Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PEMAPARAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Iria Sayekti Agustina
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 18-08-1955
Umur : 61 tahun
Alamat : Bausasran DN III/763 RT.39 RW.10
Pekerjaan : Pedagang
Masuk RS Bethesda : 25-01-2017

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Nyeri perut sebelah kanan atas sejak tanggal 07-01-2017 (18 hari SMRS).
Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri semakin berat dan
menjalar ke punggung belakang. Nyeri seperti ini pernah dirasakan pada
tahun 1997. Tidak ada keluhan mual dan muntah.
Riwayat Pemeriksaan Sebelumnya :
 7 Januari 2017
Os periksa di puskesmas dan dinyatakan mengalami apendisitis,
padahal os sudah mengalami apendektomi tahun 1973
 25 Januari 2017
Os periksa di poli penyakit dalam RS Bethesda dan dirujuk ke poli
bedah dengan diagnosa kolelitiasis
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Apendisitis (1973) : Telah dilakukan apendektomi
 Diabetes Melitus (sejak 2005) : Terkontrol
 Hipertensi : (-)
 Kolesterol (2014) : Os menyatakan sudah sembuh
 Asam Urat : (-)

1
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 DM : (+)
 HT : (-)
 Kolesterol : Tidak ada data
 Kolelitiasis : (-)
E. Riwayat Pengobatan
 Metformin 500 mg 2x1
 Glimipirid 1 mg 1x1
F. Alergi
 Alergi Makanan : Ikan laut
 Alergi Obat : (-)
G. Lifestyle
 Merokok : (-)
 Alkohol : (-)
 Makanan Berlemak : (+)
 Makanan Manis : Dikurangi
 Olahraga : Jarang
 Kontrasepsi : Tidak ada data

III. Pemeriksaan Fisik (31 Januari 2017)


A. Status Generalis
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : E4 V5 M6
 Tanda Vital
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,2°C
 Indeks Massa Tubuh : 31,63 (obesitas tingkat II)
Berat Badan : 76 kg
Tinggi Badan : 155 cm
 VAS :3
 Status Psikologis : Tenang

2
 Resiko Jatuh : Risiko rendah (skala jatuh Morse)
 Fungsional : Dibantu

B. Status Lokalis
 Kepala Normocephali
Konjungktiva anemis (-)
Sklera ikterik (-)
Bibir sianosis (-)
Mukosa mulut basah
 Leher Pembesaran limfonodi (-)
Nyeri tekan limfonodi (-)
Pembesaran tiroid (-)
 Thoraks Pengembangan paru simetris
Jejas (-)
Deformitas (-)
Ketinggalan gerak (-)
Nyeri tekan (-)
Fremitus normal (kanan dan kiri sama)
Perkusi sonor kedua lapang paru
Suara nafas vesikuler bilateral
Ronki/wheezing (-)
 Jantung Batas jantung dalam batas normal
Suara jantung S1-S2 murni, regular
Bunyi tambahan (-)
 Abdomen Luka bekas operasi tertutup perban
Tidak tampak jejas di bagian lain abdomen
Distensi (-)
Gerakan usus pada dinding perut (-)
Peristaltik usus dalam batas normal (16x/menit)
Perkusi timpani pada seluruh regio abdomen
Palpasi teraba supel di regio kiri abdomen
Palpasi regio kanan abdomen terasa nyeri menjalar ke
bagian bekas operasi
Pemeriksaan murphy’s sign tidak dilakukan

3
 Ekstremitas Akral hangat
Capillary refill time <2 detik
Nadi teraba kuat
Sianosis (-)
Edema (-)

Gambar 1. Penampakan Abdomen Pasien Bagian Depan yang Ditutup Perban

IV. Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (25 Januari 2017)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Interpretasi
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 14,1 g/dL 11,7-15,5
Lekosit 12,51 rb/mmk 4,5-11,5 H
Hitung Jenis
Eosinofil 2,2 % 2-4
Basofil 0,6 % 0-1
Segment Neutrofil 70,0 % 50-70
Limfosit 22,3 % 18-42
Monosit 4,9 % 2-8
Hematokrit 44,0 % 35,0-49,0
Eritrosit 5,65 jt/mmk 4,20-5,40 H
RDW 13,1 % 11,5-14,5
MCV 77,9 fl 80,0-94,0 L
MCH 25,0 pg 26,0-32,0 L
MCHC 32,0 g/dL 32,0-36,0
Trombosit 528 rb/mmk 150-450 H
MPV 8,9 fl 7,2-11,1
PDW 9,0 fl 9,0-13,0

4
D-Dimer 0,23 Negatif mg/L 0-0,5
Hemostasis
Masa Perdarahan 2,00 mnt.dtk 1,00-6,00
Masa Pembekuan 7,30 mnt.dtk 5,00-12,00
PT
PT (Prothrombin Time) 10,6 detik 9,9-11,8
PT Kontrol 11,20 detik 9,3-12,7
APTT
APTT Test 23,0 detik 23,9-34,9 L
APTT Kontrol 25,80 detik 21,3-28,9
Kimia Darah
Bilirubin Total 0,53 mg/dL 0,20-1,2
Bilirubin Direct 0,22 mg/dL 0,00-0,50
Bilirubin Indirect 0,31 mg/dL 0,00-0,70
Glukosa Darah Sewaktu 110,4 mg/dL 70-140
Ureum 26,8 mg/dL 20,0-43,0
Creatinine 0,60 mg/dL 0,55-1,02
Cholesterol Tidak dilakukan
Amilase-Lipase
Amilase 69,5 u/L 25,0-125,0
Lipase 37,5 u/L 8,0-78

Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap (27 Januari 2017)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Interpretasi
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 12,5 g/dL 11,7-15,5
Lekosit 10,22 rb/mmk 4,5-11,5
Hitung Jenis
Eosinofil 4,3 % 2-4 H
Basofil 0,5 % 0-1
Segment Neutrofil 70,1 % 50-70 H
Limfosit 18,7 % 18-42
Monosit 6,4 % 2-8
Hematokrit 39,6 % 35,0-49,0
Eritrosit 5,01 jt/mmk 4,20-5,40
MCV 79,0 fl 80,0-94,0 L
MCH 25,0 pg 26,0-32,0 L
MCHC 31,6 g/dL 32,0-36,0 L
Trombosit 390 rb/mmk 150-450
Enzim
GOT 9,9 μ/L 3-45
GPT 8,7 μ/L 0-35

5
Fosfatase Alkali 65 μ/L 49-232
Metabolisme Glukosa
Glukosa Puasa 145,9 mg/dL <100 H
Glukosa 2 jam PP 160 mg/dL <140 H

B. Pemeriksaan PA post operasi (30 Januari 2017)


 Makroskopis
Kantung empedu. Jaringan ukuran (10x5x2,5) cm, terbuka, coklat,
dengan bagian kekuningan terbuka sepanjang 7 cm 3 kup.
 Mikroskopis
Sediaan menunjukkan jaringan dinding fibromuskular dilapisi kolumnar
rendah pseudostratified, sebagian perdarahan dan nekrosis, disebuk
limfosit dominan dan bagian dengan proliferasi kelenjar. Tidak
didapatkan tanda ganas.
 Kesan
Jaringan kantung empedu : kolesistitis kronik glandularis.
V. Diagnosis
Kolelitiasis dengan komplikasi kolesistitis
VI. Terapi
Terapi 29 30 31 1 2 3 4 5
Ketorolac 2x1 A
Dynastat 40 (reposis
mg(pre reposisi i gip)
gips)
Yekapons 2x1
Cataflam +4
3x1(XV)
Yekalgin 2x1 +4
Cefspan 2x1

Keterangan : Konsumsi obat

Terapi definitif : Reposisi gip (2 Februari 2017)


Perawatan paska operasi :

6
Paska reposisi gips, pasien dirawat di Ruang Enam RS Bethesda selama
3 hari, kemudian diperbolehkan pulang pada tanggal 5 Februari 2017. Observasi
komplikasi seperti nyeri paska operasi dengan pemberian ketorolak oral, drip
petidin dan novalgin, serta infeksi dengan pemberian ceftazidime dan
metronidazole. Setelah pasase usus baik pasien dapat mulai diet per oral.
Lanjutan terapi setelah ranap :
- Ciprofloxacin
- Paracetamol

VII. Follow Up
 Hari ke-2 : aff NGT
 Hari ke-3 : aff drain

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Kandung Empedu


Vesica biliaris (fellea) atau yang biasa dikenal sebagai kandung empedu
mempunyai panjang 7-10 cm terletak dalam fossa vesicae biliaris pada facies
visceralis hepar. Permukaan dorsal vesica fellea yang berbentuk seperti buah pir,
tertutup oleh peritoneum viscerale, dan permukaan ventral vesica fellea melekat
pada hepar. Peritoneum menyelubungi seluruh fundus dan memantapkan corpus
dan collum vesica fellea pada hepar. Pada vesica fellea dapat dibedakan tiga
bagian (Moore, 2002) :
 Fundus adalah ujungnya yang melebar dan menganjur dari tepi kaudal
hepar, biasanya fundus terletak pada ujung cartilago costalis IX pada linea
medioclavicularis di sebelah kanan
 Corpus vesica fellea bersentuhan dengan facies visceralis hepar, colon
transversum dan pars superior duodenum
 Collum vesicae fellea berbentuk sempit, meruncing dan terarah ke porta
hepatis
Collum vesicae fellea berkelok menyerupai huruf S dan dilanjutkan
sebagai ductus cysticus. Mukosa collum vesica fellea berwujud sebagai lipat
yang berulir, yakni valvula spiralis yang berguna supaya ductus cysticus tetap
terbuka sehingga (a) empedu dengan mudah dapat dialihkan ke dalam vesica
fellea, jika ujung distal ductus choledocus tertutup oleh musculus sphincter
ductus choledochi dan/atau oleh musculus sphincter ampullae
hepatopancreatica, atau (b) empedu dapat memasuki duodenum sewaktu vesica
fellea berkontraksi (Moore, 2002).
Ductus cysticus (panjangnya kira-kira 4 cm) menghubungkan collum
vesicae biliaris dengan ductus hepaticus communis. Ductus cysticus melintas
antara lembar-lembar omentum minus, biasanya sejajar dengan ductus hepaticus
communis. Ductus cysticus dan ductus communis bersatu, membentuk ductus
choledochus [biliaris] (Moore, 2002).

8
Arteria cystica mengantar darah kepada ductus choledochus [biliaris] dan
ductus cysticus. Arteria cystica biasanya (72%) berasal dari ramus dexter arteria
hepatica propria di sudut antara ductus hepaticus communis dan ductus cysticus.
Vena cystica yang menyalurkan darah dari saluran empedu dan collum vesicae
biliaris dapat melintas langsung ke hepar atau memasuki hepar melalui vena
portae hepatica. Vena-vena fundus vesicae biliaris dan corpus vesicae biliaris
melintas langsung ke dalam facies viscerale hepar (Moore, 2002).
Limfe dari vesica biliaris disalurkan ke dalam nodi lymphoidei hepatici,
seringkali melalui nodus cysticus yang terdapat di dekat collum vesicae biliaris.
Pembuluh limfe eferen dari kelenjar-kelenjar tersebut melintas ke nodi
lymphoidei coeliaci. Saraf untuk vesica biliaris dan ductus cysticus mengikuti
arteria custica dari plexus coeliacus (simpatis), nervus vagus (parasimpatis), dan
nervus phrenicus dexter (sensoris) (Moore, 2002).

Gambar 2. Anatomi Kandung Empedu

Vesica biliaris atau kandung empedu memiliki fungsi untuk menyimpan


empedu yang telah dihasilkan oleh hati. Pada saat tidak makan, sfingter Oddi
yang merupakan lubang duktus biliaris ke dalam duodenum akan tertutup,
sehingga sebagian empedu yang disekresikan oleh hati dialihkan balik ke dalam
vesica biliaris. Di dalam vesica biliaris empedu akan dipekatkan. Transpor aktif
garam keluar dari vesica biliaris, dengan air mengikuti secara otomatis,
menyebabkan konsentrasi konstituen-konstituen organik meningkat 5 sampai 10
kali lipat. Selama pencernaan makanan, saat kimus mencapai usus halus, adanya
makanan, khususnya produk lemak di lumen duodenum memicu pelepasan
hormon kolesistokinin (CCK). Hormon ini merangsang kontraksi vesica biliaris

9
dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga empedu dikeluarkan ke dalam duodenum,
tempat bahan ini secara tepat membantu pencernaan dan penyerapan lemak yang
memicu pelepasan CCK. Jumlah empedu yang disekresikan per hari berkisar
dari 250 ml sampai 1 liter, bergantung pada derajat perangsangan (Sherwood,
2011).
Empedu mengandung beberapa konstituen organik, yaitu garam empedu,
kolesterol, lesitin, dan bilirubin (semua berasal dari aktivitas hepatosit) dalam
suatu cairan encer alkalis (ditambahkan oleh sel duktus). Garam empedu adalah
turunan kolesterol yang berfungsi membantu pencernaan lemak melalui efek
deterjen (emulsifikasi) dan mempermudah penyerapan lemak dengan ikut serta
dalam pembentukan misel (Sherwood, 2011).
Molekul garam empedu mengandung bagian yang larut lemak (suatu
steorid yang berasal dari kolesterol) dan bagian larut air yang bermuatan negatif.
Istilah efek deterjen merujuk kepada kemampuan garam empedu untuk
mengubah globulus (gumpalan) lemak besar menjadi emulsi lemak Ketika
butiran besar lemak terurai menjadi butiran-butiran yang lebih kecil oleh
kontraksi usus, garam-garam empedu terserap ke permukaan butiran halus,
membentuk selubung yang terdiri dari komponen garam empedu larut air
bermuatan negatif yang menyebabkan butiran-butiran halus tersebut saling
tolak. Efek ini menyebabkan butiran-butiran lemak terpisah dan tidak kembali
menyatu, sehingga meningkatkan luas permukaan lemak yang tersedia untuk
pencernaan oleh lipase pankreas yang dibantu oleh polipeptida kolipase. Setelah
ikut serta dalam pencernaan dan penyerapan lemak, sebagian besar garam
empedu akan diserap kembali ke dalam darah oleh mekanisme transpor aktif
khusus yang terletak di ileum terminal. Dari sini garam empedu dikembalikan ke
sistem porta hati, yang meresekresikannya ke dalam empedu. Daur ulang garam
empedu ini antara usus halus dan hati disebut sirkulasi enterohepatik (Sherwood,
2011).
Garam empedu bersama dengan kolesterol dan lesitin, juga berperan
penting dalam mempermudah penyerapan lemak melalui pembentukan misel.
Seperti garam empedu, lesitin memiliki bagian yang larut lemak dan bagian
yang larut air, sementara kolesterol hampir sama sekali tak larut dalam air.
Dalam suatu misel, garam empedu dan lesitin bergumpal dalam kelompok-
kelompok kecil dengan bagian larut lemak menyatu di bagian tengah

10
membentuk inti hidrofobik sementara bagian larut air membentuk selubung
hidrofilik di sebelah luar. Misel, karena larut dalam air berkat selubung
hidrofiliknya, dapat melarutkan bahan tak larut air (tapi larut lemak) di bagian
tengahnya. Begitu pula dengan bahan larut lemak dapat di angkut juga melalui
baguan tengah misel. Bahan larut lemak terpenting yang diangkut dalam misel
adalah produk-produk pencernaan lemak (monogliserida dan asam lemak bebas)
serta vitamin larut lemak. Jika tidak menumpang dalam misel yang larut air,
berbagai nutrien ini akan mengapung di permukaan kimus (seperti minyak
terapung di atas air), dan tidak pernah mencapai permukaan absorbtif usus halus.
Selain itu, kolesterol, suatu bahan yang sangat tidak larut dalam air, larut dalam
inti hidrofobik misel. Mekanisme ini penting dalam homeostasis kolesterol.
Jumlah kolesterol yang dapat diangkut dalam bentuk misel bergantung pada
jumlah relatif garam empedu dan lesitin dibandingkan dengan kolesterol
(Sherwood, 2011).
Bilirubin, konstituen utama lainnya pada empedu, merupakan pigmen
empedu utama yang berasal dari penguraian sel darah merah usang. Bilirubin
adalah pigmen kuning yang menyebabkan empedu berwarna kuning. Di dalam
saluran cerna, pigmen ini dimodifikasi oleh enzim-enzim bakteri, menghasilkan
warna tinja yang coklat khas. Jika tidak terjadi sekresi bilirubin, seperti ketika
duktus biliaris tersumbat total oleh batu empedu, tinja berwarna putih keabuan
(Sherwood, 2011).

2.2. Definisi Kolelitiasis


Kolelitiasis atau batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu empedu
merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang mengendap dan
membentuk suatu material batu didalam kandung empedu atau saluran empedu.

11
Gambar 3. Kolelitiasis

2.3. Insidensi Kolelitiasis


Prevalensi batu empedu tertinggi terdapat pada orang keturunan Eropa
utara dan pada populasi penduduk asli Amerika yaitu berkisar 7,9% pada laki-
laki dan 16,6% pada wanita. Prevalensi batu empedu lebih rendah di Asia
(berkisar 3-15%) dan Afrika (kurang dari 5%). Wanita lebih cenderung untuk
mengalami batu empedu kolesterol daripada laki-laki, terutama selama tahun-
tahun reproduksi. Hal ini disebabkan karena estrogen, estrogen sendiri dapat
meningkatkan sekresi empedu kolesterol. Risiko lain meningkat karena usia,
batu empedu jarang terjadi pada anak-anak. Insiden pada wanita menurun pada
menopause tetapi pembentukan batu empedu pada pria terus berlanjut sekitar
0,4% per tahun hingga akhir hidupnya (Everhart, 1999).

2.4. Etiologi Kolelitiasis


Kolelitiasis adalah penyakit dengan penyebab multifaktor. Menurut
gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu empedu dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu (Brunicardi, 2015):
1. Batu kolesterol, dengan tingkat kejadian paling banyak yaitu sekitar 75%
dari total kasus. Memiliki ciri batu berwarna kuning atau putih, berbentuk
bulat atau oval, dan mengkilat. Batu ini selain mengandung kolesterol
(70%), juga mengandung kalsium karbonat, garam empedu, pigmen dan
glikoprotein (Ilychenko, 2004).

Gambar 4. Batu Kolesterol

12
2. Batu pigmen hitam, memiliki angka kejadian 20-30% dan biasanya pada
orang tua. Memiliki ciri berbentuk kecil, berjumlah banyak, padat tapi
mudah rapuh. Mengandung kalsium bilirubinate, fosfat dan kalsium
karbonat tanpa kolesterol (Isayeva, 2008).

Gambar 5. Batu Pigmen Hitam


3. Batu pigmen coklat, terjadi sekitar 10-20% dan biasanya pada orang Asia
Timur. Terbentuk karena stasis kandung empedu, parasit, polimerisasi
kalsium hidrogen bilirubinate, asam lemak jenuh dan infeksi bakteri dengan
hidrolisis enzim di kandung empedu (Conte, 2011).

Gambar 6. Batu Pigmen Coklat

2.5. Patogenesis Kolelitiasis


Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, garam empedu,
lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila
empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian
lama kelamaan akan bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk

13
batu. Faktor motilitas kandung empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi
pembentukan batu campuran.

2.6. Faktor Risiko Kolelitiasis


Empat kelompok faktor mayor yang berkontribusi dalam pembentukan
batu empadu yaitu (Reshetnyak, 2012):
1. Pembentukan inti dan kristal kolesterol
Kolesterol baru dapat dimetabolisme di dalam usus dalam bentuk terlarut
air. Dan empedu memainkan peran tersebut. Kolesterol diangkut dalam
bentuk misel dan vesikel. Misel merupakan agregat yang berisi fosfolipid
(terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol. Apabila saturasi kolesterol
lebih tinggi, maka akan diangkut dalam bentuk vesikel. Vesikel ibarat
sebuah lingkaran dua lapis. Apabila kosentrasi kolesterol sangat banyak,
dan supaya kolesterol dapat terangkut, maka vesikel akan memperbanyak
lapisan lingkarannya, sehingga disebut sebagai vesikel berlapis-lapis
(vesicles multilamellar). Pada akhirnya, di dalam kandung empedu,
pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel, akan bergabung menjadi
vesikel multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein musin yang
disekresikan terus-menerus oleh mukosa kandung empedu akan membentuk
kristal kolesterol oleh karena musin yang berbentuk gel akan meningkatkan
viskositas empedu. Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya
akan di lem (disatukan) oleh protein empedu membentuk batu kolesterol.
2. Pembentukan supersaturasi kolesterol di dalam kandung empedu
 Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia lebih dari 40 tahun cenderung
untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang dengan usia lebih
muda. Hal ini disebabkan :
b. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu, sedangkan
produksi garam empedu menurun sesuai dengan bertambahnya
usia, sehingga akan membuat kondisi di dalam kandung empedu
jenuh akan kolesterol (supersaturasi kolesterol)
c. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan

14
 Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan hormon estrogen
berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Hormon estrogen meningkat terutama saat wanita hamil, pada
wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal dan terapi hormon
saat menopause.
 Berat Badan
Orang dengan BMI lebih tinggi mempunyai risiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka sintesis
dan ekskresi kolesterol ke dalam kandung empedu pun tinggi
dibandingkan kandungan garam empedu dan lesitin sehingga kelebihan
kolesterol dalam empedu mengendap menjadi mikrokristal yang dapat
menggumpal menjadi batu empedu.
 Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani
berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen
dari lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu
melebihi batas normal, cairan empedu dapat mengendap lama dan
kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan
yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu
dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. Diet
rendah serat juga berkontribusi karena akan memperlambat transit isi
usus sehingga akan terjadi pembentukan garam empedu sekunder.
Penggunaan nutrisi parenteral yang terlalu lama juga akan
menyebabkan kandung empedu dilatasi dan hipokinesia.
 Aktivitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko
terjadi kolelitiasis. Ini disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
3. Penurunan fungsi kandung empedu
Endapan kolesterol normalnya terus terbentuk di kandung empedu.
Kontraksi akan mengeluarkan kristal kolesterol dan gumpalan lendir
sehingga mencegah pembentukan batu. Namun pembentukan batu empedu

15
dapat terjadi apabila kontraktilitas menurun dan volume kandung empedu
yang besar. Kontraksi kandung empedu yang melemah akan menyebabkan
statis empedu. Stasis empedu akan membuat musin yang diproduksi di
kandung empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu
tertampung dalam kandung empedu. Musin akan semakin kental dan
semakin pekat sehingga menyulitkan proses pengosongan cairan empedu.
Bila daya kontraksi kandung empedu menurun dan di dalam kandung
empedu sudah ada kristal, maka kristal tersebut tidak akan dapat dibuang
keluar ke duodenum. Bebrapa kondisi yang dapat mengganggu daya
kontraksi kandung empedu yaitu kehamilan, penggunaan nutrisi parenteral
dalam jangka waktu lama (menyebabkan aliran empedu menjadi lambat),
berat badan turun cepat, kelaparan dalam jangka waktu lama, celiac disease,
dan gallbladder cholesterolosis. Dengan bertambahnya umur juga akan
mengurangi jumlah dan sensitivitas reseptor CCK dan aktivitas motorik
kandung empedu sehingga kontraksi vesica biliaris dan relaksasi sfingter
Oddi menurun.
4. Penurunan sirkulasi enterohepatik garam empedu
Dalam pembahasan sebelumnya telah diketahui bahwa garam empedu
berperan dalam penyerapan kolesterol, oleh karena itu jika terdapat
gangguan dalam sirkulasi dan absorbsi garam empedu, akan menyebabkan
penurunan fungsi garam empedu. Penyakit usus halus disertai malabsorbsi
berat seperti pada penyakit celiac disease dan crohn’s disease akan
menyebabkan gangguan absorbsi garam empedu.

2.7. Gejala Kolelitiasis


Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (Sudoyo,
2009):
1. Pasien dengan batu asimtomatik
Sebagian besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu
diagnosis maupun selama pemantauan. Batu empedu tidak menyebabkan
keluhan selama batu tidak masuk dan menyumbat ke dalam duktus. Studi
perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu selama 20 tahun
memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik, 30%
mengalami kolik bilier dan 20% mendapat komplikasi.

16
2. Pasien dengan batu empedu simtomatik
Gejala batu empedu yang paling mengganggu adalah kolik bilier. Keluhan
ini didefinisikan sebagai nyeri perut atas berlangsung lebih dari 30 menit
dan kurang dari 12 jam, hal ini karena batu empedu atau endapan
mempengaruhi duktus sistikus selama kontraksi kandung empedu, sehingga
dinding empedu menjadi tegang. Nyeri berkurang karena kandung empedu
sudah relaksasi dan obstruksi mereda. Biasanya lokasi nyeri di perut kanan
atas dapat menyebar sampai ke ujung scapula kanan atau nyeri di
epigastrium tetapi bisa juga di kiri dan prekordial. Nyeri mulai setelah
makan (biasanya dalam waktu satu jam setelah makan yang berlemak) nyeri
dapat berlangsung selama 1-5 jam. Nyeri dirasakan konstan dan tidak
berkurang dengan emesis, antasida, defekasi,flatus ataupun perubahan
posisi. Nyeri kolik bilier dapat disertai dengan mual dan muntah. Gejala lain
yang muncul antara lain dyspepsia setelah makan makanan yang berlemak,
perut kembung, konstipasi atau diare.
3. Pasien dengan komplikasi batu empedu

2.8. Diagnosis Kolelitiasis


2.8.1. Anamnesis
- Riwayat penyakit sekarang
 Nyeri kolik bilier
 Dispepsia yang disertai dengan intoleransi terhadap makanan
berlemak
 Demam, tanda infeksi atau sepsis
 Mual dan muntah
- Riwayat penyakit dahulu
 Anemia hemolitik
 Thalassemia
- Riwayat penyakit keluarga
 Riwayat kolelitiasis pada keluarga
- Lifestyle yang beresiko
 Makanan : berlemak
 Minuman : < 8 gelas
 Aktivitas yang kurang

17
 Rokok
 Alkohol
 Kontrasepsi hormonal

2.8.2. Pemeriksaan fisik


- Inspeksi : Ikterik cutaneous dan sclera
- Palpasi : Murphy’s sign (tangan diletakkan di abdomen pada garis
midklavikularis yaitu antara tepi kanan m. rectus abdominis dan
arcus costa, pasien bernapas dalam dan tangan kanan naik ke atas,
suatu saat napas pasien terhenti berarti Murphy’s sign positif).
Murphy’s sign positif artinya kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa.
2.8.3. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi lekositosis. Apabila terjadi sindrom
mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang
tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amylase serum biasanya
meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.
2.8.4. Pencitraan
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang
khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Begitu pula
pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops. Kandung empedu kadang terlihat sebagai masa jaringan lunak
di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar
di fleksura hepatica.

18
Gambar 7. Kolelitiasis pada Foto Polos Abdomen
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan standar yang sangat baik
untuk menegakkan diagnosa batu kandung empedu karena memiliki
resolusi tinggi untuk mengidentifikasi batu empedu sekecil 2 mm,
dengan sensitivitas tinggi melebihi 95%. Gambaran khas USG untuk
batu empedu yaitu ditemukannya double layer dan acoustic shadow.
Acoustic shadow adalah daerah yang gagal menyebarkan gelombang
karena adanya hambatan topografi atau gangguan gelombang karena
adanya aliran udara/angina (Brunicardi, 2015).

Gambar 8. Acoustic Shadow pada USG


Pada suatu studi di Jakarta, nilai diagnostik USG dalam
mendiagnosis batu saluran empedu telah dibandingkan dengan
endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) sebagai acuan
metode standar kolangiografi direk. ERCP sangat bermanfaat dalam
mendeteksi batu saluran empedu dengan sensitivitas 90% dan spesifisitas
98%, tetapi prosedur ini invasif dan dapat menimbulkan komplikasi
pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal.

19
Gambar 9. ERCP sebagai Alat Terapeutik dan Diagnostik
Hanya 74-79% kolelitiasis yang dapat diidentifikasi oleh CT
scan. CT scan dan MRI bukan merupakan pilihan diagnosis kolelitiasis.
Biasanya batu empedu ditemukan secara tidak sengaja saat pemeriksaan
CT scan dan MRI abdomen.

Gambar 10. Kolelitiasis pada CT Scan Abdomen

2.9. Komplikasi Kolelitiasis


2.9.1. Kolesistitis akut
Kurang lebih 15% pasien dengan batu simtomatik mengalami kolesistitis
akut.Gejalanya meliputi nyeri perut kanan atas dengan kombinasi mual,
muntah dan demam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nyeri tekan pada
perut kanan atas dan sering teraba kandung empedu yang membesar dan
tanda-tanda peritonitis. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan
selain lekositosis kadang-kadang juga terdapat kenaikan ringan bilirubin
dan faal hati kemungkinan akibat kompresi lokal pada saluran empedu.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu
terjepit. Kemudian terjadi hidrops dari kandung empedu. Penambahan
volume kandung empedu dan edema kandung empedu menyebabkan
iskemi dari dinding kandung empedu yang dapat berkembang ke proses
nekrosis dan perforasi. Jadi pada permulaannya terjadi peradangan steril
dan baru pada tahap kemudian terjadi superinfeksi bakteri (Sudoyo,
2009).
2.9.2. Ikterus
Bilirubin yang diproduksi terus akan terhambat ekskresinya akibat
obstruksi batu empedu, sehingga bilirubin akan menumpuk di tubuh dan

20
menyebabkan ikterus. Pasien dengan kelainan ini tampak kekuningan,
baik di bagian sklera maupun kulit (Sherwood, 2011).

2.9.3. Kolangitis
Penyulit batu saluran empedu yang sering ditemukan di klinis adalah
kolangitis akut dan pankreatitits bilier akibat batu saluran empedu
terjepit di muara papila vater.
Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu
karena adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis
kolangitis akut klasik adalah trias Charcot yang meliputi nyeri abdomen
kuadran kanan atas, ikterus, dan demam yang didapatkan pada 50%
kasus. Kolangitis akut supuratif adalah trias Charcot yang disertai
hipotensi, oliguria, dan gangguan kesadaran.
Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan, yang akan
membaik sendiri, sampai dengan keadaan yang membahayakan jiwa
dimana dibutuhkan drainase darurat. Penatalaksanaan kolangitis akut
ditujukan untuk : (a) memperbaiki keadaan umum pasien dengan
pemberian cairan dan elektronik serta koreksi gangguan elektrolit, (b)
terapi antibiotik parenteral, dan (c) drainase empedu yang tersumbat.
Beberapa studi memperlihatkan angka kematian dengan endoscopic
retrograde cholangio pancreatography (ERCP) hanya sepertiga
dibandingkan dengan operasi terbuka pada pasien dengan kolangitis
yang berat. Oleh karenanya ERCP merupakan terapo pilihan pertama
untuk dekompresi bilier mendesak pada kolangitis akut yang tidak
respons terhadap terapi konservatif (Sudoyo, 2009).
2.9.4. Pankreatitis bilier
Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu empedu akut baru akan
terjadi bila ada obstruksi transien atau persisten di papila vater oleh
sebuah batu. Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis bilier
atau menambah beratnya pankreatitis.
Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pankreatitis bilier akut
yang ringan menyalurkan batunya secara spontan dari saluran empedu ke
dalam duodenum pada lebih dari 80% dan sebagian besar pasien akan
sembuh hanya dengan terapi suportif kolangiografi. Sesudah sembuh

21
pada pasien ini didapatkan insidensi yang rendah kejadian batu saluran
empedu sehingga tidak dibenarkan untuk dilakukan ERCP rutin.
Sebaliknya, sejumlah studi menunjukkan bahwa pasien dengan
pankreatitis bilier akut berat akan mempunyai risiko tinggi untuk
mempunyai batu saluran empedu yang tertinggal bila kolangiografi
dilakukan pada tahap dini sesudah serangan. Beberapa studi terbuka
tanpa kontrol memperlihatkan sfingterotomi endoskopik pada keadaan
ini tampaknya aman dan disertai penurunan angka kesakitan dan
kematian (Sudoyo, 2009).
2.9.5. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan
sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh
obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada
kandungan empedu yang normal.
2.9.6. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

Gambar 11. Macam Lokasi Batu Empedu Mempengaruhi Jenis Komplikasi

2.10. Tatalaksana Kolelitiasis


Terapi awal :
 Cairan intravena
 Analgesia
 Antibiotik

22
- Cephalosporin generasi tiga : ceftriaxone, cefixime, cefoperazone,
ceftazidime
- Cephalosporin generasi dua (cefadroxil) + metronidazole
- Aminoglikosida (streptomisin, gentamisin) + metronidazole
- Quinolone (ciprofloxacin) + metronidazole
Terapi definitif :
 Penanganan batu kandung empedu
- Kolesistektomi terbuka/laparotomi
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.

Gambar 12. Perbandingan Kolesistektomi Laparoskopi dan Kolesistektomi


Laparotomi
- Kolesistektomi laparoskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik.
Delapan puluh sampai sembilan puluh persen batu empedu di Inggris
dibuang dengan cara ini. Kandung empedu diangkat melalui selang yang
dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi pembedahan
batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier
yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah
yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu
besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan
kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil. Kolesistektomi

23
laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu
kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan
teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca
bedah minimal.

Gambar 13. Kolesistektomi Laparoskopi

 Penanganan batu saluran empedu


- Sfingterotomi endoskopik
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP
terapeutik dengan melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini
mulai berkembang sejak tahun 1974 hingga sekarang sebagai standar
baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu. Selanjutnya batu di
dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon
ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen
duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran
empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu
yang terletak di atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa
prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan
batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser (Brunicardi, 2015).

24
Gambar 14. Sfingterotomi Endoskopik

2.11. Pencegahan Kolelitiasis


2.11.1. Pencegahan primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada
orang sehat yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan
primer yang dilakukan terhadap individu yang memiliki risiko untuk
terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan makanan untuk
mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan kadar kolesterol
dengan mengurangi asupan lemak jenuh, meningkatkan asupan sayuran,
buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan mengikat sebagian kecil
empedu di usus sehingga menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di
kandung empedu , minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga
kadar air yang tepat dari cairan empedu.
2.11.2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini
terhadap penderita kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu
yang telah positif menderita kolelitiasis agar dapat dilakukan pengobatan
dan penanganan yang tepat untuk mencegah progresifitas penyakit.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan non bedah ataupun bedah.
Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL.
Penanggulangan dengan bedah disebut kolesistektomi.
2.11.3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan perawatan paliatif dengan
tujuan mempertahankan kualitas hidup penderita, memperlambat

25
progresifitas penyakit serta mengurangi rasa nyeri dan keluhan lain.
Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan memerhatikan asupan
makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat
(seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu.
Pencegahan tersier juga dapat bertujuan untuk mengembalikan fungsi
mental, fisik dan sosial penderita setelah proses penyakit dihentikan.
Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Rismadi, 2010):
- Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk
memastikan dan mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran
- Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan
- Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya
diri, fisik segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat
menerima kehadirannya melalui fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi
fisik, psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi
yaitu dengan rehabilitasi sosial dan rehabilitasi aesthesis yaitu yang
berhubungan dengan kecantikan

26
BAB III
ANALISIS KASUS

3.1. Anamnesis
Berdasarkan teori yang disebutkan batu empedu jarang terjadi pada laki-
laki karena dipengaruhi oleh hormon estrogen yang tidak dimiliki pada laki-
laki. Meski begitu tidak menutup kemungkinan batu empedu terjadi pada laki-
laki karena faktor risiko lainnya.
Selain jenis kelamin masih ada faktor lain yang bisa menjadi penyebab
terjadinya batu empedu. Pada kasus ini usia bisa menjadi salah satu faktor
risikonya dimana batu empedu terjadi pada seseorang yang berusia diatas 40
tahun. Dalam kasus ini pasien berusia 61 tahun. Usia mempengaruhi
pembentukan batu empedu dikarenakan bila pasien sudah lama memiliki batu
asimtomatik maka dengan bertambahnya usia, batu dalam kandung empedu
akan bertambah ukuran oleh sebab berbagai faktor yang mungkin terjadi seperti
yang telah disebutkan di dasar teori. Faktor predisposisi yang mungkin ada
pada pasien ini yaitu:
- Pasien memiliki riwayat kolesterol tinggi dan walaupun sudah dikatakan
sembuh pada tahun 2014, selama ini pasien masih sering makan makanan
berlemak seperti daging dan jeroan. Kenyataan ini dapat membawa kita
untuk mencurigai jenis batu empedu pasien adalah jenis batu kolesterol
atau batu campuran.
- Pasien juga jarang melakukan aktivitas fisik seperti olahraga, sehingga
kandung empedu akan lebih sedikit berkontraksi dan batu empedu akan
semakin mengendap.
- Dengan bertambahnya umur juga akan mengurangi jumlah dan sensitivitas
reseptor CCK dan aktivitas motorik kandung empedu sehingga kontraksi
vesica biliaris dan relaksasi sfingter Oddi menurun.
- Pasien memiliki anak kandung, dimana diketahui bahwa hamil dapat
mengganggu daya kontraksi kandung empedu dan meningkatkan estrogen.

Dari data pasien juga menyebutkan bahwa pasien memiliki berat badan
76 kg dengan tinggi badan 155 cm. Dalam perhitungan indeks massa tubuh
didapatkan hasil 31,63. Berdasarkan kategori indeks massa tubuh menurut

27
Asia Pasifik, pasien termasuk golongan obesitas tingkat II, yang kemungkinan
memiliki risiko besar terhadap kolesterol dan penurunan aktivitas fisik.
Keempat hasil anamnesis ini telah memenuhi syarat resiko besar terhadap
penyakit kolelitiasis yaitu female, forty, fertile dan fat(4F’s).

Pada anamnesis perjalanan penyakit pasien menunjukkan khas nyeri


kolelitiasis yaitu nyeri perut awalnya di regio epigastrium dan minum obat
mag yang tidak menyembuh. Beberapa hari kemudian muncul gejala nyeri
kolik yaitu nyeri bergeser ke regio kanan atas dan menjalar sampai ke
punggung selama beberapa jam disertai nyeri jika perut bagian kanan atas
ditekan. Pada hari kedua rawat inap, terjadi peningkatan suhu pasien yang
dapat menandakan adanya infeksi.

Anamnesis juga ditanyakan gangguan berkemih seperti nyeri saat


kencing, anyang-anyang, dan perubahan warna urin untuk menyingkirkan
diagnosa gangguan pada ginjal dan infeksi saluran kemih. Semua pertanyaan
mengenai gangguan berkemih disangkal.

3.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan satu hari setelah pasien menjalani operasi,
sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan murphy sign yang merupakan
tanda adanya peradangan pada kandung empedu. Ikterik pada konjungtiva juga
tidak ditemukan. Adanya ikterik dapat dikarenakan adanya hambatan ekskresi
bilirubin yang berat.
3.3. Pemeriksaan Penunjang
Dalam pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap, hasil
bermakna terjadi pada peningkatan leukosit. Hasil ini menguatkan bahwa
terjadi infeksi. Hasil lekosit dalam kasus ini penting untuk menentukan
keparahan penyakit pasien berupa kemungkinan terjadi kolesistitis bahkan
peritonitis.
Pemeriksaan fungsi hati melalui enzim SGOT, SGPT dan fosfatase alkali
didapatkan hasil normal. Begitu pula dengan hasil pemeriksaan bilirubin, baik
bilirubin total, direct maupun indirect, didapatkan hasil yang normal, artinya
tidak ada penumpukan bilirubin berlebih dalam tubuh. Pemeriksaan pada
pankreas juga menunjukkan hasil yang normal, yaitu dapat dilihat dari

28
pemeriksaan enzim amilase-lipase. Pemeriksaan fungsi hati dan pankreas
penting karena kandung empedu yang diduga menjadi masalah dalam kasus ini
memiliki hubungan dengan hati dan pankreas. Jika terjadi sumbatan di duktus
yang menyebabkan bilirubin tertumpuk banyak di hati, maka akan
mengganggu fungsi hati dan menyebabkan ikterus obstruktif. Sedangkan jika
terjadi sumbatan di ampula vateri, batu empedu yang terjepit dapat
menyebabkan sepsis bilier atau menambah beratnya pankreatitis.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat direkomendasikan untuk menegakkan
diagnosis. Jika positif adanya batu kandung empedu akan tampak gambaran
acoustic sign.
3.4. Diagnosa Sementara
Kolelitiasis dengan komplikasi

3.5. Terapi
Dalam kasus ini disarankan untuk terapi kolesistektomi laparotomi
karena adanya tanda infeksi pada pasien, sehingga dianggap lebih aman jika
menggunakan prosedur terbuka untuk kemungkinan adanya perforasi kandung
empedu dan peritonitis.
Setelah prosedur operasi, didapatkan 4 buah batu berukuran diameter
1,5-2,5 cm berwarna hitam kekuningan. Kandung empedu kemudian dikirim
untuk dilakukan pemeriksaan PA dan didapatkan hasil bahwa dinding kandung
empedu nekrosis dengan sebuk limfosit. Hal ini sesuai dengan manifestasi
klinis tanda infeksi berupa demam, nyeri saat perut kanan disentuh (murphy’s
sign (+) khas pada kolesistitis) dan lekositosis. Terapi kolesistektomi dianggap
tepat sebelum nekrosis tersebut menjadi perforasi.
Terapi awal medikamentosa sebelum bedah untuk kolelitiasis dengan
kolesistitis sesuai teori yaitu ceftazidime (golongan cephalosporin generasi tiga)
dan terapi antibiotik paska bedah berupa metronidazole dilanjutkan dengan
ciprofloxacin (golongan quinolone).

3.6. Diagnosa post operasi


Kolelitiasis dengan komplikasi kolesistitis

29
3.7. Pencegahan
Edukasi :
- Diet rendah lemak
- Diet makanan berserat
- Meningkatkan aktivitas seperti olahraga

30
BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari refleksi kasus ini yaitu :

1. Bahwa diagnosis batu empedu dapat ditegakkan dari gejala nyeri kolik
bilier, pemeriksaan tanda Murphy’s sign dan pemeriksaan laboratorium
darah untuk menentukan komplikasi yang mungkin terjadi.
2. Tatalaksana batu empedu yang dilakukan adalah dengan terapi
medikamentosa untuk menghilangkan gejala yang dirasakan dan pencegahan
infeksi serta terapi bedah untuk menghilangkan obstruktif batu dalam
empedu dan menghambat progesifitas penyakit.

31
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi, F.C. (2015) Schwartz’s Principles of Surgery. 10th Edition. Mc Graw Hill
Education. Medical.

Conte, D., Fraquelli, M., Giunta, M., Conti, C.B. (2011) Gallstones and Liver Disease:
an Overview. J Gastrointestin Liver Disease;20:9-11.

Everhart, J.E., Khare, M., Hill, M., Maurer, K.R. (1999) Prevalence and Ethnic
Differences in Gallbladder Disease in the United States. Gastroenterology;117 :
632-639.

Ilychenko, A.A. (2004) Gallstone Disease. Lechashchiy Vrach;4 : 27-33.

Isayeva, G.S.(2008) Possible Involvement of Helicobacter Bacteria in the Pathogenesis


of Hepatobiliary Disease. Rossiyskiy Zhurnal Gastroenterologii, Gepatologii,
Koloproktologii;4:14-22,

Moore, K.L. & Agur, A.M.R. (2002) Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates.

Sherwood, L. (2011) Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi VI. Jakarta : EGC.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. (2009) Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing : 1948.

Reshetnyak, V.I. (2012) Concept of the Pathogenesis and Treatment of Cholelithiasis.


World J Hepatol;4(2):18-34.

32

Anda mungkin juga menyukai