Anda di halaman 1dari 7

HUKUM SYARA’

 Mau tidak mau, manusia harus terikat dengan hukum syara’ bila ingin bahagia dunia dan
akherat. Kenapa?
 Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu:: 1) Kelemahan dan keterbatasan manusia, 2)
Allah SWT akan menghisab manusia, 3) Allah Maha Tahu atas segala sesuatu, dan 4)
perintah Allah SWT sendiri untuk terikat dengan hukum-hukum-Nya.

 Pembahasan:

1. Manusia itu Lemah dan Terbatas

 Manusia itu lemah dan serba terbatas. Baik dalam perkara yang dapat diindra maupun
yang ghaib. Setiap orang tahu bahwa jantungnya itu senantiasa berdetak. Tahukah ia
berapa kali jantungnya itu berdetak pada menit pertama, menit kedua dan seterusnya?
Berapa banyak rambut yang ada dikepalanya? Berapa banyak sejak ia baligh sampai
sekarang rambutnya yang rontok? Berapa banyak air yang telah ia konsumsi selama
hidup? Berapa banyak butir pasir dalam satu ember plastik? Banyak lagi pertanyaan-
pertanyaan yang sulit atau bahkan tidak mampu dijawabnya. Kalaupun dijawab,
hanyalah berupa kira-kira, bukan secara pasti. Ini baru menyangkut perkara sederhana
yang dapat diindra. Ini menunjukkan bahwa manusia memang lemah dan terbatas

 Dalam perkara materiil yang lebih kompleks manusia pun kesulitan untuk
menjawabnya. Apalagi dalam perkara ghaib. Bagaimana sebenarnya jin itu? Siapakah
malaikat itu? Apa ‘arsy itu? Dan seribu satu macam pertanyaan yang lain. Dengan
semata mengandalkan akalnya, manusia tidak akan mampu menjawabnya. Andaikan
memaksakan diri untuk menjawabnya, jawabannya itu akan saling berbeda antar satu
orang dengan orang lain. Bahkan sering bertentangan. Antar generasipun dapat
berbeda sikapnya. Akhirnya, kebenaran menjadi relatif tergantung masa dan tempat.
Minuman keras disebut baik pada suatu massa namun buruk pada massa yang lain.
Menjadi WTS dipandang buruk dalam suatu keadaan namun disebut baik pada saat
terdesak ekonomi, misalnya. Menjadi homo (gay/lesbi) dianggap buruk pada suatu
masa, kemudian sekarang dianggap baik. Demikianlah perbedaan dan pertentangan
antara sesama manusia. Padahal topik yang menjadi bahasan hanya itu-itu juga. Bahkan
seseorang seringkali memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda untuk persoalan
yang sama pada saat yang berbeda. Itulah realitas manusia. Tegaslah, manusia itu serba
lemah lagi serba kurang dan terbatas.

 Bila dalam persoalan demikian manusia itu lemah dan kurang, apatah lagi dalam hal
menentukan kebaikan-kebaikan dunia akherat bagi ummat manusia.

1
 Persoalan ini bagi seorang muslim bukan semata didasarkan pada realitas yang
dilihatnya. Dia meyakini betul firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang memberitahukan
bahwa pengetahuan manusia itu amatlah terbatas. “Dan tidaklah kalian Aku beri ilmu
melainkan sedikit,” begitu makna firman-Nya dalam surat al-Isra [17] ayat 85. Lebih dari
itu, Allah SWT Pencipta Manusia menggambarkan ciptaanya itu dengan menyatakan:
“Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh” (Qs. al-Azhab [33]: 72).

 Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila manusia itu sering kali menyangka sesuatu
itu baik padahal buruk, dan menyangka sesuatu yang buruk sebagai baik. Berkaitan
dengan perkara ini Allah SWT memberitahukan: “Boleh jadi kalian membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat
buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui” (Qs. al-Baqarah [2]:
216).

 Berdasarkan realitas kelemahan dan keserbakurangan manusia ini maka menyerahkan


pengaturan kehidupan kepada hukum dan peraturan yang diproduksi oleh hanya akal
manusia hanya akan mendatangkan kerusakan.

2. Hisab dari Allah SWT

 Setelah Allah SWT mengutus rasul-Nya, setiap manusia akan dimintai


pertanggungjawaban atas seluruh amal perbuatan yang dilakukannya didunia.
Artinya Allah SWT akan mengazab siapa saja yang tidak mau mengikuti aturan yang
dibawa rasul tersebut. Firman Allah SWT:

“(Dan) Kami tidak akan mengazab (suatu kaum) sebelum Kami mengutus seorang
rasul.” (Qs. al-Isra’ [17]: 15)

 Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT memberikan jaminan
kepada hamba-Nya; bahwa tidak akan diazab seorang manusia (yang diciptakan-
Nya) atas perbuatan yang dilakukannya sebelum diutus seorang rasul kepada
mereka. Jadi, mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan
yang mereka lakukan sebelum rasul diutus, karena mereka tidak terbebani oleh
satu hukum pun. Namun, tatkala Allah SWT telah mengutus seorang rasul kepada
mereka, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh rasul tersebut
dan tidak ada alasan lagi untuk tidak mengikatkan diri terhadap hukum-hukum
yang telah dibawa oleh rasul tersebut. Allah SWT berfirman:

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan agar tidak ada alasan lagi bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya rasul itu.” (Qs. an-Nisa’ [4]: 165)

2
 Jadi, siapapun yang tidak beriman kepada rasul tersebut, pasti akan diminta
pertanggungjawaban dihadapkan Allah kelak tentang ketidak-imanannya dan
ketidak-terikatannya terhadapa hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut. Begitu
pula bagi yang beriman kepada rasul, serta mengikatkan diri pada hukum yang
dibawannya, ia pun akan diminta pertanggungjawaban tentang penyelewengan
terhadap salah satu hukum dari hukum-hukum yang dibawa rasul tersebut.

 Maka dari itu, setiap muslim diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai
dengan hukum-hukum Islam, karena wajib atas mereka untuk menyesuaikan amal
perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT yang telah dibawa
Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:

“Apa saja yang dibawa/diperintahkan oleh rasul (berupa hukum) kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (Qs. al-
Hasyr [59]: 7)

 Banyak sekali nash-nash yang menjelaskan tentang permintaan tanggung jawab


ini. Diantaranya:

“Ingatlah, hukum itu milik-Nya. Dia penghisab yang paling cepat.” (Qs. al-An’am
[6]: 62)

“Dan jika amalan itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan
(pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan (hasibin).” (Qs. al-
Anbiya [21]: 47)

”Dan siapa saja ingkar terhadap ayat-ayat Allah, ingatlah sungguh Allah itu cepat
hisabnya.” (Qs. al-Imran [3]: 19)

“Dan jika kalian menampakkan apa-apa yang ada pada jiwa kalian, atau
menyembunyikannya niscaya Allah akan menghisab kalian.” (Qs. al-Baqarah [2]:
284)

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan
dihisab dengan hisab mudah.” (Qs. al-Insyiqaq [84]: 7 – 8)

 Jelas sekali, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban manusia. Seluruh


perbuatan manusia akan ditanyain oleh-Nya. Apakah sesuai dengan aturan-Nya
ataukah tidak. Oleh karena itu seorang muslim yang sadar akan tidak mampu
menahan siksa Allah SWT yang dahsyat akan terus berupaya mentaati aturan-Nya.

3
 Penghisab itu adalah Allah SWT, bukan manusia. Oleh karena itu, bagaimana
mungkin aturan kehidupan itu diatur oleh manusia padahal yang akan meminta
pertanggungjawaban bukanlah manusia, melainkan Allah SWT. Dan bagaimana
mungkin kita mendengar kata-kata manusia yang menyuruh untuk tidak taat pada
Allah, sementara dia sendiri kelak akan dihisab oleh Allah swt.

 Jadi,sudah saatnya, tolok ukur perbuatan kita adalah hukum-hukum Allah itu
sendiri yang terdapat di dalam Alqur’an, hadits Nabi, dan apa yang ditunjuk
keduanya. Jangan dengar kata manusia yang menyuruh untuk bermaksiat
padaNya. Karena yang akan menghitung amal kita adalah Allah swt.

3. Allah SWT Maha Tahu

Kepada manusia, kita bisa saja berbohong sesuka kita. Kita bisa saja bersembunyi dalam
melakukan kemaksiatan tanpa ada yang melihat. Tapi jangan lupa, bahwa:

 Allah adalah Dzat Maha Tahu atas segala sesuatu. Tidak ada satupun yang luput
dari pengetahuan-Nya.

"Dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu” (Qs. al-Baqarah [2]: 29)

“Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui tentang apa yang ada dalam dada” (Qs. al-
Anfal [8]: 43)

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang mereka perbuat” (Qs. Yunus
[10]: 36)

“Dan sungguh pada kalian ada para penjaga (malaikat) yang mulia dan menulis
amal. Mereka mengetahui apapun yang kalian lakukan” (Qs. al-Infithar [82]: 11)

 Ayat-ayat diatas secara pasti menerangkan bahwa Allah SWT Tahu atas seluruh
perbuatan manusia. Manusia tidak akan dapat menghindar dan memungkiri apa
yang diperbuatnya didunia. Lebih dari itu, manusia alam menjadi saksi atas dirinya
sendiri.

“Pada hari ini kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan
mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka
kerjakan”(Qs. Yasin [36]: 65)

4
 Berdasarkan hal ini, satu-satunya jalan keselamatan adalah senantiasa terikat
dengan hukum Allah yang telah Dia tetapkan. Bila demikian kerugian bukan
ditanggung oleh orang lain, melainkan oleh diri sendiri.

“Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orag lain. Jika orang yang berat
(oleh dosanya) menyeru, supaya diringankan pikulannya, niscaya tiadalah orang
yang mau memikulnya sedikitpun, meskipun karibnya sendiri” (Qs. Fatir [35]: 18)

4. Perintah Allah SWT untuk Terikat dengan Hukum-Nya

 Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an menegaskan hal ini. Misalkan:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (Qs. an-Nisa’ [4]: 65)

“Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (Qs. aL-Hasyr [59]: 7)

Suatu ketika Abu Najih AL ‘Irbadi bin Sariyah menuturkan tentang Nabi. Rosulullah
SAW, tutur beliau, telah memberikan suatu nasehat kepada kami dimana nasihat
itu mampu untuk menggetarkan hati dan mencucurkan air mata, kemudia kami
berkata:

“Wahai Rosululallah, nasihat itu seakan-akan suatu nasihat yang disampaikan


kepada orang yang akan ditinggalkan . karenanya berilah kami wasiyat.” Beliapun
bersabda: “Saya berwasiyat kepada kamu sekalian agar selalu taqwa kepada Allah
serta selalu mendengar dan taat walaupun yang memimpin kamu adalah seorang
budak dari ethopia. Dan sesungguhnya siapa saja diantara kamu sekalian yang
dilanjutkan usianya niscaya mereka akan melihat banyak perselisihan. Oleh karena
itu, kamu sekalian harus berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaur
rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu
(peganglah teguh-teguh sunnahku itu), dan janganlah kamu sekalian mengada-ada
dalam urusan agama karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat” [HR. Abu
Daud dan Tirmidzi]

 Jadi Islam telah menetapkan bagi manusia suatu tolok ukur untuk menilai segala
sesuatu, sehingga dapat diketahui mana perbuatan yang terpuji (baik) yang harus
segera dilaksanakan dan mana perbuatan tercela (buruk) yang harus segera

5
ditinggalkan. Tolak ukur ini, sekali lagi, adalah hukum syara’ yakni aturan-aturan
Allah SWT yang dibawa Rosulullah SAW dan bukan akal dan hawa nafsu manusia.
Sehingga apabila syara’ menilai perbuatan tersebut itu baik, maka baiklah
perbuatan itu baik, begitu juga sebaliknya.

 Dengan demikian, manusia akan dapat menjalani kehidupan dimuka bumi ini
dengan berada diatas jalan yang lurus (benar), jalan yang akan mendatangkan
kebahagiaan, kedamaian dan ketentraman. Hal yang wajar sebab mereka berjalan
diatas ketentuan-ketentuan Allah SWT yang telah menciptakan dan mengatur
mereka dan mengetahui secara pasti mana yang baik dan buruk bagi manusia.
Sebaliknya, jika manusia menjadikan akal dan hawanya untuk menentukan mana
yang baik dan yang buruk, atau dengan kata lain mereka membuat aturan yang
bertentangan dengan aturan yang diturunkan Allah SWT sehingga mereka berjalan
diatas jalan yang salah, maka yang akan didapatkannnya hanyalah kesengsaraan,
kekacauan, kerusakan, kegelisahan dan berbagai bencana yang silih berganti. Allah
SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan didart dan dilaut disebabkan karena
perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).” (Qs. Ar-
Ruum [30]: 41)

 Dalam terikat dengan hukum syara’ ini tidak layak ditunda-tunda. Rosulullah SAW
bersabda: “Bersegeralah kamu sekalian untuk melakukan amal-amal shalih, karena
akan terjadi suatu bencana yang menyerupai malam yang gelap gulita dmana ada
seorang pada waktu pagi beriman tapi apda waktu sore ia kafir; pada waktu sore
ia beriman tetapi pada waktu pagi ia kafir; ia rela menukar agamanya dengan
sedikit keuntungan dunia” [HR. Muslim]
 Bila hadits ini kita renungkan, rasanya dewasa ini hampir atau bahkan telah terjadi.
Betapa banyak godaan, halangan, dan tantangan yang menghadang didepan orang
yang akan melakukan kebaikan. Sebaliknya, betapa banyak dorongan dan
kemudahan untuk melakukan kemaksiatan.
 Khatimah: Berdasarkan pemaparan diatas jelaslah bahwa manusia itu lemah dan
terbatas. Seluruh perbuatannya akan dihisab oleh Allah Dzat Maha Cepat Hisab-
Nya, sementara Allah SWT Maha Tahu atas seluruh perbuatan manusia termasuk
isi hatinya, malaikatpun mengawasinya, Dia pun memerintahkan untuk selalu
terikat dengan hukum-hukum-Nya. Semua ini meniscayakan orang yang takut akan
hari kiamat untuk selalu terikat pada hukum Allah. Untuk itu perlu memahami
bagaimana hukum Allah mengatur kehidupan dia didunia. Caranya tidak lain,
kecuali dengan kita mengkaji Islam dengan istiqomah. Karenanya, setiap muslim
yang ingin berbahagia akan selalu berupaya untuk mendalami Islam dan
menerapkannya. []

6
7

Anda mungkin juga menyukai