Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan dalam makalah ini membahas tentang hubungan ilmu dengan nilai
dan etika, apakah nilai itu sebagai ruhnya ilmu atau sesuatu yang berdiri sendiri di luar
ilmu. Kemudian mengkaji apa itu kebenaran ilmiah dan cara memperolehnya, serta esensi
dari etika keilmuan yang mengatur tentang bagaimana seharusnya seorang ilmuwan
bersikap dalam penerapan ilmunya sehingga tujuan ilmu sebagai sarana yang membantu
manusia terwujud dengan semestinya. Latar Belakang Akhir-akhir ini masalah yang
paling menonjol hubungan antara ilmu dan etika. Pandangan para ahli filsuf bahwa ilmu
bebas nilai dan objektif yang menyatakan bahwa ilmu merupakan alat untuk
mempertahankan keadaan dan cara pikir yang mendorong terhadap kemajuan bangsa
manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan oleh manusia tidak hanya sampai diperbuat tetapi
juga harus mempertimbangkan apa yang seharusnya diperbuat. Pada dasarnya rumusan
konsep etika dalam ilmu pengetahuan ini haruslah sampai kepada rumusan normatif yang
berupa pedoman konsep bagaimana putusan tindakan manusia sebagai peneguh ilmu
harus dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hal tersebut maka rumusan permasalan yang muncul dalam makalah ini
sebagai berikut :

1. Apakah pengertian etika dan ilmu Pengetahuan ?

2. Bagaimana hubungan antara etika dengan ilmu Pengetahuan ?

3. Apakah pengertian Ilmu dengan Nilai ?

4. Bagaimana hubungan antara ilmu dengan Nilai ?

Page 1
1.3 Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini guna memenuhi tugas dari Dosen Etika Profesi
tentang “Hubungan Ilmu Dengan Nilai Dan Etika” dan memberi pelajaran yang
bermanfaat bagi pembaca.

Page 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu dan Nilai
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman yang berarti mengerti,
memahami benar-benar. Adapun dalam bahasa Inggris disebut scince, yang berasal dari bahasa
latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui.Pertumbuhan
selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada segenap
pengetahuan sistematik. Dalam basa jerman wissenschaft.Menurut The Liang Gie Pengertian
ilmu adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu medode untuk
memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya,
dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin di
mengerti manusia.
Adapun beberapa ciri utama ilmu menurut termonologi, antara lain:
1. Ilmu adalah sebagian pengetahuan yang bersifat empiris, sistematis, dapat diukur dan
dibuktikan.
2. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing
penalaran orang, sebab ilmu dapat memuat hipotesis-hipotesis dan teori-teori sendiri.
3. Ciri hakiki ilmu ialah metodologi, karena ilmu tidak dicapai dengan penggabungan
tidak teratur dan tidak terarah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah sebagian pengetahuan yang
diperoleh melalui berbagai tahapan yakni dengan metode yang sistematis dan terukur, serta
melalui pengamatan ilmiah sehingga dapat dibuktikan secara ilmiah pula.
Sedangkan nilai merupakan tema baru dalam filsafat, adalah aksiologi, cabang filsafat
yang mempelajarinya, muncul untuk yang pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Dalam
hal ini, Plato telah membahasnya secara mendalam dalam karyanya, bahwa keindahan, kebaikan
dan kekudusan merupakan tema yang penting bagi para pemikir di sepanjang zaman.
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori.
Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Sedangkan aksiologi menurut Jujun S. Suriasumantri
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Page 3
Dalam Encyclopedy of Philosophy yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar, dijelaskan bahwa
aksiologi disamakan dengan Value and Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation, yakni:
a. Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian sempit seperti baik,
menarik, bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya, nilai dia, dan sistem nilai dia.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan
dinilai.

Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa


permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika merupakan sebuah cabang filsafat yang membicarakan perilaku manusia dalam hidupnya.
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat
dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu dipertanggungjawabkan. Singkatnya,
etika memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau
buruk. Etika menilai perbuatan-perbuatan manusia, karenanya lebih tepat kalau dikatakan bahwa
objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa
etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu
kondisi yang normatif. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan
yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Sedangkan pandangan mengenai nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat
tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai itu objektif, jika ia tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya
pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur
suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar
ada.

Page 4
Kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan tergantung pada
objektivitas fakta, oleh karena itu ia tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur demokrattik
perhitungan suara. Misalnya, pendapat orang yang berselera rendah tidak akan mengurangi
keindahan sebuah karya seni.

Adapun nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan,
intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang
atau tidak senang. Bagi kaum subjektivis, nilai itu merupakan pengalaman, bukannya benda atau
obyek, benda- benda mungkin berharga tetapi bukan nilai, nilai juga bersifat subyektif dalam
artian bahwa nilai itu bergantung kepada hubungan antara seorang penganut dan hal yang
dinilai.

1. Hubungan antara ilmu dan nilai


Ilmu merupakan suatu yang sangat urgen bagi manusia, ia menjadi sarana yang
membantu manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Namun, ilmu dalam perkembangan dan
penerapannya tidak hanya menjadi berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi bisa juga
menjadi bencana. Seperti teknologi pembuatan bom atom yang awalnya bisa dimanfaatkan
sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, namun pada akhirnya juga bisa menimbulkan
malapetaka.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya,
muncul untuk yang pertamakalinya pada paruh kedua abad ke-19. Adalah benar bahwa telah
mengilhami lebih dari pada seorang filsuf, bahkan Plato telah membahasnya secara mendalam
dalam karyanya, dan bahwa keindahan, kebaikan, dan kekudusan merupakan tema yang penting
bagi para pemikir disepanjang zaman. Sementara itu, minat untuk mempelajari keindahan belum
hilang sama sekali; keindahan, sebagaimana yang Nampak dewasa ini sebagai salah satu
perwujudan dari cara pandang yang khas terhadap dunia, sebuah cara yang disebut dengan
nilai. Dapat disimpulkan bahwa, nilai merupakan suatu tolak ukur kebaikan, keindahan dan
kekudusan suatu objek tertentu.

Page 5
Menghadapi hal seperti ini maka esensi ilmu mulai dipertanyakan, untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan, apakah ilmu harus dikaitkan dengan nilai-nilai moral?. Dihadapkan
dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak inilah para
ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang, apakah ilmu-ilmu yang berkembang dengan pesat
tersebut bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Hal ini mengingat bahwa di satu pihak
objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang
mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai subjektif, seperti nila-nilai dalam masyarakat,
nilai agama, nilai adat dan sebagainya yang ikut menentukan pilihan atas masalah dan
kesimpulan yang dibuatnya.

2. Ilmu bebas nilai (value free)


Paradigma ilmu bebas nilai (value free) mengatakan bahwa ilmu itu bersifat otonom yang
tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Bebas nilai artinya setiap kegiatan ilmiah
harus didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur
tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Penganut paradigma ini menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik
secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan
dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk
tujuan yang baik atau sebaliknya.
Menurut Josep Situmorang, setidaknya ada 3 faktor yang menjadi indikator bahwa ilmu
pengetahuan itu bebas nilai:
1. Ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama, budaya, dan
unsur kemasyarakatan lainnya.
2. Perlunya kebebasan usaha ilmiah, agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin. Kebebasan itu
menyangkut kemungkinan untuk menentukan diri sendiri.
3. Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis (yang sering dituding menghambat kemajuan
ilmu), karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

Page 6
Paradigma ini mengikuti jejak yang dikembangkan oleh Copernicus, Galileo, dan filosof
seangkatannya yang netral nilai secara total. Mereka berpendapat bahwa objek ilmu tetap sebagai
objek ilmiah yang harus dihadapi sama, baik secara teoritis maupun secara metodologis. Oleh
karena itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang dihadapi ilmu itu merupakan
bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa alam (uniformity of natural) atau
merupakan masalah yang ada hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia disamping sebagai
subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang diteliti secara objektif dari luar, tanpa terpengaruh
dengan apa yang menjiwainya.
Penganut pendapat ini ada yang lebih ekstrim menyatakan bahwa gejala-gejala
kemasyarakatan sama dengan gejala fisika, yaitu sama-sama bersifat alami. Pengertian-
pengertian seperti kehendak, rasa, motif, nilai dan jenis merupakan hal-hal yang berada di luar
dunia eksakta yang adanya hanya dalam dunia angan-angan yang tidak patut ditinjau dari segi
ilmiah.
Bebas nilai sesungguhnya adalah tuntutan yang ditujukan pada ilmu agar keberadaannya
dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai lain di luar ilmu itu sendiri, artinya
tuntutan dasar agar ilmu dikembangkan hanya demi ilmu itu sendiri tanpa pertimbangan politik,
agama maupun moral. Jadi, ilmu harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan
pertimbangan ilmiah murni. Agaknya, inilah yang menjadi patokan sekularisme yang bebas nilai.
Dalam pandangan ilmu yang bebas nilai, eksplorasi alam tanpa batas bisa jadi dibenarkan
untuk kepentingan ilmu itu sendiri, seperti juga ekpresi seni yang menonjolkan pornografi dan
pornoaksi adalah sesuatu yang wajar karena ekspresi tersebut semata-mata untuk seni.
Setidaknya, ada problem nilai ekologis dalam ilmu tersebut tetapi ilmu-ilmu yang bebas nilai
demi tujuan untuk ilmu itu sendiri barangkali menganggap kepentingan-kepentingan ekologis
tersebut bisa menghambat ilmu. Contoh lain misalnya, dulu sebelum ditemukan teknologi sinar
laser demi mempelajari anatomi tubuh manusia, maka menguliti mayat manusia dan mengambil
dagingnya hingga tinggal tulang-tulangnya diperbolehkan dalam ilmu.

Page 7
Sedangkan seni misalnya, membuat patung-patung manusia telanjang, lukisan-lukisan
erotis, fotografi yang menonjolkan pornografi dan tarian-tarian tanpa busana sama sekali adalah
bukan masalah dan dibenarkan secara ilmu seni sepanjang untuk ekspresi seni itu sendiri.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa penganut paradigma value freeberpendirian
bahwa ilmu tidak terikat oleh nilai, baik dalam proses penemuannya maupun proses
penerapannya karena petimbangan-pertimbangan moral atau nilai hanya menghambat
pertumbuhan dan perkembangan ilmu.

3. Ilmu tidak bebas nilai (value bound)


Paradigma ilmu yang tidak bebas nilai (value bound) memandang bahwa ilmu itu selalu
terkait dengan nilai dan harus dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai.
Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan
baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis, dan sebagainya.
Filosof yang menganut teori value bound adalah Habermas. Dia berpendirian bahwa teori
sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai, dan semua ilmu bahkan ilmu alam sekalipun
tidaklah mungkin bebas nilai karena dalam pengembangan setiap ilmu selalu ada kepentingan-
kepentingan teknis.
Dalam pandangan Habermas bahwa ilmu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-
kepentingan tertentu yakni nilai relasional antara manusia dan alam seperti ilmu pengetahuan
alam, manusia dan manusia seperti ilmu sosial, dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika
lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja lepas dari
nilai. Penganut value bound ini bahkan ada yang mengatakan bahwa nilai adalah ruhnya ilmu.
Jadi, ilmu tanpa nilai diibaratakan seperti tubuh tanpa ruh (mati) yang berarti tidak berguna.

Page 8
4. Ilmu bebas nilai sedangkan aplikasi ilmu dan ilmuwannya terikat nilai
Pendapat ini mengatakan bahwa ilmu bebas nilai hanya terbatas dari segi ontologinya,
sedangkan penggunaannya tidak bebas nilai karena harus berdasarkan asas-asas nilai. Mereka
berpendirian bahwa masalah nilai tidak terlepas sama sekali dengan fitrah manusia. Manusia
adalah makhluk yang selalu menilai untuk menemukan kebenaran dan mempertemukan
kebenaran. Sejarah manusia penuh dengan peristiwa-peristiwa yang dihiasi kerelaan
mengorbankan nyawa dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Tanpa dasar nilai
moral, ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual. Pendapat ini
didasari oleh beberapa hal, yakni:
1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan
adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan.
2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang akses-akses yang mungkin terjadi bila ada penyalahgunaan.
3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga ada kemungkinan bahwa ilmu dapat
mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik perubahan sosial (social engineering).
Menurut Drs. H. Mohammad Adib, MA, substansi ilmu itu bebas nilai (value-free),
tergantung pada pemakaiannya, beliau mengatakan bahwa:
Sangat dikhawatirkan dan berbahaya jika ilmu dan pengetahuan yang sarat muatan negatif
dikendalikan atau jatuh ke tangan orang-orang yang berakal picik, sempit, dan sektarian; berjiwa
kerdil, kumuh dan jahat, bertangan besi dan kotor. Hal ini berangkat dari fakta belakangan yang
menunjukkan terjadinya krisis, kemiskinan, kebodohan, ketidakpercayaan, dan lainnya sebagai
dampak dari missmanagement, missdirection, missmanipulation, dan sebagainya.

Page 9
Berdasarkan hal-hal diatas, maka ilmu secara netral harus bertujuan untuk kesejahteraan
manusia, tanpa merendahkan martabatnya. Dengan kesimpulan bahwa pendapat ini mengatakan
bahwa ilmu bebas nilai dalam proses penemuannya dan terikat nilai dalam proses penerapannya,
tentunya dalam proses penerapan sangat berkaitan dengan subjek yang mengembangkannya,
yaitu ilmuwan itu sendiri. Proses penemuan ilmu memang diusahakan secara maksimal objektif.
Usaha itu berupa menjauhkan diri dari segi-segi nilai subjektif . Namun, karena manusia adalah
makhluk yang tidak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang berguna baginya, maka dalam
penerapan ilmu selalu mempertimbangkan nilai.
Dari paparan tiga paradigma tentang ilmu dan nilai diatas, dapat disimpulkan bahwa
netralitas ilmu hanya terletak pada epistemologinya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun
selain kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu
menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan ilmuwan memiliki
landasan moral yang kuat.

Page 10
B. Etika dan Ilmu Pengetahuan
1. Pengertian Etika dan Ilmu Pengetahuan.
Etika berasal dari kata Yunani ethikos, ethos yang berarti adab, kebiasaaan atau
praktek. Aristoteles menganggap bahwa etika mencakup ide, karakter dan disposisi
(kecondongan). Tujuan kehidupan bagi Aristoteles adalah kebahagiaan atau eudaimonia
(kesejahteraan, kesentosaan). Cicero(106-43 SM) memperkenalkan kata moralis ekiuvalen
dengan kata ethikos yang diungkapkan Aristoteles. Dalam bahasa Indonesia etika berarti
ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlaq (moral).
Etika secara terminologis adalah cabang filasafat yang mempelajari perbuatan atau
tingkah laku dan nilai moral (baik dan buruk) manusia. Perbuatan yang dapat dinilai baik
buruknya adalah tingkah laku, gerakan-gerakan, kata-kata, yang dilakukan dengan
kesadaran. Dalam banyak pemakaian, istilah etika merupakan sinonim “moral”. Moral
berasal dari kata latin moralis-mos, moris yang artinya adat, istiadat, kebiasaan, cara,
tingkah laku atau mores yang berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara
hidup. Dalam bahasa Indonesia moral berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan (akhlak, kewajiban). Ada perbedaan tentang etika dan moral dalam penilaian
sehari-hari. Moral atau moralis dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan
etika digunakan untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Menurut kamus new Collegiate Webster, definisi ilmu adalah pengetahuan yang dicapai
melalui studi/ praktek, “atau” pengetahuan yang meliputi kebenaran umum, pengoperasian
hokum umum, dll. Diperoleh dan diuji melalui metode ilmiah dan berhubungan dengan
dunia fisik. Ilmu mengacu pada system memperoleh pengetahuan dengan menggunakan
oberservasi dan eksperimentasi untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena alam.

Page 11
2. Ilmu Pengetahuan dalam ajaran etika.
Manusia adalah mahluk ciptaan tuhan yang paling sempurna, mulia,karena di
karunia oleh Allah SWT akal, perasaan dan kehendak. Menurut abdul kadir Muhammad,
akal adalah alat berfikir sebagai sumber ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan akal
manusia menilai mana yang benar dan yang salah, sebagai nilai kebenaran. Perasaan adalah
alat untuk menyatakan keindahan sebagai sumber seni. Dengan perasaan manusia menilai
mana yang indah (estetika), dan yang jelek. Kehendak adalah alat untuk menyatakan
penilaian, sebagai kebaikan. Dengan kehendak, manusia menilai mana yang baik dan mana
yang buruk, sebagai moral.
Kesadaran manusia tentang kebenaran di maknai dengan sesuatu yang indah, yang
menyenangkan, yang menentramkan, dan membahagiakan, sedangkan kesadaran manusia
tentang sesuatu yang salah adalah sesuatu yang jelek,buruk,menyengsarakan dan
membosankan. Begitu banyak realitas kehidupan yang begitu ironis. Ilmuan
menyombongkan hasil karyanya dan menganggap karyanya sebagai kehendaknya sendiri
tanpa ada sentuhan tuhan maupun agama di dalam usahanya. Pemuka agama memberikan
doktrin akan indahnya surga dan menyalahkan Ilmu pengetahuan umum dalam kehidupan
beragam. Keduanya berjalan pada relnya masing-masing dengan senyum dan sinis di antara
keduanya.
Ilmu pengetahuan adalah buah karya manusia yang memiliki sifat dan makna yang
sangat multi dimensi, dalam perkembangannya selalu berintikan nilai tentang kebenaran.
Hal ini di pengaruhi oleh keberadaan manusia sebagai mahluk yang kompleks yang tidak
sederhana adanya. Manusia itu mahluk yang misteri, yang selalu menarik, tidak ada habis-
habisnya di bicarakan. Seperti aristoteles mengatakan manusia menurut kodrat ingin
mengetahui dan tidak pernah merasa puas.
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-
pandangan moral secara kritis. Dalam pandangan etika, ilmu pengetahuan memiliki nilai-
nilai ketuhanan mendasar berdasrkan kepada kebenaran.

Page 12
Dalam ajaran etika dan ilmu pengetahuan secara filosofis atau idealnya ilmu pengetahuan
nilai-nilai etika, karena etika membicarakan masalah tingkah laku dan perbuatan manusia,
dalam hubungan baik buruk, yang dapat di nilai baik dan buruk adalah sikap manusia yang
menyangkut sebuah gerakan, perbuatan dan perkataan. Dan menjadi catatan bahwa dalam
ilmu pengetahuan perlu di terapkan nilai-nilai etika sebagai roh ilmu pengetahuan,
sehingga menjadi pegangan bagi ilmu pengetahuan untuk mencapai kebenaran.
Dari uraian di atas jelas bahwa Ilmu pengetahuan dalam ajaran etika merupakan
satu rangkaian abadi yang tidak dapat di pisahkan. Menurut Sahrawardi K.Lubis
menyatakan dalam bahasa agama etika berarti bagian dari ahlak karena ahlak bukanlah
sekedar hal yang menyangkut perilaku manusia yang bersifat bathin yang di motori oleh
hati nurani. Akan lebih sempurna, jika ilmu yang di laksanakan dengan pertimbangan etika
di perkuat dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan. Karena kebenaran ilmu pengetahuan adalah
kebenaran ilmu yang temporal, sedangkan kebenaran agama adalah kebenaran
obsolut. Ibarat pepatah: “science without relegions blind, relegion without science is
lame, yang berarti ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu akan lumpuh.
3. Pengaruh Ajaran Etika terhadap Ilmu Pengetahuan.
Menurut aristoteles tujuan manusia adalah kebahagiaan, yang dapat dicapai dengan
cara memandang yang Ilahi. Namun, pemikiran filsuf tidak dapat memuaskan manusia
secara sempurna. Satu-satunya pemandangan yang memuaskan sepenuhnya adalah
pemandangan Nilai Tertinggi dan Abadi. Dalam mencapai tujuan hidup tersebut manusia
selalu di dasarkan pada akal budinya, terarah pada realitas yang terbatas, sehingga manusia
akan mencapai kepuasan apabila telah sampai nilai tertinggi yaitu tuhan, sehingga tujuan
terakhir adalah tuhan. Adapun pengaruh ajaran etika terhadap ilmu pengetahuan adalah:
1) Adanya rasa cinta.
Rasa cinta sebagaimana menurut pendapat Ibnu arabi adalah, asal wujud-wujud, tidak
ada gerakan dalam alam kecuali cinta. Cinta adalah perangkul dan penyambung, tidak
hanya antara laki-laki dan perempuan, tetapijuga manusia dengan alam, dan manusia
dengan penciptanya. Para filsuf mengatakan cinta adalah keinginan untuk merangkul
realitas dan menguasai jaman. Dengan cinta manusia mengerti dimensinya yang tidak
terbatas, dengan perantara wujud menyatu, tersusun dan seirama.

Page 13
Cinta merupakan salah satu bentuk potensi dari etika jika di lakukan denga tulus ikhlas
tanpa ada niat negative, cinta membentuk manusia menghormati, menghargai, dan
menyayangi antar manusia.

2) Adanya pemikiran yang sistematis.


Etika adalah pemikiran yang sistematis tentang ilmu pengetahuan, yang di hasilkan
oleh secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang mendasar dan
kritis. Etika tidak dapat menggantikan agama dan tidak bisa bertentangan dengan agama
bahkan etika sangat di perlukan oleh agama.

3) Mencegah egoisme.
Etika sangat di butuhkan dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak dapat hidup tanpanya,
karena etika berpikir selalu berusa mencari mana yang benra dan mana yang salah.
Menurtu Jenny Teichman “ egoisme di anggap sebagai teori mengenai kodrat manusia
yakni teori yang menyatakan bahwa setiap manusia selalu di gerakkan oleh motivasi cinta
diri dan tindakan-tindakan yang tampaknya tidak untuk cinta diri sesungguhnya merupakan
tindakan-tindakan cinta diri secara sendiri”. Dari pandangan tersebut jelas bahwa sikap
egois cendrung mencari keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan kepentinagan
orang kain. Egoisme adalah sifat keakuan dan tidak mengindahkan nilai kebersamaan dan
memandang rendah orang lain.

4) Berfikir Bijaksana.
Socrates menjelaskan kebijaksanaan yaitu sama nilainya dengan pengetahuan, karena
tindakan yang bijaksana tidak mungkin timbul dari orang yang bodoh. Karena kebijakan itu
di jiwai oleh sifat wisdow, di sebabkan karena kebajikan itu inti dari kebijaksanaan,
kejujuran.

Page 14
5) Bertanggung Jawab.
Eksistensi manusia didunia menurut aliran materealisme adalah bahwa manusia itu
merupakan hasil dari proses dan daya seperti hanya barang-barang, benda-benda. Aliran ini
merumuskan satu visi berharga yang berusaha mempertanggung jawabkansuatu kenyataan
yang tidak boleh di abaikan.

4. Hubungan etika dengan ilmu pengetahuan


Tidak jarang kita menemukan pernyataan yang mengillustrasikan erat kaitan antara
ilmu dan etika, serta signifikansi keduanya. Kemegahan seorang ilmuwan terdapat pada
keindahan etikanya. Abu Zakaritta al-anbari berkata: ilmu tanpa etika bagaikan api tanpa
kayu bakar, dan etika tanpa ilmu adalah seperti jiwa tanpa badan. Etika adalah sebuah Ilmu
dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama.
Bagaimana bila harus hidup, bukanlah etika melainkan ajaran moral. Ilmu dan etika
sebagai suatu pengetahuan yang di harapkan dapat meminimalkan dan menghintakan
penyimpangan dan kejahatan di kalangan masyarakat. Di samping itu, Ilmu dan etika di
harapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di masyarakat agar dapat menjadi
cendikiawan yang memiliki moral dan ahlak yang baik/mulia.
Etika memberikan semacam batasan maupun standar yang mengatur pergaulan
manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika ini kemudian di rupakan ke dalam bentuk
aturan tertulis yang secara sistematik sengaja di buat berdasarkan prinsip-prinsip moral
yang ada dan pada saat di butuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi
segala macam tindakan yang logika-rasional umum(common sense) di nilai menyimpang
dari kode etik. Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan khusus yakni
kegunaan universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaan.

Page 15
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

1. Basis keilmuan tanpa nilai dan tidak dilengkapi oleh aksiologi,


etika, religiousitas,dan sosiologi, akan mengakibatkan runtuhnya tatanan sistem
kemasyarakatan serta menciptakan tatanan hidup masyarakat yang tidak
bertanggungjawab. Kekeringan nilai dalam bingkai ilmu akan berakibat pada
runtuhnya ruh ilmu itu sendiri.
2. Kebenaran ilmiah merupakan hasil dari proses kegiatan ilmiah melalui metodologi
ilmiah. Kebenaran ilmiah ini tidak selamanya bisa dipegangi. Oleh karena itu, kita
tidak perlu mengagung-agungkan kebenaran ilmiah yang kita peroleh dengan
keterbatasan rasio dan indrawi kita. Karena kebenaran tunggal dan hakiki hanyalah
milik Allah SWT. Al-haqqu min Rabbik.
3. Aspek etika keilmuan seharusnya mendapat perhatian yang tinggi bagi para
pendidik maupun ilmuwan itu sendiri. Hal ini mengingat bahwa betapa banyak
orang yang cenderung mendidik anak-anak mereka menjadi seorang yang memiliki
kecerdasan tinggi tanpa melengkapi kecerdasan tersebut dengan nilai-nilai moral
yang luhur.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dan nilai
merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kalaupun di awal pertumbuhannya
dogma agama membuat ilmu gerah dan ingin melepaskan diri, hal ini tentu tidak berarti
bahwa ilmu dapat berjalan sendiri tanpa nilai. Namun, bukan berarti pula nilai agama
memberikan batasan berlebihan pada ilmu sehingga ilmu tak diberi kesempatan untuk
berkembang.

Page 16
Ilmu pengetahuan dalam ajaran etika merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan
hal ini bermakna ilmu pengetahuan bermakna ilmu pengetahuan mengandung nilai-nilai
etika atau ethis yaitu nilai tentang baik dan buruk atau benar dan salah tentang objek yang
berada dalam ruang lingkup manusia. Dalam ajaran etika Ilmu pengetahuan dapat di
pertahankan denga etika. Etika berfungsi sebagai rambu-rambu prilaku, sehingga
pemaknaan ilmu pengetahuan begitu indah dan damai untuk mewujudkan kesempurnaan
dan bertanggung jawab. Pengaruh etika dapat di rasakan dalam ilmu pengetahuan dengan
adanya rasa cinta, adanya pemikiran yang sistematis, mencegah egois, berpikir bijaksana
dan bertanggung jawab.

2. Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari segi
metode maupun content (isi). Kritik dan saran berupa kontribusi pemikiran yang
konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Page 17
DAFTAR PUSTAKA

1. Asari Hasan, Etika Akademis Dalam Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana,2008.


2. Abdullah, M. Amin. “Relevansi Studi agama-agama dalam millennium ketiga:
Mempertimbangkan kembeli metodologi dan filsafat keilmuan agama dalam upaaya
memecahkan persoalan keagamaan kontemporer, Jurnal Ulumul qur’an No.5/VII/97
Jakarta: Cipta Prima Budaya,1997.
3. Ermi Suhasti. Pengantar Filsafat Ilmu. 2012. Yogyakarta: Prajnya Media.
4. Maksudin, (Pradigma Ilmu Pengetahuan nondikotomik (persfektif filsafat ilmu) Makalah
disksusi ilmiah dosen tetap UIN sunan kalijaga Tahun ke-32,2011 Tanggal 6 januari
2012.
5. Suryani Any, Relegiousitas sains dalam ajaran etika dan moral, malang:Brawijaya
Press,2010.
6. Surajiyo, Ilmu filsafat suatu pengantar, Jakarta: Bumi aksara,2005.
7. Sutoyo DKK, Religiusitas Sains, Meretas jalan menuju peradaban zaman,Malang:
Brawijaya Press,2010.
8. http://qodirassasaky.blogspot.co.id/2012/04/etika-dan-ilmu-pengetahuan.html
9. http://blogsidul.blogspot.co.id/2013/07/makalah-ilmu-dan-nilai-kebenaran-ilmiah.html
10. Abdullah, M. Yatimin, Pengantar Studi Etika. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2006.
11. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta, RajaGrafindo Persada, cet ke-10, 2011.
12. Frondizi, Risieri, What is Value. diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya, Pengantar
Filsafat Nilai. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet ke-1, 2001.
13. http://munzaro.blogspot.com/2011/07/problematika-nilai-dalam-ilmu.html diakses pada
14 Desember 2011
14. S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, cet ke-11, 1998.

Page 18

Anda mungkin juga menyukai