Anda di halaman 1dari 26

CACING DAN PROTOZOA

PAPER

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Vaksin Dan Imun

Disusun Oleh :

Aldi Dwi Nugraha 144101046


Abdul Alim Kamal 144101139
Muhammad Sulton F 144101014

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2017
A. Cacing
1. Klasifikasi
a. Platyhelminthes
1) Pengertian
Platyhelminthes adalah kelompok cacing yang tubuhnya berbentuk pipih.
Secara bahasa platyhelminthes berasal dari dua kata bahasa yunani , yaitu
“Platy” yang artinya pipih dan “helmin” yang artinya cacing.
Platyheminthes biasanya hidup bebas di laut atau di air tawar, adapula
yang hidupnya parasit. Cacing ini kebanyakan bersifat hemafrodit, yaitu
memiliki dua kelamin, jantan dan betina, dalam satu tubuh. Namun demikian
mereka tetap melakukan perkawinan antara 2 individu. Platyhelmintes tidak
memiliki sistem pernapasan dan sistem peredaran darah. Sistem
pencernaannya tidak sempurna, karena mereka belum mempunyai anus.
Ukuran tubuh Platyhelminthes beranekaragam, mulai dari ukuran yang
hamoir mikroskopis hingga yang panjangnya dapat mencapai 20m. Tubuh
Platyhelmintes simetri bilateral, artinya bagian tubuh yang sama
didestribusikan secara merata dari pusat tubuh.
2) Struktur dan fungsi tubuh Platyhelminthes
Platyhelminthes merupakan hewan yang tidak memiliki rongga tubuh
sehingga disebut hewan aselomata. Tubuhnya tersusun oleh tiga lapisan
(triploblastik), yaitu lapisan luar (ektoderm), lapisan tengah (mesoderm) dan
lapisan dalam (Endoderm). Dinding tubuh bagian luar disebut epidermis dan
ditutupi oleh sel halus yang bersilia. Lapisan dalam tersusun oleh otot yang
berkembang dengan baik. Pada ujung tubuhnya terdapat kepala yang tumpul
atau membulat, sedangkan pada ujung lainnya terdapat bagian ekor yang
meruncing.
Pada bagian ujung depan tubuhya terdapat bagian sensorik yang dapat
merespon perubahan lingkungan dengan cepat. Dengan bagian sensoriknya,
yang juga merespon terhadap cahaya dan zat kimia, hewan ini dapat bergerak
menuju sumber makanan dengan cepat. Platyhelminthes juga memiliki mulut,
faring, dan usus yang berperan dalam sistem pencernaan, ia tidak memiliki
anus sehingga sisa makanan akan dikeluarkan kembali melalui anus. Sistem
saraf berbentuk seperti tali dengan pusat pada ganglion otak di bagian depan
tubuhnya. Sistem eksresi berbentuk dua saluran dan akan bermuara pada pori-
pori tubuh, pusat dari saluran eksresi merupakan sel api yang memiliki silia
dan ketika silia tersebut bergerak sel ini akan terlihat seperti kobaran api,
sehingga disebut sel api. Fungsi silia pada sel api adalah untuk mengatur
pergerakan cairan.
3) Sistem Organ pada Platihelminthes
a) Sistem Pencernaan, sistem pencernaan dari Platyhelminthes terdiri atas
mulut, faring dan usus. Faring dapat keluar dari mulut untuk menangkap
makanan, kemudian masuk ke mulut dan dicerna di dalam usus yang
bentuknya bercabang-cabang kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh,
sisa makanan dari platyhelminthes akan dibuang dan dikeluarkan melalui
mulut karena cacing pipih tidak memiliki anus.
b) Sistem Persarafan, sistem persarafan pada platyhelminthes diatur oleh otak
yang terdapat pada bagian depan tubuh, otak ini akan bercabang menjadi
dua ganglion. Kemudian ganglion tersebut akan bercabang lagi hingga
mempersarafi tubuh, dan sel-sel saraf tersebut terkonsentrasi pada bagian
tepi tubuh. Sehingga sistem saraf pada Platyhelmintes membentuk sistem
tangga tali dengan otak pada bagian depan tubuh yang menjadi pusatnya.
c) Sistem Eksresi, pada platyhelminthes berupa dua saluran memanjang yang
akan bermuara pada pori-pori tubuh. Kedua saluran tersebut akan
bercabang-cabang pada bagian punggung dan berakhir pada sel api yang
memiliki silia sebagai pusatnya.
d) Sistem Reproduksi, pada platyhelminthes, proses reproduksi dapat
berlangsung secara seksual maupun aseksual. Umunya hewan ini bersifat
hermafrodit, yaitu memiliki dua kelamin dalam satu individu, namun
demikian perkawinan tetap terjadi antara 2 individu yang berbeda, tapi ada
juga sumber yang mengatakan bahwa hewan ini dapat bereproduksi sendiri
secara seksual. Setelah bertemunya sperma dan ovum, maka akan
dihasilkan sel telur yang miksroskopik, pembuahan terjadi di dalam tubuh.
Sedangkan proses reproduksi secara aseksual terjadi melalui fragmentasi.
e) Sistem Pernapasan dan Sistem sirkulasi, pada platyhelminthes tidak
terdapat kedua sistem ini. Sehingga proses pertukaran oksigen dan karbon
dioksida dilakukan melalui proses difusi, yaitu proses pertukaran zat dari
tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang berkonsentrasi rendah.
4) Ciri-Ciri Platihelminthes
a) Merupakan cacing berbentuk pipih yang tubuhnya simetri bilateral dan
tidak berongga(Aselomata)
b) Tubuhnya terdiri atas 3 lapisan (Triploblastik) yaitu lapisan luar
(Ektoderm), Lapisan tengah (Mesoderm) dan lapisan dalam (Endoderm).
c) Tidak memiliki sistem respirasi dan sistem peredaran darah (sirkulasi)
d) Sistem pencernaannya tidak sempurna karena tidak memiliki anus.
e) Memiliki sistem saraf dengan dua saluran ganglion dengan otak sebagai
pusatnya
5) Klasifikasi Platyhenminthes
a) Kelas Trubellaria
Sebagian besar anggota Turbellaria hidup bebas, hanya beberapa yang
parasit. Bisa ditemui di ekosistem air tawar, air laut, maupun terestrial.
Tubuhnya berbentuk seperti daun, tidak bersegmen, pada epidermis
terdapat bulu-bulu getar, dan intestinumnya bercabang. Panjang tubuhnya
berkisar 6-15 mm dan tidak memiliki darah.Tubuh berwarna gelap, coklat
dan abu-abu bernapas secara difusi pada permukaan seluruh tubuh. Contoh
anggota kelas ini adalah Dugesia trigina, yang lebih dikenal dengan nama
Planaria . Cacing planaria hidup bebas di air tawar yang jernih dan mengalir
sepanjang tahun, menempel pada batu atau dedaunan yang jatuh.

i. Karakteristik
Turbellaria terdiri dari sekitar 4.500 spesies, sebagian besar hidup
bebas, dengan ukuran panjang antara 1 mm (0,039 in) sampai 600 mm
(24 in). Sebagian besar adalah predator atau pemakan bangkai. Spesies
yang ada di darat sebagian besar aktif di malam hari dan tinggal di
lingkungan yang lembab seperti pada sampah daun atau kayu yang
membusuk. Beberapa ada yang bersimbiosis dengan hewan lain seperti
krustasea, dan beberapa lainnya bersifat parasit. Turbellaria yang hidup
bebas, biasanya berwarna hitam, coklat atau abu-abu, tetapi beberapa
jenis yang lebih besar berwarna cerah.
Turbellaria tidak memiliki kutikula (lapisan luar berupa bahan
organik yang bersifat non-seluler). Pada beberapa spesies kulitnya
berupa syncitium (kumpulan sel-sel dengan beberapa inti dan membran
eksternal tunggal bersama). Namun, kulit pada sebagian besar spesies ini
terdiri dari satu lapisan sel, yang masing-masing pada umumnya
memiliki beberapa silia ("rambut" kecil yang bergerak). Pada beberapa
spesies berukuran besar permukaan atas tubuhnya tidak memiliki silia.
Kulit ini juga ditutupi dengan mikrovili yang ada di antara silia.
Turbellaria memiliki banyak kelenjar, biasanya berada di dalam lapisan
otot di bawah kulit dan terhubung ke permukaan melalui pori-pori yang
merupakan tempat untuk mengeluarkan lendir, perekat, dan zat lainnya.
Spesies akuatik berukuran kecil menggunakan silia untuk bergerak,
sementara yang lebih besar menggunakan gerakan otot dari seluruh
tubuh untuk merayap atau berenang. Beberapa mampu menggali,
melekatkan bagian ujung belakang di bawah liang kemudian
meregangkan kepala untuk mengambil makanan dan kemudian
menariknya kembali ke bawah. Beberapa spesies darat mengeluarkan
benang dari lendir yang digunakan sebagai tali untuk memanjat dari satu
daun ke yang lain. Beberapa Turbellaria memiliki kerangka spikular,
sehingga memberikan bentuk annular (seperti cincin).
b) Kelas Trematoda

Tremotoda merupakan kelompok platyhelminthes yang memiliki alat


hisap dan alat kait untuk menempelkan diri pada inangnya. Trematoda
merupakan platyhelminthes yang hidupnya parasit. Tubuh bagian luarnya
ditutupi oleh kutikula yang berfungsi agar tubuhnya tidak tercerna oleh sel
tubuh inangya. Hewan jenis ini tidak memiliki silia pada permukaan luar
tubuh. Makanan dari trematoda merupakan cairan atau jaringan tubuh
inangnya. Dinding tubuhnya memiliki otot dan saraf. Contoh hewan ini adalah
cacing hati.
i. Siklus Hidup
Hampir semua trematoda menginfeksi moluska sebagai inang pertama
pada siklus hidupnya, dan sebagian besar memiliki siklus hidup kompleks
yang melibatkan jenis inang lainnya. Kebanyakan trematoda merupakan
monoeciuos dan bergantian bereproduksi secara seksual dan aseksual,
kecuali pada Aspidogastrea yang tidak memiliki reproduksi aseksual dan
Schistosomatidae yang bersifat dioecious (organ reproduksi jantan dan
betna terpisah).
Di dalam definitive host (inang, dimana parasit mencapai kematangan
dan, jika mungkin, bereproduksi secara seksual), di mana reproduksi
seksual terjadi, telur biasanya keluar bersamaan dengan feses dari inang.
Telur yang dilepaskan di air membentuk larva yang mampu berenang bebas
dan bersifat infektif ke intermediate host (inang perantara), di mana
reproduksi aseksual terjadi.
Sebuah spesies yang mencontohkan siklus hidup yang luar biasa dari
trematoda adalah cacing pada burung, Leucochloridium paradoxum.
Berbagai jenis burung hutan bertindak sebagai inang definitive bagi spesies
tersebut, sementara berbagai jenis siput merupakan inang tempat parasit
tumbuh (intermediate host). Parasit dewasa di dalam usus burung
memproduksi telur dan pada akhirnya telur tersebut akan berakhir di tanah
keluar bersamaan dengan feses burung. Beberapa telur ditelan oleh siput
dan di dalam siput mereka menetas menjadi larva kecil transparan
(mirasidium). Larva ini tumbuh dan memiliki bentuk seperti kantung.
Tahap ini dikenal sebagai sporocyst, sporocyst ini kemudian akan
membentuk tubuh sentral pada kelenjar pencernaan siput yang
membentang menjadi kantung perindukan di kepala , otot kaki dan tangkai
mata siput. Parasit bereplikasi sendiri pada bagian tubuh pusat sporocyst,
menghasilkan banyak embrio kecil (redia). Embrio ini akan pindah menuju
ke kantung perindukan dan berkembang dewasa menjadi cercaria.
ii. Contoh Spesies Trematoda
 Fasciola hepatica
Cacing ini hidup sebagai parasit di dalam hati manusia dan hewan
ternak seperti sapi, babi, dan kerbau. Tubuhnya mencapai panjang 2-5
cm, dilengkapi alat penghisap yang letaknya mengelilingi mulut dan di
dekat perut . Cacing hati berkembangbiak secara seksual dengan
pembuahan silang atau pembuahan sendiri (hermaprodit).
Fasciola hepatica memiliki siklus hidup mulai dari dalam tubuh
inangnya, ketika keluar dari tubuh inang, sampai kemudian masuk
kembali sebagai parasit di tubuh inang yang baru. Perhatikan. Di dalam
tubuh inangnya, cacing dewasa memproduksi sperma dan ovum
kemudian melakukan pembuahan. Telur yang telah dibuahi kemudian
keluar dari tubuh inang bersama feses (kotoran). Bila jatuh di tempat
yang sesuai, telur ini akan menetas dan menjadi mirasidium (larva
bersilia). Mirasidium kemudian berenang di perairan selama 8-20
jam. Bila menemukan siput air (Lymnaea javanica), mirasidium
akan masuk ke tubuh siput tersebut, tetapi bila tidak bertemu siput air
mirasidum akan mati. Di dalam tubuh siput, mirasidium kemudian
tumbuh menjadi sporoskista. Sporokista kemudian berpartenogenesis
menjadi redia dan kemudian menjadi serkaria.

Gambar 3. Siklus hidup cacing Fasciola hepatica


Serkaria membentuk ekor dan keluar menembus tubuh
siput, kemudian berenang beberapa lama sehingga melepaskan
ekornya di rumput dan tumbuhan air untuk menjadi
metaserkaria. Metaserkaria kemudian membungkus diri dengan kista
(cyste) sehingga dapat bertahan pada rumput atau tumbuhan
lain, menunggu termakan oleh hewan. Ketika kista ikut
termakan bersama tumbuhan, kista akan menembus dinding usus
lalu masuk ke hati, kemudian berkembang hingga dewasa dan
bertelur kembali mengulang siklus yang sama.

 Clonorchis sinensis
Cacing ini hidup di dalam hati dan saluran empedu
manusia, anjing, atau kucing. Siklus hidupnya mirip dengan cacing
hati. Inang perantaranya adalah siput, ikan, atau udang. Siklus
hidup Chlonorchis sinensis dijelaskan dengan Gambar berikut.

c) Kelas Cestoda
Cestoda (Cestoidea) adalah nama yang diberikan untuk kelas cacing pipih
parasit dari filum Platyhelminthes, dan biasa disebut cacing pita. Anggota dari
Cestoda dewasa hidup di dalam saluran pencernaan vertebrata, dan pada saat
juveni sering berada di dalam tubuh berbagai hewan. Lebih dari seribu spesies
Cestoda telah dideskripsikan, dan semua spesies vertebrata dapat dijadikan
inang oleh setidaknya satu spesies cacing pita. Beberapa spesies parasit pada
manusia, karena mengkonsumsi daging yang tidak diamasak dengan baik
seperti daging babi (Taenia solium), daging sapi (T. saginata), dan ikan
(Diphyllobothrium spp.), atau bisa juga mengkonsumsi makanan yang
disiapkan dalam kondisi kebersihan yang buruk (Hymenolepis spp. ;
Echinococcus spp. ). T. saginata, cacing pita dari sapi, dapat tumbuh sampai
20 m (65 kaki), spesies terbesar, cacing pita paus, Polygonoporus giganticus,
dapat tumbuh sampai 30 m (100 ft).
Cestoda merupakan kelompok platyhelminthes yang berbentuk seperti pita
dan bersifat parasit. Pada bagian kepala hewan ini terdapat kait yang berfungsi
untuk mengaitkan tubuhnya pada usus inang. Kepala cacing pita disebut
skoleks dan bagian di bawah kepala disebut strobilus. Bagian Strobilus
berfungsi untuk membentuk progtolid pada hewan ini. Progtolid merupakan
bagian tubuh yang akan menjadi individu baru nantinya. Cestoda terus
membentuk progtolid dan semakin ke ujung progtolid tersebut semakin besar
dan semakin matang. Selama siklus hidupnya mereka dapat melibatkan lebih
dari satu inang. Cacing pita dapat ditularkan ke manusia melalui daging babi
atau sapi terinfeksi yang tidak dimasak dengan matang.
Contoh anggota kelas ini adalah Taenia solium dan Taenia saginata.
Berikut uraian kedua jenis cacing tersebut.
i. Cacing pita babi (Taenia solium)
Cacing pita ini hidup pada saluran pencernaan babi dan bisa menular ke
manusia. Panjang tubuhnya mencapai 3 m. Pada bagian kepala atau skoleks
terdapat empat buah sucker dan kumpulan alat kait atau rostelum. Di
sebelah belakang skoleks terdapat leher atau daerah perpanjangan
(strobillus). Dari daerah inilah proglotid terbentuk melalui pembelahan
transversal. Dalam kondisi yang optimal panjang tubuh cacing pita babi
dapat mencapai 2,5-3 m dengan jumlah proglotid mencapai 1.000 buah.
Cacing ini memiliki siklus hidup seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 5. Siklus hidup Taenia solium

ii. Cacing pita sapi (Taenia saginata)


Taenia saginata tidak mempunyai rostelum (kait) pada skoleknya, dan
secara umum tubuhnya mirip dengan T. solium. Cacing dewasa hidup
sebagai parasit dalam usus manusia, masuk ke dalam tubuh manusia
melalui sapi sebagai hospes intermediet. Cacing ini tidak begitu berbahaya
dibandingkan T. solium. Namun demikian cacing ini tetap
merugikan, karena menghambat penyerapan makanan dalam tubuh
manusia.
Gambar 6.Siklus hidup Taenia saginata
Siklus hidup cacing ini dimulai dari terlepasnya proglotid tua bersama
feses manusia (Gambar 6). Di dalam setiap proglotid terdapat ribuan telur
yang telah dibuahi (zigot). Zigot tersebut kemudian berkembang
menjadi larva onkosfer di dalam kulit telur. Jika telur tersebut termakan
sapi, larva onkosfer akan menembus usus masuk ke dalam pembuluh darah
atau pembuluh limfa dan akhirnya sampai di otot lurik. Di dalam otot sapi,
larva onkosfer berubah menjadi kista dan berkembang menjadi cacing
gelembung atau sisteserkus yang membentuk skoleks pada dindingnya.
Ketika daging sapi tersebut dimakan manusia (kemungkinan sisteserkus
masih hidup), di dalam usus manusia skoleks tersebut akan keluar lantas
menempel pada dinding usus, kemudian tumbuh dewasa dan membentuk
proglotidproglotid baru. Kemudian siklus hidupnya terulang kembali.
b. Nemathenminthes
1) Pengertian
Nemathelminthes merupakan kelompok hewan cacing yang memiliki
tubuh bulat panjang dengan ujung yang runcing. Secara bahasa, Kata
Nemathelminthes berasal dari bahasa yunani, yaitu “Nema” yang artinya
benang, dan “helmintes” yang artinya cacing. Nemathelminthes sudah
memiliki rongga pada tubuhnya walaupun rongga tersebut bukan rongga
tubuh sejati. Rongga tubuh pada Nemathelminthes disebut pseudoaselomata.
Cacing ini memiliki tubuh meruncing pada kedua ujung sehingga disebut
cacing gilig. Ukuran tubuh Nemathelminthes umumnya miksroskopis, namun
adajuga yang mencapai ukuran 1 m. Cacing Nemathelminthes kebanyakan
hidup parasit pada tubuh manusia, hewan, atau tumbuhan, namun adapula
yang hidup bebas. Ukuran dari cacing betina lebih besar dari cacing jantan.
2) Struktur dan Fungsi Tubuh
Tubuh dari cacing ini tidak memiliki segmen dan lapisan luar tubuhnya
licin serta dilindungi oleh kutikula agar tidak terpengaruh oleh enzim
inangnya. Tubuhnya dilapisi oleh tiga lapisan (tripoblastik), yaitu lapisan luar
(Ektodermis), lapisan tengah (Mesoderm), dan lapisan dalam (Endoderm).
Kulit hewan ini tidak berwarna dan licin.

Nemathelminthes telah memiliki organ saluran pencernaan yang


lengkap, yaitu mulut, faring, usus, dan anus. Mulut terdapat pada ujung depan
dan anus terdapat pada ujung belakang. Setelah makanan dicerna, sari
makanan tersebut akan diedarkan ke seluruh tubuh melalui cairan pada
rongga tubuhnya. Tubuhnya belum memiliki sistem pembuluh darah,
sehingga tidak memiliki sistem respirasi, pertukaran oksigen dan
karbondioksida terjadi melalui proses difusi, yaitu perpindahan zat dari
tempat konsentrasi tinggi ke tempat konsentrasi rendah.
3) Sistem Organ Nemathelminthes
a) Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan dari nemathelminthes terdiri atas mulut, faring,
usus, dan anus. Makanan masuk ke dalam tubuh melalui muluth pada
bagian depan tubuh, kemudian masuk ke faring, dan dicerna di usus,
setelah dicerna, sari makanan tersebut akan diedarkan ke seluruh tubuh
oleh cairan pada rongga tubuh pseudoaselomata, kemudian sisa-sisa
makanan akan dikeluarkan melalui anus.
b) Sistem Eksresi
Sistem eksresi terdiri atas 2 saluran utama yang akan bermuara
pada sebuah lubang ditubuh bagian ventral.
c) Sistem Reproduksi
Nemathelminthes umumnya melakukan reproduksi secara seksual,
sistem reproduksi bersifat gonokoris, yaitu organ kelamin jantan dan
betina terpisah pada individu yang berbeda, artinya setiap individu hanya
memiliki satu organ kelamin. Fertilisasi (pertemuan sperma dan ovum)
terjadi di dalam tubuh, kemudian akan menghasilkan telur yang sangat
banyak (ribuan). Kumpulan telur ini akan membentuk kista yang dapat
bertahan hidup pada keadaan lingkungan yang buruk.
d) Sistem sirkulasi (peredaran darah) dan sistem pernapasannya
Tidak ada Sistem sirkulasi (peredaran darah) dan sistem
pernapasannya, sehingga pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi
secara difusi, yaitu dengan mekanisme pertukaran zat dari tempat yang
berkonsentrasi tinggi ke tempat berkonsentrasi rendah.
e) Sistem Persarafan
Merupakan sistem saraf cicin yang mengelilingi esofagus dan
memiliki 6 cabang saraf utama.
4) Ciri-ciri Nemanthelminthes
a) Merupakan cacing dengan tubuh bulat panjang seperti benang dengan
kedua ujung tubuh yang runcing
b) Memiliki tiga lapisan tubuh (Triploblastik) yaitu lapisan tubuh luar
(ektoderm), tengan (mesoderm), dan lapisan tubuh dalam (Endoderm).
c) Tubuhnya memiliki rongga, namun bukan rongga tubuh sejati sehingga
rongga ini disebut Pseudoaselomata.
d) Kulitnya halus, licin, tidak berwarna dan dilapisi oleh kutikula yang
berfungsi melindunginya dari enzim pencernaan inang.
e) Sistem pencernaannya sudah lengkap
f) Belum memiliki sistem sirkulasi dan sistem respirasi (pernapasan). Sistem
saraf merupakan saraf cincin.
5) Klasifikasi Nemathelminthes
a) Kelas Nematoda (Aschelminthes)

NEMATODA

Nematoda merupakan cacing benang yang umumnya berukuran


miksroskopis. Kata Nematoda berasal dari bahasa yunani, “Nema” artinya
benang, dan “toda” artinya bentuk. Hal ini karena nematoda memiliki
tubuh silindris dengan kedua ujung yang runcing sehingga disebut cacing
benang. Mereka telah memiliki sistem pencernaan yang lengkap dengan
faring berkembang denga cukup baik. Dinding tubuhnya tersusun atas tiga
lapisan (triploblastik), yaitu lapisan luar, tengah, dan dalam dan tubuhnya
telah memiliki rongga tubuh pseudoaselomata. Sistem eksresi merupakan
jalur tabung pengeluaran yang akan membuang limbah melalui rongga
tubuh.
Nematoda dapat hidup bebas di perairan atau daratan, adajuga yang
hidup parasit dalam tubuh manusia, hewan dan tumbuhan. Saat ini
Nematoda masih merupakan masalah yang besar bagi kesehatan manusia,
hewan ternak, dan tumbuhan yang sangat merugikan. Nematoda
merupakan hewan yang banyak terdapat di air dan tanah, sehingga tidak
jarang menimbulkan infeksi pada manusia, apalagi bagi mereka yang
tidak menjaga kebersihan dengan baik. Contohnya adalah Ascaris
Lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Necator Americanus, dll.

b) Kelas Nematophora

Nematopohora
Nematophora merupakan cacing yang berbentuk bulat dengan kedua
ujung yang runcing menyerupai bentuk rambut sehingga sering disebut
cacing rambut. Tubuhnya dilapisi oleh kutikula yang polos yang tidak
bercicin. Dalam keadaan larva mereka hidup parasit dalam tubuh manusia
atau artrophoda, ketika dewasa mereka akan hidup bebas di perairan atau
daratan. Contohnya adalah Nectonema sp.
2. Infeksi Cacing Tambang
Penyakit ini tersebar di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia penyakit
ini lebih banyak disebabkan oleh cacing Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale. Gejala klinis penyakit ini tergantung pada jumlah cacing yang
menginfeksi usus, paling sedikit 40 cacing dewasa diperlukan untuk menyebabkan
terjadinya anemia dan gejala klinis pada pasien dewasa.
Penyakit cacing tambang umumnya disebabkan oleh cacing Necator americanus
dan Ancylostoma duodenale, jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis,
Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma malayanum. Penyakit ini biasa juga disebut
ankilostomiasis atau nekatoriasis.
a. Siklus Hidup
Siklus pertama berasal dari telur cacing yang berasal dari cacing dewasa
betina. Telur tersebut dikeluarkan bersamaan proses defekasi manusia. Telur
cacing tambang memiliki ukuran sekitar 70x45 mikron. Bentuknya lonjong,
berdinding tipis, dan kedua kutub mendatar. Telur tersebut memiliki beberapa sel
didalamnya. Kondisi tanah lembab, hangat, dan basah sangat cocok untuk telur
cacing tambang.
Setelah sekitar 1-2 hari telur tersebut akan menetas lalu berubah menjadi
larva rabditiform. Larva rabditiform tersebut berkembang dan hidup di tanah.31
Larva ini berukuran sekitar 250 mikron. Apabila dilihat secara mikroskopis akan
terlihat rongga mulut yang panjang dan sempit. Esofagus dengan dua bulbus dan
menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Larva rabditiform akan hidup
selama 5-10 hari.
Larva rabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform yang dapat
menembus kulit manusia dan memulai proses infeksi cacing. Stadium ini adalah
stadium infektif bagi cacing tambang. Larva filariform memiliki ukuran sekitar
500 mikron. Apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop akan terlihat rongga
mulut yang tertutup dan esofagusnya menempati ¼ panjang badan bagian
anterior.
Proses infeksinya diawali dengan masuknya larva filariform ke dalam
kulit, biasanya melalui kulit telapak kaki. Setelah itu cacing akan masuk ke aliran
darah sampai ke jantung dan paru-paru. Setelah sampai paru-paru, larva filariform
akan bermigrasi melalui saluran pernafasan sampai ke daerah faring. Larva
tersebut akan masuk ke dalam saluran pencernaan bersamaan dengan proses
makan dan minum manusia. Sesampainya di usus halus larva filariform akan
mencapai bentuk dewasanya dan bertelur di sana.
Gambar . Daur hidup cacing tambang.

A B C

Gambar 5. Larva dan telur cacing tambang (A) Larva rabditiform, (B) Telur cacing
tambang, (C) Larva filariform
b. Morfologi Cacing Tambang
1) Ancylostoma duodenale
Cacing ini dapat dikenali dengan dua pasang gigi pada mulutnya apabila
dilihat secara mikroskopis. Secara makroskopis cacing ini memiliki panjang
tubuh sekitar 1 cm. Bentuk tubuhnya menyerupai huruf “C”. Perbedaan jenis
kelaminnnya dapat dilihat dari bagian ekornya, apabila cacing jantan memiliki
lingkaran kopulatriks, sedangkan pada betina memiliki ekor yang runcing.

A B

Gambar . Ancylostoma duodenale stadium dewasa.


(A) Ancylostoma duodenale
(B) Mulut Ancylostoma duodenale memiliki 2 pasang taring.
2) Necator americanus
Cacing ini memiliki perbedaan dengan Ancylostoma duodenale adalah
salah satunya dengan melihat bagian mulutnya. Necator americanus memiliki
benda kitin pada mulutnya. Secara makroskopis tubuhnya tidak jauh berbeda
dengan Ancylostoma duodenale, memiliki panjang tubuh yang sama dan
memiliki perbedaan reproduksi pada daerah ekornya. Perbedaan secara
makroskopis dapat dilihat dari bentuk tubuhnya yang menyerupai huruf “S”.
A B

Gambar . Necator americanus stadium dewasa.

(A) Necator americanus


(B) Mulut Necator americanus memiliki benda kitin.

c. Respon Imun Terhadap Cacing Tambang


Infeksi cacing tambang bersifat kronis. Respon imun terhadap cacing
ditandai dengan respon Th2 dengan memproduksi IL-4, IL-5, dan IL-13. Seiring
dengan peningkatan sitokin-sitokin tersebut, produksi IgE dan penyebaran sel-sel
granulosit juga meningkat.
Polarisasi Th0 menjadi Th1 ataupun Th2 dipengaruhi oleh tipe antigen dan
sitokinnya. Infeksi cacing ditemukan banyak IL-4 yang dianggap sebagai prototip
dari sitokin Th2. IL-4 dapat meningkatkan perubahan Th yang belum terpolarisasi
menjadi Th2, sedangkan IFN-γ menjadi prototip bagi sitokin Th1.
Pada infeksi cacing tambang terjadi skewing Th2 response, yang ditandai
oleh polarisasi Th0 menjadi Th2. Proses ini menyebabkan meningkatnya sitokin-
sitokin khas Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-13. Seperti yang sudah dijelaskan pada
patofisiologi asma, IL-4 berperan dalam maturasi sel B menjadi sel plasma. Sel
plasma yang nantinya akan menghasilkan IgE. Sedangkan IL-5 dan IL-13 akan
berperan dalam recruitment eosinofil, sehingga nantinya dapat menyebabkan
eosinofilia.

B. Protozoa
1. Pengertian
Protozoa merupakan kelompok lain protista eukariotik. Kadang-kadang antara
algae dan protozoa kurang jelas perbedaannya. Kebanyakan Protozoa hanya dapat
dilihat di bawah mikroskop.
2. Morfologi Protozoa
Semua protozoa mempunyai vakuola kontraktil. Vakuola dapat berperan
sebagai pompa untuk mengeluarkan kelebihan air dari sel, atau untuk mengatur
tekanan osmosis. Jumlah dan letak vakuola kontraktil berbeda pada setiap spesies.
Protozoa dapat berada dalam bentuk vegetatif (trophozoite), atau bentuk istirahat yang
disebut kista. Protozoa pada keadaan yang tidak menguntungkan dapat membentuk
kista untuk mempertahankan hidupnya. Saat kista berada pada keadaan yang
menguntungkan, maka akan berkecambah menjadi sel vegetatifnya. Protozoa tidak
mempunyai dinding sel, dan tidak mengandung selulosa atau khitin seperti pada jamur
dan algae. Kebanyakan protozoa mempunyai bentuk spesifik, yang ditandai dengan
fleksibilitas ektoplasma yang ada dalam membran sel.
Beberapa jenis protozoa seperti Foraminifera mempunyai kerangka luar sangat
keras yang tersusun dari Si dan Ca. Beberapa protozoa seperti Difflugia, dapat
mengikat partikel mineral untuk membentuk kerangka luar yang keras. Radiolarian
dan Heliozoan dapat menghasilkan skeleton. Kerangka luar yang keras ini sering
ditemukan dalam bentuk fosil. Kerangka luar Foraminifera tersusun dari CaO2
sehingga koloninya dalam waktu jutaan tahun dapat membentuk batuan kapur.
Protozoa merupakan sel tunggal, yang dapat bergerak secara khas menggunakan
pseudopodia (kaki palsu), flagela atau silia, namun ada yang tidak dapat bergerak aktif.
Berdasarkan alat gerak yang dipunyai dan mekanisme gerakan inilah protozoa
dikelompokkan ke dalam 4 kelas. Protozoa yang bergerak secara amoeboid
dikelompokkan ke dalam Sarcodina, yang bergerak dengan flagela dimasukkan ke
dalam Mastigophora, yang bergerak dengan silia dikelompokkan ke dalam Ciliophora,
dan yang tidak dapat bergerak serat merupakan parasit hewan maupun manusia
dikelompokkan ke dalam Sporozoa.
3. Ciri-Ciri Protozoa
Protozoa merupakan organisme yang menyerupai hewan yang merupakan salah
satu dari filum dari kingdom protista. Ciri-Ciri Protozoa (Protista Mirip Hewan) adalah
sebagai berikut.
a. Organisme uniseluler (bersel satu )
b. Bersifat eukariotik (memiliki inti sel yang terbungkus oleh membran)
c. Tidak memiliki dinding sel
d. Heterotrof (umumnya tidak dapat membuat makanan sendiri)
e. Hidup dengan sendiri (soliter) atau berkelompok (koloni)
f. Hidup bebas secara parasit, bebas, dan sporofit
g. Memiliki alat gerak yang berupa silia, flagela dan pseudopodia
h. Memiliki ukuran tubuh sekitar 100-300 mikron
4. Klasifikasi Protozoa
Protozoa diklasifikasi berdasarkan alat geraknya yang terdapat empat filum Protozoa.
Macam-Macam Klasifikasi Protozoa adalah sebagai berikut :
a. Ciliata (Ciliophora/Infusoria), jenis protozoa yang bergerak dengan menggunakan
silia (rambut getar). Contoh protozoa jenis Ciliata adalah Paramecium sp
b. Rhizopoda (Sarcodina), jenis protozoa yang bergerak dengan pseudopodia (kaki
semu). Contoh protozoa jenis Rhizopoda adalah Amoeba sp
c. Sporozoa (Apicomplexa), jenis protozoa yang tidak memiliki alat gerak. Contoh
protozoa jenis Sporozoa adalah Plasmodium sp.
d. Flagellata (Mastigophora), jenis protozoa yang bergerak dengan flagela (bulu
cambuk). Contoh jenis flagellata adalah Trypanosoma sp.
5. Kasus Malaria
Berbagai infeksi parasit menghasilkan antibodi yang merupakan pertahanan
tubuh hospes pada stimulasi antigenik menghasilkan pembentukan kompleks imun
terhadap infeksi malaria. Selain antibodi mekanisme pertahanan memerlukan sel T dan
magrofag yang efektif menghancurkan Plasmodium. Sporozoit yang masuk darah
segera dihadapi oleh respon imun nonspesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag
dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2, IL-4, IL- 6,
IL-8, IL-10, secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh
parasit (sitotoksik). Kekebalan pada malaria merupakan suatu keadaan kebal terhadap
infeksi dan berhubungan dengan proses –proses penghancuran parasit atau terbatasnya
pertumbuhan dan perkembangbiakan. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan (alam)
dan kekebalan didapat.
Kekebalan pada malaria merupakan keadaan kebal terhadap infeksi yang
berhubungan dengan penghancuran parasit dan terbatasnya pertumbuhan dan
perkembangbiakan parasit tersebut. Imunitas terhadap malaria sangat kompleks,
melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun baik spesifik maupun non-spesifik,
imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat
(acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas
hanya bersifat jangka pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang
permanen dan sempurna. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan dan kekebalan
didapat. Pada daerah endemik, janin dilindungi oleh sistem antibodi maternal dan anak
sangat berisiko bila diserang apabila telah disapih. Daya imunitas pada anak yang
selamat pada serangan pertama akan selalu dirangsang oleh gigitan nyamuk yang
terinfeksi selama anak tinggal di daerah endemik malaria. Daya imunitas malaria
adalah spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap malaria vivax akan terserang
penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh malaria falciparum. Orang yang berkulit
hitam akan tahan terhadap infeksi malaria vivax dari pada orang yang berkulit putih,
sedangkan malaria falciparum pada orang hitam tidak begitu berbahaya.
6. Respon Imun terhadap Infeksi Parasit
Kekebalan pada malaria merupakan keadaan kebal terhadap infeksi yang
berhubungan dengan penghancuran parasite dan terbatasnya pertumbuhan dan
perkembangbiakan parasit tersebut. Imunitas terhadap malaria sangat kompleks,
melibatkan hampir seluruh komponen system imun baik spesifik maupun non-spesifik,
imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat
(acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas
hanya bersifat jangka pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang
permanen dan sempurna. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan dan kekebalan
didapat. Pada daerah endemik, janin dilindungi oleh sistem antibodi maternal dan anak
sangat berisiko bila diserang apabila telah disapih. Daya imunitas pada anak yang
selamat pada serangan pertama akan selalu dirangsang oleh gigitan nyamuk yang
terinfeksi selama anak tinggal di daerah endemik malaria. Daya imunitas malaria
adalah spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap malaria vivax akan terserang
penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh malaria falciparum. Orang yang berkulit
hitam akan tahan terhadap infeksi malaria vivax dari pada orang yang berkulit putih,
sedangkan malaria falciparum pada orang hitam tidak begitu berbahaya.
Antibodi pada tubuh hospes mulai diproduksi oleh sistem imun saat hospes
manusia pertama kali terinfeksi parasite malaria. Antibodi bekerja langsung atau
bekerja sama dengan bagian sitem imun yang lain untuk mengenali molekul antigen
yang terdapat pada permukaan parasit untuk membunuh parasit malaria. Respon imun
dari hospes yang timbul akibat suatu penyakit ditandai dengan adanya reaksi radang,
hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Saat P. vivax memproduksi 24
merozoit setiap 48 jam akan menghasilkan 4,59 milyard parasit dalam waktu 14 hari,
sehingga hospes akan tidak tahan bila organisme terus berbiak tanpa dikontrol. Pada
malaria dapat terjadi perkembangan suatu proteksi imun, terjadinya relaps dan
timbulnya penyakit erat hubungannya dengan rendahnya titer antibodi atau
peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi tersebut. Tetapi hal tersebut
bergantung pada perbedaan genetic dari populasi schizont. Secara alami produksi
antibody berlangsung lambat sehingga individu menjadi sakit ketika terinfeksi.
Namun, imun memiliki memori untuk pembentukan antibodi, maka respon sistem
imun untuk infeksi selanjutnya menjadi lebih cepat. Setelah paparan infeksi berulang,
individu mengembangkan imunitas yang efektif mengontrol parasitemia yang dapat
mengurangi gejala klinis dan komplikasi yang membahayakan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Level atau kadar antibodi juga semakin meningkat dengan
adanya setiap paparan infeksi dan menjadi lebih efektif dalam membunuh parasit.
Perlawanan tubuh terhadap parasite Plasmodium atau respon imunitas dilakukan
oleh imunitas seluler yaitu limfosit T dan dilakukan oleh imunitas humoral melalui
limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD 4+) dan sitotoksis
(CD 8+). Limfosit adalah sel yang cukup berperan dalam respon imun karena
mempunyai kemampuan untuk mengenali antigen melalui reseptor permukaan khusus
dan membelah diri menjadi sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa
hidup limfosit yang panjang menjadikan sel yang ideal untuk respons adaptif. Eritrosit
yang telah terinfeksi Plasmodium akan ditangkap oleh antigen presenting cell (APC)
dan dibawa ke sitoplasma sel dan terbentuk fagosom yang akan bersatu dengan
lisosom sehingga terbentuk fagolisosom. Fagolisosom mengeluarkan mediator yang
akan mendegradasi antigen Plasmodium menjadi peptida-peptida yang akan
berasosiasi dengan molekul MHC II (major histocompatibility complex ) dan di
presentasikan ke sel T CD . Saat berlangsungnya proses tersebut APC mengeluarkan
interleukin-12 (IL-12), Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40 saat presentasi
antigen memperkuat produksi IL-12. IL-12 ini akan mempengaruhi proliferasi sel T
yang merupakan komponen seluler dan imunitas spesifik dan selanjutnya
menyebabkan aktivasi dan deferensiasi sel T. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan
dibedakan menjadi dua subset yaitu Th1 dan Th2. Th-1 Menghasilkan IFN-ã dan TNF-
á yang mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti makrofag, monosit, serta sel
NK, sedangkan subset yang kedua adalah Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan
IL-10. Sitokin berperan mengaktifkan imunitas humoral. CD 4+ berfungsi sebagai
regulator dengan membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit-fagosit lain,
sedangkan CD 8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan
menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN-ã.
Pada saat Plasmodium masuk ke dalam sel-sel tubuh dan mulai dianggap asing
oleh tubuh maka epitop-epitop antigen dari parasite Plasmodium akan berikatan
dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel
limfosit T dalam hal ini CD 4+, kemudian berdeferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2.
Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig
(Imunoglobulin) oleh limfosit B. Ig meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.
Daftar Pustaka

Jatmiko,SW. 2012. peran basofil dalam imunitas terhadap cacing. Jurnal : Biomedika,
Volume 4 Nomor 1

Yunarko,S. 2014. Respon imun terhadap Infeksi Malaria. Jurnal Vektor Penyakit.
Lokalitbang P2B2 Waikabubak.

Rusjdi,SR. 2015. Infeksi Cacing dan Alergi. Jurnal : Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)

Anda mungkin juga menyukai