Anda di halaman 1dari 41

Klasifikasi Kemampuan Lahan

https://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-
konsep-konsep-dasar/klasifikasi-kemampuan-
lahan/

Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi lahan yang dilakukan dengan metode faktor
penghambat. Dengan metode ini setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan dari yang
terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamanya sampai yang
terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas; penghambat yang terkecil untukkelas
yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin rendah kelasnya.

Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak dipakai di Indonesia dikemukakan oleh
Hockensmith dan Steele (1943). Menurut sistem ini lahan dikelompokan dalam tiga kategori
umum yaitu Kelas, Subkelas dan Satuan Kemampuan (capability units) atau Satuan
pengelompokan (management unit). Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas
faktor penghambat. Jadi kelas kemampuan adalah kelompok unit lahan yang memiliki tingkat
pembatas atau penghambat (degree of limitation) yang sama jika digunakan untuk pertanian yang
umum (Sys et al., 1991). Tanah dikelompokan dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf
Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari
Kelas I sampai kelas VIII, seperti pada Gambar 1.
Tanah pada kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai
untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman
semusim dan setahun), rumput untuk pakan ternak, padang rumput atau hutan. Tanah pada Kelas
V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohonan atau vegetasi alami. Dalam
beberap hal tanah Kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis
tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran
bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam
lahan Kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami.

Untuk menerapkan dan menggunakan sistem klasifikasi ini secara benar setidaknya terdapat 14
asumsi yang perlu dimengerti.

Kelas Kemampuan Lahan


Kelas Kemampuan I

Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya.


Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai dari tanaman semusim (dan
tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumputm hutan produksi, dan cagar
alam. Tanah-tanah dalam kelas kemampuan I mempunyai salah satu atau kombinasi sifat dan
kualitas sebagai berikut: (1) terletak pada topografi datar (kemiringan lereng < 3%), (2) kepekaan
erosi sangat rendah sampai rendah, (3) tidak mengalami erosi, (4) mempunyai kedalaman efektif
yang dalam, (5) umumnya berdrainase baik, (6) mudah diolah, (7) kapasitas menahan air baik, (8)
subur atau responsif terhadap pemupukan, (9) tidak terancam banjir, (10) di bawah iklim setempat
yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.

Kelas Kemampuan II

Tanah-tanah dalam lahan kelas kemampuan II memiliki beberapa hambatan atau ancaman
kerusakan yang mengurangi pilihan penggunaannya atau mengakibatkannya memerlukan tindakan
konservasi yang sedang. Lahan kelas II memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di
dalamnya tindakan-tindakan konservasi untuk mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan
air dan udara jika tanah diusahakan untuk pertanian tanaman semusim. Hambatan pada lahan kelas
II sedikit, dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk
penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi dan
cagar alam.

Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor
berikut: (1) lereng yang landai atau berombak (>3 % – 8 %), (2) kepekaan erosi atau tingkat erosi
sedang, (3) kedalaman efetif sedang (4) struktur tanah dan daya olah kurang baik, (5) salinitas
sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar
kemungkinabn timbul kembali, (6) kadang-kadang terkena banjir yang merusak, (7) kelebihan air
dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai pembatas yang sedang
tingkatannya, atau (8) keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman atau pengelolannya.

Kelas Kemampuan III

Tanah-tanah dalam kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan pengunaan
atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Tanah-tanah dalam lahan kelas III
mempunyai pembatas yang lebih berat dari tanah-tanah kelas II dan jika digunakan bagi tanaman
yang memerlukan pengolahan tanah, tindakan konservasi yang diperlukan biasanya lebih sulit
diterapkan dan dipelihara. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman
yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan
lindung dan suaka marga satwa.

Hambatan yang terdapat pada tanah dalam lahan kelas III membatasi lama penggunaannya bagi
tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi pembatas-pembatas
tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu atau beberapa
hal berikut: (1) lereng yang agak miring atau bergelombang (>8 – 15%), (2) kepekaan erosi agak
tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, (3) selama satu bulan setiap tahun dilanda
banjir selama waktu lebih dari 24 jam, (4) lapisan bawah tanah yang permeabilitasnya agak cepat,
(5) kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapuh
(fragipan) atau lapisan liat padat (claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air,
(6) terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, (7) kapasitas menahan air rendah,
(8) salinitas atau kandungan natrium sedang, (9) kerikil dan batuan di permukaan sedang, atau (1)
hambatan iklim yang agak besar.

Kelas kemampuan IV

Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada
tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika digunakan untuk
tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi yang lebih
sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegatasi dan dam penghambat,
disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah
di dalam kelas IV dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian dan pada
umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang penggembalaan, hutan lindung dan cagar
alam.

Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu atau
kombinasi faktor-faktor berikut: (1) lereng yang miring atau berbukit (> 15% – 30%), (2) kepekaan
erosi yang sangat tinggi, (3) pengaruh bekas erosi yang agak berat yang telah terjadi, (4) tanahnya
dangkal, (5) kapasitas menahan air yang rendah, (6) selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun
dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, (7) kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan
atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase (drainase buruk), (8) terdapat banyak kerikil
atau batuan di permukaan tanah, (9) salinitas atau kandungan Natrium yang tinggi (pengaruhnya
hebat), dan/atau (1) keadaan iklim yang kurang menguntungkan.

Kelas Kemampuan V

Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain
yang tidak praktis untuk dihilanghkan yang membatasi pilihan pengunaannya sehingga hanya
sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan
cagar alam. Tanah-tanah di dalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam
penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-
tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu
(lebih dari 90 % permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan) atau iklim yang kurang sesuai, atau
mempunyai kombinasi hambatan tersebut.

Contoh tanah kelas V adalah: (1) tanah-tanah yang sering dilanda banjir sehingga sulit digunakan
untuk penanaman tanaman semusim secara normal, (2) tanah-tanah datar yang berada di bawah
iklim yang tidak memungknlah produksi tanaman secara normal, (3) tanah datar atau hampir datar
yang > 90% permukaannya tertutup batuan atau kerikil, dan atau (4) tanah-tanah yang tergenang
yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi dapat ditumbuhi rumput atau pohon-
pohonan.

Kelas Kemampuan VI
Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-
tanah ini tidak sesuai untuk pengunaan pertanian. Penggunaannya terbatas untuk tanaman rumput
atau padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, atau cagar alam. Tanah-tanah dalam
lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan,
berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: (1) terletak pada lereng agak curam (>30%
– 45%), (2) telah tererosi berat, (3) kedalaman tanah sangat dangkal, (4) mengandung garam laut
atau Natrium (berpengaruh hebat), (5) daerah perakaran sangat dangkal, atau (6) iklim yang tidak
sesuai.

Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan untuk penggembalaan
dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam
lahan kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat
digunakan untuk tanaman semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan
teras bangku yang baik.

Kelas Kemampuan VII

Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, Jika digunakan untuk padanag rumput atau
hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat. Tanah-tanah dalam
lahan kelas VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan unuk tanaman pertaniah harus
dibuat teras bangku yang ditunjang dengan cara-ceara vegetatif untuk konserbvasi tanah ,
disamping yindkan pemupukan. Tanah-tanah kelas VII mempunuaio bebetapa hambatan atyai
ancaman kerusakan yang berat da tidak dapatdihiangkan seperti (1) terletak pada lereng yang
curam (>45 % – 65%), dan / atau (2) telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit
diperbaiki.

Kelas kemampuan VIII

Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam
keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar
alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada lahan kelas VIII dapat berupa: (1) terletak pada
lereng yuang sangat curam (>65%), atau (2) berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah
terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan lahan tertutup batuan), dan (3)
kapasitas menahan air sangat rendah. Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati,
batu terungkap, dan pantai pasir.

Sumber: Sitanala Arsyad (2006). Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

KLASIFIKASI KEMAMPUAN DAN


KESESUAIAN LAHAN
Oleh : Nining Wahyuningrum, C. Nugroho SP., Wardojo, Beny Harjadi, Endang Savitri,
Sudimin, Sudirman
(INFO DAS Surakarta No. 15 Th. 2003)

I. PENDAHULUAN.

1.1. Latar Belakang

Isu tentang degradasi lahan dan hutan yang gencar muncul di berbagai wacana, menuntut
pemerintah dan masyarakat untuk segera menindak lanjuti dengan tindakan yang nyata. Tindakan
nyata tersebut tentu saja harus disertai dengan perencanaan yang matang dari berbagai aspek. Salah
satu aspek yang menonjol dalam hal ini adalah aspek pengelolaan lahan. Dalam perencanaan
pengelolaan lahan, informasi yang dibutuhkan salah satunya adalah tentang potensi lahan dan
kesesuaiannya untuk jenis tanaman tertentu. Informasi ini diperlukan terutama untuk menentukan
kegiatan atau jenis konservasi tanah yang harus dilakukan. Selain itu informasi tentang kesesuaian
lahan juga diperlukan untuk menentukan sistem silvikutur hutan tanaman, HTI, tanaman semusim
dan hutan rakyat.

Hutan rakyat sebagai salah satu jenis konservasi tanah sangat strategis dilakukan karena selain
berfungsi ekologi juga berfungsi ekonomi. Penurunan produksi hutan alam/hutan tanaman
berakibat menurunnya pasokan kayu, sehingga diperlukan sumber-sumber lain di luar kawasan
hutan. Salah satu sumber kayu yang potensial adalah hutan rakyat.. Fungsi ekonomi hutan rakyat
terutama untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja. Sedangkan fungsi
ekologi antara lain untuk meningkatkan kesuburan tanah serta menciptakan kondisi ekologi hutan
seperti pada hutan alam. Dengan adanya perbaikan ekologi akan memungkinkan bagi tumbuhnya
jenis-jenis baru secara alami sehingga meningkatkan penutupan lahan dan menurunkan erosi
(Triwilaida, 1997).

Sistem perencanaan pengelolaan hutan perlu dilakukan secara berjenjang, dengan tingkat skala
yang berbeda pula. Di tingkat nasional dan propinsi, dibutuhkan perencanaan umum yang berskala
tinjau (reconnaisance scale) yang memuat arahan umum program Hutan Rakyat dan lokasi
pengembangan. Pada lokasi pengembangan dibutuhkan suatu perencanaan operasional yang lebih
detil dan terpadu, yang memuat informasi tentang kemampuan lahan dan kesesuaian jenis tanaman
disamping perencanaan beberapa sarana pendukung eksplorasi lainnya.

Untuk mendukung suatu perencanaan yang menyeluruh, maka dibutuhkan suatu perangkat
pengelolaan dan perencanaan yang mampu memadukan informasi yang kompleks. Sistem
Informasi Geografis (SIG) adalah perangkat analisa yang dapat digunakan untuk memadukan
informasi geografis dan atribut bagi keperluan perencanaan dan pengelolaan. Dengan dukungan
SIG, maka perencanaan dapat disusun berdasarkan suatu analisis yang melibatkan banyak
parameter, sehingga akan dapat meningkatkan akurasi perencanaan tersebut.

Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, maka Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan DAS (BP2TPDAS IBB) menyusun suatu pedoman tentang Klasifikasi Kemampuan
dan Kesesuaian Lahan. Pedoman ini merupakan revisi dari Pedoman Teknis Kesesuaian Lahan
dan Jenis-jenis HTI (1999). Revisi ini dilakukan berdasarkan dari kajian yang dilakukan Balai
Teknologi Pengelolaan DAS (BTPDAS) Surakarta pada tahun 1994 -1996 dengan melakukan
kajian tentang Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan HTI pada tingkat skala operasional
yang didukung oleh aplikasi SIG dan Hasil Uji Coba di beberapa wilayah HTI di Sumatera,
Kalimantan dan Jawa (wilayah Perum Perhutani). Revisi tersebut terutama adalah pada kriteria
kesesuaian lahan ditambah dengan kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa jenis tanaman
industri, tanaman pangan dan tanaman buah yang diperoleh dari pengalaman pelaksanaan
klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan kerjasama dengan Perum Perhutani mulai tahun 1999
s/d 2003.

1.2. Maksud, Tujuan dan Manfaat.

Petunjuk Teknis ini dimaksudkan untuk menyajikan uraian dan memberi tuntunan (guidance)
tentang proses klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Dalam klasifikasi ini akan digunakan
fasilitas SIG. Hasil klasifikasi diharapkan dapat digunakan untuk kegiatan pengelolaan lahan
terutama untuk kegiatan pengembangan Hutan Rakyat dan mendukung silvikultur hutan tanaman
baik program PHBM maupun HKM.

Sistem informasi yang disusun dalam proses klasifikasi dengan SIG ini akan dapat digunakan
sebagai alat pemantau kondisi fisik lahan. Informasi tentang kondisi fisik lahan yang diperoleh
dari inventarisasi sumber daya lahan akan merupakan suatu informasi biofisik dan geofisik yang
bermanfaat untuk perencanaan yaitu untuk mengalokasikan jenis-jenis tanaman yang
direkomendasikan. Seluruh informasi tersebut merupakan masukan penting bagi pemerintah dan
masyarakat dalam rangka penyusunan suatu rencana operasional pengembangan hutan rakyat dan
hutan tanaman.

1.3. Tahapan Kerja.

Secara umum untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan yang didukung oleh
pendayagunaan SIG terbagi menjadi dua kegiatan pokok, yaitu Inventarisasi Sumber Daya Lahan
(ISDL) sebagai masukan data (data entry) dan pendayagunaan SIG dengan menggunakan data
ISDL tersebut untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan. Dua kegiatan tersebut
membutuhkan penguasaan bidang yang berbeda. Kegiatan ISDL akan lebih menekankan pada
keahlian survei evaluasi lahan dan tanah dengan dukungan penafsiran citra baik foto udara maupun
citra satelit. Sedangkan kegiatan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dengan SIG lebih
menuntut kemampuan di bidang komputer dan analisa sistem. Persyaratan keahlian sebagai akibat
dari dua kegiatan yang berbeda tersebut perlu diperhatikan dalam penetapan kriteria pemilihan
personil yang akan melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.

Berdasarkan dua jenis kegiatan tersebut, maka prosedur pendayagunaan SIG untuk klasifikasi
kemampuan dan kesesuaian lahan dapat dirinci menjadi tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap
survei lapangan dan pengumpulan data penunjang, serta tahap analisa klasifikasi. Tahap persiapan
dan survei lapangan yang disertai pengumpulan data penunjang merupakan kegiatan ISDL, sedang
tahap analisa klasifikasi merupakan kegiatan pendayagunaan SIG untuk klasifikasi kemampuan
dan kesesuaian lahan. Urutan tahapan kerja selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1. Uraian
selanjutnya petunjuk teknis ini akan mendasarkan pada urutan kerja Gambar 1 tersebut.
Gambar 1. Urutan Tahapan Kerja Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan

II. INVENTARISASI SUMBER DAYA LAHAN (ISDL)

Hudson (1992) menyebutkan bahwa tidak ada orang yang merencanakan suatu industri tanpa
mempelajari terlebih dahulu berapa banyak bahan baku yang tersedia. Demikian pula pengelolaan
hutan rakyat dan hutan tanaman perlu mengetahui potensi aktual lahan hutan yang sekarang
dikelola sehingga dapat direncanakan langkah-langkah yang perlu di ambil untuk penyempurnaan
pengelolaan berikutnya.

Inventarisasi sumber daya lahan adalah inventarisasi informasi fisik tentang faktor-faktor yang
berkaitan dengan pengelolaan lahan dan konservasi tanah. Tindakan pengelolaan dan konservasi
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam rangka proses produksi yang lestari.
Pertanyaan selanjutnya adalah, faktor-faktor manakah yang perlu untuk dikumpulkan dalam
kaitannya dengan pengelolaan hutan dan bagaimana caranya.

Secara umum faktor-faktor yang dikumpulkan dapat dikelompokkan menjadi dua grup yaitu faktor
yang bersifat permanen (misalnya bentuk lahan, tipe batuan, jenis tanah dsb) dan faktor yang
bersifat dinamis (misalnya kondisi vegetasi, erosi dsb). Faktor-faktor tersebut dapat diperoleh dari
berbagai sumber seperti peta-peta, hasil penelitian terdahulu, survei lapangan yang dibantu dengan
penafsiran foto udara dan klasifikasi citra satelit. Petunjuk teknis ini akan membahas tentang ISDL
yang dilaksanakan melalui survei lapangan yang didukung penafsiran foto udara dan peta dasar
serta peta tematik yang ada.

Sebenarnya aktivitas inventarisasi sumber daya lahan bukan suatu hal yang baru, namun yang
sering terjadi adalah suatu kegiatan pengumpulan data-data mati, artinya banyak data terkumpul
yang tidak saling mengkait dan tidak ada telaah lebih jauh dari data tersebut. Sering juga terjadi
data-data terkumpul hanya digelar tanpa pendayagunaan lebih lanjut. Hal ini sering dilakukan
terhadap data-data hasil perisalahan lapangan.

Dalam proses perencanaan pengelolaan hutan, kegiatan ISDL sebetulnya juga telah banyak
dilaksanakan yaitu melalui kegiatan perisalahan lapangan atau survei-survei lainnya. Perisalahan
lapangan tersebut sebetulnya juga suatu kegiatan inventarisasi sumber daya lahan, tetapi selama
ini data hasil perisalahan hanya digunakan untuk menyajikan gambaran umum lokasi. Hasil risalah
lapangan yang lalu kemungkinan masih bisa digunakan untuk ISDL terutama data-data
karakteristik tanah dan lahan yang sifatnya permanen.

2.1. Bahan dan Alat yang Dibutuhkan

Bahan dan alat yang dibutuhkan untuk kegiatan inventarisasi sumber daya lahan terdiri dari peta
dan foto udara, perangkat penafsiran foto udara dan perangkat pengelola data. Bahan:

 Peta topografi atau rupa bumi 1 : 50 000 sebagai peta dasar


 Foto udara skala 1 : 50 000 atau lebih besar

Peralatan:

 Peralatan tulis dan untuk penafsiran foto


 Peralatan lapangan untuk survei tanah.
 Peralatan penafsiran foto udara: stereoskop cermin dan saku, zoom transferscope
 Perangkat pengelola data: terdiri dari perangkat keras (komputer, digitizer, printer dan
plotter) dan perangkat lunak (program SIG dan program pengelolaan data dasar).

2.2. Pembatasan Unit Lahan. Pembatasan unit lahan dilakukan melalui penafsiran citra, baik foto
udara maupun citra satelit. Penafsiran foto udara atau klasifikasi citra satelit pada tahap persiapan
dititikberatkan untuk membatasi satuan lahan yang mempunyai karakteristik fisik yang sama.
Dalam hal ini digunakan satuan bentuk lahan (landform). Hasil dari tahap ini akan menjadi
masukan data yang berupa data grafis pada SIG. Satuan lahan ini selanjutnya dapat digunakan
untuk referensi batas petak, sehingga setiap petak akan mempunyai karakteristik fisik yang sama.
Dengan demikian disarankan batas petak menggunakan batas alam. Prosedur pembatasan unit
lahan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Persiapan
o Siapkan stereoskop cermin
o Siapkan pasangan foto udara yang akan digunakan untuk penafsiran
o Siapkan kertas transparansi dan pena transparansi
o Siapkan peta-peta dasar yang berupa peta topografi skala 1 : 50 000, peta petak
skala 1 : 50 000 dan peta geologi skala 1 : 250 000.
o Tempelkan kertas transparansi di atas foto udara dengan selotip.
2. Identifikasi Lokasi
o Identifikasikan lokasi dengan penandaan gambaran yang mudah ditentukan,
misalnya desa, jalan, sungai dsb.
o Identifikasikan lokasi tersebut pada peta-peta dasar yang ada.
3. Delineasi Unit Lahan
o Batasi tiap-tiap satuan bukit dan dataran sebagai satu satuan bentuk lahan (landform
unit).
o Setiap satuan bentuk lahan dibagi lagi menjadi beberapa unit berdasarkan
keseragaman kemiringan lereng.
o Unit yang ada dibagi lagi berdasarkan jenis tanaman dan kelompok umur tanaman
yang ada. Satuan terkecil yang diperoleh tersebut merupakan unit lahan yang akan
dinilai parameter-parameter fisik lahannya. Contoh pembatasan unit lahan dengan
bantuan foto udara dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b.
4. Transfer Batas Unit Lahan ke Peta Dasar.
o Hasil penafsiran foto udara perlu ditransfer ke peta dasar. Peta dasar yang
digunakan adalah peta petak skala 1 : 25 000 atau 1 : 50 000
o Perlu dicatat bahwa foto udara yang digunakan mungkin mempunyai skala yang
berbeda dengan peta dasar sehingga dibutuhkan alat bantu yang disebut Zoom
trasferscope. Bila alat bantu (zoom transferscope) tersebut tidak tersedia maka
pemindahan hasil penafsiran bisa menggunakan cara bebas (free hand).
Gambar 1. Pembatasan Unit Lahan : Gambaran Unit lahan di Lapangan (atas) Pembatasan
Unit Lahan di Foto Udara

2.3. Penafsiran Parameter Parameter fisik yang dikumpulkan dalam inventarisasi sumber daya
lahan terdiri dari:

1. Aspek Lahan: – Bentuk lahan – Kemiringan dan arah lereng – Kondisi drainase – Kondisi
permukaan
2. Aspek Tanah – Jenis tanah – Tipe batuan dan kedalaman regolit – Kedalaman tanah – Sifat
fisik tanah – Keasaman tanah (pH tanah)
3. Kondisi Erosi – Jenis dan tingkat erosi – Prosentase lahan tererosi dalam satu satuan lahan.
4. Aspek Tanaman
5. Aspek Iklim – Rata-rata hujan setahun (dari rekaman data 10 tahun terakhir) – Jumlah
bulan basah dalam setahun – Jumlah bulan kering dalam setahun

Keterkaitan masing-masing parameter dan cara identifikasinya diuraikan pada bab berikut.
1. Bentuk Lahan

Bentuk lahan (landform) menguraikan tentang jenis-jenis terain khusus dan menempatkan satuan
peta inventarisasi ke dalam bentang lahan (landscape). Cara yang mudah untuk identifikasi di foto
udara menggunakan bentang lahan dan kelerengan (topografi). Klasifikasi bentuk lahan dapat
diperoleh dari Katalog Bentuk Lahan (Desaunettes, 1977) dan Kucera (1988). Disarankan untuk
menggunakan klasifikasi Kucera (1988) karena lebih sederhana tetapi lengkap.

Bentuk lahan memberikan gambaran pada kita tentang kondisi lokasi secara umum. Melalui
informasi bentuk lahan juga dapat diperoleh gambaran karakteristik lahan yang lain, misalnya
bentuk lahan yang bergunung akan mempunyai jenis-jenis tanah tertentu, biasanya kelerengannya
curam dan solum tanahnya relatif dangkal. Sebaliknya bentuk lahan aluvium akan memberi
gambaran tentang kondisi yang datar dengan drainase yang kurang baik, teksturnya halus dan
solum tanahnya dalam.

Penilaian parameter bentuk lahan akan disesuaikan dengan skala surveinya. Pada skala detil
misalnya, bentuk lahan bukit (hill) dapat dirinci lagi menjadi puncak bukit, lereng atas, lereng
tengah atau lereng bawah. Sedangkan skala tinjau cukup disajikan bukit saja. Pada perisalahan
hutan, skala yang digunakan adalah skala semi detil didukung dengan foto udara skala 1 : 50 000
atau lebih besar lagi, sehingga deskripsi bentuk lahan perlu diuraikan detil.

2. Kemiringan dan Arah Lereng.

Informasi kemiringan dan arah lereng sangat diperlukan bagi pengelolaan lahan. Parameter
kelerengan juga digunakan untuk klasifikasi beberapa keperluan, misalnya untuk penentuan fungsi
lindung dan budidaya. Jadi informasi ini sangat dibutuhkan untuk keperluan pengelolaan termasuk
pengelolaan hutan.

Keterkaitan kelerengan lahan dengan parameter lain cukup dominan. Biasanya pada topografi
yang berbeda, yang berarti kemiringan lerengnya berbeda, maka perkembangan tanahnya juga
berbeda. Perbedaan perkembangan tanah juga berarti ada perbedaan karakteristiknya.
Perkembangan tanah juga dipengaruhi oleh arah lereng, karena perbedaan arah lereng akan
mempengaruhi kecepatan pelapukan batuan menjadi tanah. Dengan demikian maka kemiringan
lereng biasanya mengandung konsekuensi perbedaan tekstur tanah, kondisi drainase, jenis
tanaman dan kedalaman tanah.

Ada beberapa klasifikasi kemiringan lereng yang penggunaannya tergantung tujuan pada
klasifikasi tersebut. Setiap departemen akan mempunyai klasifikasi sendiri sesuai tujuannya. Bila
ditujukan untuk menentukan areal transmigrasi, misalnya, akan berbeda dengan klasifikasi yang
ditujukan untuk ekstensifikasi pertanian. Dalam buku ini, klasifikasi yang digunakan adalah
klasifikasi di sektor kehutanan.

Untuk survei sumber daya lahan tingkat detil, informasi tambahan tentang lereng perlu dicatat,
misalnya panjang lereng dan bentuk lereng.

3. Kondisi Drainase.
Parameter kondisi drainase perlu dicatat dalam kaitannya untuk penentuan klasifikasi baik
kemampuan maupun kesesuaian lahan. Parameter ini dibutuhkan mengingat pengaruhnya yang
besar pada pertumbuhan tanaman. Keterkaitan parameter ini dengan parameter fisik lainnya cukup
besar. Pada daerah aluvial biasanya mempunyai drainase yang relatif jelek daripada pada daerah
miring. Namun demikian pada lereng bukit yang bentuknya kompleks, dimungkinkan adanya
cekungan atau dataran di sepanjang lereng tersebut, sehingga kondisi drainase di cekungan
maupun dataran di lereng akan berbeda dengan kondisi drainase umum di lereng tersebut. Kondisi
drainase pada lahan dengan batuan induk kapur akan berbeda dengan batuan vulkanik, karena
kapur dapat meloloskan air, sedangkan batuan induk vulkanik umumnya didominasi oleh tekstur
halus yang sulit dilalui air.

Klasifikasi kondisi drainase dinyatakan dalam suatu keadaan yang nisbi, karena sulit untuk dibuat
kuantitatif. Jadi klasifikasi akan didasarkan pada deskripsi penciri yang ada. Kondisi drainase
jelek, misalnya, dicirikan oleh adanya bercak-bercak (motling) di profil tanah. Makin banyak
bercak dan makin dekat posisinya ke permukaan, maka kondisi drainasenya makin buruk.

4. Kondisi Permukaan lahan

Kondisi permukaan lahan dinyatakan dalam prosentase batuan singkapan (barerock) dan adanya
batu di permukaan (rockness) terhadap luas unit lahan. Informasi kondisi permukaan lahan yang
menyangkut batuan singkapan dan bebatuan di permukaan sangat diperlukan dalam kaitannya
dengan kemungkinan untuk penerapan tumpangsari tanaman semusim. Pada kondisi tanah yang
berbatu atau tersingkap, tidak mungkin dilaksanakan pengolahan tanah yang baik karena adanya
gangguan tersebut. Disamping itu, prosentase batuan tersingkap yang cukup luas akan mengurangi
jumlah tanaman per satuan luas karena pada bebatuan tersebut tidak mungkin dilaksanakan
penanaman.

Terjadinya kondisi tanah yang berbatu dan tersingkap dapat disebabkan oleh dua tenaga yang
berbeda. Apabila batuan permukaan dan singkapan batuan tersebut terjadi pada daerah datar, maka
dapat diidentifikasi bahwa daerah tersebut terjadi karena pengangkatan oleh tenaga endogen.
Sedangkan bila kondisi tersebut terjadi pada lereng-bukit maka dimungkinkan fenomena tersebut
terjadi karena tenaga eksogen, dalam hal ini adalah erosi dan pengikisan. Dengan demikian apabila
suatu lokasi mempunyai kelerengan yang terjal dan prosentase singkapan batuan yang besar maka
dapat dikatakan tingkat erosi yang terjadi juga tinggi.

Bagi pengelola hutan, informasi kondisi permukaan ini sangat diperlukan karena prosentase
singkapan dan batuan permukaan yang besar terhadap unit lahan mengandung arti luasan lahan
tidak produktif yang besar pula. Perhitungan luasan lahan tidak produktif atau terdegradasi lanjut
sangat penting karena mempengaruhi efisiensi produksi.

5. Jenis Tanah

Jenis tanah akan sangat dipengaruhi oleh jenis batuan indukn, iklim dan vegetasinya. Klasifikasi
tanah yang umum dilaksanakan menggunakan US Soil Taxonomy atau klasifikasi Indonesia.
Apapun metode klasifikasi yang digunakan jenis tanah akan selalu berkaitan dengan karakteristik
fisik lahannya. Cara klasifikasi tanah yang umum digunakan akan diuraikan tersendiri. Dengan
demikian apabila suatu lahan mempunyai jenis tanah Entisol, maka kedalaman tanah tersebut
umumnya dangkal, sedangkan tanah Vertisol hanya bisa terjadi pada daerah dataran dan atau
berkapur.

Informasi jenis tanah biasanya dapat diperoleh dari peta tanah yang tersedia. Pada umumnya peta
tanah yang ada mempunyai skala kecil (1 : 100 000 atau 1: 250 000) hanya lokasi-lokasi tertentu
saja yang dipetakan secara detil. Hal ini disebabkan adanya proyek khusus yang besar. Namun
demikian informasi yang diperoleh dari peta tetap bisa dimanfaatkan terutama deskripsi profil
tanahnya. Dengan berbekal pengetahuan dari deskripsi profil tanah pada peta tanah, maka akan
dapat diidentifikasi jenis-jenis tanah di lapangan. adapun pembeda antara peta tanah dengan hasil
survei yaitu batas tiap jenis tanah .

6. Tipe Batuan dan Kedalaman Regolit.

Tipe batuan penting untuk diketahui karena menentukan parameter yang lain. Adanya perbedaan
tipe batuan pembeda tanah akan membedakan cara pengelolaan tanah tersebut. Pengelolaan tanah
yang berkembang dari batu kapur, misalnya, akan berbeda dengan pengelolaan tanah yang
berkembang dari batuan vulkanik. Oleh karena itu tipe batuan sering digunakan untuk kriteria
klsifikasi kemampuan lahan pada tingkat Unit.

Secara umum tipe batuan dibagi menjadi tiga, yaitu batuan beku, batuan sedimen dan batuan
malihan (metamorf). Batuan beku/vulkanik (igneous rocks) adalah batuan yang terbentuk dari
magma yang mengeras atau membeku. Batuan sedimen (sedimentary rocks) adalah sedimen yang
mengalami konsolidasi dari hasil erosi yang terangkut dari batuan endapan, batuan beku atau
batuan metamorf. Sedangkan batuan malihan/metamorf (metamorphic rocks) adalah batuan yang
telah mengalami perubahan struktur kimia atau mineral sebagai akibat dari perubahan temperatur,
tekanan, tegangan geser atau lingkungan kimiawi. Masing-masing tipe batuan mempunyai watak
sendiri-sendiri sehingga parameter yang dipengaruhi oleh tipe batuan tertentu akan mempunyai
watak yang berbeda terhadap parameter yang dipengaruhi oleh tipe batuan lain.

Tipe batuan akan menentukan bentuk lahannya. Jenis tanah juga sangat ditentukan oleh tipe batuan
karena tanah terbentuk dari pelapukan batuan. Pengaruh lebih jauh adalah kepekaan tanah terhadap
erosi. Tanah yang terbentuk dari batuan kapur akan mempunyai kepekaan terhadap erosi yang
berbeda dibandingkan dengan tanah yang berkembang dari batuan vulkanik.

Untuk mempermudah identifikasi tipe batuan di lapangan, dapat digunakan Peta Geologi. Peta
tersebut dapat diperoleh di Museum Geologi Bandung dan untuk wilayah Jawa telah tersedia
dengan skala 1 : 250 000. Informasi yang diperoleh dari peta ini masih bersifat global, sehingga
perlu dirinci pada saat survei lapangan.

Kedalaman regolit agak sulit diperkirakan di foto udara, sehingga perlu di selidiki dan diukur di
lapangan. Pengukuran kedalaman regolit dilakukan mulai dari permukaan lahan sampai suatu
kedalaman tanah dimana batuan dasar setempat mulai berada. Pada prakteknya, kedalaman regolit
diukur sampai pada kedalaman dimana struktur masa batuan menunjukkan perbedaan yang nyata.
Informasi kedalaman regolit diperlukan untuk pertimbangan perlakuan lahan, misalnya
penterasan. Disamping itu kedalaman regolit juga sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Pada kedalaman regolit lebih dangkal dari 50 cm dipertimbangkan sebagai pembatas ekstrim untuk
sebagian besar spesies pohon-pohonan. Selain berpengaruh pada praktek konservasi tanah dan
pertumbuhan tanaman, kedalaman regolit juga mempengaruhi kondisi drainase tanah. 7.

Kedalaman Tanah

Kedalaman tanah sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Tanah yang dangkal akan terbatas
kemampuannya dalam menyediakan air dan unsur-unsur hara lainnya. Disamping itu kedalaman
tanah sangat menentukan lahan bisa diolah atau tidak. Pada tanah yang dangkal, pengolahan tanah
justru akan membalik sub soil ke atas yang berakibat terganggunya pertumbuhan tanaman. Pada
klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan, faktor kedalaman tanah sangat diperhitungkan dan
menentukan.

Pada satu unit lahan, kedalaman tanah mempunyai pola umum. Di kaki bukit biasanya mempunyai
kedalaman tanah terbesar dibandingkan pada lereng tengah. Demikian pula tanah di lereng atas
umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan lereng tengah. Dengan mengikuti pola umum
tersebut, maka kedalaman tanah dapat diidentifikasikan dengan penafsiran foto udara.

Keterkaitan kedalaman tanah dengan parameter lain, misalnya drainase, jenis tanah dan
kemiringan lereng telah disinggung terdahulu. Seperti halnya kondisi permukaan, kedalaman tanah
juga dapat berubah karena tenaga endogen dan tenaga eksogen. Pada daerah dengan tingkat
pelapukan yang rendah, maka pembentukan tanahnya lambat. Di lain pihak kedalaman tanah juga
dapat berubah karena adanya pengikisan atau erosi. Jadi parameter ini juga bisa dikatakan
parameter yang dinamis, walaupun perubahannya tidak secepat parameter erosi.

8. Sifat Fisik Tanah

Sifat fisik tanah yang penting untuk pengelolaan lahan dan dideskripsikan di lapangan mencakup
tekstur tanah dan struktur tanah. Tekstur tanah dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara
fraksi tanah (pasir, debu dan lempung/ Sand, silt dan clay) sedangkan struktur tanah adalah bentuk
spesifik dari agregat tanah. Tekstur tanah relatif tidak berubah tetapi struktur tanah mudah berubah
terutama apabila ada pengolahan tanah. Parameter ini sangat berkaitan dengan parameter lainnya
antara lain, kemiringan lereng, kondisi drainase, tipe batuan dan bentuk lahan.

Pada lereng yang terjal tekstur tanah biasanya lebih kasar dibandingkan dengan daerah yang datar
karena partikel halus telah terkikisdan diendapkan di daerah yang datar. Akibat lebih jauh, drainase
daerah miring akan lebih baik dibandingkan dengan dengan daerah datar. Tipe batuan akan
mempengaruhi komposisi fraksi tanah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tekstur tanah,
sedangkan bentuk lahan akan mempengaruhi tenaga eksogen yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap sifat fisik tanah.

Penentuan tekstur tanah dapat dilakukan secara teliti di laboratorium tetapi dalam ISDL ini tekstur
tanah dapat dinilai di lapangan melalui metode Sidik Cepat Ciri tanah di Lapang. Ketelitian
penentuan tekstur tanah di lapangan tergantung pengalaman surveyor, tetapi pada prinsipnya tidak
sulit untuk dilaksanakan. Penilaian struktur tanah hanya bisa dilaksanakan di lapangan. Cara
penilaian sifat-sifat fisik tanah tersebut di lapangan akan diuraikan lebih jauh pada petunjuk
praktek lapangan.

9. Sifat Kimia Tanah

Bahan penting yang diabsorbsi tanaman dan dipindahkan dari tanah adalah air dan unsur hara.
Tanaman dapat mengalami kekurangan (defisiensi) unsur hara bila unsur tersebut tidak terdapat
dalam tanah atau unsur tersebut terdapat dalam jumlah cukup tetapi sangat sedikit terlarut atau
tidak tersedia untuk menopang kebutuhan tanaman. Tanaman tahunan relatif lebih tahan terhadap
defisiensi unsur hara. Dampak kekurangan unsur hara terhadap pertumbuhan tanaman juga
berlangsung dalam jangka panjang dibandingkan dengan tanaman semusim. Oleh karena itu sifat
kimia tanah hanya digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan pada tanaman semusim.

Kondisi kesuburan tanah ditunjukkan oleh kandungan unsur hara tanah. Unsur hara tanah yang
diukur di sini adalah merupakan unsur hara esensial yang terdiri dari unsur makro dan mikro.
Dalam kegiatan ini yang diukur adalah unsur hara makro saja. Unsur-unsur makro terdiri tersebut
adalah Nitrogen (N total), Phosphor (P2O5 tersedia) dan Kalium (K2O tersedia), Kalsium (Ca),
Magnesium (Mg). Unsur N merupakan penyusun semua protein, klorophyl di dalam koensim dan
asam-asam nukleat. Unsur P berperan dalam transfer energi sebagai bagian dari adenosin tripospat,
beberapa penyusun protein, koensim, asam nukleat dan substrat metabolisme. Unsur K meskipun
penting tetapi hanya sedikit peranannya sebagai penuyusun komponen tanaman. Fungsi utama
adalah untuk pengaturan mekanisme seperti fotosintesis, translokasi karbohidrat, sintesa protein
dan lain-lain.

Keasaman tanah yang dinyatakan dalam Eksponen Hidrogen (pH) merupakan aspek kimia tanah
yang tetap diperlukan dalam kegiatan ini. Hal ini disebabkan karena pengaruh pH yang sangat
besar terhadap kesesuaian lahan dan pertumbuhan tanaman. pH tanah berhubungan erat dengan
jumlah kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Ca dan Mg ini merupakan salah satu dari unsur hara
makro. Ca merupakan komponen dinding sel, berperan dalam struktur dan permeabilitas membran,
sedangkan Mg merupakan penyusun klorophyl and ensim aktivator. Pengukuran pH dilakukan
pada horison A maupun B dengan menggunakan alat-alat testing lapangan sederhana pada
ketelitian 0,1 satuan. Meskipun parameter pH merupakan faktor yang dinamis, tetapi tetap
diperlukan dalam kaitannya dengan pengelolaan lahan.

Kapasitas tukar kation (KTK) menggambarkan jumlah/besarnya kation yang dapat dipertukarkan,
sehingga semakin besar nilai KTK maka akan semakin banyak kation yang dapat dipertukarkan
sehingga ketersediaan hara tanaman akan semakin meningkat. Sedangkan bahan organik
(BO/Corg) menunjukkan besarnya kandungan bahan organik tanah. Semakin banyak BO maka
struktur tanah akan semakin baik dan akan mempengaruhi KTK.

10. Kondisi Erosi

Erosi merupakan pembatas utama dari penggunaan lahan yang berkelanjutan. Identifikasi erosi di
lahan hutan diperlukan untuk mengetahui jenis dan tingkat erosi serta prosentase luasan tererosi
pada satuan peta sehingga upaya konservasi tanah yang efektif dapat direncanakan. Pengalaman
lapangan menunjukkan bahwa erosi biasanya terjadi cukup besar pada saat awal penebangan atau
pembukaan lahan sampai tanaman berumur 2 tahun.

Parameter ini sangat dinamis, karena kondisi erosi bisa berubah drastis setiap waktu. Oleh karena
itu perlu dicatat bahwa informasi jenis dan tingkat erosi hasil perisalahan adalah kondisi pada saat
dilakukan survei lapangan. Pembaruan (updating) data parameter ini perlu sering dilakukan
mengingat cepatnya perkembangan tanah tererosi.

Erosi yang dibahas dalam petunjuk ini adalah erosi yang disebabkan karena air. Sedangkan erosi
angin, walaupun ada, tidak begitu banyak terjadi di Indonesia. Secara umum dikenal empat jenis
erosi tanah oleh air, yaitu erosi permukaan/lembar (sheet erosion), erosi parit (rill erosion), erosi
jurang (gully erosion), erosi tebing sungai (streambank erosion) dan erosi longsoran (landslide
erosion). Pembagian tingkat erosi dilakukan secara kualitatif, yaitu diabaikan, ringan, sedang dan
berat.

Pada umumnya erosi tanah banyak terjadi di lahan miring daripada di lahan datar. Dalam kaitannya
dengan aspek tanaman, erosi juga akan banyak terjadi di lahan yang terbuka setelah penebangan
sebelum adanya semak. Perlu dicatat pula bahwa penanaman sistem tumpangsari juga mempunyai
resiko tinggi terhadap terjadinya erosi, akibat adanya pengolahan tanah. Pada dasarnya setiap tanah
mempunyai tingkat kepekaan yang berbeda terhadap erosi, tergantung dari sifat fisik dan batuan
pembentuknya. Dengan demikian maka kondisi erosi selain terkait dengan bentuk lahan juga
terkait dengan sifat tanah dan tipe batuan.

11. Aspek Tanaman

Inventarisasi parameter tanaman dilakukan karena kinerja tanaman yang ada merupakan
pencerminan kondisi lahan, sehingga identifikasi kondisi tanaman bisa digunakan sebagai
indikator kondisi lahan saat itu. Informasi ini penting terutama bagi lokasi baru yang akan dibuka
untuk hutan tanaman.

Bagi areal hutan tanaman yang sudah beroperasi, informasi kinerja tanaman juga sangat penting
sebagai sarana pemantauan di tiap petak atau anak petak. Dengan demikian maka penanganan areal
yang bermasalah yang ditandai dengan buruknya kinerja tanaman dapat segera direncanakan
berdasarkan informasi ini.

12. Aspek Iklim.

Anasir iklim yang dibahas dalam kesempatan ini hanya curah hujan, karena terbatasnya stasiun
meteorologi. Mengingat bahwa areal hutan banyak terletak di pegunungan, maka sangat
dimungkinkan terpengaruh oleh hujan orografis. Akibatnya pola hujan dan distribusi hujan antar
petak dapat sangat berlainan. Oleh karena itu diperlukan beberapa stasiun hujan pada satu bagian
hutan agar rekaman hujan dapat mencerminkan kondisi yang realistis. Pengalaman lapangan
menunjukkan bahwa antar petak dalam satu bagian bisa mempunyai pola dan curah hujan yang
berbeda tergantung elevasi dan arah lerengnya.
Fenomena perbedaan pola hujan antar petak juga merupakan bukti keterkaitan iklim mikro, dalam
hal ini curah hujan, dengan kondisi fisik lahan terutama bentuk lahan, kemiringan lereng dan arah
lereng. Dengan demikian informasi hujan dapat dikaitkan dengan parameter yang lain. Informasi
hujan yang diperlukan dalam kegiatan ini adalah: rata-rata curah hujan setahun dari data 10 tahun
terakhir, jumlah bulan basah, jumlah bulan kering dan jumlah hari hujan setiap bulannya.

2.4. Survei Inventarisasi Sumber Daya Lahan.

Setelah mengetahui parameter fisik lahan yang akan dirisalah di lapangan dan keterkaitan antar
paramater tersebut, langkah berikutnya adalah menetapkan langkah-langkah yang diperlukan bagi
pelaksanaan identifikasi dan penilaian parameter fisik lahan tersebut di lapangan. Proses
identifikasi dan penilaian parameter fisik lahan tersebut disebut evaluasi lahan. Dengan demikian
evaluasi lahan dapat dilakukan melalui inventarisasi sumber daya lahan di setiap unit lahan yang
telah dibatasi pada tahap pembatasan unit lahan. Dalam pelaksanaan evaluasi lahan sangat
membutuhkan penafsiran atau interpretasi foto udara. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang
medan yang akan di survei dan latar belakang pengetahuan tentang parameter yang akan
diidentifikasi di foto udara

Penafsiran foto udara pada hakekatnya adalah usaha mendapatkan informasi melalui foto udara
sehingga dapat memudahkan dan menyederhanakan pemantauan perubahan di lapangan. Jadi
penafsiran foto udara tidak dapat menggantikan kegiatan survei lapangan, namun harus dilakukan
untuk memudahkan kegiatan risalah tersebut.

Hasil dari kegiatan penafsiran foto udara dan evaluasi lahan di lapangan merupakan data terbaru
yang perlu dikelola dan ditata untuk proses lebih lanjut. Dengan demikian maka kegiatan
penafsiran foto udara, survei inventarisasi sumber daya lahan dan pengelolaan data dasar hasil
survei merupakan suatu satuan rangkaian kegiatan. Survei inventarisasi sumber daya lahan
dilaksanakan dengan mendeskripsikan setiap unit lahan di lapangan dan memanfaatkan bahan
informasi yang diperoleh dari penafsiran foto udara. Jumlah titik atau tempat yang dideskripsikan
di setiap unit lahan tergantung pada skala surveinya. Hubungan antara skala survei dan jumlah titik
sampel pengamatan dapat dilihat pada Tabel 1
Berikut adalah uraian tentang identifikasi masing-masing parameter di lapangan yang akan
digunakan pada klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan

1. Bentuk Lahan

Bentuk lahan dapat ditetapkan melalui penafsiran foto udara sehingga pada saat kegiatan survei
lapangan perlu dicek kebenarannya. Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, klasifikasi bentuk
lahan dapat menggunakan Katalog Bentuk Lahan (Desaunettes, 1977) dan Kucera (1988) seperti
pada tabel berikut:
2. Kemiringan dan Arah Lereng.

Identifikasi kemiringan dan arah lereng juga dapat dilakukan dengan menggunakan penafsiran foto
udara. Kemiringan lereng yang dilaksanakan dapat menggunakan klasifikasi menurut Dit. Jen RRL
Dept. Kehutanan. Pengukuran kelerengan tetap dilaksanakan pada survei lapangan yang
selanjutnya juga dapat digunakan untuk kunci klasifikasi.

3. Kondisi Drainase

Penilaian kondisi drainase dilaksanakan secara kualitatif dengan menggunakan indikasi lapangan
yang ada. Kriteria penilaian kondisi drainase dapat dilihat pada tabel berikut.
4. Kondisi Permukaan Lahan.
Kondisi permukaan lahan dinyatakan dengan prosentase areal batuan di permukaan dan prosentase
singkapan batuan. Untuk mempermudah penetapan prosentase terhadap luasan tertentu dapat
menggunakan pola sebaran bercak (Lampiran 1). Pada kondisi permukaan yang melebihi 50 %
maka digunakan perkiraan yang berdasarkan pada pola sebaran bercak tersebut.

5. Jenis Tanah.

Petunjuk penentuan jenis tanah dapat diperoleh dari berbagai sumber, tetapi disarankan
menggunakan buku US Soil Taxonomi. Petunjuk teknis ini tidak akan enguraikan secara khusus
cara penentuan jenis tanah. Namun demikian yang lebih penting untuk diingat adalah karakter
masingmasing jenis tanah tersebut.
6. Tipe batuan dan Kedalaman Regolit.

Klasifikasi tipe batuan dan kedalaman regolit dapat diuraikan seperti pada tabel berikut.
7. Kedalaman Tanah.

Penilaian kedalaman tanah pada potret udara perlu memperhatikan letak areal terhadap perbukitan
atau topografinya, seperti telah disinggung pada bab terdahulu. Klasifikasi kedalaman tanah sesuai
tabel berikut.

8. Sifat Fisik Tanah.

Identifikasi sifat fisik tanah dari potret udara skala 1 : 20 000 sangat sulit untuk dilakukan, sehingga
dianjurkan penilaian parameter sifat fisik tanah dilakukan di lapangan. Buku pedoman praktis yang
bisa digunakan untuk identifikasi sifat fisik tanah di lapangan adalah Selidik Cepat Ciri Tanah di
Lapangan ( Tejoyuwono, 1985). Untuk kegiatan ini sifat fisik tanah yang dinilai hanya tekstur dan
struktur tanah. Klasifikasi tekstur dan struktur tanah diuraikan pada tabel berikut.

9. Sifat Kimia Tanah.

Penilaian sifat kimia tanah tidak bisa dilakukan dengan penafsiran potret udara, khusus untuk pH
penilaian dilakukan di lapangan dengan perlengkapan yang ada. Ada beraneka ragam peralatan
pengukuran pH di lapangan, oleh karena itu dianjurkan untuk memilih peralatan pH meter sendiri.
Sedangkan untuk sifat kimia yang lain harus melalui analisis laboratorium. Untuk keprluan
tersebut maka diperlukan pengambilan sampel tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara
komposit yaitu dengan mengambil contoh tanah dari beberapa tempat yang berbeda pada satu unit
lahan, kemudian dicampur menjadi satu dan dianalisis di laboratorium. Hasil analisis sifat kimia
tanah dapat dinilai seperti pada Tabel 10 berikut.
10. Kondisi Erosi

Kondisi erosi sangat mudah untuk diidentifikasi menggunakan potret udara, demikian pula
prosentase unit lahan yang mengalami erosi. Penilaian jenis dan tingkat erosi menggunakan
kriteria berikut. Klasifikasi jenis dan tingkat erosi diuraikan pada tabel berikut.
11. Iklim.

Secara alamiah pertumbuhan tanaman tergantung pada kondisi tanah, lahan dan iklim. Oleh karena
itu kegiatan ISDL juga perlu mengumpulkan informasi tentang iklim. Berbeda dengan parameter
lain yang bisa dikumpulkan langsung di lapangan, parameter iklim memerlukan pencatatan data
dalam kurun waktu yang relatif panjang, sehingga kegiatan ini lebih banyak mengumpulkan data
sekunder. Parameter iklim yang penting dalam klasifikasi ini adalah suhu, temperatur dan curah
hujan. Data tentang suhu dan temperatur biasanya agak sulit dijumpai, tetapi data curah hujan
biasanya tersedia. Data curah hujan yang penting untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian
lahan mencakup data hujan setahun (dalam mm), dan banyaknya bulan basah dan bulan kering
selama setahun.

Gambar 3 : Pembagian wilayah hujan dengan metode poligon Thiessen

Khusus tentang penakar hujan, biasanya terdapat beberapa penakar hujan pada suatu wilayah yang
disurvei. Untuk menentukan areal yang diwakili oleh masing-masing penakar hujan, maka dapat
digunakan metode poligon Thiessen ( Gambar 3 ). Peta poligon Thiessen inilah yang akan
digunakan untuk operasi overlay nya.

2.5. Pengelolaan Data Inventarisasi Sumber Daya Lahan.


Hasil survei lapangan belum berguna bagi perencanaan maupun pengelolaan hutan, tanpa
pendayagunaan lebih lanjut. Dengan demikian maka langkah berikutnya dari survei lapangan
ISDL adalah pengelolaan data. Kegiatan pengelolaan data terdiri dari dua tahapan yaitu manipulasi
data dan tabulasi data.

Manipulasi data adalah suatu cara penyajian data sedemikian rupa sehingga data tersebut dapat
dikomunikasikan dan mudah dimengerti. Penggunaan kode baik angka maupun huruf merupakan
bagian dari proses manipulasi data tersebut. Sedangkan tabulasi data adalah upaya pengelolaan
data dengan memasukkan data hasil survei ke dalam suatu tabel. Sesuai dengan tujuan survei ISDL
untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan maka pengelolaan data diarahkan untuk
menyiapkan data hasil survei lapangan yang selanjutnya dimasukkan dalam sistem, dalam hal ini
adalah SIG.

Pembuatan kode untuk setiap parameter telah diuraikan pada bab sebelumnya. Kode-kode tersebut
juga telah dituliskan pada kartu lapangan sebagai hasil survei inventarisasi sumber daya lahan.
Sebelum melaksanakan tabulasi data, perlu dibuat rancangan tabulasi tersebut sehingga dapat
dikontrol kelengkapannya. Beberapa prinsip dalam pelaksanaan tabulasi dapat disebutkan sebagai
berikut:

1. Setiap data harus masuk dalam satu kolom dan jangan sampai ada satu kolom mengandung
dua data
2. Kode data sebaiknya dalam bentuk numerik (angka 1,2,3 dst) dan usahakan tidak
menggunakan karakter (huruf a, b,c) Contoh rancangan tabulasi data dapat dilihat pada
Tabel 12 berikut.

Keterangan: LU = land unit LF = Landform SL = Slope = kemiringan lereng DR = Drainase PrBT


= Prosentase Batuan PrSg = Prosentase singkapan Tbt = Tipe batuan Teks = Tekstur tanah Struk
= Struktur tanah pH = Keasaman tanah KdT = Kedalaman tanah
Kode masing-masing parameter dapat dilihat pada bab terdahulu. Pengelolaan data tersebut dapat
dilakukan dengan manual atau dengan komputer. Pengelolaan data manual dapat dilakukan dengan
pembuatan tabel biasa, tetapi cara ini akan menyulitkan pembaruan (updating) data. Apabila
tersedia fasilitas komputer dianjurkan untuk menggunakan perangkat lunak Lotus atau DBASE.
Kedua program tersebut telah dikenal secara luas dan mudah dipelajari. Dalam kaitannya dengan
pemanfaatan SIG dan pembuatan database di komputer dianjurkan menggunakan DBASE karena
format ini dapat dimasukkan ke piranti lunak SIG.

III. KLASIFIKASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN.

3.1. Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kemampuan penggunaan lahan adalah suatu sistematika dari berbagai penggunaan lahan
berdasarkan sifat-sifat yang menentukan potensi lahan untuk berproduksi secara lestari. Lahan
diklasifikasikan atas dasar penghambat fisik. Sistem klasifikasi ini membagi lahan menurut
faktorfaktor penghambat serta potensi bahaya lain yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Jadi, hasil klasifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan secara
umum (misalnya untuk budidaya tanaman semusim, perkebunan, hutan produksi dsb). Di areal
HTI hasil klasifikasi ini terutama akan bermanfaat untuk alokasi areal sistem tumpangsari.

Klasifikasi Kemampuan Penggunaan Lahan (KPL) menggunakan metoda yang dikembangkan


oleh USDA dan telah diadaptasikan di Indonesia melalui Proyek Pemetaan Sumber Daya Lahan
kerjasama antara Land Care Research New Zealand dengan Dept. Kehutanan tahun 1988- 1990 di
BTPDAS Surakarta (Fletcher dan Gibb, 1990).

Ada tiga kategori dalam klasifikasi KPL, yaitu : Klas, Sub Klas dan Unit. Pengelompokan Klas
didasarkan pada intensitas faktor penghambat, sedangkan Sub Klas menunjukkan jenis faktor
penghambat. Tingkat terendah adalah Unit yang merupakan pengelompokan lahan yang
mempunyai respon sama terhadap sistem pengelolaan tertentu.

Secara umum sistem ini menggunakan delapan Klas. Apabila makin besar faktor penghambatnya
dan makin tinggi Klasnya maka akan semakin terbatas pula penggunaannya. Pembagian Klas-klas
tersebut adalah sebagai berikut :

 Klas I – IV dapat digunakan untuk sawah, tegalan atau tumpangsari


 Klas V untuk tegalan atau tumpangsari dengan tindakan konservasi tanah
 Klas VI untuk hutan produksi
 Klas VII untuk hutan produksi terbatas
 Klas VIII untuk hutan lindung

Adapun penghambat yang digunakan adalah e (erosi), w (drainase), s (tanah), c (iklim) dan g
(kelerengan). Pada klasifikasi ini dikenal prioritas penanganan penghambat berdasarkan tingkat
kemudahan penanganannya. Pada kelas yang sama, bilamana mempunyai beberapa penghambat
maka akan dipilih prioritas penghambat yang paling besar. Urutan prioritas penghambat tersebut
adalah (dari yang paling mudah diatasi) e – w – – s – c – g. Jadi apabila hasil klasifikasi dalam
satu unit lahan menunjukkan Klas IVe, IVw dan IVs, maka akan ditetapkan sebagai Klas IVs
karena mempunyai jenis penghambat yang paling sulit ditangani.

Deskripsi tiap Klas, Sub Klas dan Unit dalam sistem klasifikasi KPL mengikuti standar yang ada.
Deskripsi tersebut dapat dinyatakan dalam satu tabel kriteria. Kriteria ini kemudian digunakan
untuk melakukan sortasi data karakteristik lahan di setiap unit lahan. Contoh kriteria untuk Klas I
antara lain adalah adanya teknik konservasi tanah yang baik, tidak ada erosi, kedalaman tanah >
90 cm, lereng 0 – 8 % dan tidak ada batuan singkapan pada permukaan tanah.

Secara lengkap kriteria Kemampuan Penggunaan Lahan dapat dilihat pada Lampiran 2. Contoh
operasi klasifikasi secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:

 Suatu wilayah mempunyai kondisi tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria yang disebut
pada Bab 2.4 dan hasilnya ditulis pada Tabel 13 kolom 2.
 Setiap parameter dinilai berdasarkan kriteria Lampiran 2 dan hasilnya masuk ke kolom 3.

Berdasarkan prinsip klasifikasi, maka lokasi yang mempunyai karakteristik lahan tersebut
termasuk Kelas VIg (termasuk kelas VI karena hambatan kemiringan lereng). Penentuan Unit
didasarkan pada tipe batuan yang ada. Bila tipe batuannya sama, maka penentuan unit didasarkan
pada bentuk lahannya. Operasi klasifikasi tersebut dilakukan pada setiap unit lahan.
3.2. Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Berbeda dengan klasifikasi ‘Kemampuan Lahan’ yang merupakan klasifikasi tentang potensi lahan
untuk penggunaan secara umum, ‘Kesesuaian Lahan’ lebih menekankan pada kesesuaian lahan
untuk jenis tanaman tertentu. Dengan demikian klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan akan
saling melengkapi dan memberikan informasi yang menyeluruh tentang potensi lahan.

Ada beberapa metoda yang dapat digunakan untuk pelaksanaan klasifikasi kesesuaian lahan,
misalnya metode FAO (1976) yang dikembangkan di Indonesia oleh Puslittanak (1993), metode
Plantgro yang digunakan dalam penyusunan Rencana Induk Nasional HTI (Hacket,1991 dan
National Masterplan Forest Plantation/NMFP, 1994) dan metode Webb (1984). Masing-masing
mempunyai penekanan sendiri dan kriteria yang dipakai juga berlainan. Metoda FAO lebih
menekankan pada pemilihan jenis tanaman semusim, sedangkan Plantgro dan Webb lebih pada
tanaman keras.

Pada prinsipnya klasifikasi kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara memadukan antara
kebutuhan tanaman atau persyaratan tumbuh tanaman dengan karakteristik lahan. Oleh karena itu
klasifikasi ini sering juga disebut species matching. Klas kesesuaian lahan terbagi menjadi empat
tingkat, yaitu : sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N). Sub Klas
pada klasifikasi kesesuaian lahan ini juga mencerminkan jenis penghambat. Ada tujuh jenis
penghambat yang dikenal, yaitu e (erosi), w (drainase), s (tanah), a (keasaman), g (kelerengan) sd
(kedalaman tanah) dan c (iklim). Pada klasifikasi kesesuaian lahan tidak dikenal prioritas
penghambat. Dengan demikian seluruh hambatan yang ada pada suatu unit lahan akan disebutkan
semuanya. Akan tetapi dapat dimengerti bahwa dari hambatan yang disebutkan ada jenis hambatan
yang mudah (seperti a, w, e, g dan sd) atau sebaliknya hambatan yang sulit untuk ditangani (c dan
s). Dengan demikian maka hasil akhir dari klasifikasi ditetapkan berdasarkan Klas terjelek dengan
memberikan seluruh hambatan yang ada. Perubahan klasifikasi menjadi setingkat lebih baik
dimungkinkan terjadi apabila seluruh hambatan yang ada pada unit lahan tersebut dapat diperbaiki.
Untuk itu maka unit lahan yang mempunyai faktor penghambat c atau s sulit untuk diperbaiki
keadaannya.

Klasifikasi kesesuaian lahan dilakukan dengan melalui sortasi data karakteristik lahan berdasarkan
kriteria kesesuaian lahan untuk setiap jenis tanaman. Contoh beberapa kriteria pertumbuhan
tanaman dapat dilihat pada Lampiran 4. Kriteria tersebut dapat diperoleh dari FAO (1983 dan
1993), Webb (1984) dan Plantgro (1991).

Prinsip klasifikasi kesesuaian lahan hampir sama dengan kemampuan lahan, yaitu: 1. Katagori
Kelas diputuskan sesuai dengan Kelas kesesuaian terendah. 2. Pada kelas yang sama tetapi ada
beberapa sub Kelas yang berbeda, semua sub kelas yang ada perlu disebut dan tidak ada prioritas.

Bila suatu wilayah akan dinilai tingkat kesesuaiannya terhadap tanaman jati (Tectona grandis),
maka diperlukan inventarisasi kondisi iklim, tanah dan lahannya. Hasil inventarisasi tersebut
kemudian dicocokkan dengan kriteria tempat tumbuh tanaman. Contoh operasi klasifikasi secara
sederhana dapat dilihat pada Tabel 14.
Hasil akhir klasifikasi untuk wilayah tersebut adalah sesuai marjinal (S3) dengan jenis hambatan
meliputi hambatan keasaman tanah, prosentase batuan dan kelerengan.

Operasi klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan yang dicontohkan tersebut di atas akan
dilakukan dengan menggunakan fasilitas Sistem Informasi Geografis. Bila tidak tersedia perangkat
komputer untuk melaksanakan klasifikasi dengan SIG ini, maka prinsip-prinsip SIG seperti yang
diuraikan terdahulu tetap dapat dilaksanakan secara manual. Namun demikian bila jumlah unit
lahan yang harus diklasifikasi sangat banyak maka penggunaan perangkat komputer akan sangat
membantu. Selanjutnya uraian berikut akan diberikan dengan asumsi menggunakan perangkat
komputer untuk melakukan analisa klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan.

3.3. Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan dengan Pendayagunaan SIG

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem analisis yang digunakan untuk operasi
analisa data spasial. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan suatu tempat (locational)
dan terdiri dari dua bentuk yaitu data grafis dan data atribut yang menerangkan data grafis tersebut
(Gambar 4). Analisa SIG yang sudah lama dikenal adalah analisa tumpang susun (overlay) dan
analisa basis data dalam tabel. Prinsip dasar analisa ini sudah lama dikenal dan dilaksanakan secara
manual, terutama oleh perencana untuk mendukung pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan suatu pengelolaan. Perkembangan komputerisasi dan kartografi kemudian memungkinkan
analisis dalam SIG yang dahulunya dikerjakan secara manual sekarang dapat dikerjakan secara
elektronis sehingga prosesnya lebih cepat dan hasilnya akurat.
Dengan fasilitas SIG, data yang masuk ke dalam sistem dapat dipanggil kembali dan ditampilkan
dalam berbagai bentuk. Perubahan keadaan yang terjadi, terutama pada faktor-faktor yang
dinamis, dapat langsung dan dengan mudah dilakukan. Data dan atribut tersebut disimpan dalam
sub sistem DBMS (Database Management System), sehingga dapat dihindarkan tampilan data
yang tidak menunjang proses perencanaan. Data yang tidak ditampilkan tidak berarti hilang,
melainkan masih tersimpan di dalam sistem dan dapat dipanggil sewaktu-waktu apabila
diperlukan. Hubungan antara atribut dan data geografi juga dapat diketahui sehingga memudahkan
telaah data terhadap suatu fenomena. Data juga siap untuk digunakan dalam analisis, baik analisis
spasial maupun analisis sortasi biasa.

Analisis data spasial yang umum dilakukan adalah tumpang susun peta (overlaying) baik tumpang
susun sederhana (dua peta saja) maupun yang menyangkut banyak peta. Sortasi data yang ada
dalam DBMS juga dapat dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Klasifikasi KPL dan kesesuaian
lahan dalam kegiatan ini akan menggunakan kemampuan analisis dari SIG tersebut.

Tahapan kerja pendayagunaan SIG untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dapat
dilihat pada Gambar 5 berikut. Masing-masing tahapan kegiatan akan diuraikan di bawah ini.
1. Pemasukan data.
a) Jenis data yang akan dimasukkan ke dalam sistem dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu data
grafis (berupa peta-peta dasar dan peta hasil penafsiran foto udara) dan data atribut (berupa data
hasil penilaian parameter fisik lapangan di setiap unit lahan pada waktu ISDL).

b) Data grafis dimasukkan ke dalam sistem melalui proses Digitasi, sedangkan data atribut
langsung dimasukkan melalui sistem pengelolaan data dasar (Database Management System/
DBMS). DBMS yang saat ini banyak dikenal yaitu DBASE IV.

c) Pemasukan lembar peta baru (coverage) harus selalu dimulai dengan pemasukan titik kontrol.
Pada umumnya setiap perangkat lunak SIG menghendaki paling sedikit empat titik kontrol. Titik-
titik kontrol ini harus jelas posisinya dan mudah diidentifikasi koordinatnya di peta dasar maupun
di lapangan, karena titik-titik ini nantinya digunakan untuk transformasi. Persimpangan jalan atau
percabangan sungai dapat digunakan sebagai titik-titik kontrol yang mudah diidentifikasi.

d) Pada saat digitasi akan terjadi dua kemungkinan kesalahan penggambaran pada pertemuan dua
garis, yaitu garis yang tidak bertemu (undershoot) dan garis yang berpotongan (overshoot).
Berdasarkan pengalaman editing garis berpotongan lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan
garis yang tidak bertemu. Untuk itu dianjurkan melebihkan garis pada akhir digitasi. Garis tak
menyambung (Undershoot) Garis yang berpotongan (Overshoot)

Gambar 6 : Cara mengakhiri digitasi pada ujung garis e) Sesuai dengan jenis gambaran yang ada
(titik, garis dan poligon), maka digitasi tiap lembar perlu ditentukan jenis gambaran nya. Sungai
dan jalan dimasukkan ke dalam sistem sebagai lembar garis (line coverage), peta unit lahan dan
peta hujan dimasukkan sebagai lembar poligon (polygon coverage), sampel pengamatan dan desa
dimasukkan sebagai lembar titik (point polygon). f) Data atribut dimasukkan langsung dengan
fasilitas DBMS yang ada.

2. Transformasi dan Pembentukan Topologi

a) Transformasi dilakukan untuk memproyeksikan koordinat suatu coverage dari suatu sistem
koordinat ke sistem koordinat baku. Hal ini diperlukan karena pada waktu melakukan masukan
data malalui digitizer, koordinat yang digunakan adalah koordinat digitizer. Transformasi ini
didasarkan pada titik-titik kontrol yang telah ditentukan pada saat digitasi. Transformasi dilakukan
dengan mengganti koordinat digitizer suatu coverage dengan koordinat sebenarnya yang diperoleh
dari peta rujukan. Peta kerja yang telah disiapkan kemudian ditransformasikan ke coverage kosong
yang telah mempunyai koordinat peta rujukan tersebut.

b) Transformasi dianjurkan untuk menggunakan sistem proyeksi UTM. Bila peta dasarnya belum
mempunyai proyeksi peta tertentu, maka bisa menggunakan peta dasar berkoordinat UTM sebagai
referensi dengan menggunakan titik kontrol. Namun bila peta kerja mempunyai sistem proyeksi
peta yang belum seragam, perlu disamakan terlebih dahulu. Ada beberapa perangkat lunak untuk
mengkonversi sistem proyeksi peta yang berbeda.

c) Setelah peta ditransformasikan, maka bisa dibuat plotting dengan berbagai skala sesuai
kebutuhan.

d) Topologi dalam bahasa yang sederhana bisa diartikan sebagai hubungan antara data grafis
dengan tabel atribut. Di setiap perangkat lunak telah tersedia fasilitas untuk pembentukan topologi
secara otomatis. Pada ARC/INFO, misalnya, tersedia BUILD dan CLEAN.

3. Editing Perbaikan hasil digitasi data grafis mutlak diperlukan untuk mendapatkan data yang
akurat. Proses pembentukan hasil pemasukan data ini biasa disebut editing. Beberapa kesalahan
yang sering timbul pada proses digitasi, yaitu:

 Poligon yang tidak berlabel atau mempunyai label lebih dari satu
 Kesalahan pada saat mengakhiri digitasi garis (overshoot dan undershoot)
 Kesalahan posisi label
 Penomoran label
 Kesalahan penomoran

4. Analisis

Secara garis besar ada dua jenis analisis dalam SIG yang digunakan dalam proses Klasifikasi
Kemampuan dan Kesesuaian Lahan, yaitu analisis data grafis dan analisis data dasar. Analisis data
grafis lebih dikenal dengan tumpang susun (overlay), sedangkan analisis data dasar disebut query.

a. Tumpang Susun (overlay)

Tumpang Susun (overlay) suatu data grafis adalah menggabungkan antara dua atau lebih data
grafis untuk diperoleh data grafis baru yang memiliki satuan peta gabungan dari dua atau lebih
data grafis tersebut. Jadi akan diperoleh suatu peta baru. Untuk dapat melakukan tumpang susun,
semua data grafis harus memiliki sistem koordinat yang sama. Koordinat yang sama diperoleh dari
hasil transformasi nilai koordinat digitizer ataupun nilai koordinat yang sebenarnya. Dengan
memasukkan nilai koordinat sebenarnya akan diperoleh luasan baku masing-masing unit lahan.
Tumpang susun dapat dilakukan dengan perintah identity, intersect, union dan update. Pada
kegiatan analisis kemampuan dan kesesuain lahan, tumpangsusun dilakukan untuk
menggabungkan peta unit lahan dengan peta hujan, peta petak dan peta topografi (Gambar 1).
Dengan SIG yang berstruktur data vektor melalui penggabungan tersebut akan diperoleh data
vektor baru yang merupakan kombinasi data-data dari coverage/peta yang digabungkan.
Sedangkan pada SIG yang berstruktur data raster, informasi yang terbentuk akan tercampur
menjadi suatu nilai pixel baru.

b. Analisis Basis Data

Analisis ini hanya dilakukan pada SIG yang berstruktur data vektor. Prinsip dasar untuk
melakukan analisis ini adalah melakukan perhitungan atau sleksi kriteria menurut kolo-kolom
dalam basis data. Untuk memudahkan prosedur kerja dan meneliti kebenaran operasi analisis data,
maka dianjurkan untuk menggunakan bahasa makro sederhana yang dituliskan sesuai dengan
kriterianya. Penulisan bahas makro dapat dimasukkan pada textfile kemudian baru dijalankan pada
programnya.

Analisis basis data untuk klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dilakukan dengan
menggunakan urutan perintah makro berdasarkan kriteria kemampuan dan kesesuaian lahan, yang
dijalankan pada tabel atribut pada coverage hasil penggabungan. Kriteria klasifikasi kemampuan
lahan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan contoh urutan bahasa makro yang mendasarkan pada
kriteria tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Contoh kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa
jenis tanaman industri,, tanaman pangan dan tanaman buah dapat dilihat pada Lampiran 2 dan
contoh urutan bahasa makro untuk melakukan analisis pada Lampiran 4. Pada tabel basis data atau
tabel atribut, hasil klasifikasi tersebut perlu dimasukkan padakolom tersendiri, sehingga
memudahkan untuk menyajikan suatu tampilan hasil klasifikasi.

IV. PENYAJIAN HASIL KLASIFIKASI

Penyajian hasil klasifikasi dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu melalui suatu cetakan tabel
basis data atau tabel hasil analisis frekuensu, cetakan peta dan penayangan tabel basis data dan
data grafis pada monitor melalui fasilitas display. Penayangan dan pencetakan tabel basis data
dapat berupa penayangan seluruh data, sebagian data maupun pengelompokan data. Pencetakan
peta dapat dilakukan setelah terlebih dahulu disusun sustu komposisi peta. Sedangkan penayangan
tabel basis data dan data grafis pada layar monitor dapat dilakukan dengan fasilitas display pada
piranti lunak SIG atau piranti lunak khusus untuk display.

Fasilitas display dalam suatu proses perencanaan dibutuhkan untuk menampilkan data dasar dan
menyajikan hasil analisis yang telah dilakukan pada tahap sebeelumnya. Setiap piranti lunak akan
mempunyai modul display. Pada PC ARC/INFO, misalnya modul display terdapat pada pada
ARCPLOT. Disamping itu ada pula perangkat lunak yang dirancang khusu untuk penayangan hasil
analisis SIG misalnya ARCVIEW.

Penampilan data dasar dan penyajian hasila anlisi dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu
pembuatan komposisi peta atau tampilan menu (user interface). Tujuan utama membuat komposisi
peta adalah untuk menyajikan informasi data grafis ke dalam format kartografiyang baik dan
benar. Hasil komposisi peta dapat disimpan dalam bentuk plot file atau dapat juga langsung dicetak
dengan plotter atau printer.

Untuk membuat komposisi peta yang baik dan benar dianjurkan menggunakan urutan perintah
bahasa makro yang telah disusun dalam suatu text file kemudian dicoba beberapa kali sampai
diperoleh hasil yang sempurna untuk disimpan dalam bentuk plot file atau langsung dicetak.
Contoh urutan perintah makro untuk komposisi peta tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. .

PENUTUP

Kegiatan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan mudah secara
manual dengan mencocokkan sifat-sifat fisik lahan yang dicandra di lapangan dan hasil analisis
laboratotium dengan kriteria kemampuan lahan maupun kesesuaian lahan untuk jenis tanaman
tertentu. Namun demikian bila kegiatan ini meliputi skala yang luas dan tersebar maka di perlukan
sistem yang dapat mempermudah kegiatan analisa klasifikasi.

Pada saat ini ada beberapa perangkat lunak SIG, namun pedoman teknis ini disusun untuk mengacu
pada perangkat lunak tertentu. Contoh-contoh yang dikemukakan dalam pedoman teknis ini
mengacu pada perangkat lunak PC ARC/INFO karena perangkat lunak ini paling banyak
digunakan. Perintah dan modul yang digunkan untuk setiap perangkat lunak akan berbeda namun
demikian tahapan kerja yang harus dikerjakan dapat dipastikan sama.

Petunjuk teknis ini juga mengacu pada struktur data tertentu yaitu data vektor. Dalam uraian
tentang proses tumpangsusun sudah dijelaskan tentang operasi analisis data vektor dengan data
raster. Cara analisis kedua struktur data tersebut mempunyai perbedaan dalam beberapa hal.
Misalnya, pada operasi tumpang susun data vektor hanya bisa dilakukan untuk dua peta
(coverage). Jadi bila akan mengabungkan lebih dari dua peta maka dilakukan secara bertahap.
Pada data raster tumpangsusun dapat dilakukan dengan lebih dari dua peta sekaligus.

Bagi para pengguna SIG, pelaksanaan klasifikasi seperti yang diuraikan dalam pedoman teknis ini
bukan merupakan hal sulit, karena semua langkah yang dianjurkan sudah dikenali. Ada beberapa
acuan yang harus digunakan tetapi tidak diuraikan secara khusus dalam petunjuk teknis ini,
terutama dalam hal inventarisasi sumber daya lahan. Penentuan watak fisik tanah misalnya, perlu
menggunakan acuan tersendiri dan dipelajari sendiri karena tidak tercakup dalam buku ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad S, 1989, Konservasi Tanah dan Air, Penerbit IPB Bogor, 200pp

CSR/FAO. 1983. Reconnaisance Land Resources Surveys 1 : 250.000 Scale, Atlas Format
Procedures. Ministry of Agriculture and FAO/UNDP. Bogor. 106 pp.

Desaunettes, J.R, 1977, Catalogue of Landforms for Indonesia, Soil Research Institute Bogor,
FAO, 11 pp and appendixes

Djaenuddin, D, Dkk, (1994), Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Kehutanan (Land
Suitability for Agriculture and Silvicultural Plants), Second Land Resource Evaluation and
Planning Project, ADB Loan 1099, INO, Laporan Teknis No 7 Versi 1.0. 51 pp
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin no 32 and ILRI Publication
no 22. International Institute for Land Reclamation and Improvement/ILRI. Wageningen. the
Netherlands. 87 pp.

Fletcher, J.R. and R.G. Gibb. 1991. Land Resource Inventory Handbook for Soil Conservation
Planning in Indonesia. NZ DSIR Scientific Report No. 11. NZ DSIR Land Resources and Dir Gen
RLR of Indonesia. 87 pp.

Foth, Henry D, 1991, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Terjemahan Oleh Endang Dwi Purbayanti, Dwi
Retno Lukiwati, Rahayuning Trimulatsih, Editor Sri Andayani B. Hudoyo, Gadjah Mada
University Press, Edisi ketujuh, 781 pp

Gintings, A.N. 1996, Pedoman Pemilihan Jenis Pohon untuk Hutan Tanaman dan Kesesuaian
Lahan, Badan Litbang Kehutanan Jakarta, 25 hal

Hacket, C. 1990. Plantgro – A Software Package for Coarse Prediction of Plant Growth. Australia.
CSIRO. 242 pp.

Hudson, N, 1992, From Soil Conservation to Land Husbandry, Australian Journal of soil and
Water Conservation 5, 4-8.

Kucera, K.P, 1998, Guidelines for Soil and Terrain Field Describtion in Integrated Watershed
Management Studies for Indonesia using The USDA System, Konto River Project ATA 206 Phase
III, Project Communication No. 6

Nugroho Sulistyo Priyono, C dan Paimin, 1993, Inventarisasi Sumber Daya Lahan yang Didukung
Sistem Informasi Geografis untuk Perencanaan Konservasi Tanah, Paper Seminar dan Konggres
Masyarakat Konservasi Tanah dan Air (MKTI) di Yogyakarta 12 pp.

Nugroho Sulistyo Priyono, C. 1993. Penilaian Parameter Fisisk Lahan, Bahan Bacaan Kursus
Perisalahan Lahan Hutan Lanjutan, Perum Perhutani, Pusdik Kehutanan Cepu, 12 pp.

Nugroho Sulistyo Priyono, C. 1996, Evaluasi Lahan, Bahan Bacaan Kursus Perisalahan Lahan
Hutan Lanjutan, Perum Perhutani, Pusdik Kehutanan Cepu, 12 pp.

Nugroho Sulistyo Priyono, C. 1996, Identifikasi Parameter Fisik Lahan Melalui Inventarisasi
Sumber Daya Lahan. Bahan Bacaan Kursus Perisalahan Lahan Hutan Lanjutan, Perum Perhutani,
Pusdik Kehutanan Cepu, 17 pp.

Nugroho Sulistyo Priyono, C dan Sadhardjo S. dan Bambang S,1996, Pendayagunaan Sistem
Informasi Geografi (SIG) dan Pengolahan Data Elektronik (PDE) untuk Pengelolaan Hutan
Tanaman, Duta Rimba, 189-190/XX;43-49 p.

Puslitanak, 1993, Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan, Kerjasama antara Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional, Badan Litbang Pertanian,
Bogor, 112pp
Notoprawiro, T, 1985, Selidik cepat Ciri Tanah di Lapangan, Ghalia Indoenesia, 94 pp

Anda mungkin juga menyukai