Anda di halaman 1dari 24

Health Education

Abortus

Oleh:
Virginia Kaligis
16014101121

Supervisor Pembimbing:
dr. Maya E. Mewengkang, SpOG

ResidenPembimbing
dr. Marsellus Panggono

PERIODE KKM:
03 April – 11 Juni 2017

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

Abortus merupakan salah satu permasalahan di bagian reproduksi di


Indonesia karena abortus menjadi faktor penyebab terjadinya perdarahan dan
kematian maternal.1 Kematian maternal yang disebabkan oleh abortus merupakan
akibat komplikasi yang ditimbulkannya, yaitu perdarahan, perforasi, infeksi, dan
syok.2

Berdasarkan data dari 49 tempat yang dilaporkan ke CDC, terdapat


699.202 kasus aborsi pada tahun 2012. Tingkat aborsi pada tahun 2012 sebanyak
13,2 kasus per 1.000 wanita usia 15-44 tahun dengan rasio 210 kasus aborsi per
1.000 kelahiran.Pada tahun 2012, kasus aborsi paling banyak ditemukan pada
wanita berusia 20an. Pada usia kehamilan ≤ 13 minggu terdapat 91,4% kasus
aborsi, usia kehamilan 14-20 minggu terdapat 7,2% kasus aborsi, dan usia
kehamilan ≥ 21 minggu terdapat 1,3% kasus aborsi. Kasus aborsi atas indikasi
medis pada tahun 2012 sebanyak 20,8% dari seluruh kasus aborsi.3

Dalam laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2010 disebutkan bahwa


presentase abortus dalam periode lima tahun terakhir adalah sebesar 4% pada
perempuan pernah menikah usia 10-59 tahun. Dilihat per provinsi, angka ini
bervariasi mulai terendah 2,4% yang terdapat di Bengkulu sampai dengan yang
tertinggi sebesar 6,9% di Papua Barat. Terdapat 4 povinsi yang memiliki angka
kejadian lebih rendah dari 6% dengan urutan teratas yaitu Papua Barat,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan masing-masing 6,3%, serta Sulawesi
Selatan sebesar 6,1% .4,5

Tingginya angka kejadian abortus di Indonesia membuat penulis tertarik


untuk membuat makalah health education mengenai abortus incomplete dengan
harapan dapat memberikan informasi mengenai pengertian, faktor risiko,
komplikasi, dan penanganan abortus kepada masyarakat awam.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Abortus
Menurut Dorland, abortus adalah janin yang dikeluarkan dengan
berat kurang dari 500 gram atau memiliki usia gestasional kurang dari 20
minggu pada waktu dikeluarkan dari uterus sehingga tidak memiliki angka
harapan untuk hidup.6
Sedangkan menurut Prawirohardjo, abortus adalah ancaman atau
pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.
Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram.2

2. Epidemiologi

Angka kejadian abortus sulit ditentukan karena abortus provokasi


banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi.
Abortus spontan dan tidak jelas usia kehamilannya, hanya sedikit
memberikan gejala atau tanda sehingga biasanya ibu tidak melapor atau
berobat.2

Di Indonesia, dalam laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas)


2010 disebutkan bahwa presentase abortus dalam periode lima tahun
terakhir adalah sebesar 4% pada perempuan pernah menikah usia 10-59
tahun. Dilihat per provinsi, angka ini bervariasi mulai terendah 2,4% yang
terdapat di Bengkulu sampai dengan yang tertinggi sebesar 6,9% di Papua
Barat. Terdapat 4 povinsi yang memiliki angka kejadian lebih rendah dari
6% dengan urutan teratas yaitu Papua Barat, Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Selatan masing-masing 6,3%, serta Sulawesi Selatan sebesar
6,1% .4,5
3. Klasifikasi

Menurut terjadinya, Prawirohardjo membagi abortus menjadi tiga


jenis, yaitu:

a. Abortus provokatus didefinisikan sebagai prosedur untuk mengakhiri


kehamilan yang tidak diinginkan baik oleh orang-orang yang tidak
memiliki keterampilan yang diperlukan atau dalam lingkungan yang
tidak memenuhi standar medis minimal atau keduanya.7
b. Abortus terapeutik adalah abortus buatan yang dilakukan atas indikasi
medik. Pertimbangan demi menyelamatkan nyawa ibu dilakukan oleh
minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis Kebidanan dan Kandungan,
spesialis Penyakit Dalam, dan spesialis Jiwa. Bila perlu dapat
ditambah pertimbangan oleh tokoh agama terkait.2
c. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa
adanya tindakan apa pun. Berdasarkan gambaran kliniknya, dibagi
menjadi berikut:
1) Abortus Imminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya
abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih
tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan.2
2) Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks
telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil
konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran.2
3) Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.2
4) Abortus Inkompletus
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih
ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram.2
5) Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal
dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu namun
keseluruhan hasil konsepsi itu tertahan dalam uterus selama 6
minggu atau lebih.
6) Abortus Habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi tiga kali
atau lebih berturut-turut. Penderita abortus habitualis pada
umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi
kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-
turut. Abortus habitualis disebabkan oleh adanya kelainan yang
menetap yang paling mungkin adalah kelainan genetik, kelainan
anatomis saluran reproduksi, kelainan hormonal, infeksi, kelainan
faktor imunologis atau penyakit sistemik.2
7) Abortus Infeksiosus, Abortus Septik
Abortus infesiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat
genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran
infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septikemia
atau peritonitis). Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi
tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan
kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis.2
8) Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)
Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi dimana
mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi
tetap terbentuk. Di samping mudigah, kantong kuning telur juga
tidak ikut terbentuk. Kelainan ini merupakan suatu kelainan
kehamilan yang baru terdeteksi setelah berkembangnya
ultrasonografi.2
4. Faktor Risiko
a. Usia
Berdasarkan teori S. Prawirahardjo, pada kehamilan usia muda
keadaan ibu masih labil dan belum siap mental untuk menerima
kehamilannya. Akibatnya, selain tidak ada persiapan, kehamilannya
tidak dipelihara dengan baik. Kondisi ini menyebabkan ibu menjadi
stres dan akan meningkatkan risiko terjadinya abortus.8
Kejadian abortus berdasarkan usia 42,9% terjadi pada kelompok
usia di atas 35 tahun, kemudian diikuti kelompok usia 30 sampai
dengan 34 tahun dan antara 25 sampai dengan 29 tahun. Hal ini
disebabkan usia diatas 35 tahun secara medik merupakan usia yang
rawan untuk kehamilan. Selain itu, ibu cenderung memberi perhatian
yang kurang terhadap kehamilannya dikarenakan sudah mengalami
kehamilan lebih dari sekali dan tidak bermasalah pada kehamilan
sebelumnya.5
Menurut Kenneth J. Leveno et al, pada usia 35 tahun atau lebih,
kesehatan ibu sudah menurun. Akibatnya, ibu hamil pada usia itu
mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai anak
prematur, persalinan lama, perdarahan, dan abortus. Abortus spontan
yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12% pada wanita berusia
kurang dari 20 tahun dan menjadi 26% pada wanita berusia lebih dari
40 tahun.9
b. Paritas

Pada kehamilan rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu
sering melahirkan, rahim akan semakin lemah. Bila ibu telah
melahirkan 4 anak atau lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan
pada waktu kehamilan, persalinan, dan nifas. Risiko abortus spontan
meningkat seiring dengan paritas ibu.9

c. Riwayat Abortus Sebelumnya

Menurut Prawirohardjo, riwayat abortus pada penderita abortus


merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya
sekitar 3-5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah
satu kali abortus pasangan punya risiko 15% untuk mengalami
keguguran lagi, sedangkan bila pernah dua kali, risikonya akan
meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus
setelah tiga kali abortus berurutan adalah 30-45%. Menurut Suryadi,
penderita dengan riwayat abortus satu kali dan dua kali menunjukkan
adanya pertumbuhan janin yang terhambat pada kehamilan berikutnya
melahirkan bayi prematur. Sedangkan dengan riwayat abortus tiga kali
atau lebih, ternyata terjadinya pertumbuhan janin yang terhambat,
prematuritas.2

d. Jarak Kehamilan

Bila jarak kelahiran dengan anak sebelumnya kuran dari dua tahun,
rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Kehamilan dalam
keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan pertumbuhan
janin kurang baik, mengalami persalinan yang lama, atau perdarahan
(abortus). Insiden abortus meningkat pada wanita yang hamil dalam
tiga bulan setelah melahirkan aterm.9

e. Sosial Ekonomi (Pendapatan)

Sosial ekonomi masyarakat yang sering dinyatakan dengan


pendapatan keluarga, mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi
ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan
kesehatan dan pemenuhan zat gizi. Hal ini pada akhirnya berpengaruh
pada kondisi saat kehamilan yang berisiko pada kejadian abortus.
Selain itu, pendapatan juga mempengaruhi kemampuan dalam
mengakses pelayanan kesehatan, sehingga adanya kemungkinan risiko
terjadinya abortus dapat terdeteksi.

f. Pendidikan
Martadisoebrata dalam Wahyuni, menyatakan bahwa pendidikan
sangat dibutuhkan manusia untuk pengembangan diri dan
meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kematangan
intelektual akan berpengaruh pada wawasan dan cara berfikir baik
dalam tindakan dan pengambilan keputusan maupun dalam membuat
kebijaksanaan dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Pendidikan
yang rendah membuat seseorang acuh tak acuh terhadap program
kesehatan sehingga mereka tidak mengenal bahaya yang mungkin
terjadi, meskipun sarana kesehatan telah tersedia namun belum tentu
mereka mau menggunakannya.10
g. Penyakit Infeksi
Riwayat penyakit ibu seperti pneumoni, typhus abdominalis,
pielonefritis, malaria dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Begitu
pula dengan penyakit-penyakit infeksi lain juga memperbesar peluang
terjadinya abortus. Selain itu kemungkingan penyebab terjadinya
abortus adalah infeksi pada alat genitalia. Tapi bisa juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain. Infeksi vagina pada kehamilan sangat
berhubungan dengan terjadinya abortus atau partus sebelum waktunya.
Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit
sistemik maternal (systemic lupus erythematosus) dan sistemik
maternal tertentu lainnya.11
h. Alkohol

Alkohol dinyatakan meningkatkan risiko abortus spontan,


meskipun hanya digunakan dalam jumlah sedang.9

i. Merokok
Wanita yang merokok diketahui lebih sering mengalami abortus
spontan daripada wanita yang tidak merokok. Kemungkinan bahwa
risiko abortus spontan pada perokok, disebabkan wanita tersebut juga
minum alkohol saat hamil.9
Baba dkk, menyatakan bahwa kebiasaan gaya hidup termasuk
status merokok pada ibu dan suaminya berpengaruh terhadap kejadian
abortus. Merokok 1-19 batang perhari dan ≥ 20 batang perhari
memiliki efek pada ibu mengalami abortus spontan yang lebih awal.12
5. Etiologi
Penyebab abortus merupakan gabungan dari beberapa faktor.
Umumnya abortus didahului oleh kematian janin. Menurut Sastrawinata,
dkk, penyebab abortus antara lain:
a. Faktor Janin

Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah


gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin, atau plasenta. Kelainan
tersebut biasanya menyebabkan abortus pada trimester pertama, yakni:

1) Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan


embrio, atau kelainan kromosom (monosomi, trisomi, atau
poliploidi)
2) Embrio dengan kelainan lokal.
3) Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas).13
b. Faktor Maternal
1) Infeksi
Infeksi maternal dapat membawa risiko bagi janin yang
sedang berkembang, terutama pada akhir trimester pertama atau
awal trimester kedua. Tidak diketahui penyebab kematian janin
secara pasti, apakah janin yang terinfeksi ataukah toksin yang
dihasilkan oleh mikroorganisme penyebabnya.
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan abortus:
- Virus, misalnya rubella, sitomegalovirus, virus herpes
simpleks, varicella zoster, vaccinia, campak, hepatitis,
polio, dan ensefalomielitis.
- Bakteri, misalnya Salmonella typhii.
- Parasit, misalnya Toxoplasma gondii, Plasmodium.
2) Penyakit vaskular, misalnya hipertensi vaskular.
3) Kelainan endokrin
Abortus spontan dapat terjadi bila produksi progesteron tidak
mencukupi atau pada penyakit disfungsi tiroid; defisiensi insulin.
4) Faktor imunologis
Ketidakcocokan (inkompatibilitas) system HLA (Human
Leukocyte Antigen)
5) Trauma
Kasusnya jarang terjadi, umumnya abortus terjadi segera
setelah trauma tersebut, misalnya akibat trauma pembedahan.
Pengangkatan ovarium yang mengandung korpus luteum
gravidarum sebelum minggu ke-8.
Pembedahan intraabdominal dan operasi pada uterus pada
saat hamil.
6) Kelainan uterus
Hipoplasia uterus, mioma (terutama mioma submukosa), serviks
inkompeten atau retroflexio uteri gravidi incarcerata.
7) Faktor psikosomatik.13
c. Faktor Eksternal
1) Radiasi
Dosis 1-10 rad bagi janin pada kehamilan 9 minggu pertama dapat
merusak janin dan dosis yang lebih dapat menyebabkan keguguran.
2) Obat-Obatan
Antagonis asam folat, antikoagulan, dan lain-lain.
Sebaiknya tidak menggunakan obat-obatan sebelum kehamilan 16
minggu, kecuali telah dibuktikan bahwa obat tersebut tidak
membahayakan janin, atau untuk pengobatan penyakit ibu yang
parah.
3) Bahan-bahan kimia lainnya, seperti bahan yang mengandung arsen
dan benzen.13

6. Gejala Klinis
a. Abortus Iminens

Abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan


pervaginam pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita
mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali
perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya uterus
masih sesuai dengan usia kehamilan dan tes kehamilan urin masih
positif.

Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan


janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi
pelepasan atau belum.2

b. Abortus Insipiens
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan
kuat, perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks
uterus dan usia kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan usia
kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan
USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan usia
kehamilan, gerak janin dan gerak jantung masih jelas walau mungkin
sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus
atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta
dari dinding uterus.2
c. Abortus Kompletus

Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah


menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar
uterus tidak sesuai dengan usia kehamilan. Pemeriksaan USG tidak
perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pada
pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10 hari setelah
abortus. Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus
ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik
bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.2

d. Abortus Inkompletus
Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus
dimana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan
teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri
eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa
banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang
menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga
perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia
atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan.2
e. Missed Abortion
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa
pun kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang
diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu
penderita justru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-
tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang.
Kadangkala missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang
kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada
pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu
dari terhentinya pertumbuhan kehamilan.Pada pemeriksaan USG akan
didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan
bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada
tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4
minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan
penjedalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu
diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.2
f. Abortus Infeksiosus, Abortus Septik
Gejala dan tanda pasien dengan abortus infeskiosus adalah panas
tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang
berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada
laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai
terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi,
menggigil, dan tekanan darah menurun.2
g. Blighted Ovum
Pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak
berkembang atau pada diameter 2,5 cm yang tidak disertai adanya
gambaran mudigah. Untuk itu, bila pada saat USG pertama kita
mendapatkan gambaran seperti ini perlu dilakukan evaluasi USG 2
minggu kemudian. Bila tetap tidak dijumpai struktur mudigah atau
kantung kuning telur dan diameter kantong gestasi sudah mencapai 25
mm maka dapat dinyatakan sebagai kehamilan anembrionik.2

7. Diagnosis
a. Klinis
Dapatkan anamnesis lengkap dan lakukan pemeriksaan fisik umum
(termasuk panggul) pada setiap pasien untuk menentukan
kemungkinan diperlukannya pemeriksaan laboratorium tertentu atau
pemeriksaan lainnya untuk mendeteksi adanya penyakit atau status
defisiensi.
Secara klasik, gejala-gejala abortus adalah kontraksi uterus
(dengan atau tanpa nyeri suprapubik) dan perdarahan vagina pada
kehamilan dengan janin yang belum viabel.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada banyak kasus, pemeriksaan serum untuk kehamilan sangat
berguna. Pemeriksaan laboratorium paling sedikit harus meliputi
biakan dan uji kepekaan mukosa serviks atau darah (untuk
mengidentifikasi patogen pada infeksi) dan pemeriksaan darah
lengkap. Pada beberapa kasus, penentuan kadar progesteron
berguna untuk mendeteksi kegagalan korpus luteum. Jika terdapat
perdarahan, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah dan
pencocokan silang serta panel koagulasi. Analisis genetik bahan
abortus dapat menentukan adanya kelainan kromosom sebagai
etiologi abortus.11

8. Diagnosis Banding
Kehamilan ektopik dibedakan dari abortus spontan dengan adanya tanda
dan gejala berupa nyeri pelvis unilateral atau nyeri pada massa adneksa.
Dismenorea membranosa mungkin sangat mirip dengan abortus spontan,
tetapi tidak ada desidua dan vili pada silinder endometrium dan uji
kehamilan (bahkan dena RIA) negatif. Hiperestrogenisme dapat
menyebabkan endometrium berproliferasi hebat dengan gejala kram dan
perdarahan. Molahidatidosa biasanya berakhir dengan abortus (<5 bulan)
tetapi ditandai dengan kadar hCG yang sangat tinggi dan tidak adanya
janin. Mioma pedunkulata atau neoplasma serviks juga dapat dikacaukan
dengan abortus spontan.11

9. Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi,
infeksi, dan syok.
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa
hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian
karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan
pada waktunya.
b. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu
diamati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan
laparatomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi
dikerjakanlah penjahitan luka perforasi atau histerektomi. Perforasi
uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan
persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas; mungkin pula
terjadi perlukaan pada kandung kemih dan usus. Dengan adanya
dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera
dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan
apakah ada perlukaan pada alat-alat lain, untuk selanjutnya mengambil
tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi keadaan.
c. Infeksi
d. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik)
dan karena infeksi berat (syok endoseptik).2
10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abortus berupa:
a. Memperbaiki keadaan umum. Bila perdarahan banyak, berikan
transfusi darah dan cairan yang cukup.
b. Pemberian antibiotika yang cukup tepat yaitu suntikan penisilan 1 juta
satuan tiap 6 jam , suntikan streptomisin 500 mg setiap 12 jam atau
antibiotika spektrum luas lainnya.
c. 24 sampai 48 jam setelah dilindungi dengan antibiotika atau lebih
cepat bila terjadi perdarahan yang banyak, lakukan dilatasi dan
kuretase untuk mengeluarkan hasil konsepsi.
d. Pemberian infus dan antibiotika diteruskan menurut kebutuhan dan
kemajuan penderita.

Secara khusus penatalaksanaan abortus dapat dibedakan berdasarkan jenis-


jenis abortus.

a. Penatalaksanaan abortus insipien, inkompletus, dan kompletus14


1) Pasang infus  cairan pengganti
2) Transfusi darah
3) Persiapan kuretase
- Mempercepat pengambilan jaringan hasil konsepsi
- Mempercepat berhentinya perdarahan
- Mengurangi infeksi
4) Tambahan Terapi
- Antibiotika
- Uterotonika
- Terapi suportif
b. Penatalaksanaan abortus imminen14
1) Bed rest
2) Tokolitik
3) Plasetogenik hormonal
4) ANC sampai hamil aterm
c. Penatalaksanaan Missed abortion14
Penatalaksanaan berupa terminasi kehamilan karena menjadi benda
asing intra uterus. Hasil konsepsi yang intra uterus dapat
menimbulkan bahaya karena menjadi sumber infeksi dan perdarahan.
d. Penatalaksanaan Abortus Habitualis14
Hentikan merokok dan minum alkohol. Pada serviks inkompeten
terapinya adalah operasi dengan cara cervical cerclage.
e. Penatalaksanaan Abortus Septik14
1) Menjaga keseimbangan cairan tubuh
2) Pemberian antibiotik yang adekuat sesuai dengan hasil kultur
kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang
keluar pervaginam.
Tahap pertama diberikan Penisilin 4 x 1,2 juta unit atau Ampisilin
4 x 1 gram, Gentamisin 2 x 80 mg, dan Metronidazol 2 x 1 gram.
Selanjutnya antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur.
3) Tindakan kuretase dilaksanakan apabila keadaan tubuh membaik
minimal 6 jam setelah pemberian antibiotik yang adekuat.

11. Pencegahan
a. Vitamin, diduga mengonsumsi vitamin sebelum atau selama awal
kehamilan dapat mengurangi risiko keguguran, namun dari 28
percobaan yang dilakukan ternyata hal tersebut tidak terbukti.15
b. Antenatal Care (ANC), disebut juga prenatal care, merupakan
intervensi lengkap pada wanita hamil yang bertujuan untuk mencegah
atau mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mengancam
kesehatan fetus/bayi baru lahir dan/atau ibu, dan membantu wanita
dalam menghadapi kehamilan dan kelahiran sebagai pengalaman yang
menyenangkan. Penelitian observasional menunjukkan bahwa ANC
mencegah masalah kesehatan pada ibu dan bayi. Pada suatu penelitian
menunjukkan, kurangnya kunjungan rutin ibu hamil dengan risiko
rendah tidak meningkatkan risiko komplikasi kehamilan namun hanya
menurunkan kepuasan pasien. Perdarahan pada kehamilan disebabkan
oleh banyak faktor yang dapat diidentifikasi dari riwayat kehamilan
terdahulu melalui konseling dan anamnesis. Pada penelitian Herbst,
dkk, ibu hamil yang tidak melakukan ANC memiliki risiko dua kali
lipat untuk mengalami risiko kehamilan prematur.15
c. Status gizi. Edukasi mengenai status gizi sangat penting bagi ibu
hamil, karena status gizi sangat berperan dalam terjadinya abortus. Ibu
hamil dengan gizi buruk berisiko tinggi dalam terjadinya abortus,
begitu pula dengan ibu hamil yang memiliki status gizi obes.
d. Sex education, berperan penting dalam mencegah abortus provokatus.
Pendidikan seksual yang tepat kepada para remaja usia reproduktif
dapat mencegah para remaja dalam perilaku sex bebas di luar nikah
yang dapat menyebabkan terjadinya kehamilan di luar nikah.
Kehamilan di luar nikah sering kali merupakan kehamilan yang tidak
diinginkan yang dapat berujung pada abortus provokatus. Abortus
provokatus sendiri dapat memberikan berbagai komplikasi seperti
perdarahan, infeksi, sepsis, perforasi, peritonitis, bahkan kematian.
e. Jangan merokok dan minum alkohol selama hamil karena dapat
menyebabkan terjadinya abortus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Silitonga NR, Lubis RM, Asfriyati. Hubungan pengetahuan dan sikap


dengan tindakan perawatan kehamilan pada ibu hamil yang mengalami
abortus spontan di klinik bidan Nerli Desa Sampe Raya Kecamatan
Bahorok Kabupaten Langkat tahun 2013. Jurnal Gizi, Kesehatan
Reproduksi, dan Epidemiologi. 2013; 2 (6): 1-10.
2. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi IV.
Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Abortion. 2016
[diakses 4 November 2016]. Tersedia di:
http://www.cdc.gov/reproductivehealth/data_stats/
4. Riset Dasar Kesehatan 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI tahun 2010; 2010 Dec. Hal.431.
5. Setia Pranata, FX Sri Sadewo. Kejadian keguguran, kehamilan tidak
direncakan dan pengguguran di Indonesia. Bulletin of Health System
Research. 2012; 15(2): 3.
6. Dorland WA. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi 28. Jakarta: EGC.
2012.
7. Unsafe Abortion: Global and regional estimates of the incidence of unsafe
abortion and associated mortality in 2008. World Health Organization;
2011.
8. Mariani. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian abortus
inkomplet di ruang kebidanan Rumah Sakit Umum Daerah DR. Zainoel
Abidin Banda Aceh tahun 2012. Kebidanan STIKes U’Budiyah Banda
Aceh. 2012.
9. Leveno KJ, Cunningham FG, Gant NF, dkk. Obstetri Williams: Panduan
ringkas. Edisi 21. Jakarta: EGC; 2009.
10. Wahyuni H. Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
abortus di wilayah Puskesmas Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya
Kalimantan Barat tahun 2011. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakan
Universitas Indonesia. 2012.
11. Mochtar R. Sinopsis Obstetri. Jilid II. Edisi II. Jakarta: EGC, 1998.
12. Baba S, Noda H, Nakayama M, dkk. Risk factor of early spontaneous
abortion among Japanese: a Matched Case-Control Study, Human
Reproduction. 2010; 26(2): 466-72.
13. Sastrawinata S, Martaadioebrata D, Wirakusumah FF. Ilmu kesehatan
reproduksi: Obstetri patologis. Edisi 2. Handini S, Sari LA, editor.
Jakarta: EGC. 2005.
14. Manuaba. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan KB. Jakarta: EGC.
2010.
15. Sucipto NI. Abortus Imminens: Upaya pencegahan, pemeriksaan, dan
penatalaksanaan. CDK-206. 2013; 40: 492-6.

Anda mungkin juga menyukai