Bab I1
Bab I1
Pendahuluan
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya
respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi
pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini
tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok
anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke
jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit.
Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh
histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan
sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain
histamin, yaitu kontraksi otot polos dan perangsangan sekresi asam lambung,
menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat
bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan
berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang
berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor
polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan
kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif,
karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil
sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini
berperan dalam mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien
dengan kasus alergi yang berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
BAB II
2.1 Pembahasan
2.1.1 HIPERSENSITIVITAS
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan
imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila
mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin,
yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga
yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak,
maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang
terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.
a. Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel
B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan
mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang
terdapat padasel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang
bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang
terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan
pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat.
Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot polos,
yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan
dan menghilang setelah 60 menit.
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa
hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofilserta sel peradangan akut dan
kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran
jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
b. Etiologi
Kontak pertama, alergen menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. Ig E
kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil
sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi.
Kontak ulang, allergen akan berikatan dengan Ig E yang berikatan dengan antibody di sel
mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan
pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.
Mediator primer
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten;
pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi
dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan
mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam
adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan
diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja Mediator
Infiltrasi sel Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis
Faktor pengaktivasi trombosit
Vasoaktif (vasodilatasi,meningkatkan Histamin
permeabilitas vaskular)
Faktor pengaktivasi trombosit
Leukotrien C4, D4, E4
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe
I, biasanya pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti
kortikoid.
c. Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental)
menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang
tersensitisasi akan muncul rasa gatal,urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,
diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan
diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran
pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini IgE dan IgM dengan
adanya komplemen akan diberikan dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya
sel tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986),
reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini. Hipersensitivitas tipe II
diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel
atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan
antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel
yang membawa reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh antibodi dilisis
tanpa difagositosis ataupun fiksasi komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai
macam leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK. Meskipn secara khusus
ADCCdiperantarai oleh antibodi IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit
yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah IgE.
d. Manifestasi Klinis
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia
dan granulositopenia.
Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan:
(1) pembentukan kompleks antigen-antibodi dalam sirkulasi
(2) pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan, sehingga mengawali
(3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.
b. Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda) diinjeksikan,
antibodi spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam
sirkulasi untuk membentuk kompleks antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua,
kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai
jaringan. Dua faktor penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun
menyebabkan penyakit dan pengendapan jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah
antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear
sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama
antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel
fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun,
makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun dalam
sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan. Faktor lain yang
mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik),
valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga
dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat
pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan
serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui
fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi pada glomerulus.
Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun pada tempat
predileksi lainnya.
c. Untuk kompleks yang meninggalkan
Sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh darah, harus terjadi
peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun
berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator
vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut
mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-
kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran klinis, seperti demam, utikaria,
artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria.
d. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala
sering disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
kejang perut, mual
neuritis optic
glomerulonefritis
sindrom lupus eritematosus sistemik
gejala vaskulitis lain
e. Etiologi
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ
yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal,
sendi, dan pembuluh darah.
3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat
kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan
antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat,
anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan
menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-
faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN
yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga
mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf
yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral),
enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini
akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan
menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan
menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat
amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia
setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
a. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas
histamine
b. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas
enzim proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a. Menimbulkan mikrotrombi
b. Melepas amin vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya
Reaksi Arthus dijelaskan sebagai area lokalisata nekrosis jaringan yang disebabkan oleh
vaskulitis kompleks imun akut. Reaksi ini dihasilkan secara eksperimental dengan
menginjeksikan suatu antigen ke dalam kulit seekor hewan yang sebelumnya telah
diimunisasi (yaitu antibodipreformed terhadap antigen yang telah ada di dalam sirkulasi).
Karena pada mulanya terdapat kelebihan antibody, kompleks imun terbentuk sebagai antigen
yang berdifusi ke dalam dinding pembuluh darah; kompleks ini dipresipitasi pada tempat
injeksi dan memicu reaksi radang yang sama serta gambaran histologist seperti yang telah
dibahas untuk penyakit kompleks imun sistemik. Lesi Arthus berkembang selama beberapa
jamdan mencapai puncaknya 4 hingga 10 jam setelah injeksi, ketika terlihat adanya edema
pada tempat injeksi disertai perdarahan berat yang kadang-kadang diikuti ulserasi.
a. Klasifikasi
Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu :
1. Reaksi Arthus
Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada
kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan
reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang.
Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut
fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding
bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam
setelah inhalasi antigen. Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam
jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam
sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen
mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah
menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan
trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total
aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan
trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan
vasoaktif.
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai
macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus,
serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat
mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal
ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas
tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih
lanjut menjadi dua tipe dasar:
(1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+
(2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+.
Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga
menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor
utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi
tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai
puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga
digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara
perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+
perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal
sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab
utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin
digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis
sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau
menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin
yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
b. Patofisiologi :
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga antigen kelas II
pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses antigen mikobakterium
tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1 tersensitisasi yang tetap berada di dalam
sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai
kecendurungan untuk menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang
mengaktivasi sel T naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin
berikutnya pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah
diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi yang luar
biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang akhirnya
bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT. Secara keseluruhan,
sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah sebagai berikut:
IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah interaksi awal dengan
basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi DTH karena merupakan sitokin utama
yang mengarahkan diferensiasi sel TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain
yang tercantum di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel
NK yang poten.
IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH yang paling penting.
IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat poten, yang meningkatkan produksi
makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada
permukaannya sehingga meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga
mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian pula dengan
kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi menyekresi beberapa faktor
pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF)
dan TGF-α, yang merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen. Secara
ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag untuk membasmi agen
penyerangan; jika aktivasi makrofag terus berlangsung, akan terjadi fibrosis.
IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat DTH. Yang termasuk
dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+ yang antigen-spesifik, meskipun sebagian
besar adalah sel T “penonton” yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
TNFdan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya pada sel endotel:
(1) meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu peningkatan aliran
darah melalui vasodilatasi local
(2) meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang meningkatkan
perlekatan sel mononuclear
(3) induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara bersama
memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi terjadinya respon DHT.
c. Inflamasi Granulomatosa
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen bersifat
persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+ perivaskular secara
progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3 minggu; makrofag yang
terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti morfologis adanya aktivitas, yaitu
semakin membesar , memipih, dan eosinofilik (disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid
kadang-kadang bergabung di bawah pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk
membentuk suatusel raksasa(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel
epiteloid secara khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebutgranuloma, dan
polanya disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama
dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang lebih dahulu
terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat. Pengenalan terhadap
suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena hanya ada sejumlah kecil kondisi
yang dapat menyebabkannya.
DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan berbagai
patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit tertentu, dan dapat pula
terlibat dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama sel T CD4+ dalam
hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS. Karena kehilangan sel CD4+,
respons penjamu terhadappatogen ekstrasel, seperti Mycobacterium tuberculosis, akan sangat
terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti
pembentukan granuloma, terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk
mengatasi mikroba yang menginvasi.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1) pembunuhan
yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang bergantung pada ligan
Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang terkandung dalam granula CTL,
yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan namanya, perforin melubangi membran plasma
pada sel target; hal tersebut dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk
membentuk suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya
menyebabkan lisi osmotik. Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut
dengangranzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin. Begitu
sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL teraktivasi juga
mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan TNF), yang berikatan dengan
Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor,
CTL yang diarahkann untuk melawan antigen histokompatibilitas permukaan sel juga
berperan penting dalam penolakangr aft.
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi
reaksi obat.
f. Klasifikasi
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
1. Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut
biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka
terhadap siklofosfamid. Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH)
merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan
antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya
berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi
sel basofil. Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui. Kelinci yang digigit tungau
menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas
mediator yang farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan
tungau tersebut. Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan
allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal
tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit
hipersensitivitas.
3. Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan
terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier
(50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah
besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam
beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan. Dilain hal
terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI. Kelainan kulit yang khas pada
penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah
dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4. Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
2.1.2 Penatalaksanaan
Skin Test : Tes yang dilakukan untuk mengetahui adanya alergi atau tidak, contohnya tes
tusuk kulit, tes gores, Patch test pada punggung, tujuannya merangsang reaksi tubuh dengan
allergen tertentu.
Skin Prick Test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak
digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel
mastosit kulit.
Uji gores kulit adalah uji tes yang dilakukan dengan meneteskan sejumlah kecil alergen yang
dicurigai pada kulit yang normal dan dengan menggunakan jarum yang kecil dilakukan
penggoresan kedalam kulit. Tes ini aman dan tidak nyeri. Tes ini dapat dilakukan pada semua
golongan usia .
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak. Suatu seri sediaan
uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada kulit (biasanya daerah
punggung) untuk dinilai 48-72 jam kemudian. Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi
pruritus, eritema, dan vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi
dengan intensitas dan skala lebih ringan.
Terapi Farmakologi
- Epineprin dosis 0,3-0,5cc/kali/KgBB secara SC untuk anafilatoksis sistemik
- Deladryl dosis 1-1,5cc secara IM (akan tetapi perlu diperhatikan, karena obat jenis ini
memiliki expired dalam jangka waktu 3 bulan)
2.1.3. Komplikasi
Polip hidung
Otitis media
Sinusitis paranasal
Anafilaksi
Pruritus
Edema
8) Pemeriksaan Penunjang
Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar
IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen ).
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
2.1.6. Perencanaan
Dx: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder.
Tujuan : setelah diberikan askep selama ….x24 jam diharapkan pasien tidak akan mengalami
kerusakan integritas kulit lebih parah.
Kriteria hasil :
Tidak terdapat kemerahan,bentol-bentol dan odema
Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria,pruritus dan angioderma
Kerusakan integritas kulit berkurang
Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
R/: Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
R/: Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorpsi obat dan predisposisi
untuk kerusakan kulit.
3. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat anti gatal
R/: mengurangi rasa gatal
4. Observasi TTV
R/: mengetahui tingkat keadaan klien dan perubahan yang terjadi pada klien secara dini.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
1. Karakteristik Hipersensitivitas Tipe I (Immediate Hipersensivity)
Antibody : Ig E
Antigen : Exsogen
Histologi : Basofil dan Eosinofil
Pembawaan pemindahan : Antibodi
Waktu respon : 15-30 menit
Penampilan tubuh : Kemerah-merahan
Contoh penyakit : Asma alergi, Dermatitis atopi dan Rhinitis alergi
Antibody : Ig G dan Ig M
Antigen : Dipermukaan Sel Terlarut
Histologi : Antibody dan Komplemen
Pembawaan pemindahan : Antibodi
Waktu respon : beberapa menit sampai jam
Penampilan tubuh : Lisis dan nekrosis
Contoh penyakit : Anemia hemolitik, Rhemautic fever dan Goodpasture’s
Antibody : -
Antigen : Jaringan dan Organ
Histologi : Monosit dan Limfosit
Pembawaan pemindahan : T-cell
Waktu respon : 48-72 jam
Penampilan tubuh : Eriterma
Contoh penyakit : Rheumatotoid Arthritis dan DM