Anda di halaman 1dari 2

SURYA

UNIVERSITY
RESEARCH-BASED

SCIENCE TECH HEALTH SUBSCRIBE

BIOTEKNOLOGI HEWAN

3-D Printed Ovaries


Pembahasan dan bukti saintifik

Oleh Claudia Natalica 6 Desember 2017

Gelatin scaffold untuk 3D printed ovary


Universitas Northwestern

Penelitian mengenai organ reproduksi perempuan dan usaha untuk meningkatkan kualitas reproduksi terutama bagi
perempuan yang mengalami hambatan tertentu terus dilakukan oleh Loranda dan rekan-rekan dari Universitas
Northwestern sejak tahun 2013 hingga 2017 [1] [2] [3].
Pada penelitian yang terbaru yang dipublikasikan pada 16 Mei 2017 di Nature Communications memperlihatkan
bahwa 3D printed scaffold dapat memperbaiki fungsi ovarium pada mencit yang steril [1]. 3D printed scaffold dibuat
dari gelatin yang merupakan derivat dari kolagen. Kolagen adalah protein matriks ekstraseluler yang memang secara
alami ditemukan pada ovarium mencit. Tidak hanya mencit, kerangka/scaffold yang digunakan pada berbagai
penelitian 3D printed organ lainnya memanfaatkan kolagen dan derivatnya sebagai bahan dasar karena secara alami
ditemukan berlimpahan di dalam tubuh dan dapat berinteraksi dengan sel. Penggunaan bahan derivat kolagen juga
dipilih karena properti mekanis yang sesuai dengan fungsi yang akan dicapai, yaitu menjadi tempat tambatan folikel
(yang berisi oosit) untuk tumbuh dan berkembang; tidak terlalu kaku, juga tidak terlalu lentur [4]. Pertimbangan
menggunakan gelatin sebagai bahan dasar scaffold yang akan ditransplantasikan berkaitan dengan fakta bahwa bahan
lain seperti metal akan beresiko karena metal bukanlah bahan alami yang ada di dalam tubuh. Bila dilakukan proses
xenotransplantasi, scaffold kolagen tidak akan menimbulkan resiko yang besar.
Konstruksi dari scaffold sendiri diperhitungkan dengan begitu seksama yang akan menghasilkan derajat pori (hasil
crosslink scaffold) yang memungkinkan folikel untuk tertambat dan “hidup” pada pori tersebut. Ini yang menjadi
fokus penelitian dikarenakan keberlangsungan hidup folikel bergantung pada kemampuan scaffold dan kecocokan
derajat pori untuk menyokong folikel. Pada penelitian ini, interaksi antara scaffold dengan folikel pada pori di 30°
dan 60°memperlihatkan bahwa sel mencit (yang mengelilingi scaffold) tetap berlaku seperti keadaan normal dan
berproliferasi. Penempelan sel (yang asli dari tubuh mencit dan berada disekitar scaffold) pada scaffold terjadi karena
adanya interaksi sel dengan matriks yang berasal dari scaffold (matriks gelatin).
Pada proses pembuatan 3D printed organ yang saya ketahui, biasanya organ dibentuk dengan sempurna secara in
vitro dengan pemberian sel-sel somatik atau sel-sel yang mendukung agar scaffold ditutupi oleh jaringan (Ini ada di-
mention oleh Rutz et al; termasuk juga Laronda, pada salah satu artikel mereka yang berhubungan dengan prostethic
ovary, tapi tidak pada penelitian yang dipublikasi di Nature Communications) [5]. Akan tetapi pada penelitian ini,
scaffold hanya di-seeding atau dilumuri oleh sel folikel saja. Proses “penyempurnaan” scaffold menjadi ovarium
merupakan proses yang terjadi secara “alami” setelah scaffold (yang telah berisi folikel) ditransplantasikan ke bursa
ovarium mencit.
Selain itu, desain scaffold yang ternyata suportif terhadap viabilitas folikel ini menjadikan “bioprosthetic ovary” ini
mampu menjadi rumah bagi folikel yang fungsional sehingga folikel dapat menghasilkan hormon estradiol dan
terlihat ada oosit (secara in vitro pun, terlihat bahwa ovulasi yang diinduksi menghasilkan oosit yang normal) [1].
Hal yang menarik juga pada penelitian ini adalah proses vaskularisasi pada bioprosthethic ovary yang terjadi tanpa
penambahan hormon angiogenik dari luar (eksogen). Ini adalah hal normal. Hal ini dapat terjadi mungkin karena
folikel (yang tumbuh dengan baik pada scaffold) menghasilkan hormon angiogenik [6]. Ini memperlihatkan bahwa
folikel dapat hidup dengan baik pada scaffold buatan dan berlaku selayaknya seperti pada ovarium normal.
Hal lain yang mungkin akan menarik untuk didalami adalah reaksi sistem imun terhadap scaffold ini. Tidak ada
penjelasan secara definitif mengenai reaksi imun mencit yang telah ditransplantasikan scaffold pada penelitian ini.
Bisa jadi, penempelan sel-sel mencit yang disekitar ovarium ke scaffold, bertahannya atau tetap hidupnya folikel
pada scaffold buatan, serta terjadinya vaskularisasi dan terbentuk pola pembuluh darah yang normal (selayaknya
seperti pada ovarium normal) menandakan bahwa tidak ada reaksi penolakan dari sistem imun mencit yang
mengalami transplantasi. Jika demikian, maka 3D printed scaffold ini dapat menjadi solusi bagi perempuan yang
memerlukan perbaikan fungsi ovarium.

Referensi
[1] Laronda, M.M. et al. (2017). A Bioprosthetic ovary created using 3D printed microsporous scaffolds restores
ovarian function in sterilized mice. Nature Communications. 8, 1-10.
[2] Laronda, M. M., Burdette, J. E., Kim, J. J. & Woodruff, T. K. (2013). Recreating the female reproductive tract in
vitro using iPSC technology in a linked microfluidics environment. Stem Cell Res. 4, S13–S17
[3] Laronda, M. M. et al. (2015). Initiation of puberty in mice following decellularized ovary transplant. Biomaterials
50, 20–29
[4] Young, S., Wong, M., Tabata, Y. & Mikos, A. G. (2005). Gelatin as a delivery vehicle for the controlled release
of bioactive molecules. J. Control. Release. 109, 256–274.
[5] Rutz, A.L. et al (n.d). Bioengineering an Artificial Ovary with 3D Printing. Abstracts.biomaterials.org
(http://abstracts.biomaterials.org/data/papers/2015/abstracts/536.pdf)
[6] Redmer, DA, Reynolds, LP. (1996). Angiogenesis in the ovary. Rev Reprod 1: 182-192.

PS. Template tugas diinpirasi dari website yang memuat artikel mengenai penelitian ini yaitu popsci.com
(https://www.popsci.com/3d-printed-ovaries#page-2)

Anda mungkin juga menyukai