Anda di halaman 1dari 33

TUTORIAL KLINIK

RHINOSINUSITIS

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik

Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:

Yuliana Triwardhani (42160014)

Dosen Pembimbing Klinik:

dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA – RS BETHESDA

YOGYAKARTA

2017
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ibu S
Tanggal Lahir : 2 Februari 1959
Usia : 58 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Piyungan, Bantul
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Agama : Islam
Tanggal Periksa RS : 14 November 2017
No.RM : 00544928

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis di poliklinik THT pada tanggal 13
November 2017.
a. Keluhan Utama
Hidung “bumpet” (tersumbat)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RS Bethesda pada hari Senin, 13
November 2017, dengan mengeluh hidungnya tersumbat (bumpet) sejak 3
minggu sampai sekarang. Sebelum periksa ke RSB pasien telah
memeriksakan diri sebanyak 2x ke dokter umum dipuskesmas dan diberi
obat anti alergi (lupa nama obat). Tetapi hidung “bumpet” tidak sembuh,
sehingga oleh dokter umum tersebut dirujuk ke RSB.

Hidung “bumpet” disertai oleh tenggorokan yang terasa sangat gatal


terutama pada malam hari/bila cuaca dingin. Pasien merasa ditenggorokan
ada yang mengganjal, tetapi tidak merasa terdapat lender/cairan. Sehingga
karena tenggorokan terasa gatal muncul batuk, batuk kering, dan tidak
terdapat dahak/lender. Terlebih saat malam mau tidur, nafas berunyi “grek-
grek”. Tidak terdapat ingus/lender yang keluar dari hidung.
Keluhan lain terdapat rasa gatal pada kedua telinga, tetapi dari
telinga tidak keluar cairan, tidak terdapat nyeri telinga, tidak terdapat telinga
berdenging, dan tidak terdapat penurunan pendengaran.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa : (+), sekitar 1 tahun yang lalu mengalami hal
serupa. Keluhan ini baru terjadi 2x dengan keluhan yang sekarang. Baru
muncul keluhan serupa akhir-akhir ini (1tahunan). Semasa muda tidak
pernah muncul keluhan seperti ini.
 Alergi : (+), 1 tahun yang lalu pernah tes alergi, dan
didapatkan beberapa alergi antara lain alergi dingin, debu, makanan
(tomat,telur,beberapa lupa).
 Hipertensi : (+)
 Diabetes Mellitus : (+)
 Hiperkolesterol : (+)
 Asma : (-)
 Sinusitis, tonsillitis : (-)
 Maag : (-)
 Riwayat trauma kepala : (-)

d. Riwayat penyakit keluarga


 Riwayat keluhan serupa : (-)
 Hipertensi : (+) ibu dan ayah kandung
 Stroke : (+) ibu kandung

e. Riwayat Pengobatan
 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Mondok : (-)
 Riwayat Alergi Obat : (-)
f. Life style
 Aktivitas sehari-hari : ibu rumah tangga (bersih-bersih, masak,
momong cucu)
 Pola makan : teratur 3x sehari, dengan porsi yang sedikit,
tapi akhir-akhir ini cenderung menurun napsu makannya.
 Riwayat merokok (-) dan riwayat konsumsi alcohol (-).
 Kebiasaan mengorek telinga disangkal, hanya mengeringkan daun
telinga setelah mandi, kebiasaan berenang atau aktivitas dalam air
disangkal.
 Tidak ada riwayat mengkonsumsi obat-obat tertentu dalam jangka
waktu yang lama.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Deskripsi Umum
Keadaan Umum : Baik
GCS : E4 V5 M6
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Cukup
Tanda Vital
Tekanan Darah : 160/80 mmHg
Nadi : 72x/menit
Respirasi : 16x/menit
Suhu : tidak diperiksa

b. Status Generalis
1. Kepala
 Ukuran Kepala : Normochepali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi
konjungtiva (-/-), reflek pupil isokor, reflek cahaya (+/+),
gerakan bola mata baik kesegala arah.
 Hidung : Deformitas (-), rhinorhea (-), epitaksis (-), nyeri tekan
sinus paranasal (-), krepitasi (-)
 Mulut : Mukosa basah (+),faring hiperemis (+), sianosis (-),
sekret (-) minimal
 Telinga : Discharge (-), deformitas (-), nyeri tekan mastoid (-/-),
nyeri tekan auricular (-/-)
 Leher : Limfonodi tidak teraba, nyeri tekan (-), pembesaran
tyroid (-).
2. Thorax
 Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan bentuk dada, tidak ada
ketertinggalan gerak
 Perkusi : sonor +/+
 Palpasi : nyeri (-), krepitasi (-)
 Auskultasi : suara paru vesikuler(+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
Suara jantung S1 dan S2, bising jantung (+), gallop (-)
3. Abdomen
 Inspeksi : Supel (+), distensi (-), jejas (-),benjolan/massa (-)
 Auskultasi : peristaltik usus (+)
 Perkusi : timpani
 Palpasi : nyeri tekan (-)
4. Ekstremitas
 Atas : akral teraba hangat, perabaan nadi teraba kuat, CRT <2
detik.
 Bawah : akral teraba hangat, nyeri otot (-)
c. STATUS LOKALIS
1. Telinga

Pemeriksaan Telinga Kanan Telinga Kiri


Auricula Ukuran normal, deformitas (-), Ukuran normal, deformitas (-),
furunkel (-), hematoma (-), furunkel (-), hematoma (-),
ulkus/abses (-), jaringan parut (-), ulkus/abses (-), jaringan parut (-),
fistula pre dan post aurikuler (-) fistula pre dan post aurikuler (-)
Kelianan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Planum Mastoidium Nyeri tekan (-), hematoma (-) Nyeri tekan (-), hematoma (-)
Glandula Limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Can. Aud. Externa Penyempitan (-), Serumen Penyempitan (-), Serumen
minimal (+), edem (-), Hiperemis minimal (+), edem (-), Hiperemis
(-), debris (-), benda asing (-) (-), debris (-), benda asing (-)
Membrana Timpani Bentuk konkaf, warna keabu- Bentuk konkaf, warna keabu-
abuan, Perforasi (-), Hiperemis (-), abuan, Perforasi (-), Hiperemis (-),
RC arah jam 5 RC arah jam 7
Kesan: AD dan AS dalam batas normal, hanya ditemukan adanya serumen
minimal.

2. Tes Penala

Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri


Rinne Rinne + Rinne +
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Scwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Kesan : AD dan AS normal.
3. Hidung dan Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra

Hidung
Dorsum Nasi Deformitas (-), Krepitasi (-), Nyeri tekan (-), Hematom (-)
Cavum Nasi Discharge (-) Discharge (-)
Sinus Paranasalis Inspeksi : eritem (-), edema (-) Inspeksi : eritem (-), edema (-)
Perkusi : Nyeri tekan (-) Perkusi : Nyeri tekan (-)
Transiluminasi : tidak dilakukan Transiluminasi : tidak dilakukan
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Discharge minimal (+), hiperemis (+), edema (+),

Septum Nasi Deviasi septum (-), mukosa hiperemis (-)

Konka inferior Hiperemis (-), discharge (-), discharge minimal (+),


hiperemis (-),

Meatus nasi discharge (-), polip (-) discharge (+), polip (-)
inferior

Konka media Hiperemis (+), discharge (-) Hiperemis (+), discharge (+)
kesan edema (+) kesan edema (+)
Kesan : Rhinitis

4. Rhinoskopi Posterior
Tidak dilakukan pemeriksaan
Fossa Rossenmuller :
Torus Tubarius :
Muara Tuba Eustachius :
Adenoid :
Konka Superior :
Choana :
5. Oropharynx

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Bibir sianosis dan kering (-), stomatitis (-)
Mukosa Oral Stomatitis (-), warna merah muda, hiperemis (-), licin
Gusi dan Gigi Gusi berwarna pink, tidak ada perdarahan, tidak ada ulkus
Lingua Tidak ada atrofi papil lidah, tidak ada ulkus, oral thrush (-),
deviasi lidah (-)
Atap mulut DBN
Dasar Mulut DBN
Uvula Tidak hiperemis, tidak ada deviasi
Tonsila Palatina T1, Detritus (-), pelebaran T1 , Detritus (-), pelebaran
kripta (-), perlengketan (-) kripta (-), perlengketan (-)
Peritonsil Sulit Dinilai Sulit Dinilai
Faring Hiperemis (-), terdapat sekret minimal.
Kesan normal

D. Pemeriksaan Penunjang

Planning :

Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasalis

E. DIAGNOSIS BANDING
Rhinosinusitis
Rhinitis alergica
Rhinofaringitis

F. DIAGNOSIS
Rhinosinusitis dengan AD/AS OMA
G. PENATALAKSANAAN
 Farmakologi
1. Kombinasi anti histamine dan dekongestan peroral : 2x1
Pseudoefedrin Hcl 30 mg
Terfenadine 40 mg
2. Nasal spray : 2x1
Oxymetazoline 0.05 %
3. Anti inflamasi : 2X1 pc
Natrium diklofenak 50 mg
4. Mengambat sekresi asam lambung : 2X1 ac
Ranitidine 150 mg

 Nonfarmakologi
1. Istirahat cukup
2. Menghindari pencetus/ bahan iritasi seperti asap, debu,udara dingin,
menggunakan masker supaya tidak terpapar
3. Teratur minum obat dan kontrol

H. EDUKASI
- Apabila keluhan memberat seperti : hidung tersumbat tidak hilang, demam,
keluar cairan/lender dari hidung dan batuk tidak membaik segera control.
- Rencana pemeriksaan CT-scan sinus paranasalis, bila setelah pengobatan
tidak membaik.
- Menyarankan pasien untuk sementara menghindari makanan yang
mengiritasi tenggorokan seperti makanan pedas, dingin, panas, dan
makanan yang mengandung pengawet,banyak minum air putih.
- Menyarankan pasien untuk menghindari pencetus seperti debu dengan
menggunakan masker jika bepergian., suhu dingin dengan menggunakan
penghangat badan dan konsumsi minum hangat.
- Jaga kebersihan mulut dan gigi.
I. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada setiap individu. Terdapat
empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara atau ostium ke dalam rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usaia antara 15-18 tahun.

Gambar 1. Sinus Paranasal

a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan
infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar M3, bahkan ke akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis; 2) sinusitis
maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) ostium sinus maksila terletak
lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia,
lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau
alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.

b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke 4
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai
ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari
pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih
15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada
foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh
tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari
sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui
ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid.

c. Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi abgi sinus-
sinus lainnya. pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi
2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara
konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara ke meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan
dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya
lebih besar dan lebih sedikitnya jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina
basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disbut bul atmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan
atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinus maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua olehsekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus
dan tampak sebagai indentasi pada dinding sfenoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai indentasi)
dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

e. Vaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoidalis
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri
karotis eksterna.Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna,diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang arteri sfenopalatina,arteri edmoidalis anterior,arteri labialis superior dan
arteri palatina mayor yang disebut Pleksus Kisselbach.
Gambar 2. Vaskularisasi kavum nasi

f. Inervasi
Hidung luar diinervasi oleh divisi oftalmika mempercabangkan n.
Intocoklearis yang membawa sensasi dari dorsum nasi bagian tulang dan n. Nasalis
eksternus yang membawa sensasi atap hidung bagian caudal. Pada kavum nasi dan
sinus, N. Ethmoidalis anterior cabang n. Oftalmika membawa sensasi dari kavum
nasi bagian antro-superior, septum dan sinus ethmoidalis, N.ethmoidalis posterior
membawa sensasi dari cavum nasi posterior dan sinus yang berdekatan, N.
Supraorbital dan supratroclear membawa sensasi dari sinusfrontalis.
Persarafan simpatis berasal dari N. Spinales T1-T2, menuju glandula
cervicalis,manuju n. Petrusus propundus bersama-sama dengan n. Superfisial
mayor ( canalis vidianus ) membentuk n. Sfenopalatinus yang berfungsi untuk
mengecilkan konka.
Persarafan parasimpatis berasal dari nucleus salivatorius superior, dibawa
oleh n. Petrosus superfisialis mayor, melalui canalis n. Vidianus. bersinapsis pada
ganglion sphenopalatina menjadi n. Sphenopalatinus yang berfungsi
membengkakan konka misalnya dalam keadaan dingin

B. RHINO-SINUSITIS
1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab
utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.
Yang sering terkena ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih
jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar gigi
rahang atas, maka infeksigigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinus dentogen.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

Rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS tahun 2007


yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung
selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala dimana salah
satunya adalah buntu hidung (nasal blockage / obstruction / congestion) atau nasal
discharge (anterior / posterior nasal drip) :
± nyeri fasial / pressure

± penurunan / hilangnya daya penciuman

Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum

nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi

yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus

paranasal.

Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai

sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum

nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa

mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi
bersama-sama. Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga

menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung

dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis. Fakta

tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang

mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian

saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain. Sejumlah

kelompok konsensus menyetujui pernyataan tersebut sehingga terminologi yang

lebih diterima hingga kini adalah rinosinusitis daripada sinusitis.7 Hubungan antara

sinus paranasal dan kavum nasi secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1

dibawah ini.

Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat

dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi.

EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok primer


sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik. Alasan

rasional rinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip nasi

berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi

jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.

2. Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan presdiposisi antara lain ISPA akibat virus,

bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,

polip hidung, kelainan anatomi berupa defiasi septum atau hipertrofi konka,

sumbatan kompleks ostio-meatal, infeksi gigi, infeksi tonsil dan kelainan

imunologik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab

sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan

dan menyembuhkan rhinosiusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan

foto polos posisi lateral

Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa: “ Kesehatan sinus setiap

orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume

dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan

kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan

drainase dan aerasi.

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok

sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi

transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup

untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM


merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis

kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi

terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan

mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang

berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa

sinus dan juga mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.

Gambar 2. Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu


faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara


mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah
ditetapkan sebagai penyebab utama. Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi
rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui;
rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi
yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi
rinosinusitis kronik.
Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi, asma,
keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
H.pylori dan refluks laringofaringeal.

Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik


merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor
yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan. Berdasarkan ketiga
kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi
menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.

Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors

Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation


Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle
turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma

James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan


patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori
(berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non
inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan
obat). Rinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi
selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.1

3. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar di dalam kompleks ostio-meatal. Mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Organ-organ yang membentuk kompleks ostio-meatal letaknya
berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan
negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula
serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai sinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobagtan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen.
Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik. Jika terapi tidak berhasil maka inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupaka rantai
siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.

4. Mediator inflamasi rinosinusitis kronik


a. Sitokin
IL-3, IL-5, IL-6, IL-8 menunjukkan peningkatan pada rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi. Kadar IL-5 pada kelompok tanpa polip nasi masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan kelompok dengan polip nasi. Rinosinusitis tanpa polip
nasi mempunyai karakteristik yaitu polarisasi TH1 dengan level IFN-γ dan
TGF-β yang tinggi; sedangkan pada rinosinusitis kronik dengan polip nasi
menunjukkan polarisasi TH2 dengan level IL-5 dan IgE yang meningkat.
Peningkatan TLR2 (toll-like receptor 2) dan sitokin proinflamatori (RANTES /
Regulated on Activation, normal T-cell expressed and secreted dan GM-CSF /
granulocyte-monocyte colony stimulating factor) juga ditemukan pada keadaan
ini.

b. Kemokin
Ekspresi kemokin berbeda pada rinosinusitis kronik atopi (peningkatan sel
CCR4+ dan EG2+) dan yang non atopi (penurunan sel CCR5+). Kemokin lain
yang meningkat yaitu GRO-α (growth-related oncogene alpha) dan GCP-2
(granulocyte chemotactic protein-2).

c. Molekul adhesi
Meningkatnya ligan L-selektin endotelial berkorelasi dengan tingkat keparahan
inflamasi yang terjadi.

d. Eicosanoid
Terdapat peningkatan: COX-2 mRNA, PGE2, 15-Lipooksigenase, LipoksinA,
LTC4 sintase, 5-Lipooksigenase mRNA, peptida-LT, EP1 dan EP3.

e. Metaloproteinase dan TGF-β


Level TGF-β1 meningkat signifikan dibanding dengan kelompok polip nasi,
disertai dengan peningkatan MMP-9 dan TIMP-1.

f. Imunoglobulin
IgE meningkat pada pasien rinosinusitis kronik alergik, fungal dan eosinofilik.
IgG antibodi terhadap golongan fungal juga menunjukkan peningkatan. IgG
spesifik fungal (IgG3) dan IgA menunjukkan peningkatan pada kondisi
‘sinusitis alergik fungal’.

g. Nitrit oksida (NO)


Sel epitel pada rinosinusitis kronik menunjukkan ekspresi TLR-4 dan iNOS
yang kuat dibandingkan kontrol, sedangkan pada kelompok rinosinusitis kronik
yang telah mendapat terapi kortikosteroid nasal menunjukkan peningkatan
nNO.

h. Neuropeptida
Inflamasi neurogenik memegang peranan bagi manifestasi klinis rinosinusitis
kronik. Level CGRP (sensoris trigeminal) dan VIP (parasimpatis) pada saliva
meningkat signifikan pada pasien rinosinusitis kronik alergik.

i. Musin
Musin merupakan komponen utama dari mukus, jenis musin yang meningkat
pada rinosinusitis kronik antara lain MUC5AC, MUC5B dan MUC8.

j. Mediator lain :
1. VEGF (vascular endothelial-cell growth factor), diproduksi oleh
mukosa hidung dan sinus paranasal, berkaitan dengan kondisi hipoksia
yang terjadi pada rinosinusitis.
2. SP-A (surfactant protein A), juga meningkat pada mukosa pasien
rinosinusitis kronik..

5. DIAGNOSIS

Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR 1996,
terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk diagnosis.
Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga kriteria yang
dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan penemuan pada
pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan
fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis
lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS

(2003 TASK FORCE)

Duration Physical findings (on of the following must be present)


>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
symptoms (as described swelling on anterior rhinoscopy (with
by 1996 Task Force) or decongestion) or nasal endoscopy
2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
physical findings
endoscopy
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not
involve the middle meatus, imaging is required for
diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)b

Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya. Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada
dewasa) berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan
pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:

1) Buntu hidung, kongesti atau sesak


2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang
menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip
adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi
anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi
dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan MRI),
pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan
pemeriksaan laboratorium.

 Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik
yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar
belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,
faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan. Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat
dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang
dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:

1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya

2) Sekret / discharge nasal


Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip

3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius

4) Nyeri / tekanan fasial


Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan


untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi
penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan
untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering
digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal
outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome
measure)1,2,11

 Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya).
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip),
krusta, deviasi septum, tumor atau polip.
 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.18
 Pemeriksaan Penunjang
 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal
yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan.18 Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46
% dan spesifisitas 86 %.
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi
X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas
pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi
rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon.
Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan. Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik


akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan
KOM.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

5. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada
rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan
yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi,
infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga.

 Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis


kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu
dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka
cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar
kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi
medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung.

Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi pada orang dewasa antara lain:
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik mengingat
terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah
antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason

a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik dengan


polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan
dan nutrisi yang cukup.

 Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana


dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih
endoskopi.23 Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi ialah:1,23

1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

6. KOMPLIKASI

Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi
diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1 Komplikasi rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial
dan komplikasi lainnya.1

1.1.Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
1.2.Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
1.3.Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus
1.4.Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis, perforasi
septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel, septikemia.

7. PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh secara
spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps
setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %.

RINGKASAN

Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sering didapatkan dan memberikan dampak bagi kualitas hidup
penderita. Patofisiologi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa bersifat
multifaktorial dan faktor predisposisi terjadinya dapat dibedakan menjadi faktor
fisiologik/genetik, faktor lingkungan dan faktor struktural. Diagnosis ditetapkan
berdasarkan kombinasi kriteria obyektif dan subyektif serta ditunjang oleh pemeriksaan
endoskopi nasal dan CT-scan (bila diperlukan). Modalitas terapi rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi terapi medikamentosa dan terapi
pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA

Adams,GeorgeL,Boise, Lawrence R,Peter A : Alih bahasa Wijaya,Caroline : Buku


Ajar Penyakit THT (Boise Fundamentals Otolaryngologi). Edisi 6, EGC,
Jakarta,1994
Black JM, Matassarin-Jacobs E. 1997. Nursing management for continuity of care. 4
ed. Philadelpia: WB Saunders Company
Mine P, Burke KM. 1996. Medical surgical nursing. Critical thinking in client care. 2
nd ed. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company
Mansjoer AT, Kuspuji, Savitri, Rahmi, dkk(ed), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3,
Jilid 1. Media Aesculapius, FKUI,Jakarta,1999.
Soepardi EA, Iskandar N, Buku ajar Ilmu Kesehatan Teling Hidung-Tenggorokan
Kepala, Edisi5, FKUI, Jakarta, 2001.

Anda mungkin juga menyukai