DISUSUN OLEH :
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................2
1.1 Latar belakang................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................4
2.1 Definisi...........................................................................................................4
2.2 Penyebab Bronkopneumonia.........................................................................4
2.3 Manifestasi Klinis Bronkopneumonia............................................................5
2.4 Patofisiologi Bronkopneumonia....................................................................6
2.5 Pemeriksaan Diagnostik Bronkopneumonia................................................10
2.6 Penatalaksanaan Bronkopneumonia.............................................................10
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN....................................................11
3.1 Pengkajian....................................................................................................11
3.2 Diagnosa keperawatan.................................................................................13
3.3 Rencana keperawatan...................................................................................13
BAB IV PENUTUP...................................................................................................20
4.1 Kesimpulan..................................................................................................20
4.2 Saran.............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................21
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
jumlah 3,37. Pada tahun 2001 presentasi meningkat menjadi 1,61% setelah bronkitis
akut (Badan Litbang Kesehatan, 2001).
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran berbecak, teratur, dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Smeltzer &
Suzanne C, 2002:572). Bronkopneumonia berasal dari kata bronchus dan pneumonia
berarti cabang tenggorokan yang merupakan lanjutan dari trachea dan pneumonia
berarti peradangan pada jaringan paru - paru dan juga cabang tenggorokan (broncus)
(Arif Mansjoer, 2000) Gangguan pada sistem pernapasan merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernapasan jauh lebih sering
terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ tubuh lain dan berkisar dari
flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai pneumonia
berat. ( Sylvia A Price,2005 ).
Bronkopneumonia paling sering didapatkan pada anak kecil dan pada anak
yang lebih besar dengan kondisi kronis yang mempengaruhi fungsi pernafasan
(misalnya fibrosis kistis, palsi selebral berat). Berbagai organisme bisa menyebabkan
infeksi ini. Bronkopneumonia seringkali terjadi setelah bronkiolitis, infeksi paru dan
batuk rejan ( Hidayat, 2001). Kesimpulannya bronchopneumonia adalah jenis infeksi
paru yang disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur, dan benda
asing yang mengenai daerah bronkus dan sekitar alveoli. Sedangkan upaya 4 yang
penting dalam penyembuhan dengan perawatan yang tepat merupakan tindakan yang
utama dan untuk mencegah komplikasi yang lebih fatal dan diharapkan pasien dapat
kembali sembuh. Kerjasama tenaga medis sangat diperlukan yaitu dengan melibatkan
pasien dan keluarganya. Berhubungan dengan hal tersebut di atas, penulis tertarik
untuk memberikan Asuhan Keperawatan dengan Bronkopneumonia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru (Behrman, Kliegman,
& Jenson, 2003). Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia
yang mempunyai penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi dalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya (Smeltzer & Bare, 2001).
5
panas tinggi, berkeringat, napas terengah- engah, dan denyut jantungnya meningkat
cepat (Misnadiarly, 2008).
Virus yang paling sering menyebabkan pneumonia yaitu Respiratory Syncytial
Virus (RSV), Parainfluenza virus, Influenza virus, dan adenovirus (Setyoningrum,
2006). Tahun 2005 terjadi kematian diperkirakan sekitar 66.000-199.000 anak balita
karena pneumonia Respiratory Syncytial Virus (RSV) (Nair, et al, 2010). 99% di
antaranya terjadi di negara berkembang. Penyebab utamanya yaitu virus RSV
meliputi 15-40% kasus yang ada, lalu diikuti virus Influenza A dan B, Parainfluenza
virus, Human metapneumovirus, dan adenovirus. Sejalan dengan penelitian (Nair, et
al, 2010 & Setyoningrum, 2006), Kartasasmita (2010) menyebutkan bahwa virus
yang menjadi penyebab pneumonia yaitu Respiratory Syncytial Virus dan Influenza
virus.
Menurut Abdoerrahman (2007: 1228) pembagian etiologis dari
bronkopneumonia, yaitu:
a. Bakteria: diplococcus pneumonia, pneumococcus, streptococcus hemolyticus,
streptococcus aureus, hemophilus influenzae, bacillus friedlander,
mycobacterium tuberculosis.
b. Virus: respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus, virus sitomegalik.
c. Mycoplasma pneumonia, jamur: histoplasma capsulatum, cryptococcus
neoformans, blastomyces dermatitides, coccidioides immitis, aspergillus
species, candida albicans.
d. Aspirasi: makanan, kerosen (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda asing.
Pneumonia hipostatik, sindrom leoffler.
6
retraksi dinding dada, sianosis, batuk, demam, dan iritabel. Pada anak pra sekolah,
gejala yang sering terjadi yaitu demam, batuk (non produktif atau produktif),
takipnea, dan dispnea yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok
anak sekolah dan remaja dapat ditemui demam, batuk (non produktif atau produktif),
nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi, dan letargi.
Menurut DepKes (2004), tanda dan gejala pneumonia diantaranya yaitu
batuk, pilek, demam disertai adanya kesukaran bernapas dan peningkatan frekuensi
napas sesuai usia. Napas cepat dapat diketahui dengan menghitung frekuensi napas
dalam satu menit penuh yang dihitung ketika kondisi anak tenang. Untuk anak usia
kurang dari dua bulan, dikatakan napas cepat jika frekuensi napasnya ≥60 kali per
menit, untuk usia 2 bulan sampai 1 tahun dikatakan napas cepat jika frekuensi
napasnya ≥50 kali per menit, dan untuk balita (1-5 tahun) dikatakan napas cepat jika
frekuensi napasnya ≥40 kali per menit (WHO, 2011).
Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-gejala klinis
tersebut antara lain (Bennet, 2014 & Hudoyo, 2014):
a. Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal
b. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung
c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama beberapa
hari
d. Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare
e. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk,
beberapa hari yang mula-mula kering kemudian menjadi produktif
f. fPada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring
g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan
predominan PMN
h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat interstitial dan
infiltrat alveolar serta gambaran bronkopneumonia
7
serta memicu terjadinya perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisial yang kemudian mengakibatkan edema antara kapiler dan alveolus.
8
Mengacu pada peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang
terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler. Ini terjadi akibat pelepasan mediator peradangan dari sel mast. Mediator
tersebut mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama dengan histamin dan prostagladin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini menyebabkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus, yang
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya).
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat tidak mengandung udara, warna
menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin,
leukosit netrofil, eksudat, dan banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini
berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari).
Lobus masih tetap padat dan warna merah berubah menjadi pucat kelabu terjadi
karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Permukaan
pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat
terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi (7-11 hari).
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan dan eksudasi lisis. Eksudat berkurang. Dalam
alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi
lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan yang terjadi dapat di
batasi dengan pemberian antibiotik sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal yang
tidak terkena dapat diselamatkan.
Bagan patway
9
10
2.5 Pemeriksaan Diagnostik Bronkopneumonia
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis antara
lain (Nelson, 2009; Price & Wilson, 2006):
a. Sinar X (rongent thorax) untuk mengidentifikasi distribusi struktural seperti
lobar dan bronchial, dapat juga untuk mengidentifikasi adanya abses paru
b. Pemeriksaan kultur sputum dan darah untuk mengidentifikasi jenis organisme
penyebab pneumonia
c. Pemeriksaan serologi membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus
d. Pemeriksaan fungsi paru untuk menetapkan luas ebrat penyakit dan membantu
diagnosis
e. Biopsi paru berfungsi untuk menetapkan diagnosis lebih spesifik
f. Spirometri statik untuk mengkaji jumlah/volume udara yang diaspirasi
g. Oksimetri nadi berfungsi untuk mengetahui saturasi oksigen dan bertujuan
untuk mengetahui status oksigen pada jaringan perifer
h. Bronkoskopi untuk menetapkan diagonis dan mengangkat benda asing
Menurut Ricciuti dan Schub (2010) tata laksana infeksi saluran napas bawah
pada bayi membutuhkan fisioterapi dada seperti perkusi dengan kombinasi suction.
Fisioterapi dada sebaiknya didahului dengan pemberian bronkodilator dan normal
salin untuk membantu mengencerkan mukus yang kental. Pemantauan saturasi
oksigen sangat diperlukan untuk mengetahui keberhasilan terapi dan mencegah
kondisi lebih parah. Selain pemerian fisioterapi dada sebagai terapi suportif,
pemantauan status hidrasi dan status ASI eksklusif sangat dianjurkan. Dengan cairan
yang adekuat dan ASI eksklusif diteliti dapat mempercepat penyembuhan dan
mempersingkat hari rawat (Abdullah, 2003).
11
BAB III
pada anak berusia dibawah 3 tahun dan kematian terbanyak terjadi pada bayi
berusia kurang dari 2 bulan, tetapi pada usia dewasa juga masih sering mengalami
bronkopneumonia.
b. Keluhan Utama : sesak nafas
c. Riwayat Penyakit
1. Pneumonia Virus
Didahului oleh gejala-gejala infeksi saluran nafas, termasuk renitis (alergi)
dan batuk, serta suhu badan lebih rendah daripada pneumonia bakteri.
2. Pneumonia Stafilokokus (bakteri)
Didahului oleh infeksi saluran pernapasan akut atau bawah dalam beberapa
hari hingga seminggu, kondisi suhu tubuh tinggi, batuk mengalami kesulitan
pernapasan.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Sering menderita penyakit saluran pernapasan bagian atas riwayat penyakit
fertusis yaitu penyakit peradangan pernapasan dengan gejala bertahap panjang dan
menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik nafas pada
ronkhi halus pada sisi yang sakit dan ronkhi pada sisi yang resolusi,
pleura.
f. Data Fokus
1. Pernapasan
12
Gejala : takipneu, dispneu, progresif, pernapasan dangkal, penggunaan obat
Tanda : bunyi napas ronkhi, halus dan melemah, wajah pucat atau sianosis bibir
atau kulit
oksigen.
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli.
4. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan
berhubungan dengan toksin bakteri bau dan rasa sputum, distensi abdomen
atau gas.
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas
sehari-hari.
13
3.3 Rencana keperawatan
1. Diagnosa : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi
Tujuan :
Intervensi :
1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas. Misalnya: mengi, krekels
dan ronchi.
ditemukan pada penerimaan atau selama stress atau adanya proses infeksi
dibanding inspirasi.
3. Berikan posisi yang nyaman buat pasien, misalnya posisi semi fowler
14
Rasional: Batuk dapat menetap, tetapi tidak efektif. Batuk paling efektif
pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
(adrenalin, Vaponefrin).
pengiriman oksigen.
Tujuan :
Intervensi :
2. Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis.
hipoksemia.
15
Rasional: Takikardi biasanya ada karena akibat adanya demam atau dehidrasi.
5. Awasi suhu tubuh. Bantu tindakan kenyamanan untuk mengurangi demam dan
menggigil.
6. Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam, dan batuk
efektif
3. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam
alveoli
Tujuan:
Pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan
Intervensi :
Rasional: Bunyi nafas menurun atau tidak ada bila jalan nafas terdapat
obstruksi kecil.
16
3. Tinggikan kepala dan bentu mengubah posisi.
pernafasan.
kelainan.
Intervensi :
17
2. Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
kebutuhan penggantian
Intervensi :
2. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu
kebersihan mulut.
menurunkan mual
18
Rasional: Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi
6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna,
Rasional :metode makan den kebutuhan kalori didasarkan pada situasi atau
kebutuhan individu.
Intervensi :
pilihan intervensi
2. Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akut.
istirahat
19
Rasional: Tirah baring dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan metabolik
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
20
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. (2003). Pengaruh pemerian ASI terhadap kasus ISPA pada bayi umur 0
Universitas Indonesia.
Behrman, R., Kliegman, R., & Jenson, H. (2003). Nelson textbook of pediatrics.17th
Chang, E., & Elliott, D. (2009). Patofisiologi aplikasi pada praktik keperawatan.
; Jakarta.
21
Hockenberry, M., & Wilson, D. (2012). Wong essentials of pediatric nursing. 9th Ed.
Mason RJ, Broaddus VC, Martin T, King TE, Schraugnagel D, Murray JF, et al.
Murray and Nadel’s text book of respiratology medicine volume 1. Edisi ke-1.
Misnadiarly. (2008). Penyakit infeksi saluran napas pneumonia pada balita, orang
Nair H, et al. (2010). Global burden of acute lower respiratory infections due to
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-
pneumoniakom/pnkomuniti.pdf.
Smeltzer, Bare.2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Vol 1. Jakarta : EGC.
Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan proses-proses
22
WHO. (2011). Pneumonia.
EGC
23