Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi
dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah.
Pada tahun 2000, terdapat sekitar 21,6 juta kasus demam tifoid di seluruh
dunia dan diantaranya menyebabkan 216.500 kematian. Insidensi demam tifoid di
Asia Tengah, Selatan, dan Tenggara serta Afrika Selatan mencapai lebih dari 100
kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya.
Di Indonesia sendiri demam tifoid merupakan penyakit endemik dan
tergolong penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun
1962 tentang wabah. Menurut data dari Departemen Kesehatan RI, frekuensi
kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun
1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk.
Manifestasi klinis yang timbul pada penderita demam tifoid adalah demam
yang berkepanjangan dimana awalnya tidak terlalu tinggi namun lama kelamaan
terus meningkat, dapat disertai rasa menggigil, sakit kepala, berkeringat, batuk,
malaise, dan atralgia. Gejala-gejala saluran pencernaan bervariasi mulai dari
diare, konstipasi, mual, muntah, sampai anoreksia.
Karena demam tifoid merupakan endemik di negara ini dan insidensinya
yang masih tinggi, pencegahan dan tatalaksana penting diketahui sehingga tidak
menimbulkan komplikasi seperti perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik,
dan komplikasi ekstra-intestinal seperti meningitis, miokarditis, pleuritis,
pneumonia, hepatitis, kolesistitis, glomerulonefritis, pielonefritis, osteomielitis,
spondilitis, artritis, dan lain-lain.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah.

2.2 Epidemiologi
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor
6 tahun 1962 tentang wabah. Surveilans Departemen Kesehatan RI,
frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2
dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per
10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari
tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus. Case
Fatality Rate (CFR) demam tifoid pada tahun 1996 sebesar 1,08% dari
seluruh kematian di Indonesia.

2.3 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B, dan S. paratyphi C.Demam yang disebabkan
oleh S. Typhi cenderung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi
salmonella yang lain. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif
yang bersifat motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul.
Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan manitol untuk
menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa.
Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara
anaerob fakultatif. Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik
namun dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 54,4º C (130º F) selama
3

1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap dapat hidup


pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat
bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan
makannan kering, agen farmakeutika,dan bahan tinja. Salmonella memiliki
antigen somatik O dan antigen flagella H. Antigen O adalah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen
H adalah protein labil panas. Antigen Vi adalah simpai atau kapsul kuman.
Masa inkubasi S. typhi adalah 3-21 hari.

2.4 Patogenesis
Salmonella typhimasuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang
tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus. Jika IgA kurang baik pertahanannya, maka
kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan menuju ke
lamina propia. Di lamina propia kuman akan berkembangbiak. Sebagian
kuman akan ditangkap dan digagosit oleh sel mononuklear, namun masih
dapat hidup di dalam makrofag tersebut, dibawa ke Payer’s patch ileum
distal, menuju kelenjar getah bening mesenterika, melalui duktus
toraksikus ke sirkulasi darah, terjadilah bakteriemi I namun masih
asimtomatik. Setelah berkembangbiak di RES dan tersebar ke organ-organ
RES seperti hati dan limpa, kuman akan keluar dari makrofag,
berkembangbiak di luar sel atau ruang sinusoid dan masuk lagi ke dalam
sirkulasi darah, maka terjadilah bakteriemi II yang dapat menimbulkan
gejala-gejala sistemik.
Dari hepar, kuman masuk ke kantong empedu, berkembangbiak, dan
diekskresi secara intermiten ke lumen usus bersama-sama dengan cairan
empedu. Sebagian akan keluar lewat feses, dan sisanya akan menembus
usus masuk ke darah.
Interaksi Salmonella typhidengan makrofag memunculkan mediator-
mediator lokal sehingga peyer’s patches mengalami hiperplasi jaringan,
nekrosis dan ulkus (hipersensitivitas tipe IV/lambat). Secara imunulogi, di
usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya
4

Salmonella typhi pada mukosa usus. Imunitas humoral sistemik,


diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella typhi
oleh makrofag. Imunitas seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla
intraseluler.
Pada gejala sistemik timbul demam, instabilitas vaskuler, inisiasi
sistem beku darah, depresi sumsum tulang, bahkan nekrosis organ bila
pembuluh darah di sekitar peyer’s patches mengalami erosi dan
perdarahan.

2.5 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi Salmonella Typhi berlangsung selama 3-21 hari. Transmisi
atau penularannya dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi S. typhi. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala
prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, dan tidak
bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan,
yaitu:
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung tiga minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak terlalu tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biaasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggun ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah. Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, dapat disertai tremor. Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa
membesar disertai nyeri pada saat perabaan. Dapat ditemukan gejala
konstipasi, diare, dan kombinasi keduanya. Selain itu dapat disertai
gejala mual dan muntah.
5

3. Gangguan kesadaran (gejala susunan saraf pusat)


Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan rose spots, yaitu
bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit. Rose
spots biasanya ditemukan dalam akhir minggu pertama demam pada
25% kasus. Kadang-kadang ditemukan bradikardia dan mungkin pula
ditemukan epistaksis.
2.6 Diagnosa
Diagnosa demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta ditunjang oleh pemeriksaan laboratorik seperti
ditemukannya leukopenia, anesonofilia, dan limfositosis relatif pada
permulaan timbulnya gejala. Mungkin terdapat anemia dan
trombositopenia ringan.
Pada pemeriksaan sumsung tulang dapat ditemukan gambaran sumsum
tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag sedangkan
sistem eritropoesis, granulopoesis, dan trombopoesis berkurang.
Pada biakan empedu dapat ditemukan kuman Salmonella typhi dalam
darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih
sering ditemukan dalam urin dan feces dan mungkin akan tetap positif
untuk waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari
contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan
pemeriksaan negatif dari contoh urin dan fases 2 kali berturt-turut
digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh
dan bukan karier.
Pemeriksaan Widal dapat dipakai untuk mendukung adanya diagnosis
demam tifoid, namun sekarang pemeriksaan Widal sudah mulai
ditinggalkan. Prinsip pemeriksaannya ialah reaksi aglutinasi yang terjadi
bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhi.
Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan
mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu
pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk
6

menegakkan diagnosis yamg perlu diperlukan ialah titer zat anti tehadap
antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan
kenaikan yang progresif diperlukan untuk membuat diagnosis. Titer
tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.
Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis karena dapat
tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau penderita telah lama sembuh.
Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguh-
sungguh menderita demam tifoid sebagaimana terbukti pada autopsi
setelah penderita meninggal dunia.
Sebaliknya titer dapat positif (False Positive) pada keadaan tertentu
seperti didapatkan Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin
normal akibat infeksi kumanE. coli patogen dalam usus, Pada neonates
dimana zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta, terdapat
infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix), serta akibat imunisasi secara
alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi
subklinis.
2.7 Diagnosis Banding
Bila tedapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang
dapat menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, penyakit-
penyakit yang perlu dipikirkan selain demam tifoid adalahdemam dengue,
influenza, tuberkulosis, malaria, dan lain-lain.
2.8 Tatalaksana
Tatalaksana meliputi tatalaksana medikamentosa dan non-medikamentosa.
a. Tatalaksana medikamentosa
Obat pilihan utama adalah golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari
seperti Ciprofloksasin 20 mg/kgbb/hari selama 6 hari atau
Levofloksasin 10 mg/kgbb/hari selama 1-2 minggu. Namun golongan
Fluoroquinolone tidak boleh diberikan pada anak-anak karena akan
mengganggu pertumbuhan tulang karena mempercepat penutupan
epifisis. Maka dapat diganti dengan obat golongan Cephalosporin
generasi ketiga seperti Ceftriaxone dan Cefotaxime. Pada orang dewasa
yang resisten terhadap golongan Fluoroquinolone juga dapat diberikan
7

golongan Cephalosporin generasi ketiga seperti Ceftriaxone 1-2 gram


intravena atau intramuskular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari dan
Cefotaxime 1-2 gram intravena atau intramuskular.
Dulu obat pilihan utama adalah kloramfenikol, kecuali bila
penderita mengalami resistensi dapat diberikan obat lain misalnya
ampisilin, kotrimoksasol, dan lain-lain. Dianjurkan pemberian
kloramfenikol dengan dosis yang tinggi, yaitu 100 mg/kgbb/hari,
diberikan 4 kali sehari peroral atau intramuskular atau intravena bila
diperlukan. Pemberian kloramfenikol dosis tinggi tersebut memberikan
manfaat yaitu waktu perawatan dipersingkat dan relaps tidak terjadi.
Akan tetapi mungkin pembentukan zat anti kurang, oleh karena basil
terlalu cepat dimusnahkan. Penderita yang pulang perlu diberikan
suntikan vaksin Tipa.
Pada wanita hamil tidak boleh diberikan Kloramfenikol karena
dapat menimbulkan partus prematurus pada trimester ketiga dan
kematian janin intrauterine. Tiamfenikol juga tidak aman diberikan
karena bersifat teratogenik pada trimester pertama. Maka pada wanita
hamil dapat diberian Ampicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu,
Amoxicilin 50-150 mg/kgbb untuk 2 minggu, dan Ceftriaxone 1-2 gram
intravena atau intramuscular selama 5 hari atau 3 gram dalam 3 hari.
Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai.
Misalnya pemberian cairan intravena untuk penderita dengan dehidrasi
dan asidosis. Bila terdapat bronkopneumonia harus ditambahkan
Penicilin dan lain-lain.
b. Tatalaksana non-medikamentosa
1. Isolasi penderita dan disinfeksi pakaian dan ekskreta untuk
mencegah penularan kuman ke orang-orang sekitar pasien.
2. Bedrest
Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali
yaitu istirahat mutlak, berbaring terus di tempat tidur. Seminggu
kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh duduk dan berjalan.
8

3. Perawatan
Perawatan yang baik dilakukan untuk mencegah komplikasi,
mengingat sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
4. Pengaturan diet
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi
protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat,
tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Susu 2 kali
satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis makanan untuk penderita
dengan kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat
diberikan melalui NGT. Bila pasien sadar dan nafsu makan baik,
maka dapat diberikan makanan lunak.
5. Banyak minum untuk mecegah dehidrasi karena pasien
mengalami diare dan demam.
2.9 Komplikasi
a. Komplikasi intestinal umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering
fatal. Pada usus halus dapat terjadi :
1) Perdarahan usus. Bila sedikit hanya ditemukan jika
dilakukan pemeriksaan darah samar pada tinja dengan
menggunakan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi
melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri perut
dengan tanda-tanda renjatan.
2) Perforasi usus. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau
setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi
yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma
pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
3) Peritonitis. Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi
tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu
nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense
muscular) dan nyeri pada tekanan.
9

4) Komplikasi ekstra-intestinal yang terjadi karena lokalisasi


peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis,
kolesistis, ensefalopati dan lain-lain. Selain itu, komplikasi
ekstra-intestinal dapat terjadi karena infeksi sekunder
misalnya pada bronkopneumonia.Dehidrasi dan asidosis
dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang dan
perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
2.9 Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal
penderita cepat berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat
ialah 6%. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang
berat seperti:
1) Panas tinggi(hiperpireksia) atau febris kontinu
2) Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma atau delirium
3) Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi atau
asidosis, peritonitis, bronkopneumonia dan lain-lain
4) Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).
10

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p1752-1757
Centers for Disease Control and Prevention. Typhoid fever. October 5, 2010.
[cited 2011Jan8].[Internet]Available at:
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
Klotchko A, Mark RW. Salmonellosis. Mar 31, 2009.[cited 2011 Jan 11].
[Internet] Available at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-
overview
Fauci AS, et al. Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw
Hill; 2009. p 456-457
Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid and parattyphoid fever. Lancet. Aug
2005;366:749-62.
Brusch J. Typhoid fever. April 8, 2010. [cited 2011 Jan 11]. [Internet]
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview
Klotchko A. Salmonellosis. Mar 31, 2009. [cited 2011 Jan 8]. [Internet]
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/228174-media
Kim AY, Goldberg MB, Rubin RH. Salmonella infections. In: Gorbach SL,
Bartlett JG, Blacklow NR, eds. Infectious Diseases. 3rd ed. Lippincott
Williams and Wilkins; 2004:68.

Anda mungkin juga menyukai