Anda di halaman 1dari 27

CASE BASED DISCUSSION

RINITIS ALERGI

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT- KL


RST Tingkat II dr. Soedjono Magelang

disusun oleh :
Thariq Ibrahim

30101206826

Pembimbing:
Kolonel CKM dr. Budi Wiranto Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2016
LEMBAR PENGESAHAN

CASE BASED DISCUSSION


RINITIS ALERGI

Kepaniteraan Klinik Bagian THT-KL


RST Tingkat II dr. Soedjono Magelang

oleh :
Thariq Ibrahim
30101206826

Magelang, Juni 2016


Telah dibimbing dan disahkan oleh,
Pembimbing,

Kolonel CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat-Nya penulis

dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini. Penulis berharap agar laporan ini

dapat dimanfaatkan oleh tenaga kesehatan dan instasi.

Dalam penyelesaian laporan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada

1. Kolonel CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT

2. Teman-teman Departemen stase THT yang selama ini selalu memberikan

dukungan

Penulis menyadari bahwa selama penulisan ini, penulis masih mempunyai banyak

kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima saran dan kritikan untuk

menyempurnakan laporan ini.

Magelang, Juni 2016

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang dikarakterisasi dengan
adanya gejala-gejala nasal seperti rinore anterior atau posterior, bersin-bersin, hidung
tersumbat, dan/atau hidung gatal. Rinitis alergi adalah wujud yang paling sering ditemui
dari rinitis non-infeksi dan berkaitan dengan respon imun setelah paparan allergen yang
diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE). Rinitis alergi sering pula memicu simptom
okular.
Prevalensi rinitis alergi terus meningkat sepanjang 50 tahun terakhir. Perkiraan
yang tepat tentang prevalensi rinitis alergi agak sulit yaitu berkisar 4-40%. Penyebab
belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya berkaitan dengan meningkatnya polusi udara,
populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dan lain-lain. Lebih dari
500 juta orang di dunia menderita rinitis alergi, dengan 50% penderitanya adalah remaja.
Usia rata-rata terjadinya rinitis alergi adalah antara usia 8-11 tahun, dan 80% rinitis alergi
berkembang pada usia 20 tahun, namun di Amerika Serikat rinitis alergi biasanya dimulai
pada usia di bawah 20 tahun.
Ada beberapa cara untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, yaitu dengan
pemeriksaan fisik, skin test, ataupun RAST (Radio Allergo Sorbent Test). Skin test
ataupun skin prick test merupakan tes obyektif untuk mendeteksi reaksi alergi pasien
terhadap allergen tertentu secara spesifik. Sedangkan RAST yaitu test alergi untuk
mengukur kadar IgE dalam darah, namun kurang banyak dipakai karena lebih mahal dan
kurang sensitif, sehingga hanya digunakan pada kasus-kasus tertentu di mana skin test
tidak dapat dilakukan.
Terapi rinitis dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi gejala-gejala yang
mengganggu, meningkatkan performa kerja atau belajar pasien, meningkatkan kualitas
hidup pasien, serta mencegah peningkatan keparahan penyakit. Dampak rinitis alergi
yang paling utama adalah menurunnya kualitas hidup pasien, mulai dari terganggunya
tidur, menurunnya performa saat bekerja, ataupun menurunnya konsentrasi di sekolah.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. H

Umur : 28 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Sawangan, Magelang

Pekerjaan : Guru

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesi pada tanggal 7 Juni 2016 di poli THT

RST dr. Soedjono Magelang

2.1. Keluhan Utama:

Bersin-bersin

2.2. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poli THT dengan keluhan bersin-bersin pada pagi hari
saat udara dingin dan saat terkena debu, hal tersebut sudah dirasakan 1 tahun
yang lalu, keluhan tersebut hilang timbul. Pada saat siang hari keluhan
berkurang dan tidak mengganggu aktifitas sehari-hari. Disamping itu juga
pasien merasakan hidung yang tersumbat pada hidung kiri & kanan secara
bergantian. Pasien juga mengaku keluar cairan dari kedua lubang hidung,
berwarna bening dan cair. Pasien juga mengeluh di hidung dan mata terasa
gatal. Sampai-sampai mengeluarkan air mata. Pasien tidak mengeluh sakit
kepala, batuk (-), nyeri daerah wajah (-), gangguan penghidu (-), lendir yang
tertelan ke tenggorokan (-). keluhan pada tenggorokan dan gangguan
menelan disangkal oleh pasien. Keluhan pada telinga dan gangguan
pendengaran disangkal oleh pasien.

5
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit serupa : disangkal.

Riwayat batuk pilek : disangkal

Riwayat alergi : debu (+), makanan (-), obat (-)

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Operasi : disangkal

2.4. Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat batuk pilek : disangkal

Riwayat alergi dan asma : Ayah

2.5. Riwayat Sosial Ekonomi:

Pasien tinggal dengan istri dengan 3 orang anak. Biaya kesehatan

ditanggung oleh BPJS Non-PBI.

Kesan ekonomi : cukup

III. PEMERIKSAAN FISIK

3.1. Status Generalis:

3.1.1. Keadaan Umum : Baik

3.1.2. Kesadaran : Compos Mentis

3.1.3. Aktifitas : Normoaktif

3.1.4. Kooperatif : Kooperatif

6
3.1.5. Status Gizi : cukup

3.1.6. Tanda Vital

i. Tekanan Darah : Tidak diperiksa

ii. Nadi : 80 x/menit

iii. Frekuensi Pernafasan : 24 x/menit

iv. Suhu : 36,8 C

3.2. Status Lokalis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan)

3.2.1. Kepala dan Leher

 Kepala : Normocephale

 Wajah : Simetris

 Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-)

3.2.2. Gigi dan Mulut:

 Gigi-geligi : normal

 Lidah : normal, kotor (-), tremor (-)

 Pipi : bengkak (-)

3.2.3. Telinga

Kanan Kiri

Auricula Bentuk normal, Bentuk normal,

nyeri tarik (-) nyeri tarik (+)

tragus pain (-) tragus pain (+)

Pre Auricular Bengkak (-), Bengkak (-),

nyeri tekan(-), nyeri tekan (-),

fistula(-) fistula (-)

Retro Auricular Bengkak (-), Bengkak (-),

7
Nyeri tekan(-) Nyeri tekan(-)

Mastoid Bengkak (-), Bengkak (-),

Nyeri tekan(-) Nyeri tekan(-)

CAE Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Serumen (-) Serumen (-)

Otorea (-) Otorea (-)

Membran Warna: Putih Warna: Puti keabu-

Timpani keabu-abuan abuan

Intake (+) Intake (+)

Perforasi (-) Perforasi (-)

Cone of light (+) Cone of light (+)

Retraksi (+) Retraksi (+)

kedalam kedalam

3.2.4. Hidung dan Sinus Paranasal:

Luar: Kanan Kiri

Bentuk Normal Normal

Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Transluminasi Transluminasi

(tidak dilakukan) (tidak dilakukan)

Inflamasi/tumor (-) (-)

Septum Deviasi (-)

Rhinoskopi Kanan Kiri

Anterior

8
Sekret serous (+) serous (+)

Mukosa hiperemis (-) hiperemis (-)

edema (+) edema (+)

basah (+) basah (+)

pucat (+) pucat (+)

Konka Media dan hipertrofi (+) hipertrofi (+)

Inferior hiperemis (-) hiperemis (-)

Tumor/Massa (-) (-)

Septum Deviasi Tidak terdapat deviasi septum

3.2.5. Faring

Orofaring: Kanan Kiri

Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Pucat/livid (+) Pucat/livid (+)

Palatum mole Ulkus (-) Ulkus(-)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Arcus Laring Simetris (+) Simetris (+)

Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Uvula Ditengah

Edema (-)

Tonsil:

 Ukuran T1 T1

 Permukaan Rata Rata

 Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)

9
 Kripte Melebar (-) Melebar (-)

 Detritus (-) (-)

IV. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

4.1. Invitro : Hitung eosinofil, IgE total, Sitologi hidung, IgE spesifik dengan

RAST atau ELISA

4.2. Invivo : SET (Skin end point titration/SET), IPDFT (intracutaneus

provocative dilutional food test), ‘Challenge test’

V. RINGKASAN

5.1. Anamnesis

 Rinore Serous(+)

 Hidung tersumbat berpindah-pindah (+)

 Hidung dan mata gatal (+)

 Bersin (+)

 Lakrimasi (+)

 Riwayat Alergi (+) debu

 Riwayat penyakit yang sama bapak (+)

5.2. Pemeriksaan

 Rhinoskopi anterior :

o Konka media dan inferior nasalis dextra et sinistra hipertrofi (+)

Sekret serous
10
o Mukosa pucat (+), edema (+)

VI. DIAGNOSIS BANDING:

6.1. Rhinitis Alergi

6.2. Rhinitis Vasomotor

VII. DIAGNOSIS

7.1 Rhinitis Alergi

VIII. USULAN TERAPI dan PENGELOLAAN

 Non medikamentosa

Menghindari alergen penyebab

 Medikamentosa

Antihistamin : Cetirizine tab 10mg 1x1

Dekongestan : Pseudoefedrine tab 60mg 3x1

IX. EDUKASI

a. Diusahakan untuk menghindari kontak dengan alergen


b. Minum obat secara teratur sesuai petunjuk dokter.
c. Menggunakan masker saat membersihkan rumah, mengendarai motor.
d. Meningkatkan kondisi badan dengan asupan gizi yang cukup, olahraga
serta istirahat yang cukup.
e. Menjelaskan kepada pasien akan kambuh jika faktor pencetusnya tidak
dihindari..

X. PROGNOSIS:

Quo ad vitam : ad bonam

11
Quo ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

12
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini diperoleh informasi yang dapat mendukung diagnosis baik dari
anamnesa maupun pemeriksaan fisik yang dilakukan. Dari hasil anamnesa didapatkan:
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan bersin-bersin pada pagi hari saat udara dingin
dan saat terkena debu, hal tersebut sudah dirasakan 1 tahun yang lalu, keluhan tersebut
hilang timbul. Pada saat siang hari keluhan berkurang dan tidak mengganggu aktifitas
sehari-hari. Disamping itu juga pasien merasakan hidung yang tersumbat pada hidung kiri
& kanan secara bergantian. Pasien juga mengaku keluar cairan dari kedua lubang hidung,
berwarna bening dan cair. Pasien juga mengeluh di hidung dan mata terasa gatal. Sampai-
sampai mengeluarkan air mata. Pasien tidak mengeluh sakit kepala, batuk (-), nyeri
daerah wajah (-), gangguan penghidu (-), lendir yang tertelan ke tenggorokan (-). keluhan
pada tenggorokan dan gangguan menelan disangkal oleh pasien. Keluhan pada telinga
dan gangguan pendengaran disangkal oleh pasien.
Dari hasil pemeriksaan klinis pada hidung tidak didapatkan adanya tanda
inflamasi, deformitas/septum deviasi pada kedua hidung, dan dari pemeriksaan
rhinoskopi anterior terlihat sekret yang bersifat serous, mukosa edem, mukosa pucat/livid,
dan basah. Sedangkan pada konka media-inferior tampak hipertrofi. Pada pemeriksaan
telinga tidak didapatkan tanda inflamasi dan tidak ditemukan adanya tanda kelainan.
Setelah menggunakan otoskop ditemukan retraksi kedua membran timpani ke arah
dalam. Begitu pula dengan pemeriksaan tenggorokan tampak adanya kepucatan pada
mukosa dinding faring serta tonsil dalam batas normal.
Berdasarkan data pasien diatas dapat mengarahkan diagnosis yaitu Rinitis alergi.
Diagnosis dapat dilihat dari hasil anamnesis dimana orang tua (bapak) memiliki riwayat
penyakit yang sama sehingga untuk diagnosis banding rinitis vasomotor dapat
disingkirkan. Terlihat adanya secret yang bersifat serous di kedua hidung dan mukosa
hidung tampak edem, pucat/livid, dan basah.
Dari data pasien diatas dapat ditemukan bahwa faktor predisposisi terjadinya
rinitis alergi pada pasien ini adalah pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan serupa
apabila terkena debu dan hawa dingin.

13
Oleh karena itu dapat diberikan edukasi pada pasien untuk menghindari kontak
dengan alergen, menggunakan masker saat membersihkan rumah dan saat mengendarai
motor. Selain itu pasien harus meningkatkan kondisi badan dengan asupan gizi yang
cukup, olahraga serta istirahat yang cukup.
Untuk terapi medikamentosa pada pasien ini dapat diberikan obat anti alergi
(Cetirizine tab 10 mg). Dan dapat diberikan dekongestan (Pseudoefedrine tab 60 mg)
untuk mengatasi hidung tersumbat. Pemberian edukasi mengenai pemaikaian obat harus
diminum secara teratur.

14
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI HIDUNG

Secara anatomi hidung dibagi menjadi 2 yaitu hidung luar dan hidung dalam
Anatomi hidung luar
Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas;
struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak
dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.
Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4)
ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3)
prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.

Anatomi hidung dalam


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,

15
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.

Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh
os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.
Cavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum.
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap
hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius
yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
Dinding Lateral

16
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os
lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,
konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
Konka

Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior
dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior
disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-
kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka
superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan
palatum.
Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid
posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang
besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid
terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.
Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal
dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit
yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus
semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium
sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian
anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya
sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di
depan infundibulum.
Meatus Inferior

17
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior
nostril.
Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang
a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut
pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung)
terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke
intracranial.
Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom
untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut
simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

18
RINITIS ALERGI

3.1.Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.
3.2.Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat
dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur,
suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan
faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan
dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta
jamur.
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.

19
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
3.3.Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi

20
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi.
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat

21
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah
tipe 1, yaitu rinitis alergi
3.4.Klasifikasi
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

22
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
3.5.Gejala Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis. Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata
gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda
hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah
punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian
hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul
kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda
di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah
mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau
otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal
termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda
laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas
dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus
dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
3.6.Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta

23
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan,
kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang
pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi
ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan
sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi

24
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya
ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu
jenis makanan.
3.7.Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja
secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-
1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis
adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat
kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon).
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.

25
3.8.Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,


akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T
CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus.
Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan
menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan
semakin parah

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, 2008. ARIA


Reports.http://www.whiar.org/docs/ARIA-Report-2008.pdf.25 Mei 2014
(14:02).
2. Bataille.M.G. et al., 2008. Evidence for Linkage of a New Region (11p14) to
Eczema and Allergic Disease. Hum Genet. 122(6):605-614.
3. Irawati N et al. 2007. Rhinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta : balai penerbit FK UI;:128-34.
4. Nadraja, I, 2010. Prevalensi Gejala Rinitis Alergi di Kalangan Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007-2009. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara.
5. Rezkiawan, D., Fadlan, I., dan Taher, A., 2013. Prevalensi Gejala Rinitis Alergi
Mahasiswa Prodi Kedokteran Universitas Jambi Angkatan 2010-2012. Skripsi.
Universitas Jambi. Jambi.
6. Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D., 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Shah.S., 2012. Hormonal Link to Autoimmune Allergies. International Scholarly
Research Network. 2012:1-5.
8. Wong, G.W.K.,Ting,F.L., andKo, F.W.S., 2013. Changing Prevalence of Allergic
Diseases in the Asia-Pacific Region. Allergy Asthma Immunol Res., 5(5):251-
257.

27

Anda mungkin juga menyukai