Anda di halaman 1dari 12

A.

Definisi
Pengertian Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang di
sebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini di tandai oleh panas berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi Kedalam sel fagosit mononuklear dari hati,limpa,kelenjar limfe usus
dan peyer’s patch.(Sumarmo S.dkk 2008)
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang
menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah
(Algerina, 2008; Darmowandowo, 2006).
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam
tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus)dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran .
Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati
dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi (Hadisaputro S.1991).

B. Klasifikasi
Tipe demam berdasarkan pola dapat dibagi menjadi empat, yaitu :
a. Demam Remitten Menurun setiap hari namun tidak mencapai normal.
Fluktuasi > 1 C, Tidak pernah Normal
b. Demam Intermitten Suhu badan menurun normal dalam beberapa jam dalam waktu 1 hari.
Fluktuasi > 1 C, Pernah Normal
c. Demam Kontinyu Variasi suhu tak berbeda lebih dari 1’C.
Fluktuasi < 1 C, Tidak pernah Normal
d. Demam Siklik Suhu meningkat beberapa hari, normal, dan meningkat lagi seperti semula.

C. Epidemiologi
1. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30
tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. (Dinkes
Karanganyar, 2007)
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan
insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per
100.000 penduduk. (Simanjuntak, 1993).
2. Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di
Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk.
(Crump. J.A, dkk, 2004)
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun
2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 1.426 per 100.000 penduduk. (Depkes RI, 2009).

D. Patofisiologi
(terlampir)

E. Faktor resiko
1. Usia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70-80% pasien berumur 12-30 tahun, 10-20%
berumur 30-40 tahun dan lebih sedikit pada pasien berumur diatas 40 tahun (Rasmilah,
2001: 2). Pada kelompok usia 3-19 tahun yaitu kelompok anak sekolah yang
kemungkinkan besar diakibatkan sering jajan di sekolah atau tempat lain di luar rumah.
Sedangkan kelompok umur 20-30 tahun merupakan kelompok pekerja dimana
kelompok usia tersebut sering melakukan aktivitas diluar rumah, sehingga beresiko
untuk terinfeksi Salmonella typhi, seperti mengkonsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi Salmonella typhi (Siska Ishaliani H, 2009: 55).
2. Jenis kelamin
Pada jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaaan, namun kelompok pria mempunyai
risiko lebih besar karena banyak melakukan aktifitas di luar rumah yang berisiko
terhadap kejadian Demam Tifoid (Hadisaputro S. 1991). Berdasarkan laporan hasil riset
kesehatan dasar (Riskesda) Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 menjelaskan bahwa tifoid
terutama ditemukan lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan (Depkes
RI, 2009: 102).
3. Sosial ekonomi
Pada status ekonomi rendah dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan beberapa
masalah kesehatan tertentu seperti misalnya infeksi dan kelainan gizi (Sulistyaningsih,
2011: 47). Pada kelompok berpenghasilan rendah lebih mengandalkan pada makanan
jajanan siap santap dengan mutu yang rendah dan tidak terjamin keamanannya. Seperti
adanya pencemaran mikroba patogen pada makanan (Srikandi Fardiaz, 2001: 155).
4. Kebiasaan jajan
Kebiasaan makan diluar rumah (jajan) mempunyai risiko yang lebih besar untuk
terkena penyakit Demam Tifoid (Gasem MH DW. 2001). Penularan terjadi melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri S. typhi yang berasal dari tinja
penderita atau carrier.
5. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan mempunyai risiko yang lebih besar
untuk terkena Demam Tifoid dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan (Gasem MH DW. 2001). Pencucian tangan dengan sabun dan diikuti dengan
pembilasan akan banyak menghilangkan mikroba yang terdapat pada tangan. Tangan
yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus pathogen dari
tubuh, tinja atau sumber lain kemakanan (Arief. 2009).
6. Kebiasaan makan sayur mentah
Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang
berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk
dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi. Buah dan sayuran
mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan
air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat dikupas (Chin J. 2000).
7. Kebiasaan minum air isi ulang
Beberapa penelitian menunjukkan adanya bakteri dalam air minum isi ulang. Mengingat
air minum isi ulang ini dikonsumsi tanpa melalui proses pemasakan maka syarat yang
harus dipenuhi adalah bebas dari kontaminasi bakteri sebagaimana yang ditetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan (Indonesia KKR. 2002).
8. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar
Berdasarkan Hasil survei Health service Program tahun 2006 didapatkan hanya 12 dari
100 orang Indonesia yang melakukan cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar.
9. Riwayat demam tifoid
Seseorang mampu menjadi pembawa penyakit (asymptomatic carrier) demam typhoid,
tanpa menunjukkan tanda gejala, tetapi mampu menulari orang lain. Orang yang baru
sembuh dari tifoid masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih
sampai 3 bulan setelah sakit dan dapat menjadi karier kronik bila masih mengandung
basil sampai 1 tahun atau lebih (Depkes, 2006: 42). Status carrier dapat terjadi setelah
mendapat serangan akut. Feses penderita atau carier merupakan sumber utama bagi
penularan Demam Tifoid.
10. Pengetahuan
Pendidikan sangat mempengaruhi pengetahuan seseorang untuk melakukan kebiasaan
hidup sehat. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang tinggi mempunyai risiko yang
lebih kecil untuk tertular penyakit Demam Tifoid.
11. Sarana pembuangan tinja
Dalam perencanaan pembuatan jamban, perhatian harus diberikan pada upaya
pencegahan keberadaan vektor perantara penyakit demam tifoid yaitu pencegahan
perkembangbiakan lalat. Jamban yang paling baik adalah jamban yang tinjanya segera
digelontorkan ke dalam lubang atau tangki dibawah tanah. Disamping itu, semua bagian
yang terbuka ke arah tinja, termasuk tempat duduk atau tempat jongkok, harus dijaga
selalu bersih dan tertutup bila tidak digunakan (Soeparman dan Suparmin, 2002: 51).
Transmisi kuman demam tifoid ditemukan dengan cara menelan makanan atau air yang
tercemar tinja manusia. Salmonella typhosa hanya dapat hidup pada tubuh manusia.
Sumber penularan berasal, tinja dan urine karier, dari penderita pada fase akut dann
penderita dalam fase penyembuhan (Soegijanto, 2002).

F. Manifestasi klinis
Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau
minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian
mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak
disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba. Gejala klinis demam tifoid pada anak
dapat bervariasi dari yang ringan hingga yang berat. Biasanya gejala pada orang dewasa
akan lebih ringan dibanding pada anak-anak. Kuman yang masuk ke dalam tubuh anak,
tidak segera menimbulkan gejala. Biasanya memerlukan masa tunas sekitar 7-14 hari.
Masa tunas ini lebih cepat bila kuman tersebut masuk melalui makanan, dibanding melalui
minuman.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang
ditimbulkan antara lain :
1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang
malamnya demam tinggi.
2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak
akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau
pedas.
3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan
limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga
terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa
masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan
gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa
kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas,
pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan
berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali
terjadi gangguan kesadaran. ( djoko widodo 2006)
G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi
atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif
tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan
darah tergantung dari beberapa faktor :
 Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
 Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat
positif kembali.
 Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
 Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
d. Pemeriksaan daerah tepi : leukopenia, aneosinofilia, anemia, trombositopenia.
e. Pemeriksaan sumsum tulang : menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum tulang.
f. Biakan empedu : terdapat basil salmonella typhopsa pada urine dan tinja. Jika pada
pemeriksaan selama dua kali berturut-turut tidak didapatkan basil salmonella typhosa pada
urine dan tinja, maka pasien dinyatakan betul-betul sembuh.
Pemeriksaan widal : didapatkan titer terhadap antigen 0 adalah 1/200 atau lebih sedangkan
titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi tidak bermakna untuk menengakkan
diagnosis karena titer H dapat tetap tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita
telah lama sembuh.
H. Penatalaksanaan secara medis
Pengobatan penderita demam tifoid di Rumah Sakit terdiri dari pengobatan
suportif meliputi istirahat dan diet, medikamentosa, terapi penyulit ( tergantung penyulit
yang terjadi ). Istirahat bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien ( mansjoer, 2001 ).
Diet dan terapi penunjang dilakukan dengan pertama, pasien diberikan bubur
saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan
pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan tingkat
dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa ( pantang sayuran dengan serat kasar)
dapat diberikan dengan aman. Juga perlu di berikan vitamin dan mineral untuk
mendukung keadaan pasien ( Mansjoer, 2001 ).
Pengobatan typhoid terdiri atas 3 bagian yaitu perawatan, diet, dan obat -
obatan.
1. Perawatan umum
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan
secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus di perhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi
dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala
simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan
meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase
dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat
memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita,
misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan,
vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat
penurunan demam
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur
kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran
dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid
3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :
 Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien
demam tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau
intravena,sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat
intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol, demam pada demam
tifoid dapat turun rata 5 hari
 Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
dari pada kloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam
tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
 Kotrimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas
kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol, Dosis untuk orang
dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet
mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan
kotrimoksazol demam rata-rata turun setelah 5-6 hari.
 Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,
efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan
kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan
leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB sehari,
digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan Amoksisilin dan Ampisilin,
demam rata-rata turun 7-9 hari.
 Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin
generasi ketiga antara lain Sefoperazon, seftriakson, dan sefotaksim efektif untuk
demam tifoidtetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui
dengan pasti.
 Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama
pemberian belum diketahui dengan pasti.
I. Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat
dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi
yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna
Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam
sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam,
sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma
Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in
activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan
anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam, hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux
Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi
vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan
penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara
budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan
dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan
dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk
dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Ditjen P2M &PL, 2005).

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini
dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit
demam tifoid, yaitu (Syahrurahman Agus, 1994):
a. Diagnosis klinik
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
c. Diagnosis serologic
1) Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Dari
ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling
sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
 Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
 Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi
 Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier
2) Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) (Handojo Indro, 2004)
Pencegahan sekunder dapat berupa :
 Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
 Perawatan umum dan nutrisi
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus
istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap,
sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan
pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal.Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid
biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
 Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol
masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah
jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan
relaps.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya
tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat
terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu
dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman
masih ada atau tidak.
J. Komplikasi
Komplikasi yang sering adalah :
- Perdarahan usus
Komplikasi ini terjadi 1-10% penderita. Perdarahan biasanya mendahului perforasi,
ditampakkan oleh penurunan suhu dan tekanan darah serta kenaikan frekuensi nadi.
- Perforasi usus
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% penderita. Komplikasi ini terjadi sesudah 1 minggu
penyakit. Perforasi biasanya sebesar ujung jarum tetapi dapat sebesar beberapa
sentimeter, khas terjadi pada ileum distal dan di sertai dengan penambahan nyeri perut
yang mencolok, sakit, muntah dan tanda-tanda peritonitis.
Komplikasi lain :
- Komplikasi hepar dan kantong empedu : Hepatitis, Kolesistitis, Pankreatitis
- Komplikasi paru : Pneumonia
- Komplikasi neurologis : kenaikan Tekanan intrakranial, trombosis serebral, ataksia
serebelar akut, khorea, afasia, ketulian, psikosis, mielitis transversal
Komplikasi lain : nekrosis sumsum tulang yang mematikan, pielonefritis, endokarditis,
sindorma nefrotik, parotitis, orkitis dan limfadenetis supuratif.
Daftar Pustaka

 Hadisaputro S. Tropical Disease Update. Semarang: Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam FK

Undip; 1991

 Sumarmo S.dkk.Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2.Jakarta;badan penerbit

IDAI;2008

 Algerina,A.(2008).Demam Tifoid dan Infeksi Lain dari Bakteri Salmonella.

http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html

 Darmowandowo W.(2006) Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &

Penyakit Tropis, edisi 1.jakarta : BP FKUI,2002:367-75.

 Dinas Kesehatan Kab. Karanganyer Tahun 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Karanganyer

Tahun 2007. Karanganyer.

 Simanjuntak, C. H, 1993. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83.

 Crump. J.A, dkk, 2004. The Global Burden of Thypoid fever. Buletin WHO

 Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta

 Arief Rakhman Rh., Dibyo Pramono., 2009. Faktor – Faktor Risiko Yang Berpengaruh

Terhadap Kejadian Demam Tifoid Pada Orang Dewasa. Yogyakarta: Program Pendidikan

Kedokteran Komunitas (PPKK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

 Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC,

Jakarta.

 Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Jakarta : EGC

 Arvin, Ann M.,Behrman, Richar E.,Kliegman, Robert M. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.

Vol 2 ed 15. Jakarta :EGC

 Agus Syahrurahman. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Penerbit:

Binarupa Aksara.

 Ditjen P2M & PL. Depkes RI, 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga

Kesehatan. Jakarta.
 Harahap, Nurhayati. 2011. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di RSUD Deli

Serdang Lubuk Pakam Tahun 2009 (skripsi). Fakultas Kesehatan Masyarakat. Medan:

Universitas Sumatera Utara.

 Indro Handojo. 2004. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga

University Press.

 Djoko widodo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit

Tropis. Jakarta 2006 ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 367-375

 Braunwald. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition, New York, 2005.

 Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

 Suriadi, dkk, 2001, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I.Jakarta :

CV.Sagung

Anda mungkin juga menyukai