Anda di halaman 1dari 14

TUGAS ETIKA PROPESI

KASUS SENGKETA REGISTER 40 KABUPATEN PADANG LAWAS

Disusun Oleh:
RAIKY PRATAMA : 143410259

ROIHAN : 143410758

PROGRAM STUDI PRENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

2017
Kata Pengantar

Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmat dan karuniaNyalah, Makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pelajaran
Geografi.

Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan, terutama


disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun akhirnya makalah ini
dapat kami selesaikan dengan cukup baik. Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih
dalam proses pembelajaran, pembuatan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
pembuatan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

. Pekanbaru , 27 Desember 2017

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup
serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan
dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung
maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. pada saat manusia meninggal dunia masih
memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia,
maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal
tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa
tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak
melakukan wanprestasi. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika
pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat
kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA.

Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak


(orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mencuatnya kasus-
kasus sengketa tanah di Indonesia beberapa waktu terakhir seakan kembali menegaskan
kenyataan bahwa selama 62 tahun Indonesia merdeka, negara masih belum bisa memberikan
jaminan hak atas tanah kepada rakyatnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) baru sebatas menandai dimulainya era baru
kepemilikan tanah yang awalnya bersifat komunal berkembang menjadi kepemilikan
individual. Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat
2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus
itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih
besar lagi. Identifikasi Permasalahan Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat
suatu perumusan masalah sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan
dalam paper ini.

Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang menunjukkan
jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan kenyataan. Perumusan
masalah dalam paper ini berisikan antara lain :

1. Pengertian Sengketa Tanah

2. Faktor Pendorong (penyebab) Sengketa lahan


3. Contoh kasus sengketa tanah

4. Solusi Penyelesaian sengketa lahan

2. Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui cara penyelesaian
sengketa lahan serta menambah pengetahuan dan wawasan untuk kami selaku calon plener
muda akan sengketa lahan.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Sengketa Tanah Sengketa menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti


pertentangan atau konflik, konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan antara
orang-orang, kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi. Winardi berpendapat
pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-
kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Adapun
tujuan seseorang dalam memperkarakan sengketa adalah untuk menyelesaikan masalah
yang konkret dan memuaskan. Tanah dapat definisikan menurut ilmu pastinya adalah
kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan planet bumi,yang
mampu menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempat makhluk hidup lainnya
untuk melangsungkan kehidupan.

Dapat disimpulkan sengketa tanah merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah
yang jelas maupun karena kepemilikan tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah
terjadi karena ada sebuah kepentingan dan hak. Sengketa tanah banyak terjadi karena
adanya sebuah benturan kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya
tanah untuk tempat tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak
jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas kepemilikannyapun
masih ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena masyarakat sadar akan kepentingan
dan haknya,selain itu harga tanah yang semakin meningkat.Menurut Rusmadi Murad
timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau
badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap
status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan.

Peraturan yang berlaku kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan /
keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah
ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional,
serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu
bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari
Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap
suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat / Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.Kasus
pertanahan dapat berupa permasalahan status tanah,masalah kepemilikan,masalah
bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya.
2. Faktor Pendorong (Penyebab) Sengketa Lahan Menurut Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Pusat, setidaknya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya
sengketa tanah :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada
tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian
telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis.
Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban
paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi
yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah
garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan
harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure),
boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar,
karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut
lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan
memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini
merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya. Kenapa demikian? karena
sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras, suku dan agama.
Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan. Indonesia adalah Negara yang berdasar
hukum, maka semua aspek kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum yang
diwujudkan dalam peraturan perundang undangan. Masyarakat dalam suatu Negara
hukum akan menyelesaikan masalahnya dalam suatu lembaga peradilan yang diatur
khusus oleh undang undang. Begitu pula dengan pertanahan yang mempunyai undang-
undang politik agrarian (UUPA). Namun, sengketa tanah yang terjadi di Indonesia
tidak pernah berakhir, selalu ada permasahalan terkait masalah kepemilikan tanah dan
hak guna pakainya. Menurut Saidin (2002), bahwa pada catatan statistik pengadilan di
Indonesia, kasus-kasus sengketa pertanahan di peradilan formal menempati urutan
pertama bila dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya. Masalah sengketa tanah tidak
akan ada habisnya karena tanah mempunyai arti sangat penting bagi kehidupan
manusia. Menurut Lovetya (2008), faktor penyebab dari konflik di bidang pertanahan
antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur
penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara
mengenai makna penguasaan tanah oleh Negara, inkonsistensi, dan
ketidaksinkronisasian antara undang-undang dengan kenyataan dilapang seperti
terjadinya manipulasi pada masa lalu yang mengakibatkan pada era reformasisekarang
ini muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang
urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat
hukum adatdalam sistem perundang-undangan agraria. Menurut Fia (2007), faktor
penyebab munculnya permasalahan tentang kasus sengketa tanah antara lain Harga
tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin sadar dan
peduli akan kepentingan dan haknya, iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan, faktor utama penyebab sengketa tanah adalah
: 1. Luas tanah yang tersedia terbatas, tapi di sisi lain kebutuhan akan
tanahmeningkat sehingga nilai tanah lebih besar.
2. Masalah pengaturan, penguasaan, dan pemilikan yang pengendaliannya belum
efektif.Kasus konflik pertanahan seperti sengketa tanah hampir terjadi seluruh penjuru
tanah air indonesia. Setelah diusut dan diteliti semua kasus sengketa tanah yang terjadi
menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang
menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa
menggetirkan dalam proses penyelesaiannya. Banyak masalah sengketa tanah yang
terkadang selalu memberikan kerugian kepada orang yangseharusnya tidak bersalah
misalnya warga (rakyat biasa) yang bersengketa dengan suatu instansi yang
mempunyai wewenang dan kekuasaan, karena carut-marutnya hukum pertanahan
Indonesian sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa.Dari mulai pungli (pungutan liar),
korupsi sampaikearah mafia pertanahan yaitu juga melibatkan lembaga peradilan kita.
Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam:
a. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang
hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada haknya.
b. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai
dasar pemberian hak.
c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan
yang kurang/tidak benar.
d. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat
strategis). Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi
pokok persoalan yang berkaitan dengan :

1. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah.


2. Keabsahan suatu hak atas tanah.
3. Prosedur pemberian hak atas tanah.
4. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti
haknya.

3. Contoh Kasus Sengketa Lahan Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional mencatat
ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional yang terjadi di Indonesia ini,
maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika
kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang
layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Contoh kasus sengketa Register 40
di Kabupaten Padang Lawas.Pernyataan ini disampaikan pemilik PT Torganda itu,
Sihar Sitorus, saat berkunjung ke Tribun Medan, Rabu (20/5/2015).
Bersama dengan adiknya yang juga aktif mengurus perusahaan, Hakim Sitorus, dan
perwakilan PT Torganda lainnya, Ricky Sitorus dan Saluhut Napitupulu, Sihar
mendatangi beberapa media massa di Medan dengan tujuan “memperkaya informasi”
seputar kasus yang sedang jadi sorotan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
ini.Sihar mengatakan, belum dieksekusinya putusan Mahkamah Agung yang
menyatakan Darianus L Sitorus bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan
menggunakan kawasan hutan secara tidak sah terjadi karena carut-marutnya produk
hukum di Indonesia.“Kalau sampai saat ini belum dieksekusi, itu bukan karena Pak DL
Sitorus kuat atau hebat. Itu karena produk hukum yang tumpang tindih. Sebelumnya,
MA juga sudah memutuskan bahwa Koperasi (KPPS) Bukit Harapan adalah pengelola
sah perkebunan itu,” katanya.MA menghukum Sitorus dengan penjara delapan tahun
dan pidana denda sebesar Rp 5 miliar dan telah dijalani Sitorus selama sekitar lima
tahun.Selain itu, seluruh barang bukti yang telah disita akan dirampas untuk negara
(Departemen Kehutanan).Barang bukti tersebut berupa perkebunan kelapa sawit di
kawasan hutan Padang Lawas Sumatera Utara seluas 23.000 ha yang dikuasai oleh
KPKS Bukit Harapan dan Torganda beserta seluruh bangunan di atasnya, serta
perkebunan kelapa sawit di kawasan Padang Lawas seluas 24.000 ha yang dikuasai
oleh Koperasi Parsub dan PT Torus Ganda beserta seluruh bangunan di atasnya.

Menurut Sihar, sejak putusan itu, telah keluar dua kali perintah eksekusi.“Yang
pertama, eksekusi administrasi. Lalu ini saya dengar lagi ada eksekusi manajemen.
Sebenarnya berapa kali Pak DL Sitorus akan dieksekusi sih? Apakah seperti
penangkapan penjahat-penjahat itu; lututnya dulu ditembak, lalu paru-parunya. Maunya
seperti eksekusi narkoba itulah. Sekali saja dan selesai,” ujarnya.

4. Menanggapi makin gencarnya pemberitaan tentang rencana pemerintah yang akan


segera melakukan ekseskusi, Sihar berharap ini adalah solusi yang
berkeadilan.Menurutnya, kawasan hutan lindung yang masuk dalam penunjukan dalam
Register 40 luasnya sekitar 177 ribu hektar.Ia mengingatkan, selain lahan perkebunan
yang dikelola PT Torganda dan mitranya yang seluas 47.000 hektar itu, ada juga
perusahaan-perusahaan lain yang punya perkebunan kelapa sawit disana. Solusi
Penyelesaian Sengketa Tanah Pada hakikatnya, kasus pertanahan merupakan
benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan
siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan
dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain
sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum yang
diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain dapat
diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan (masyarakat dan
pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional dan solusi melalui
Badan Peradilan. Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat ditempuh melalui cara
berikut ini :

A. Solusi melalui BPN Kasus pertanahan itu timbul karena adanya


klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang
berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di
bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut
dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut.
Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara
administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang
berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lainmengenai masalah status
tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar
pemberian hak dan sebagainya.
Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat
yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan
pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian
ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses
lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke
Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka
Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta
saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang
disengketakan. Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka
selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan
tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya.
Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum) yang berhak atas
bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan hukum, maka
apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat
mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus
quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa.
Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan
Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri
Dalam Negeri No 16 tahun 1984. Dengan dicabutnya Instruksi Menteri Dalam
Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat Badan
Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota,
agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran
hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan.
(Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak
melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di
bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah),
harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan
yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair
play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan
memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa. Terhadap kasus pertanahan yang
disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan penyelesaiannya,
apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka sangat baik
jika diselesaikan melalui cara musyawarah.
Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai
mediator di dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling
menghormati pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana
penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula
disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak,
berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan
dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna. Pembatalan keputusan tata usaha negara
di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan
adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar
hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :

1) Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.
2) Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3) Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
4) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3
Tahun 1999.
5) Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa
kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Sebagian besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala


Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.

B. Melalui Badan Peradilan Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara


para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian
secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh
pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang
diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut
hukum dan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan
Pertanahan Nasional dapat juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi
menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha
Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional
tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata
Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada
pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat. Sementara menunggu
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata
Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan
(status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian
hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun
pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan
yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu
untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan


hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang
bersangkutan mengusulkan permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas.
Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan laporan mengenai semua data
yang menyangkut subjek dan beban yang ada di atas tanah tersebut serta segala
permasalahan yang ada. Kewenangan administratif permohonan pembatalan
suatu Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas
Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional
termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan
adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan. Semua ini agar
diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk menimbang dan
mengambil keputusan lebih lanjut.Di bidang pertanahan, belum ada suatu
peraturan perundang – undangan yang secara eksplisit memberikan dasar
hukum penerapan Alternatif Dispute Resolution (ADR).Namun, hal ini tidak
dapat dijadikan alasan untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang
pertanahan berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu :

Pertama, di dalam setiap sengketa perdata yang diajukan di muka pengadilan,


hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak
(Pasal 130 HIR).
Kedua, secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan dengan bentuk
dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah diupayakan
melalui jalur musyawarah. Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
(“Keppres No.53 tahun 1993”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994 yang merupakan peraturan
pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993, mengatur tentang tata cara melakukan
musyawarah secara cukup terinci.Dalam perkembangannya, hal ini dimuat
dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Perpres No. 36 tahun
2005”) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang
telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007. Dengan
berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun 1993
dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan berjalannya waktu, penyelesaian
sengketa melalui ADR secara implisit dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor
10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Dalam struktur
organisasi BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian
dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (“Deputi”). BPN telah pula
menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 tahun 2007. Dalam
menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan upaya
melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif. Pembentukan
Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu
pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu
sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk
kedeputian untuk penanganannya.

Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan


melalui pengadilan.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan Di Zaman sekarang ini kebutuhan akan tempat tinggal meningkat,


sedangkan luas tanah terbatas, sehingga menyebabkan nilai guna tanah penting sekali, apapun
akan diusahan oleh pribadi manusia untuk mendapatkan tanah yang strategis. Selain sebagai
tempat untuk tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat mengadakan aktivitas ekonomi,
jalan untuk kegiatan lalu lintas, perjanjian dan yang padaakhirnya sebagai tempat tinggal
masa depan (kuburan). Ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional yang tercatat
oleh Badan Pertanahan Nasional, terjadi di Indonesia ini, faktor utama penyebab adalah :

1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas.

2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.

3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal


(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Sertifikat (tanah) merupakan tanda
bukti hak yang berlaku, apabila data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Kedudukan sertifikat ini diatur
dalam Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Penyelesaian sengketa tanah
dapat dituntaskan dengan beberapa cara seperti :

1. Melalaui Badan Pertanahan Nasional

2. Melalui badan peradilan, bernegosiasi, dan lain-lain tergantung para pelakunya


mengarahkan ke arahmana jalan penyelesaian yang baik menurutnya.

Saran

Banyak sekali penyebab sengketa tanah di Indonesia ini, baik karena fungsi tanah itu
sendiri yang sangat dibutuhkan, maupun masalah administrasinya, tetapi sebagaimana dari
hasil catatan Badan Pertanahan Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi di Indonesia
ini, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat yang tidak jelas,
distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas kepemilikan tanah yang semata-
mata pada sertifikat saja, tanpa memperhatikan produktifitas tanahnya. Berdasarkan faktor
utama penyebab sengketa di atas dapat disimpulkan pemerintah sangat diharapkan berperan
aktif supaya tidak mengalami sengketa tanah di masa akan datang, baik upaya peningkatan
administrasi yangmana harus jeli melihat dan akan membuat sertifikat-sertifikat tanah,
agar tidak ada yang berduplikat, maupun dalam pembagian tanah untuk pemukiman yang
merata bagi setiap rakyat Indonesia. Di sisi lain disarankan juga bagi masyarakat yang akan
membeli, memperoleh tanah maupun akan membuat surat bukti kepemilikan tanah agar
berhati-hati melihat kelegalan surat-surat atau dokumen-dokumen kepemilikan tanah yang
ada.

Anda mungkin juga menyukai