Anda di halaman 1dari 28

A.

PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan eloktrolit, menyebabkan
uremia (retensi urin dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner dan Suddart,
2010).
Menurut Mansjoeri, 2009 gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal
yang bersifat persisten dan irreversibel sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu
penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan,
sedang dan berat.
Menurut Smetlzer, 2010 chronic kidney disease adalah gangguan fungsi ginjal
yang progresif yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, sehingga timbul gejala uremia yaitu
retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
B. ANATOMI FISIOLOGI

Ginjal merupakan sepasang organ berbentuk seperti kacang buncis berwarna coklat
agak kemerahan, panjangnya sekitar 12,5 cm dan tebalnya 2,5 cm (kurang lebih sebesar
kepalan tangan). Setiap ginjal memiliki berat antara 125 – 175 gr pada laki-laki dan 115-155
gr pada perempuan.Ginjal terletak di area yang tinggi, yaitu pada dinding abdomen posterior
yang berdekatan dengan dua pasang iga terakhir. Organ ini merupakan
organ retroperitoneal dan terletak di antara otot-otot punggung dan peritoneum rongga
abdomen atas. Tiap tiap ginjal memiliki sebuah kelenjar adrenal di atasnya. Dalam kondisi
normal ginjal kiri lebih tinggi 1,5 sampai 2 cm dari ginjal kanan karena posisi anatomi hati.

1
Fungsi Ginjal yaitu pengeluaran zat sisa organik, pengaturan kosentrasi ion – ion
penting, pengaturan keseimbangan asam basa tubuh, pengaturan produksi sel darah merah,
pengaturan tekanan darah, pengendalian terbatas terhadap kosentrasi glukosa darah dan asam
amino darah, pengeluaran zat sisa beracun.
1. Jaringan ikat pembungkus
Setiap ginjal di selubungi 3 jaringan ikat.
a. Fasia renal, adalah pembungkus terluar. Pembungkus ini melabuhkan ginjal pada
struktur di sekitarnya dan mempertahankan posisi organ.
b. Lemak perirenal, adalah jaringan adipose yang terbungkus fasia ginjal. Jaringan
ini membantali ginjal dan membantu organ tetap pada posisinya.
c. Kapsul fibrosa (Ginjal), adalah membrane halus transparan yang langsung
membungkus ginjal dan dengan dapat mudah di lepas.
2. Struktur ginjal
Struktur ginjal meliputi :
a. Hilus (hilum) adalah tingkat kecekungan tepi medial ginjal.
b. Sinus Ginjal adalah rongga berisi lemak yang membuka pada hilus. Sinus ini
membentuk perlebatan untuk jalan masuk dan keluar ureter, vena dan arteri
renalis, saraf dan limpatik.
c. Pelvis Ginjal adalah perluasan ujung proksimal ureter. Ujung ini perlanjut
menjadi 2-3 kaliks mayor, yaitu rongga yang mencapai glandular, bagian
penghasil urine pada ginjal. Setiap kaliks mayor bercabang menjadi
beberapa(8-18) kaliks minor.
d. Parenkin Ginjal, adalah jaringan ginjal yang menyeubungi struktur sinus
ginjal. Jaringan ini terbagi menjadi medula dalam dan korteks luar.
e. Medula terdiri dari masa-masa triangular yang disebut piramida ginjal. Ujung
yang sempit dari setiap piramida, papilla, masuk dengan pas dalam kaliks
minur dan di tembus mulut duktus pengumpul urine.
f. Korteks tersusun dari tubulus dan pembuluh darah nefron yang merupakan
unit structural dan fungsional ginjal. Korteks terletak di dalam di antara
piramida-piramida medulla yang bersebelahan untuk membentuk kolumna
ginjal yang terdiri dari tubulus-tubulus pengumpul yang mengalir ke dalam
duktus pengumpul.Ginjal terbagi-bagi lagi menjadi lobus ginjal. Setiap lobus
terdiri dari satu piramida ginjal, kolumna yang saling berdekatan, dan jaringan
korteks yang melapisinya.
C. KLAIFIKASI
Chronic kidney disease pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan
chronic renal failure, namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka
untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, karena dengan CKD di bagi 5
grade, dengan harapan klien pada kasus secara dini, karena dengan CKD di bagi 5
grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage-stage awal yaitu 1 dan

2
2. Secara konsep CKD, untuk menentukan derajat menggunakan terminalogi CCT
(clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. Sedangkan CRF
(chronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum di tentukan klien datang dengan
derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF:
1. Gagal ginjal kronik/chronic renal failure dibagi 3 stadium
1) Stadium 1: penurunan cadangan ginjal
a. Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b. Asimtomatik
c. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
2) Stadium II: insufiensi ginjal
a. Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
b. Kadar kreatinin serum meningkat
c. Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
a. Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
b. Sedang
15% - 40% fungsi ginjal normal
c. Berat
2% - 20% fungsi ginjal normal
3) Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
a. Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
b. Ginjal sudah tidak dapat menjaga hemeostatis cairan dan elektrolit
c. Air kemih isoosmotis dengan plasma dengan bunyi jantung 1,010

3
Klasifikasi CKD (Chronic Kidney Disease) berdasarkan laju filtrasi glomerulus

Stadium Gambaran kerusakan ginjal GFR (ml/min/1,73 m2)

1 Normal atau elevated GFR ≥ 90

2 Mild decrease in GFR 60-89

3 Moderate decrease in GFR 30-59

4 Severe decrease in GFR 15-29

5 Requires dialysis ≤ 15

D. ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan parenkim ginjal difus dan bilateral
1. Infeksi, misalnya pielonofritis kronik
2. Penyakit vaskuler hipertensi, misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteri renalis.
3. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli
arteritis nodusa, sklerosis sistemik progresif.
4. Penyakit metabolik seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
5. Nefropati toksik, misalnya penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
6. Nefropati obstruktif
a. Saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Saluran kemih bagian bawah: hipertrofi prostale, striktur uretra anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

E. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerus dan
tubulus) di duga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron –
nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorbsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron – nefron rusak beban
bahan yang harus di larut menjadi lebih besar dari pada yang bisa direabsorbsi
berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron
4
yang rusak bertambah banyak oliguriatimbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala – gejala khas kegagalan ginjal bila kira – kira fungsi ginjal telah
hilang 80 – 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah. Fungsi renal menurun, produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya dieksresikan ke dalam urin) tertimbun dalam
darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
tertimbun produk sampah akan semakin berat.

5
F. PATHWAY
Infeksi Obat – obatan
Vaskular
toksik
Fungsi ginjal
Arteroslerosis Memperberat
Sebagian dari kerja ginjal
nefron rusak
Suplai darah ke Penumpukan
ginjal turun Kerja nefron lainnya cairan di ginjal

Diuretik osmosis

Kerusakan nefron

Fungsi dlm filtrasi

CKD

Penurunan produksi Sekresi protein Retensi


Retensi urin
eritropoitin terganggu natrium

Penumpu
kan urin
Defesiensi Urea, kreatinin Tekanan
di VU
eritropoetin kapiler

Tekanan
Alirah darah
Produksi HB dlm VU Edema
tidak sampai
otak
Merangsang
Suplai O2 SSP
Kelebihan
Penurunan
volume cairan
Sianosis Nyeri kesadaran
Kompensa
si tubuh kelemahan
Ganggua
n perfusi Gangguan perfusi
jaringan jaringan serebral
sesak
perifer
Intoleransi
Pola nafas aktivitas
tidak efektif

6
G. MANIFESTASI KLINIS
1. Kardiovaskuler
Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis pitting edema
(kaki, tangan, sacrum) edema periorbital friction rub pericardial, pembesaran vena
leher.
2. Dermatologi
Warna kulit abu – abu mengkilat, kulit kering bersisik pruritus, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh rambut tipis dan kasar.
3. Pulmoner
Krekels, sputum kental, dan lihat pernafasan kusmaul
4. Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau ammonia, ulserasi, dan
pendarahan saluran cerna, konstipasi, diare, dan perdarahan mulut.
5. Neurologi
Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, dan keletihan konfusi/perubahan tingkat
kesadaran disorentasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
6. Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, kelemahan pada tingkat fraktur tulang (Smeltzer
dan Bare, 2010)
H. KOMPLIKASI
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung akibat retensi produksi
sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfusio system renin-
angiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin gastrointestinal, penurunan usia sela darah
merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin DNA kehilangan darah
selama hemodialisa.
5. Penyakit tulang beserta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6. Asidosis metabolik
7. Osteodistropi ginjal
8. Sepsis

7
9. Neuropati perifer
10. Hipeuremia.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
1) Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
a. Ureum kreatinin
b. Asam urat serum
2) Identifikasi etiologi gagal ginjal
a. Analisis urin rutin
b. Mikrobiologi urin
c. Kimia darah
d. Elektrolit
e. Imunodiagnosis
3) Identifikasi perjalanan penyakit
a. Progresifitas penurunan fungsi ginjal
b. Ureum kreatinin, Clearens Creatinin Test (CCT)
c. Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk ginjal,
misalnya: infrak miokard
2. Diagnostik
1) Etilogi CKD dan terminal
a. Foto polos abdomen
b. USG
c. Nefrotogram
d. Pielografi retrograde
e. Mictuating Cysto Urography (MCU)
2) Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
a. Retrogram
b. USG
J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap CKD meliputi:
1. Retriksi konsumsi cairan, protein dan fosfot.
2. Obat – obatan diuretik untuk meningkatkan urinasi: almunium hidroksida untuk
terapi hiperfosfatemia: anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta di beri obat
yang dapat menstimulasib produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.

8
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal.
5. Terapi konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic Renal Disease
(CKD) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif:
a. Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi
b. Meringankan keluhan – keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
c. Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
d. Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
6. Terapi non farmakologi
a. Diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam
b. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
c. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit.
d. Kontrol berat badan
e. Kontrol antara intak dan output cairan
f. Lakukan mobilisasi ringan setiap hari secara rutin.
g. Berikan kompres hangat jika terjadi oedem ekstermitas
K. PROGNOSIS
Prognosis dengan pasien penyakit ginjal kronis di jaga sebagai data
epidemologi telah menunjukkan bahwa menyebabkan semua kematian. Meningkatkan
sebagai penurunan fungsi ginjal. Penyebab penurunan fungsi ginjal utama adalah
penyakit jantung, terlepas dari apakah ada perkembangan ke tahap 5.
Sementara terapi pengganti ginjal dapat mempertahankan pasien tanpa batas
waktu dan memperpanjang kehidupan, kualitas hidup adalah sangat terpengaruh ginjal
transplantasi meningkatkan kelangsungan hidup pasien stadium 5 CKD signifikan bila
dibandingkan dengan terapi pilihan. Namun, hal ini terkait dengan mortalitas jangka
pendek meningkat, transplantasi samping, intensitas tinggi rumah hemodialisa muncul
terkait dengan kelangsungan hidup baik dan yang lebih besar. Jika dibandingkan
dengan tiga kali seminggu konvensi, anal hemodialisa dialisis peritoneal.

9
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Pengumpulan data
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosa
medik
2) Keluhan utama
Keluhan utama ditunjukkan untuk menggali masalah atau keluhan-keluhan yang
dialami oleh pasien
3) Riwayat Penyakit Keluarga
Ditunjukkan pada pengkajian yang diderita yang merupakan resiko tinggi
terhadap penyakit gagal ginjal kronik
2. Pola kehidupan sehari-hari
1) Pola nutrisi
Untuk mengetahui tingkat pemenuhan gizi sudah terpenuhi atau belum,
berlebihan atau kekurangan, yang makanannya terpenuhi akan ada kenaikan BB.
2) Pola eliminasi
Dikaji BAK dan BAB, biasanya BAK pasien tergantung intak cairan yang
diminum, tetapi sebaliknya biasanya pasien mengeluh sukar BAB, karena
menurunnya tonus otot.
3) Pola hygiene
Hal ini dikaji karena pola pemenuhan aktivitas dan istirahat tidak terpenuhi
dapat menyebabkan komplikasi.
4) Pola aktivitas
Hal ini dikaji karena pola pemenuhan aktivitas dan istirahat tidak terpenuhi
dapat menyebabkan komplikasi.
5) Pola istirahat dan tidur
Untuk mengetahui pola istirahat ibu tersebut kurang atau berlebihan.
6) Pola peran dengan orang lain
Untuk mengetahui apakah pasien dapat beradaptasi dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitar.

10
7) Pola nilai kepercayan dan keyakinan
Untuk mengetahui kemungkinan pengaruh terhadap kebiasaan kesehatan pasien.
8) Pola psikologis
Psikologis yang di kaji adalah pasien dapat menerima dengan kondisi pasien
yang sekarang dengan penyakitnya.

3. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan Kepala
Inspeksi : rambut hitam, tidak rontok, tidak ada kerombe, tidak ada lesi
Palpasi : Tidak ada benjolan
2) Pemeriksaan wajah
Inspeksi : Simetris, tidak ada oedem, pucat
3) Pemeriksaan mata
Inspeksi : Simetris, konjungtiva merah pucat, sklera putih
4) Pemeriksaan dada
Inspeksi : dada simetris, warna kulit sama dengan kulit sekitarnya, tidak ada
lesi, tidak ada oedem
5) Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : warna kulit sama dengan kulit sekitarnya, tidak ada lesi, tidak ada
oedem
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hepar
Auskultasi : observasi bissing usus
B. Diagnosa
1. Pola nafas inefektif b.d suplai O2 keparu menurun
2. Penurunan perfusi jaringan serebral b.d penurunan kesadaran
3. Kelebihan volume cairan b.d retensi natrium
4. Intoleransi akvitas b.d kelemahan
C. Intervensi
1. Diagnosa : pola nafas inefektif b.d suplai O2 keparu menurun
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 1 x 24 jam pasien mengalami perbaikan
status pernafasan.
Kriteria hasil : - Keadaan umum baik
- RR dalam batas normal 12 – 24 x/menit
- tidak ada sesak napas

11
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Observasi frekuensi, kedalaman dan upaya pernafasan.
R/ pernafasan dangkal atau cepat sehubungan dengan hipoksia atau akumulasi cairan
2. Observasi TTV
R/ untuk mengetahui perkembangan TTV pasien
3. Pertahankan pemakaian oksigen dengan masker
R/ untuk mengobati atau mencegah hipoksia
4. Posisikan pasien semi fowler
R/ memudahkan pernafasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma dan
meminimalkan ukuran aspirasi secret
5. Kolaborasi dengan dokter pemberian obat
R/ untuk mengurangi akumulasi secret

2. Diagnosa : penurunan perfusi jaringan serebral b.d penurunan kesadaran


Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam perfusi
jaringan serebral tidak terganggu, pasien sadar.
Kriteria Hasil : - tingkat kesadaran membaik
- GCS 4-5-6
- k/u membaik
- TTV dalam batas normal
- tidak terpasang oksigen
Intervensi :
1. BHSP pada pasien
R/ membina hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien dan keluarga
pasien
2. Observasi TTV
R/ untuk mengetahui perkembangan TTV pasien
3. Observasi dan catat status neurologis
R/ mengetahui perkembangan tingkat kesadaran
4. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
R/ untuk membuat kondisi lebih baik

12
3. Diagnosa : kelebihan volume cairan b.d retensi natrium
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam
intak dan output seimbang
Kriteria Hasil : - BB ideal
- TTV dalam batas normal
- Tidak ada edema
Intervensi :
1. Catat intake dan output cairan
R/ menunjukkan status perpindahan cairan dan respon terhadap terapi.
2. Kaji tekanan darah
R/ peningkatan tekanan darah biasanya berhubungan dengan kelebihan volume
cairan
3. Batasi masukan cairan
R/ Menentukan berat badan ideal, keluaran urin dan respon terhadap terapi.
4. Diagnosa : intoleransi aktivitas b.d kelemahan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam
intoleransi aktivitas dapat teratasi.
Kriteria Hasil : - K/U membaik
- dapat beraktivitas kembali
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji tingkat aktivitas pasien
R/ mengetahui tingkat kemampuan dalam memenuhi kebutuhan ADL
2. Lakukan mobilisasi miring kanan dan kiri
R/ mobilisasi pasien untuk mencegah terjadinya dekubitus
3. Libatkan keluarga dalam perawatan mobilitas fisik
R/ partisipasi keluarga dapat membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
mobilitasnya

13
KONSEP HEMODIALISA

A. Pengertian
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau
pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (DR. Nursalam M.
Nurs, 2006)
Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat
beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membrane
yang selektif-permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak
dikehendaki terjadi.Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa
bentuk keracunan (Christin Brooker, 2008).
Dialisis adalah proses yang menggantikan secara fungsional pada gangguan
fungsi ginjal dengan membuang kelebihan cairan dan akumulasi toksin endogen atau
eksogen. Dialisis paling sering digunakan untuk pasien dengan penyakit ginjal akut
atau kronis (tahap akhir) (Doenges, 2010)
B. Prinsip Kerja / Mekanisme Hemodialisis
Mekanisme pemisahan zat – zat terlarut pada hemodialisis terjadi secara difusi dan
ultrafiltrasi.
1) Secara difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut. Molekul zat
terlarut dari kompartemen darah akan berpindah kedalam kompartemen dialisat
setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati membran semipermiabel
demikian juga sebaliknya. Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami
perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi
kearah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama dikedua
kompartemen (dari yang konsentrasi tinggi kekonsentrasi rendah)
2) Secara ultrafiltrasi
Pemisahan cairan dialisis dan darah dilakukan dengan prinsip perbedaan tekanan.
Tiga tipe dari tekanan yng dapat terjadi pada membrane adalah:
a) Tekanan positif
Tekanan positif merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi akibat cairan
dalam membrane.Pada dialysis hal ini dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan

14
resistensi vena terhadap darah yang mengalir balik kefistula. Tekanan positif
“mendorong“ cairan menyeberangi membrane
b) Tekanan negative
Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari luar membrane
oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane. Tekanan negative “menarik “
cairan keluar dari darah
c) Tekanan Osmotik
Tekanan Osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan dalam larutan yang
berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut dalam larutan tersebut. Larutan
dengan kadar zat terlarut tinggi akan menarik cairan dari larutan lain yang
konsentrasinya lebih rendah sehingga menyebabkan membrane permiabel
terhadap air (dari konsentrasi rendah kekonsentrasi tinggi). Dimisalkan ada 2
larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran semipermiabel, bila larutan
“B” mengandung lebih banyak jumlah partikel dibanding “A” maka
konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding konsentrasi larutan “A”.
Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan
sekaligus akan membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil
dan permiabel terhadap membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua
bagian menjadi sama.
C. Tujuan Hemodilisa
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan
D. Indikasi dan kontra indikasi hemodialisa
1) Klien dengan syndrome uremik/azotemia (gagal ginjal akut dan kronik), ureum >
200 mg/dl dan kreatinin > 1,5 mg/dl
2) Hiperkalemia, kadar kalium > 5,0 mEq/L
3) Asidosis, pH darah < 7,1
4) Kelebihan cairan
5) Dehidrasi berat
6) Keracunan barbiturate
7) Leptospirosis
E. Kontraindikasi :
Kontraindikasi untuk dialisa menurut PERNEFRI (2003: 290), antara lain :

15
1) Tidak mungkin didapatkan akses vaskular pada hemodialisa atau terdapat
gangguan di rongga peritoneum pada CAPD ( Contious Ambulatory peritoneal
Dialysis).
2) Dialisa tidak dapat dilakukan pada keadaan :
a) Akses vaskular sulit.
b) Instabilitas hemodinamik.
c) Koagulopati.
d) Penyakit Alzheier.
e) Dementia multi infark.
f) Sindrom hepatorenal.
g) Sirosis hati berlanjut dengan enselopati.
h) Keganasan lanjut.
F. Proses Hemodialisa
1) Persiapan
a) Persiapan alat
(1) Dialiser (ginjal buatan)
(2) AVBL
(3) Set Infus
(4) NaCl (cairan fisiologis) (2-3 fflashf)
(5) Spuit ,5 cc, 20 cc, 3
(6) Heparin injeksi (+ 2000 Unit)
(7) Jarum punksi
(8) Jarum metal (AV. Fistula G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inch.
(9) Jarum dengan katheter (IV Catheter G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inchi.
(10) Penapung cairan (Wadah)
(11) Anestesi local (lidocain, procain
(12) Kapas Alkohol
(13) Kassa
(14) Desinfektan (alcohol bethadin)
(15) Klem arteri (mosquito) 2 buah.
(16) Klem desinfektan
(17) Bak kecil + mangkuk kecil
(18) Duk (biasa, split, bolong)

16
(19) Sarung tangan
(20) Plester
(21) Pengalas karet atau plastik
b) Persiapan lingkungan
(1) Lingkungan disiapkan agar nyaman dan tenang
(2) Jaga privacy klien
(3) Atur tempat tidur sesuai dengan kenyamanan pasien
c) Persiapan Klien
(1) Jelaskan prosedur tindakan hemodialisis
(2) Timbang berat badan klien
(3) Anjurkan pasien mencuci tangan
(4) Atur posisi klien agar memudahkan tindakan dan nyaman untuk klien
(5) Observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum
d) Persiapan perawat
(1) Perawat membaca order atau catatan medik klien
(2) Perawat mencuci tangan
(3) Perawat memakai sarung tangan dan masker.
3) Prosedur Tindakan
Penatalaksanaan hemodialisis dibagi dalam tiga tahap yaitu :
Perawatan Sebelum Hemodialisa
a) Menyiapkan mesin hemodialisis
(1) Sambungkan slang air dari mesin hemodialisis
(2) Kran air dibuka
(3) Pastikan slang pembuang air dari mesin hemodialisis sudah masuk
kelubang/saluran pembuangan.
(4) Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak (sebelumnya periksa
voltage listrik).
(5) Hidupkan mesin dengan menekan tombol on yang ada dibelakang mesin.
(6) Jelaskan mesin pada posisi rinse selama + 20 menit (sesuai program
penggunaan mesin).
(7) Matikan mesin hemodialisis
(8) Masukkan slang dialisat kedalam jerigen dialisat pekat.

17
(9) Sambungkan slang dialisat dengan konector yang ada pada mesin
hemodialisis
(10) Hidupkan mesin dengan posisi normal (siapkan)
b) Menyiapkan sirkulasi darah :
(1) Bukalah alat-alat dialysis dari setnya.
(2) Tempatkan dializer pada holder (tempatnya) dengan posisi “inlet” (tanda
merah) diatas dan posisi “outlet” (tanda biru) dibawah.
(3) Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung “inlet” dari dializer.
(4) Hubungkan ujung biru dari VBL dengan ujung “outlet: dari dializer dan
tempatkan bubble trap diholder dengan posisi tegak.
(5) Set infuse ke botol aCL 0,.9% - 500 cc
(6) Hubungkan set infuse keselang arteri.
(7) Bukalah klem NaCl 0.9%, isi selang arteri sampai keujung selang lalu
klem.
(8) Tempatkan ujung biru VBL pada maatkan dan hindakan kontaminasi.
(9) Memutar letak dializer dengan posisi “inlet” dibawah dan “outlet” diatas,
tujuannya gar dializer bebas dari udara.
(10) Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
(11) Buka klem dari infuse set, ABL, VBL
(12) Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/menit,
kemudian naikkan secara bertahap sampai dengan 200 ml/menit.
(13) Isi bubble trap dengan NaCl 0.9% sampai ¾ bagian
(14) Memberikan tekanan secara intermiten pada VBL untuk mengeluarkan
udara dari dalam dializer, dilakukan sampai dializer bebas udara (tekanan tidak
lebih dari 200 mmHg).
(15) Melakukan pembilasan dan pengisian dengan menggunakan NaCL 0.9%
sebanyak 500 CC yang terdapat pada botol (Kolf), sisanya tampung dalam
gelas ukur.
(16) Ganti kolf NaCL 0.9% yang kosong dengan kolf NaCL 0.9% baru.
(17) Sambung ujung biru VBL dan ujung merah ABL dengan menggunakan
konektor.

18
(18) Menghidupkan pompa darah selama 10 menit untuk dializer baru, 15-20
menit untuk dializer reuse dengan aliran 200-250 ml/menit, berikan UFR 0.8 –
1.0
(19) Mengembalikan posisi dializer ke posisi semula, dimana “inlet” dialisat
selama 5-10 menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
c) Punksi Cimino/Graft
(1) Persiapan alat-alat
(a) 1 buah set steril dialysis terdiri dari :
- Kain alas dan set steril kain 1 buah
- Kassa 5 buah, tuffer 1 buah
- 1 buah mangkok kecil berisi NaCL 0.9%
- 1 pasang sarung tangan
- 1 buah 5 cc berisi NaCL 0.9%
- 2 buah AV fistula
(b) 2 buah mangkok steril berisi betadin dan alcohol
(c) Masker dan apron
(d) Plester / micropore
(e) 1 buah gelas ukur
(f) Arteri klem
(g) Plastic untuk alat kotor
(h) Trolly
(2) Memulai desinfektan caranya :
(a) Jepitlah tuffer betrdine dengan arteri klem, oleskan daerah cimino dan
vena lain dengan cara memutar dari dalam ke luar.
(b) Masukkan tuffer kedalam kantong plastic.
(c) Jepitlah kassa alcohol dengan arteri klem, bersihkan daerah cimino dan
vena lain caranya sama seperti diatas.
(d) Lakukan sampai bersih
(e) Letakkan kassa kotor pada plastic, sedangkan klem arteri letakkan
pada gelas ukur.
(f) Letakkan kain alas steril dibawah tangan
(g) Letakkan kain belah steril diatas tangan.

19
(3) Memasukkan jarum AV Fistula :
(a) Masukkan jarum AV Fistula pada tusukan yang telah dibuat pada saat
pemberian anestesi lokal (cimino)
(b) Setelah darah keluar isaplah dengan spuit 5 ml dan bilas kembali
dengan NaCL 0.9% secukupnya.
(c) AV Fistula diklem, spuit 5 ml dilepaskan, ujung AV Fistula ditutup,
tempat tusukan difikasi dengan micropore/plester.
(d) Masukkan jarum AV Fistula pada vena lain, sesuai pada tempat
pemberian anestesi lokal caranya sama seperti diatas pada no. A
(e) Tinggalkan kain alas steril dibawah tangan pasien, sebagai alas dan
penutup selama proses dialysis berlangsung.
(f) Alat kotor masukkan ke dalam plastic, sedangkan alat-alat yang dapat
dipakai kembali dibawa ke ruang disposal.
(g) Bedakan dengan alat-alat yang terkontaminasi.
(h) Bersihkan dari darah, masukkan ke kantong plastik.
G. Memulai Pelaksanaan Hemodialisis
a) Lakukan tindakan aseptik dan anti-septik dengan membersihkan tempat
yang akan dilakukan penusukkan dengan betadine 10%, kemudian
dibersihkan dengan alcohol 70%.
b) Depper dan kassa yang telah dipakai, dibuang ketempat sampah yang
telah disediakan.
c) Cari daerah yang lebih mudah dilakukan penusukkan.
d) Jarak penusukkan pertama kali pada daerah vena (outlet) disertai
pemberian loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
e) Lakukan penusukan pertama kali pada daerah vena (outlet0 disertai
pemberian loading heparin 1000 IU/sesuai dosis.
f) Kemudian dilakukan penusukkan pada daerah “inlet” dengan ABL (arteri
blood line) dan dijalankan blood pump dengan kecepatan mulai dari 100
ml/menit sampai seluruh blood line (baik ABL maupun VBL) terisi penuh,
baru disambungkan dengan bagian jarum fistula “outlet”.
g) Jalankan lagi blood pump perlahan-lahan sampai 200 ml/menit, setelah
itu mulailah pemasangan sensor dan batasan minimal dan maksimal baik
pada blood monitoring maupun dialisat monitoring.

20
h) Kemudian set mesin hemodialisis sesuai program HD masing-masing
pasien.
i) Matikan (tutup) klem infuse NaCL.
j) Sambungkan jarum AV Fistula dengan selang arteri, bersihkan kedua
sambungan dengan kassa betadine.
k) Bukalah masing-masing klem pada AV Fistula dengan aterial
H. Mulai dialysis berjalan :
a) Hidupkan pump, mulailah putar dari 100 ml/menit, dinaikkan secara
bertahap sampai batas maksimal.
b) Mengalirkan darah untuk mengisi selang arterial dan dialiser.
c) Perhatikan aliran darah pada cimino/graft apakah lancar.
d) Jika aliran darah tersendat-sendat,cobalah memutar posisi jarum AV
Fistula secara perlahan-lahan sampai aliran darah lancar.
e) Darah pada bubble trap tidak boleh penuh/kosong, sebaiknya ¾ bagian.
f) Tekan tombol start heparin
g) Mengatur kecepatan pemberian, heparin selama dialysis berlangsung
h) Bukalah klem pada selang urea, sebagai venous pressure.
i) Tekan tombol start sambil melihat jam, tanda proses dializer dimulai.
j) Putar tombol UF, tertekan UF yang dihitung.
k) Fiksasi pada sambungan antara AV Fistula dengan selang darah.
I. Pengawasan selama hemodialisis berlangsung
a) Observasi tanda-tanda vital tiap jam, tensi dan nadi, kemungkinan
komplikasi selama HD : mual, kram otot dan keluhan lain. kecuali
keadaan pasien jelek, obersvasi sesuai dengan kebutuhan :
(1) Jika pasien sesak, hitung pernafasan.
(2) Jika pasien demam, ukur suhu badan
b) Menjaga ketepatan pencatatan dalam lembaran dialysis
c) Pengawasan Mesin :
Pengawasan sirkulasi darah diluar ekstrakorporeal blood monitoring :
- Pengawasan kecepatan aliran darah
- Pengawasan terhadap tekanan :
Arteri : Bila alarm berbunyi pada aterial druk berarti tekanan darah
rendah, lihat aliran darah pada “inlet”.

21
Venous pressure : dilihat dari indikator (hati-hati bila tinggi), bila
tinggi periksa “outlet”, bila rendah periksa sensor vena.
d) Pengawasan heparin pump.
e) Pengawasan terhadap sirkulasi dialisat monitoring
(1)Kebocoran dializer (blood leak)
(2)Low temperature atau high temperature
(3)Low conductivity atau high conductivity
(4)Transmembrane pressure
(5)Positive pressure
f) Perhatikan kelancaran aliran darah pada cimino/graft.
g) Perhatikan sambungan yang terdapat pada :
(1)AV Fistula dengan selang arteri
(2)Selang arteri dengan dializer dan sebaliknya, kalau perlu
dikembangkan.
h) Berikan pasien posisi tidur yang nyaman.
i) Perhatikan edema pada : muka, punggung tangan, asites, mata kaki dan
daerah dorsum pedis :
(1) Jika edema (+) tidak disertai sesak nafas maka lakukan dialysis
sesuai dengan program tarik air (UFG = ultrafiltrasi goal). Cara
perhitungan tarik air : selisih berat badan, dating berat badan standar +
jumlah intake yang masuk (minum, infuse, transfuse dan sonde).
(2) Jika edema ++ atau lebih, dengan disertai sesak nafas maka lakukan
tarik air (sequential ultrafiltrasi) pada awal dialysis.
j) Perhatikan pemakaian oksigen :
(1) Apakah oksigen masih ada (lihat pada jarum petunjuk)
(2) Perhatikan bila pada angka petunjuk oksigen, apakah sudah sesuai
dengan kebutuhan pasien.
k) Perhatikan gambaran EKG monitor, jika ada kelainan direkam dan beritahu
pada dokter yang merawat pasien/dokter jaga.
l) Bantu segala kebutuhan pasien termasuk : makanan, minuman, buang air
dan urinaria.
m) Kaji keluhan pasien, kalau perlu terapi beritahu dokter.
n) Evaluasi hasi tindakan dialysis.

22
o) Tindakan atau obat-obatan yang telah diberikan, catalah dalam catatan
keperawatan.
J. Mengakhiri Dialisis
a) Mengakhiri dialysis:
(1) Hentikan pump heparin dan lepaskan spuit heparin dari tempatnya.
(2) Kecilkan pompa darah (BP) sampai 100 cc dan matikan.
(3) Klem pada AV Fistula dan selang arterial
(4) Lepaskan sambungan AV Fistula dan selang arterial dengan kassa
steril.
b) Membilas AV Fistula :
Gunakan spuit 5 cc berisi NaCL, bilas AV Fistula sampai bersih, lalu
klem kembali dan tutup ujung AV Fistula.
c) Membilas selang darah dan dialiser :
(1) Bilas selang darah dan dialiser dengan NaCL sampai darah tidak ada
lagi.
(2) Jika ada obat-obatan injeksi yang akan diberikan, berikan melalui
selang vena.
(3) Selama pembilasan, gunakan pump dengan kecepatan 100 ml/menit.
(4) Menyelesaikan dialysis
(5) Selang pada vena diklem, lepaskan dari mesin.
(6) Lepaskan semua selang darah dan dialiser dari mesin, masukkan ke
dalam plastik.
d) Melepaskan jarum AV Fistula
(1) Cabut AV Fistula pada cimino dan AV Fistula pada vena lainnya,
masukkan AV Fistula ke dalam plastik.
(2) Tekan bekas tusukan dengan kassa betadine sampai darah tidak
keluar lagi.
(3) Berikan masing-masing bekas tusukan dengan band aid dan balutlah
sesuai dengan kebutuhan, lalu difiksasi dengan micropore.
e) Mengembalikan alat-alat :
(1) Alat instrument yang telah digunakan dipisahkan dibawa ke disposal
room dan dipisahkan dengan alat yang terkontaminasi.
(2) Perawat melepas sarung tangan, masker dan apron.

23
(3) Perawat mencuci tangan.
K. Komplikasi Hemodialisa
a. Hipotensi terjadi ketika cairan dikeluarkan
b. Emboli udara (komplikasi jarang) jika udara memasuki vaskular
pasien
c. Nyeri dada akibat penurunan pCO2 bersamaan dgn terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh
d. Pruritus dapat terjadi ketika produk akhir metabolisme meninggalkan
kulit
e. Ggn keseimbangan dialisis tjd akibat perpindahan cairan serebral dan
munculnya sbg serangan kejang
f. Kram otot dan nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel
g. Mual dan muntah (Smeltzer, 2001:1401).
L. Akses Vascular
Akeses vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik
untuk program HD akut maupun kronik.Tusukan vaskuler merupakan
tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer dan
selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita.Untuk melakukan dialisis
intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan masuk ke sistem
vaskular penderita yang dapat di andalkan.Darah harus dapat keluar
dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200-400
ml/menit.Teknik-teknik akses vaskuler utama untuk hemodialisis
dibedakan menjadi akses eksternal dan akses internal (Price,
1995). Akses vascular sangat diperlukan oleh karena untuk
hemodialisis yang efektif diperlukan aliran darah yang cukup sampai
lebih dari 300 ml/menit dan dapat dipakai berulang kali dalam jangka
waktu yang panjang.
Ada 2 macam akses vascular yaitu :
a. Akses vascular sementara atau kontemporer
b. Akses vascular ini biasanya digunakan pada saat pertama kali
hemodialisis sebelum dibuat akses vascular yang permanent.Akses
vascular sementara umumnya dilakukan dengan menggunakan

24
kateter perkutan kedalam vena jugularis, femoral atau yang saat ini
dihindari adalah pada vena subclavia
Keuntungan akses vascular sementara adalah :
1) Pada vena jugularis interna : dapat digunakan untuk jangka
panjang dengan resiko yang kecil
2) Pada vena femoralis : pemasangan mudah dengan resiko yang
kecil
3) Pada vena subclavia : klien merasa lebih nyaman dan
penggunaanya lebih lama
Kerugian akses vascular sementara adalah :
1) Pada vena jugularis : pemasangan lebih sulit
2) Vena femoral : immobilisasi pasien, resiko infeksi lebih tinggi
3) Vena subclavia : komplikasi stenosis vena dan resiko komplikasi
pemasangan.
c. Akses vascular menetap/permanent
Akses vascular menetap dilakukan dengan membuat fistula
atau hubungan (shunt) antara arteri dengan vena yang biasa disebut AV
shunt. Dapat dilakukan dengan vena dan arteri pasien sendiri, memakai
vena dari tempat lain (native graft) atau dengan bahan buatan (artificial
graft)
AV shunt dilakukan dengan cara menyambung arteri subcutan
dengan vena didekatnya. Vena yang berdinding tipis dialiri oleh darah
arteri yang bertekanan tinggi sehingga aliran darah lebih cepat. Cara
ini sangat sering digunakan dan paling aman, bertahan lama, dan
dengan komplikasi yang minimal (stenosis, infeksi, steal syndrome).
Namun ada beberapa kerugian dari AV shunt yaitu ; memerlukan
waktu cukup lama untuk siap dipakai, cukup sering kegagalan atau
kurang dapat memberikan aliran darah yang cukup pada saat
hemodialisis serta pada klien dengan penyakit vascular yang berat
tidak dapat dilakukan.
Lokasi yang sering digunakan :
1) Pergelangan tangan (fistula radio chepalic/Brescia cimino)
2) Daerah siku/elbow (fistula brachio chepalic)

25
M. Dializer
Komponen ini terdiri dari membran dialiser semipermiabel dengan
lokasi yang tersebar merata yang memisahkan kompartemen darah
dan dialisat.Darah banyak mengandung zat-zat toksik secara
berlebihan sedangkan dialiser tidak mengandung apapun kecuali
elektrolit tertentu.
Ada 3 macam dialiser yaitu :
a. Selulosa yang dibuat dari serat kapas yang diproses
b. Serat selulosa yang dimodifikasi dengan menambah gugus asetat
seperti selulosa diasetat atau triaset
c. Membran sintetis seperti membrane polisulfon, polyacryionitril
(PAN), policarbonat. Dimana membrane ini mempunyai klirens dan
filtrasi yang besar.
Berbagai sifat dari dialiser dipengaruhi oleh:
a. Luas permikaan dialiser
b. Ukuran pori-pori atau kemampuan permeabilitas ketipisannya
c. Koefisian ultrafiltrasi
d. Kemampuan untuk mencegah terjadinya clotting sehingga
pemakaian antikoagulasi yang minimal
e. Harga
N. Dializat
Larutan dialisat biasanya disiapkan dalam bentuk konsentrasi yang
mengandung buffer bikarbonat atau asetat.
a. Dialisat Asetat
Dialisat Asetat masih banyak digunakan untuk dialisat karena
dapat diproduksi dengan mudah dalam kemasan yang
mengandung berbagai macam elemen.Dialisat asetat telah dipakai
secara luas sebagai dialisat standard untuk mengoreksi asidosis
uremikum dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat secara
difusi selama HD. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat
yang cair dan relatif stabil.Dibandingkan dengan dialisat
bikarbonat, maka dialisat asetat harganya lebih murah tetapi efek
sampingnya lebih banyak.Efek samping yang sering seperti mual,

26
muntah, kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan
hemodinamik, hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu,
intoleransi glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin. Kemudian
seiring berkembangnya waktu, larutan bicarbonate lebih banyak
digunakan karena lebih fisiologis, dapat mengontrol asidosis
dengan lebih baik,lebih sedikit menimbulkan efek dan komplikasi.
b. Dialisat Bikarbonat
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu
larutan asam dan larutan bikarbonat.Kalsium dan magnesium
tidak termasuk dalam konsentrat bikarbonat oleh karena
konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium dan bikarbonat
dapat membentuk kalsium dan magnesium karbonat.Larutan
bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba karena
konsentratnya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
bakteri.Kontaminasi ini dapat diminimalisir dengan waktu
penyimpanan yang singkat.Konsentrasi bikarbonat yang tinggi
dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis
metabolik yang akut.Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih
fisiologis walaupun relatif tidak stabil.Biaya untuk sekali HD bila
menggunakan dialisat bikarbonat relatif lebih mahal dibanding
dengan dialisat asetat.
Adapun komposisi dialisat asetat dan bikarbonat adalah sebagai
berikut:
- Natrium = 135 – 145 meg / 1
- Kalium = 0 – 4,0 meg / 1
- Calsium = 2,5 – 3,5 meg / 1
- Magnesium = 0,5 – 2,0 meg / 1
- Khlorida = 98 – 112 meg / 1
- Asetat atau bikarbonat = 33 – 25 meg / 1.
- Dextrose = 2500 mg / 1

27
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 volume 3.
Jakarta: EGC
Carpenito, 2006. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan Masalah Kolaboratif.
Jakarta: EGC
Kasuari, 2012. Asuhan Keperawatan Sistem Pencernaan dan Kardiovaskuler dengan
Pendekatan Patofisiologi. Magelang: Poltekes Semarang.
Mansjoer. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculpius.
Nanda. 2015. Nursing Diagnosis Definition dan Classification. Philadelwia Rab. T. 2008.
Agenda Gawat Darurat. Bandung: PT Alumni.
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005 – 2006. Jakarta: Prima
Medika.
Udjianti. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

28

Anda mungkin juga menyukai