Anda di halaman 1dari 43

REFERAT ILMU BEDAH

MEGAKOLON (HIRSCHPRUNG’S DISEASE)

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu

Bedah RS Bethesda pada Program Pendidikan Dokter Tahap Profesi

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh :

YULIANA TRIWARDHANI
421160014

BAGIAN ILMU BEDAH RS BETHESDA


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul “MEGAKOLON”. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi sebagian
syarat kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Bedah RS Bethesda pada program
pendidikan dokter tahap profesi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta
Wacana.
Dengan penuh rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-
besarnya kepada :
1. dr. Purwaka, Sp.B., selaku dosen pembimbing klinik yang telah banyak
memberikan bimbingan, motivasi dan pengarahan dalam penyusunan referat
ini.
2. dr. Gapong Sukowiratmo, Sp.B. selaku dosen pembimbing referat yang
telah banyak memberikan bimbingan, motivasi dan pengarahan dalam
penyusunan referat ini.
3. Kedua orang tua dan keluarga yang selalu mendukung dan memberikan
semangat kepada penulis dalam penyelesaian referat ini.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu.
Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Penulis juga
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan masukan untuk perbaikan di masa yang akan
datang.

Yogyakarta, 23 Januari 2017


Penulis

Yuliana Triwardhani

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................... ii


Daftar Isi ............................................................................................................... iii

Bab I Pendahuluan ................................................................................................ 1


Latar Belakang .......................................................................................... 1
Perumusan Masalah ................................................................................... 2
Tujuan Penulisan ........................................................................................ 3

Bab II Dasar Teori .................................................................................................. 4


Embriologi kolon ....................................................................................... 4
Anatomi ...................................................................................................... 4
Fisiologi ...................................................................................................... 6
Definisi Megakolon .................................................................................... 7
Klasifikasi Megakolon ............................................................................... 7
Megakolon Kongenital ................................................................... 8
Megakolon Akuisita ..................................................................... 23
Kelainan yang dapat menjadi manifestasi klinis
megakolon akuisita ....................................................................... 30
Kolitis Ulserativa ............................................................. 30
Chron’s Disease ............................................................... 34

Bab III Kesimpulan .............................................................................................. 38

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 39

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kolon atau intestinum crassum terbentang dari ileum sampai anus.


Intestinum crassum terbagi menjadi caecum, appendix vermiformis, kolon
ascendens, kolon transversum, kolon descendens, dan kolon sigmoideum. Fungsi
utama intestinum crassum adalah mengabsorbsi air dan elektrolit dan menyimpan
bahan yang tidak dicerna sampai dapat dikeluarkan dari tubuh sebagai feses. Salah
satu kelainan pada kolon yang dapat terjadi adalah megakolon.
Megakolon adalah keadaan dimana terjadi hipertrofi dan dilatasi kolon.
Ada beberapa pengertian mengenai Megakolon, namun pada intinya definisi
megakolon adalah penyakit yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada
usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya sphincter
rectum berelaksasi.
Terdapat beberapa jenis megakolon, salah satunya adalah megakolon
kongenital atau biasa disebut dengan “ Hiscprung Disease”. Hiscprung merupakan
penyakit kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari
pleksus Auerbach di kolon. Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach
mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak dapat bekerja normal. Peristaltik
tidak mempunyai daya dorong, tidak propulsif sehingga usus tidak ikut dalam
proses efakuasi feses ataupun udara.
Salah satu jenis megakolon lain adalah megakolon toksik yang merupakan
megakolon non-kongenital atau akuisita. Megakolon toksik didefinisikan sebagai
dilatasi kolon total atau segmental non obstruktif dengan diameter lebih atau sama
dengan 6 cm dan yang berhubungan dengan toksisitas sistemik. Megakolon toksik
merupakan bentuk fulminan dari kolitis dengan adanya inflamasi transmural,
ulserasi yang dalam dan luas, serta terdapat degenerasi neuromuskular. Kelainan
ini merupakan komplikasi yang penting dari kolitis dan diagnosis bandingnya
meliputi penyebab inflamatorik dan infeksiosa. Megakolon toksik atau kolitis

1
fulminan secara klasik biasanya terjadi akibat kolitis ulseratif. Namun saat ini
megakolon toksik paling sering dikaitkan dengan kolitis akibat Clostridium
difficile (pseudomembranous). Crohn’s disease, infeksi (Salmonella enteritidis,
Campylobacter sp, amoebic kolitis, Shigella sp, Cytomegalovirus) dan kolitis
iskemik merupakan penyebab yang diketahui. Kelainan ini juga dapat disebabkan
oleh kanker kolon yang obstruktif serta dapat dicetuskan oleh penggunaan enema,
penggunaan obat antidiare yang berlebihan atau setelah pemeriksaan dengan
barium enema.
Pasien dengan penyakit Hirschprung pertama kali dilaporkan pada tahun
1961 oleh Frederick Ruysch, namun seorang dokter anak bernama Harold
Hirschprung pada tahun 1886 yang mempublikasikan penjelasan klasik mengenai
megakolon kongenital ini. Penyakit hirschsprung atau megakolon aganglionik
bawaan disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna
dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Penyakit
hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering
pada neonatus, dengan insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki – laki
lebih banyak di banding perempuan (4:1) dan Menurut catatan Swenson, 81,1 %
dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Penyakit hirschsprung mungkin
disertai dengan cacat bawaan lain termasuk salah satunya sindrom down serta
kelainan kardiovaskuler. Megakolon non kongenital juga dapat terjadi sebagai
penyulit dari penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon akut atau megakolon
toksik dengan paralisis fungsi motorik kolon transversum disertai dilatasi cepat
segmen usus tersebut, yang disebabkan oleh progresivitas penyakit di dinding
yang dapat dicetuskan oleh pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen
barium. Biasanya penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok toksik.

B. Perumusan Masalah

1. Apa definisi megakolon ?

2. Apa saja jenis-jenis megakolon ?

3. Bagaimana penegakan diagnosa megakolon?

2
4. Bagaimana tatalaksana megakolon?

C. Tujuan Penulisan

1. Dokter muda memahami definisi megakolom.

2. Dokter muda mengetahui jenis-jenis megakolon.

3. Dokter muda mengetahui dasar-dasar penegakan diagnosa megakolon.

4. Dokter muda mengetahui tatalaksana megakolon.

3
BAB II

DASAR TEORI

A. Embriologi Kolon

Secara embrionik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan


kolon kiri sampai dengan rektum berasal dari usus belakang.
Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, disebut
tenia (pita), yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil), yang disebut
haustra (bejana). Kolon transversum dan kolon sigmoideum terletak intra
peritoneal dan dilengkapi dengan mesenterium1.
Dalam perkembangan embriologik, kadang terjadi gangguan rotasi
usus embrional sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium
yang bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus
sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium
yang panjang pada kolon sigmoid dengan rediksnya yang sempit1.

B. Anatomi

Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascenden, kolon


transversum, kolon descenden, kolon sigmoideum, dan rectum serta anus.
Mukosa usus besar terdiri dari epitel selapis slindris dengan sel goblet dan
kelenjar, pada bagian submukosa tidak memiliki kelenjar. Otot bagian
sebelah dalam sirkuler dan sebelah dalam longitudinal yang terkumpul
pada tiga tempat membentuk taenia kolon. Lapisan serosa membentuk
tonjolan-tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices
epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar
limfe, terdapat lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris dimana kecuali
lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot sirkuler.

4
Gambar Anatomi Kolon dan Rektum

Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteriol


mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior, membentuk marginal
arteri seperti periarcaden yang memberi cabang-cabang vasa recta pada
dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah arteri ileocolica,
arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan arteri
sigmiodae.2
Colon ascenden panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari
caecumpada fossa iliaca dextra, sampai flexura coli dextra pada dinding
dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah ventral ren dextra,
hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral.arterialis colon
descenden dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal
dari arteri mesenterica.2
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari
fleksura coli dextra sampai fleksura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai
hubungan dengan duodenum dan pancreas disebelah dorsal sedangkan
bagian kiri lebih bebas. Fleksura coli sinistra letaknya lebih tinggi dari
yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra2.
Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang
memfiksasi colon transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal.
Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum majus
dan disebut ligamentum gastro yang didalamnya berisi pembuluh darah,
limfa, dan syaraf2.

5
Colon descenden panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari fleksura
coli sinistra sampai fosa iliaca sinistra dimana dimulai pada colon
sigmoideum arterilisasi didapat dari cabang arteri colica sinistra dan
cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica
inferior.
Lapisan otot longitudinal membentuk tiga buah pita, yang disebut
tenia (tenia ; taenia=pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga
kolon berlipat lipat dan berbentuk seperti sakulus (sacus;kantong) yang
disebut hasustra (bejana). Kolon transversum dan kolon sigmoideum
terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesenterium2.

Gambar Lapisan Otot Kolon

C. Fisiologi

Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit,


ekskresi mukus, serta menyimpan feses dan kemudian mendorongnya
keluar. Dari 700-1000 mL cairan usus halus yang diterima oleh kolon,
hanya 150-200 mL yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya.
Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah.
Oksigen dan CO2 di dalamnya diserap di usus, sedangkan nitrogen
bersama dengan gas hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan sebagai

6
flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 mL sehari. Pada infeksi
usus gas tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.1

D. Definisi Megakolon

Megakolon adalah dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai


oleh paralisis dari peristaltik usus. Selama proses pencernaan makanan,
otot – otot pada kolon membawa makanan dengan gerakan peristaltiknya.
Ketika makan, sel saraf pada dinding usus (sel ganglion dari pleksus saraf)
yang menerima sinyal dari otak dan akan menghantarkan informasi ke otot
intestinal untuk mendorong isi kolon (feses). Pada keadaan dimana kolon
kehilangan atau terjadinya perkembangan abnormal dari sel saraf, isi kolon
tidak dapat terdorong dari segmen ini.3,4
Pada kebanyakan kasus, penyakit ini terbatas pada rectum atau
region rectosigmoid. Kolon menjadi terhalang oleh feses sebagian maupun
total sehingga terjadi konstipasi. Obstruksi didalam kolon menyebabkan
tekanan didalamnya menjadi meningkat (diatas zona tanpa ganglion atau
area obstruksi), relaksasi dinding usus (ukuran usus lebih besar dari pada
normal) serta stagnasi feses akibat obstruksi ini menjadi media infeksi
bakteri dan akumulasi toksin yang dapat menyebabkan masalah yang
serius.4,5,6
Pada kasus yang lebih ekstrim, feses dapat berkonsolidasi menjadi
massa yang keras didalam kolon, yang disebut dengan fecaloma, yang
membutuhkan operasi untuk mengeluarkannya. Kolon manusia dikatakan
membesar secara abnormal bila diameternya mencapai lebih dari 12 cm di
caecum, lebih dari 6,5 cm di rectosigmoid dan lebih dari 8 cm di kolon
ascenden.5

E. Klasifikasi Megakolon

Megakolon dapat akut maupun kronik. Juga dapat diklasifikasikan


berdasarkan etiologinya, berdasarkan penyebabnya, megakolon dibagi

7
menjadi 2 yaitu megakolon kongenital yang sering disebut dengan
penyakit Hirschsprung serta megakolon non kongenital atau akuisita yang
biasanya terjadi akibat dari beberapa penyakit tertentu.1,8
Tanda dan gejala eksternal dapat berupa konstipasi yang
memanjang, perut kembung, nyeri perut, teraba massa feses yang keras.
Pada megakolon toksik dapat ditemukan tanda-tanda berupa demam, kadar
kalium darah yang rendah, takikardia dan shock. Pemeriksaan radiologi
merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit megakolon. Foto
polos abdomen sangat berguna untuk screening awal, setelah foto polos
abdomen dapat menemukan adanya megakolon, dapat digunakan barium
enema untuk pemeriksaan selanjutnya dengan beberapa alasan:1,4
1. Secara akurat dapat menentukan besarnya kolon.
2. Membantu untuk memisahkan antara adanya megakolon,
megarektum, atau keduanya.
3. Membantu untuk melihat anatomi usus besar, dapat digunakan
untuk pencernaan tindakan terapi selanjutnya

I.Megakolon Kongenital

Penyakit Megakolon kongenital atau penyakit Hirschsprung adalah


suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sphincter ani
interna ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis
berupa gangguan pasase usus fungsional. Penyakit Hirschprung
merupakan suatu penyumbatan yang terjadi pada usus besar karena tidak
terdapatnya sel ganglion Auerbach dan Meissner. Penyakit ini lebih
dikenal dengan Aganglionalis Kongenital.4,8
Kadang seseorang menderita konstipasi yang begitu parah
sehingga pergerakan usus hanya terjadi beberapa hari sekali atau kadang
hanya sekali dalam seminggu. Keadaan ini menyebabkan sejumlah besar
feses menumpuk di kolon, kadang – kadang menyebabkan distensi kolon

8
dengan diameter 3 – 4 inci. Keadaan ini disebut megakolon atau penyakit
Hirschsprung.9

Gambar Hirschsprung disease

Penyebab paling sering megakolon adalah tidak adanya atau


defisiensi sel – sel ganglion pada pleksus mienterikus dalam sebuah kolon
sigmoid. Akibatnya baik refleks defekasi maupun motilitas peristaltik kuat
tidak terjadi di daerah usus besar ini. Sigmoid sendiri menjadi kecil dan
hampir spastic sementara feses tertumpuk di proksimal daerah ini,
menyebabkan megakolon pada kolon asenden, transversus dan desenden.9

Epidemiologi
Penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus.
Diperkirakan satu diantara 5.000 – 10.000 kelahiran. Penyakit ini lebih
sering dijumpai pada anak laki – laki (80%) dari pada wanita dan tersering
pada neonatus serta terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg.8,10
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-
laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor
keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan
penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka
yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan

9
urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai
gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,hydronephrosis dan
gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus).11

Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Megakolon itu
sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering
terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa
embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik
dan sub mukosa dinding plexus.8,12
Beberapa peneliti menyatakan bahwa Hirschsprung disebabkan
karena kekurangan migrasi sel saraf untuk berkembang. Sebuah penelitian
menilai neural cell adhesion molecules (NCAM) pada Hirschsprung. Usus
yang mengandung sel ganglion (kelompok control dan kelompok
Hirschsprung) memiliki jumlah NCAM yang banyak, sedangkan tidak
terdapat NCAM pada segmen aganglionosis. NCAM dipercaya berperan
penting dalam migrasi sel saaraf ke lokasi tertentu selama masa
embryogenesis.10,13

Patofisiologi
- Pada penyakit hirschsprung terdapat absensi ganglion Meissner
dan ganglion Auerbach dalam lapisan dinding usus (aganglionik
parasimpatik intramural), mulai dari sfingter ani kearah proksimal dengan
panjang yang bervariasi. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen
terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitar 5%
kurang dapat mengenai seluruh usus sampai pylorus.
- Tidak terdapatnya ganglion Meissner dan Auerbach
mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltis
tidak mempunyai daya dorong, tidak propulsif, sehingga usus
bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi feses ataupun udara. Akibat

10
gangguan defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh
feses yang tertimbun, membentuk megakolon. Penampilan klinis penderita
sebagai gangguan pasase usus. Tiga tanda yang khas, yaitu keterlambatan
evakuasi mekonium, muntah hijau dan distensi abdomen.

Gambar Patofisiologi terjadinya megakolon

- Penampilan makroskopik
Bagian usus yang tidak berganglion terlihat spastic, lumen terlihat
kecil. Usus dibagian proksimalnya disebut daerah transisi, terlihat mulai
melebar dari bagian yang menyempit. Usus di bagian proksimalnya lagi
lebih melebar lagi dan umumnya mengecil kembali mendekati kaliber
lumen usus normal.1,4

Patologi
Akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus, meluas ke
proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi.
Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan
neuroblast dari usus proksimal ke distal.8
Segmen aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 755
penderita; 10% pada seluruh kolon tanpa sel – sel ganglion. Bertambah

11
banyaknya ujung – ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan
kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histology, tidak di dapatkan
pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas – berkas saraf yang
hipertrofi dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi di antara
lapisan – lapisan otot dan pada submukosa. Gangguan ini dapat
direproduksi pada binatang percobaan dengan merusak reseptor endothelin
B.8

Klasifikasi
Hirschsprung diklasifikasikan berdasarkan keluasan segmen
aganglionnya, yaitu:1,4,12
 Hirschsprung short segment / Hirschsprung klasik (75%).
Daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid, ini disebut
penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%)
ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak
daripada perempuan.
 Long segment Hirschsprung (20%)
Daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid bahkan dapat
mengenai seluruh kolon atau usus halus.
 Total colonic aganglionosis (3-12%)
Bila aganglionik mengenai seluruh kolon
 Aganglionik universal : seluruh kolon dan hampir seluruh usus
halus.

Manifestasi klinis
Gejala –gejala klinis penyakit hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir
dengan :
- Terlambatnya pengeluaran mekonium
Sembilan puluh Sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan
mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir. Peyakit hirschsprung harus
dicurigai apabila seseorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak bisa

12
terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja.
Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi
selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis.1,4,8
- Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia
Terjadi karena enteropati pembuang – protein, sekarang adalah tanda yang
kurang sering karena penyakit hirschsprung biasanya sudah dikenali pada
awal perjalanan penyakit. Bayi yang minum ASI tidak dapat
menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula. 1,4,8
- Kegagalan mengeluarkan tinja
Keadaan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan perut
menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen
meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa
terganggu. Stasis memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat
menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficle, Staphylococcus aureus,
anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda – tanda obstruksi
usus besar. Pengenalan dini penyakit hirschsprung sebelum serangan
enterokolitis sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
1,4,8

- Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja


yang semakin berat, yang mulai pada umur minggu – minggu pertama.
Massa tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan
rectum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan
berupa butir – butir kecil, seperti pita atau berkonsistensi cair; tidak ada
tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah pada penderita
dengan konstipasi fungsional. 1,4,8
- Pemeriksaan rectum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya
disertai dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan
intermitten obstruksi intestinum akibat tinja yang tertahan mungkin
disertai dengan nyeri dan demam.4,8

13
Diagnosis
Penegakkan diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan penunjang yaitu :
- Neonatus hampir selalu dengan berat badan normal, sangat jarang
prematur. Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran klinis
perut membuncit seluruhnya merupakan kunci diagnosis.1,8
- Datang ke rumah sakit dengan obstruksi usus, dengan tanda –
tanda keterlambatan evakuasi mekonium (lebih dari 24 jam pertama
setelah lahir), muntah hijau serta distensi abdomen. Obstruksi ini dapat
mereda spontan atau akibat colok dubur yang dilakukan pada waktu
pemeriksaan. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit
lumen rectum yang sempit.1,8
- Dikatakan mereda bila neonatus dapat defekasi dengan keluar
mekonium bercampur udara, abdomen kempes dan tidak muntah lagi.
Kemudian dalam beberapa hari lagi neonatus menunjukkan tanda – tanda
obstruksi usus berulang. Selanjutnya neonatus secara klinis menunjukkan
gejala sebagai obstipasi kronik dengan disertai abdomen yang buncit.1
- Gejala klinis dapat pula timbul pada umur beberapa minggu atau
baru menarik perhatian orang tua setelah beberapa bulan, atau beberapa
tahun.8

Pemeriksaan Manometri anorektal


Mengukur tekanan sfingter ani interna saat balon dikembangkan di
rectum. Pada individu normal, penggembungan rectum mengawali refleks
penurunan tekanan sfingter interna. Pada penderita penyakit hirschsprung,
tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan paradox karena rectum
dikembungkan. Ketepatan diagnostik ini lebih dari 90%, tetapi secara
teknis sulit pada bayi muda.4,8

14
Gambar Pemeriksaan manometri anorektal

Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan foto polos abdomen: terlihat tanda – tanda obstruksi
usus letak rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan
gambaran usus halus. 4,8,13
- Pemeriksaan foto dengan barium enema: terlihat lumen rekto –
sigmoid kecil, bagian proksimalnya terlihat daerah transisi dan kemudian
melebar. Permukaan mukosa di bagian usus yang melebar tampak tidak
teratur karena proses enterokolitis.
Barium enema tidak perlu diteruskan ke arah proksimal bila tanda
– tanda penyakit hirschsprung yang khas seperti diatas sudah terlihat.
Apabila tanda –tanda yang khas tersebut tidak dijumpai, pemeriksaan
barium enema diteruskan untuk mengetahui gambaran kolon proksimal.
Mungkin ditemukan penyebab yang lain.
Pada penyakit hirschsprung dengan gambaran foto barium enema
yang tidak jelas dapat dilakukan foto retensi barium. Foto dibuat 24
sampai 48 jam setelah foto barium enema pertama. Pada foto retensi
barium masih terlihat di kolon proksimal, tidak menghilang atau kumpul di
daerah distal dan mungkin dijumpai tanda – tanda khas penyakit

15
hirschsprung yang lebih jelas serta gambaran mikrokolon pada
hirschsprung segmen panjang. 4,8,13

Gambar Dilatasi colon pada pemeriksaan dengan barium enema

Pemeriksaan patologi anatomi


Pemeriksaan patologi anatomi dimaksudkan untuk mendeteksi
adanya ganglion di lapisan submukosa dan di antara dua lapisan otot. Serta
melihat serabut – serabut saraf. Apabila sediaan untuk pemeriksaan
patologi anatomi didapat dari biopsy hisap dari mukosa rectum,
pemeriksaan hanya untuk melihat ganglion Meissner di lapisan sub-
mukosa dan melihat penebalan serabut – serabut saraf. Pada penyakit
hirschsprung tidak dijumpai ganglion dan terdapat penebalan serabut –
serabut saraf. Biopsi seluruh lapisan rectum dapat dilakukan saat operasi
untuk memastikan diagnosis dan derajat keterlibatan. 4,8,13

Pemeriksaan histokimia
Pada pemeriksaan histokimia aktivitas kolinesterase biasanya
meningkat. Biopsy – isapan rectum hendaknya tidak dilakukan kurang dari
2 cm dari linea dentate untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis
di pinggir anus. Biopsy harus mengandung cukup sampel submukosa
untuk mengevaluasi adanya sel ganglion, biopsy dapat diwarnai untuk

16
asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita dengan
aganglionosis menunjukkan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang
diwarnai positif untuk asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion. 4,8,13

Diagnosis banding
Banyak kelainan usus dengan penampilan klinik obstruksi yang
menyerupai penyakit hirschsprung atau sumbatan anorektum oleh
mekonium yang sangat padat, mekonium ileus dan sebagainya.
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus,
tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya
normal.4,8
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip
dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya
ganglion Meissner dan Auerbach.1

Terapi
Prinsip penanganan adalah mengatasi obstruksi, mencegah
terjadinya enterokolitis, membuang segmen aganglionik dan
mengembalikan kontinuitas usus.4,8

Tindakan non bedah


- Untuk neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif
dengan pemasangan sonde lambung, pemasangan pipa rectal untuk
mengeluarkan mekonium dan udara (pemasangan harus hati – hati, jangan
terjadi salah arah) cara ini juga bertujuan untuk mencegah enterokolitis
yang dapat dilakukan bilasan kolon dengan cairan garam faali. Cara ini
efektif pada segmen aganglionik yang pendek.4

17
- Biopsi hisap hendaknya dikerjakan sebelum pemeriksaan colok
dubur dan pemasangan pipa rectal. Pemberian antibiotik, lavase kolon
dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi juga
diperlukan.1

Tindakan Pembedahan
I.Tindakan bedah sementara
- Tindakan kolostomi. Stoma dibuat di bagian kolon yang
berganglion paling distal. Kolostomi ini dimaksudkan untuk menjamin
pasase usus, dekompresi abdomen dan mencegah penyulit – penyulit yang
tidak diinginkan seperti enterokolitis, peritonitis dan sepsis. Manfaat lain
dari kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan
tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita
Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose. 11,12

II.Tindakan bedah definitif


- Tindakan bedah definitif dimaksudkan untuk mereseksi bagian
usus yang aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus. Langkah ini
dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup. Pada waktu itu megakolon
dapat surut, mencapai kolon ukuran normal.1
- Ada beberapa prosedur bedah definitif yaitu prosedur Swenson,
Duhamel, Endorektal Pull Through dengan modifikasi masing- masing.
Pilihan – pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera
mungkin setelah diagnosis ditegakkan atau melakukan kolostomi
sementara dan menunggu sampai bayi berumur 6 – 12 bulan untuk
melakukan operasi.11,13

18
Gambar Beberapa jenis bedah definitif pada megakolon

o Prosedur Swenson
Memotong segmen yang tidak berganglion dan melakukan
anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rectum 1 – 2 cm di
atas garis batas. Terdiri dari rektosigmoidektomi seluas bagian
rektosigmoid aganglionik dengan anastomosis koloanal. Operasi ini secara
teknis sulit dan mengarah pada pengembangan dua prosedur lain.1
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan
biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik
dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian
distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga
saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon
proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik)
keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2
cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian
posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon
proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2
lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomosis selesai, usus
dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan
reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup.1

19
Gambar Prosedur Swenson

o Prosedur Duhamel
Menguraikan prosedur untuk menciptakan rectum baru, dengan
menarik turun usus besar yang berinervasi normal ke belakang rectum
yang tidak berganglion. Rectum baru yang dibuat pada prosedur ini
mempunyai setengah aganglionik anterior dengans sensasi normal dan
setengan ganglionik posterior dengan propulsi normal. Operasi Duhamel
adalah yang terbaik pada aganglionis total. Kolon kiri tetap ditinggalkan
dan tidak perlu menganastomosis kolon kiri ini pada usus halus.1,13

20
Gambar Prosedur Duhamel

o Prosedur Endorectal Pullthrough atau Soave


Prosedur yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa
rectum yang tidak berganglion dan membawa kolon yang berinervasi
normal ke lapisan otot yang terkelupas tersebut, dengan demikian
memintas usus yang abnormal dari sebelah dalam. anastomosis koloanal
dibuat secara tarik terobos (Pull Through).

Gambar Prosedur Soave

21
Penyakit hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang
tanpa ganglion hanya terbatas pada sfingter interna. Gejalanya sama
dengan gejala konstipasi fungsional. Sel ganglionik mungkin terdapat pada
biopsy isap rectum. Tetapi motilitas rectum akan tidak normal. Eksisi
pengupasan mukosa otot rektum, termasuk sfingter anus interna,
merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik.4,13
Penyakit hirschsprung yang melibatkan segmen panjang
merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan biopsy isap rectum akan
menunjukkan adanya tanda – tanda penyakit hirschsprung, namun sulit
diinterpretasikan pada pemeriksaan radiologi karena tidak ditemukan
daerah peralihan. Luasnya aganglionosis hanya dapat ditentukan dari
biopsy pada saat laparotomi. 4,13
Bila seluruh kolon aganglionis, sering bersama dengan panjang
ileum terminal, anatomosis ileum – anus merupakan terapi pilihan dengan
masih mempertahankan bagian kolon yang tidak berganglion untuk
mempermudah penyerapan air. Sehingga membantu tinja menjadi
keras.4,13

Komplikasi
- Sering neonatus meninggal akibat penyulit seperti enterokolitis
atau peritonitis dan sepsis.4,8
- Obstruksi kronik yang dapat terjadi pada penyakit hirschsprung
dapat disertai oleh diare berat dengan feses yang berbau dan berwarna
khas yang disebabkan oleh timbulnya penyulit berupa enterokolitis.
Enterokolitis biasa disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlebihan pada
daerah kolon yang iskemik akibat disetnsi berlebihan dindingnya.
Enterokolitis dapat timbul sebelum tindakan operasi atau berlanjut setelah
operasi definitif. 4,8

22
- Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah pada
penyakit hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose,
stenosis, enterokolitis nekrotikans, dan gangguan fungsi sphincter. 4,8
- Faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi diantaranya:
usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur
bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis
dan cara pemberian antibiotik, serta perawatan pasca bedah. 4,8

Prognosis
Prognosis baik kalau gejala obstruksi segera diatasi. Penyakit
hirschsprung yang diterapi dengan pembedahan umumnya memuaskan.
Sebagian besar penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia).
Penyulit pasca bedah seperti kebocoran anastomosis atau striktur
anastomosis umumnya dapat diatasi. Masalah pasca bedah meliputi
enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses perianal dan pengotoran
tinja. 4,8

II.Megakolon Akuisita

Megakolon merupakan kondisi dimana terjadi pembesaran kolon,


dilatasi kronik, elongasi serta hipertrofi kolon. Megakolon juga dapat
terjadi sebagai penyulit dari penyakit kolitis, dimana terjadi dilatasi kolon
akut atau megakolon toksik dengan paralisis fungsi motorik kolon
transversum disertai dilatasi cepat segmen usus tersebut, yang disebabkan
oleh progresivitas penyakit di dinding yang dapat dicetuskan oleh
pemberian sediaan opiat atau pemeriksaan rontgen barium. Biasanya
penderita tampak sakit berat dengan takikardia dan syok toksik.6

23
Gambar Toksik megakolon

Penyakit Chagas adalah penyakit yang endemik di Amerika selatan


dan tengah. Pada penyakit chagas, organisme penyebabnya Trypanosoma
Cruci menghilangkan persarafan ganglia usus sehingga menyebabkan
dilatasi kolon (megakolon).13,14
Megakolon adalah satu komplikasi dari penyakit kronis ini, dimana
terjadi kerusakan yang menyebar dari system saraf intramural. Terapi
pembedahan yang dilakukan bertujuan untuk mengatasi konstipasi,
gangguan buang air besar yang berulang maupun volvulus. Kolektomi
subtotal dengan ileoproctostomy memungkinkan terapi pilihan yang
sesuai, namun beberapa ahli lebih menyukai abdominoendoanal
rectosigmoidectomy.13
Megakolon organik yang didapat, juga dapat terjadi sebagai
kondisi yang disebabkan obstruksi mekanis dari colon bawah, rectum
maupun anus. Beberapa kasus di sebabkan oleh :13
- Stricture anorectal postoperative
- Limphogranuloma venereum
- Endometriosis
- Radiasi proktitis
- Kerusakan anorectal (anorectal injury)

24
- Termasuk trauma yang diakibatkan karena kecelakaan atau trauma
seksual
Megakolon juga berhubungan dengan kelainan neurologis seperti
paraplegia atau poliomyelitis. Konstipasi menjadi masalah utama karena
hilangnya otot volunter defekasi. Megakolon sekunder ini dapat normal
kembali ketika penyebab primer dapat terobati.13

Megakolon toksik
Megakolon toksik merupakan tahap klinis dari colitis akut dengan
dilatasi segmental ataupun total dari kolon yang berhubungan dengan
tanda toksik dengan gejala klinis yaitu :13,15
- Demam tinggi
- Nyeri abdomen
- Malaise
- Takikardia
- Leukositosis
- Distensi abdomen
- Dehidrasi
Kondisi ini dapat berkembang menjadi kondisi toksik dan termasuk
kegawat daruratan medis, yang merupakan komplikasi yang mengancam
jiwa dari colitis ulseratif (Morbus Chron) serta dapat terjadi sebagai
penyakit kronis eksaserbasi akut namun lebih sering berkembang selama
timbulnya gejala awal. Penyebab nya tidak diketahui namun beberapa
faktor yang menyebabkannya yaitu obat – obatan anti diare, opiate,
alkaloid beladona dan barium enema.13,15
Pada keadaan awal penyakit jarang terjadi komplikasi, mungkin
dapat berhubungan dengan terapi awal yang cepat dan tepat seperti pada
pasien yang sakit berat dapat dilakukan resusitasi untuk memperbaiki
homeostasis, pemberian antibiotik untuk membunuh flora bakteri bila
mungkin, kortikosteroid intravena (terkecuali pada pasien yang
sebelumnya mendapatkan terapi kortikosteroid, dimana segera dilakukan

25
langsung tindakan pembedahan). Terapi pembedahan komplikasi ini
adalah kolektomi darurat.6,13

Gambar Penderita toksik megakolon


a. Definisi
Megakolon tokisik merupakan kolitis toksik akut dengan dilatasi
usus besar, dilatasi dapat berupa keseluruhan atau segmental. Istilah
untuk megakolon toksik adalah kolitis beracun. Kondisi ini berbahaya
karena dapat berpotensi kematian yang nonobstruktif dengan dilatasi
kolon yang lebih besar dari 6cm.

b. Etiologi :
Megakolon dapat disebabkan oleh inflamasi pada kolon seperti :
kolitis ulserativa, chron’s akibat dari bakteri spesies salmonella,
shigella, campylobacter, yersinia, entamoeba histolotica,
cytomegalovirus.

c. Patogenesis
Patogenesis megakolon toksik masih belum jelas, namun
mediator kimiawi seperti nitric oxide kemungkinan mempunyai peran
yang sangat penting. Inflamasi mukosa akut berkembang transmural
dan berhubungan dengan hilangnya persarafan motorik lapisan otot
polis yang menyebabkan dilatasi kolon. Nitric oxide menghambat
tonus otot polos.

26
d. Gejala
Pasien dengan megekolon toksik memiliki tanda-tanda dan
gejala kolitis akut yang mungkin tidak berefek pada pengobatan.
Gejala seperti :
Diare, nyeri perut, perdarahan, rektum, tenesmus, muntah, demam
tinggi, sakit erut, nyeri tekan, takikardia, anemia dan dehidrasi.

e. Diagnosis
Diagnosis megakolon toksik dapat ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi serta laboratorium.

Kriteria diagnostik Megakolon toksik menurut Marshak and Lester


(1950):

 Radiographic evidence adanya dilatasi kolon – Adanya penemuan


klasik lebih dari 6 cm kolon transversum
 Adanya 3 dari gejala berikut : Demam (>101.5°F), tachycardia
(>120 beats/min), leukocytosis (>10.5 x 10 3/µL), atau anemia
 Adanya satu dari gejala berikut : Dehydration, altered mental
status, electrolyte abnormality, or hypotension .

1. Dari radiologis dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen yang


hasilnya akan ditemukan dilatasi kolon lebih dari 6 cm, pada kasus
kasus yag berat dialtasi kolon dapat mencapai 15 cm pada posisi
supinasi. Kolon transversum merupakan segmen kolon yang paling
sering mengalami dilatasi. Gambaran hasutra tampak menghilang
atau menumpul, garis mukosa tampak ireguler, dengan ulcerasi
pada mukosa didekatnya menghasilkan gambaran pulau-pulau
mukosa. Dapat terlihat gambaran pneumotosis kolon yaitu udara

27
pada dinding usus yang terlihat karena adanya nekrosis.
Konsistensi kolon menyerupao wet blotting paper sehingga pasien
berisiko untuk terjadi perforasi dan kematian.

2. Pemeriksaan barium enema


Megakolon toksik berisiko terjadi perforasi, sehingga
kontraindikasi dilakukan pemeriksaan barium enema.
3. CT Scan abdomen
Gambaran megakolon toksik pada CT Scan akan terlihat kolon
yang distensi lebih dari 6 cm dan terisi udara. Tampak pola haustra
yang abnormal dan dijumpai pseudopolip nodular serta penipisan
dinding kolon segemental. Tampak penebalan dinding kolon difus,
edema submukosa, pericolonic fat standing, asites, dan distensi
gaster dan usus halus. Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan pilihan
untuk melihat adanya perforasi.

28
4. Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan adalnya respon
inflamatorik sistemik meliputi lekositosis, peningkatan rasio
sedimentasi eritrosit, C-reaktif protein dan hipoalbuminemia.

f. Diagnosis banding
Volvulus kolon terutama volvulus sigmoid karena memiliki
gambaran radiologis yang hamper mirip. Volvulus kolon digambarkan
sebagai puniran atau rotasi segemen mobile kolon sekitar
mesenteriumnya.

g. Penatalaksanaan
Aspek penting dalam tatalaksana megakolon toksik adalah terapi
medikamentosa cepat dan keputusan pembedahan awal.
Terapi medikamentosa meliputi :
 Pemberian resusitasi cairan dan elektrolit, kortikosteroid,
serta antibiotic bila kecurigaan etiologinya infeksi. Terapi
pemberian kalium mungkin diperlukan untuk mengkoreksi
hipokalemia.

29
 Tindakan pembedahan kolektomi segera bila dalam waktu
24 jam tidak ada perbaikan setelah terapi.

III. Kelainan yang dapat menjadi manifestasi klinis megakolon


akuisita

1. Colitis ulceratifa
a. Definisi
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit
inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya
sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri
dari 3 jenis, yaitu kolitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit
membedakan kedua hal tersebut,maka dimasukkan dalam kategori
indeterminate colitis. Kolitis ulcerative adalah peradangan pada usus
besar bisa pada saluran dimana saja. Colitis ulceratifa sering
bersamaan dengan Chron’s disease.

b. Etiologi dan Patofisiologi


Penyebab colitis ulserativa belum diketahui dengan pasti.
Beberapa faktor yang disebutkan seperti masalah pada system
kekebalan tubuh dalam usus dimana sel-sel dalam usus berfungsi
sebagai kekebalan tubuh terhadap bakteri, virus, jamur dan benda
asing lainnya. Aktivasi sel kekebalan ini mengakibatkan peradangan
dalam jaringan dimana aktivasi terjadi. Pada colitis ulcerative terjadi
masalah pada system kekebelan sel yang tidak normal sehingga terjadi
peradangan kronis dan ulcerasi.

c. Gejala
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan
nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan
pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua

30
feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa
manifestasi sistemik.
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat
beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove).
Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan
pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara
gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan
pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi
mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.
Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif re latif
mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya
bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang
yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik, kolon
tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran
mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu
dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.

31
Klasifikasi kolitis ulcerative menurut lokasi dan luasnya peradangan :
a. Ulcerative prokitis, adalah peradangan yang terbatas pada rectum.
Gejala yang muncul adalah perdarahan rectum intermiten ringan,
nyeri rectum, urgensi (perasaan tiba-tiba harus buang air besar),
tenesmus (rasa sakit saat buang air besar)
b. Proktosigmoiditis, peradangan pada rectum dan kolon sigmoid
(segmen pendek dan bersebelahan usus ke rectum). Gejala :
perdarahan rectum, urgensi, tenesmus, diare berdarah, dank ram
perut.
c. Left-side colitis (kolitis pada sisi kiri)
Peradangan dimulai dari rectum dan meluas sampai usus besar kiri
( kolon sigmoid dan kolon desenden). Gejala : diare berdarah, kram
perut, penurunan berat badan, nyeri perut sisi kiri.
d. Pancolitis atau kolitis universal
Mengacu pada peradangan yang mempengaruhi seluruh usus besar
(kolon kanan, kolon kiri, kolon transversa, dan rectum). Gejala
pankolitis : diare berdarah, nyeri perut, penurunan berat badan,
kelelahan, demam, dan berkeringat di malam hari. Pasien dengan
pancolitis lebih berat dan lebih sulit untuk diobati daripada yang
lainnya.
e. Kolitis fulminan
Bentuk berat dari pancolitis pasien tampak sakit dengan dehidrasi,
sakit perut yang parah, diare berlarut-larut dengan perdarahan, dan
syok. Kolitis fulminan berisiko terjadinya megakolon toksik
(ditandai dengan dilatasi usus besar karena peradangan yang parah
dan pecahnya kolon.

32
D. Diagnosis
Diagnosis kolitis ulserativa berdasarkan gejala dan
pemeriksaan. Tidak ada standar emas untuk diagnosis, diagnosis
akhir bergantung pada kombinasi dari gejala, penampilan usus
pada saat endoskopi, fitur histology biopsy dari lapisan usus.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan specimen tinja
Specimen tinjadikumpulkan untuk memeriksa adanya infeksi
parasit. Gejala infeksi parasit dapat hamper mirip dengan
kolitis ulcerative

b. Tes darah
Adanya anemia, dan lekositosis atau sedimen rate, protein c-
reaktif menignkat menunjukan adanya peradangan
c. Sigmoidoskopi dan kolonoskopi
untuk mengkonfirmasi adanya kolitis ulserativa pemeriksaan
langsung untuk melihat rectum dan usus besar. Pemeriksaan ini
juga dapat menentukan luas kolitis tersebut dan juga untuk
mengambil sampel biopsi

33
d. Barium Enema X-ray
Dengan cara menyuntikan zat cair kapur ke dalam rektum dan
usus besar. Namun penggunaan Barium x-ray kurang akurat
dibandingkan visualisasi langsung sigmoidoskopi atau
kolonoskopi. Pada gambaran ini terlihat kelainan pada haustra
non feeling

E. Terapi
 Terapi konservatif : istirahat, diet, pemberian sulfozalazin,
kortikosteroid local atau sistemik
 Penanganan pada kolitis fulminan : mengistirahatkan usus, hidrasi,
antibiotic spectrum luas, dan kortikosteroid parenteral.
 Pembedahan : pada kolitis ulserosa akut, laparotomi dilakukan
pada perforasi, ancaman perforasi, dan dilatasi kolon akut.
Umumnya dianjurkan kolekto,I total anastomosis ileoanal dengan
kantong ileal.

2. Chron’s Disease
a. Definisi
Merupakan peradangan kronik yang dapat terjadi pada
setiap bagian dari saluran gastrointestinal kebanyakan terjadi pada
bagian terendah dari usus halus (Ileum) dan usus besar namun dapat
terjadi pada seluruh bagian dari saluran cerna, mulai mulut sampai ke
anus.
b. Etiologi
Penyebab chron’s disease sendiri belum dapat dipastikan
namun faktor genetic, microbial, imunolog, lingkungan, diet,
peredaran darah dan psikososial bisa menajadi faktornya.

34
 Faktor infeksi
Agen infeksi yang menjadi penyebab Chron’s disease adalah
Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles merupakan yang
tersering. Sedangkan yang lainnya adalah
Chlamydia,Listeria,monocytogenes,Pseudomonas sp dan retrovirus.

 Faktor imunologis
Adanya masalah autoimun sehingga terjadi reaksi imunitas humoral dan
seluler yang menyerang sel saluran cerna. Peranan respon imun masih
controversial dan mungkin timbul akibat dari proses penyakit dan bukan
merupakan penyebab penyakit.

C. Patofisiologi
Stadium dini Chrin’s disease ditandai dengan limfedena obstruktif
dan pembesaran folikel folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan
submukosa. Ulcerasi mukosa yang menutupi folikel limfoid hiperplastik
menimbulkan pembentukan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan
mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus kecil-kecil yang berbatas
tegas dan terbesar dengan diameter 3 mm dan dikelilingi oleh eritema.
Lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema dan
proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus.

Ulkus aprosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi


lebih dalam dan sering menjadi bentuk linier. Sejalan dengan makin
buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan
adanya edema dan finrosis dan cenderung menimbulkan pembentukan
striktura. Karena lapisan serosa dan mesenteriium juga mengalami
inflamasi, maka lengkungan usus menjadi saling menempel akibatnya
ulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan
membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi

35
lebih sering berakhir buntu kedalam suatu cavitas abses di dalam ruang
peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum.

D. Gejala
Gejala awal yang paling sering ditemukan adalah diare menahun,
nyeri kram perut, demam, nafsu makan berkurang dan penurunan berat
badan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan benjolan atau rasa penuh pada
perut bagian bawah, lebih sering sisi kanan, komplikasi yang sering
terjadi dari peradangan ini adalah penyumbatan usus. Saluran
penghubung yang abnormal (fistula) dan kantong berisi nanah (abses).
Jika mengenai usus besar sering terjadi perdarahan rectum, setelah
beberapa tahun, risiko menderita kanker usus besar meningkat.
Gejala penyakit Chron;s pada setiap penderitanya berbeda, tapi ada 4
pola umum yang terjadi yaitu :
1. Peradangan : nyeri dan nyeri tekan pada perut bawah sebelah kanan
2. Penyumbatan usus akut yang berulang yang menyebabkan kejang dan
nyeri hebat di dinding usus, pembengkakan perut, sembelit dan muntah-
muntah
3. Peradangan dan penyumbatan usus parsial menahun, yang menyebabkan
kurang gizi dan kelemahan menahun
4. Pembentukan saluran abnormal (fistula) dan kantung infeksi berisi nanah
(abses) yang sering menyebankan demam, adanya massa dala perut yang
terasa nyeri dan penurunan berat badan.

E. Diagnosis
 Anamnesis
Melalui gambaran klinis umum pada Chron’s disease adalah demam, nyeri
abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen
merupakan gejala utama keterlibatan kolon. Perdarahan perrectal lebih
jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap
dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen.

36
 Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan bawah
abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Ditemukan tanda
tanda anemia ringan, diare atau tanda obstuktif konstipasi
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium : penurunan Hb, lekositosis dan peningkatan
LED
Pemeriksaan radiologi : foto polos, foto polos dengna kontras tunggal
saluran cerna bagian atas dengan follo-though usus halus. USG dan MRI

F. Terapi
Belum ada terapi pasti untuk chron’s disease, terapi yang diberikan hanya
untuk meringankan gejala :
a. Kortikosteroid : misalnya prednisone dan hidrokortison untuk meringankan
inflamasi.
b. Imunosupresan : mengurangi inflamasi tapi sasaran dari obat ini adalah
penghasil zat yang menyebabkan inflamasi. Penggunaannya digabungkan
dengan kortikosteroid
c. Operasi : prosedurnya melibatkan pengangkatan bagian yang mengalami
inflamasi usus dan menyambungkan bagian yang sehat.

37
BAB III

KESIMPULAN

1. Megakolon adalah dilatasi abnormal dari kolon yang sering disertai oleh
paralisis dari peristaltik usus. Selama proses pencernaan makanan, otot –
otot pada kolon membawa makanan dengan gerakan peristaltiknya. Ketika
makan, sel saraf pada dinding usus (sel ganglion dari pleksus saraf) yang
menerima sinyal dari otak dan akan menghantarkan informasi ke otot
intestinal untuk mendorong isi kolon (feses). Pada keadaan dimana kolon
kehilangan atau terjadinya perkembangan abnormal dari sel saraf, isi kolon
tidak dapat terdorong dari segmen ini.
2. Terdapat 2 klasifikasi megakolon, yaitu megakolon kongenital atau biasa
disebut hirscprung disease, dan megakolon akusita yaitu megakolon
toksik.
3. Untuk menegkakan diagnosa megakolon dilakukan anamnesa,
pemeeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan antara lain manometri anorektal, radiologi (ct-scan
abdomen, foto polos, barium enema), pemeriksaan patologi anatomi,
histomikia dan pemeriksaan lab.
4. Tatalaksana untuk megakolon dapat dilakukan dengan terapi bedah dan
non-bedah. Terapi non-bedah antara lain pemberian cairan, kortikosteroid,
antibiotik, pemasangan sonde lambung dan pipa rectal. Untuk tindakan
bedah antara lain kolostomi, terapi definitif dengan teknik swanson,
duhamel, dan pullthrough atau soave.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong, Wim de & R. Syamsuhidajat : Buku Ajar Ilmu Bedah ed 2. Jakarta :


EGC,2005
2. Moore, Keith L. Agur,Anne M.R. 2002. Anatomi Klinis
Dasar .Laksman,H. editors. Jakarta: Hipokrates, p. 285-7
3. Goldberg SM, S Nivatvongs, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam :
Schwartz’s Principles of Surgery. SI Schwarts, GT Shires, FC Spencer,
WC Hussen. Edisi ke - 5. Volume 2. Library of Congress Cataloging in
Publication Data; 1989.
4. Kartono D. Penyakit Hirschsprung Neonatus . Dalam: Kumpulan Kuliah
Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia / RS dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Binarupa Aksara. 141-
143.
5. Silbernagl S. Konstipasi dan Pseudo Obstruksi. Dalam: Teks dan Atlas
Berwarna Patofisiologi. S Silbernagl, F Lang. Jakarta: EGC; 2006. 156 –
157.
6. Lindshet GN. Radang Usus Besar. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses – Proses Penyakit. SA Price. LM Wilson. Edisi ke – 6. Volume 1.
Jakarta: EGC; 2005. 461 – 463.
7. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease. Dalam: Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis
H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. Edisi ke - 10. New York:
Prentice - Hall intl.inc.; 1997. 2097-105.
8. Wyllie R. Megakolon Aganglionik bawaan (Penyakit Hirschsprung).
Dalam : WE Nelson, RE Behrman, editor. Ilmu kesehatan Anak Nelson.
Edisi ke – 15. Volume 2. Jakarta:EGC; 1999.1316 - 1319.
9. Guyton AC, JE Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran. Guyton AC, JE Hall. Edisi ke – 11. Jakarta:
EGC; 2007
10. Bullard KM, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam : Schwartz’s
Principles of Surgery. FC Brunicardi, DK Andersen, TR Billiar, DL Dunn,

39
JG Hunter, RE Pullock. Edisi ke - 8. Volume 2. Library of Congress
Cataloging in Publication Data; 2005
11. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton &
Lange; 1990: 555-77
12. Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan
Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 2009.
13. Goldberg SM, S Nivatvongs, DA Rothenberger. Megacolon. Dalam :
Schwartz’s Principles of Surgery. SI Schwarts, GT Shires, FC Spencer,
WC Hussen. Edisi ke - 5. Volume 2. Library of Congress Cataloging in
Publication Data; 1989
14. Silbernagl S. Konstipasi dan Pseudo Obstruksi. Dalam: Teks dan Atlas
Berwarna Patofisiologi. S Silbernagl, F Lang. Jakarta: EGC; 2006. 156 –
157.
15. Devuni D. Toxic Megacolon Workout (online). Dalam: Medscape. Juli
2013 (diakses 10 Maret 2016). Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/181054-overview

40

Anda mungkin juga menyukai