Airway PDF
Airway PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
2.1.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari “Tahu” yang terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003), pengetahuan adalah
sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini
dipengaruhi berbagai faktor dari dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa
sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosial budaya.
Pengetahuan juga diperoleh dengan cara proses belajar.Belajar merupakan
suatu perubahan perilaku seseorang dalam situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalaman yang berulang terhadap situasi tersebut, asalkan perilaku tersebut
tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respons alami seseorang,
kematangan, atau keadaan sementara (Kaplan,2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku dari pengalaman dan penelitian
membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan
lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Peneliti Roger
(1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yaitu:
1. Awarenes (kesadarn), dimana seseorang tersebut menyadari pengetahuan
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest, dimana seseorang tersebut mulai tertarik pada stimulus.
5
9. Penanganan definitif
2.2.2.1. Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat
darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau
trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan –
lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway
seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin
10
lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal
(Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra
servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.
Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih,
walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita
dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik
yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran,
maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk
sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat
dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan
(jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway
orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway).
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan
atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur-
prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization) (ATLS,
2004)
Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien
sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil
berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena
(Alkatri, 2007).
11
2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan.
Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk
membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri
(incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver
ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita
dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang
tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus
mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada
maxila (Arifin, 2012).
12
5. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih
bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah
(ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran
pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-
faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring
diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly).
Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-
faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke
bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas
pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin,
2012).
6. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-
penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara
yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering
digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang
harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang
paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah
pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan
dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi
yang jelas untuk melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan
periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
15
2.2.2.2. Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan
pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil
energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus
(Sherwood, 2001). Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang
diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg,
2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan
dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat
menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin
terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian
oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai
ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat
dinilai secara klinis (Buono, Davis, Barth, 2007).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila
dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat
digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan
pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
16
2.2.2.3. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt,
2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status
hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit
dan nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan
a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita
dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren,
1992):
1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80
mmHg sistol
2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal
70 mmHg sistol
3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70
mmHg sistol
4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60
mmHg sistol
19
2.2.2.4. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS,
20
2.2.2.5. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi.