Anda di halaman 1dari 9

APPENDICITIS AKUT

DEFINISI

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan


merupkan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendisitis dapat mengenai
semua umur, baik laki-laki maupun perempuan.

Gejala Klinis
Appendisitis sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh reaksi radang pada
appendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritonium lokal. Gejala klasik appendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini
sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik McBurney. Disini
nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatic setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrum tetapi terdapat konstipasi
sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat
perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau
batuk.

Bila letak appendiks retrocaecal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung
caekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada
saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga peristaltik meningkat,
2

pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika appendiks
tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing,
karena rangsangan dindingnya.

Pada beberapa keadaan, appendisitas agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani
pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala appendisitis pada anak tidak spesifik.
Gejala awal hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan
rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan lethargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering appendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi 80-90% kasus appendisitis baru
diketahui setelah terjadinya perforasi.

Pada orang usia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja. Tidak jarang terlambat
didiagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
terjadi perforasi.

Pada kehamilan, keluhan utama appendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah.
Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi
mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut caekum dengan appendiks terdorong ke
kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan.

Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
 Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan
3

juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg Sign).

 Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding
panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini
dilakukan pada apendisitis pelvika.

Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk


menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang
terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis
pelvika. Peristaltik usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik
pada peritonitis generalisata akibat apendisitas perforasi. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya
pada appendisitis pelvika.

Pada appendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak
dianjurkan. Pemeriksaan Psoas Sign dan Obturator Sign merupakan pemeriksaan
yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak appendiks. Psoas Sign dengan
rangsangan muskulus psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Obturator
Sign digunakan untuk melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan
muskulus obturator internus yang merupakan dinding pelvis minor. Dengan gerakan
4

fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada appendisitis pelvika
akan menimbulkan nyeri.

2. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.1,6


Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.3,5

Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendisitis bila diagnosis meragukan,


sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-
2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi bisa meningkatkan
akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang meragukan.

DIAGNOSIS

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis


apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis
lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari
mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan
yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan
angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi
penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang
5

dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis


pada kasus yang meragukan.2

Diagnosis Banding

 Gastroenteritis
 Infeksi panggul
 Kehamilan di luar kandungan
 Kista ovarium
 Endometriosis eksterna
 Urolitiasis pielum/ureter kanan

Pengelolaan
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara,
yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah
terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan
adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini
merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala
membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala
berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan
drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta
pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah
dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan
tindakan bedah.2,6

Diagnosis dan tatalaksana appendisitis dapAt ditegakkan berdasarkan alvarado skor


sebagai berikut :
Skor Alvarado Skor pada pasien
6

Gejala
Nyeri Abdominal pindah ke fossa iliaca kanan 1 1
Anoreksia atau penurunan nafsu makan 1 1
Mual atau muntah 1 1
Tanda Klinis
Nyeri Lepas 1 1
Nyeri tekan fossa illiaca kanan 2 2
Demam (suhu >37,2) 1 1
Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis (leuukosit >10.000/ml) 2 2
Shift to left (neutrofil >75%) 1

Hasil skoring:
1-4 : bukan appendisitis akut, terapi konservatif
5-6 : mungkin/curiga appendisitis akut, operasi
7-10 : appendisitis akut, appendektomi definitif

Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi usus buntu mungkin didahului oleh
adanya penyumbatan di dalam usus buntu. Bila peradangan berlanjut tanpa
pengobatan, usus buntu bisa pecah.Usus buntu yang pecah bisa menyebabkan :
 Peritonitis
 terbentuknya abses
 pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan
penyumbatan pada saluran yang bisa menyebabkan kemandulan
 septikemi

PENCEGAHAN
Pencegahan apendisitis sebgai berikut:
a. Pencegahan Primer
7

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap


kejadian appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh
kepada masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
 Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat
dan insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian
membuktikan bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian
penyakit saluran pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan
mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa
makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang
mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
 Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.
Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces
dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon
fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di
kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces
yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan
intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya
bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media
kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan
peradangan pada appendiks.
 Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar
juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi.
c. Pencegahan Tersier
8

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi


yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka
abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi
diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi
disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
9

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah


Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima.
Media Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.

2. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.

3. Zeller, J.L., Burke, A.E., Glass, R.M., “Acute Appendicitis in Children”, JAMA,
http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/298/4/482, 15 Juli 2007, 298(4): 482.

4. Simpson, J., Humes, D. J., “Acute Appendicitis”, BMJ,


http://www.bmj.com/cgi/content/full/333/7567/530, 9 September 2006, 333: 530-536.

5. Mittal, V.K., Goliath, J., Sabir, M., Patel, R., Richards, B.F., Alkalay, I., ReMine,
S., Edwards,M., “Advantages of Focused Helical Computed Tomographic
Scanning With Rectal Contrast Only vs Triple Contrast in the Diagnosis of
Clinically Uncertain Acute Appendicitis”, Archives of Surgery,
http://archsurg.ama-assn.org/cgi/content/full/139/5/495, Mei 2004, 139(5): 495-500

6. Grace, Pierce. A., Neil R. Borley., At a Glance, Edisi 3. Erlangga, Jakarta, 2007,
hlm.106-107.

7. Lawrence W. Way and Gerard M. Doherty.2003. Current Surgical Diagnosis and


Treatment. The McGraw-Hill Companies. United State of America.

8. David C Sabiston : buku Ajar Bedah ; Abdomen Akut hal 496 – 499

9. Junias, M. 2009. Hubungan Antara Temuan Skor Alvarado dengan Temuan Operasi
Appendisitis Akut di Rumah Sakit Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai