Anda di halaman 1dari 18

Nama Peserta : dr.

Khairul Saleh Pulungan


Nama Wahana: RSUD Tais
Topik: PPOK
Tanggal (kasus) : 29 Maret 2017
 Nama Pasien : Tn. Tirun No. RM: 02 85 33 17
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Umur : 48 tahun

Tanggal presentasi : 17 April 2017 Pendamping:

dr. Wiwit Wulandari


Tempat presentasi: RSUD Tais
Obyek presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Tirun
No Rekam Medis : 02 85 33 17
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 48 tahun
Alamat : Rawa Indah
Tanggal masuk : Rabu, 29 Maret 2017
Tanggal pemeriksaan : Rabu, 29 Maret 2017
Ruangan : IGD RSUD Tais

1.2 Anamnesis
1.2.1 Keluhan Utama
Sesak nafas

1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk dengan keluhan sesak nafas sejak 2 minggu yang lalu dan memberat
jalam 6 jam SMRS. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan makanan. Pasien juga
mengeluhkan batuk berdahak sejak 2 hari yang lalu, dahak berwarna putih kekuningan, batuk
berdarah (-). Mual (+), muntah (-), riwayat demam (-), BAK dan BAB normal dan tidak ada
gangguan.

1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien belum pernah mengalami seperti ini sebelumnya.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang pernah mengalami keluhan atau penyakit seperti pasien.
1.2.5 Riwayat Sosial Ekonomi, dan Lingkungan Keluarga
Pasien merokok sejak usia 16 tahun, sehari menghabiskan setengah bungkus rokok.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Kesadaran kompos mentis

Appearance Tampak sakit sedang, sesak, gelisah

HR 92x/ menit regular, isi cukup


RR 32x/ menit, regular, retraksi otot bantu napas
Suhu 36,7°C
Kepala Normosefal, tidak ada deformitas, rambut normal
Mata Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-
Hidung Tidak terdapat sekret dan septum deviasi, pernafasan cuping hidung (+)
Mulut mukosa basah, oral trush (-) faring tidak hiperemis, T1-T1
Telinga Sekret (-), cairan (-)
Leher Tidak teraba pembesaran KGB
Paru-Paru Pergerakan dada simetris, retraksi suprasternal dan interkostal (+), sonor
+/+, vesikular +/+ (meningkat), ronkhi basah halus +/+, wheezing +/+ ,

Jantung Bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)


Abdomen  Abdomen datar, lemas, bising usus (+)
 Hepar tidak teraba
 Limpa tidak teraba
Genital Dalam batas normal
Anus Tidak ada kelainan
Extremitas Akral hangat, CRT <2 detik, sianosis (-)
Kulit Kuning langsat, turgor menurun (-)
Rangsang Meningeal Kaku kuduk, Brudzinski I and II, Kernig, Laseque negatif
Saraf kranial normal

1.5 Daftar Masalah


Penyakit Paru Obstruktif Kronik

1.6 Rencana Tatalaksana


 Bed res posisi semi fowler
 Diet MB
 O2 nasal kanul 3 L/menit
 IVFD RL 20 tpm makro
 Nebule salbutamol 1 respule + NaCl 0,9% 2 cc (K/P)
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam (iv)
 Ambroxol syr 3xCI
 Metil prednisolone tab 3x4 mg
 Pedilis syr 3xCI
1.7 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru
yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli.1
PPOK adalah penyakit yang sering terjadi dan dapat diobati dengan karakteristik hambatan
aliran udara yang persisten yang biasanya progressif dan terkait dengan respon inflamasi kronis pada
saluran nafas dan paru-paru terhadap partikel atau gas berbahaya. 2,7

2.2 Faktor Risiko


1. Merokok
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya 3,4. Merokok adalah faktor risiko yang paling sering
ditemui pada PPOK. Perokok memiliki prevalensi angka kematian yang lebih besar dibanding
bukan perokok.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :1,5
a. Riwayat merokok.
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Tingginya kadar polusi udara perkotaan berbahaya bagi individu dengan penyakit jantung
dan paru-paru. Peran polusi udara dalam menyebabkan PPOK tidak jelas, tetapi tampaknya
lebih rendah dibanding merokok. Namun polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil,
terutama dari emisi kendaraan bermotor terkait dengan gangguan fungsi pernafasan. 6,7
3. Hipereaktiviti bronkus
Hiperaktiviti bronkus seperti pada asma bisa menjadi faktor resiko untuk berkembang
menjadi PPOK.7
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berkontribusi dalam patogenesis dan perkembangan PPOK dan
gangguan inflamasi paru.7
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
Faktor resiko genetik yang terbaik didokumentasikan adalah defisiensi herediter parah
antitripsin alfa-1. Sifat resesif langka ini paling sering terlihat pada orang Eropa Utara.
Walaupun hal tersebut hanya relevan dengan sebagian kecil populasi dunia, tetapi ini
menggambarkan interaksi antara gen dan lingkungan menyebabkan PPOK. 7

2.3 Patofisiologi

Seperti telah dijelaskan, bahwa faktor resiko utama dari PPOK ini adalah merokok.
Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia.2
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem
eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan
pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan. 2

PERUBAHAN PATOLOGIK PADA PPOK

Saluran Nafas Proksimal (Trakea, Bronki > 2mm diameter internal)


 Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T, beberapa neutrofil atau eosinofil.
 Perubahan struktural : Sel goblet, hipertrophi kelenjar submukosal ( keduanya menyebabkan
hipersekresi mukus), squamosa metaplasia epitelium.
Saluran Nafas Periferal (Bronkiolus < 2mm)

 Sel inflamasi : Makrofag, (CD8+ > CD4+) limfosit T, limfosit B, folikel limfoid, fibroblas,
beberapa neutrofil atau eosinofil.
 Perubahan struktural : penebalan dinding saluran nafas, fibrosis peribronkial, eksudat inflamasi
luminal, penyempitan saluran nafas, peningkatan respon inflamasi dan eksudat yang berhubungan
dengan kegawatan penyakit.
Parenkim Paru (bronkioulus respirasi dan alveoli)

 Sel inflamasi : Makrofag, CD8+ limfosit T


 Perubahan struktural : kerusakan dinding alveolar, apoptosis dinding epitel dan endotel.
 Emfisema sentrilobular : dilatasi dan kerusakan bronkiolus respirasi (paling banyak pada
perokok)
 Emfisema parasinar : kerusakan kantung alveolar dan bronkiolus respirasi (banyak terdapat pada
defisiensi alpha-1 antitrypsin)
Vaskular Pulmonal

 Sel inflamasi : Makrofag, limfosit T.


 Perubahan struktural : penebalan intima, disfungsi sel endotel
Sumber : GOLD 2011

Gambar 1. PPOK Terkait Partikel Inhalasi


Mekanisme yang terjadi pada PPOK diantaranya adalah:
1. Keterbatasan aliran udara dan
Inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK. Pada pasien PPOK penurunan FEV1
disebakan inflamasi dan penyempitan saluran nafas periferal, sementara penurunan pertukaran
gas disebabkan oleh kerusakan jaringan parenkim paru. Besarnya inflamasi, fibrosis dan eksudat
pada saluran nafas kecil, berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Cepatnya
penurunan FEV1, merupakan karakteristik dari PPOK. Obstruksi saluran nafas periferal secara
progresif, menyebabkan air trapping selama ekspirasi dan mengakibatkan hiperinflasi.
Hiperinflasi ini akan menurunkan kapasitas inspirasi, sehingga kapasitas residu fungsional
meningkat. Diperkirakan hiperinflasi berkembang sejak awal penyakit dan merupakan
mekanisme utama untuk dispnea eksersional.7
2. Abnormalitas pertukaran gas
Abnormalitas dari pertukaran gas itu akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
hiperkapnia. Akibat dari obstruksi saluran nafas periferal menyebabkan ketidakseimbangan
ventilasi – perfusi (VA/Q) disertai gangguan fungsi otot pernafasan, terjadilah retensi CO 2.7

3. Hipersekresi mukus
Hipersekresi mukus, penyebab batuk kronis, tidak dialami semua pasien dengan PPOK.
Hal ini disebabkan metaplasia mukus dengan peningkatan jumlah sel-sel goblet dan pembesaran
kelenjar submukosa, sebagai respon terhadap iritasi saluran nafas kronis akibat asap rokok dan
agen berbahaya lainnya.1,7

4. Hipertensi pulmonal
Hipertensi ringan juga dapat terjadi pada pasien PPOK. hal ini disebabkan vasokonstriksi
hipoksik dari arteri pulmonal kecil, yang akhirnya menyebabkan trejadinya hiperplasia intima.
Pada PPOK, tejadi respon inflamasi pada pembuluh darah serupa dengan yang terlihat pada
saluran nafas dan pada disfungsi sel endotel. 7

5. Inflamasi sistemik
Merokok merupakan faktor risiko umum untuk PPOK dan beberapa penyakit penyerta
yang dapat memicu peradangan sistemik dengan menginduksi stress oksidatif, serta menyebabkan
proses disfungsi endotel. Proses ini terjadi pada perokok hanya dalam beberapa tahun dan pada
perokok pasif.5
Respons peradangan sistemik ditandai dengan ada mobilisasi dan aktivasi sel inflamasi
dalam sirkulasi, produksi protein fase akut dan peningkatan mediator radang. Stress oksidatif dari
radikal bebas memicu disfungsi endotel dengan mengurangi vasodilatasi, pertumbuhan sel
endotel dan meningkatkan pembentukan serta robekan plak pada dinding pembuluh darah. Efek
peradangan sistemik pada PPOK dapat dilihat pada gambar 3. 3

Gambar 3. Efek peradangan sistemik pada PPOK


2.4 Klasifikasi

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4
derajat :4
1. Derajat I: PPOK ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran udara
ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin
tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

2. Derajat II: PPOK sedang


Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP 1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 <
80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya
mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

3. Derajat III: PPOK berat


Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP 1 /
KVP < 70%; 30%  VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat,
penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup
pasien.

4. Derajat IV: PPOK sangat berat


Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP 1 / KVP < 70%; VEP1 < 30%
prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal
jantung kanan.

2.5 Diagnosis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
PPOK di tegakkan berdasarkan :2
A. Gambaran klinis
1. Anamnesis
Diagnosis klinis PPOK seyogyanya dipertimbangkan pada setiap penderita yang
mengalami dyspneu, batuk kronis dengan produksi sputum dan/ atau adanya faktor resiko
(genetik: defisiensi alfa-1 antitripsin, paparan rokok dan polusi udara, oksidatif stres, gender,
usia, infeksi saluran nafas, dll).2
Batuk-batuk pada pagi hari sering dikatakan oleh penderita karena merokok, dan
dianggap bukan sebagai keluhan oleh penderita. Makin lama batuk makin berat, timbul
sepanjang hari. Bila disertai infeksi saluran nafas, batuk akan bertambah hebat dan berkurang
bila infeksi menghilang. Umumnya sputum pasien PPOK berwarna putih atau mukoid, bila
terdapat infeksi akan menjadi purulen atau mukopurulen dan kental. Keluhan sesak
bertambah berat bila terdapat infeksi.2
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis pasien dengan PPOK diantaranya
sebagai berikut (PDPI, 2003) :

Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara

Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi2
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a. Inspeksi

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

Penggunaan otot bantu napas

Hipertropi otot bantu napas

Pelebaran sela iga

Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai

Penampilan pink puffer atau blue bloater1
b. Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar 1
c. Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah1
d. Auskultasi

Suara napas vesikuler normal, atau melemah

Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh1
Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed – lips breathing1

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer 1

Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. 1

2.6 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
Spirometri adalah pengukuran volume dan aliran udara yang masuk dan keluar paru-
paru. Spirometer dapat mengukur volume paru, seperti volume tidal dan kapasitas paru,
seperti kapasitas total.
-
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( %).
-
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
-
VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
-
Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% 6
 Uji bronkodilator
-
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
-
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE <
20% nilai awal dan < 200 ml
-
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil6
 Darah rutin
-
Hb, Ht, leukosit6
 Radiologi
-
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
-
Pada emfisema terlihat gambaran :
a) Hiperinflasi
b) Hiperlusen
c) Ruang retrosternal melebar
d) Diafragma mendatar
e) Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
-
Pada bronkitis kronik :
a) Normal
b) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus6
2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis Banding PPOK Adalah


1. Asma
2. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
3. Pneumotoraks
4. Gagal jantung kronik
5. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.1

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

Tabel 2. Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

Sumber : PDPI 2003

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah :


 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : 1

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Tujuan dari
edukasi pada PPOK adalah untuk mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan, melaksanakan
pengobatan yang maksimal, mencapai aktiviti normal serta meningkatkan kualitas hidup. 1,2
2. Obat – obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ). Macam - macam bronkodilator :1

Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

Golongan agonis beta – 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. 2

Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut.2
b. Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat
> 20% dan minimal 250 mg.1
c. Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : Amoksisilin dan asam klavulanat
Sefalosporin
Kuinolon
Makrolid baru1
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin7
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. 1
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati1

3. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya.1
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di
rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik.
Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat,
ruang rawat ataupun ICU.1

4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. 1,7

5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni
menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK
karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru. Diperlukan keseimbangan antara kalori
yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus
menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster.1

6. Rehabilitasi
Penderita PPOK memerlukan upaya untuk memperbaiki, mencegah penurunan faal paru
dan meningkatkan kualitas hidup. Rehabilitasi medik adalah salah satu upaya untuk
mengembalikan dan menstabilisasi fisio dan psikopatologi dari penyakit paru. Bentuk rehabilitasi
medik paru adalah terapi fisik paru dan latihan fisik. Keberhasilan program rehabilitasi medik
ditentukan oleh motivasi penderita dan dukungan keluarga, sehingga keluarga perlu diberdayakan
dengan memberikan penyuluhan tentang tujuan dan cara-cara terapi, sehingga upaya
pemberdayaan keluarga menjadi penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita PPOK. 2
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri
dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan. 1

Tabel 4. Algoritma PPOK


(Sumber : PDPI 2003)

DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. PPOK. Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
Antonio et all 2007. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. USA

Fahri et al., 2010. Efek Peradangan Sistemik Pada PPOK Terhadap Sistem
Kardiovaskular. Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Kedokteran Vaskular FKUI
KEMENKES. 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Mohan et al, 2012. Systemic Manifestations of COPD. JAPI. Vol 60
Suyono, S., 2006. buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universita
Indonesia
Roberto et all 2011. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. USA

Anda mungkin juga menyukai