Anda di halaman 1dari 28

REFLEKSI KASUS

“FRAKTUR CRURIS ”

Oleh :
YULIANA TRIWARDHANI / 42160014S

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Purwaka Santosa Robertus, Sp.B

Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Bedah


Universitas Kristen Duta Wacana
Rumah Sakit Kristen Bethesda Yogyakarta
2017

1
BAB I
REFLEKSI KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Bp. Sutopo Pranoto Sudarmo
No. RM : 01912177
Tanggal lahir : 14 Agustus 1951
Usia : 65 tahun
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Alamat : Jongkak RT 03/05 no. 26, Sari Harjo, Ngaglik, Sleman
Tgl Masuk RS : 30 Januari 2017
Tgl Keluar RS : 4 Februari 2017

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri tungkai kanan bawah.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasakan nyeri tungkai kanan bawah 1hari SMRS (3 Februari 2017) setelah
terjatuh dari sepeda motor saat sedang touring. Pasien terjatuh dari sepeda motor karena
menghindari teman didepannya yang terjatuh dan menghindari lubang. Pasien terjatuh ke
arah kanan dan menyebabkan kaki kanan dan siku sebelah kanannya sakit.
Riwayat pemeriksaan sebelumnya :
29 Januari 2017: setelah jatuh pasien dibawa ke rumah sakit kecil terdekat dan di
nyatakan mengalami patah tulang kaki kanan.
30 Januari 2017: pasien membawa diri ke IGD RS Bethesda untuk dilakukan
pemeriksaan ulang.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Trauma di lengan kiri  tahun 2010

2
 Diabetes melitus (-)
 Hipertensi (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Hipertensi (-)
 Diabetes melitus (-)

E. Riwayat Alergi
 Alergi obat (-)
 Alergi makanan (-)

F. Life Style

 Merokok : (-)
 Alkohol : (-)
 Olahraga : Jarang

III. Pemeriksaan Fisik ( 3 Februari 2017)


A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : E4 V5 M6
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Napas :18 x/menit
Suhu : 36,2°C
 VAS :6
 Status Psikologis : Tenang
 Resiko Jatuh : Risiko sedang (skala jatuh Morse)

3
 Fungsional : Dibantu

B. Status Lokalis
 Kepala Normocephali
Konjungktiva anemis (-)
Sklera ikterik (-)
Bibir sianosis (-)
Mukosa mulut basah
 Leher Pembesaran limfonodi (-)
Nyeri tekan limfonodi (-)
Pembesaran tiroid (-)
 Thoraks Pengembangan paru simetris
Jejas (-)
Deformitas (-)
Ketinggalan gerak (-)
Nyeri tekan (-)
Fremitus normal (kanan dan kiri sama)
Perkusi sonor kedua lapang paru
Suara nafas vesikuler bilateral
Ronki/wheezing (-)
 Jantung Batas jantung dalam batas normal
Suara jantung S1-S2 murni, regular
Bunyi tambahan (-)
 Abdomen Tidak tampak jejas di bagian lain abdomen
Distensi (-)
Gerakan usus pada dinding perut (-)
Peristaltik usus dalam batas normal (16x/menit)
Perkusi timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi teraba supel di regio kiri abdomen

 Ekstremitas Superior

4
Inspeksi : siku kanan tampak membengkak dan terdapat sedikit lecet
Palpasi : pada siku teraba hangat, ROM menurun
Perkusi : dbn
Auskultasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Capillary refill time <2 detik

Nadi teraba kuat

Sianosis (-)

Edema (-)

 Ekstremitas Inferior

Inspeksi : kaki kanan terfiksasi luar dengan gips


Palpasi : ROM menurun
Perkusi : dbn
Auskultasi: (-)
Capillary refill time <2 detik

Nadi teraba kuat

Sianosis (-)

Edema (-)

IV. Resume
Pasien laki-laki, usia 65 tahun datang ke IGD RSB tgl 29 Januari 2017 dengan keluhan
nyeri tungkai kanan bawah. Nyeri tungkai kanan bawah dirasakan setelah terjatuh dari
sepeda motor. Pasien terjatuh karena menghindari teman pengendara lain didepannya.
Pasien terjatuh kearah kanan. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri di siku tangan kanan.
Pada pemeriksaan status lokalis kaki kanan terfiksasi luar dengan gips. Dan siku kanan
tampak membengkak dan terdapat sedikit luka lecet, teraba hangat, ROM menurun.

5
IV. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Interpretasi


Hematologi Lengkap
Hemoglobin 13,7 g/dL 11,7-15,5
Lekosit 10,37 rb/mmk 4,5-11,5 H
Hitung Jenis
Eosinofil 4,1 % 2-4 H
Basofil 0,2 % 0-1
Segment Neutrofil 75,8 % 50-70 H
Limfosit 13,1 % 18-42 L
Monosit 6,8 % 2-8
Hematokrit 40,1 % 35,0-49,0
Eritrosit 4,63 jt/mmk 4,20-5,40
RDW 12,1 % 11,5-14,5
MCV 86,6 fl 80,0-94,0
MCH 29,6 pg 26,0-32,0
MCHC 34,2 g/dL 32,0-36,0
Trombosit 291 rb/mmk 150-450
MPV 9,3 fl 7,2-11,1
PDW 9,1 fl 9,0-13,0
GOLONGAN DARAH O
GDS 110,1 mg/dL 70-140
Natrium 138,0 mmol/L 136-146
Kalium 3,82 mmol/L 3,5-5,1
Creatinine 0,94 mg/dL 0,73-1,18

2. Pemeriksaan X-Ray Cruris Dextra


a. Pre reposisi (IGD)(29 Januari 2017)

6
Kesan: tampak defek fraktur
1/3 distal tibia dextra, cum
angulasi juga fraktur 1/3
proximal fibula dan distal
dextra.

Joint space: talo-cruralis


instabil

Trabekulasi dalam batas


normal.

b. Post reposisi (IGD) (29 Januari 2017)

Kesan: tampak fiksasi eksternal spalkgips


pada defek fraktur cruris dextra, aposisi dan
alignment relative stabil, post reposisi dan
fiksasi

7
c. Post reposisi (OK)( Februari 2017)

Kesan : masih tampak liner fracture di


parts tertia distalis os tibia dextra dengan
alignment dan aposisi baik; dalam fixasi
external gyps spalk.

3. Pemeriksaan Thorax (29 Januari 2017)

Kesan : corakan bronchovasculer


kasar, air bronchogram minimal dalam
batas normal, besar cor dbn.

8
4. Pemeriksaan Shoulder’s Joint

-Tampak trabekulasi tulang yang kasar


dengan cortex yang irregular

-tak terlihat adanya fracture atau


luxasi/dislokasi tulang

-caput humeri berada di dalam cavum


glenoidalis.

-joint space menyempit

Kesan : tanda osteoarthrosis ossa


shoulder joint dextra dengan
penyempitan joint space terutama AC
joint

Saran : USG shoulder joint.

V. Terapi
Terapi 29 30 31 1 2 3 4 5
Ketorolac 2x1 A
Dynastat 40 (reposis
mg(pre reposisi i gip)
gips)
Yekapons 2x1
Cataflam +4
3x1(XV)
Yekalgin 2x1 +4
Cefspan 2x1

9
Keterangan : Konsumsi obat

Terapi definitif : Reposisi gip (2 Februari 2017)


Perawatan paska operasi :
Paska reposisi gips, pasien dirawat di Ruang Enam RS Bethesda selama 3 hari,
kemudian diperbolehkan pulang pada tanggal 5 Februari 2017. Observasi komplikasi
seperti nyeri paska reposisi gips dengan pemberian yekapon(asam mefenamat) 2x1.
Lanjutan terapi setelah ranap :
- Cefspan (cefixim)
- Yekalgin (antalfin)

VI. Diagnosis Kerja


Fraktur cruris dextra 1/3 distal tertutup.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal


Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung
jawab terhadap pergerakan. Komponen utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat
yang terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligamen, fascia, dan jaringan khusus
yang menghubungkan struktur-struktur ini (Hedge, 2013).
Tulang manusia saling berhubungan satu dengan yang lain dalam berbagai bentuk
untuk memperoleh fungsi sistem muskuloskeletal yang optimal. Aktivitas gerak tubuh
manusia bergantung pada efektifnya interaksi antara sendi yang normal dengan unit-unit
neuromuskular yang menggerakannya (Clarke, 2008).
Fungsi Tulang (Iqbal, 2010) :
 Fungsi Mekanis
- Perlindungan
Tulang sangat penting untuk melindungi organ penting dan rapuh dalam
tubuh. Misalnya otak dilindungi tengkorak dan jantung dilindungi tulang
rusuk.
- Bentuk
Karena sifatnya yang kaku, tulang berperan sebagai kerangka kerja disekitar
tubuh yang ditopang. Jadi tulang bertanggung jawab atas wujud dan bentuk
tubuh manusia.
- Gerakan
Bekerja dengan otot rangka, tendon, ligamen dan sendi, tulang
memungkinkan terjadinya pergerakan tubuh. Tulang memberikan suatu
sistem pengungkit yang di gerakan oleh otot-otot yang melekat padanya.
- Transduksi Suara

11
Tulang juga berperan penting dalam penghantaran suara sehingga kita dapat
mendengar suara.
 Fungsi Sintetis
- Sintesis Sel Darah
Sumsum tulang merah sebagai tempat sel induk hemopoietik yang mampu
menghasilkan sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.
 Fungsi Metabolik
- Penyimpanan Mineral
Tulang berperan sebagai tempat penyimpanan mineral. Contoh mineral
yang paling banyak adalah kalsium yaitu sebesar 99% dan fosfor 90% dari
tubuh.
- Penyimpanan Lemak
Lemak disimpan dalam sumsum tulang kuning yang merupakan cadangan
energi jika dibutuhkan.
- Keseimbangan Asam Basa
Tulang menjaga keseimbangan pH tubuh dengan menyerap atau
melepaskan garam alkali.
- Organ Endokrin
Penumpukan lemak dan kadar gula darah juga dikendalikan oleh tulang
melalui pelepasan hormon osteocalcin, yang dikenal untuk meningkatkan
produksi insulin dan membantu mengurangi penyimpanan lemak yang
berlebihan (Oldknow et al, 2015).
Fisiologi Tulang :
Tulang tersusun atas sel matriks, protein, dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri dari
3 jenis dasar yaitu (Laurale, 2014) :
 Osteoblast
Membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1 dan proteoglikan sebagai
matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi.
Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas menyekresikan
sejumlah besar fosfatase alkali yang memegang peranan penting dalam
mengendapkan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang.

12
 Osteosit
Setiap osteoblas secara bertahap dikelilingi oleh produk sekresinya sendiri dan
menjadi osteosit yang terselubung sendiri-sendiri dalam ruang yang disebut lakuna.
Sehingga osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu
lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
 Osteoklas
Osteoklas adalah sel berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks
tulang dapat diabsorpsi. Osteoklas menyekresi kolagenase dan enzim lain dan
proton pompa ke dalam kantong subselular, yang menciptakan lingkungan asam
untuk melarutkan hidroksiapatit dan pencernaan kolagen setempat (Mescher,
2011).

2.2. Konsep Dasar Fraktur


2.2.1. Pengertian Fraktur
Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan
lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap atau
tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia A. Price,
2006).
Pada beberapa keadaan trauma muskuloskeletal, sering fraktur dan
dislokasi terjadi bersamaan. Dislokasi atau luksasio adalah kehilangan hubungan
yang normal antara kedua permukaan sendi secara komplit/lengkap (Jeffrey M.
Spivak et al., 1999). Fraktur dislokasi diartikan dengan kehilangan hubungan yang
normal antara kedua permukaan sendi disertai fraktur tulang persendian tersebut
(Jeffrey M. Spivak et al., 1999).
Fraktur antebrachii merupakan terputusnya kontinuitas tulang pada lengan
bawah yaitu pada tulang radius dan/atau ulna. Dibagi atas tiga bagian perpatahan
yaitu bagian proksimal, medial, serta distal dari kedua corpus tulang tersebut.

13
2.2.2. Etiologi
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik dimana
terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-
laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor (Muttaqin, 2008).
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:

a. Trauma
• Trauma langsung
Dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya trauma tersebut,
misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat
di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka,
dengan garis patah melintang atau miring.
• Trauma tidak langsung
Menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya
trauma. Contohnya bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki
terlebih dahulu. Yang patah selain tumit, terjadi pula patah tulang tibia dan
kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang.
• Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah
tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang
akibat tarikan otot adalah patah tulang olekranon, karena otot triseps dan
biseps mendadak berkontraksi.
b. Fraktur beban atau stress fracture (kelelahan)
Fraktur ini terjadi pada orang yang melakukan aktivitas berulang-ulang
pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari
biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat pengulangan
tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba-tiba pada
suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang. Misalnya pada atlet, penari
dan militer.

14
c. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu
tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya
osteoporosis dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang
yang rapuh maka akan terjadi fraktur.

2.2.3. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
a. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstremitas yang mengalami fraktur dapat diketahui
dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
b. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Courtney, 2008).

2.2.4. Diagnosis
Gejala dan tanda klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri
dan bengkak pada bagian tulang yang patah, deformitas, nyeri tekan, krepitasi,
gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putus kontinuitas tulang, gangguan

15
neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosa fraktur
dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan.
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian)
dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Riwayat cedera
atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang
dikonsumsi pasien, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit
lain.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi / look: (1)
warna dan perfusi, (2) luka, (3) deformitas (angulasi, pemendekan), (4)
pembengkakan, (5) perubahan warna atau memar. Palpasi / feel: (1) suhu, (2) nyeri
tekan, (3) krepitasi, (4) sensibilitas: baik/tidak, (5) pemeriksaan sirkulasi atau
vaskuler: pulsasi arteri dan capillary refill time. Movement : Penilaian ini terutama
menilai Range of Movement serta menilai gerak aktif dan pasif dari sendi. Status
neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada
daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah
cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi
bagian distal fraktur meliputi: pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan
kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan / moving dinilai apakah adanya keterbatasan
pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma
di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien
dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah
pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada
vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
klinis dan radiologis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi
darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, dan urinalisa. Pemeriksaan
radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two: dua gambaran,
anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur,
memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang
tidak terkena cedera (pada anak) dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah
tindakan (Sjamsuhidayat,2011) (ATLS,2012)

16
2.2.5. Klasifikasi Umum Fraktur
 Menurut Bentuk Garis Fraktur dan Hubungan dengan Mekanisme Trauma
- Fraktur Tranversal : Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung
- Fraktur Oblik : Fraktur yang arah garis patahan membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga
- Fraktur Butterfly : Potongan tulang fraktur berbentuk kupu-kupu akibat
gaya langsung, tidak langsung, atau rotasi pada tulang
- Fraktur Spiral : Fraktur yang arah patahnya spiral yang disebabkan oleh
trauma rotasi
- Fraktur Kompresi : Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kepermukaan lain
- Fraktur Avulsi: Farktur yang disebabkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya tulang
 Menurut Derajat Kerusakan Tulang
- Fraktur lengkap (Komplit)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat.
- Fraktur tidak lengkap (Inkomplit)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi
patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut greenstick
fracture.
Menurut Price dan Wilson (2006) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik, keadaan
tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila
seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan
seluruh ketebalan tulang.
 Menurut Jumlah Garis Patahan
Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain:

17
- Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
- Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan
- Fraktur Multipel : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama
 Menurut Ada Tidaknya Pergeseran
- Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
- Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen (Helmi, 2011)

Gambar 8. Klasifikasi Umum Fraktur


 Menurut Hubungan dengan Jaringan Ikat Sekitarnya
- Fraktur Terbuka

18
Fraktur terbuka adalah fraktur yang terjadi hubungan dengan dunia luar atau
rongga tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi kontaminasi bakteri
dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi.
Klasifikasi fraktur terbuka paling sering digunakan menurut Gustillo dan
Anderson (1976), yang menilai fraktur terbuka berdasarkan mekanisme
cedera, derajat kerusakan jaringan lunak, konfigurasi fraktur dan derajat
kontaminasi. Klasifikasi Gustillo ini membagi fraktur terbuka menjadi tipe
I,II dan III.
Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson (1984)
Tipe Batasan
I Laserasi < 1 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak berarti
Biasanya luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur
Luka relatif bersih
II Laserasi >1 cm
Tidak banyak kerusakan jaringan yang berat atau avulsi
Ada kontaminasi
III Luka lebar dan rusak hebat pada kulit dan jaringan lunak dan putus atau
hancurnya struktur neurovaskuler
Kontaminasi hebat
Termasuk fraktur segmental terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan
kecepatan tinggi
• IIIA : fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak
• IIIB : fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringan lunak sehingga tulang
terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum atau
periosteal striping
• IIIC : trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar kehidupan bagian
distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan jaringan
lunak

19
Gambar 9. Derajat Fraktur Terbuka Menurut Klasifikasi Gustilo and Anderson

- Fraktur Tertutup
Terjadinya diskontuinitas dari jaringan tulang dimana tidak ada luka yang
menghubungkan tulang patah dengan udara luar. Fraktur tertutup
diklasifikasikan oleh Oestern and Tscherne :
 Grade 0 : fraktur sederhana tanpa/disertai dengan cedera jaringan
lunak yang sedikit dan dapat diabaikan
 Grade 1 : fraktur disertai dengan abrasi superficial atau kontusio pada
kulit dan jaringan subkutan
 Grade 2 : fraktur yang lebih berat dibanding derajat 1 yang disertai
dengan kontusio dan pembengkakan jaringan lunak

20
 Grade 3 : fraktur berat disertai dengan cedera jaringan lunak yang
berat dapat disertai crush syndrome, sindrom kompartemen ataupun
cedera vaskular (Brunicardi,2008)

Gambar 10. Derajat Fraktur Tertutup Menurut Klasifikasi Oestern and


Tscherne

2.2.6. Prinsip Tatalaksana Fraktur


Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu: rekognisi, reduksi, retensi,
dan rehabilitasi.
1. Rekognisi
Prinsip utama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinis, dan radiologi. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan.
2. Reduksi (Manipulasi/Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau

21
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila
cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi Fraktur)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksator eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal
dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer,2000).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari
atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai
melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan
mobilisasi (Mansjoer, 2000).

Penatalaksanaan fraktur ada 2 cara, yaitu


1. Penatalaksanaan konservatif
 Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara
memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat pada
anggota gerak bawah.

22
 Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai
eksterna hanya memberikan imobilisasi. Biasanya menggunakan gips
atau dengan macam-macam bidai dari plastik atau metal.
 Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan imobilisasi
eksterna yang menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan
manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal.
2. Penatalaksanaan pembedahan
 Open Reduction and Internal Fixation (ORIF). ORIF akan
mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk
memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat fraktur untuk
memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara bersamaan. Fiksasi
internal sering digunakan untuk merawat fraktur pada tulang pinggul yang
sering terjadi pada orang tua.
 Open Reduction and External Fixation (OREF). Fiksasi eksternal
digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif
(hancur atau remuk).

2.2.7. Proses Penyembuhan Fraktur


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu :

1. Pembentukan Hematoma

23
Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna
melindungi tulang yang rusak dan
sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24 – 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.

2. Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi
dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari
periosteum, endosteum, dan bone
marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke
dalam lapisan yang lebih dalam
dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen
tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai
selesai, tergantung frakturnya.

24
3. Pembentukan Kalus
Sel–sel yang berkembang
memiliki potensi
kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang
tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang
tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat
pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan
osteoblast berlanjut,
anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini
sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast
menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur
dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang
yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan
sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

25
5. Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh
suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini
dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang
yang terus-menerus. Lamellae
yang lebih tebal diletakkan pada
tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan
akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya ( Mutaqin,2005)
(Solomon, 2010) (Sjamsuhidayat,2011).

2.2.8. Komplikasi
 Komplikasi Awal (Early Complication)
- Gangguan saraf, fraktur jarang menyebabkan gangguan saraf tetapi
kemungkinan gangguan saraf dapat terjadi karena kesalahan dalam
pembedahan. Terpaparnya radius pada sepertiga proksimal beresiko
kerusakan dari nervus interosseus posterior dimana nervus ini ditutupi
oleh bagian superficial dari otot supinator. Fragmen proksimal radius
mungkin telah berotasi sehingga nervus kemungkinan tidak berada pada
tempat yang diharapkan. Teknik pembedahan merupakan bagian penting
disini.
- Gangguan vaskularisasi, trauma pada arteri radius atau ulna jarang
menyebabkan gangguan selama sirkulasi kontralateral baik.
- Sindrom kompartemen, fraktur dan operasi pada tulang lengan bawah
selalu berhubungan dengan pembengkakan jaringan lunak, yang
terkadang beresiko menjadi sindrom kompartemen.

26
 Komplikasi Tertunda (Delayed Complication)
- Delayed Union (Penyatuan Tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
- Non Union (Tak Menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang-
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-faktor yang
dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi,
interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya
patella dan fraktur yang bersifat patologis..
- Malunion
Kelainan penyatuan tulang yang buruk menimbulkan deformitas,
angulasi atau pergeseran (Dandy,2009).

27
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F.C. (2015) Schwartz’s Principles of Surgery. 10th Edition. Mc Graw Hill Education.
Medical.

Moore, K.L. & Agur, A.M.R. (2002) Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.

Sherwood, L. (2011) Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi VI. Jakarta : EGC.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. (2009) Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing : 1948.

28

Anda mungkin juga menyukai