Cacing Dan Protozoa
Cacing Dan Protozoa
PAPER
Disusun Oleh :
i. Karakteristik
Turbellaria terdiri dari sekitar 4.500 spesies, sebagian besar hidup
bebas, dengan ukuran panjang antara 1 mm (0,039 in) sampai 600 mm
(24 in). Sebagian besar adalah predator atau pemakan bangkai. Spesies
yang ada di darat sebagian besar aktif di malam hari dan tinggal di
lingkungan yang lembab seperti pada sampah daun atau kayu yang
membusuk. Beberapa ada yang bersimbiosis dengan hewan lain seperti
krustasea, dan beberapa lainnya bersifat parasit. Turbellaria yang hidup
bebas, biasanya berwarna hitam, coklat atau abu-abu, tetapi beberapa
jenis yang lebih besar berwarna cerah.
Turbellaria tidak memiliki kutikula (lapisan luar berupa bahan
organik yang bersifat non-seluler). Pada beberapa spesies kulitnya
berupa syncitium (kumpulan sel-sel dengan beberapa inti dan membran
eksternal tunggal bersama). Namun, kulit pada sebagian besar spesies ini
terdiri dari satu lapisan sel, yang masing-masing pada umumnya
memiliki beberapa silia ("rambut" kecil yang bergerak). Pada beberapa
spesies berukuran besar permukaan atas tubuhnya tidak memiliki silia.
Kulit ini juga ditutupi dengan mikrovili yang ada di antara silia.
Turbellaria memiliki banyak kelenjar, biasanya berada di dalam lapisan
otot di bawah kulit dan terhubung ke permukaan melalui pori-pori yang
merupakan tempat untuk mengeluarkan lendir, perekat, dan zat lainnya.
Spesies akuatik berukuran kecil menggunakan silia untuk bergerak,
sementara yang lebih besar menggunakan gerakan otot dari seluruh
tubuh untuk merayap atau berenang. Beberapa mampu menggali,
melekatkan bagian ujung belakang di bawah liang kemudian
meregangkan kepala untuk mengambil makanan dan kemudian
menariknya kembali ke bawah. Beberapa spesies darat mengeluarkan
benang dari lendir yang digunakan sebagai tali untuk memanjat dari satu
daun ke yang lain. Beberapa Turbellaria memiliki kerangka spikular,
sehingga memberikan bentuk annular (seperti cincin).
b) Kelas Trematoda
Clonorchis sinensis
Cacing ini hidup di dalam hati dan saluran empedu
manusia, anjing, atau kucing. Siklus hidupnya mirip dengan cacing
hati. Inang perantaranya adalah siput, ikan, atau udang. Siklus
hidup Chlonorchis sinensis dijelaskan dengan Gambar berikut.
c) Kelas Cestoda
Cestoda (Cestoidea) adalah nama yang diberikan untuk kelas cacing pipih
parasit dari filum Platyhelminthes, dan biasa disebut cacing pita. Anggota dari
Cestoda dewasa hidup di dalam saluran pencernaan vertebrata, dan pada saat
juveni sering berada di dalam tubuh berbagai hewan. Lebih dari seribu spesies
Cestoda telah dideskripsikan, dan semua spesies vertebrata dapat dijadikan
inang oleh setidaknya satu spesies cacing pita. Beberapa spesies parasit pada
manusia, karena mengkonsumsi daging yang tidak diamasak dengan baik
seperti daging babi (Taenia solium), daging sapi (T. saginata), dan ikan
(Diphyllobothrium spp.), atau bisa juga mengkonsumsi makanan yang
disiapkan dalam kondisi kebersihan yang buruk (Hymenolepis spp. ;
Echinococcus spp. ). T. saginata, cacing pita dari sapi, dapat tumbuh sampai
20 m (65 kaki), spesies terbesar, cacing pita paus, Polygonoporus giganticus,
dapat tumbuh sampai 30 m (100 ft).
Cestoda merupakan kelompok platyhelminthes yang berbentuk seperti pita
dan bersifat parasit. Pada bagian kepala hewan ini terdapat kait yang berfungsi
untuk mengaitkan tubuhnya pada usus inang. Kepala cacing pita disebut
skoleks dan bagian di bawah kepala disebut strobilus. Bagian Strobilus
berfungsi untuk membentuk progtolid pada hewan ini. Progtolid merupakan
bagian tubuh yang akan menjadi individu baru nantinya. Cestoda terus
membentuk progtolid dan semakin ke ujung progtolid tersebut semakin besar
dan semakin matang. Selama siklus hidupnya mereka dapat melibatkan lebih
dari satu inang. Cacing pita dapat ditularkan ke manusia melalui daging babi
atau sapi terinfeksi yang tidak dimasak dengan matang.
Contoh anggota kelas ini adalah Taenia solium dan Taenia saginata.
Berikut uraian kedua jenis cacing tersebut.
i. Cacing pita babi (Taenia solium)
Cacing pita ini hidup pada saluran pencernaan babi dan bisa menular ke
manusia. Panjang tubuhnya mencapai 3 m. Pada bagian kepala atau skoleks
terdapat empat buah sucker dan kumpulan alat kait atau rostelum. Di
sebelah belakang skoleks terdapat leher atau daerah perpanjangan
(strobillus). Dari daerah inilah proglotid terbentuk melalui pembelahan
transversal. Dalam kondisi yang optimal panjang tubuh cacing pita babi
dapat mencapai 2,5-3 m dengan jumlah proglotid mencapai 1.000 buah.
Cacing ini memiliki siklus hidup seperti pada gambar dibawah ini.
NEMATODA
b) Kelas Nematophora
Nematopohora
Nematophora merupakan cacing yang berbentuk bulat dengan kedua
ujung yang runcing menyerupai bentuk rambut sehingga sering disebut
cacing rambut. Tubuhnya dilapisi oleh kutikula yang polos yang tidak
bercicin. Dalam keadaan larva mereka hidup parasit dalam tubuh manusia
atau artrophoda, ketika dewasa mereka akan hidup bebas di perairan atau
daratan. Contohnya adalah Nectonema sp.
2. Infeksi Cacing Tambang
Penyakit ini tersebar di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia penyakit
ini lebih banyak disebabkan oleh cacing Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale. Gejala klinis penyakit ini tergantung pada jumlah cacing yang
menginfeksi usus, paling sedikit 40 cacing dewasa diperlukan untuk menyebabkan
terjadinya anemia dan gejala klinis pada pasien dewasa.
Penyakit cacing tambang umumnya disebabkan oleh cacing Necator americanus
dan Ancylostoma duodenale, jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis,
Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma malayanum. Penyakit ini biasa juga disebut
ankilostomiasis atau nekatoriasis.
a. Siklus Hidup
Siklus pertama berasal dari telur cacing yang berasal dari cacing dewasa
betina. Telur tersebut dikeluarkan bersamaan proses defekasi manusia. Telur
cacing tambang memiliki ukuran sekitar 70x45 mikron. Bentuknya lonjong,
berdinding tipis, dan kedua kutub mendatar. Telur tersebut memiliki beberapa sel
didalamnya. Kondisi tanah lembab, hangat, dan basah sangat cocok untuk telur
cacing tambang.
Setelah sekitar 1-2 hari telur tersebut akan menetas lalu berubah menjadi
larva rabditiform. Larva rabditiform tersebut berkembang dan hidup di tanah.31
Larva ini berukuran sekitar 250 mikron. Apabila dilihat secara mikroskopis akan
terlihat rongga mulut yang panjang dan sempit. Esofagus dengan dua bulbus dan
menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Larva rabditiform akan hidup
selama 5-10 hari.
Larva rabditiform kemudian berubah menjadi larva filariform yang dapat
menembus kulit manusia dan memulai proses infeksi cacing. Stadium ini adalah
stadium infektif bagi cacing tambang. Larva filariform memiliki ukuran sekitar
500 mikron. Apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop akan terlihat rongga
mulut yang tertutup dan esofagusnya menempati ¼ panjang badan bagian
anterior.
Proses infeksinya diawali dengan masuknya larva filariform ke dalam
kulit, biasanya melalui kulit telapak kaki. Setelah itu cacing akan masuk ke aliran
darah sampai ke jantung dan paru-paru. Setelah sampai paru-paru, larva filariform
akan bermigrasi melalui saluran pernafasan sampai ke daerah faring. Larva
tersebut akan masuk ke dalam saluran pencernaan bersamaan dengan proses
makan dan minum manusia. Sesampainya di usus halus larva filariform akan
mencapai bentuk dewasanya dan bertelur di sana.
Gambar . Daur hidup cacing tambang.
A B C
Gambar 5. Larva dan telur cacing tambang (A) Larva rabditiform, (B) Telur cacing
tambang, (C) Larva filariform
b. Morfologi Cacing Tambang
1) Ancylostoma duodenale
Cacing ini dapat dikenali dengan dua pasang gigi pada mulutnya apabila
dilihat secara mikroskopis. Secara makroskopis cacing ini memiliki panjang
tubuh sekitar 1 cm. Bentuk tubuhnya menyerupai huruf “C”. Perbedaan jenis
kelaminnnya dapat dilihat dari bagian ekornya, apabila cacing jantan memiliki
lingkaran kopulatriks, sedangkan pada betina memiliki ekor yang runcing.
A B
B. Protozoa
1. Pengertian
Protozoa merupakan kelompok lain protista eukariotik. Kadang-kadang antara
algae dan protozoa kurang jelas perbedaannya. Kebanyakan Protozoa hanya dapat
dilihat di bawah mikroskop.
2. Morfologi Protozoa
Semua protozoa mempunyai vakuola kontraktil. Vakuola dapat berperan
sebagai pompa untuk mengeluarkan kelebihan air dari sel, atau untuk mengatur
tekanan osmosis. Jumlah dan letak vakuola kontraktil berbeda pada setiap spesies.
Protozoa dapat berada dalam bentuk vegetatif (trophozoite), atau bentuk istirahat yang
disebut kista. Protozoa pada keadaan yang tidak menguntungkan dapat membentuk
kista untuk mempertahankan hidupnya. Saat kista berada pada keadaan yang
menguntungkan, maka akan berkecambah menjadi sel vegetatifnya. Protozoa tidak
mempunyai dinding sel, dan tidak mengandung selulosa atau khitin seperti pada jamur
dan algae. Kebanyakan protozoa mempunyai bentuk spesifik, yang ditandai dengan
fleksibilitas ektoplasma yang ada dalam membran sel.
Beberapa jenis protozoa seperti Foraminifera mempunyai kerangka luar sangat
keras yang tersusun dari Si dan Ca. Beberapa protozoa seperti Difflugia, dapat
mengikat partikel mineral untuk membentuk kerangka luar yang keras. Radiolarian
dan Heliozoan dapat menghasilkan skeleton. Kerangka luar yang keras ini sering
ditemukan dalam bentuk fosil. Kerangka luar Foraminifera tersusun dari CaO2
sehingga koloninya dalam waktu jutaan tahun dapat membentuk batuan kapur.
Protozoa merupakan sel tunggal, yang dapat bergerak secara khas menggunakan
pseudopodia (kaki palsu), flagela atau silia, namun ada yang tidak dapat bergerak aktif.
Berdasarkan alat gerak yang dipunyai dan mekanisme gerakan inilah protozoa
dikelompokkan ke dalam 4 kelas. Protozoa yang bergerak secara amoeboid
dikelompokkan ke dalam Sarcodina, yang bergerak dengan flagela dimasukkan ke
dalam Mastigophora, yang bergerak dengan silia dikelompokkan ke dalam Ciliophora,
dan yang tidak dapat bergerak serat merupakan parasit hewan maupun manusia
dikelompokkan ke dalam Sporozoa.
3. Ciri-Ciri Protozoa
Protozoa merupakan organisme yang menyerupai hewan yang merupakan salah
satu dari filum dari kingdom protista. Ciri-Ciri Protozoa (Protista Mirip Hewan) adalah
sebagai berikut.
a. Organisme uniseluler (bersel satu )
b. Bersifat eukariotik (memiliki inti sel yang terbungkus oleh membran)
c. Tidak memiliki dinding sel
d. Heterotrof (umumnya tidak dapat membuat makanan sendiri)
e. Hidup dengan sendiri (soliter) atau berkelompok (koloni)
f. Hidup bebas secara parasit, bebas, dan sporofit
g. Memiliki alat gerak yang berupa silia, flagela dan pseudopodia
h. Memiliki ukuran tubuh sekitar 100-300 mikron
4. Klasifikasi Protozoa
Protozoa diklasifikasi berdasarkan alat geraknya yang terdapat empat filum Protozoa.
Macam-Macam Klasifikasi Protozoa adalah sebagai berikut :
a. Ciliata (Ciliophora/Infusoria), jenis protozoa yang bergerak dengan menggunakan
silia (rambut getar). Contoh protozoa jenis Ciliata adalah Paramecium sp
b. Rhizopoda (Sarcodina), jenis protozoa yang bergerak dengan pseudopodia (kaki
semu). Contoh protozoa jenis Rhizopoda adalah Amoeba sp
c. Sporozoa (Apicomplexa), jenis protozoa yang tidak memiliki alat gerak. Contoh
protozoa jenis Sporozoa adalah Plasmodium sp.
d. Flagellata (Mastigophora), jenis protozoa yang bergerak dengan flagela (bulu
cambuk). Contoh jenis flagellata adalah Trypanosoma sp.
5. Kasus Malaria
Berbagai infeksi parasit menghasilkan antibodi yang merupakan pertahanan
tubuh hospes pada stimulasi antigenik menghasilkan pembentukan kompleks imun
terhadap infeksi malaria. Selain antibodi mekanisme pertahanan memerlukan sel T dan
magrofag yang efektif menghancurkan Plasmodium. Sporozoit yang masuk darah
segera dihadapi oleh respon imun nonspesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag
dan monosit, yang menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2, IL-4, IL- 6,
IL-8, IL-10, secara langsung menghambat pertumbuhan parasit (sitostatik), membunuh
parasit (sitotoksik). Kekebalan pada malaria merupakan suatu keadaan kebal terhadap
infeksi dan berhubungan dengan proses –proses penghancuran parasit atau terbatasnya
pertumbuhan dan perkembangbiakan. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan (alam)
dan kekebalan didapat.
Kekebalan pada malaria merupakan keadaan kebal terhadap infeksi yang
berhubungan dengan penghancuran parasit dan terbatasnya pertumbuhan dan
perkembangbiakan parasit tersebut. Imunitas terhadap malaria sangat kompleks,
melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun baik spesifik maupun non-spesifik,
imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat
(acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas
hanya bersifat jangka pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang
permanen dan sempurna. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan dan kekebalan
didapat. Pada daerah endemik, janin dilindungi oleh sistem antibodi maternal dan anak
sangat berisiko bila diserang apabila telah disapih. Daya imunitas pada anak yang
selamat pada serangan pertama akan selalu dirangsang oleh gigitan nyamuk yang
terinfeksi selama anak tinggal di daerah endemik malaria. Daya imunitas malaria
adalah spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap malaria vivax akan terserang
penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh malaria falciparum. Orang yang berkulit
hitam akan tahan terhadap infeksi malaria vivax dari pada orang yang berkulit putih,
sedangkan malaria falciparum pada orang hitam tidak begitu berbahaya.
6. Respon Imun terhadap Infeksi Parasit
Kekebalan pada malaria merupakan keadaan kebal terhadap infeksi yang
berhubungan dengan penghancuran parasite dan terbatasnya pertumbuhan dan
perkembangbiakan parasit tersebut. Imunitas terhadap malaria sangat kompleks,
melibatkan hampir seluruh komponen system imun baik spesifik maupun non-spesifik,
imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara alami maupun didapat
(acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik timbulnya lambat. Imunitas
hanya bersifat jangka pendek (short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas yang
permanen dan sempurna. Pada malaria terdapat kekebalan bawaan dan kekebalan
didapat. Pada daerah endemik, janin dilindungi oleh sistem antibodi maternal dan anak
sangat berisiko bila diserang apabila telah disapih. Daya imunitas pada anak yang
selamat pada serangan pertama akan selalu dirangsang oleh gigitan nyamuk yang
terinfeksi selama anak tinggal di daerah endemik malaria. Daya imunitas malaria
adalah spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap malaria vivax akan terserang
penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh malaria falciparum. Orang yang berkulit
hitam akan tahan terhadap infeksi malaria vivax dari pada orang yang berkulit putih,
sedangkan malaria falciparum pada orang hitam tidak begitu berbahaya.
Antibodi pada tubuh hospes mulai diproduksi oleh sistem imun saat hospes
manusia pertama kali terinfeksi parasite malaria. Antibodi bekerja langsung atau
bekerja sama dengan bagian sitem imun yang lain untuk mengenali molekul antigen
yang terdapat pada permukaan parasit untuk membunuh parasit malaria. Respon imun
dari hospes yang timbul akibat suatu penyakit ditandai dengan adanya reaksi radang,
hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Saat P. vivax memproduksi 24
merozoit setiap 48 jam akan menghasilkan 4,59 milyard parasit dalam waktu 14 hari,
sehingga hospes akan tidak tahan bila organisme terus berbiak tanpa dikontrol. Pada
malaria dapat terjadi perkembangan suatu proteksi imun, terjadinya relaps dan
timbulnya penyakit erat hubungannya dengan rendahnya titer antibodi atau
peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi tersebut. Tetapi hal tersebut
bergantung pada perbedaan genetic dari populasi schizont. Secara alami produksi
antibody berlangsung lambat sehingga individu menjadi sakit ketika terinfeksi.
Namun, imun memiliki memori untuk pembentukan antibodi, maka respon sistem
imun untuk infeksi selanjutnya menjadi lebih cepat. Setelah paparan infeksi berulang,
individu mengembangkan imunitas yang efektif mengontrol parasitemia yang dapat
mengurangi gejala klinis dan komplikasi yang membahayakan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Level atau kadar antibodi juga semakin meningkat dengan
adanya setiap paparan infeksi dan menjadi lebih efektif dalam membunuh parasit.
Perlawanan tubuh terhadap parasite Plasmodium atau respon imunitas dilakukan
oleh imunitas seluler yaitu limfosit T dan dilakukan oleh imunitas humoral melalui
limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD 4+) dan sitotoksis
(CD 8+). Limfosit adalah sel yang cukup berperan dalam respon imun karena
mempunyai kemampuan untuk mengenali antigen melalui reseptor permukaan khusus
dan membelah diri menjadi sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa
hidup limfosit yang panjang menjadikan sel yang ideal untuk respons adaptif. Eritrosit
yang telah terinfeksi Plasmodium akan ditangkap oleh antigen presenting cell (APC)
dan dibawa ke sitoplasma sel dan terbentuk fagosom yang akan bersatu dengan
lisosom sehingga terbentuk fagolisosom. Fagolisosom mengeluarkan mediator yang
akan mendegradasi antigen Plasmodium menjadi peptida-peptida yang akan
berasosiasi dengan molekul MHC II (major histocompatibility complex ) dan di
presentasikan ke sel T CD . Saat berlangsungnya proses tersebut APC mengeluarkan
interleukin-12 (IL-12), Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40 saat presentasi
antigen memperkuat produksi IL-12. IL-12 ini akan mempengaruhi proliferasi sel T
yang merupakan komponen seluler dan imunitas spesifik dan selanjutnya
menyebabkan aktivasi dan deferensiasi sel T. Berdasarkan sitokin yang dihasilkan
dibedakan menjadi dua subset yaitu Th1 dan Th2. Th-1 Menghasilkan IFN-ã dan TNF-
á yang mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti makrofag, monosit, serta sel
NK, sedangkan subset yang kedua adalah Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan
IL-10. Sitokin berperan mengaktifkan imunitas humoral. CD 4+ berfungsi sebagai
regulator dengan membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit-fagosit lain,
sedangkan CD 8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan
menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN-ã.
Pada saat Plasmodium masuk ke dalam sel-sel tubuh dan mulai dianggap asing
oleh tubuh maka epitop-epitop antigen dari parasite Plasmodium akan berikatan
dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel
limfosit T dalam hal ini CD 4+, kemudian berdeferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2.
Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig
(Imunoglobulin) oleh limfosit B. Ig meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.
Daftar Pustaka
Jatmiko,SW. 2012. peran basofil dalam imunitas terhadap cacing. Jurnal : Biomedika,
Volume 4 Nomor 1
Yunarko,S. 2014. Respon imun terhadap Infeksi Malaria. Jurnal Vektor Penyakit.
Lokalitbang P2B2 Waikabubak.
Rusjdi,SR. 2015. Infeksi Cacing dan Alergi. Jurnal : Kesehatan Andalas. 2015; 4(1)