Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


BRONKOPNEUMONIA
Diajukan untuk memenuhi salahsatu tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak Program
Profesi Ners Angkatan XXXIV

DISUSUN OLEH :

DESTI RAHMAWATI 220112170024


DIANTI SITI SYARAH 220112170008

PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN XXXIV


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................2
1.1 Latar belakang................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Penyebab Bronkopneumonia.........................................................................4
2.3 Manifestasi Klinis Bronkopneumonia............................................................5
2.4 Patofisiologi Bronkopneumonia....................................................................6
2.5 Pemeriksaan Diagnostik Bronkopneumonia................................................10
2.6 Penatalaksanaan Bronkopneumonia.............................................................10
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN....................................................11
3.1 Pengkajian....................................................................................................11
3.2 Diagnosa keperawatan.................................................................................13
3.3 Rencana keperawatan...................................................................................13
BAB IV PENUTUP...................................................................................................20
4.1 Kesimpulan..................................................................................................20
4.2 Saran.............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................21

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit infeksi di Indonesia yang banyak menimbulkan kematian adalah
penyakit infeksi saluran pernafasan baik itu pernafasan atas maupun bawah, yang
bersifat akut atau kronis. Infeksi saluran nafas akut (ISPA) ialah infeksi akut yang
dapat terjadi disertai tempat disepanjang saluran nafas dan adneki selnya (telinga
tengah, cavum pleura, dan paraanalisis). (Ngastiyah,2005) World Health Organitation
(WHO) tahun 2005 menyatakan Propotional Mortality Ratio (PMR) balita akibat
pneumonia di seluruh dunia sekitar 19% atau berkisar 1,6 -2,2 juta dan sekitar 70%
terjadi di negara- negara berkembang terutama di Afrika dan Asia Tenggara.
Pada tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk kasus
pneumonia pada balita dengan jumlah penderita mencapai 6 juta jiwa. Menurut hasil
penelitian Johnson, dkk di Afrika Barat, dari 323 kasus pneumonia pada balita
ditemukan 127 (39,3%) bronkopneumonia, 39 (12,1%) lobar pneumonia, dan 23
(7,1%) bronkopneumonia dan lobar pneumonia. Berdasarkan data WHO penyakit
saluran pernafasn akut salah satu penyumbang dari banyak penyebab kesakitan dan
kematian. Pada tahun 2000 di El Salvador, Incidence Rate (IR) ISPA 252 per 1000
penduduk 2 dengan proporsi 52% pada umur dibawah 5 tahun. IR pneumonia dan
bronkopneumonia 44,7 per 1.000 penduduk dengan proporsi 38,3% pada umur
dibawah 1 tahun. Infeksi saluran nafas bawah yang di dalamnya termasuk
bronkopneumonia masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang maupun
maju.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
penyakit saluran nafas bawah merupakan penyakit penyebab kematian kedua di
Indonesia. Laporan WHO tahun 2000 menyebutkan, penyebab kematian akibat
infeksi adalah infeksi saluran akut termasuk influenza dan pneumonia. Infeksi batuk
rejan ditemukan pula sebagai komplikasi penayakit saluran nafas lainnya, terbesar
ditemukan pada kasus (23,5%). Mengingat infeksi saluran nafas bagian bawah ini
bertanggungjawab atas 28,9% kematian anak balita ( medistra hospital.com).
Diketahui bahwa bronkopneumonia menempati urutan kesepuluh setelah faringitis
dan campak dengan presentase sebesar 1,53% ( tahun 2000 hanya 1,04%) dengan

3
jumlah 3,37. Pada tahun 2001 presentasi meningkat menjadi 1,61% setelah bronkitis
akut (Badan Litbang Kesehatan, 2001).
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran berbecak, teratur, dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Smeltzer &
Suzanne C, 2002:572). Bronkopneumonia berasal dari kata bronchus dan pneumonia
berarti cabang tenggorokan yang merupakan lanjutan dari trachea dan pneumonia
berarti peradangan pada jaringan paru - paru dan juga cabang tenggorokan (broncus)
(Arif Mansjoer, 2000) Gangguan pada sistem pernapasan merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernapasan jauh lebih sering
terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ tubuh lain dan berkisar dari
flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai pneumonia
berat. ( Sylvia A Price,2005 ).
Bronkopneumonia paling sering didapatkan pada anak kecil dan pada anak
yang lebih besar dengan kondisi kronis yang mempengaruhi fungsi pernafasan
(misalnya fibrosis kistis, palsi selebral berat). Berbagai organisme bisa menyebabkan
infeksi ini. Bronkopneumonia seringkali terjadi setelah bronkiolitis, infeksi paru dan
batuk rejan ( Hidayat, 2001). Kesimpulannya bronchopneumonia adalah jenis infeksi
paru yang disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur, dan benda
asing yang mengenai daerah bronkus dan sekitar alveoli. Sedangkan upaya 4 yang
penting dalam penyembuhan dengan perawatan yang tepat merupakan tindakan yang
utama dan untuk mencegah komplikasi yang lebih fatal dan diharapkan pasien dapat
kembali sembuh. Kerjasama tenaga medis sangat diperlukan yaitu dengan melibatkan
pasien dan keluarganya. Berhubungan dengan hal tersebut di atas, penulis tertarik
untuk memberikan Asuhan Keperawatan dengan Bronkopneumonia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
“Bagaimana Asuhan Keperawatan Padaa Pasien dengan Bronkopneumonia?”

1.3 Tujuan Penulisan


Untu mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Bronkopneumonia
meliputi Tinjauan Pustaka dan Konsep Asuhan Keperawatannya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru (Behrman, Kliegman,
& Jenson, 2003). Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia
yang mempunyai penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi dalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya (Smeltzer & Bare, 2001).

Menurut Wong (2004), bronkopneumonia adalah bronkiolus terminal yang


tersumbat oleh eksudat, kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi atau
membentuk gabungan di dekat lobulus, disebut juga pneumonia lobaris. KemenKes
RI (2012) mendefinisikan bronkopneumonia sebagai infeksi akut yang mengenai
jaringan paru-paru (alveoli).

Kesimpulannya bronkopneumonia merupakan jenis infeksi paru yang


disebabkan oleh agen infeksius dan terdapat di daerah bronkus dan sekitar alveoli.
Bila pneumonia menyerang maka bagian tersebut berisi cairan atau nanah sehingga
oksigen yang dibutuhkan menjadi terbatas dan menimbulkan kesulitan saat bernapas.

2.2 Penyebab Bronkopneumonia


Sebagian besar pneumonia pada anak disebabkan oleh mikroorganisme seperti
bakteri dan virus, sebagian kecil disebabkan oleh bahan kimia (seperti hidrokarbon
dan lipoid substances). Menurut Buckley (2010), pneumonia dapat disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi baik faktor infeksi maupun non infeksi. Faktor infeksi
penyebab tersering yaitu babkteri, virus, dan mikroplasma. Untuk faktor non infeksi
meliputi aspirasi benda asing, makanan dan asam lambung, serta dapat juga karena
inhalasi zat kimia atau asap rokok. Pneumonia dapat disebabkan oleh infeksi bakteri,
virus, dan jamur (Kartasasmita, 2010).
Penyakit pneumonia yang disebabkan karena jamur sangatlah jarang. Kuman
penyebab pneumonia biasanya berbeda pada setiap tingkat usia anak. Secara umum
bakteri yang berperan penting penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumonia
(50%), Haemoptilus influenza (20%), Staphilococcus aureus, Streptococcus group B.
Bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumonia
yang bisa ditemukan di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh
menurun oleh karena sakit, usia, atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri
dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia akan mengalami

5
panas tinggi, berkeringat, napas terengah- engah, dan denyut jantungnya meningkat
cepat (Misnadiarly, 2008).
Virus yang paling sering menyebabkan pneumonia yaitu Respiratory Syncytial
Virus (RSV), Parainfluenza virus, Influenza virus, dan adenovirus (Setyoningrum,
2006). Tahun 2005 terjadi kematian diperkirakan sekitar 66.000-199.000 anak balita
karena pneumonia Respiratory Syncytial Virus (RSV) (Nair, et al, 2010). 99% di
antaranya terjadi di negara berkembang. Penyebab utamanya yaitu virus RSV
meliputi 15-40% kasus yang ada, lalu diikuti virus Influenza A dan B, Parainfluenza
virus, Human metapneumovirus, dan adenovirus. Sejalan dengan penelitian (Nair, et
al, 2010 & Setyoningrum, 2006), Kartasasmita (2010) menyebutkan bahwa virus
yang menjadi penyebab pneumonia yaitu Respiratory Syncytial Virus dan Influenza
virus.
Menurut Abdoerrahman (2007: 1228) pembagian etiologis dari
bronkopneumonia, yaitu:
a. Bakteria: diplococcus pneumonia, pneumococcus, streptococcus hemolyticus,
streptococcus aureus, hemophilus influenzae, bacillus friedlander,
mycobacterium tuberculosis.
b. Virus: respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus, virus sitomegalik.
c. Mycoplasma pneumonia, jamur: histoplasma capsulatum, cryptococcus
neoformans, blastomyces dermatitides, coccidioides immitis, aspergillus
species, candida albicans.
d. Aspirasi: makanan, kerosen (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda asing.
Pneumonia hipostatik, sindrom leoffler.

2.3 Manifestasi Klinis Bronkopneumonia


Secara umum gambaran klinis pneumonia diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu gejala umum dan gejala respiratorik. Gejala umum meliputi demam,
sakit kepala, malaise, nafsu makan menurun, gejala gastrointestinal (mual, muntah,
dan diare), sedangkan gejala respiratorik meliputi batuk, napas cepat (takipnea),
napas sesak (retraksi dinding dada/chest indrawing), napas cuping hidung, dan
sianosis (Said, 2010).
Gejala klinis yang muncul biasanya tergantung dari umur pasien dan patogen
penyebabnya, sedangkan pada anak-anak biasanya tidak muncul gejala
(Setyoningrum, 2006). Tanda dan gejala pada bayi dan anak kecil meliputi demam,
anak rewel, kejang yang disebabkan demam tinggi, sakit kepala, nyeri dan pegal pada
punggung dan leher, anoreksia, muntah, diare, nyeri abdomen, hidung tersumbat,
produksi sekret, stridor, merintih, wheezing, crackles,dan batuk (Hockenberry &
Wilson, 2012). Pada neonatus sering dijumpai takipnea, retraksi dinding dada, dan
sianosis. Pada bayi yang lebih besar, gejala yang sering terlihat yaitu takipnea,

6
retraksi dinding dada, sianosis, batuk, demam, dan iritabel. Pada anak pra sekolah,
gejala yang sering terjadi yaitu demam, batuk (non produktif atau produktif),
takipnea, dan dispnea yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok
anak sekolah dan remaja dapat ditemui demam, batuk (non produktif atau produktif),
nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi, dan letargi.
Menurut DepKes (2004), tanda dan gejala pneumonia diantaranya yaitu
batuk, pilek, demam disertai adanya kesukaran bernapas dan peningkatan frekuensi
napas sesuai usia. Napas cepat dapat diketahui dengan menghitung frekuensi napas
dalam satu menit penuh yang dihitung ketika kondisi anak tenang. Untuk anak usia
kurang dari dua bulan, dikatakan napas cepat jika frekuensi napasnya ≥60 kali per
menit, untuk usia 2 bulan sampai 1 tahun dikatakan napas cepat jika frekuensi
napasnya ≥50 kali per menit, dan untuk balita (1-5 tahun) dikatakan napas cepat jika
frekuensi napasnya ≥40 kali per menit (WHO, 2011).
Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-gejala klinis
tersebut antara lain (Bennet, 2014 & Hudoyo, 2014):
a. Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal
b. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung
c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa
hari
d. Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare
e. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk,
beberapa hari yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
f. fPada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring
g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan
predominan PMN
h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan
infiltrat alveolar serta gambaran bronkopneumonia

2.4 Patofisiologi Bronkopneumonia


Infeksi saluran napas bawah yang paling sering diderita dan berisiko besar
pada anak-anak yaitu pneumonia (Corwin, 2009). Kerusakan jaringan paru setelah
kolonisasi suatu mikroorganisme di paru banyak disebabkan dari reaksi imunitas dan
inflamasi pejamu. Selain itu, toksin yang dikeluarkan bakteri dapat secara langsung
merusak sel-sel sistem pernapasan bawah, termasuk produksi surfaktan sel alveolar
tipe II. Menurut Corwin (2009) dan Price & Wilson (2006) pneumonia memiliki
empat fase atau stadium yaitu stadium hiperemia, hepatisasi merah, hepatisasi
kelabu, dan resolusi. Staium satu, hiperemia (4-12 jam pertama) merupakan respon
inflamasi awal pada daerah paru yang terinfeksi yang disebabkan pelepasan histamin
dan prostaglandin serta mengaktifkan komplemen (Price & Wilson, 2006). Ketiga
komponen ini menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke area cidera

7
serta memicu terjadinya perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisial yang kemudian mengakibatkan edema antara kapiler dan alveolus.

Penimbunan cairan diantara kapiler dan alveolus, menyebabkan penurunan


kecepatan difusi gas yang pada akhirnya menyebabkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin. Pada stadium ini, penyebaran infeksi ke jaringan sekitar terjadi akibat
dari peningkatan aliran darah dan rusaknya alveolus serta membran kapiler seriring
dengan berlanjutnya proses inflamasi. Stadium dua, hepatisasi merah (12-48 jam
pertama) merupakan kondisi ketika alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat, dan
fibrin yang dihasilkan pejamu sebagai bagian dari proses inflamasi. Stadium tiga,
hepatisasi kelabu (3-8 hari) terjadi ketika sel-sel darah putih membuat kolonisasi di
bagian paru yang terinfeksi. Pada stadium ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cidera dan terjadi fagositosis sel debris. Stadium empat, resolusi (8-11
hari) merupakan periode ketika respon imun dan inflamasi mereda, sel fibrin, debris,
dan bakteri telah berhasil dicerna, makrofag dan sel pembersih pada reaksi inflamasi
mendominasi (Price & Wilson, 2006).
Penderita pneumonia biasanya mengalami gangguan pada proses ventilasi
yang disebabkan karena penurunan volume paru akibat langsung dari kelainan
parenkim paru. Untuk mengatasi gangguan ventilasi akibat dari penurunan volume
paru maka tubuh akan berusaha mengkompensasi dengan cara meningkatkan tidal
volume dan frekuensi napas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea
dengan tanda inspiratory effort (Nelson, 2009). Tubuh berusaha meningkatkan
ventilasi sehingga terjadi usaha napas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu
dengan berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka
akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang
dapat mengakibatkan terjadinya hipoksia dan bahkan gagal napas (Chang & Elliott,
2009).

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke


paru perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman. Bronkhopneumonia dalam
perjalanan penyakitnya akan menjalani beberapa stadium, yaitu(Mason, 2005):
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama).

8
Mengacu pada peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang
terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler. Ini terjadi akibat pelepasan mediator peradangan dari sel mast. Mediator
tersebut mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama dengan histamin dan prostagladin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini menyebabkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus, yang
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya).
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat tidak mengandung udara, warna
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin,
leukosit netrofil, eksudat, dan banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini
berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari).
Lobus masih tetap padat dan warna merah berubah menjadi pucat kelabu terjadi
karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Permukaan
pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat
terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi (7-11 hari).
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan dan eksudasi lisis. Eksudat berkurang. Dalam
alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi
lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan yang terjadi dapat di
batasi dengan pemberian antibiotik sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal yang
tidak terkena dapat diselamatkan.

Bagan patway

9
10
2.5 Pemeriksaan Diagnostik Bronkopneumonia
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis antara
lain (Nelson, 2009; Price & Wilson, 2006):
a. Sinar X (rongent thorax) untuk mengidentifikasi distribusi struktural seperti
lobar dan bronchial, dapat juga untuk mengidentifikasi adanya abses paru
b. Pemeriksaan kultur sputum dan darah untuk mengidentifikasi jenis organisme
penyebab pneumonia
c. Pemeriksaan serologi membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus
d. Pemeriksaan fungsi paru untuk menetapkan luas ebrat penyakit dan membantu
diagnosis
e. Biopsi paru berfungsi untuk menetapkan diagnosis lebih spesifik
f. Spirometri statik untuk mengkaji jumlah/volume udara yang diaspirasi
g. Oksimetri nadi berfungsi untuk mengetahui saturasi oksigen dan bertujuan
untuk mengetahui status oksigen pada jaringan perifer
h. Bronkoskopi untuk menetapkan diagonis dan mengangkat benda asing

2.6 Penatalaksanaan Bronkopneumonia


Tata laksana bronkopneumonia terbagi menjadi dua yaitu tindakan suportif
dan medikamentosa (Enarson & Gie, 2005). Tindakan suportif seperti pemberian
oksigen secara nasal kanul (nasal prong) untuk mempertahankan saturasi oksigen
>90%. Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat juga merupakan tindakan suportif.
Jika sekret berlebih dapat diberikan inhalasi dengan normal salin untuk memperbaiki
transport mukosiliar. Tata laksana kedua yaitu medikamentosa dengan pemberian
terapi antibiotik sesuai dengan pola kuman tersering yaitu Streptococcus pneumonia
dan Haemophilus influenza (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Menurut Ricciuti dan Schub (2010) tata laksana infeksi saluran napas bawah
pada bayi membutuhkan fisioterapi dada seperti perkusi dengan kombinasi suction.
Fisioterapi dada sebaiknya didahului dengan pemberian bronkodilator dan normal
salin untuk membantu mengencerkan mukus yang kental. Pemantauan saturasi
oksigen sangat diperlukan untuk mengetahui keberhasilan terapi dan mencegah
kondisi lebih parah. Selain pemerian fisioterapi dada sebagai terapi suportif,
pemantauan status hidrasi dan status ASI eksklusif sangat dianjurkan. Dengan cairan
yang adekuat dan ASI eksklusif diteliti dapat mempercepat penyembuhan dan
mempersingkat hari rawat (Abdullah, 2003).

11
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Pengkajian
a. Fokus Pengkajian
Usia bronkopneumoni sering terjadi pada anak. Kasus terbanyak sering terjadi

pada anak berusia dibawah 3 tahun dan kematian terbanyak terjadi pada bayi

berusia kurang dari 2 bulan, tetapi pada usia dewasa juga masih sering mengalami

bronkopneumonia.
b. Keluhan Utama : sesak nafas
c. Riwayat Penyakit
1. Pneumonia Virus
Didahului oleh gejala-gejala infeksi saluran nafas, termasuk renitis (alergi)

dan batuk, serta suhu badan lebih rendah daripada pneumonia bakteri.
2. Pneumonia Stafilokokus (bakteri)
Didahului oleh infeksi saluran pernapasan akut atau bawah dalam beberapa

hari hingga seminggu, kondisi suhu tubuh tinggi, batuk mengalami kesulitan

pernapasan.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Sering menderita penyakit saluran pernapasan bagian atas riwayat penyakit

fertusis yaitu penyakit peradangan pernapasan dengan gejala bertahap panjang dan

lama yang disertai wheezing (pada Bronchopneumonia).


e. Pengkajian Fisik
1. Inspeksi : Perlu diperhatikan adanya takhipnea, dispnea, sianosis sirkumoral,

pernafasan cuping hidung, distensi abdomen, batuk semula non produktif

menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik nafas pada

pneumonia berat, tarikan dinding dada akan tampak jelas.


2. Palpasi : Suara redup pada sisi yang sakit, fremitus raba mungkin meningkat

pada sisi yang sakit dan nadi mengalami peningkatan.


3. Perkusi : Suara redup pada sisi yang sakit.
4. Auskultasi : Pada pneumoniakan terdengar stidor suara nafas berjurang,

ronkhi halus pada sisi yang sakit dan ronkhi pada sisi yang resolusi,

pernafasan bronchial, bronkhofoni, kadang-kadang terdenar bising gesek

pleura.
f. Data Fokus
1. Pernapasan

12
Gejala : takipneu, dispneu, progresif, pernapasan dangkal, penggunaan obat

aksesoris, pelebaran nasal.

Tanda : bunyi napas ronkhi, halus dan melemah, wajah pucat atau sianosis bibir

atau kulit

2. Aktivitas atau istirahat


Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia

Tanda : penurunan toleransi aktivitas, letargi

3. Integritas ego : banyaknya stressor


4. Makanan atau cairan
Gejala : kehilangan napsu makan, mual, muntah
Tanda : distensi abdomen, hiperperistaltik usus, kulit kering dengan tugor kulit

buruk, penampilan kakeksia (malnutrisi)


5. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (pleritis), meningkat oleh batuk, nyeri dada

subternal (influenza), maligna, atralgia.


Tanda : melindungi area yang sakit (pasien umumnya tidur pada posisi yang sakit

untuk membatasi gerakan) (Doengos,2000).

3.2 Diagnosa keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi

trakeobronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum.


2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus

kapiler, gangguan kapasitas pembawa aksigen darah, ganggguan pengiriman

oksigen.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli.
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan

cairan berlebih, penurunan masukan oral.


5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan

metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia yang

berhubungan dengan toksin bakteri bau dan rasa sputum, distensi abdomen

atau gas.
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas

sehari-hari.

13
3.3 Rencana keperawatan
1. Diagnosa : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi

trakeobronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum

Tujuan :

a. Jalan nafas efektif dengan bunyi nafas bersih dan jelas

b. Pasien dapat melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekret

Hasil yang diharapkan :

- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/ jelas

- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas Misalnya:

batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi :

1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas. Misalnya: mengi, krekels

dan ronchi.

Rasional: Bersihan jalan nafas yang tidak efektif dapat dimanifestasikan

dengan adanya bunyi nafas adventisius

2. Kaji atau pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ ekspirasi.

Rasional: Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat

ditemukan pada penerimaan atau selama stress atau adanya proses infeksi

akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang

dibanding inspirasi.

3. Berikan posisi yang nyaman buat pasien, misalnya posisi semi fowler

Rasional: Posisi semi fowler akan mempermudah pasien untuk bernafas.

4. Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir

Rasional: Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan

mengontrol dipsnea dan menurunkan jebakan udara

5. Observasi karakteristik batuk, bantu tindakan untuk memperbaiki ke

efektifan upaya batuk.

14
Rasional: Batuk dapat menetap, tetapi tidak efektif. Batuk paling efektif

pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.

6. Kolaborasi untuk memberikan obat bronkodilator mis: B-agonis, epinefrin

(adrenalin, Vaponefrin).

Rasional: Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal,

menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.

2. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

alveolus kapiler, gangguan kapasitas pembawa oksigen darah, gangguan

pengiriman oksigen.

Tujuan :

- Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang

normal dan tidak ada distres pernafasan.

Hasil yang diharapkan :

- Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan

- Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi

Intervensi :

1. Kaji frekuensi, kedalaman, dan kemudahan pernafasan

Rasional: Manifestasi distres pernafasan tergantung pada derajat keterlibatan

paru dan status kesehatan umum

2. Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis.

Rasional: Sianosis menunjukkan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap

demam atau menggigil dan terjadi hipoksemia.

3. Kaji status mental

Rasional: Gelisah, mudah terangsang, bingung dapat menunjukkan

hipoksemia.

4. Awasi frekuensi jantung atau irama

15
Rasional: Takikardi biasanya ada karena akibat adanya demam atau dehidrasi.

5. Awasi suhu tubuh. Bantu tindakan kenyamanan untuk mengurangi demam dan

menggigil.

Rasional: Demam tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan

kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi seluler.

6. Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam, dan batuk

efektif

Rasional: Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan

pengeluaran sekret untuk memperbaiaki ventilasi.

7. Kolaborasi pemberian oksigen dengan benar sesuai dengan indikasi

Rasional: Mempertahankan PaO2 di atas 90 mmHg.

3. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam

alveoli

Tujuan:

Pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan

paru jelas atau bersih

Hasil yang diharapkan:

- pola nafas menjadi efektif

- Frekuensi dan kedalamanya dalam rentang normal (16-20x/menit)

Intervensi :

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.

Rasional: Kecepatan biasanya meningkat, dispnea, dan terjadi peningkatan

kerja nafas, kedalaman bervariasi, ekspansi dada terbatas.

2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius.

Rasional: Bunyi nafas menurun atau tidak ada bila jalan nafas terdapat

obstruksi kecil.

16
3. Tinggikan kepala dan bentu mengubah posisi.

Rasional: Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan

pernafasan.

4. Observasi pola batuk dan karakter sekret.

Rasional: Batuk biasanya mengeluarkan sputum dan mengindikasikan adanya

kelainan.

5. Bantu pasien untuk nafas dalam dan latihan batuk efektif.

Rasional: Dapat meningkatkan pengeluaran sputum.

6. Berikan humidifikasi tambahan

Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu

pengenceran sekret untuk memudahkan pembersihan.

7. Bantu fisioterapi dada, postural drainage

Rasional: Memudahkan upaya pernafasan dan meningkatkan drainage sekret

dari segmen paru ke dalam bronkus.

8. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan.

Rasional: Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.

4. Diagnosa : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan

kehilngan cairan berlebih, penurunan masukan oral.

Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan dan elektrolit

Hasil yang diharapkan :

- Intake dan output yang adekuat

- Tanda-tanda vital dalam batas normal

- Tugor kulit baik

Intervensi :

1. Kaji perubahan tanda vital, contoh: peningkatan suhu, takikardi, hipotensi.

Rasional: Untuk menunjukkan adnya kekurangan cairan sistemik

17
2. Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).

Rasional: Indikator langsung keadekuatan masukan cairan

3. Catat laporan mual atau muntah.

Rasional: Adanya gejala ini menurunkan masukan oral

4. Pantau masukan dan haluaran urine.

Rasional: Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan

kebutuhan penggantian

5. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.

Rasional: Memperbaiki ststus kesehatan

5. Diagnosa : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi,

anoreksia, distensi abdomen.

Tujuan : Pemenuhan nutrisi yang terpenuhi secara adekuat.

Hasil yang diharapkan :

- Menunjukkan peningkatan nafsu makan

- Mempertahankan atau meningkatkan berat badan

- Bissing usus dalam batas normal

Intervensi :

1. Identifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah.

Rasional: Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah

2. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu

kebersihan mulut.

Rasional: Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat

menurunkan mual

3. Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.

Rasional: Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini

4. Auskultasi bunyi usus, observasi atau palpasi distensi abdomen.

18
Rasional: Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi

abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara dan menunjukkan pengaruh

toksin bakteri pada saluran gastro intestinal

5. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

Rasional: Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya

tahanan terhadap infeksi, atau lambatnya respon terhadap terapi

6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna,

secara nutrisi seimbang.

Rasional :metode makan den kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau

kebutuhan individu.

6. Diagnosa : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk

aktifitas hidup sehari-hari.

Tujuan : Peningkatan toleransi terhadap aktifitas.

Hasil yang diharapkan :

- Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas

- Tanda-tanda vital dalam batas normal

Intervensi :

1. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas.

Rasional: Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien dan memudahkan

pilihan intervensi

2. Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akut.

Rasional: Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan

istirahat

3. Jelaskan pentingnya istitahat dalam rencana pengobatan dan perlunya

keseimbamgan aktivitas dan istirahat.

19
Rasional: Tirah baring dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan metabolik

4. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.

Rasional: Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan

kebutuhan oksigen (Marilyn E. Doenges, 2000).

BAB IV

PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Bronchopneomonia adalah salah satu jenis pneumonia tepatnya pneumononia


lobaris yang penyebaran daerah infeksinya berupa penyebaran bercak dan dapat
meluas ke parenkim paru yang ada disekitarnya.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan orang dewasa,
yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan
benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi
ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Tanda
gejalanya sama seperti infeksi saluran nafas bagian atas yang berlangsung lama
diperkuat dengan hasil foto thorax yang menunjukkan adanya bronkopneumonia.
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan adalah memenuhi kebutuhan oksigenisasi,
kebutuhan nutrisi dan cairan, jika ada sekret dilakukan inhalasi dan diberikan
medikasi antibiotik sesuai jenis etiologinya.

20
4.2 Saran

Semoga makalah dapat bermanfaat bagi pembaca dalam pengetahuan tentang


Bronkopneumonia.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. (2003). Pengaruh pemerian ASI terhadap kasus ISPA pada bayi umur 0

4bulan. Tesis Magister pada Program Pascasarjana, Kesehatan Masyarakat,

Field Epidemiology Training Program. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.

Behrman, R., Kliegman, R., & Jenson, H. (2003). Nelson textbook of pediatrics.17th

Ed. Philadelphia: WB Saunders.

Brunner & Suddrath. 2002. Keperawatan Medikel Bedah. EGC: jakarta.

Buckley, L. & Schub, T. (2010). Pneumonia in children. http://www. ebsco/cinahl/.

KemenKes. (2012). Modul tatalaksana standar pneumonia. Jakarta : KemenKes

Chang, E., & Elliott, D. (2009). Patofisiologi aplikasi pada praktik keperawatan.

Departemen Kesehatan RI (1996). Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Depkes

; Jakarta.

DepKes RI. (2004). Pedoman pemebrantasan penyakit infeksi saluran pernapasan

akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: DepKes RI.

Ernason, P., Gie, R. (2005). Management of pneumonia in the child 2 to 59 months

of age. Int Journal Tuberc Lung Dis.

21
Hockenberry, M., & Wilson, D. (2012). Wong essentials of pediatric nursing. 9th Ed.

St Louis: Mosby Elsevier

Mansjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3 Jilid ke 2. Media

Aesculapius.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:Jakarta.

Martin tucker, Susan. 2000. Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan,

Diagnosis, Dan Evaluasi halaman 247.EGC: Jakarta.

Mason RJ, Broaddus VC, Martin T, King TE, Schraugnagel D, Murray JF, et al.

Murray and Nadel’s text book of respiratology medicine volume 1. Edisi ke-1.

Netherland: Elseiver Saunders; 2005.

Misnadiarly. (2008). Penyakit infeksi saluran napas pneumonia pada balita, orang

dewasa, usia lanjut. Jakarta: Pustaka Obor Populer.

Nair H, et al. (2010). Global burden of acute lower respiratory infections due to

respiratory syncytial virus in young children: A systematic review and meta-

analysis. The Lancet.

Nelson. (2009). Comparative impact assessment of child pneumonia. World Health

Organization. 87: 472-480.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Pneumonia komuniti: Pedoman

diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia.

http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-

pneumoniakom/pnkomuniti.pdf.

Price, S & Wilson, L. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.

Edisi 6. Jakarta: EGC.

Said, M. (2010). Pengendalian pneumonia anak alita dalam rangka pencapaian

MDGs 4. Buletin Jendela Epidemiologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Sandra M Nettina.2001. Lippincott “Manual Praktik Keperawatan”. EGC: Jakarta.

Smeltzer, Bare.2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Vol 1. Jakarta : EGC.

Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan proses-proses

penyakit. EGC: Jakarta.

22
WHO. (2011). Pneumonia.

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/index.html. diakses pada

Wong, D. L. (2004). Pedoman klinis: Keperawatan pediatrik. Edisi ke-4. Jakarta :

EGC

23

Anda mungkin juga menyukai