Anda di halaman 1dari 5

TUGAS OSLER

Oleh :

M. Azzaky Bimandama (1618012041)

Pembimbing :

dr. Surya Andri Antara, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
1. Mengapa penggunaan obat kortikosteroid harus di tapering off?
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit
kelenjar adrenal. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh,
misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan
inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta
tingkah laku. Kortikosteroid merupakan salah satu golongan obat yang paling banyak
di gunakan. Sering juga disebut dengan obat dewa karena peranannya pada banyak
reaksi yang didasarkan pada inflamasi. Obat golongan kortikosteroid sebenarnya
memiliki efek yang sama dengan hormon cortisone dan hydrocortisone yang
diproduksi oleh kelenjar adrenal, kelenjar ini berada tepat diatas ginjal kita (lihat
gambar). Dengan efek yang sama bahkan berlipat ganda maka kortikosteroid
sanggup mereduksi sistem imun (kekebalan tubuh) dan inflamasi, makanya kalo orang
dengan penyakit-penyakit yang terjadi karena proses dasar inflamasi seperti
rheumatoid arthritis, gout arthritis (asam urat) dan alergi gejalanya bisa lebih ringan
setelah pemberian kortikosteroid.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol)


yang berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga
bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula
menurunkan kinerja eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah
mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit
dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal. Hormon kortikosteroid dihasilkan dari
kolesterol di kulit kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal. Reaksi
pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom P450. Dalam bidang medis,
obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti hormon kortikosteroid
memiliki manfaat yang penting. Deksametason dan turunannya tergolong
glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki kerja
mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

Proses tapering off hendaklah di lakukan secara benar. Karena bila tidak akan
menimbulkan withdrawal symtoms meliputi :
 Nyeri sendi
 Nyeri otot
 Kelelahan
 Sakit kepala
 Demam
 Penurunan tekanan darah
 Mual dan muntah

Tapering ini dilakukan bila konsumsi dilakukan lebih dari 3 hari. Penghentian secara
tiba-tiba dari pemakaian obat dalam waktu yang lama dapat menyebabkan beberapa
gejala yang mengarah pada kenyataan bahwa produksi steroid dari tubuh telah
terhenti. Tapering dilakukan selama secara bertahap dengan penurunan dosis sebanyak
2,5-5 mg (kurang lebih 20%) selama 1 atau 2 minggu dari dosis awal, kemudian di
amati apakah terjadi efek samping akibat penurunan. Bila ternyata pasien tidak
menunjukkan gejala yang berarti maka penurunan dapat dilakukan pada minggu
selanjutnya dan amati lagi gejala yang muncul. Tapering off akan terjadi saat dosis
prednison hanya mencapai 5 mg. Menurut beberapa literatur menyatakan tahap
tapering dilakukan dengan pedoman sebagai berikut:
 Di turunkan 5 mg bila dosis prednison kurang dari 40 mg
 Di turunkan 2,5 mg bila dosis prednison mencapai 20 mg
 Di turunkan 1 mg bila mencapai 10 mg

Jadi penghentian penggunaan kortikosteroid harus pelan-pelan dan bertahap proses


penurunannya agar kelenjar penghasil hormon kortison tersebut dapat bekerja secara
normal kembali.

2. Apa itu infertilitas primer dan sekunder?


Menurut Heffner & Schust (2008) dalam Oktarina (2014) infertilitas adalah
ketidakmampuan untuk hamil setelah sekurang- kurangnya satu tahun berhubungan
seksual sedikitnya empat kali seminggu tanpa kontrasepsi. Menurut Ilyas (2008)
dalam Oktarina (2014), infertilitas terbagi menjadi dua, yaitu infertilitas primer dan
infertilitas sekunder. Infertilitas primer adalah kalau istri belum pernah hamil
walaupun bersanggama tanpa usaha kontrasepsi dan dihadapkan pada kepada
kemungkinan kehamilan selama dua belas bulan. Infertilitas sekunder adalah kalau
istri pernah hamil, namun kemudian tidak terjadi kehamilan lagi walaupun
bersanggama tanpa usaha kontrasepsi dan dihadapkan kepada kemungkinan
kehamilan selama dua belas bulan.
Rizal & Nasrullah (2004) dalam Oktarina (2014) menyatakan bahwa penyebab
terjadinya infertilitas dapat berasal dari laki-laki maupun perempuan. Dari pihak laki-
laki dapat berupa masalah ejakulasi berupa ejakulasi retrograde yang berhubungan
dengan diabetes, kerusakan saraf, obat-obatan atau trauma bedah. Adapun yang
berpengaruh terhadap produksi sperma atau semen adalah infeksi yang ditularkan
melalui hubungan seksual, stress, nutrisi yang tidak adekuat, asupan alkohol
berlebihan dan nikotin. Produksi sperma yang optimal membutuhkan suhu di bawah
temperature tubuh. Bila ditinjau dari segi pekerjaan, spermagenesis diperkirakan
kurang efisien pada pria dengan jenis pekerjaan tertentu, yaitu pada petugas pemadam
kebakaran dan pengemudi truk jarak jauh.
Masalah yang dapat dialami oleh wanita dapat berupa gangguan ovulasi, misalnya
gangguan ovarium dan hormonal. Gangguan ovarium dapat disebabkan oleh faktor
usia atau adanya tumor pada ovarium. Gangguan hormonal disebabkan oleh bagian
otak (hipotalamus dan hipofisis) tidak memproduksi hormon reproduksi seperti folicel
stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) (Lanshen, 2007; Alan dan
Micah, 2010 dalam Oktarina, 2014). Kelainan mekanis yang menghambat pembuahan
juga dapat menyebabkan infertilitas. Kelainan tersebut meliputi kelainan tuba,
endometriosis, stenosis kanalis servikalis atau hymen, fluor albus, dan kelainan uterus.
Kelainan anatomis seperti kelainan pada tuba, disebabkan oleh adanya penyempitan,
perlekatan, maupun penyumbatan pada saluran tuba. Kelainan pada uterus diakibatkan
oleh adanya kelainan bawaan, bentuknya yang tidak normal maupun terdapat
penyekat, serta endometriosis berat yang dapat menyebabkan gangguan pada tuba,
ovarium, dan peritoneum (Alan dan Micah, 2010 dalam Oktarina, 2014).

3. Apakah perbedaan manajemen konservatif dengan ekspektatif?


Berdasarkan Williams Obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan
gejala selama perawatan, sikap terhadap kehamilan dibagi menjadi:
a) Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa.
b) Konservatif: berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan
pemberian pengobatan medikamentosa. Dikatakan ekspektatif apabila sebelum
sampai pada keadaan dimana janin harus diterminasi saat usia aterm namun
terjadi suatu kegawatan yang mengindikasikan harus diterminasi saat itu juga,
maka kehamilan seharusnya diterminasi.
SUMBER

Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Obstetri Williams Edisi 23. Volume
2. Jakarta: EGC.

Katzung, Bertram G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Oktarina, A. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi Infertilitas. Tersedia di


ejournal.unsri.ac.id/index.php/mks/article/download/2722/pdf. Diakses pada 30
September 2017 pukul 07.05 WIB.

Prawirohardjo, Sarwono dkk. 2013. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam Kehamilan.


Jakarta: PT Bina Pustaka.

POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tatalaksana Pre-
eklampsia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai