Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

SEJARAH REFORMASI GEREJA


KATOLIK

DISUSUN OLEH:
 Cinda Erika Rahayu
 Ginulur Rahayu
 Fani Febrianti
 Erik Herdiana
 Fujja Cahya Gumelar
 Ata Rusnanto
 Amir Mahmud
 Ari Wahyudi

KELAS XI IPS 1
MAN 1 PANGANDARAN
2017
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi
pendidikan dalam profesi keguruan.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Sejarah Gereja Katolik
Sejarah Gereja Katolik bermula dari karya dakwah Yesus Kristus (ca. 4 SM – ca.
30 M) yang hidup di wilayah Tetrarki Wangsa Herodes (kelak dijadikan Provinsi Yudea
dalam wilayah Kekaisaran Romawi).[1] Gereja Katolik mengajarkan bahwa dirinya
merupakan kesinambungan dari paguyuban umat Kristen perdana yang didirikan oleh Yesus
Kristus,[2] uskup-uskupnya adalah para pengganti rasul-rasul Yesus, dan Uskup Roma (Sri
Paus) adalah satu-satunya pengganti Santo Petrus[3] yang–menurut riwayat dalam Alkitab
Perjanjian Baru–ditunjuk oleh Yesus menjadi kepala Gereja dan berdakwah di kota
Roma.[4][5] Pada akhir abad ke-2, para uskup mulai menyelenggarakan sinode-sinode tingkat
regional untuk membahas dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan doktrin dan
kebijakan.[6] Pada abad ke-3, Uskup Roma mulai bertindak sebagai hakim banding untuk
perkara-perkara yang tidak dapat diputuskan oleh uskup-uskup lain.[7]

Agama Kristen tersebar ke seluruh wilayah Kekaisaran Romawi, meskipun mengalami


penindasan karena bertentangan dengan agama negara yang mempraktikkan penyembahan
berhala. Pada 313, penindasan terhadap umat Kristen perdana akhirnya mereda setelah agama
Kristen dilegalisasi oleh Kaisar Konstantinus I. Pada 380, agama Kristen Katolik
dipermaklumkan sebagai agama negara Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Teodosius I. Agama
Kristen menjadi agama negara sampai dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, dan
bertahan sebagai agama negara Kekaisaran Romawi Timur sampai dengan jatuhnya kota
Konstantinopel. Tujuh Konsili Ekumene yang pertama diselenggarakan pada kurun waktu
ketika agama Kristen menjadi agama negara. Menurut sejarawan Gereja, Eusebius dari
Kaisarea, selama kurun waktu ini ada lima keuskupan (yurisdiksi dalam Gereja Katolik) yang
dihormati sebagai keuskupan-keuskupan utama, yakni Roma, Konstantinopel, Antiokhia,
Yerusalem, dan Aleksandria. Kelima keuskupan utama ini dikenal dengan sebutan Pentarki.

Selama lima abad selanjutnya, sejarah Gereja Katolik diwarnai bentrok antara umat Kristen
dan umat Islam di seantero kawasan Laut Tengah. Pertempuran Poitiers dan Pertempuran
Toulouse mampu mempertahankan keberadaan Gereja Katolik di belahan dunia barat,
meskipun Roma hancur luluh pada 850, dan Konstantinopel telah terkepung. Pada abad ke-
11, renggangnya hubungan antara Gereja Yunani di timur dan Gereja Latin di barat akhirnya
berujung pada Skisma Timur-Barat yang juga turut disebabkan oleh pertikaian seputar
kewenangan Sri Paus. Perang salib keempat dan penjarahan Konstantinopel oleh para tentara
salib menjadikan perpecahan itu bersifat final. Pada abad ke-16, Gereja Katolik menanggapi
gerakan Reformasi Protestan dengan melakukan perubahan dan pembaharuan yang dikenal
dengan sebutan Kontra Reformasi.[8] Di abad-abad berikutnya, agama Kristen Katolik
tersebar ke seluruh dunia, meskipun mengalami penurunan jumlah pemeluk di Eropa yang
disebabkan oleh pertumbuhan agama Kristen Protestan dan munculnya sikap skeptis terhadap
agama selama dan sesudah Abad Pencerahan. Konsili Vatikan II di era 1960-an
menghasilkan perubahan-perubahan terpenting dalam praktik-praktik Gereja Katolik selepas
Konsili Trento empat abad sebelumnya.
Awal Mula

Pentakosta, karya Jean II Restout, 1732

Menurut tradisi Katolik, Gereja Katolik didirikan oleh Yesus Kristus. Kitab Suci Perjanjian
Baru meriwayatkan perbuatan-perbuatan dan ajaran-ajaran Yesus, bagaimana ia memilih
kedua belas rasulnya, dan amanatnya kepada mereka untuk melanjutkan dakwahnya.[9][10]
Gereja Katolik mengajarkan bahwa peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas para rasul (dikenal
dengan sebutan pentakosta) menandai awal mula karya pelayanan Gereja Katolik bagi
masyarakat umum.[11] Umat Katolik meyakini bahwa Santo Petrus adalah uskup pertama kota
Roma dan rasul yang menahbiskan Linus sebagai uskup penggantinya. Pentahbisan Linus
merupakan awal dari garis suksesi apostolik yang berkesinambungan sampai kepada Uskup
Roma saat ini, Fransiskus. Karena itulah Gereja Katolik menghormati Uskup Roma, Sri Paus,
sebagai pengganti Santo Petrus.[12]

Berkat Pengakuan Petrus yang diriwayatkan dalam Injil Matius, Kristus menetapkan Petrus
sebagai "batu karang" yang akan menjadi landasan bagi pembangunan Gereja Kristus.[13][14]
Meskipun sejumlah pengkaji telah menyatakan bahwa Petrus adalah uskup pertama kota
Roma,[15][a] yang lain berpendapat bahwa lembaga kepausan tidak bergantung pada gagasan
bahwa Petrus adalah Uskup Roma atau bahkan pada gagasan bahwa Petrus pernah tinggal di
Roma.[16]

Tatanan Gereja perdana

Kondisi Kekaisaran Romawi kala itu memungkinkan tersebarnya gagasan-gagasan baru.


Pembangunan dan penataan jaringan jalan raya serta perhubungan laut dan perairan
mempermudah orang untuk melakukan perjalanan, sementara Pax Romana memungkinkan
orang untuk melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lain tanpa perlu
mengkhawatirkan gangguan keamanan. Pemerintah kekaisaran mendorong warga negara,
terutama yang tinggal di daerah perkotaan, untuk belajar bahasa Yunani, dan penguasaan
lingua franca tersebut memudahkan orang untuk mengungkapkan dan memahami gagasan-
gagasan.[17] Rasul-rasul Yesus berhasil menarik pemeluk-pemeluk baru di kalangan
paguyuban-paguyuban umat Yahudi di seluruh kawasan Laut Tengah,[18] dan sekitar 40
paguyuban umat Kristen telah terbentuk pada tahun 100.[19] Meskipun sebagian besar dari
paguyuban-paguyuban ini berlokasi di dalam wilayah Kekaisaran Romawi, paguyuban-
paguyuban umat Kristen juga terbentuk di Armenia, Iran, dan sepanjang daerah Pesisir
Malabar di India.[20][21] Agama baru ini menarik banyak peminat, terutama di daerah-daerah
perkotaan; mula-mula tersebar di kalangan budak belian dan orang-orang dari kalangan
bawah, namun kemudian menyebar pula di kalangan kaum perempuan bangsawan.[22]

Mula-mula umat Kristen masih beribadat bersama-sama dengan para pemeluk agama Yahudi.
Umat Kristen yang masih beribadat bersama umat Yahudi ini disebut umat Kristen Yahudi
oleh para sejarawan. Meskipun demikian, dalam dua puluh tahun sesudah Yesus wafat, hari
Minggu dijadikan hari peribadatan utama.[23] Setelah para pendakwah seperti Paulus dari
Tarsus mulai menarik pemeluk baru dari kalangan orang-orang non-Yahudi, ajaran Kristen
lambat laun terpisahkan dari praktik-praktik keagamaan Yahudi[18] dan tumbuh menjadi
agama tersendiri,[24] meskipun hal-hal seputar hubungan antara Paulus dari Tarsus dan agama
Yahudi masih diperdebatkan sampai sekarang. Untuk menyelesaikan perbedaan pandangan di
antara golongan-golongan yang saling bersaing dalam Gereja, pada atau sekitar tahun 50,
para rasul menyelenggarakan konsili yang pertama dalam sejarah Gereja, yakni Konsili
Yerusalem. Konsili ini memutuskan bahwa orang-orang non-Yahudi dibenarkan menjadi
pemeluk agama Kristen tanpa kewajiban menaati seluruh hukum Musa.[6] Ketegangan yang
terus meningkat akhirnya membuat keterpisahan umat Kristen dari umat Yahudi menjadi
semakin melebar dan nyaris paripurna manakala umat Kristen menolak ikut serta dalam
Pemberontakan Bar Kohba yang dikobarkan orang Yahudi pada 132,[25] kendati sejumlah
paguyuban umat Kristen masih mempertahankan beberapa praktik agama Yahudi.[26]

Menurut beberapa sejarawan dan pengkaji, Gereja perdana tidak diorganisasikan secara kaku,
sehingga terbuka peluang bagi munculnya berbagai macam tafsir atas kepercayaan
Kristen.[27]

Persekusi

Tidak seperti sebagian besar agama yang ada di wilayah Kekaisaran Romawi, agama Kristen
mewajibkan para pemeluknya untuk menafikan semua ilah lain, sama seperti agama Yahudi.
Penolakan umat Kristen untuk ikut serta merayakan hari-hari besar pagan menghalangi
mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan masyarakat. Warga masyarakat non-
Kristen–termasuk para pejabat pemerintah–khawatir sikap semacam ini akan membangkitkan
amarah para dewa, sehingga merupakan ancaman terhadap ketenteraman dan kesejahteraan
Kekaisaran Romawi. Selain itu, keakraban antarsesama pemeluknya dan kerahasiaan seputar
praktik-praktik keagamaannya menimbulkan desas-desus bahwa umat Kristen melakukan
inses dan kanibalisme; persekusi-persekusi yang timbul karenanya, meskipun biasanya
bersifat lokal dan sporadis, merupakan salah satu unsur khas dari pemahaman diri Kristiani
sampai agama Kristen dilegalisasi pada abad ke-4.[28][29] Serangkaian tindak persekusi yang
lebih terorganisasi terhadap umat Kristen dilancarkan pada akhir abad ke-3, setelah para
kaisar mempermaklumkan bahwa krisis militer, politik, dan ekonomi yang melanda
Kekaisaran Romawi adalah wujud dari kemurkaan para dewa. Seluruh warga negara
diperintahkan untuk mempersembahkan kurban dengan ancaman hukuman mati jika
ingkar.[30] Umat Yahudi dikecualikan selama mereka bersedia membayar pajak khusus bagi
umat Yahudi. Jumlah umat Kristen yang dieksekusi mati berkisar dari beberapa ratus jiwa
sampai 50.000 jiwa.[31] Banyak yang melarikan diri[32] atau murtad. Perbedaan pendapat
mengenai status orang-orang murtad yang kembali ke pangkuan Gereja adalah penyebab
terjadinya skisma Donatisme dan skisma Novasianisme.[33] Hubungan antara Gereja dan
pemerintah kekaisaran senantiasa berubah-ubah: "Tiberius menghendaki agar Kristus
dijadikan salah satu dewa di Panteon dan menolak melakukan persekusi terhadap umat
Kristen. Di kemudian hari sikap ini berubah. [-] Bagaimana caranya menjelaskan fakta bahwa
orang-orang sekaliber Trayanus dan teristimewa Markus Aurelius begitu gencar menindas
umat Kristen? Sementara di lain pihak, Komodus dan kaisar-kaisar lalim lainnya justru
bermurah hati kepada mereka."[34] Kendati ditindas, karya pewartaan Injil tetap terus berjalan,
dan pada akhirnya agama Kristen dilegalisasi dengan terbitnya Maklumat Milano pada
313.[35] Pada 380, agama Kristen telah dijadikan agama negara Kekaisaran Romawi.[36] Filsuf
religius, Simone Weil, menulis: "Pada zaman Konstantinus, tingkat pengharapan apokaliptis
tentunya sudah menipis. [Kedatangan Kristus yang sudah dekat harinya, penantian akan Hari
Kiamat - merupakan 'suatu bahaya sosial yang sangat besar.'] Disamping itu, semangat
hukum lama, yang sangat jauh terpisahkan dari segala macam ajaran mistik, tidaklah jauh
berbeda dari semangat bangsa Romawi sendiri. Roma dapat menyesuaikan diri dengan Tuhan
sarwa sekalian alam."[37]

Peran Gereja Katolik


Peran Gereja Katolik Roma di dalam peradaban manusia sangat berkaitan erat
dengan sejarah dan terbentuknya Masyarakat Barat. Sebagian besar dari 2000 tahun
sejarahnya, Gereja telah menjadi sumber utama dari perkembangan pendidikan, ilmu
pengetahuan dan ekonomi, dan menjadi penyumbang berbagai pelayanan sosial di banyak
negara di seluruh dunia.

Doktrin Gereja dan ilmu pengetahuan

Para ahli sejarah ilmu pengetahuan, termasuk di antaranya orang-orang non-Katolik seperti
J.L. Heilbron,[1] Alistair Cameron Crombie, David C. Lindberg,[2] Edward Grant, Thomas
Goldstein,[3] dan Ted Davis, telah berpendapat bahwa pihak Gereja memiliki sebuah
pengaruh yang penting dan positif terhadap perkembangan peradaban manusia. Mereka
beranggapan bahwa, tidak saja para biarawan menyelamatkan dan menumbuh-kembangkan
sisa-sisa peradaban kuno selama masa penjajahan kaum barbar, namun juga bahwa pihak
Gereja memajukan pembelajaran dan ilmu pengetahuan melalui sokongannya pada banyak
universitas abad pertengahan yang, dibawah kepemimpinannya, tumbuh berkembang dengan
pesat di Eropa pada abad ke-11 dan ke-12. Santo Thomas Aquinas, sang teolog teladan
gereja, tidak saja berargumen bahwa akal budi itu selaras dengan iman. Ia bahkan menerima
keberadaan akal budi sebagai sesuatu yang dapat memberikan sumbangan kepada pengertian
yang lebih jauh mengenai wahyu ilahi, dan oleh karenanya mendorong perkembangan
intelektual

Pasukan Anti-Katolik

Pembakaran Gereja St. Augustine selama kerusuhan nativis Philadelphia pada tahun 1844 .
Anti-Katolik adalah penentangan atau permusuhan terhadap Gereja Katolik, terhadap para
klerus dan pengikutnya.[1]
Setelah Reformasi Protestan dan setidaknya sampai akhir abad ke-20, sebagian besar
negara Protestan (terutama Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Kanada) menjadikan anti-
Katolik dan oposisi terhadap Paus dan ritual-ritual Katolik sebagai tema utama politik,
dengan adanya sentimen anti-Katolik yang kadang-kadang mengarah ke kekerasan dan
diskriminasi agama terhadap individu-individu Katolik (di negara-negara Protestan berbahasa
Inggris dengan nada merendahkan menyebutnya "papis" atau "Romanis"). Secara historis,
umat Katolik di negara-negara Protestan seringkali (dan hampir selalu tanpa alasan) dicurigai
bersekongkol melawan negara untuk kepentingan kepausan atau untuk
mendirikan hegemoni politik di bawah pimpinan "Kepausan", dengan terkadang adanya
pertanyaan dari umat Protestan mengenai loyalitas individu-individu Katolik kepada negara
dan kecurigaan bahwa umat Katolik lebih mempertahankan loyalitas kepada Vatikan
daripada mempertahankan loyalitas kepada negara tempat mereka berdomisili. Di sebagian
besar negara Protestan dengan imigrasi skala besar, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan
Australia, kecurigaan atau diskriminasi terhadap imigran Katolik sering tumpang tindih atau
bercampur aduk dengan nativisme, xenophobia, dan sentimen etnosentris atau rasis (yaitu
anti-Italianisme, sentimen anti-Irlandia, Hispanofobia, sentimen anti-Quebec, sentimen anti-
Polandia).

Pada periode modern awal, dalam menghadapi meningkatnya kekuatan sekuler di Eropa,
Gereja Katolik berjuang untuk mempertahankan peran politis dan religius tradisionalnya di
negara-negara mayoritas Katolik. Sebagai akibat dari perjuangan ini, di beberapa negara
mayoritas Katolik (terutama di antara individu-individu dengan pandangan politis sekuler
tertentu) timbul sikap bermusuhan terhadap kekuatan politis, sosial, spiritual, dan religius
yang cukup besar dari Paus maupun kaum klerus dalam bentuk anti-klerikalisme.

Kekaisaran Romawi (sekitar tahun 1 — 312)

Yesus Kristus wafat di salib

 Sekitar 1: Kelahiran Yesus. Menurut Injil Lukas, kelahiranNya berlangsung di


Betlehem pada masa pemerintahan Raja Herodes Agung dari Yudea dan Kaisar
Romawi Augustus, dan bahwa dia adalah putera dari Perawan Maria, yang
mengandung oleh kuasa Roh Kudus. Umat Kristiani menganggapNya sebagai
inkarnasi ilahi Putera Allah.

Sekalipun perhitungan yang dilakukan Dionysius Exiguus menentukan kelahiran Yesus pada
pada tahun yang disebut sebagai 1 Masehi, sejarah menempatkan kelahiranNya pada waktu
antara tahun 6 dan 4 SM.

 Sekitar 27: Yesus dibaptis, dimulainya pelayanan, dan dipilihnya para rasul. Injil
Lukas mengindikasikan bahwa Kristus dibaptis pada tahun ke-15 pemerintahan
Kaisar Tiberius yakni tahun 27 Masehi (Lukas 3:1,21,22). Injil-Injil umat Kristiani
sangat menonjolkan Petrus sebagai pimpinan dan juru bicara para rasul Yesus dengan
seringnya disebutkan namanya dalam Injil-Injil. Petrus, dan putera-putera Zebedeus,
Yakobus dan Yohanes, merupakan lingkaran dalam dari para rasul Yesus karena
menyaksikan peristiwa-peristiwa penting tertentu dari kehidupan Yesus. Dakwah-
dakwah utama Yesus, seperti Khotbah di Bukit. Perbuatan-perbuatan mukjizat, seperti
membangkitkan orang mati, memberi makan lima ribu orang, berjalan di atas air, dst.
 Sekitar 33: Petrus menyatakan dan para pengikut lainnya percaya bahwa Yesus dari
Nazaret adalah Al-Masih bangsa Yahudi yang dijanjikan Yahweh menurut kitab-kitab
suci Yahudi dan ramalan-ramalan para nabi Ibrani. Masuk ke Yerusalem, dimulainya
sengsara Kristus. Yesus dari Nazaret disalibkan di Yerusalem di bawah kuasa Pontius
Pilatus, procurator Yudea pada masa pemerintahan Tiberius dan Herodes Antipas,
setelah Sanhedrin, di bawah pimpinan Imam Besar Kayafas, menuduh Yesus
melakukan hujat. Akan tetapi Dia disalibkan oleh bangsa Romawi, atas dakwaan
kejahatan politik yakni perbuatan makar dan pemberontakan seperti yang tertulis pada
titulus di atas salib yang menunjukkan kejahatan yang diperbuatNya yakni: "Yesus
dari Nazaret, Raja orang Yahudi". Menurut para pengikutNya, tiga hari kemudian,
"Allah membangkitkanNya dari antara orang mati"[2], atau, seperti yang juga mereka
katakan, Dia "sudah bangkit."[3] Empat puluh hari setelah kebangkitanNya, Yesus
naik ke surga, Injil-Injil Kristiani meriwayatkan bahwa Yesus memberi petunjuk
kepada para muridNya bahwa: "Segala kuasa telah diberikan kepadaKu di surga dan
di atas bumi. Karena itu pergilah dan jadikanlah semua bangsa muridKu, baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, ajarilah mereka untuk
melakukan semua yang telah kuperintahkan kepadamu; dan lihatlah, Aku
menyertaimu, bahkan sampai akhr zaman." (Matius 28:18-20). Sepuluh hari
kemudian (Pentakosta) Petrus memberikan khotbah perdananya dan 3.000 orang
memberi diri untuk dibaptis. Sejak saat itu, ajaran-ajaran Yesus menyebar ke seluruh
dan ke luar batas Kekaisaran Romawi sehingga membentuk Gereja-Gereja yang
dipimpin oleh para Rasul. Tradisi Kristiani mencatat bahwa Gereja Kristiani di Roma
didirikan oleh Santo Petrus bersama Santo Paulus, dan bahwa Petrus adalah uskupnya
yang pertama.

Anda mungkin juga menyukai