Anda di halaman 1dari 19

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan
2.1.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari “Tahu” yang terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003), pengetahuan adalah
sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini
dipengaruhi berbagai faktor dari dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa
sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosial budaya.
Pengetahuan juga diperoleh dengan cara proses belajar.Belajar merupakan
suatu perubahan perilaku seseorang dalam situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalaman yang berulang terhadap situasi tersebut, asalkan perilaku tersebut
tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respons alami seseorang,
kematangan, atau keadaan sementara (Kaplan,2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku dari pengalaman dan penelitian
membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan
lama dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Peneliti Roger
(1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yaitu:
1. Awarenes (kesadarn), dimana seseorang tersebut menyadari pengetahuan
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest, dimana seseorang tersebut mulai tertarik pada stimulus.
5

3. Evaluation, merupakan suatu keadaan mempertimbangkan terhadap baik dan


tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap seseorang tersebut
sudah lebih baik lagi.
4. Trial, dimana seseorang tersebut telah mulai mecoba perilaku baru.
5. Adaptation, dimana seseorang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

2.1.2. Tingkat Pengetahuan


Menurut Notoatmojo (20030, pengetahuan yang cukup dalam dominan
kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu
1. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau dirangsang yang telah diterima. Cara kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain :
menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
Tingkatan ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Contohnya adalah mengetahui apa yang dimaksud dengan
kegawatdaruratan.
2. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
seseorang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan dan menyebutkan. Misalnya pada tahap ini dapat
menjelaskan secara benar bagaimana prinsip penatalaksanaan
kegawatdaruratan.
3. Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan
6

sebagainya. Misalnya apabila menemukan korban trauma, mahasiswa


sudah mengetahui penatalaksaan apa yang harus pertama sekali
dilakukan.
4. Analisis (Analysis)
kemampuan untuk menjabarkan materi atau sesuatu objek ke dalam
sesuatu komponen–komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan
analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainnya. Contohnya mahasiwa sudah tahu membedakan apa yang
harus di lakukan pada setiap langkah – langkah penatalaksanaan
kegawatdaruratan, misalnya dapat membedakan langkah apa yang di
lakukan pada tahap airway ( jalan napas) dengan tahap breathing
(pernapasan).
5. Sintesis (Sinthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu
bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi –
formulasi yang ada. Contohnya dapat merencanakan tahapan
penataalaksanaan kegawatdaruratan sesuai dengan teori yang telah ada
dan telah dipelajari.
6. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau
objek. Penelitian – penelitian tersebut didasarkan pada suatu kriteria
yang sudah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria – kriteria
yang telah ada (Notoatmodjo, 2003). Misalnya dapat membandingkan
keberhasilan dalam penatalaksanaan kegawatdaruratan antara pasien
yang buruk penatalaksanaanya dengan yang baik.
7

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan (Notoatmodjo, 2007):
1. Sosial ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang,
sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan, ekonomi baik
tingkat pendidikan akan tinggi sehingga tingkat pengetahuan akan
tinggi juga. Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak
begitu memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih
memikirkan kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak.
2. Kultur (budaya, agama)
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahauan seseorang,
karena informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan
budaya yang ada dan agam yang dianut.
3. Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal
baru dan mudah menyesuaikan dengan hal yang baru tersebut.
Pendidikan itu menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi
kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
4. Pengalaman
Berkaitan dengan umur dan pendidikan individu, bahwa pendidikan
yang tinggi maka pengalaman semakin luas, sedangkan semakin tua
umur seseorang maka pengalaman akan semakin banyak.

2.2. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan


2.2.1. Definisi Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan
yang dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis
atau evaluasi tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the
American College of Emergency Physicians states dalam melakukan
penatalaksanaan kegawatdaruratan memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi,
8

melaksanakan, dan menyediakan terapi pada pasien-pasien dengan trauma yang


tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya (Stone, Humphries, 2008).
Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih
dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-
kasus penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-
benda yang tersedia pada saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang
telah diuji sampai korban dipindahkan ke Rumah Sakit atau lokasi dimana
keterampilan dan peralatan yang layak tersedia (Skeet, 1995).
Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
1. Mempertahankan hidup
2. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
3. Meningkatkan pemulihan
Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus :
1. Mengkaji sesuatu
2. Memnentukan diagnosis untuk setiap korban
3. Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa
korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban akan
membutuhkan perhatian dari pada yang lain
4. Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan
kondisi serius
Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan
adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial
aassesment (penilaian awal) dan meliputi (ATLS, 2004) :
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resutisasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9

9. Penanganan definitif

2.2.2. Primary Survey


Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui
ABCDE yaitu :
A:Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah
hipotermia

2.2.2.1. Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat
darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan
nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau
trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan –
lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway
seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan
oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya,
patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin
10

lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal
(Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra
servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.
Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih,
walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita
dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik
yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran,
maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk
sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat
dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan
(jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway
orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway).
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan
atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur-
prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization) (ATLS,
2004)
Teknik-teknik mempertahankan airway :
1. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan
drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan
dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien
sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil
berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena
(Alkatri, 2007).
11

2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan.
Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk
membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri
(incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver
ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita
dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang
tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European


Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010).

3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus
mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada
maxila (Arifin, 2012).
12

Gambar 2.2. Jaw-thrust maneuver (sumber : European Resusciation


Council Guidelines for Resusciation 2010).

4. Oropharingeal Airway (OPA)


Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas
pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis,
2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih
ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak
telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan
ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar
pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan
jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal
pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada
diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.
Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa
oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa,
rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)
13

Gambar 2.3. Oropharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill


Companies 2006)

5. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih
bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah
(ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran
pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-
faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring
diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly).
Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-
faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke
bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas
pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin,
2012).

Gambar 2.4. Nasopharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill


Companies 2006).
14

6. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-
penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara
yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan
Pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering
digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang
harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang
paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah
pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan
dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi
yang jelas untuk melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan
periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
15

Gambar 2.4. Look, listen, and feel (sumber : European Resusciation


Council Guidelines for Resusciation 2010).

2.2.2.2. Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan
pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil
energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus
(Sherwood, 2001). Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang
diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg,
2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan
dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat
menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin
terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian
oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai
ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat
dinilai secara klinis (Buono, Davis, Barth, 2007).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik
bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila
dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat
digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan
pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)
16

3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)


4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula,
jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk
memegang dan memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala
pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan
dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup
muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong)
reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)

Gambar 2.6. Pemasangan face mask (sumber: The McGraw-Hill


Companies 2006).

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya


airway, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan
melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks.
17

Buka leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan


kepala

Tentukan laju dan dalamnya pernafasan

Inspeksi dan palpasi leher serta toraks, cari : deviasi trakea,


distensi vena leher, ekspansi toraks simetris atau tidak,
pemakaian otot-otot tambahan, dan tanda-tanda cedera

Perkusi toraks untuk menentukan redup atau hipersonor

Auskultas toraks bilateral

Gambar 2.7. Penilaian pada toraks

Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-


keadaan seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks
dimana keadaan-keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan
primary survey. Bila ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi
yang dilakukan adalah ( Sitohang, 2012):
a. Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 – 12 L/menit
b. Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II
linea midclavicularis
c. Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube
d. Open pneumotoraks : Luka diututp dengan kain kasa yang diplester
pada tiga sisi (flutter-type valveefect)
18

Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang


saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang
noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus
(ATLS, 2004).

2.2.2.3. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt,
2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status
hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit
dan nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan
a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita
dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren,
1992):
1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80
mmHg sistol
2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal
70 mmHg sistol
3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70
mmHg sistol
4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60
mmHg sistol
19

Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila


ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual
maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi
harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan
pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (ATLS, 2004).

Tabel 2.1 Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentase


Penderita Semula
Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan Darah Sampai 750 750 - 1500 1500 - 2000 >2000
(mL)
Kehilangan Darah (% Sampai 15% – 30% 30% – 40% >40%
volume darah) 15%
Denyut Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi (mmHg) Normal atau Menurun Menurun Menurun
Naik
Frekuensi Pernafasan 14 – 20 20 - 30 30 - 40 >35
Produksi Urin >30 20 - 30 5 -15 Tidak
(mL/jam) berarti
CNS/Status Mental Sedikit Agak cemas Cemas, Bingung,
cemas bingung lesu
(lethargic)
Penggantian Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid
dan darah dan darah
Sumber : Advance Trauma Life Support for Doctors 2004.

2.2.2.4. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS,
20

2004). Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan


menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode
yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada
saat survey sekunder (Jumaan, 2008).
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung
kuku jari tangan)
d. Tidak memberikan respon
2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal (decorticated)
21

e. Ektensi abnormal (decerebrate)


f. Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran)
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan
penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
2. Trauma pada sentral nervus sistem
3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
4. Gangguan atau kelainan metabolik

2.2.2.5. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi.

2.3. Aspek Medikolegal dalam Pelayanan Kegawatdaruratan


Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena
mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi hukum dan
medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat
darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam
pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan
menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat
darurat. Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama
yaitu:
1. Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
2. Perubahan klinis yang mendadak
3. Mobilitas petugas yang tinggi
22

Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat


memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian.

2.3.1. Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan pelayanan


Gawat Darurat
Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat
darurat adalah UU No.23/1992 tentang kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan
No.585/1989 tentang persetujuan tindakan medis, dan Peraturan Menteri
Kesehatan No.159/1988 tentang rumah sakit. Ketentuan tentang pemberian
pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU
No.29/2004 tentang praktik kedokteran, dimana seorang dokter wajib melakukan
pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan.
Rumah sakit di indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat 24 jam sehari. Dalam pelayanan gawat darurat tidak
diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian layanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah
sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah
sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang
Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit
untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. Untuk
fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992
tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk
pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan
antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah
Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra-
rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan
pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya
tenaga medis dan perawat. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah
sakit sangat menentukan survivabilitas pasien (Herkutanto, 2007).

Anda mungkin juga menyukai