PENDAHULUAN
Tinea cruris merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial
golongan dermatofita yang biasanya terdapat pada kulit tubuh yang tidak berambut.
Penyakit ini disebabkan oleh jamur dermatofita yang umumnya berupa
Microsporum, Trycophyton atau Epidermophyton. Penyebab infeksi dermatofita yang
paling dominan adalah Tricophyton diikuti Epidermophyton dan Microsporum,
dimana yang paling banyak adalah spesies Tricophyton rubrum diikuti
T.mentagrophytes, M. canis dan T.tonsurans1.
Dermatofita merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan untuk
melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang
memungkinkan jamur tersebut untuk berkoloni pada jaringan yang mengandung
keratin, seperti stratum korneum epidermis, rambut dan kuku. Penyakit ini dapat
menyerang semua umur tetapi lebih sering menyerang anak-anak2.
Dermatofitosis adalah salah satu infeksi yang paling sering terjadi di dunia.
Distribusi, spesies penyebab, dan bentuk infeksi yang terjadi bervariasi pada daerah
geografis,lingkungan dan budaya yang berbeda. Dermatofita berkembang pada suhu
25-28⁰ C dan timbulnya infeksi pada kulit manusia didukung oleh kondisi yang panas
dan lembab. Karena alasan ini, infeksi jamur superficial relatif sering pada negara
tropis pada populasi dengan status sosioekonomi rendah yang tinggal di lingkungan
yang sesak dan hygiene yang rendah2.
Dermatofita tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di negara
berkembang. Di Indonesia angka yang akurat mengenai insidensi mikosis
superfisialis belum ada. Insidensi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia
tahun 1998 bervariasi dari yang terendah 2,93% (Semarang) hingga yang tertinggi
27,6%3 Di Indonesia dermatofitosis menempati urutan kedua setelah Pityriasis
versicolor4.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 7 April 2017, pukul
11.00 WIB bertempat di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. Adhyatma MPH
Tugurejo Semarang.
a. Keluhan Utama
Gatal di punggung dan jari kaki
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien Ny. I datang ke poliklinik RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal di jari
serta punggung kaki kiri dan kanan sejak 3 tahun yang lalu. Gatal dirasakan
muncul tiba-tiba. Gatal dirasakan bertambah berat saat terkena air. Gatal
dirasakan disetai rasa perih , seringkali karena tidak tahan pasien
menggaruknya. Pada awalnya berupa bercak kecil berwarna merah, namun
semakin lama semakin meluas terutama bercak yang berada di punggung kaki.
Pada jari kaki terdapat bintil yang terasa sangat gatal.
2
Penderita tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, asma dan diabetes mellitus
disangkal penderita.
d. Riwayat Keluarga :
Menurut pengakuan pasien di keluarga tidak ada yang mengalami hal serupa.
e. Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat.
1. Tanda Vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
2. Kepala
Kepala : Mesosefal, turgor dahi cukup, jejas (-)
3
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
3. Thorax
Thorax: bentuk dada normal, jejas (-)
5. Ekstremitas
Superior Inferior
4
Capillary Refill ≤2’’/≤2’’ ≤2’’/≤2’’
2.4 Resume
Pasien Ny. I datang ke poliklinik RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal di
jari serta punggung kaki kiri dan kanan sejak 3 tahun yang lalu. Gatal dirasakan
muncul tiba-tiba. Gatal dirasakan bertambah berat saat terkena air. Gatal
dirasakan disetai rasa perih , seringkali karena tidak tahan pasien menggaruknya.
Pada awalnya berupa bercak kecil berwarna merah, namun semakin lama
semakin meluas terutama bercak yang berada di punggung kaki. Pada jari kaki
terdapat bintil yang terasa sangat gatal. Status dermatologis pada dorsum pedis
dan digiti pedis dextra et sinistra ditemukan lesi regio digitalis pedis, dorsum
pedis dextra et sinistra terdapat makula hiperpigmentasi, tidak teratur, batas
tegas, bagian tepi tampak multiple papul, eritema pada tepi lesi, skuama dan
erosi.
5
2.5 Diagnosis Banding
Tinea pedis
Dishidrosis
2.6 Diagnosis Kerja
Tinea pedis
2.7 Usulan Pemeriksaan
Usulan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding :
Pemeriksaan histopatologi
2.8 Penatalaksanaan
1) Non medikamentosa
Menjelaskan kepada pasien (keluarga pasien mengenai penyakit tersebut)
Konseling
2) Medika mentosa
Clotrimoxazole 1% topical cream .
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Tinea Pedis
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat
lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah
satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea pedis.
Tinea pedis adalah Tinea pedis merupakan dermatofitosis pada kaki,
terutama sela-sela jari dan telapak kaki. Infeksi ini sangat sering terjadi pada satu
dari lima orang dewasa dan insidensinya meningkat seiring dengan usia. Agen
penyebab yang sering adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton
interdigitale3.
6
3.2 Etiologi
Tinea pedis sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum, Trichophyton
interdigitale dan Epidermophyton floccosum.
3.3 Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20 - 25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi
kulit tersering4.
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan
kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada
negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi
eksaserbasi2.
3.5 Patogenesis
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang - benang filament
terdiri dari sel - sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan
karakteristik utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung
substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam (organela) terdiri
dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus
7
golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing - masing. Benang-
benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium1.
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk
spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang
dibentuk hifa, besarnya antara 1-3μ, biasanya bentuknya bulat, segi empat,
kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan
memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual
(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan)3.
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur
yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan,
jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi
temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan
asam lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi
memudahkan masuknya jamur ke epidermis2.
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu
baik respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun
nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur.
Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal,
usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,
sekresi permukaan dan respons radang. Respons radang merupakan mekanisme
pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur.
Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen
kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia
ini antara lain ialah lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut.
Unsur kedua merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan
fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga
terlibat dalam respons imun yang spesifik. Sel-sel lain yang termasuk respons
radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK
8
(natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan
infeksi jamur3.
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur
setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B
merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini
mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism asing,
sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merspons
secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi antibodi,
sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas
seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh
adanya kontak antara limfosit dengan antigen4.
9
Tinea pedis dapat didiagnosis banding dengan infeksi bakteri pada sela jari
kaki, infeksi kandida, pustular psoriasis, dermatitis kontak dan keratoderma
idiopatik.
10
3.9 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur2.
3.10 Penatalaksanaan
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa.
3.10.1 Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan
non medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk
mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara
bergantian dengan orang yang terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.
h. Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
3.10.2 Medikamentosa
11
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan
pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas, cukup
diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu
bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal
yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan
tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang
disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres
basah secara terbuka3.
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi
antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat
perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien3.
1. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat
topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas
dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat - obat klasik, obat-
obat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi
masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan
imidaol kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4
minggu atau sampai hasil kultur negative. SelanjUtnya dianjurkan
jugauuntuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah
penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi
kekambuhan3.
2. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik yang dapat diberikan pada tinea korporis
adalah:
Griseofulvin
12
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk
anak- anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500 -1000
mg/hari
Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang
resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah
200 mg/hari selama 3 minggu.
Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin
dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Verna S, Heffernan MP. Fungal Disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008.
2. Budimulja, U. Mikosis. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.4. Jakarta
: FKUI. 2005
3. Adiguna, MS., 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia.Dalam :
Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta; Balai Penerbit FKUI.
4. Brown, GR., Burns, T. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta : Erlangga. 2005
13