalan pengobatan, dan peningkatan biaya kesehatan (van Dijk

et al., 2011). Efek samping akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat

menjadi salah satu penyebab kematian di Amerika Serikat. Kejadian efek samping

di Inggris menghabiskan sekitar 466 juta pound sterling dan 5,6 juta dolar US

untuk biaya perawatan tambahan rumah sakit (van Dijk et al., 2011).

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci untuk mengendalikan

penyebaran bakteri yang resistensi terhadap antibiotik (Rogues et al.,2007;Hsu et

al.,2010). Lee et al.(2010) menyatakan bahwa penggunaan antibiotik yang sesuai

dengan pedoman dapat menurunkan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik

secara signifikan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa penurunan penggunaan

sefalosporin generasi pertama , makrolida , dan antibiotik glikopeptida antara tahun

2001 dan 2009 menyebabkan penurunan prevalensi methicillin resistant


Staphylococcus aureus (MRSA) secara signifikan dari 63,3 % menjadi 54,1%

(p<0,05).

2.2. Perhitungan Penggunaan Antibiotik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di berbagai negara setiap tahun terjadi

peningkatan penggunaan antibiotik yang signifikan. Lai et al. (2011) menyatakan

bahwa penggunaan sefalosporin , fluorokuinolon, kombinasi betalaktam dan

penghambat beta-laktamase , karbapenem , serta aminoglikosida di Taiwan sejak

tahun 2000 – 2009 mengalami peningkatan yang signifikan (p<0,05). Penelitian

Jacoby et al.(2010) di Brazil menyatakan bahwa penggunaan piperasilin/tazobaktam ,

fluorokuinolon , dan sefalosporin meningkat secara signifikan sejak bulan Juni tahun

2004 hingga bulan Desember tahun 2006(p<0,001). Selain itu , Filius et al .(2005)

menyatakan bahwa penggunaan antibiotik sistemik di rumah sakit Belanda sejak

tahun 1997 – 2001 mengalami peningkatan yang signifikan (p<0,001). Untuk itu

diperlukan perhitungan penggunaan antibiotik guna mencegah peresepan antibiotik

yang tidak tepat dan tidak terkontrol (WHO,2006).

Menurut WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology (2003), terdapat

berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penggunaan

antibiotic. Berdasarkan sumber datanya metode tersebut, yaitu Pescribed Daily

Dose(PDD) dan Defined Daily Doses (DDD

) . PDD merupakan jumlah rata-rata dosis antibiotic perhari yang diresepkan. PDD

dapat menggambarkan penggunaan suatu obat secara actual. Sumber data yang

digunakan untuk menghitung PDD di peroleh dari data rekam medis atau dari data

peresepan. DDD adalah dosis antibiotik rata-rata pada orang dewasa untuk indikasi

utama antibiotic tersebut DDD tidak dapat menggambarkan penggunaan antibiotic

actual karena DDD dihitung dari data penjualan antibiotic perunit atau data pemberian
antibiotic yang dilakukan oleh instalasi farmasi kepada pasien. Walaupun demikian ,

DDD merupakan suatu unit penggukuran yang dapat digunakan untuk

membandingkan tingkat penggunaan antibiotic antar rumah sakit atau antar Negara.

Tingkat pengguaan antibiotic dapat dihitung dengan menggunakan DDD / 1000

population/ Day (Box 2.1) dan DDD/ 100 hari rawat. DDD/1000 population/day

digunakan untuk menghitung total pemggunaan antibiotic di komunitas, sedangkan

DDD per 100 hari merawat digunakan untuk menghitung penggunaan antibiotic pada

pasien rawat inap.

Box 2.1 rumus DDD/1000 population /day(WHO,2003).


amout used in one year (mg) ∗ 1000
𝐷𝐷𝐷/1000𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑡𝑖𝑜𝑛/𝑑𝑎𝑦 =
DDD(mg) ∗ population ∗ 365 (days)

Nilai population diperoleh dari jumlah tempat tidur dirumah sakit dikalikan dengan
Bed Occupany rate (BOR).

Perakat lunak direkomendasikan oleh WHO untuk menghitung jumlah pemakaian antibiotic

adalah antibiotic consumption calculator (ABC Calc) yang dikembangkan oleh ESCMID

(European Society of Clinical Microbiology and Infections Diseases) Study Group on

Antibiotic Policies ( ESGAP) pada National center for Antimicrobials and Infection Control,

Statens Serum Institut ( Copenhagen, Denmark). Program ini dikembangkan sebagai bagian

dari program pemantauan dan penelitian resistensi bakteri terhadap antibiotic dalam Danish

Integrated Antimicrobial Resistance Monitoring and Research Programme ( DANMAP).

WHO merekomendasikan penggunaan ABC Calc sebagai standar metodologi untuk


menghitung pemakaian antibiotic yang dinyatakan sebagai DDD per 100 hari rawat (Box

2.2). berdasarkan instruksi yang terdapat pada worksheet ketiga ABC Calc, jumlah total

satuan gram (ESGAP, 2006).

Box 2.2 rumus DDD per 100 hari rawat (ESGAP,2006)

(gram perunit dose ∗ number unit doses per packages ∗ number packages) ∗ 100
ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟 100 𝑟𝑎𝑤𝑎𝑡 =
DDD WHO 2006(g) ∗ population 365 (hari)

nilai population diperoleh dari jumlah tempat tidur di rumah sakit dikalikan dengan
bed occupancy rate(BOR).

Pada saat ini ABC Calc hanya menghitung penggunaan antibiotic sistemik yang merupakan
kelompok J01 dalam penggolongan Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification
System. Kelompok J01 dalam penggolongan ATC Classification System terdiri dari J01A
Tetracyclines; J01B Amphenicols; J01C Beta-lactam antibacterials,penicillins; J01D Other
beta-lactam antibacterials; J01E Sulfonamides and trimethoprim; J01F Macrolides,
lincosamides and streptogramins; J01G Aminoglycoside antibacterials; J01M Quinolone
antibacterials; J01X Other antibacterials(ESGAP,2006).

2.3 TINJAUAN TENTANG RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK

2.3.1 Defenisi Resistensi Bakteri

Resistensi bakteri terhadap antibiotic didefenisikan sebagai kemampuan suatu bakteri


untuk bertahan terhadap efek suatau antibiotic yang mampu menghambat atau mematikan
pertumbuhan bakteri bagi sebagian besar anggota spesiesnya (Newman,2000).

2.3.2 Uji Kepekaan Bakteri

Uji kepekaan bakteri terhadap antibiotic dapat dilakukan dengan uji difusi atau uji
dilusi. Pada uji difusi yang diamati adalah zona hambatan pertumbuhan bakteri. Diameter
zona hambatan yang teramati akan dibandingkan dengan nilai pada tabel baku untuk setiap
antibiotic. Jika diameter zona hambatan lebih kecil dari nilai tabel baku maka bakteri
tersebut dinyatakan resistensi terhadap antibiotic. Apabila diameter zona hambatan berada
dalam rentang nilai baku maka bakteri tersebut memiliki kepekaan yang bersifat intermediate,
dan jika diameter zona hambatan lebih besar dari nilai tabel baku maka bakteri tersebut
dinyatakan sensitive terhadap antibiotic ( Vandepitte,2003). Pengukuran zona hambatan
dapat dilakukan secara manual dan otomatis. Pengukuran secara manual menggunakan
jangka sorong, sedangkan pengukuran secara otomatis dengan menggunakan Oxoid aura
image system(Lestari et al., 2008).

Uji dilusi digunakan untuk mengetahui nilai minimum inhibitory concentration(MIC) dan
minimum cidal concentration (MCC). Nilai MIC dan MCC akan dibandingkan dengan nilai
konsentrasi antibiotic dalam darah atau cairan tubuh yang menghasilkan respon klinik.
Apabila nilai MIC atau MCC antibiotic lebih rendah dibandingkan dengan nilai standar,
maka sensitivitas daribakteri akan semakin besar. Bakteri dinyatakan resisten jika nilai MIC
dan MCCantibiotik lebih besar dari nilai standar ( Vandepitte,2003).

2.3.3 penyebab dan mekanisme resistensi bakteri

Menurut WHO, terdapat berbagai macam faktor yang mendorong laju resistensi bakteri
terhadap antibiotic, antara laian: pola penggunaan dan peresepan antibiotic yang tidak tepat,
serta kurangnya system pengawasan dan pengendalian penggunaan antibiotic (WHO,2001).

Penggunaan antibiotic yang tepat merupakan kunci untuk mengendalikan penyebaran


bakteri yang resisten terhadap antibiotic. Penggunaan antibiotic yang sesuai dengan pedoman
dapat menurunkan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotic(Lee et al., 2010). Walaupun
demikian , terjadinya penurunan resistensi bakteri berkat penurunan penggunaan antibiotic
lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan resistensi bakteri (Austin et al., 1999).
Penggunaan dan peresepan antibiotic yang tidak tepat dan tidak terkontrol menyebabkan
peningkatan jumlah dan jenis bakteri yang resistensi terhadap antibiotic. Faktor penggunaan
antibiotic yang dapat mempengaruhi terjadinya resistensi bakteri antara lain

; jenis antibiotic yang digunakan, jumlah penggunaan antibiotic, dosis ,lama pemberian, rute
pemberian, dan interval waktu pemberian antibiotic( Rogues et al., 2007; Chuna , 2011;
WHO Media Centre 2011). Menurut Chuna (2011) terdapat dua jenis antibiotic berdasarkan
“resistance potensial’, yaitu antibiotic high resistance potential yang dapat menyebabkan
resistensi walaupun digunakan dalam jumlah kecil dalam waktu dua tahun dan low resistance
potential yang memiliki kemampuan rendah untuk menimbulkan resistensi dalam waktu dua
tahun.

Jumlah penggunaan antibiotic juga merupakan salah satu faktor penyebab resistensi bakteri,
meskipun hubungan antara kedua hal tersebut sangat kompleks karena dipengaruhi oleh
berbagai faktor(Lai et al., 2011; Miliani et al ., 2011).

Resistensi bakteri terhadap antibiotic terjadi di berbagai Negara maju dan berkembang.
Resistensi bakteri di Negara maju cenderung diakibatkan oleh pemakaian antibiotic golongan
terbaru yang tidak rasional, sedangkan dinegara berkembang cenderung diakibatkan oleh
pemakaian antibiotic spectrum luas yang tidak rasional (Marjadi, 2009). Selain penggunaan
antibiotic yang tidak tepat,kurangnya system pengawasan dan pengendalian penggunaan
antibiotic juga dapat mendorong penyebaran bakteri yang resistensi terhadap antibiotic.
Pengendalian dan pengawasan terhadap penggunaan antibiotic di Negara maju selalu
dilakukan secara periodic, sedangkan pengendalian dan pengawasan di Negara berkembang
sangat kurang( van Dijk et al., 2011).

Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotic berbeda-beda tergantung jenis bakteri.


Terdapat berbagai macam mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotic, yaitu:

 Menghasilkan enzim yang menginaktivasi atau memodifikasi antibiotic, seperti beta-


laktamase dan aminoglikosidase.
 Mengubah target kerja obat pada bakteri sehingga menyebabkan penurunan ikatan
antibiotic pada sisi target.
 Menurunkan permeabilitas dinding sel bakteri sehingga antibiotic tidak dapat masuk
kedalam sel bakteri( Galley, 2001; Tenover,2006).

2.3.4 dampak resistensi terhadap antibiotic

Jenis bakteri yang resistensi terhadap antibiotic yang sering dijumpai dirumah sakit antara
lain: E. Coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, acinetobacter baumannii,
Enterococcus spp, S. aureus, dan staphylococci koagulase negative (Tenover,2006;
Moellering, 2007). Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan kegagalan pengobatan yang
berakibat fatal, terutama pada pasien dengan kondidi kritis (Tenover , 2006). Beberapa jenis
bakteri resistensi terhadap beberapa jenis antibiotic sekaligus, dan dikenal dengan istilah
bakteri multiresisten. Jenis bakteri multiresisten antara lain: A. baumanni, E.coli, dan
S.aureus(Tenover, 2006; Mollering, 2007).

MRSA dan vancomycin-resistant enterococi (VRE) merupakan jenis bakteri resisten


yang menjadi perhatian khusus karena menyebabkan peningkatan mortalitas(Lai et al, 2011).
MRSA merupakan bakteri S.aureus yang resisten terhadap metisilin. MRSA pertama kali
ditemukan di inggris pada tahun 1961 dan saat ini telah menyebar luas di seluruh dunia.
Sekitar 60% infeksi S. aureus di intensive care unit (ICU) resisten terhadap metisilin dan
menyebabkan 18.650 kematian di amerika Serikat pada tahun 2005 (Capriotti, 2007;
Ohlsen,2009). Terdapat dua tipe MRSA, yaitu community acquired MRSA (CA-MRSA)
yang ditemukan di komunitas dan healthcare-associated MRSA (HA-MRSA) yang
ditemukan dirumah sakit . insiden infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh CA-
MRSA meningkat dari 21% pada tahun 2001 menjadi 64% pada tahun 2005 di Los Angeles.
Antibiotik yang dapat digunakan untuk eradikasi MRSA adalah vankomisin dan antibiotic
golongan glikopeptida (Capriotti,2007).

Anda mungkin juga menyukai