Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

JANUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

CEREBRAL PALSY

Disusun oleh:

Ariza Puspa Pertiwi C111 13 035

Mohammad Arafat C111 13 033

Nasrudin Efendi C111 13 032

Rezky Feby Syardana C111 13 040

Pembimbing:

dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FISIK & REHABILITASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL LAPORAN KASUS: CEREBRAL PALSY


Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
1. Nama : Ariza Puspa Pertiwi
NIM : C111 13 035
2. Nama : Mohammad Arafat
NIM : C111 13 033
3. Nama : Nasrudin Efendi
NIM : C111 13 032
4. Nama : Rezky Feby Syardana
NIM : C111 13 040
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 4 Januari 2018


Supervisor Pembimbing

dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR

Mengetahui,
KPM Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

dr. Husnul Mubarak, Sp.KFR


BAB 1
LAPORAN KASUS

Nama Penderita :K
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 01 Juli 2002
Usia kronologis : 15 tahun, 6 bulan
Usia koreksi : 15 tahun, 6 bulan,
Alamat : Dusun Tamappalalu, Bulukumba
Agama : Islam
No. Rekam Medis : 090731
Tanggal Pemeriksaan : 3 Januari 2018

1.1 Anamnesis
Keluhan Utama : Kaku pada anggota gerak bawah
Seorang anak laki-laki berumur 15 tahun dirujuk dari rumah sakit bulukumba
dengan keluhan kaku pada anggota geraknya. Menurut keterangan dari ayah pasien, sejak
kecil kedua kaki dan tangan pasien kaku. Pada usia 3 tahun pasien diajari untuk berjalan,
namun pasien tidak dapat melakukannya. Pasien hanya bisa berteriak dan hanya bisa
membuka mulut apabila disendokkan makanan. Ayah pasien menyadari bahwa anaknya
mengalami keterlambatan bicara, duduk dan berjalan yang seharusnya dapat dilakukan
sesuai usianya.
Sampai sekarang pasien harus selalu dibantu bila dari posisi berbaring ke duduk
ataupun sebaliknya. Dari posisi duduk ke berdiri pun harus dibantu dan tidak bisa berdiri
sendiri. Pasien tidak mengalami kaku pada mulutnya. Pasien tidak merespon bila dipanggil
namanya. Pasien tidak memiliki keluhan buang air kecil dan buang air besar.
Pasien anak ke sepuluh dari sepuluh bersaudara, dimana semua saudaranya
pertumbuhannya normal seperti anak lainnya. Pada riwayat prenatal dan postnatal, tidak
diketahui.
Pada riwayat makanan, pasien mendapatkan asi tetapi tidak eksklusif dan makanan
pendamping asi, sedangkan pada riwayat imunisasi, pasien mendapatkan imunisasi
lengkap.
1.2 Pemeriksaan Fisik
1.2.1 Pemeriksaan Keadaan Umum
Tanda-tanda vital:
• Nadi: 96 x/menit
• Pernapasan: 24 x/menit
• Suhu: 36,5 OC
Status nutrisi:
• Berat Badan: 11 kg
• Tinggi Badan: 121 cm
• Lingkar Kepala: 53 cm
• Lingkar Lengan: 11 cm

1.2.2 Pemeriksaan Muskuloskeletal

ROM MMT
Cervical
Flexion 3
Extension 3
Sulit dievaluasi
Lateral Flexion 3/3
Rotation 3/3
Trunk
Flexion 3
Extension 3
Sulit dievaluasi
Lateral Flexion 3/3
Rotation 3/3
Shoulder
Flexion 4/4
Extension 4/4
Abduction 4/4
Sulit dievaluasi
Adduction 4/4
Ext. Rotation 4/4
Int. Rotation 4/4
Elbow
Flexion 4/4
Extention 4/4
Sulit dievaluasi
Forearm Supination 4/4
Forearm Pronation 4/4
Wrist
Flexion 4/4
Extension 4/4
Sulit dievaluasi
Radial Deviation 4/4
Ulnar Deviation 4/4
Fingers
Flexion
MCP 4/4
PIP 4/4
DIP Sulit dievaluasi 4/4
Extension 4/4
Abduction 4/4
Adduction 4/4
Thumbs
Flexion
MCP 4/4
IP 4/4
Extension Sulit dievaluasi 4/4
Abduction 4/4
Adduction 4/4
Opposition 4/4
Hip
Flexion 4/4
Extension 4/4
Abduction Sulit dievaluasi 4/4
Adduction 4/4
Ext. Rotation 4/4
Int. Rotation 4/4
Knee
Flexion 4/4
Sulit dievaluasi
Extension 2/4
Ankle
Plantar Flexion 4/4
Dorsi Flexion 4/4
Sulit dievaluasi
Inversion 4/4
Eversion 4/4
Toes
Flexion
MTP 4/4
Sulit dievaluasi
IP 4/4
Extension 4/4
Big Toe
Flexion
MTP 4/4
Sulit dievaluasi
IP 4/4
Extension 4/4

1.2.3 Pemeriksaan Neurologis


 DTRs (Deep Tendon Reflexes):
BPR 4+ / 4+ KPR 4+ / 4+
TPR 4+ / 4+ APR 4+ / 4+
 Refleks Patologis: Babinski: + / +

 Defisit sensoris: sulit dievaluasi


 Developmental Milestones:
o Motorik kasar: tidak diketahui
o Motorik halus: tidak diketahui
o Bahasa: tidak mampu berbicara dan memahami bahasa
o Personal sosial: hanya dapat membuka mulut ketika disendokkan makan
1.3 Diagnosis

Diagnosis: Cerebral Palsy Berat Spastik diplegia


Diagnosis Fungsional
 Impairment : Spastic Extremitas Superior et Inferior, afasia motoric
 Disability : Gangguan transfer tanpa bantuan akibat dari spastik otot pada ke dua
ekstremitas, gangguan bicara
 Handicap : gangguan fungsional berat dalam aktivitas sehari-hari secara mandiri
dan kesulitan berinteraksi dengan keluarga

Daftar Masalah
 Surgical: -
 Medical:
- spastik otot
- gangguan berdiri dan berjalan
- gangguan duduk
- gangguan berbicara

1.4 Planning
Perencanaan
 Perencanaan diagnostik: -
 Perencanaan terapi:
Latihan:
 Stretching tendon and muscle
 Latihan ROM
 Speech therapy
Modalitas dengan terapi :
 Utrasound diatermi therapy
 Hip-knee-ankle-foot orthoses (HKFOs)
 Wrist cook-up splint
 Perencanaan pengawasan : Activity of Daily Living (ADL)
 Perencanaan edukasi : penjelasan kondisi pasien
home exercise program
1.5 Resume
Seorang anak laki-laki berumur 15 tahun dirujuk dari rumah sakit bulukumba dengan
keluhan kaku pada anggota geraknya. Menurut keterangan dari ayah pasien, sejak kecil
kedua kaki dan tangan pasien kaku. Pada usia 3 tahun pasien diajari untuk berjalan, namun
pasien tidak dapat melakukannya. Pasien hanya bisa berteriak dan hanya bisa membuka
mulut apabila disendokkan makanan. Ayah pasien menyadari bahwa anaknya mengalami
keterlambatan bicara, duduk dan berjalan yang seharusnya dapat dilakukan sesuai usianya.
Sampai sekarang pasien harus selalu dibantu bila dari posisi berbaring ke duduk
ataupun sebaliknya. Dari posisi duduk ke berdiri pun harus dibantu dan tidak bisa berdiri
sendiri. Pasien tidak mengalami kaku pada mulutnya. Pasien tidak merespon bila dipanggil
namanya. Pasien tidak memiliki keluhan buang air kecil dan buang air besar.
Pasien anak ke sepuluh dari sepuluh bersaudara, dimana semua saudaranya
pertumbuhannya normal seperti anak lainnya. Pada riwayat prenatal dan postnatal, tidak
diketahui.
Pada riwayat makanan, pasien mendapatkan asi tetapi tidak eksklusif dan makanan
pendamping asi, sedangkan pada riwayat imunisasi, pasien mendapatkan imunisasi
lengkap.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Definisi Cerebral Palsy adalah kelainan gerak dan postur akibat dari lesi yang tidak
progresif pada otak yang belum matur. Abnormalitas neurologi menghasilkan pola gerak
abnormal yang dikenal khas pada CP. Kelainan motorik dari CP sering diikuti oleh
gangguan sensori, kognisi, komunikasi, persepsi, kejang dan atau perilaku. Gangguan
motorik ini seringkali disertai dengan gangguan sensoris, persepsi, kognisi, komunikasi,
dan perilaku serta juga epilepsi dan masalah sekunder muskuloskeletal. Cerebral Palsy
disebabkan oleh berbagai etiologi dari perkmebangan, genetik, metabolik, iskemik,
infeksius, dan etiologi didapat lainnya yang menghasilkan fenotipe yang sama.
2.2 Epidemiologi
Cerebral Palsy merupakan penyebab utama disabilitas pada anak. Insidensi dari
Cerebral Palsy sebanyak 2 kasus per 1000 kelahiran hidup, dimana 5 dari 1000 anak
memperlihatkan defisit motorik yang sesuai dengan cerebral palsy. Sekitar 50% kasus
termasuk ringan dan 10% kasus termasuk kasus berat. Sejumlah 25% memiliki intelegensia
(IQ) rata-rata normal sementara 30% kasus menunjukan IQ dibawah 70. Sebanyak 35%
disertai kejang dan 50% menunjukan gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak dari
perempuan (1,4 : 1,0), dengan rata-rata 70 % ada pada tipe spastik, 15% tipe atetotik, 5%
ataksia, dan sisanya campuran.
2.3 Etiologi
Penyebab lesi otak pada Cerebral Palsy terjadi selama fase prenatal, perinatal dan
pascanatal. Hampir 70-80% penyebab Cerebral Palsy terjadi pada fase prenatal. Berikut
daftar faktor risiko yang berkaitan dengan Cerebral Palsy.
Prenatal Perinatal Pascanatal
 Malformasi kongenital  Prematur <32 minggu  Cidera dan infeksi
 Faktor sosioekonomi  BBL <2500 gram  Perdarahan intrakranial
 Infeksi dalam rahim  Retardasi pertumbuhan  Koagulopati
 Toksik atau obat  Presentasi abnormal
teratogenik  Perdarahan intrakranial
 Cidera
 Infeksi
 Ibu menderita retardasi  Hipoksia dan bradikardi
mental, kejang, dan  Kejang
hipertiroid  Hiperbilirubinemia
 Komplikasi plasenta
 Cidera perut
 Kelahiran yang berulang

2.4 Klasifikasi Cerebral Palsy


Canbars & Paine mengembangkan suatu sistem dengan menggunakan model
spastisitas dan ekstrapiramidal. Modifikasi sistem ini paling sering dipakai oleh para
klinisi. Manifestasi Cerebral Palsy bisa berubah seiring dengan usia anak. Klasifikasi awal
mungkin berubah setelah anak matur. Modifikasi klasifikasi neurologic membagi pasien
ke dalam beberapa kategori :
1. Cerebral Palsy Spastik (Piramidal)
Merupakan bentukan cerebral palsy terbanyak (70-80%), otot mengalami
kekakuan dan secara permanan akan menjadi kontraktur. Spastisitas akibat dari
kerusakan sistem pyramidal terutama korteks motor di otak. Cerebral Palsy spastik ini
menunjukkan gejala upper motor neuron (UMN) :
 Hiperefleksia
 Klonus (normal ada klonus pada neonatus)
 Refleks Babinski positif (abnormal setelah usia 2 tahun)
 Refleks primitive yang menetap
 Overflow reflexes seperti crossed adductor
Tipe spastik ini dibagi ke dalam distribusi topografi atau bagian tubuh yang terlibat :
 Monoplegia (satu anggota gerak yang terlibat, lengan atau tungkai)
 Diplegia (anggota gerak bawah yang terlibat)
 Triplegia (mengenai tiga anggota gerak)
 Quadriplegia (mengenai empat anggota gerak dan togok)
 Hemiplegia (mengenai satu sisi tubuh termasuk anggota gerak atas dan bawah)
2. Cerebral Palsy Diskinetik (Ekstrapiramidal)
Cereberal Palsy diskinetik terjadi pada 10-20% penderita cereberal palsy. Tipe
ini ditandai dengan adanya gerakan ekstrapiramidal. Gerakan abnormal ini akibat
adanya regulasi tonus, control postur dan koordinasi yang abnormal. Gerakan
diskinetik digambarkan sebagai berikut :
 Atetosis yaitu pelan, writhing, gerak involunter terutama di bagian distal
ekstremitas, otot agonis dan antagonis sama-sama aktif, intensitas meningkat
dengan emosi dan aktifitas yang bertujuan. Atetosis akibat dari kerusakan basal
ganglia. Sering akibat Kern Icterus.
 Chorea yaitu gerak tiba-tiba, tidak teratur, gerakan biasanya terjadi di kepala, leher
dan ekstremitas
 Choreoatetoid yaitu kombinasi gerak atetosis dan chorea, pada umumnya
didominasi oleh gerak atetosis.
 Distonia yaitu pelan, gerakan ritmik dengan tonus otot yang berubah-ubah
ditemukan pada ekstremitas dan togok, postur abnormal. Distonia digambarkan
sebagai peningkatan tonus yang tidak tergantung pada kecepatan atau lead pipe
artinya bahwa tonus tidak akan menurun dengan peregangan pelan-pelan.
 Ataxia yaitu koordinasi dan balans jelek, sering berhubungan dengan nistagmus,
dismetria dan pola jalan yang wide base, jarang terjadi kontraktur
3. Tipe Campuran
Sering ditemukan pada seseorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk
Cerebral palsy yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah
spastik dan gerakan diskinetik.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Diagnosis Medis
Diagnosis dilakukan melalui riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik sebaiknya
menghindari sebuah gangguan progresif dari sistem saraf pusat, termasuk penyakit
degeneratif, gangguan metabolik, tumor sum-sum tulang belakang, atau distrofi
otot. Kemungkinan anomali pada basis kranium atau gangguan lainnya yang
memengaruhi spinal cervical perlu dipertimbangkan pada pasien dengan sedikit
keterlibatan dari saraf tangan dan saraf kranialis. Sebuah MRI otak diindikasikan
untuk menentukan lokasi dan luas dari lesi struktural atau malformasi kongenital;
sebuah MRI spinal diindikasikan jika ada kecurigaan patologis sum-sum tulang
belakang. Tambahan pemeriksaan seperti tes pendengaran dan fungsi visual
mungkin perlu dilakukan. Evaluasi genetik perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan malformasi kongenital (kromosom) atau bukti adanya gangguan metabolik
(seperti asam amino, asam organik, MR spectroscopy). Karena Cerebral palsy
biasanya berhubungan dengan spektrum luas gangguan perkembangan, pendekatan
multidisiplin sangat menolong untuk menilai diagnosis dan menatalaksana anak-
anak dengan Cerebral palsy.
2.5.2 Diagnosis Fungsional
Merupakan sistem klasifikasi alternatif berdasarkan pada fungsional dan beratnya
Cerebral Palsy. Secara sederhana dibedakan menjadi ringan, sedang dan berat.
 Ringan, yaitu tidak ada keterbatasan aktifitas.
 Sedang, yaitu ada kesulitan dalam aktifitas sehari-hari, memerlukan alat
bantu/ortesa.
 Berat, yaitu keterbatasan aktivitas sehari-hari sedang sampai berat.
Kemudian sistem fungsional ini dikembangkan berdasarkan fungsi motorik kasar,
yaitu dengan Gross Motor Function Classification System (GMFCS). Pengelompokan
ini berdasarkan pada kemampuan dan keterbatasannya.
 Level I yaitu jalan tanpa keterbatasan di dalam atau di luar rumah juga naik
tangga. Anak mampu berlari dan melompat, limitasi/gangguan pada koordinasi,
keseimbangan dan kecepatan pada aktifitas yang lebih sulit.
 Level II yaitu jalan di dalam dan luar rumah dan naik tangga dengan pegangan
rail, limitasi jalan pada permukaan tidak rata, tanjakan, dan jalan di tempat yang
berjubel atau tempat terbatas/sempit.
 Level III yaitu jalan dengan alat bantu mobilitas di permukaan datar. Anak
mampu mendorong kursi roda secara manual. Kesulitan jalan di luar rumah dan
di permukaan tidak rata.
 Level IV yaitu jalan jarak dekat dengan menggunakan alat mobilitas walker atau
menggunakan kursi roda di rumah, di sekolah atau di luar rumah.
 Level V yaitu mobilitas sangat terbatas walaupun dengan alat bantu canggih.
2.6 Evaluasi Anak Cerebral Palsy
2.6.1 Anamnesis
Riwayat adalah komponen kunci dalam evaluasi anak dengan disabilitas.
Informasi yang baik bisa menuntun seseorang dalam menentukan penyebab,
masalah medik yang mendasari, menentukan fungsi dan rencana terapi.
Riwayat / anamnesis meliputi : Prenatal, Intranatal dan Poscanatal
Informasi umum :
 Nutrisi, feeding style, kemampuan oral, parameter pertumbuhan
 Obat-obat dan alergi
 Operasi yang pernah dialami
 Kejang
 Gangguan mata, meliputi strabismus, esotropia dll
 Pendengaran
 Imunisasi, kesehatan umum dan penyakit saluran nafas
 Kontraktur
 Riwayat penyakit lain
2.6.2 Pemeriksaan klinik
1. Pemeriksaan muskuloskeletal
Pemeriksaan muskuloskeletal meliputi evaluasi statik dan dinamik.
2. Pemeriksaan neurologis
 Asesmen tonus otot, yaitu tonus tergantung pada kecepatan artinya bahwa
bila otot diregangkan secara cepat maka akan terjadi peningkatan tonus
yang lebih daripada bila otot diregangkan secara pelan atau bertahap (4).
 Asesmen Reflek dan postur
3. Keseimbangan, duduk dan pola jalan.
Keseimbangan, duduk dan pola jalan diperiksa. Bisakah anak duduk
tanpa disangga/pegangan? Bisakah anak bangun ke posisi duduk tanpa bantuan
? Apakah keseimbangan anak mudah terganggu saat duduk atau berjalan ?
Pola berjalan diperiksa tanpa alas kaki, anak memakai rok/celana
pendek, pemeriksa pada level yang sama dengan anak. Bisakah anak melompat,
jalan dengan tumit maupun dengan ujung jari/jinjit/lari. Anak dengan hemiplegi
ringan, jalannya tampak normal tetapi akan menunjukkan gerakan abnormal
pada saat lari. Pola jalan diperiksa dari depan dan dari samping.
4. Pemeriksaan penunjang
 Tes Laboratorium dan tes pencitraan neurologis
 Evoked Potentials/electrodiagnosis
 Electroencephalography (EEG)
2.7 Tatalaksana Medis
2.7.1 Terapi Farmakologi
Obat-obatan yang biasa diberikan pada kasus-kasus CP yang disetai kejang
yang bertujuan mencegah kejangnya. Obat lain yang mungkin diberikan adalah obat
untuk mengontrol spastisita (kekakuan otot). Bila terjadi gerakan-gerakan abnormal
seringkali akan diberikan obat-obata untuk mengontrol gerakan abnormal tersebut.
Untuk mengobati kejang pada suatu bagian otot dapat diberikan injeksi toksin
botulinum. Efek sampingnya mungkin merasa lemah, sulit bernapas dan sulit
menelan. Indikasi injeksi toksin botulinum:
 Deformitas ekuinus dinamik dan tidak ada kontraktur plantar fleksi
 Equinus gait tanpa multilevel crouch
 Usia kurang dari 4 tahun dimana koreksi dengan AFO gagal oleh karena adanya
ekuinus dinamik
 Menolak operasi tendon lengthening
Sedangkan untuk mengobati kejang di seluruh tubuh, dapat diberikan diazepam
(Intensol Diazepam, Valium), Tizanidine (Zanaflex), Dantrolene (Dantrium), dan
Baclofen. Dengan dosis obat sebagai berikut :
 Diazepam; dosis 0,5-7,5 mg (2-4x/hari)
 Baclofen; dosis 0,2-2 mg/kgBB/hari (2-3x/hari)
 Dantrolene; dosis 0,5-1mg/kgBB/hari (2x/hari)
Penggunaan diazepam tidak direkomendasikan untuk jangka panjang sebab ada
risiko ketergantungan. Efek sampingnya yaitu mengantuk, merasa lemah dan
banyak ngiler. Efek samping dari tizanidine bisa mengantuk, merasa lemah, tekanan
darah rendah dan kerusakan hati. Efek samping dantrolene dan baclofen mencakup
kantuk.
Indikasi injeksi toksin botulinum:
 Deformitas equinus dinamik dan tidak ada kontraktur plantar fleksi
 Equinus gait tanpa multilevel crouch
 Usia kurang dari 4 tahun dimana koreksi dengan AFO gagal oleh karena
adanya equinus dinamik
 Menolak operasi tendon lengthening
2.6.3 Terapi Bedah
Indikasi operasi pada Cerebral Palsy yaitu :
 Memperbaiki fungsi dan penampilan
 Mencegah atau koreksi deformitas
Tindakan bedah yang dilakukan, bisa berupa tendon lengthening, tenotomy atau
transfer, soft tissue release, derotational osteotomy, arthrodesis, myotomy . Oleh
karena perubahan-perubahan gait dan maturitas sampai pada usia 7 tahun, maka
lebih bijaksana bila operasi dilakukan pada usia tersebut kecuali bila ada subluksasi
hip dan anak yang hampir mencapai kondisi ambulasi tetapi terhambat dengan
adanya kontraktur. Dalam hal ini, Rehabilitasi berperan penting pasca operasi dan
pasca lepas gips dengan sasaran:
 Memperbaiki LGS
 Meningkatkan kekuatan otot
 Memperbaiki kontrol motorik
 Mengurangi nyeri
 Mengurangi spastisitas
 Mencegah kembalinya deformitas.
2.7 Tatalaksana Rehabilitasi
Manajemen Cerebral Palsy memerlukan pengetahuan dasar abormalitas anatomi
dan fisiologi anak, interaksi biologi dan faktor lingkungan. Dengan integrasi
pengetahuan dasar tentang anatomi dan fisiologi anak yang abnormal, maka tim
Rehabilitasi bersama dengan keluarga berusaha mengembangkan kemampuan anak
dengan hendaya ke level motorik, intelektual dan fungsi sosial yang maksimal.
Cerebral Palsy sering mengalami kelainan multisistem. Rehabilitasi melibatkan
beberapa profesi. Evaluasi ulang dan meresepkan program baru sangat penting. Sasaran
utama program rehabilitasi adalah anatisipasi komplikasi dan mencapai keterampilan
baru.
2.7.1 Intervensi Awal
Setelah diagnosis dibuat, intervensi rehabilitasi dapat segera dimulai,
dengan tujuan memperbaiki fungsi; mengembangkan fungsi kompensasi;
mencapai kemandirian dalam aktifitas sehari-hari, sekolah, kerja, dan
kehidupan sosial. Intervensi awal merupakan program untuk memperbaiki
interaksi pengasuh, dorongan keluarga untuk bisa menerima, pengetahuan atau
keterampilan merawat anak di rumah, motorik dan perkembangan lain. Tim
tidak hanya bertugas mendidik saja tetapi juga mendorong keluarga untuk
mengidentifikasi dan memfasilitasi kemampuan dan kebutuhan anak.
Manajemen pada bayi meliputi pemberian posisi dan alignment yang
mencegah bertambahnya postur dan refleks yang abnormal, rangsangan
sensorimotor, dan teknik perawatan yang benar. Konsep intervensi dini sangat
penting bagi anak dengan disabilitas. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi
dini hasilnya baik dalam perkembangan motorik, kognitif, penerimaan anak
dalam keluraga, keterampilan interpersonal, masalah kesehatan lebih stabil
meskipun dengan beberapa batasan, memaksimalkan kemampuan untuk
mandiri dan produktif saat dewasa.

Gambar 1. Contoh pemberian posisi yang benar (A) dan latihan luas gerak
sendi (B&C) pada Cerebral Palsy
Alat-alat yang sering dipakai pada Cerebral Palsy adalah alat untuk
mempertahankan posisi, alat mandi, alat bantu modalitas, kursi roda, alat
adaptasi dalam melakukan aktifitas sehari-hari, alat komunikasi, komputer, alat
trasnportasi, ortotik dan sepatu.

Gambar 2. Walker sebagai alat bantu ambulasi


2.7.2 Therapeutic Exercise
Beberapa metoda terapi mempengaruhi manajemen anak Cerebral Palsy.
Pada umumnya metoda-metoda tersebut dikembangkan secara empiris melalui
observasi klinis dan berdasarkan teori neurofisiologis. Metoda-metoda yang
dipakai antara lain Phelps; Deaver; Temple Fay, Doman & Delacato; Rood;
Bobath; Votja. Intervensi yang dipilih disesuaikan untuk masing-masing anak.
2.7.3 Latihan Fungsional
Latihan memerlukan partisipasi yang kooperatif, maka metode latihan ini
tidak banyak digunakan pada bayi dan anak usia pra-sekolah. Latihan LGS,
latihan penguatan, latihan postural dan kontrol motorik, balans dan koordinasi.
Sasaran jangka pendek adalah aktifitas fungsional pada akhir latihan.
Kemampuan motorik kasar dan hand dexterity adalah penentu untuk rencana
program ADL.
2.7.4 Ortesa
Ortesa dapat membantu memperbaiki gait saat ambulasi. AFO paling sering
diresepkan untuk mengatur posisi pergelangan kaki dan kaki pada saat jalan.
Ortesa diberikan untuk memberi support, membatasi gerak, memperbaiki fungsi
dan mencegah deformitas. Ortesa digunakan untuk ekstremitas atas atau bawah.
Untuk ortesa ekstremitas atas digunakan untuk mempertahankan posisi sendi
yang fungsional. Pemilihan ortesa berdasarkan usia anak, kontrol motorik, tipe
deformitas, desain ortesa, prognosis fungsional jangka pendek dan panjang.
Ortesa sebaiknya sederhana, ringan tapi kuat, dan mudah dipakai. Yang
paling penting adalah brace bisa memberi dan meningkatkan kemandirian
fungsi. Indikasi pemberian ortesa yaitu:
 Anak dengan ekuinus dinamik, untuk mencapai kaki dalam posisi
plantigrade dan mengurangi genu recurvatum,
 Bila ada drop foot, untuk support kaki dalam posisi dorsofleksi saat fase
swing,
 Crouch gait ringan yang bisa membaik dengan AFO,
 Paska operasi.
Gambar 3. Ortesa anggota gerak bawah.
Kiri : ankle foot splint, kanan : sepatu koreksi
2.8 Prognosis
Prognosis penderita dengan gejala motorik yang ringan adalah baik. Bila
semakin banyak gejala penyertanya (retardasi mental, bangkitan kejang, gangguan
penglihatan dan pendengaran) dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk
prognosisnya.
DAFTAR PUSTAKA

Kliegman, Robert. 2011. Nelson Textbook of Pediatrics, 19th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders.
Frontera, Walter R, et al. 2010. DeLisa’s Physical Medicine and Rehabilitation, 5 th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Laswati H, Andriati, Pawana A dan Arfianti L. 2015. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Fisik dan

Rehabilitasi. Departemen Ilmu Kedkteran Fisik dan Rehabilitasi. Fakultas Kedokteran


Universitas Airlangga.

Saharso D. 2006. Palsi serebral dalam pedoman diagnosis dan terapi divisi neuropediatri bagian
ilmu kesehatan anak RSU Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: FK UNAIR/RS Dr.
Soetomo.

Anda mungkin juga menyukai