Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Negara adalah institusi yang terbentuk dari keberadaan suatu kelompok manusia yang

bertempat tinggal dalam suatu wilayah atau teritorial tertentu kemudian membentuk suatu

peraturan- peraturan dalam rangka pengaturan hidup berkelompok seperti yang diinginkan.

Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dikenal ada tiga lapisan hukum yang

berlaku secara bersamaan, yaitu hukum bagi masyarakat golongan Eropa, hukum bagi

masyarakat golongan Bumiputera, dan hukum bagi masyarakat golongan Timur Asing.

Menurut Soejono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka mengemukakan bahwa ada

lapisan hukum lainnya sebagai berikut :

“secara horizontal diakui adanya 19 lingkup laku aneka hukum adat (


rechtskringen ) yang beberapa diantaranya dan sisanya menerima hukum Islam
sebagai hukumnya sendiri baik melalui teori “ receptio” atau “ receptio in
complex” .1

Selain adanya lapisan hukum , Indonesia juga memiliki hukum yang tertulis yang

merupakan peraturan peninggalan zaman Hindia Belanda, maupun hukum tidak tertulis yang

merupakan hukum adat yang beraneka ragam.

Maria Farida mengemukakan bahwa pembentukan hukum dapat diartikan sebagai


berikut :
“ pembentukan hukum tidak tertulis yang berwujud hukum kebiasaan dan
hukum adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat adat, dapat juga
diartikan dengan pembentukan hukum tertulis, yang dibentuk oleh lembaga

1
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum ,PT. Citra Aditya Bakti : Bandung, 1989,
h. 6
yang berwenang, yang berwujud peraturan perundang- undangan yang bersifat
legislatif maupun bersifat administratif.2
Hukum tidak tertulis ( ongeschreven recht ) merupakan sinonim dari hukum

kebiasaan ( gewoonte recht ), yakni perbuatan yang diulang – ulang dengan cara atau bentuk

yang sama. Hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum yang tertua. Hukum yang tertulis

yang berlaku umum ( algemeen geldend) dan mengikat banyak orang ( algemeen bindend )

serta yang mempunyai lingkup laku wilayah manusia ( personengebied ), wilayah ruang (

ruimtegebied ), dan wilayah hukum ( tijdsgebied ) yang lebih luas, tidak tentu mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum tidak tertulis. Hukum tertulis selain merupakan

wahana bagi hukum baru yang dibentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan

kenegaraan, kebangsaan, serta kemasyarakatan.

Maria Farida Mengemukakan bahwa dalam sistem norma hukum sebagai berikut.

“ Didalam sistem norma hukum Negara Indonesia Pancasila merupakan


fundamental hukum (staatsfundamentalnorm) yang merupakan norma hukum
yang tertinggi, yang kemudian berturut- turut diikuti oleh norma hukum
dibawahnya”.3
Indonesia adalah Negara Kesatuan yang terdiri dari berbagai wilayah, maka wilayah

Indonesia akan dibagi kedalam daerah- daerah sehingga terbentuklah Pemerintahan Daerah.

Dalam menjalankan sistem pemerintahannya Indonesia menganut sistem desentralisasi yang

pada dasarnya terjadi setelah sentralisasi melalui asas dekonsentrasi tidak dapat

melaksanakan tugas pemerintahan secara baik dalam arti pemerintahan gagal dalam

mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Suatu pemerintahan yang mampu

mengakomodasikan unsur- unsur yang bersifat kedaerahan berdasarkan aspirasi masyarakat

2
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius,
Yogyakarta, 1998, h. 14
3
Ibid. h.39
daerah. Oeh karena itu, urusan pemerintahan yang merupakan kewenangan pemerintah

(pusat) sebagian harus di serahkan kepada organ Negara lain yang ada di daerah

(pemerintahan daerah), untuk diurus sebagai rumah tangganya. Proses penyerahan sebagian

urusan pemerintahan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya inilah yang

disebut desentralisasi.

Philipus M. Hadjon, mengemukakan desentralisasi sebagai berikut :

“Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan


mengurus urusan pemerintahan tidak semata- mata dilakukan oleh pemerintah
pusat, dilakukan juga oleh satuan- satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik
dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan- satuan
pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan”.4

Bagir Manan mengemukakan bahwa tujuan dari adanya desentralisasi yang diberikan

oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut. bahwa :

“Ditinjau dari sudut penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi antara lain


bertujuan untuk meringankan beban pekerjaan pusat. Dengan desentralisasi
berbagai tugas dan pekerjaan dialihkan kepada daerah. Pusat, dengan demikian
dapat lebih memusatkan perhatian pada hal- hal yang bersangkutan dengan
kepentingan nasional atau Negara secara keseluruhan. Pusat tidak perlu
mempunyai aparat sendiri didaerah kecuali dalam batas- batas yang
diperlukan. Namun demikian, tidaklah berarti dalam lingkungan desentralisasi
tidak boleh ada fungsi dekonsentrasi”5

Desentralisasi dan dekonsentrasi bukanlah suatu pilihan, tetapi sesuatu yang harus

ada (dapat dilaksanakan secara bersamaan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada suatu

Negara kesatuan). Baik desentralisasi maupun dekonsentrasi merupakan ciri suatu Negara

bangsa dan keduanya berangkat dari suatu titik awal yang sentralisasi. Antara desentralisasi

dan dekonsentrasi memiliki persamaan, namun terdapat perbedaan. Penyelenggaraan

4
Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
2001 h. 111
5
Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung : Alumni 1997 h. 62-63
dekonsentrasi dilaksanakan dalam suatu area Hukum Administrasi sehingga antara organ

pemerintah yang ada dipusat dan didaerah terdapat suatu hubungan hierarki. Dalam

hubungan yang demikian itu, tidak ada suatu penyerahan wewenang. Penyelenggaraan

pemerintahan dekonsentrasi hanya merupakan pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan

dari pusat. Hal ini berarti bahwa dekonsentrasi adalah unsur sentralisasi.

Berbeda dari dekonsentrasi, desentralisasi berangkat dari, saat mana sentralisasi tidak

mampu lagi menyesuaikan dengan kondisi suatu Negara kesatuan yang memiliki wilayah

yang luas dengan jumlah penduduk yang besar, yang terdiri dari berbagai suku, adat istiadat,

dan agama. Dengan kondisi demikian sentralisasi menghadapi tantangan berupa tuntutan-

tuntutan daerah karena pemerintahan yang sentralistis dilaksanakan berdasarkan kebijakan

pusat. Konsekuensi dari luas wilayah, keberagaman suku,adat istiadat, dan agama adalah

daerah yang memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda- beda sehingga diperlukan

suatu pemerintahan yang mampu mengakomodasikan kepentingan yang berbeda setiap

daerah. Pemerintah yang sentralistis tidak mampu secara bersamaan mengakomodasikan

berbagai kepentingan yang berbeda-beda, sehingga kepada daerah harus diberi wewenang

untuk mengurus kebutuhan dan kepentingannya itu menjadi urusan rumah tangganya.

Otonomi daerah merupakan fenomena yang sangat dibutuhkan dalam era globalisasi,

demokrasi terlebih dalam era reformasi. Bangsa dan Negara Indonesia mempunyai sumber

daya manusia yang berkualitas. Otonomi daerah merupakan bagian dari sistem politik yang

di harapkan memberikan peluang bagi warga Negara untuk mampu mengembangkan daya

kreativitasnya. Dengan demikian otonomi daerah merupakan kebutuhan pada era globalisasi

dan reformasi. Dengan terbentuknya daerah otonom dan terjadinya penyerahan wewenang

dari pemerintah pusat kepada daerah otonom , tidak berarti bahwa daerah otonom terlepas
dari pengawasan pemerintah pusat. Pemerintah pusat tetap memiliki akses untuk melakukan

pengawasan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah agar kebebasan berotonomi tidak

bergerak begitu jauh sehingga mengurangi bahkan mengancam kesatuan.

Kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif

sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk

berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian

otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat. Kebebasan yang

terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus

dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah

untuk menyelenggarakan urusan- urusannya sepanjang sanggup melakukannya dan

penekanan lebih bersifat otonomi yang luas.

Dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang menjadi dasar pelaksanaan dan

pengaturan pemerintahan di daerah seluruh wilayah Indonesia adalah pasal 18 UUD 1945,

yang antara lain menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap

provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan

undang-undang.

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun ditingkat

daerah lembaga yang berwenang dalam membentuk Undang- Undang adalah Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ditingkat pusat dan DPRD untuk ditingkat Provinsi,

Kabupaten dan Kota. Dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut,

kekuasaan dalam pembentukan peraturan daerah di Kabupaten/ Kota menjadi kewenangan


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan bersama bupati/

walikota dan di sahkan oleh bupati/ walikota.

Peraturan Daerah ( Perda) pada era otonomi daerah mempunyai posisi yang strategis,

hal ini mengingat bahwa pada dasarnya Perda memiliki fungsi kunci dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah provinsi, kabupaten/ kota dan tugas pembantuan. Secara

yuridis, peraturan daerah (Perda) adalah instrument aturan yang secara sah diberikan kepada

pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945

hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa undang- undang yang menjadi dasar hukum

penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menetapkan Perda sebagai salah satu

instrument yuridisnya,

Kedudukan dan fungsi Perda berbeda antara yang satu dan lainnya sejalan dengan

sistem ketatanegaraan yang termuat dalam Undang- Undang Dasar/ Konstitusi dan UU

Pemerintahan Daerah. Perbedaan ini juga terjadi pada penataan materi muatan yang di

sebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah daerah. Demikian juga

terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap pembentukan dan pelaksanaan

Perda pun mengalami perubahan seiring dan perubahan pola hubungan antara pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang Perda, terlebih dahulu harus mempelajari

dan menguasai aturan hukum positif tentang UU Pemerintahan Daerah, UU tentang

Perundang- Undangan, peraturan pelaksanaan yang secara khusus mengatur tentang Perda.

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD), gubernur atau bupati/ walikota, apabila dalam satu kali masa sidang gubernur atau

bupati/ walikota dan DPRD menyampaikan rancangan Perda dengan materi yang sama, maka

yang dibahas adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan
Perda oleh gubernur atau bupati/ walikota digunakan sebagai bahan persandingan. Program

Penyusunan Perda dilakukan dalam satu program legislasi daerah, sehingga diharapkan tidak

terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Perda.

Program Legislasi Daerah (Prolegda) adalah instrument perencanaan program

pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sisematis. Secara

operasional, prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan

metode dan parameter teretentu sebagai bagian integral dari sistem peraturan perundang-

undangan yang tersusun secara hierarki.

Dalam undang- undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang- Undangan, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan terdiri atas:

a. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang- Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang.

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota

Berdasarkan ketentuan yang berlaku, dapat diketahui bahwa kekuatan hukum

peraturan perundang- undangan sesuai dengan hierarkinya, sehingga peraturan yang dibawah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya.


Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Pemda 2014) yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan penting

terhadap fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun

DPRD kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi, anggaran,

dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (perda),

anggaran, dan pengawasan. Titik fokus perubahan penting itu terletak pada perubahan fungsi

legislasi menjadi fungsi pembentukan perda.

Berdasarkan pasal 149 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/ kota , mempunyai fungsi :

a. pembentukan Perda kabupaten/ kota

b. anggaran; dan

c. pengawasan

Dari observasi Penulis, diketahui bahwa Prolegda Kota Pontianak, pada tahun 2014

target 27 Prolegda tercapai 10, pada tahun 2015 target 42 tercapai 16, pada tahun 2016 ,

DPRD Kota Pontianak menargetkan 39 Prolegda dan tercapai 11 Perda sehingga 28 Perda

lainnya tidak tercapai.

Berdasarkan latar belakang permasalahan penelitian diatas, penulis ingin mengadakan

penelitian lebih lanjut dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul

:“PELAKSANAAN FUNGSI PEMBENTUKAN PERDA DPRD KOTA PONTIANAK”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan pada latar balakang masalah di atas, maka

yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :“ Mengapa DPRD Kota Pontianak

Dalam Melaksanakan Fungsi Pembentukan Perda belum sesuai dengan target yang

ingin dicapai ?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan gambaran dan uraian yang dipaparkan dalam latar belakang masalah penelitian

di atas, maka penulis merumuskan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sebagai berikut

1. Untuk mendapatkan data dan informasi tentang pelaksanaan fungsi Pembentukan

Perda DPRD Kota Pontianak berdasarkan pasal 149 Ayat (1) huruf a Undang-

Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Untuk mengungkapkan faktor apa yang menyebabkan fungsi Pembentukan Perda

belum sepenuhnya teralisasi dengan baik berdasarkan pasal 149 Ayat (1) huruf a

Undang- Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat/ kegunaan dari sisi :

1. Bersifat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi peneliti

lain yang mengadakan penelitian sejenis.

b. Memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha mengembangkan ilmu

pengetahuan dibidang hukum , khususnya mengenai fungsi Pembentukan Perda

oleh lembaga legislatif dalam menjalankan fungsinya.


2. Bersifat Praktis

a. Untuk memberi pengetahuan umum kepada masyarakat mengenai fungsi

pembentukan perda DPRD Kota Pontianank.

b. Diharapkan dapat memberikan sumbangan atau masukkan pada pihak terkait.

E. Kerangka Pemikiran

1. Tinjauan Pustaka

Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata “sistem” dan

“pemerintahan”. Menurut Kusnardi mengatakan bahwa pengertian sistem dan

pemerintahan sebagai berikut.

Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang


mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun
hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu
menimbulkan suatu ketergantungan antar bagian-bagian yang akibatnya
jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi
keseluruhannya itu.6
Pemerintahan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh
negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan
negara sendiri; jadi tidak diartikan sebagai pemerintahan yang hanya
menjalankan tugas eksekutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas
lainnya termasuk legislatif dan yudikatif, sehingga sistem pemerintahan
adalah pembagaian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga
negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara itu, dalam rangka
kepentingan rakyat.7

Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan

diseluruh dunia. Sistem parlementer lahir dan berkembang seiring dengan perjalanan

6
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. ke-5, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 171.
7
Ibid.,
ketatanegaraan Inggris. Dalam sistem parlementer hubungan antara eksekutif dan badan

perwakilan sangat erat. Hal ini disebabkan adanya pertanggung jawaban para menteri

terhadap parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk harus memperoleh dukungan

kepercayaan dengan suara terbanyak dari parlemen yang berarti, bahwa setiap

kebijaksanaan pemerintah atau kabinet tidak boleh menyimpang dari apa yang

dikehendaki oleh parlemen.

Miriam Budiardjo menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer

adalah sebagai berikut.

“badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet
sebagai bagian dari badan eksekutif yang “bertanggung jawab” diharapkan
mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang
mendukungnya, dan mati-hidupnya kabinet tergantung pada dukungan
dalam badan legislatif (asas tanggung jawab menteri)”.8

Jimly Asshiddiqie juga mengemukakan tiga variasi sistem pemerintahan, yaitu :

sistem pemerintahan presidensiil (presidential system), sistem parlementer

(parliamnetary system), dan sistem pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid

system). Jimly Asshiddiqie mengemukakan sembilan karakter pemerintahan presidensiil

sebagai berikut :

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan


eksekutif dan legislatif.
2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden
tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja.
3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya
kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan.
4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai
bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.
5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan
demikian pula sebaliknya.
6. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen .

8
Miriam Budiardjo, DasarDasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Gramedia, Jakarta, 2008, h. 297
7. Berlaku prinsip supremasi konstitusi, karena itu pemerintah eksekutif
bertanggung jawab kepada konstitusi .
8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat .
9. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat. 9

Salah satu karakter sistem pemerintahan presidensiil yang utama menurut

Saldi Isra adalah sebagai berikut.

“presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara sekaligus


kepala pemerintahan. Dalam kekuasaan eksekutif, sebagai kepala
pemerintah, Presiden memegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden
memilih dan mengangkat menteri anggota kabinet dan berperan penting
dalam pengambilan keputusan didalam kabinet, tanpa bergantung kepada
lembaga legislatif. Karakter sistem presidensiil dapat juga dilihat dari pola
hubungan antara lembaga eksekutif (presiden) dengan lembaga legislatif,
dimana adanya pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan
anggota legislatif. Sistem presidensiil membawa ciri yang kuat pada
pemisahan kekuasaan, dimana badan eksekutif dan badan legislatif bersifat
independen satu sama lain”.10

Menurut Saldi Isra mengatakan bahwa sistem pemerintahan campuran sebagai

berikut.

“Sistem pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid system) adalah


sistem pemerintahan yang berupaya mencarikan titik temu antar sistem
pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Fungsi
ganda presiden sebagaimana dalam sistem pemerintahan presidensiil tetap
dipertahankan. Namun sebagai kepala pemerintahan, presiden berbagi
kekuasaan dengan perdana menteri yang menimbulkan dual executive
system”.11

Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar suatu negara antara lain

merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan didalam perbedaan antara

fungsi- fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih

dikenal sebagai Trias Politika. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara

9
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana Ilmu, Jakarta, 2007,
h. 316.
10
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif: Menguatnya model Legislasi Parlementer Dalam Sistem
Presidensiil Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, h. 40
11
Saldi Isra, Ibid., hlm. 48
terdiri atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan

membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making function);

kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule

application function); ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas

pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).suatu negara.

Menurut Miriam Budiarjo, pengertian trias politika adalah sebagai berikut

“Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan


(function) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan
demikian hak-hak asasi warga negara lebih terjamin”.12

Menurut ajaran Trias Politica tersebut, kekuasaan negara itu harus dipisah-

pisahkan dan masing- masing dilakukan oleh organ tersendiri. Adanya pemisahan

kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar supaya kekuasaan negara itu

tidak berada pada satu organ saja, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan

penyalahgunaan kekuasaan oleh organ tersebut.

Sunny Ismail mengemukakan kekuasaan dapat dilihat dalam 2 (dua) sisi sebagai
berikut :
“dalam arti material disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan)
sedangkan yang dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (
pembagian kekuasaan )”.13
Menurut E. Utrecht dampak dari pemisahan tersebut adalah sebagai berikut.

“bahwa badan negara yang tidak ditempatkan dibawah pengawasan badan


kenegaraan lainnya, maka ketiadaan pengawasan ini mengakibatkan
terbukanya kemungkinan suatu badan kenegaraan melampaui batas
kekuasaannya. Jika dilihat dari fungsi negara pada negara hukum modern,

12
Miriam Budiardjo, opcit, h. 281-282.
13
Sunny Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Karya Nilam: Jakarta, 1963
pembagian tiga fungsi kekuasaan negara tidak dapat diterima secara
mutlak, karena badan negara juga dapat diberi lebih dari satu fungsi”.14

Menurut Hans Kelsen, menguraikan bahwa pengertian fungsi organ Negara

adalah sebagai berikut.

“Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”. Siapa


saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum
(legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu
berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas
lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ,
asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating)
dan /atau bersifat menjalankan norma (norm applaying)”15.
Menurut C.S.T Kansil cara melaksanakan kekuasaan negara adalah sebagai

berikut

“didalam melaksanakan kekuasaan Negara senantiasa mengingat kehendak


dan keinginan rakyat, jadi tidak bertentangan dengan kehendak dan
kepentingan rakyat”.16
Menurut A. Hamid S. Attamimi pemerintahan mengandung dua arti, sebagai

berikut :

“arti formal dan arti materiil. Pemerintahan dalam arti formal mengandung
kekuasaan mengatur ( Verordnungsgewalt ) dan
kekuasaan memutus ( Entscheidungsgewalt )
sedangkan pemerintahan dalam arti material berisi dua unsur memerintah
dan unsur melaksanakan ( das Element der Regierung und das der
Vollziehung )”.17

14
E.Utrech, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cet. 4, 1960, h. 17-24
15
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961, diterjemahkan oleh
Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan I, Penerbit Nusamedia dan Penerbit
Nuansa, Bandung, September 2006, h. 276-277
16
C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil Cet. 3 Ilmu Negara, Pradnya Paramita :Jakarta, 2007, h.115
17
A. Hamid S. Attamimi, Undang- Undang (Kaitan Norma Huku ketiganya), Jakarta :1981, h.182
Benyamin mengemukakan didalam pembentukan norma hukum adalah sebagai

berikut :

“norma- norma hukum publik itu dibentuk oleh lembaga- lembaga negara (
penguasa negara, wakil- wakil rakyat ) atau disebut juga supra struktur,
sehingga dalam hal ini terlihat jelas norma- norma hukum yang diciptakan oleh
lembaga- lembaga negara mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
norma hukum yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infra
struktur”.18
“Bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat ditentukan oleh Undang- Undang
Dasar 1945, maka Undang- Undang Dasar 1945 yang menentukan bagian-
bagian mana dari kedaulatan rakyat yang diserahkan pelaksanaannya kepada
badan/ lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas, dan fungsinya ditentukan
oleh Undang- Undang Dasar 1945 itu serta bagian mana yang langsung
dilaksanakan oeh rakyat, artinya tidak diserahkan kepada badan/ lembaga
manapun melainkan langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui
pemilu”.19
Soehino mengemukakan didalam pembentukan suatu undang- undang adalah

sebagai berikut.

“Undang- Undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum ( volonte


generale ) dimana dalam hal ini seluruh rakyat secara langsung mengambil
bagian dalam pembentukan aturan masyarakat tanpa perantara wakil-
wakil”.20
Menurut Theo, adapun yang dimaksud dengan rakyat adalah sebagai berikut :

“rakyat bukanlah penjumlahan individu- individu didalam negara itu,


melainkan adalah kesatuan yang dibentuk oleh individu- individu itu, dan yang
mempunyai kehendak, kehendak mana yang diperolehnya dari individu-
individu tersebut melalui perjanjian masyarakat , kehendak itu disebut
kehendak umum yang dianggap mencerminkan kemauan atau kehendak
umum.”21

18
Benyamin Akzin, Law, State and International Legal Order Essays in Honor of Kelsen, Knoxville, The
University of Tennesee Press, 1964, h. 3-5
19
Ibid.
20
Soehino, Ilmu Negara, Liberty : Yogyakarta, 1980, h. 156-160
21
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, Kanisius : Yogyakarta, 1982,h.91
Tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan

dari para warga negaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan dalam batas- batas

perundang- undangan. Dalam hal ini, pembentukan perundang- undangan adalah menjadi

hak rakyat sendiri untuk membentuknya, sehingga undang- undang itu merupakan

penjelmaan dari kemauan atau kehendak rakyat.

Menurut Philipus M. Hadjon, makna kedudukan dari suatu lembaga Negara dapat

dilihat dari dua sisi, yaitu

“pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi yaitu posisi lembaga


Negara dibandingkan dengan lembaga Negara lainnya. Kedua, kedudukan
lembaga Negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi
utamanya.22

2. Kerangka Konsep

Pemerintah dan Pemerintahan memiliki pengertian yang berbeda. Pemerintah

berarti organ, badan, atau lembaga, alat perlengkaan Negara yang menjalankan berbagai

kegiatan untuk mencapai tujuan Negara. Sedangkan pemerintahan adalah segala kegiatan

yang terorganisisr yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada

dasar Negara itu demi terwujudnya tujuan Negara. Pengertian Pemerintahan Daerah

menurut Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah memberikan pengertian bahwa “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas- luasnya

22
Philipus M.Hadjon, Lembaga Tertinggi dan lembaga- lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Bina
Ilmu : Surabaya, 1992
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana di maksud

dalam Undang- Undang Dasar 1945.

Sehingga pemerintahan diartikan sebagai hal baik berupa perbuatan, urusan,

kegiatan dan sebagainya yang memerintah atau pemerintahan merupakan suatu perbuatan

memerintah yang tidak terlepas dari sebuah sistem, karena sistem dan pemerintahan akan

selalu berjalan beriringan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Pengertian Pemerintah Daerah menurut pasal 1 angka 3 adalah kepala daerah

sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat

daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyeelenggaraan pemerintahan daerah. Urusan

Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang

pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian Negara dan Penyelenggara Pemerintahan

Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat.

Dalam pasal 1 angka 6 Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam penyerahan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah

otonom berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Asas

desentralisasi berdasarkan pasal 1 angka 8 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014

adalah penyerahan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom

berdasarkan asas otonomi. Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai


wakil Pemerintah Pusat, kepada Instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/ atau kepada

gubernur dan bupati/ waliKota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.

Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada

daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah Provinsi kepada Daerah

Kabupaten/ Kota untuk melaksanakan sebagian urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah Provinsi.

Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota adalah peraturan yang dibentuk oleh Bupati

atau waliKota bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota,

dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten/ Kota, yaitu Bupati atau WaliKota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/ Kota.

F. Hipotesis

Dari uraian masalah yang sudah dipaparkan oleh penulis di atas, maka hipotesis

sebagai jawaban sementara atas masalah penelitian yang masih perlu dibuktikan

kebenarannya dalam penelitian skripsi ini yaitu: “Bahwa DPRD Kota Pontianak Dalam

Melaksanakan Fungsi Pembentukan Perda, belum sepenuhnya Terealisasi dengan

baik ”.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian hukum empiris, yaitu

dengan mengungkapkan data dari hasil penelitian di lapangan dengan menganalisis data

yang diperoleh pada saat melakukan penelitian.


2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan deskriptif analitis,

yaitu menggambarkan keadaan dari objek penelitian, kemudian menganalisis data dan

fakta yang didapatkan. analitis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif

terhadap data primer dan data sekunder. Menurut Zainudin Ali :

“Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan
yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum
yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi
objek kajian”23

3. Bentuk Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian yang berupa:

a. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan, yaitu penelitian langsung pada sumber

data yang ada hubungan dengan masalah yang diteliti penulis.

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Merupakan suatu penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan berpegang pada

tinjauan literatur, tulisan atau pendapat sarjana, Undang-Undang serta Peraturan

hukum yang ada.

4. Sumber Data

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui

wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang

kemudian di olah oleh peneliti.

23
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,2014, h. 107
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-

buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk

laporan, skripsi, tesis, desertasi, dan peraturan perundang-undangan.

5. Teknik Dan Alat Pengumpul Data

Teknik Komunikasi Langsung, Dalam teknik komunikasi langsung, penulis

menggunakan metode wawancara (Interview),yaitu dengan cara mewawancarai dan

melakukan kegiatan tanya jawab secara langsung dengan responden. Dalam kegiatan

ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan

dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban

yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden.

6. Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan analisis kualitatif, yaitu analisis data

yang dilakukan dalam suatu penelitian yang sifatnya eksploratif dan deskriptif dan

pengumpulan data didapat melalui pedoman wawancara dan observasi.

6. Populasi Dan Sampel

a. Populasi

Dalam menyelesaikan suatu penelitian,seorang peneliti akan selalu berhadapan

dengan populasi dan sampel.

Menurut Ronny Hanitijo Soemitro :

:“Populasi atau univers adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau
seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan di teliti.”24

24
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalamania Indonesia, Jakarta, 1999,h. 144.
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah

1. Badan Pembentukan Perda;

2. Setda Bagian Hukum Pemkot Pontianak;

3. Masyarakat.

b. Sampel

Sampel adalah merupakan bagian dari populasi yang menjadi sumber data yang ada

dalam penelitian ini. Besar sampel yang hendak diambil dalam penelitian yang

dilakukan penulis, penulis menggunakan seluruh populasi untuk dijadikan objek

penelitian dengan menggunakan sampel total.

Menurut pendapat Rony Hanitijo Soemitro, yang menyatakan sebagai berikut :

“Pada Prinspinya tidak ada peraturan yang ketat untuk secara mutlak
menentukan berapa persen sampel tersebut harus diambil dari populasinya,
namun pada umumnya orang berpendapat bahwa sampel yang berlebihan itu
adalah lebih baik daripada kekurangan sampel ( over sampling is Always
Better That Under Sampling ). Biasanya orang menentukan besar kecilnya
sampel itu atas pertimbangan- pertimbangan yang praktis saja, misanya
mengenai faktor pembimbing atau sponsor, besar biaya pengeluaran,
kesempatan dan limit waktu yang diberikan, kemampuan fisik serta
kemampuan intelektual diri peneliti sendiri serta fenomena social yang akan
digarap dan lain- lain .”25

Berdasarkan pendapat tersebut, maka penulis dapat menentukan jumlah sampel

dalam penelitian penulis adalah sebagai berikut:

1. Badan Pembentukan Perda;

2. Setda Bagian Hukum Pemkot Pontianak;

3. 5 orang Masyarakat

25
Roni Hanitijo Soemitro, ibid, h. 17.

Anda mungkin juga menyukai