Anda di halaman 1dari 88

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)

ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 22 TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIAN NATALIA

NIM : 070200147

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)
ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 22
TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-


Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :
DIAN NATALIA
NIM : 070200147

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum


NIP. 196603031985081001

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum Maria Kaban, S.H., M.Hum


NIP. 196603031985081001 NIP. 196012251987032091

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia Nya

yang selalu memenuhi hari-hari saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi

ini untuk melengkapi tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Saya telah berupaya dan berusaha sebaik dan semaksimal mungkin dalam

mengerjakan skripsi ini untuk memperoleh hasil yang terbaik. Adapun judul skripsi ini adalah

“Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009” . Skripsi ini membahas tentang

kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas

publik transportasi. Kemudian juga akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang dapat

menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum dalam

penyelenggaraan pengangkutan. Dan dalam skripsi ini juga membahas mengenai bentuk

perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 kepada

pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik

dalam tata bahasa maupun ruang lingkup pembahasannya. Hal ini tidak terlepas dari

keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, dengan senang hati

saya akan menerima setiap kritik dan saran yang sifatnya membangun dan membantu penulis

dalam menyempurnakan skripsi ini.

Saya menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas

dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan

rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses

penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Maria Kaban, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak

membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses penyusunan dan

penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum sebagai Dosen Wali saya selama saya

berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Keluarga saya yang sangat saya cintai, untuk Bapak ku Dorman Simbolon dan Mama

ku Roshinta Herawaty Sinaga, anugrah terbesar yang diberikan Tuhan ke dalam

kehidupan saya, yang selalu mendukung saya secara jasmani dan rohani, yang selalu

mendoakan saya dan memberikan saya semangat dan kasih sayang, yang menjadi

inspirasi terbesar dalam kehidupan saya. Untuk Kakak saya Desy Purnamasari

Simbolon, Amk dan adik-adik saya Dionisius Pandapotan Simbolon, Dea Ananda

Simbolon, dan Debora Anzelika Simbolon yang selalu memberikan semangat dan
selalu membuat saya tersenyum sehingga saya menjadi kuat dan dapat menyelesaikan

skripsi ini.

10. Kelompok Kecil Jingle Bells, abang saya Erwin A.P Silaban, saudara-saudara saya

Desy K.C Sitepu, Sarah Simanjuntak, Julieta Simorangkir, R.N Abdelina, Linda,

Jepta Panjaitan, Andryanto Pasaribu, dan Adik-Adik saya Revany Bangun, Sri

Hartaty dan Pasca Putri.

11. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Hukum USU: Rotua Hasibuan, Peggy Siahaan, Rina

Stephanie, Rini Laura, Elsamaria, Andy Sitorus, Daniel, Bardixcon, Satra, Ismed,

Aris, Christanti, Borry, dan yang lainnya. Rekan-Rekan MDC (Meriam Debating

Club): Bang Anov, Bang Ucup, Kak Witra, Kak Wina, Satra, Jojo, Miranda, Li Pei

Yung, Udur dan Akmal. Dan saudara saya Kak Rina Ginting.

12. Rekan-rekan saya di Permahi (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) cabang

Medan dan saudara-saudara saya di UKM KMK UP FH USU.

13. Untuk seluruh staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah membantu saya.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi

ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.

Medan, Februari 2011

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................................................................................. vi

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................................................................ 8
C. Pembatasan Masalah ........................................................................................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................................................................ 8
E. Keaslian Penulisan............................................................................................................................... 9
F. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................................................................ 10
G. Metode Penelitian ................................................................................................................................ 16
H. Sistematika Penulisan ......................................................................................................................... 18

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN


A. Perjanjian Secara Umum Menurut KUHPerdata
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian 21

2. Subjek dan Objek Perjanjian 24


3. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian 26
4. Jenis-Jenis Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian 31
5. Akibat Hukum Suatu Perjanjian dan Berakhirnya Suatu Perjanjian 34
B. Pengangkutan Pada Umumnya
1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pengangkutan 38
2. Tujuan dan Unsur-Unsur dalam Pengangkutan 41
3. Prinsip – Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan 44
C. Perjanjian Pengangkutan
1. Pengertian Perjanjian Pengangkutan 45
2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan 47
3. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan 51
BAB III : KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA JASA (PENUMPANG) ANGKUTAN
UMUM
A. Pengertian Pengguna Jasa dan Angkutan Umum ....................................................................... 53
B. Jenis-Jenis Angkutan Umum ............................................................................................................ 57
C. Pengaturan Mengenai Pemberian Izin Angkutan Umum di Indonesia ................................ 61
D. Kedudukan Hukum Pengguna Jasa ( Penumpang) Angkutan Umum .................................. 66
E. Hak dan Kewajiban Pengguna Jasa Angkutan Umum Sebagai Konsumen Fasilitas
Publik Transportasi 68

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)


ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UU NO. 22 TAHUN 2009
A. Hal-Hal yang Dapat Menyebabkan Kerugian Bagi Pengguna Jasa ( Penumpang)
Angkutan Umum Akibat Kesalahan dari Pengangkut 74

B. Tanggung Jawab Pihak Pengangkut Terhadap Kesalahan yang di Lakukan Pihak


Pengangkut dan Pihak Penumpang yang Mengakibatkan Kerugian Bagi Pengguna
Jasa ( Penumpang) Angkutan Umum 79
C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa ( Penumpang) Angkutan
Umum Sebagai Konsumen Fasilitas Publik Transportasi Berdasarkan UU No. 22
Tahun 2009 85

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................................................ 91
B. Saran ........................................................................................................................................................ 92

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan
Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
1
Dian Natalia
2
Hasim Purba
3
Maria Kaban

ABSTRAK
Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun dalam kenyataannya masih sering
pengemudi angkutan melakukan tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi
penumpang. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi
pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha
angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Permasalahan yang diangkat dalam
skripsi ini adalah kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai
konsumen fasilitas publik transportasi, hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi
pengguna jasa (penumpang) angkutan umum dalam penyelenggaraan pengangkutan, dan
bentuk perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 kepada
pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.
Metode penulisan yang mendasari penulisan skripsi ini adalah metode penelitian
normatif dan penelitian sosiologis. Dalam penelitian normatif, penulis melakukan penelitian
melalui peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan penulisan ini
sedangkan dalam penelitian sosiologis, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu
perusahaan pengangkutan di kota Pematangsiantar, yaitu pada perusahaan pengangkutan CV.
Karya Agung. Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan studi
kepustakaan (library research), yaitu mempelajari buku-buku, peraturan perundang-
undangan, catatan kuliah dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini
dan studi lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke objek
penelitian untuk mengumpulkan data dan keterangan-keterangan yang diperlukan.
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pihak pengangkut dan
pihak pengguna jasa sama tinggi. Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi
penumpang akibat kesalahan pihak pengangkut antara lain kecelakaan yang diakibatkan
kelalaian pengemudi, kondisi angkutan yang tidak layak pakai, maupun akibat barang
bawaan penumpang hilang atau rusak.
Pemerintah hendaknya semakin meningkatkan kegiatan sosialisasi UU No. 22 Tahun
2009, baik terhadap penyelenggara angkutan umum dan terhadap masyarakat luas sebagai
pengguna jasa angkutan umum, agar upaya perlindungan hukum terhadap pengguna jasa
(penumpang) angkutan umum yang sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 dapat
benar-benar dilaksanakan oleh seluruh perusahaan pengangkutan umum.

Kata Kunci : * perlindungan hukum


* pengguna jasa
* angkutan umum
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting

dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari

ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau

yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna

menjangkau seluruh wilayah Indonesia4. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya akan

kebutuhan alat transportasi adalah kebutuhan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran

pengangkutan yang menunjang pelaksanaan pembangunan yang berupa penyebaran

kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan

diberbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air misalnya, sektor industri, perdagangan,

pariwisata, dan pendidikan5.

Secara umum, masyarakat yang melakukan pergerakan dengan tujuan yang berbeda-

beda membutuhkan sarana penunjang pergerakan berupa angkutan pribadi (mobil, motor)

maupun angkutan umum (paratransit dan masstransit). Angkutan umum paratransit

merupakan angkutan yang tidak memiliki rute dan jadwal yang tetap dalam beroperasi

disepanjang rutenya, sedangkan angkutan umum masstransit merupakan angkutan yang

memiliki rute dan jadwal yang tetap serta tempat pemberhentian yang jelas.

Pada umumnya sebagian besar masyarakat sangat tergantung dengan angkutan umum

bagi pemenuhan kebutuhan mobilitasnya, karena sebagian besar masyarakat tingkat

ekonominya masih tergolong lemah atau sebagian besar tidak memiliki kendaraan pribadi.

4
Abdulkadir Muhammad,Hukum Pengangkutan Niaga;Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.7.
5
Ibid, hlm.8.
Banyaknya kelompok yang masih tergantung dengan angkutan umum ini tidak diimbangi

dengan penyediaan angkutan umum yang memadai, terutama ditinjau dari kapasitas angkut.

Akibatnya hampir semua angkutan umum yang tersedia terisi penuh sesak oleh penumpang.

Hal ini menyebabkan para penumpang berusaha memilih alternatif angkutan umum lainnya

yang dirasa lebih nyaman, efektif dan efisien meskipun dengan biaya yang cukup besar.

Hal tersebut menunjukkan arti pentingnya tranportasi di Indonesia, sehingga

pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan transportasi atau pengangkutan mutlak

diperlukan. Pembangunan yang baik dan berkualitas tidak hanya mengenai peningkatan mutu

sarananya saja, tetapi juga harus menyangkut pembangunan aspek hukum transportasi

sendiri.

Pembangunan hukum tidak hanya menambah peraturan baru atau merobah peraturan

lama dengan peraturan baru tetapi juga harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan

hukum bagi semua pihak yang terkait dengan sistem transportasi terutama pengguna jasa

transportasi. Mengingat penting dan strategisnya peran lalu-lintas dan angkutan jalan yang

menguasai hajat hidup orang banyak serta sangat penting bagi seluruh masyarakat, maka

pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana pengangkutan perlu di tata dan

dikembangkan dalam sistem terpadu6 dan kepentingan masyarakat umum sebagai pengguna

jasa transportasi perlu mendapatkan prioritas dan pelayanan yang optimal baik dari

pemerintah maupun penyedia jasa transportasi. Selain itu perlindungan hukum atas hak-hak

masyarakat sebagai konsumen transportasi juga harus mendapatkan kepastian.

Penyelenggaraan lalu-lintas dan angkutan jalan juga perlu dilakukan secara

berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas jangkauan dan pelayanannya

kepada masyarakat, dengan tetap memperhatikan kepentingan umum, kemampuan

masyarakat, kelestarian lingkungan, dan ketertiban masyarakat dalam penyelenggaraan lalu-

6
Suwardjoko Warpani,Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,ITB, Bandung, hlm.13.
lintas dan angkutan jalan sekaligus mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan

terpadu.

Pembahasan pembangunan aspek hukum transportasi tidak terlepas dari efektivitas

hukum pengangkutan itu sendiri. Pengangkutan di Indonesia diatur dalam KUH Perdata pada

Buku Ketiga tentang perikatan, kemudian dalam KUH Dagang pada Buku II titel ke V.

Selain itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu dengan

dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai

Pengganti UU No. 14 Tahun 1992, serta Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang

Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku meskipun PP No. 41 Tahun 1993 merupakan

peraturan pelaksanaan dari UU No. 14 tahun 1992 dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324

UU No. 22 Tahun 2009 bahwa :

Pada saat Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 ini mulai berlaku, semua peraturan

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau

belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam pasal 2 dan pasal 3

UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (yang selanjutnya disingkat dengan UULLAJ) mengatur

asas dan tujuan pengangkutan.

Adapun Asas penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 UULLAJ yakni:

a. asas transparan;

b. asas akuntabel;

c. asas berkelanjutan;

d. asas partisipatif;

e. asas bermanfaat;

f. asas efisien dan efektif;


g. asas seimbang;

h. asas terpadu; dan

i. asas mandiri.

Sedangkan Pasal 3 UULLAJ menyebutkan mengenai tujuan dari Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan yakni :

a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib,

lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian

nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan

bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;

b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Menurut Pasal 4 UULLAJ dinyatakan undang-undang ini berlaku untuk membina dan

menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yangaman, selamat, tertib, dan lancar

melalui:

a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;

b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan; dan

c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan

Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta

penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Demikian juga dalam Pasal 9 UULLAJ tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum serta Pasal 141 UULAJ tentang standar pelayanan

angkutan orang dan masih banyak pasal-pasal lainnya yang terkait dengan adanya upaya

memberikan penyelenggaraan jasa angkutan bagi pengguna jasa atas kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan pemakai jasa angkutan.


Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan dapat membantu

mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa

angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Secara

operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan dilakukan oleh pengemudi atau sopir

angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diti untuk menjalankan

kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam

menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untk dapat melaksanakan kewajibannya

yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan

selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari satu tempat ke tempat tujuan dapat

berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya,

luka, sakit maupun meninggal dunia. Sehingga tujuang pengangkutan dapat terlaksana

dengan lancar dan sesuai dengan nilai guna masyarakat.

Namun dalam kenyataannya masih sering pengemudi angkutan melakukan tindakan

yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang, baik itu kerugian yang secara

nyata dialami oleh penumpang (kerugian materiil), maupun kerugian yang secara immateriil

seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh penumpang. Misalnya saja

tindakan pengemudi yang mengemudi secara tidak wajar dalam arti saat menjalani tugasnya

pengemudi dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang dapat

mempengaruhi kemampuannya mengemudikan kendaraan secara ugal-ugalan sehingga

menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penumpang yang menjadi korban. Hal ini tentu saja

melanggar pasal 23 ayat 1 (a) UULLAJ. Tindakan lainnya adalah pengemudi melakukan

penarikan tarif yang tidak sesuai dengan tarif resmi, hal ini tentu saja melanggar pasal 42

UULLAJ tentang tarif. Atau tindakan lain seperti menurunkan di sembarang tempat yang

dikehendaki tanpa suatu alasan yang jelas, sehingga tujuan pengangkutan yang sebenarnya

diinginkan oleh penumpang menjadi tidak terlaksana. Hal ini tentu saja melanggar ketentuan
pasal 45 (1) UULLAJ mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang yang

dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan. Dan adanya perilaku

pengangkut yang mengangkut penumpang melebihi kapasitas maksimum kendaraan.

Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam sektor pelayanan

angkutan umum masih banyak menyimpan permasalahan klasik. Dan dalam hal ini pengguna

jasa (penumpang) sering menjadi korban daripada perilaku pengangkut yang tidak

bertanggung jawab.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk

mempelajari, memahami, dan meneliti secara lebih mendalam mengenai bentuk perlindungan

hukum bagi pengguna jasa angkutan umum, yang mana dalam tulisan ini pengguna jasa yang

dimaksud adalah penumpang dan penulis menggunakan UU No. 22 Tahun 2009 sebagai

pedoman. Selanjutnya penulis menyusunnya dalam suatu penulisan hukum yang berjudul:

“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)

ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UU NO. 22 TAHUN 2009 ” .

B. Rumusan Masalah

Berlatar belakang pada uraian di atas, maka maka ada beberapa pokok permasalahan

yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum?

2. Hal-hal apa yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang)

angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang) angkutan

umum berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009?


C. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi permasalahan yakni angkutan umum

yang akan dijelaskan dan dipaparkan dalam skripsi ini adalah angkutan umum berdasarkan

UU No. 22 Tahun 2009, hal ini mengingat banyaknya jenis angkutan umum. Dan dalam

skripsi ini, penulis mengambil contoh rill sebuah perusahaan pengangkutan, yaitu perusahaan

pengangkutan CV. Karya Agung.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar

sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selain itu berdasarkan

permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis

dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang)

angkutan umum.

2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna

jasa ( penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut dan

bagaimana tanggung jawab pihak pengangkut terhadap kesalahan yang

mengakibatkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna jasa

(penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas publik transportasi

berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009.

Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Secara teoritis, untuk menambah pengetahuan penulis tentang bagaimana

perlindungan hukum bagai pengguna jasa (penumpang) angkutan umum berdasarkan

UU No. 22 Tahun 2009.


2. Secara praktis, untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran juridis dan masukan-

masukan yang bermanfaat demi perkembangan ilmu pengetahuan terhadap

perlindungan hukum bagai pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa (penumpang)

Angkutan Umum Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 belum pernah ada sebelumnya.

Keaslian penulisan skripsi ini benar merupakan hasil dari pemikiran penulis dengan

mengambil panduan dari buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan judul skripsi

penulis, ditambah dengan sumber riset dari lapangan .

Dalam penulisan ini yang ditekankan penulis adalah bagaimana bentuk perlindungan

hukum yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2009 terhadap kerugian yang diderita oleh

pengguna jasa (penumpang), apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak pengangkut dan

bagaimana penerapan hukum yang dilaksanakan dalam usaha pengangkutan di jalan raya.

Penulisan ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan Hukum

Perdata, Hukum Dagang, Hukum Pengangkutan serta Peraturan Perundang-undangan yang

membahas mengenai perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.

Oleh karena itu, penulisan ini dapat dikatakan penulisan yang pertama kali dilakukan,

sehingga keaslian penulisan ini dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis.

F. Tinjauan Kepustakaan

Hukum adalah tata aturan sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku

manusia.7 Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal, tetapi

seperangkat aturan yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu

7
Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekjen dan Kepaniteraan MK RI.
Jakarta. 2006, hlm. 13
sistem. Sehingga konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya

memperhatikan satu aturan saja.8 Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum adalah untuk

mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil. Perdamaian di antanra manusia

dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang

tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainya terhadap yang merugikannya.

Hukum mempertahankan perdamaian dengan kepentingan kepentingan yang bertentangan

secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai

tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika hukum tersebut menuju peraturan yang

adil. Artinya, peraturan yang mengandung keseimbangan antara kepentingan-kepentingan

yang dilindungi sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi

bagiannya.9 Aristoteles dalam buah pikirannya Ethica Nicomachea dan Rhetorica

menyatakan hukum mempunyai tugas yang suci yakni memberikan kepada setiap orang apa

yang berhak diterimanya. Anggapan ini berdasarkan etika dan Aristoteles berpendapat bahwa

hukum bertugas hanya membuat keadilan.10 Sedangkan menurut Van Kant, tujuan hukum

adalah untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia sehingga kepentingan itu tidak dapat

diganggu oleh manusia lain. Dengan kata lain hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak

setiap manusia yang diakui dan diatur oleh hukum.11

Berdasarkan teori-teori tentang tujuan hukum sebagaimana yang telah diuraikan maka

dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa jika tujuan hukum semata-mata hanya untuk

mewujudkan keadilan saja maka tidak seimbang sehingga akan bertentangan dengan

kenyataan. Sebaliknya akan terjadi juga kesenjangan jika tujuan hukum hanya untuk

mewujudkan hal-hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan kenyataan karena akan

bertentangan dengan nilai keadilan. Begitu juga jika tujuan hukum semata-mata hanya untuk

8
Ibid.
9
Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2000, hlm. 40.
10
Ibid.
11
Ibid, hlm. 42.
menwujudkan kepastian hukum saja, maka akan menggeser nilai keadilan maupun nilai

kegunaan dalam masyarakat. Sehingga kita harus melihat tujuan hukum dari ke tiga nilai

dasar hukum, yakni nilai keadilan, kegunaan atau manfaat dan kepastian hukum.12

Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Perbuatan (hal

tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.” 13 Pada umumnya perlindungan hukum merupakan

bentuk pelayanan kepada seseorang dalam usaha pemulihan secara emosional.

Sedangkan yang dimaksud dengan perlindungan hukum menurut Sudikno

Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang

melakukan Wanprestasi.14 Pengertian perlindungan hukum juga menurut Soedikno

Mertokusumo yang dimaksud perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan

kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan

dengan manusia lain.15 Kata perlindungan di atas menunjuk pada adanya terlaksananya

penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang

berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-usaha

untuk memberikan jaminan-jaminan pemulihan yang dialami.

Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh

pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan penduduk, baik di dalam

maupun di luar wilayahnya. Pemerintah sendiri mendapat wewenang untuk menjalankan

tugasnya yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna untuk

menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam sebuah wilayah negara

yang berdaulat, mengembangkan dan menegakkan kebudayaan nasional yang serasi agar

12
Ibid, hlm. 47.
13
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka. Jakarta. 1989, hlm. 874.
14
Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta. 1991,hlm.9.
15
Ibid
terdapat kehidupan bangsa dan masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur. Hukum juga

berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi,

hukum harus dilaksanakan.

Pengangkutan adalah berasal dari kata “angkut” yang berarti mengangkut da n

membawa, sedangkan istilah pengangkutan dapat diartika sebagai pembawa barang-barang

atau orang-orang (penumpang)16. Pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai

benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan

meninggikan manfaat serta efisien17. Sedangkan Hukum Pengangkutan adalah sebuah

perjanjian timbal balik, yang mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan

pihak lainnya, yaitu pengirim barang, penerima barang dan penumpang wajib menunaikan

pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut18.

Adapun arti hukum pengangkutan jika ditinjau dari segi keperdataan, dapat diartikan

sebagai keseluruhan peraturan-peraturannya, di dalam dan di luar kodifikasi yang

berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit

karena keperluan pemindahan barang-barang dan/ atau orang-orang dari suatu tempat ke

tempat lain untuk memenuhi perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian-perjanjian

tertentu, termasuk perjanjian-perjanjian untuk memberikan perantaraan mendapatkan.19

Dari pengertian-pengertian yang telah diuraikan tersebut dapat diperoleh suatu

kesimpulan bahwa pada pokoknya pengangkutan merupakan perpindahan tempat, baik

mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak

diperlukan untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.

16
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K, PN Balai Pustaka,
Jakarta, 1976, hlm.97.
17
Sinta Uli,Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan
Darat dan Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, hlm. 20.
18
Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1990, hlm. 6-7.
19
Ibid, hlm. 5.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya ditulis dengan KUHD)

tidak ada aturan mengenai pengangkutan orang di darat, begitu juga dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (selanjutnya ditulis dengan KUH Perdata) tidak terdapat peraturan

umum mengenai pengangkutan orang. Oleh karena itu, perjanjian pengangkutan orang di darat

hanya dapat didasarkan atas pasal-pasal yang terdapat pada Bab I sampai dengan bab IV

Buku III KUH Perdata20.

Diluar KUHD dan KUH Perdata terdapat peraturan mengenai pengangkutan orang di

darat, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang UULLAJ, serta PP No. 41 Tahun 1993 tentang

Angkutan Jalan. Dalam UU No. 22 Tahun 2009 secara khusus diatur mengenai hal-hal yang

perlu diperhatikan dalam pengangkutan darat seperti asas-asas dan tujuan penyelenggaraan

lalu-lintas dan angkutan jalan, fasilitas dan elemen pendukung dalam penyelenggaraan lalu-

lintas dan angkutan jalan, asuransi, tarif angkutan, dan juga diatur mengenai tanggung jawab

pihak pengangkut.

Pengertian pengguna jasa menurut Pasal 1 angka 20 UU No. 22 Tahun 2009 adalah

perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan umum, sedangkan

penumpang adalah orang yang mengikatkan diri kepada pihak pengangkut 21.

Pihak Pengangkut adalah pihak-pihak yang melakukan pengangkutan terhadap barang

dan penumpang (orang) yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan baik

dengan cara charter menurut waktu maupun menurut perjalanan22. Perusahaan angkutan

umum menurut UU No. 22 Tahun 2009 adalah badan hukum yang menyediakan jasa

angkutan orang dan/ atau barang dengan kendaraan bermotor umum.

Angkutan umum merupakan sarana angkutan untuk masyarakat kecil dan menengah

agar dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam masyarakat.

20
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Hukum Pengangkutan,
Penerbit Djambatan, Jakarta, 1981, hlm. 50-51.
21
Sinta Uli, op.cit, hlm. 20.
22
Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Penerbit Pustaka, Bangsa Prees, Medan, 2005, hlm.
135.
Sedangkan pengertian angkutan menurut UU No 22 Tahun 2009 adalah perpindahan orang

dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang

lalu lintas jalan.

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 35 tahun 2003 tentang

Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum, angkutan adalah

perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan

kendaraan.

Keberadaan angkutan umum bertujuan untuk menyelenggarakan angkutan yang baik

dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik dan layak antara lain mencakup

pelayanan yang aman, nyaman, cepat, dan biaya murah.

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini yakni perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung yang beralamat di Jalan

Sidamanik No. 8, Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian normatif dan

penelitian sosiologis. Dalam penelitian normatif, penulis melakukan penelitian

melalui peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan penulisan

ini sedangkan dalam penelitian sosiologis, penulis melakukan penelitian terhadap

salah satu perusahaan pengangkutan di kota Pematangsiantar, yaitu pada perusahaan

pengangkutan CV. Karya Agung.

3. Sumber Data
Adapun data yang dikumpul dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan

pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dibagi atas

3 (tiga), yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti KUH

Perdata, KUHD, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan,

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 dan peraturan perundang-undangan

lain yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan

memahami bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi

dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (Studi Kepustakaan), yaitu mempelajari dan menganalisa

secara sistematika buku-buku, peraturan perundang-undangan, catatan kuliah

dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas

dalam skripsi ini sehingga diperoleh data ilmiah sebagai bahan dalam uraian

teoritis.

b. Field Research (Studi Lapangan), Field Research (Studi Lapangan), yaitu

penelitian di lapangan yang guna pengumpulan data yang diperoleh di

lapangan, berupa hasil wawancara yang dilakukan pada perusahaan

pengangkutan (tepatnya disalah satu perusahaan pengangkutan CV. Karya

Agung, Jalan Sidamanik Nomor 8, Pematangsiantar. Hal ini ditujukan pada

pencapaian hasil pemberitaan yang maksimal mengenai bentuk perlindungan


hukum yang diberikan oleh perusahaan pengangkutan apakah sesuai dengan

ketentuan yang terdapat pada UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

5. Analisis Data

Analisa data dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif, yaitu suatu analisi data

secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang

jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan

permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan

yang lainnya. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke

dalam lima bab terperinci. Adapun bagian-bagiannya adalah :

Bab I : Pendahuluan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Pengangkutan

Pada bab ini akan diuraikan mengenai perjanjian secara umum

menurut KUH Perdata, pengangkutan secara umum, dan perjanjian

pengangkutan.

Bab III : Kedudukan Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum

Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengertian pengguna jasa dan

angkutan umum, jenis-jenis angkutan umum, kedudukan hukum

pengguna jasa (penumpang) angkutan umum, serta hak dan kewajiban


pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen

fasilitas publik transportasi.

Bab IV : Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan

Umum Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009

Pada bab ini merupakan inti dari pembahasan penulisan yang

mengetengahkan tentang pengaturan pemberian izin angkutan umum

di Indonesia, hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna

jasa (penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari pengangkut,

tanggung jawab pihak pengangkut terhadap kesalahan yang

mengakibatkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan

umum, dan bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa

(penumpang) angkutan umum berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009.

Bab V : Penutup

Bab ini merupakan bab akhir dari skripsi ini, dan merupakan penutup

dari rangkaian bab-bab sebelumnya dimana dalam bab ini penulis

membuat suatu kesimpulan atas pembahasan skripsi ini yang kemudian

dilanjutkan dengan memberi saran-saran atas masalah-masalah yang

tidak terpecahkan yang diharapkan akan berguna dalam kehidupan

masyarakat dan praktek perkembangan ilmu pengetahuan.


BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN

A. Perjanjian Secara Umum Menurut KUHPerdata

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Perikatan yang

berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian,

sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang

berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. 23 Dalam bahasa

Belanda, perjanjian disebut juga overeenkomst dan hukum perjanjian disebut

overeenkomstenrech.24 Hukum perjanjian diatur dalam buku III BW ( KUHPerdata). Pada

pasal 1313 KUHPerdata, dikemukakan tentang defenisi daipada perjanjian. Menurut

ketentuan pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau leb ih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang

terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga terlalu luas.25

Adapun kelemahan-kelemahan dari defenisi di atas adalah seperti diuraikan berikut


26
ini :
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan
“satu orang atau lebih menguikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya dating dari satu pihak saja,
tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan
diri”, jadi ada konsensus antara pihak -pihak. Seperti misalnya pada perjanjian
jual-beli , sewa-menyewa.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus dalam pengertian “perbuatan”
termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming),
tindakan melawan hokum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung
konsensus, seharusnya digunakan kata persetujuan.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut
terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang

23
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 117.
24
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 2006.
25
Ibid.
26
Ibid.
diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan
antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan perjanjian tersebut tidak disebutkan
tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu
tidak jelas untuk apa.
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali

apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana

dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan

harta kekayaan”. 27 Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau tertulis.

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai berikut :

“Perjanjian adalah : Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 28

Menurut Wirjono Projodikioro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah :

“Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana

satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan

sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.” 29

Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan:

“Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta

benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk

memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan

prestasi”. 30

27
Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hlm.169.
28
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hlm.9.
29
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hlm.9.
30
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6.
Menurut Tirtodiningrat menyatakan bahwa:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua

orang atau lebihuntuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-

undang”. 31

Menurut Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa:

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan

diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan”. 32

Menurut Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa:

“Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. 33

Perbedaan-perbedaan pendapat para sarjana mengenai defenisi dari perjanjian

memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan

defenisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling

berbeda satu sama lain. Namun dalam setiap defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana

tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang

menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi

diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan.

Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku ke Tiga Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan.

2. Subjek dan Objek Perjanjian

Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain:34


a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan
hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian harus
memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

31
Tirtodiningrat, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, PT. Pembangunan, Jakarta, 1986,
hlm.83.
32
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 78.
33
Sudikno Mertokusumo, op. cit, hlm. 97.
34
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1970, hlm 16.
b. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar
kebebasan menentukan kehendaknya ( tidak ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan),
dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuat perjanjian,
maka perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya.

Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya perjanjian

tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut batal jika ada yang

memohonkan pembatalan.

Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah

mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa

objek tersebut dapat berupa benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada.

Sehingga dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek

perjanjian, antara lain:

1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan (pasal 1332 KUHPerdata),

2. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUHPerdata)

Tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di

kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.

3. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari (pasal 1334 ayat 2 KUHPerdata).

Sedangkan barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah :35

1. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai negara,

2. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika,

3. Warisan yang belum terbuka.

Menurut Subekti, mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa :36

1. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetapkan

kewajiban masing-masing.

35
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fakultas Hukum USU,
Medan, 1974, hlm. 166.
36
R. Subekti, op.cit.
2. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-

undang, ketertiban umum atau kesusilaan.

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah perjanjian

tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu

perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

3. Syarat-syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat agar suatu perjanjian

dinyatakan sah, antara lain:

a. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya,

Dengan sepakat dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu

harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang

diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang

lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara

bebas.37

Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik. Dalam hal

persetujuan ini, kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang

bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Dengan demikian kata

sepakat antara kedua belah pihak atau lebih di dalam mengadakan perjanjian itu harus tanpa

cacat, sebab jika terdapat cacat dalam perjanjian itu, persetujuan itu dapat dimintakan

pembatalannya kepada pengadilah.38 Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1321

KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiada kesepakatan sah apabila kesepakatan itu

diberikan secara kekhilafan (dwaling) atau diperoleh dengan paksaan (dwang) atau penipuan

(bedrog).
37
Komariah, op.cit, hlm. 175.
38
Djanius Djamin, Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan
(Perbanas), Medan, 1993, hlm. 176-177.
Mengenai kekhilafan/ kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai inti sari

pokok perjanjian, harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan

kekhilafan/ kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat menjadi batal

(Pasal 1322 KUHPerdata).

Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut

pada suatu ancaman. Dalam hal ini yang diancamkan oleh undang-undang harus merupakan

suatu perbuatan yang dilarang atau yang tidak diizinkan (tidak dibenarkan) undang-undang.

Jika suatu perbuatan yang diancam itu dibenarkan atau diizinkan oleh undang-undang,

misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di muka hakim dengan penyitaan

barang, hal seperti itu tidaklah dikatakan suatu paksaan.39

Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi, apabila suatu pihak dengan

sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-

kelicikan sehingga pihak lain terbujuk untuk melakukan sesuatu atau memberikan

sesuatu.40 b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

Syarat kedua sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan atau cakap dalam hukum.

Menurut Pasal 330 KUHPerdata, seseorang dikatakan cakap dalam hukum apabila telah

berumur 21 tahun, atau yang telah melangsungkan pernikahan. Dalam Pasal 1330

KUHPerdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian adalah :

1. Orang-orang yang belum dewasa ,

2. Mereka yang di bawah pengampuan (curatelen),

3. Perempuan yang telah kawin ( dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974, ketentuan ini

tidak berlaku lagi) dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat persetujuan tertentu.


39
Ibid, hlm. 177.
40
Ibid, hlm. 178.
Menurut pasal 433 KUHPerdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan

adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap

dan boros. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah

pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah

orang tua dan pengampunya.41

Ketiga hal ini, bila melakukan perjanjian tanpa izin dari yang mengawasinya maka

dikatakan perjanjian itu bercacat. Oleh karena itu perjanjian itu dapat dibatalkan oleh

hakim, baik secara langsung ataupun melalui orang yang mengawasinya.42

Menurut ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata, setiap orang adalah cakap untuk

membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap. Pasal tersebut

menyatakan bahwa semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam

suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan

perbuatan hukum. Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum harus

dinyatakan oleh undang-undang.

Hal ini dikarenakan dari sudut keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian

nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, sehingga harus mempunyai cukup kemampuan

untuk menginsafi benar-benar tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu.

Sedangkan dari sudut hukum, karena orang yang membuat suatu perjanjian itu berarti

dengan sendirinya ia mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah orang

yang sungguh-sungguh berhak berbuat dengan harta kekayaannya.43

Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian mengandung kesadaran

untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungan dengan keselamatan dirinya.

41
Mariam Darus Badrulzaman, op. cit, hlm. 165.
42
C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 226.
43
Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op.cit, hlm. 178-179.
c. Suatu hal tertentu,

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya.

Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek

perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi

soal asalkan dapat ditentukan kemudian.44

Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam
perjanjian mengenai :45
1. Jenis barang,
2. Kualitas dan mutu barang,
3. Buatan pabrik dan dari Negara mana,
4. Buatan tahun berapa,
5. Warna barang,
6. Ciri khusus barang tersebut,
7. Jumlah barang,
8. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.

Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu

maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat

yang mengikat dalam perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal.

Sebab atau causa yang dimaksudkan undang-undang adalah isi perjanjian itu sendiri.

Jadi sebab atau causa tidak berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian

yang dimaksud.46

Menurut Subekti, “Sebab atau causa harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa

yang mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian”. 47 Menurut Pasal 1337

KUHPerdata, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau

apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Akibat hukum dari perjanjian

yang berisi causa yang tidak halal, mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum. Dengan

demikian tidak ada dasar untuk membuat pemenuhan perjanjian di muka hakim.

44
Komariah, op.cit, hlm. 175.
45
C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 227.
46
Komariah, op.cit, hlm. 175.
47
Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op. cit, hlm. 180.
Dua syarat yang pertama disebut dengan syarat-syarat subjektif karena menyangkut

subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat-syarat

objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang

dilakukan itu.48

4. Jenis-Jenis Perjanjian dan Asas-Asas Hukum Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan atas berbagai cara, pembedaan tersebut antara lain: 49
a. Perjanjian timbal balik,
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli.
b. Perjanjian cuma-cuma atau perjanjian atas beban,
Perjanjian dengan cuma-cuma adalh perjanjian yang memberikan keuntungan bagi
salah satu pihak saja, misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana
terhadap para prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak
lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum.
c. Perjanjian bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd),
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dan tidak
disebutkan dalam KUHPerdata dan KUHD, tetapi hidup dan berkembang di dalam
kehidupan masyarakat. Jumlah perjanjian tidak bernama ini tidak terbatas, dan
lahirnya perjanjian ini di dalam kehidupan masyarakat adalah berdasarkan akan
kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum
perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian tak bernama adalah perjanjian sewa-beli.
d. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir,
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana hak milik dari seseorang atas
sesuatu, beralih kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian
dimana para pihak terikat untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian
yang menimbulkan perikatan).
Menurut sistem hukum KUHPerdata perjanjian jual beli belum mengakibatkan
beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas
benda yang diperjual-belikan masih diperlukan penyerahan. Perjanjian jual beli
tersebut dinamakan perjanjian obligatoir, dan penyerahannya sendiri merupakan
perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian benda-benda tidak bergerak, maka
perjanjian jual beli tersebut disebut perjanjian jual beli sementara.
e. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
Menurut pasal 1338 KUHPerdata perjanjian ini telah mempunyai kekuatan mengikat.
Perjanjian riil adalah perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi
penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata),
pinjam pakai (pasal 1740 KUHperdata).

48
Ibid, hlm. 17.
49
Ibid.
f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya, antara lain:
1. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari
kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang atau kwijtsschelding (pasal
1438 KUHPerdata).
2. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian dimana para pihak
menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
3. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (pasal 1774
KUHPerdata).
4. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebahagian atau seluruhnya dikuasai oleh
hukum publik, karena salah satu pihak adalah penguasa yang bertindak sebagai
penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas.

Menurut Komariah : “Perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatu r dan
disebutkan dalam KUHPerdata Buku III Bab V s/d Bab XVII dan yang diatur dalam KUHD,
misalnya perjanjian jual-beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, dan
perjanjian pengangkutan. Kemudian, perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat
kedua belah pihak sejak adanya kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak.”

Di dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:50


a. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak), artinya dengan adanya kata sepakat
antara kedua belah pihak, perjanjian sudah mengikat. Jadi perikatan lahir sejak detik
tercapinya kesepakatan. Terhadap asas ini terdapat pengecualian, yakni adanya
perjanjian riil misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata),
perjanjian pinjam pakai (pasal 1740 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai sampai
habis (pasal 1754 KUHPerdata).
b. Kebebasan berkontrak (partij otonomi)
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum
perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi
manusia.
Asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata
yang menentukan : “semua perjanjian yang dibuat sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan kata “semua”, pasal
tersebut berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa setiap orang
diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, dan perjanjian itu
akan mengikat para pihak yang membuatnya seperti suatu undang-undang.
Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga
para pihak yang membuat persetujuan harus menaati hukum yang sifatnya memaksa
tersebut. Selain itu, meskipun setiap orang bebas untuk membuat perjanjian yang
berupa dan berisi apa saja, namun isi perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
c. Asas kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan
kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi
janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya. Tanpa ada kepercayaan pada
kedua belah pihak maka perjanjian itu tidak mungkin diadakan oleh para pihak.
d. Asas kekuatan mengikat

50
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit
Alumni, Bandung, 1983, hlm. 108-119.
Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Mengikat artinya
masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan
melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak
semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa
unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
e. Asas persamaan hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat dan tidak ada
perbedaan di hadapan hukum. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan
ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai
manusia ciptaan Tuhan.
f. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan.
g. Asas kepastian hukum
Menurut asas ini perjanjian harus mengandung kepastian hukum bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu
yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
h. Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari
pihak debitur. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagi
panggilan dari hati nuraninya.
i. Asas kepatutan
Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui asas ini ukuran tentang hubungan
ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
j. Asas kebiasaan
Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam
keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.

Menurut Komariah : “Setiap perjanjian dinyatakan sudah sah atau mengikat apabila

sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Isi perjanjian

yang mengikat tersebut kemudian akan berfungsi sebagai undang-undang bagi para pihak

yang membuatnya.” 51

5. Akibat Hukum Suatu Perjanjian dan Berakhirnya Suatu Perjanjian

Menurut pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik

51
Komariah, op.cit, hlm. 173-174.
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad

baik olehpara pihak.52

Istilah “semua” maka pembentuk undang -undang menunjukkan bahwa perjanjian

yang dimaksud bukanlah semata-mata hanya perjanjian bernama, tetapi juga meliputi

perjanjian tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentu undang -undang

menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian

harus menurut hukum.53

Secara sah artinya adalah bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat

sah suatu perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang sah

menimbulkan suatu akibat yakni perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali secara

sepihak kecuali dengan sepakat antara kedua belah pihak.

Menurut pasal 1381 KUHPerdata terdapat 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian,


54
yakni:
1. Pembayaran
Pembayaran adalah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela, misalnya
pembayaran uang oleh pembeli, pemenuhan perjanjian kerja oleh buruh. Yang
dimaksud dengan pembayaran oleh hukum perikatan bukan sebagaimana ditafsirkan
dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap
tindakan pemenuhan prestasi, bagaimanapun sifat dari prestasi tersebut. Penyerahan
barang oleh penjual, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan
pemenuhan dari prestasi atau tegasnya adalah pembayaran.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti oleh penyimpanan diatur di dalam pasal
1404 KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu
perjanjian kreditur tidak bersedian menerima prestasi yang dilakukan oleh debitur.
Untuk membebaskan diri dari perikatan tersebut, maka kreditur dapat melakukan
penawaran pembayaran tunai. Prosedur penawaran tersebut diatur pada pasal 1405
KUHPerdata. Penawaran pembayaran tunai tersebut diikuti dengan penitipan dari
benda atau uang yang akan diserahkan di Pengadilan Negari.
3. Pembaharuan utang (novasi)
Menurut Pasal 1413 KUHPerdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk untuk melaksanakan
pembaharuan utang (novasi), yaitu:

52
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 168.
53
Ibid, hlm. 107.
54
Komariah, op.cit, hlm. 200.
a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang
dihapuskan karenanya.
b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama,
yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seseorang berpiutang ditunjuk
untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya.

4. Perjumpaan utang atau kompensasi


Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berhutang satu pada yang lain dengan
mana hutang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua orang tersebut telah terjadi suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUHPerdata)
Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menetapkan berdasarkan pasal 1427
KUHPerdata, yaitu utang tersebut :
a. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau
b. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang
yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
c. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
5. Pencampuran utang
Pencampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena kedudukan sebagai
kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang. Pencampuran ini terjadi secara
otomatis atau demi hukum.
Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah
pihak tersebut (pasal 1436 KUHPerdata).
6. Pembebasan utang
Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si kreditur
bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitur dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan perjanjian. Apabila terjadi pembebasan utang, maka
hapuslah hubungan utang-piutang antara kreditur dan debitur. Pembebasab utang
tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
7. Musnahnya barang yang terutang
Menurut pasal 1444 KUHPerdata, jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian
musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka perikatan hapus. Dengan
syarat musnahnya atau hilangnya barang itu di luar kesalahan si berutang (debitur)
dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila
barang yang menjadi musnah di luar kesalahan debitur, maka debitur tidak diwajibkan
memberikan prestasi kepada kreditur. Namun ketentuan tersebut hanya adil pada
perjanjian cuma-cuma. Sedangkan dalam perjanjian timbal balik/ atas beban menurut
pasal 1445 KUHPerdata, jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah di luar
kesalahan debitur, maka debitur harus tetap melakukan prestasi kepada kreditur.
Artinya debitur tetap memberikan hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi kepada
kreditur.
8. Batal atau pembatalan
Batal atau pembatalan yang dimaksud dalam hal ini adalah dapat dibatalkan. Sebab
apabila perjanjian itu batal demi hukum maka tidak ada satu perikatan hukum yang
dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat dihapus.
Suatu perjanjian dapat dimohonkan pembatalan apabila:
a. Tidak memenuhi syarat subjektifnya (sepakat dan cakap bertindak dalam hukum),
b. Salah satu pihak melakukan wanprestasi (tidak memenuhi perjanjian),
c. Karena adanya action pauliana (gugatan untuk membatalkan suatu perbuatan
debatur yang secara curang dilakukan untuk merugikan para krediturnya).
9. Berlakunya syarat batal
Berlaku syarat batal maksudnya adalah syarat yang apabila dipenuhi akan
menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya, dan membawa segala sesuatu kembali
kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya
syarat batal ini berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal,
yaitu perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan yang
masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan.
10. Lewatnya waktu atau verjaring
Lewat waktu atau daluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau
untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluarsa untuk dibebaskan dari perikatan (atau suatu tuntutan) dinamakan “daluarsa
extintif”. Ketentuan mengenai daluarsa diatur pada pasal 1967 KUHPerdata.

Menurut Komariah, Pasal 1382 KUHPerdata mengatur tentang orang-orang selain


debitur sendiri dan dapat melaksanakan pembayaran, yakni :
a. Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan berhutang dan seorang
penanggung, yaitu mereka yang mempunyai hubungan dengan pihaik debitur dan
isi perjanjian yang ada antara debitur dan kreditur.
b. Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asalkan orang ketiga itu
bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya debitur.55

Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada
dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru. Novasi menurut pasal 1413
KUHPerdata terjadi dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, dengan perjanjian lama
dihapuskan.
b. Apabila terjadi penggantian debitur, maka dilakukan penggantian perjanjian
dengan mana debitur lama dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila terjadi penggantian kreditur, maka dilakukan penggantian perjanjian
dengan mana kreditur lama dibebaskan dari perikatannya.
Menurut pasal 1415 KUHPerdata, maka kehendak untuk mengadakan novasi haruslah
tegas, yaitu dengan sebuah akte.
Dalam hal pencampuran utang, pencampuran kedudukan dapat terjadi berdasarkan
alas hak umum, misalnya bila kreditur meninggal dunia dan sebagai satu-satunya ahli
waris yang ditinggalkannya adalah debitur dan sebaliknya, atau juga dapat terjadi
berdasarkan alas hak khusus, misalnya jual beli.56

55
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 157.
56
Ibid, hlm. 186-187.
B. Pengangkutan Pada Umumnya

1. Pengertian dan Jenis-Jenis Pengangkutan

Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas

kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang modern

senantiasa didukung oleh pengangkutan. Bahkan salah satu barometer penentu kemajuan

kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan

maupun teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan.57

Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti “mengangkut d an

membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan sebagai “pembawaan barang -

barang atau orang-orang (penumpang)”. 58

Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim,

dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang

dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan

pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.59

Pengertian lain dari pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang dan atau barang

dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan, maupun

angkutan udara dengan menggunakan alat angkutan.60

Pada pokoknya pengangkutan adalah perpindahan tempat, baik mengenai benda-

benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan

meninggikan manfaat serta efisiensi.61

Pengangkutan sebagai usaha (business) mempunyai cirri-ciri sebagai

berikut:62 a. Berdasarkan perjanjian;

57
Hasim Purba, op.cit, hlm. 3.
58
Ibid.
59
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 60.
60
Hasim Purba, op.cit, hlm. 4.
61
Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm 1.
62
Hasim Purba, op.cit, hlm. 4.
b. Kegiatan ekonomi di bidang jasa;

c. Berbentuk perusahaan;

d. Menggunakan alat pengangkutan mekanik.

Sedangkan, pengangkutan sebagai proses (process), yaitu serangkaian perbuatan

mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian di bawa menuju ke tempat yang telah

ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan.63

Pihak-pihak yang terdapat dalam perjanjian pengangkutan adalah pengangkut dan

pengirim. Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah

pihak, baik pengangkut maupun pengirim masing-masing mempunyai kewajiban. Kewajiban

pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat

ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim adalah membayar

uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan

oleh pengangkut. 64

Istilah menyelenggarakan pengangkutan berarti pengangkutan itu dapat dilakukan

sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya.

Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umunya didasarkan pada jenis alat angkut

yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya

kegiatan pengangkutan. Menurut H.M.N Purwosutjipto dalam bukunya Pengertian Pokok

Hukum Dagang Indonesia, jenis-jenis pengangkutan terdiri dari pengangkutan darat,

pengangkutan laut, pengangkutan udara, dan pengangkutan perairan darat.65

Secara umum, pengangkutan terbagi atas 3 (tiga jenis), yakni:66


a. Pengangkutan Darat
Ruang lingkup angkutan darat dinyatakan sepanjang dan selebar negara, yang artinya
ruang lingkupnya sama dengan ruang lingkup negara. Angkutan darat dapat dilakukan

63
Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm 1.
64
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm 2.
65
Ibid, hlm. 2-3.
66
Hasnil Basri, Hukum Pengangkutan, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, Medan, 2002,
hlm. 22-27.
dengan berjenis-jenis alat pengangkutan, antara lain dengan kendaraan bermotor di atas jalan
raya dan dengan kendaraan kereta api dan listrik di atas rel.
Pada dasarnya pengangkutan melalui darat digunakan untuk menghubungkan kota
yang satu dengan kota yang lain atau daerah yang lain di satu pulau. Selain dari jenis
angkutan tersebut, pengangkutan surat-surat/ paket melalui pos dan berita lewat kawat radio
dan televisi termasuk juga pengangkutan darat.

b. Pengangkutan Laut
Laut memiliki fungsi yang beraneka ragam. Selain berfungsi sebagai sumber
makanan dan mata pencaharian bagi umat manusia, sebagai tempat berekreasi, dan sebagai
alat pemisah atau pemersatu bangsa, laut juga berfungsi sebagai jalan raya perdagangan.
Ruang lingkup angkutan laut jauh berbeda dari ruang lingkup angkutan darat. Ruang
lingkup angkutan laut meluas melampaui batas Negara, sehingga ruang lingkup itu dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
1. Ruang lingkup angkutan laut dalam negeri,
2. Ruang lingkup angkutan laut luar negeri.
Dalam hal ini, hubungan nasional dan internasional tidak hanya terletak pada satu
bidang hukum saja, melainkan pada bidang yang beraneka ragam, sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum laut meliputi seluruh bidang hukum, baik hukum publik dan privat nasional
maupun internasional.
c. Pengangkutan Udara
International Air Transport Association (IATA) sebagai organisasi internasional, yang
mana tergabung sebagian besar pengangkut-pengangkut udara diseluruh dunia telah
menyetujui syarat-syarat umum pengangkutan (General Condition of Carriage), baik untuk
penumpang, bagasi maupun untuk barang. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan
untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya.
Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui lebih dulu oleh calon penumpang atau
pengirim barang, sebab di dalam tiket penumpang selalu disebutkan bahwa pengangkutan
udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan ordonansi
pengangkutan udara di Indonesia (S. 1939-100). Dengan membeli tiket pengangkutan udara,
maka telah terjadi perjanjian pengangkutan antara pengusaha dengan penumpang dan dengan
sendirinya semua ketentuan-ketentuan yang tercantum pada tiket pengangkutan udara telah
berlaku.

Menurut Sution Usman Adji : “ Pengangkutan melalui laut dapat dibagi atas

pengangkutan antar pulau dan pengangkutan ke luar negeri, selain itu juga dapat dibagi atas

pengangkutan dengan pelayaran tetap dan pengangkutan dengan tramp (kapal tambangan).” 67

2. Tujuan dan Unsur-Unsur dalam Pengangkutan

Pengangkutan diperlukan karena sumber kebutuhan manusia tidak terdapat di semua

tempat. Selain itu, sumber yang berupa bahan baku tersebut harus melalui tahapan produksi

67
Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm. 252.
yang lokasinya juga tidak selalu di lokasi manusia sebagai konsumen. Kesenjangan jarak

antara lokasi sumber, lokasi produksi, dan lokasi konsumen itulah yang melahirkan

pengangkutan.68

Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba di tempat

tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang

diangkut.69 Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkutan adalah untuk

meningkatkan daya guna dan nilai, yang berarti dengan dilakukannya kegiatan pengangkutan

maka barang atau benda yang diangkut tersebut akan meningkat daya guna maupun nilai

ekonomisnya.70 Sedangkan untuk pengangkutan orang (penumpang), maka kegiatan

pengangkutan juga akan membawa fungsi bagi penumpang sebagai pengguna jasa angkutan,

dengan dukungan jasa angkutan tersebut penumpang dapat sampai ke tempat yang dituju

untuk selanjutnya melakukan kegiatan yang ia maksudkan.

Ada pun yang menjadi unsur-unsur dalam pengangkutan antara


lain:71 a. Manusia, yang membutuhkan;
Kecuali anak-anak dan orang jompo, semua orang yang sehat akan mampu
mengangkut beban seberat tertentu dengan mengeluarkan tenaga tambahan, namun jarak
yang dapat ditempuh juga terbatas. Untuk memenuhi kebutuhannya, orang perlu untuk
mencari nafkah. Kekayaan yang diperoleh dari usaha tersebut berbeda-beda, dan ini
mempengaruhi kemampuannya membayar biaya angkutan. Dalam memilih sistem
pengangkutan pun pilihan orang tidak sama, sedangkan orang yang pilihannya sama dasar
alasannya mungkin berbeda.
b. Barang, yang dibutuhkan;
Barang hasil produksi yang merupakan keluaran (output) proses produksi dinyatakan
berguna apabila telah sampai kepada konsumen. Dengan kata lain, produksi itu baru berguna
apabila diangkut dari tempat produsen ke tempat konsumen atau pasar dan sampai ke
konsumen dalam kondisi yang dikehendaki.
c. Kendaraan (angkutan), sebagai alat angkut;
Kendaraan (angkutan) pada umumnya dibuat dengan menggunakan alat buatan
manusia yang banyak digali dari bentuk alami. Bentuk angkutan yang paling luas
pemakaiannya adalah angkutan darat. Angkutan dirancang sedemikian rupa agar mampu
bergerak sesuai dengan medan dan sekaligus dapat melindungi muatannya.
Fungsi angkutan yang pokok adalah memindahkan orang dan/atau barang. Muatan
dapat berupa benda hidup (orang, binatang dan tumbuhan) dan benda mati (makanan, bahan
baku industri). Selain orang dan binatang, barang lain pada umumnya diangkut tidak dalam

68
Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Penerbit ITB, Bandung, 1990, hlm. 4.
69
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 16.
70
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm.1.
71
Surwadjoko Warpani1, op.cit, hlm.4.
kondisi alaminya (misalnya kayu dan bahan makanan), sehingga membutuhkan teknologi
yang tepat. Teknologi pengangkutan yang tepat harus memnuhi syarat-syarat, antara lain:
1. Menjamin agar muatan tidak rusak.
2. Menjaga agar penggunaan tenaga/ kekuatan yang diperlukan untuk mengangkut
muatan berada dalam keadaan baik, sehingga tidak merusak muatan.
3. Melindungi muatan dari segala kerusakan sehingga beberapa hal harus
dikendalikan, misalnya suhu lingkungan yang bauk, tekanan udara, dan
kelembapan.
Di samping itu, sarana angkutan hendaknya sejauh mungkin menghindari pencemaran
terhadap udara, suara, dan air.
d. Jalan, sebagai prasarana angkutan;
Komponen pokok dalam pengangkutan adalah jalan (prasarana) dan kendaraan
(sarana). Menurut UU No. 13 Tahun 1980 tentang Jalan, yang dimaksud dengan jalan adalah
suatu prasarana perhubungan dalam bentuk apa pun, meliputi segala bagian jalan, termasuk
bagian pelengkap dan perlengkapannya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Menurut Pasal 1
angka (12), jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan
tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
e. Organisasi, yaitu pengelola angkutan.
Kegiatan pengangkutan selalu melibatkan banyak lembaga karena fungsi dan peran
masing-masing tidak mungkin ditangani oleh satu lembaga saja. Di Indonesia, pada tingkat
nasional, masalah pengangkutan menyangkut beberapa lembaga, seperti Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Perhubungan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan. Di
bawahnya, pada tingkat pelaksanaannya terdapat Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan, Polisi
Lalu Lintas dan perusahaan pengangkutan.
Karena demikian banyak pihak dan lembaga yang bersangkut-paut, maka
diperlukanlah suatu sistem untuk menangani masalah pengangkutan, dan dalam hal inilah
organisasi pengangkutan diperlukan.

Secara umum barang dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu barang padat,

cair dan gas yang mana karakter masing-masing golongan barang tersebut menuntut

perlakuan khusus dalam pengangkutan, dan dengan demikian perlu disediakan jenis

kendaraan tertentu untuk mengangkut barang tersebut.72

3. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab dalam Pengangkutan

Prinsip-prinsip tanggung jawab merupakan salah satu unsur penting dari segi
perlindungan hukum bagi konsumen jasa angkutan. Prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut
antara lain :73

72
Surwadjoko Warpani2, op.cit, hlm. 34.
73
Syaiful Watni, dkk. Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggung Jawab Pengangkut dalam Sistem
Pengangkutan Multimoda, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Jakarta, 2004.
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah (presumption of liability)
Menurut prinsip ini setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap
kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pihak
pengangkut dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka ia dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi kerugian tersebut
Yang dimaksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah
mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang
msenimbulkan kerugian itu tidak mungkin dapat dihindari.
Beban pembuktian (onus of proof) diberikan kepada pihak pengangkut, bukan kepada
yang dirugikan dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut.
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
Menurut prinsip ini, setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya
dalam penyelenggaraan pengangkutan dan membayar ganti rugi atas segala kerugian yang
timbul akibat kesalahannya itu. Menurut prinsip ini, beban pembuktian diberikan kepada
pihak yang dirugikan dan bukan kepada pengangkut.
c. Prinsip tanggung jawab mutlak
Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang
timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya
kesalahan pengangkut. Prinsip ini menitikberatkan pada penyebab bukan kesalahannya.
d. Prinsip pembatasan tanggung jawab
Prinsip pembatasan tanggung jawab adalah prinsip yang membatasi tanggung jawab
pengangkut sampai jumlah tertentu. Prinsip ini mempunyai 2 (dua) variasi, yaitu:
1. Variasi mungkin dilampaui
Variasi ini memberikan kemungkinan bahwa batas ganti rugi dilampaui apabila
pihak yang dirugikan dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan karena
perbuatan sengaja atau kesalahan atau kelalaian berat dari pihak pengangkut.
2. Variasi tidak mungkin dilampaui
Variasi ini tidak memberikan kemungkinan batas ganti rugi dilampaui, karena
dianggap bahwa batas tanggung jawab pengangkut ditetapkan sudah cukup tinggi
yakni US. $. 100.000 (seratus ribu dolar amerika) untuk setiap penumpang.
Menurut H.M.N Purwosutjipto, prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga tak
bersalah (presumption of liability) memiliki 3 (tiga) variasi, yakni sebagai berikut:74
1. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat
membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya
(Pasal 522 KUHD untuk angkutan laut).
2. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat
membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindarkan timbulnya kerugian (Pasal 24 jo Pasal 30 Ordonansi
Pengangkutan Udara).
3. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat
membuktikan bahwa kerugian bukan timbul karena kesalahannya (Pasal 24 UU
Lalu Lintas dan angkutan Jalan Raya).

Pada ketiga variasi di atas berlaku juga ketentuan bahwa pengangkut tidak

bertanggung jawab apabila kerugian ditimbulkan oleh kesalahan atau kelalaian penumpang

sendiri atau karena sifat atau mutu barang yang diangkut.75

74
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 28-29.
Pada prinsip tanggung jawab mutlak Pengangkut hanya dapat membebaskan diri dari
tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan karena kesalahan
penumpang sendiri atau karena sifat mutu barang yang diangkut. Prinsip tanggung jawab
mutlak ini baru dipergunakan pada penerbangan dan angkutan udara internasional, yaitu
berdasarkan Konvensi Roma tahun 1952 yang mengatur tanggung jawab operator pesawat
udara untuk kerugian yang diderita pihak ketiga di permukaan bumi.76

C. Perjanjian Pengangkutan

1. Pengertian Perjanjian Pengangkutan

Pengangkutan sebagai perjanjian selalu didahului oleh kesepakatan antara pihak

pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi

kewajiban dan hak, baik pengangkut dan penumpang maupun pengirim.77

Perjanjian pengangkutan adalah persetujuan di mana pihak pengangkut mengikatkan

diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke

tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri

untuk membayar biaya pengangkutan.78

Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis), tetapi selalu

didukung oleh dokumen pengangkut. Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti sudah

terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang mengadakan

perjanjian. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut surat muatan, sedangkan dokumen

pengangkutan penumpang disebut karcis pengangkutan. Perjanjian pengangkutan juga dapat

dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter (charter party), seperti carter pesawat udara

untuk mengangkut jemaah haji dan carter kapal untuk mengangkut barang dagangan.79

Ada beberapa alasan yang menyebabkan para pihak menginginkan perjanjian


pengangkutan dilakukan secara tertulis, yaitu:80
a. Kedua belah pihak ingin memperoleh kepastian mengenai hak dan kewajiban masing-
masing.

75
Ibid.
76
Ibid, hlm. 29.
77
Suwardjoko Warpani1, op.cit, hlm. 2.
78
Ibid, hlm. 46.
79
Ibid, hlm. 3.
80
Ibid.
b. Kejelasan rincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko para pihak.
c. Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.
d. Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian,
e. Kepastian mengenai waktu, tempat dan alasan apa perjanjian berakhir.
f. Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud yang
dikehendaki para pihak.

2. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan

Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum pengangkutan

adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-

pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian

pengangkutan.81

Pihak-pihak yang yang terlibat di dalam perjanjian pengangkutan antara


lain:82 a. Pihak pengangkut,
Secara umum, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) tidak
dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut. Akan tetapi, dilihat dari
pihak dalam perjanjian pengangkutan, pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan orang (penumpang) dan/atau barang.
b. Pihak Penumpang,
Peraturan pengangkutan di Indonesia menggunakan istilah “orang” untuk
pengangkutan penumpang. Akan tetapi, rumusan mengenai “orang” secara umum tidak
diatur. Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang
yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini dia berhak
untuk memperoleh jasa pengangkutan.
c. Pihak Pengirim,
Kitab Undang-Undang Hukum dagang (KUHD) Indonesia juga tidak mengatur
defenisi pengirim secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian
pengangkutan, pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya
pengangkutan barang dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan
barang dari pengangkut. Dalam bahasa inggris, pengirim disebut consigner, khusu pada
pengangkutan perairan pengangkut disebut shipper.
Menurut H.M.N Purwosutjipto, kewajiban-kewajiban dari pihak pengangkut adalah
: 83

1. Menyediakan alat pengangkut yang akan digunakan untuk menyelenggarakan


pengangkutan .
2. Menjaga keselamatan orang (penumpang) dan/ atau barang yang diangkutnya.
Dengan demikian maka sejak pengangkut menguasai orang (penumpang) dan/ atau
barang yang akan diangkut, maka sejak saat itulah pihak pengangkut mulai
bertanggung jawab (Pasal 1235 KUHPerdata).
3. Kewajiban yang disebutkan dalam Pasal 470 KUHD yang meliputi:

81
Ibid, hlm. 59.
82
Ibid, hlm. 60.
83
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 21-22.
a. Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat
pengangkutnya;
b. Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan
pengangkutan menurut persetujuan;
c. Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang
diangkut.
4. Menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan
dalam perjanjian.

Menurut Pasal 124 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengenudi kendaraan bermotor

umum, yaitu:

1. Mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;

2. Memindahkan penumpang dalam perjalanan ke Kendaraan lain yang sejenis dalam

trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak,

kecelakaan, atau atas perintah petugas;

3. Menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri,

kecuali saat akan mendahului atau mengubah arah;

4. Memberhentikan kendaraan selama menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang;

5. Menutup pintu selama Kendaraan berjalan; dan

6. Mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.

Selain itu di dalam UU No. 22 tahun 2009 terdapat beberapa kewajiban yang harus

dipenuhi oleh perusahaan angkutan umum, yaitu:

1. Menyerahkan tiket penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);

2. Menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam

trayek (Pasal 167 UU No. 22 Tahun 2009);

3. Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun

2009);

4. Menyerahkan manifes kepada pengemudi Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun

2009);
5. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah

disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh

Penumpang dan/atau pengirim barang (Pasal 186 UU No. 22 tahun 2009);

6. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah

dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan

pemberangkatan (Pasal 187 UU No. 22 tahun 2009);

7. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh

Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan

angkutan (Pasal 188 UU No. 22 tahun 2009);

8. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya (Pasal 189

UU No. 22 tahun 2009);

Di samping kewajiban yang dibebankan kepada pengangkut oleh undang-undang,


terdapat juga hak-hak yang diberikan kepada pengangkut. Hak-hak yang dimiliki oleh pihak
pengangkut, antara lain: 84
1. Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan.
2. Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang yang akan
diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD.
3. Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut barang yang
diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan Pasal 478 ayat (1) KUHD.

Selain itu dalam UU No. 22 Tahun 2009 terdapat beberapa hak-hak dari pihak

pengangkut, yaitu:

1. Perusahaan angkutan umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika

pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang

ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan (Pasal 195 ayat (1) UU No. 22 Tahun

2009).

2. Perusahaan angkutan umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang

disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan (Pasal 195 ayat (2) UU No. 22

Tahun 2009).
84
Ibid, hlm. 22.
3. Perusahaan angkutan umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pengirim atau penerima

tidak memenuhi kewajiban (Pasal 195 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009).

4. Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas

waktu yang telah disepakati, perusahaan angkutan umum berhak memusnahkan

barang yang sifatnya berbahaya atau mengganggu dalam penyimpanannya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 196 UU No. 22 Tahun 2009).

Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak penumpang dalam perjanjian

pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan. Setelah membayar biaya pengangkutan

kepada pihak pengangkut maka secara otomatis pihak penumpang berhak atas

pelayanan pengangkutan dari pihak pengangkut.85

Adapun yang menjadi kewajiban utama pihak pengirim dalam perjanjian


pengangkutan adalah membayar biaya pengangkutan (Pasal 491 KUHD),86 selain itu pihak
pengirim berkewajiban untuk memberitahukan tentang sifat, macam, dan harga barang yang
akan diangkut (Pasal 469, 470 ayat (2), 479 ayat (1) KUHD), menyerahkan surat-surat yang
diperlukan untuk pengangkutan barang tersebut (Pasal 478 ayat (1) KUHD).87

Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengirim barang antara lain menerima

barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada saat yang sesuai dengan

yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan berhak atas pelayanan pengangkutan

barangnya.88

3. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Perjanjian Pengangkutan

Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya Hukum Pengangkutan Niaga

membagi tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan ke dalam 4 (empat)

bagian yaitu tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan kereta api, tanggung jawab para

85
Ibid, hlm. 60.
86
Ibid, hlm. 60.
87
H. M. N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 23.
88
Ibid.
pihak dalam pengangkutan darat, tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan perairan,

dan tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan udara.89 Dan dalam bab ini yang akan

dibahas adalah tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan darat.

Tanggung jawab pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab yang

bersifat kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya (responsibility) dan tanggung

jawab ganti rugi (liability).90

Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

penumpang, pengirim atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan

pengangkutan. Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang atau barang yang

diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum. Oleh

karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan

tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim, yang

timbul karena pengangkutan yang dilakukannya (Pasal 234 UU No. 22 Tahun 2009).

Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum dapat menurunkan penumpang dan/atau

barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang

yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan (Pasal 190 UU

No. 22 Tahun 2009).

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh

segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Selain

itu Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali

disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan

Penumpang (Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).

89
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 37.
90
Hasim Purba, op.cit, hlm. 101-102.
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA JASA ( PENUMPANG) ANGKUTAN UMUM

A. Pengertian Pengguna Jasa dan Angkutan Umum

Pengertian pengguna jasa dalam Pasal 1 angka (22) UU No. 22 Tahun 2009 adalah

perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah pengguna jasa dan

pengguna jasa adalah penumpang atau pengirim barang.

Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, pengguna jasa (penumpang)

adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini

dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan.91 Menurut Pasal .1 angka (25) UU No. 22

Tahun 2009 penumpang adalah orang yang berada di dalam kendaraan selain pengemudi dan

awak kendaraan.

Menurut Pasal 1 angka (12) UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian,

menentukan bahwa pengguna jasa adalah setiap orang atau badan hukum yang menggunakan

jasa pengangkutan kereta api, baik untuk pengangkutan orang maupun barang.

Angkutan menurut Pasal 1 angka (3) UU No. 22 Tahun 2009 adalah pemindahan

orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di

Ruang Lalu Lintas Jalan. Angkutan umum merupakan sarana angkutan untuk masyarakat

kecil dan menengah supaya dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas dan

fungsinya dalam masyarakat.

Angkutan umum, khususnya angkutan orang yang diatur dalam Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor KM 68 Tahun 1993 yang telah diperbaharui menjadi Keputusan

Menteri Perhubungan Nomor KM 84 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang

91
Suwardjoko Warpani, op.cit. hlm. 15
di Jalan Dengan Kendaraan Umum dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35

Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan.

Pengertian angkutan dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.35 tahun 2003

tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum adalah

angkutan dari pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan

menggunakan kendaraan. Sedangkan didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 41 tahun 1993 menyebutkan bahwa, definisi dari angkutan umum adalah pemindahan

orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan

bermotor yang disediakan untuk dipergunakan untuk umum dengan dipungut bayaran.

Angkutan penumpang dengan angkutan umum adalah angkutan penumpang dengan

menggunakan kendaraan umum dan dilaksanakan dengan sistem sewa atau bayar. Dalam hal

angkutan massal, biaya angkutan menjadi beban tanggungan bersama, sehingga sistem

angkutan umum menjadi efisien karena biaya angkutan menjadi sangat murah.92

Karena sifatnya yang massal, maka para penumpang harus memiliki kesamaan dalam

berbagai hal, yakni tujuan, asal, lintasan, dan waktu. Pelayanan angkutan umum akan

berjalan dengan baik apabila dapat tercipta keseimbangan antara persediaan dan permintaan.

Dalam kaitan ini pemerintah perlu campur tangan dengan tujuan antara lain:93
a. Menjamin sistem operasi yang aman bagi kepentingan masyarakat pengguna jasa
angkutan, petugas pengelola angkutan, dan pengusaha jasa angkutan;
b. Mengarahkan agar lingkungan tidak terlalu terganggu oleh kegiatan angkutan;
c. Menciptakan persaingan sehat;
d. Membantu perkembangan dan pembangunan nasional maupun daerah dengan
meningkatkan pelayanan jasa angkutan;
e. Menjamin pemerataan jasa angkutan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan;
f. Mengendalikan operasi pelayanan jasa angkutan.

Peranan utama angkutan umum adalah melayani kepentingan mobilitas masyarakat

dalam melakukan kegiatannya, baik kegiatan sehari-hari yang berjarak pendek atau

menengah (angkutan perkotaan/ pedesaan dan angkutan antar kota dalam propinsi) maupun

92
Ibid, hlm. 38-39.
93
Ibid, hlm. 171.
kegiatan sewaktu-waktu antar propinsi (angkutan antar kota antar propinsi). Aspek lain

pelayanan angkutan umum adalah peranannya dalam pengendalian lalu lintas, penghematan

energi, dan pengembangan wilayah.94

Dalam rangka pengendalian lalu lintas peranan layanan angkutan umum tidak dapat

ditiadakan. Dengan cirri khas lintasan tetap dan mampu mengangkut banyak orang dengan

seketika, maka efisiensi penggunaan jaringan jalan menjadi lebih tinggi karena pada saat

yang sama luasan jalan yang sama dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Oleh karena itu,

pengelolaan yang baik yang mampu menarik orang untuk lebih memilih menggunakan

angkutan umum dari pada menggunakan kendaraan pribadi, menjadi salah satu andalan

dalam pengelolaan lalu lintas jalan.95

Pengelolaan angkutan umum ini juga berkaitan dengan penghematan penggunaan

bahan bakar minyak (BBM). Cadangan energi bahan bakar minyak di dunia sangat terbatas,

jika layanan angkutan umum sudah semakin baik dan mampu menggantikan peranan

kendaraan pribadi bagi mobilitas masyarakat, maka ribuan kendaraan tidak akan digunakan

selama waktu tertentu, sehingga penghematan penggunaan BBM dapat dilakukan.

Angkutan umum juga sangat berkaitan dengan pengembangan wilayah, yakni dalam

menunjang interaksi social-budaya masyarakat. Pemanfaatan SDA dan SDM serta

pemerataan pembangunan daerah beserta hasil-hasilnya, didukung oleh system pengangkutan

yang memadai dan sesuai dengan tuntutan kondisi setempat.96

Tujuan utama keberadaan angkutan umum penumpang adalah menyelenggarakan

pelayanan angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik

adalah pelayanan yang aman, cepat, murah, dan nyaman. Sejumlah hal yang perlu diketahui

dalam kaitannya dengan kualitas dan kuantitas pelayanan angkutan umum penumpang,

meliputi volume lalu lintas yang akan dilayani, frekuensi dan penjadwalan pelayanan,
94
Ibid, hlm. 39-40.
95
Ibid.
96
Ibid.
lamanya perjalanan yang diharapkan, derajat kepentingan perjalanan, serta biaya angkutan

yang dibebankan. Disamping itu harus dipenuhi cirri pelayanan yang dapat memnuhi tuntutan

konsumen, yaitu terpercaya, aman, nyaman, murah, cepat, mudah diperoleh,

menyenangkan, frekuensinya tinggi dan bermartabat.97

Menurut Pasal 141 UU No 22 Tahun 2009 menyatakan bahwa perusahaan angkutan

umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal, yang meliputi keamanan, keselamatan,

kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan.

B. Jenis-Jenis Angkutan Umum

Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang

selamat, aman, nyaman dan terjangkau. Dan dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab

atas penyelenggaraan angkutan umum (Pasal 138 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009).

Pasal 137 UU No. 22 Tahun 2009 membagi angkutan menjadi 2 jenis, yaitu angkutan

orang dan angkutan barang. Angkutan orang dan angkutan barang dapat menggunakan

kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Angkutan orang yang menggunakan

Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus (Pasal 137 UU No.

22 Tahun 2007).

Pada Pasal 140 UU No. 22 Tahun 2009, pelayanan angkutan orang dengan kendaraan

bermotor umum terdiri atas angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek

dan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.

Jenis pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek, terdiri atas

(Pasal 142 UU No. 22 Tahun 2009):

1. Angkutan Lintas Batas Negara;

97
Ibid, hlm. 173.
Yang dimaksud dengan angkutan lintas batas negara adalah angkutan dari satu kota

ke kota lain yang melewati lintas batas negara dengan menggunakan mobil bus umum

yang terikat dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).

2. Angkutan Antar Kota Antar Propinsi;

Yang dimaksud dengan angkutan antar kota antar propinsi adalah angkutan dari satu

kota ke kota lain yang melalui daerah kabupaten/kota yang melewati satu daerah

propinsi yang terikat dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat (2) UU No. 22 Tahun

2009).

3. Angkutan Antar Kota Dalam Propinsi;

Yang dimaksud dengan angkutan antar kota dalam propinsi adalah angkutan dari satu

kota ke kota lain antar daerah kabupaten/kota dalam satu daerah propinsi yang terikat

dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009).

4. Angkutan Perkotaan;

Yang dimaksud dengan angkutan perkotaan adalah angkutan dari satu kota ke kota

lain dalam kawasan perkotaan yang terikat dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat

(4) UU No. 22 Tahun 2009).

a. Kota sebagai daerah otonom;

b. Bagian daerah kabupaten yang memiliki cirri perkotaan; atau

c. Kawasan yang berada dalam bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan

langsung dan memiliki cirri perkotaan.

5. Angkutan Perdesaan.

Yang dimaksud dengan angkutan perdesaan adalah angkutan dari satu tempat ke

tempat lain dalam satu daerah kabupaten yang tidak bersinggungan dengan trayek

angkutan perkotaan.
Kriteria pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek,

antara lain (Pasal 143 UU No. 22 Tahun 2009):

1. Memiliki rute tetap dan teratur;

2. Terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di

terminal untuk angkutan antar kota dan lintas batas Negara; dan

3. Menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan

perkotaan dan perdesaan.

Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek,

terdiri atas (Pasal 151 UU No. 22 Tahun 2009):

1. Angkutan orang dengan menggunakan taksi;

Taksi merupakan kendaraan umum yang mendekati karakter kendaraan pribadi.

Menurut PP No. 41 Tahun 1993 taksi adalah kendaraan umum dengan jenis mobil

penumpang yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer.

Argometer adalah alat pencatat jarak atau lama perjalanan yang sekaligus

menunjukkan biaya yang harus dibayar oleh penumpang. Jadi, cara pembayaran biaya

sewa tidak atas dasar tawar menawar tetapi ditetapkan sesuai dengan kilo meter

dan/atau jam penggunaan yang tertera pada argometer.98

2. Angkutan orang dengan tujuan tertentu;

Angkutan jenis ini dilarang untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang

disepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam

trayek. Angkutan ini diselenggarakan dengan menggunakan mobil penumpang umum

atau mobil bus umum (Pasal 153 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009).

3. Angkutan orang untuk keperluan pariwisata;

98
Ibid, hlm. 59-60.
Angkutan orang untuk keperluan wisata harus menggunakan mobil penumpang umum

dan mobil bus umum dengan tanda khusus (Pasal 154 ayat (2) UU No. 22 Tahun

2009).

4. Angkutan orang dikawasan tertentu.

Dalam hal penyediaan angkutan umum, pemerintah bertanggunga jawab untuk

menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/ atau barang

antar kota, antar propinsi, serta lintas batas negara. Pemerintah Daerah provinsi wajib

menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang

antarkota dalam provinsi. Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin

tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam

wilayah kabupaten/kota (Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 22 Tahun 2009).

Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan

usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Pasal 139 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009).

C. Pengaturan Mengenai Pemberian Izin Angkutan Umum di Indonesia

Menurut Pasal 173 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan angkutan

umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki izin

penyelenggaraan angkutan, baik angkutan orang dalam trayek, angkutan orang tidak dalam

trayek maupun angkutan barang khusus atau alat berat. Namun, kewajiban memiliki izin

angkutan tersebut tidak berlaku untuk pengangkutan orang sakit dengan menggunakan

ambulans atau pengangkutan jenazah.

Menurut Pasal 33 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003,

perizinan angkutan umum terdiri dari izin usaha angkutan, dan izin trayek atau izin operasi.

Uuntuk memperoleh izin usaha angkutan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi,

antara lain (Pasal 36 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003):
a. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

b. Memiliki akte pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbentuk badan usaha, akte

pendirian koperasi bagi pemohon yang berbentuk koperasi, tanda jati diri bagi

pemohon perorangan;

c. Memiliki surat keterangan domisili perusahaan;

d. Memiliki surat izin tempat usaha (SITU);

e. Pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai 5 (lima) kendaraan bermotor

untuk pemohon yang berdomisili di Pulau Jawa, Sumatera dan Bali;

f. Pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan.

Untuk angkutan orang dalam trayek, izin penyelenggaraan angkutan diberikan oleh

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. Trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara;

2. Trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi;

3. Ttrayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan

4. Trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi.

b. Gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. Trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1

(satu) provinsi;

2. Trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota

dalam satu provinsi; dan

3. Trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu

provinsi.
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang

yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta.

d. Bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani:

1. Trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten;

2. Trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten.

e. Walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan

yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota.

Menurut Pasal 177 UU No. 22 Tahun 2009, pihak yang telah memiliki izin

penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek memiliki kewajiban-kewajiban yang harus

dipatuhi, antara lain:

a. melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan

b. mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan

minimal.

Sedangkan untuk angkutan orang tidak dalam trayek, izin penyelenggaraan

angkutannya dibeikan oleh (Pasal 179 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009):

a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:

1. Angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 (satu) daerah provinsi;

2. Angkutan dengan tujuan tertentu; atau

3. Angkutan pariwisata.

b. Gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1

(satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;


c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan

tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta; dan

d. Bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya

berada dalam wilayah kabupaten/kota.

Izin penyelenggaraan angkutan berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik

yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan (Pasal 174 ayat (1)

UU No. 22 Tahun 2009). Mengenai ketentuan pemberian izin trayek diatur dalam Keputusan

Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003. Menurut Pasal 42 ayat (1) dan (2) untuk

melakukan kegiatan penyelenggaraan angkutan dalam trayek wajib memiliki izin trayek,

yang terdiri dari surat keputusan izin trayek dan surat pelaksanaan izin trayek. Berdasarkan

Pasal 45 ayat (1) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003, untuk

memperoleh izin trayek pihak pemohon wajib memenuhi persyaratan administratif dan

persyaratan teknis.

Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon untuk memperoleh

izin trayek, meliputi (Pasal 45 ayat (2) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35

Tahun 2003):

a. Memiliki surat izin angkutan;

b. Menandatangani Surat Pernyataan Kesanggupan untuk memenuhi seluruh kewajiban

sebagai pemegang izin trayek;

c. Memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan yang dibuktikan dengan

fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sesuai domisili perusahaan dan

fotokopi Buku Uji;


d. Menguasai fasilitas penyimpanan/ pool kendaraan bermotor yang dibuktikan dengan

gambar lokasi dan bangunan serta surat keterangan mengenai kepemilikan dan

penguasaan;

e. Memiliki atau bekerja sama dengan pihak lain yang mampu menyediakan fasilitas

pemeliharaan kendaraan bermotor sehingga dapat merawat kendaraannya untuk tetap

dalam kondisi laik jalan;

f. Surat keterangan kondisi usaha, seperti permodalan dan sumber daya manusia;

g. Surat keterangan komitmen usaha, seperti jenis pelayanan yang akan dilaksanakan

dan standar pelayanan yang diterapkan;

h. Surat pertimbangan dari Gubernur atau Bupati/ Walikota, dalam hal ini Dinas

Propinsi atau Dinas Kabupaten/ Kota yang membidangi lalu lintas dan angkutan jalan.

Sedangkan, persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon untuk

memperoleh izin trayek, meliputi (Pasal 45 ayat (3) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor

a. Pada trayek yang dimohonkan masih memungkinkan untuk penambahan jumlah

kendaraan sesuai hasil penetapan kebutuhan kendaraan;

b. Prioritas diberikan bagi perusahaan angkutan yang mampu memberikan pelayanan

angkutan terbaik.

D. Kedudukan Hukum Pengguna Jasa Angkutan (Penumpang) Angkutan Umum

Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pihak pengangkut dan

pihak pengguna jasa sama tinggi, tidak seperti dalam perjanjian perburuhan dimana para

pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada buruh.

Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan disebur kedudukan subordinasi


(gesubordineerd), sedangkan kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah

kedudukan sama tinggi atau kedudukan koordinasi (gecoordineerd).99

Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang

yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini dia berhak

untuk memperoleh jasa pengangkutan. Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang

mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan

sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian

pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat

perjanjisan.100

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan kriteria-kriteria

penumpang sebagai pengguna jasa angkutan umum, antara lain:101

1. Orang yang berstatus pihak dalam perjanjian;

2. Pihak tersebut adalah penumpang yang wajib membayar biaya pengangkutan;

3. Pembayaran biaya pengangkutan dibuktikan dengan karcis yang dikuasai oleh

penumpang.

Pada perjanjian pengangkutan, jika pengguna jasa (penumpang) mengalami atau

menderita kerugian yang diakibatkan kelalaian pihak pengangkut, pihak penumpang dapat

mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pengangkut. Jika tuntutan ini dibantah oleh

pengangkut, maka pengangkut harus membuktikan bahwa kerugian itu bukan disebabkan

oleh kelalaian atau kesalahannya. Bila pihak pengangkut dapat membuktikannya maka pihak

penumpang harus dapat membuktikan adanya kelalaian atau kesalahan dari pihak pengangkut

sehingga menimbulkan kerugian bagi dirinya. Jika akhirnya pihak pengangkut terbukti

99
H. M. N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 7.
100
Suwardjoko Warpani, op.cit, hlm. 71.
101
Ibid, hlm. 73.
bersalah, maka pihak pengangkut berkewajiban untuk membayar ganti kerugian yang diderita

pihak penumpang.102

Berdasarkan Pasal 242 UU No. 22 Tahun 2009, pemerintah wajib memberikan

perlakuan khusus bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum, yaitu bagi penyandang

cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil dan orang sakit. Dalam hal ini, perlakuan

khusus yang dimaksud antara lain pemberian kemudahan berupa sarana dan prasarana fisik

dan nonfisik yang bersifat umum serta informasi yang diperlukan bagi penyandang cacat,

manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit untuk memperoleh kesetaraan

kesempatan. (Penjelasan Pasal 242 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).

Perlakuan khusus tersebut meliputi (Pasal 242 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009):

1. Aksesibilitas;

2. Prioritas pelayanan, yaitu pengutamaan pemberian khusus;

3. Fasilitas pelayanan;

Menurut Pasal 243 UU No. 22 Tahun 2009, masyarakat secara kelompok dapat

mengajukan gugatan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengenai pemenuhan

perlakuan khusus, apabila ada perusahaan pengangkutan yang tidak memberikan perlakuan

khusus kepada pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagaimana yang telah

disebutkan pada Pasal 242 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009.

E. Hak dan Kewajiban Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan Umum Sebagai


Konsumen Fasilitas Publik Transportasi

Dalam perjanjian pengangkutan, apabila pihak penumpang telah membayar uang

angkutan kepada pihak pengangkut maka seketika itu juga pihak penumpang telah

mengikatkan dirinya pada perjanjian pengangkutan. Dalam hal ini, pihak penumpang sebagai

konsumen fasilitas publik transportasi, yang memiliki hak dan kewajiban.

102
H. M. N Purwosutjipto, op.cit, hlm 52.
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 tentang

Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, pihak penumpang

memiliki hak-hak, antara lain (Pasal 84 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35

Tahun 2003) :

1. Penumpang kendaraan umum berhak diberi tanda bukti atas pembayaran angkutan

yang telah disepakati;

2. Bagi penumpang yang telah diberikan tanda bukti pembayaran, berhak mendapatkan

pelayanan sesuai dengan perjanjian yang tercantum dalam tanda bukti pembayaran;

3. Bagi penumpang yang telah memiliki bukti pembayaran dan/atau telah membayar

biaya angkutan, tidak dibenarkan dibebani biaya tambahan atau kewajiban lainnya di

luar kesepakatan;

4. Penumpang berhak atas penggunaan fasilitas bagasi yang tidak dikenakan biaya

maksimal 10 kg per penumpang, kelebihan bagasi diatur sesuai perjanjian operator

dengan penumpang;

Sedangkan menurut Pasal 85 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun

2003, adapaun yang menjadi kewajiban dari pihak penumpang kendaraan umum yaitu

penumpang wajib untuk membayar biaya angkutan sesuai yang telah ditentukan dan

disepakati, dan bagi yang tidak membayar biaya angkutan dapat diturunkan oleh awak

kendaraan pada tempat pemberhentian terdekat.

Selain membayar biaya angkutan umum sesuai dengan kesepakatan, pihak

penumpang mempunyai kewajiban untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri selama berada

di dalam angkutan, misalnya dengan tidak mengeluarkan anggota tubuh ke luar angkutan

melalui jendela. Penumpang juga memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban dan

ketenangan selama perjalanan dengan tidak membuat onar dan keributan sehingga proses

pengangkutan dapat terlaksana dengan baik, dan penumpang memiliki kewajiban untuk
menjaga barang bawaan yang berada di bawah pengawasan dan penjagaan pihak penumpang

sendiri, misalnya tas, dompet, ataupun perhiasan.103

103 Diakses dari http://virtualperth.com/m/8080784/menjaga-keselamatan-penyelenggaraan-


angkutan/, pada tanggal 03 Maret 2011, pukul 21.00 WIB.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)
ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UU NO. 22 TAHUN 2009

Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan, dilatarbelakangi dengan pemikiran bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai

peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari

upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tujuan yang baik dari undang-undang ini guna menciptakan lalu lintas dan

kemakmuran rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa, menjunjung tinggi martabat Indonesia di

dunia internasional. Indonesia pada saat ini berada pada peringkat pertama tingkat kasus

kecelakaan lalu lintas di ASEAN.104

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus

dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban,

dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan

ekonomi dan pengembangan wilayah (Point a dan b bagian menimbang UU No. 22 Tahun

2009).

Selain itu, perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut

penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara

(Point c bagian menimbang UU No. 22 Tahun 2009).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah

ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian

disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini adalah kelanjutan

104 Diakses dari http://supriyantonazareth.blog.friendster.com/2010/04/sosialisasi-undang-undang-


lalu-lintas-nomor -22-tahun-2009/, pada tanggal 23 Februari 2011, pukul 20.15 WIB.
dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa kelanjutannya adalah merupakan

pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah klausul yang diaturnya, yakni yang tadinya

16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326 pasal.105

Pada undang-undang sebelumnya yakni UU Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan

untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila, transportasi

memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan

lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah.

Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda

perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek

kehidupan bangsa dan negara. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009,

undang-undang ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis

dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya

memajukan kesejahteraan umum.106

UU No. 22 Tahun 2009 cukup berbeda jauh dari undang-undang sebelumnya, yakni

UU No. 14 Tahun 1992, dimana UU No. 14 Tahun 2009 dianggap sudah tidak sesuai lagi

dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.107

Perbandingan Pengaturan

UU No. 14 Tahun 1992 UU No. 22 Tahun 2009

Bab I Ketentuan Umum Bab I Ketentuan Umum

Bab II Asas dan Tujuan Bab II Asas dan Tujuan

Bab III Pembinaan Bab III Ruang Lingkup Keberlakuan

105
Edy Halomoan, Implementasi UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya, http:// bantuanhukum.or.id//implementasi-undang-undang-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-
angkutan-jalan-raya/, diakses pada tanggal 02 Februari 2011, pukul 13.36 WIB.
106
Ibid
107 Diakses dari http://supriyantonazareth.blog.friendster.com/2010/04/sosialisasi-undang-undang-
lalu-lintas-nomor -22-tahun-2009/, pada tanggal 23 Februari 2011, pukul 20.15 WIB.
Undang-Undang

Bab IV Prasarana Bab IV Pembinaan

Bab V Kendaraan Bab V Penyelenggaraan

Bab VI Pengemudi Bab VI Jaringan Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan
Bab VII Lalu Lintas Bab VII Kendaraan

Bab VIII Angkutan Bab VIII Pengemudi

Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita
Cacat

Bab X Dampak Lingkungan Bab X Angkutan

Bab XI Penyerahan Urusan Bab XI Keamanan dan Keselamatan


Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Bab
Bab XII Penyidikan XII Dampak Lingkungan

Bab XIII Ketentuan Pidana Bab XIII Pengembangan Industri dan


Teknologi Sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan

Bab XIV Ketentuan Lain-Lain Bab XIV Kecelakaan Lalu Lintas

Bab XV Ketentuan Peralihan Bab XV Perlakuan Khusus bagi


Penyandang Cacat, Manusia Usia
Lanjut, Anak-Anak, Wanita Hamil, dan
Orang Sakit

Bab XVI Ketentuan Penutup Bab XVI Sistem Informasi dan


Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Bab XVII Sumber Daya Manusia

Bab XVIII Peran Serta Masyarakat

Bab XIX Penyidikan dan Penindakan


Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan

Bab XX Ketentuan Pidana


Bab XXI Ketentuan Peralihan

Bab XXII Ketentuan Penutup

UU No. 14 Tahun 1992 terdiri dari 74 Pasal dan 16 Bab, dimana sistem dan norma

hukum masih begitu mengambang, sedangkan untuk UU No. 22 Tahun 2009 terdiri dari 326

Pasal dan 22 Bab, dimana norman hukumnya dijabarkan lebih jelas.108

Dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 2009, maka pemerintah pusat dan daerah memiliki

banyak tugas, dikarenakan untuk menunjang diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2009,

terdapat 58 peraturan pelaksana dan teknis yang harus dibuat.109

A. Hal-Hal yang Dapat Menyebabkan Kerugian Bagi Pengguna Jasa (Penumpang)


Angkutan Umum Akibat Kesalahan dari Pihak Pengangkut

Pada bab sebelumnya telah dinyatakan bahwa secara umum pengangkutan bertujuan

untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang

maupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu

tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu

yang direncanakan. Sedangkan dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat,

tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit, atau meninggal dunia.110

Pada kenyataannya, dalam penyelenggaraan pengangkutan umum masih sering terjadi

kecelakaan yang menyebabkan kerugian bagi pihak pengguna jasa (penumpang) angkutan

umum. Di Indonesia, pada tahun 2006 tercatat sekitar 36 ribu orang meninggal dunia akibat

kecelakaan di jalan raya, dan 19 ribu orang diantaranya melibatkan pengendara sepeda motor.

108
Ibid.
109
Edy Halomoan, Implementasi UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya, http:// bantuanhukum.or.id//implementasi-undang-undang-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-
angkutan-jalan-raya/, diakses pada tanggal 02 Februari 2011, pukul 13.36 WIB.
110
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 16.
Sedangkan, pada tahun 2008 terjadi 18 ribu kasus kecelakaan, sedangkan pada tahun 2009

terjadi 19 ribu kasus kecelakaan.111

Menurut Pasal 229 UU No. 22 Tahun 2009, kecelakaan dapat digolongkan antara lain:

a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan;

Kecelakaan lalu lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan

kendaraan dan/atau barang.

b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang;

Kecelakaan lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan

dan kerusakan kendaraan dan/atau barang. Yang dimaksud dengan “luka ringan”

adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan

perawatan inap di rumah sakit atau selain yang di klasifikasikan dalam luka berat

(Penjelasan Pasal 229 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009).

c. Kecelakaan Lalu Lintas berat.

Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban

meninggal dunia atau luka berat.

Yang dimaksud dengan luka berat menurut penjelasan Pasal 229 ayat (4) UU No. 22

Tahun 2009, antara lain:

1. Jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan

bahaya maut;

2. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan;

3. Kehilangan salah satu pancaindra;

4. Menderita cacat berat atau lumpuh;

5. Terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih;

6. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau

111
Diakses dari http:// hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB
7. Luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh)

hari.

Berdasarkan uraian diatas, maka kekhawatiran meningkatnya jumlah korban

kecelakaan bukan tanpa dasar. Jumlah penumpang yang mengalami kerugian dalam

pengangkutan dapat semakin meningkat apabila upaya untuk menekan dan mencegah

kecelakaan dan hal-hal lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi penumpang tidak

mendapat perhatian dari semua pihak, baik pihak pemerintah, pengelola perusahaan angkutan

umum dan masyarakat.112

Pada UU No. 22 Tahun 2009 terdapat pengaturan-pengaturan yang bertujuan untuk

mencegah terjadinya kecelakaan maupun hal-hal lain yang dapat mengakibatkan kerugian

bagi penumpang dalam penyelenggaraan pengangkutan. Pengaturan tentang pengemudi

kendaraan bermotor umum misalnya, dimana pada Pasal 77 UU No. 22 Tahun 2009

dinyatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum di jalan

wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang

dikemudikan. Surat Izin Mengenumdi tersebut sebagai bukti bahwa pengemudi kendaraan

bermotorumum berkompetensi dan telah layak untuk mengendarai kendaraan bermotor

umum.

Pada UU No. 22 Tahun 2009 terdapat juga pengaturan mengenai waktu kerja, waktu

istirahat, dan dan pergantian pengemudi kendaraan bermotor umum yang wajib dipatuhi dan

dilaksanakan oleh perusahaan angkutan umum. Berdasarkan Pasal 90 UU No. 22 Tahun

2009, waktu kerja bagi pengemudi kendaraan bermotor umum paling lama 8 (delapan) jam

sehari dan pengemudi kendaraan bermotor umum setelah mengemudikan kendaraan selama 4

(empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam. Dalam hal tertentu

Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu

112
Ibid.
istirahat selama 1 (satu) jam. Hal ini diperlukan agar pengemudi kendaraan bermotor umum

dapat konsentrasi penuh ketika mengendarai kendaraan, selain itu juga untuk mencegah

pengemudi mengantuk yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.

Pada perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung, dalam menyelenggarakan

pengangkutan umum terdapat beberapa hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi

pengguna jasa (penumpang) angkutan umum antara lain kecelakaan yang diakibatkan

kesalahan atau kelalaian pengemudi, misalnya kecelakaan yang diakibatkan karena

pengemudi mengantuk, kecelakaan yang diakibatkan karena pengemudi dalam mengendarai

kendaraan atau angkutan umum tidak wajar dan tidak berkonsentrasi yang dapat

mengakibatkan penumpang menderita luka-luka, tidak sehat, atau meninggal dunia. Selain

itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, dalam penyelenggaraan

pengangkutan umum, pengguna jasa (penumpang) dapat juga menderita kerugian akibat

keadaan (kondisi) angkutan umum tidak dalam keadaan baik dan layak pakai, misalnya ban

angkutan umum yang ditumpangi oleh penumpang bocor atau mesin angkutan tidak dalam

keadaan baik sehingga menyebabkan angkutan mogok. Hal ini mengakibatkan penumpang

mengalami keterlambatan untuk sampai ke tempat tujuan, tidak sesuai dengan waktu yang

direncanakan. Timbulnya kerugian terhadap penumpang angkutan CV. Karya Agung juga

dapat disebabkan karena barang bawaan penumpang hilang, dicuri, ataupun jatuh di jalan.

Untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan dalam pengangkutan, pihak pengelola

menerapkan atau memberikan syarat kepada calon pengemudi angkutan CV. Karya Agung

yakni memiliki surat izin mengemudi kendaraan bermotor perseorangan dan juga memiliki

surat izin kendaraan bermotor umum, sebagaimana diatur pada Pasal 78 ayat (2) UU No. 22

Tahun 2009, dan dalam penyelenggaraan pengangkutan, perusahaan pengangkutan CV.

Karya Agung menerapkan waktu kerja bagi pengemudi angkutan umum 8 (delapan) jam

sehari, dan apabila dalam 8 (delapan) jam trayek yang menjadi tujuan pengangkutan belum
selesai maka akan dilakukan pergantian pengemudi angkutan. Hal ini dimaksudkan agar

pengemudi angkutan dapat mengendarai angkutan dengan baik dan konsentrasi sehingga

dapat meminimalisirkan kemungkinan terjadinya kecelakaan. Selain itu, untuk menjamin

kelayakan angkutan umum, perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung melakukan

pemeriksaan atau pengujian angkutan secara berkala, yakni setiap 6 (enam bulan) sekali pada

kantor Dinas Perhubungan wilayah setempat.113

B. Tanggung Jawab Pihak Pengangkut Terhadap Kesalahan yang di Lakukan Pihak


Pengangkut dan Pihak Penumpang yang Mengakibatkan Kerugian Bagi Pengguna
Jasa (Penumpang) Angkutan Umum

Dalam kehidupan di masyarakat, tidak seorang pun yang menghendaki terjadi

musibah pengangkutan, karena peristiwa itu jelas merugikan, baik bagi pengguna jasa

(penumpang) maupun pihak pengangkut, bahkan mungkin pihak lain yang tidak ada

kaitannya dengan pengangkutan. Jika sebelum diadakan perjanjian pengangkutan sudah dapat

diketahui akan terjadi kecelakaan, maka alat pengangkut tidak akan diberangkatkan karena

sudah diketahui ada ancaman bahaya yang akan terjadi. Terjadinya musibah pengangkutan

tidak dikehendaki oleh semua pihak, terutama pihak-pihak dalam

pengangkutan karena akan menimbulkan kerugian material, fisik, atau korban jiwa.114

Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

pengguna jasa (penumpang) karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan

pengangkutan. Selama pelaksanaan pengangkutan, keselamatan penumpang yang diangkut

pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum. Oleh karena

itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan tanggung

jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang, yang timbul karena

113
Hasil wawancara dengan Ibu Samaria Sinaga, Pimpinan Direksi CV. Karya Agung, pada tanggal 17 Februari
2011, di Jalan Sidamanik No. 8, Pematangsiantar.
114
Diakses dari http:// hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB
pengangkutan yang dilakukannya. Dengan beban tanggung jawab ini, pengangkut didorong

supaya berhati-hati dalam melaksanakan pengangkutan. Tanggung jawab perusahaan

pengangkutan umum terhadap penumpang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di

tempat tujuan yang telah disepakati.115

Menurut Pasal 187 UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan pengangkutan umum wajib

mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh pengguna jasa baik penumpang

maupun pengirim barang jika terjadi pembatalan keberangkatan. Selain itu menurut Pasal 191

UU No. 22 Tahun 2009, dinyatakan perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas

kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan

penyelenggaraan angkutan. Perusahaan pengangkutan umum juga bertanggung jawab atas

kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat

penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah

atau dihindari atau karena kesalahan penumpang (Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).

Akan tetapi, perusahaan pengangkutan tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan

penumpang, kecuali jika penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut

disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut (Pasal 192 ayat (4) UU No. 22 Tahun

2009).

Berbeda halnya dalam UU No. 22 Tahun 2009, pengaturan mengenai tanggung jawab

pihak pengangkut pada UU No. 14 Tahun 1992 tidak dijelaskan secara rinci. Hanya

disebutkan bahwa pengusaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita

oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam

melaksanakan pelayanan angkutannya (Pasal 45 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1992), dan tidak

dibedakan bentuk kerugiannya apakah kerugian luka berat atau ringan atau kerugian yang

menyebabkan meninggal dunia.

115
Ibid.
Selain mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan pengangkutan

terhadap pengguna jasa (penumpang) yang menggunakan jasa angkutan, UU No. 22 Tahun

2009 juga mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab pengemudi kendaraan bermotor,

jika terjadi kecelakaan dalam penyelenggaraan pengangkutan. Menurut Pasal 231 UU No. 22

Tahun 2009, pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas

berkewajiban:

a. Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya;

b. Memberikan pertolongan kepada korban;

c. Melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan

d. Memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.

Selain itu, menurut Pasal 234 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009, menyatakan bahwa

pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung

jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak

ketiga karena kelalaian pengemudi dan setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor,

dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau

perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi. Namun, hal tersebut tidak

berlaku jika (Pasal 234 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009):

a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan

Pengemudi;

b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau

c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan

pencegahan.

Adapun kerugian pengguna jasa (penumpang) yang menjadi tanggung jawab

perusahaan pengangkutan dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami pengguna

jasa (penumpang) atau bagian biaya pelayanan (Pasal 192 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009).
Menurut Pasal 235 UU No. 22 Tahun 2009, jika korban meninggal dunia akibat

kecelakaan lalu lintas, pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum wajib

memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya

pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana, dan Jika terjadi cedera

terhadap badan atau kesehatan korban akibat kecelakaan lalu lintas, pengemudi, pemilik,

dan/atau perusahaan angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya

pengobatan juga dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.

Hal ini menegaskan bahwa dalam UU No. 22 Tahun 2009 terdapat tanggung renteng

antara pengusaha, pengemudi, dan perusahaan angkutan umum. Tanggung renteng adalah

konsep hukum perdata yang menekankan tanggung jawab atas suatu kerugian berada di

pundak beberapa orang sekaligus.116

Untuk mengantisipasi tanggung jawab yang mungkin timbul, perusahaan

pengangkutan umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. Mengasuransikan

tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan

pengangkutan sebagaimana yang diatur Pada Pasal 189 UU No. 22 Tahun 2009.

Pada perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung, pihak pengelola angkutan

bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas angkutan yang baik dan layak pakai untuk

memberikan kenyamanan bagi pengguna jasa (penumpang) yang menggunakan jasa

angkutan. Selain itu jika angkutan mengalami keterlambatan bahkan pembatalan

keberangkatan maka pihak pengelola perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung akan

mengembalikan biaya angkutan yang sebelumnya telah dibayarkan oleh penumpang. Selain

itu, apabila terjadi kecelakaan dalam pengangkutan, pihak pengelola perusahaan

pengangkutan CV. Karya Agung bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kerugian yang

dialami oleh pengguna jasa (penumpang). Jika penumpang meninggal dunia akibat

116
Diakses dari http://hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB.
kecelakaan pengangkutan, maka perusahaan pengangkutan dan pengemudi berkewajiban

memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya

pemakaman. Dan bila akibat kecelakaan pengangkutan tersebut, penumpang mengalami

cedera atau luka-luka, maka pihak perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung akan

membantu biaya pengobatan sebagi wujud tanggung jawab pihak pengangkut terhadap

penumpangnya. Untuk barang bawaan penumpang, pihak perusahaan pengangkutan CV.

Karya Agung bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas bagasi sebagai tempat

penyimpanan barang bawaan penumpang selama pengangkutan terjadi. Apabila barang

bawaan penumpang mengalami kerusakan atau hilang, maka perusahaan pengangkutan hanya

bertanggung jawab terhadap barang bawaan penumpang yang terdapat di bagasi, dengan

ketentuan penumpang dapat membuktikan bahwa barang tersebut rusak ataupun hilang

disebabkan kelalaian pihak pengangkut. Namun, terhadap barang bawaan penumpang yang

berada dibawah pengawasan dan penjagaan penumpang sendiri, pihak pengangkut tidak

bertanggung jawab atas kerusakan maupun kehilangan barang tersebut. Selain itu, bentuk

tanggung jawab lain yang diberikan perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung kepada

penumpangnya adalah jika penumpang sampai di tempat tujuannya pada malam hari, maka

pengemudi angkutan akan mengantar penumpang sampai di rumahnya atau tempat lain yang

menjadi tujuannya. Hal ini untuk melindungi keselamatan dan keamanan penumpang.

Adapun bentuk ganti kerugian yang akan diberikan oleh pihak pengangkut kepada

penumpang akibat kerusakan dan kehilangan barang bawaan penumpang adalah berdasarkan

kesepakatan atau negoisasi antara pihak pengangkut dan pihak penumpang yang mengalami

kerugian. Dalam hal pertanggungjawaban kepada pihak penumpang, perusahaan

pengangkutan CV. Karya Agung bersama pengemudi angkutan sama-sama bertanggung

jawab atas segala hal yang dialami oleh penumpang selama penyelenggaraan pengangkutan.

Dan sesuai dengan kewajiban yang diberikan oleh UU No. 22 Tahun 2009 kepada pihak
pengangkut, maka perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung mengasuransikan tanggung

jawabnya, yaitu kepada PT. Jasa Raharja.117

C. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan


Umum Sebagai Konsumen Fasilitas Publik Transportasi Berdasarkan UU No. 22
Tahun 2009

Angkutan umum merupakan barang umum (public goods), yang artinya merupakan

hak setiap warga negara untuk memperolah pelayanan yang baik dalam menggunakan jasa

angkutan umum, dan penyediaan alat transportasi yang baik ini merupakan kewajiban

pemerintah. Kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi warga negaranya untuk dapat

melakukan kegiatan transportasi sejalan dengan tujuan negara yaitu untuk mencapai

masyarakat yang adil dan makmur. Dan untuk menjamin terselenggaranya pengangkutan

yang baik dan adil bagi masyarakat maka pemerintah berkewajiban untuk memberikan

perlindungan hukum bagi para pengguna jasa angkutan umum.118

Untuk menjamin perlindungan hukum pengguna jasa angkutan umum, maka

pemerintah mengeluarkan suatu peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan pelayanan lalu

lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu, mewujudkan etika

berlalu lintas dan budaya bangsa, dan mewujudkan penegakan hukum dan kepastian hukum

bagi masyarakat, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.

Bentuk perlindungan hukum yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2009 antara lain

adalah dalam undang-undang ini terdapat pengaturan-pengaturan yang berkaitan dengan

kegiatan pengangkutan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat

sebagai pengguna jasa angkutan umum. Menurut Pasal 138 ayat (1), angkutan umum

117
Hasil wawancara dengan Ibu Samaria Sinaga, Pimpinan Direksi CV. Karya Agung, pada tanggal 17 Februari
2011, di Jalan Sidamanik No. 8, Pematangsiantar.
118
Diakses dari http://hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB.
diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman,

dan terjangkau, dan pemerintah bertanggung jawab atas hal tersebut. Ini menunjukkan adanya

kepastian hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan angkutan umum yang

selamat, aman, nyaman, dan terjangkau tanpa terkecuali.

Selain itu menurut Pasal 197 UU No. 22 Tahun 2009, dinyatakan bahwa pemerintah

dan pemerintah daerah sebagi penyelenggara angkutan wajib:

a. Memberikan jaminan kepada pengguna jasa angkutan umum untuk mendapatkan

pelayanan;

b. Memberikan perlindungan kepada perusahaan angkutan umum dengan menjaga

keseimbangan antara penyediaan dan permintaan angkutan umum; dan

c. Melakukan pemantauan dan pengevaluasian terhadap angkutan orang dan barang.

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peranan yang besar untuk

memberikan perlindungan hukum baik bagi pengguna jasa angkutan umum dan perusahaan

umum, agar para pihak tidak mengalami kerugian dalam penyelenggaraan pengangkutan dan

untuk menciptakan pengangkutan yang baik dan lancar.

Apabila pengguna jasa (penumpang) melakukan pembayaran biaya angkutan dan

telah diberikan tanda bukti atas pembayaran tersebut, maka penumpang telah mempunyai hak

untuk memperoleh pelayanan pengangkutan. Dan kepada penumpang tidak dibenarkan untuk

dibebani biaya tambahan diluar kesepakatan dan penumpang juga berhak atas penggunaan

fasilitas bagasi yang tidak dikenakan biaya maksimal 10 kg per penumpang. Ketentuan

kelebihan bagasi diatur sesuai dengan kesepakatan antara pengangkut dan penumpang (Pasal

84 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003).

Menurut Pasal 187 UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan pengangkutan umum wajib

mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh pengguna jasa baik penumpang

maupun pengirim barang jika terjadi pembatalan keberangkatan. Selain itu menurut Pasal 191
UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang

diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan

angkutan. Perusahaan pengangkutan umum juga bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan,

kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena

kesalahan penumpang (Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009). Apabila dalam

penyelenggaraan pengangkutan, terjadi kecelakaan pengangkutan yang mengakibatkan

penumpang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, maka menurut Pasal 240 UU No. 22

Tahun 2009 penumpang berhak untuk mendapatkan:

a. Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya

kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah;

b. Ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu

lintas; dan

c. Santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi.

Apabila perusahaan pengangkutan tidak memberikan santunan asuransi atau tidak

mengasuransikan tanggung jawabnya, maka terhadap perusahaan pengangkutan tersebut

dapat diberikan sanksi administratif, yakni peringatan tertulis, denda administratif,

pembekuan izin dan/atau pencabutan izin.

Dan setiap korban kecelakaan lalu lintas berhak memperoleh pengutamaan

pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan (Pasal 241 UU No. 22 Tahun 2009).

Pada UU No. 22 Tahun 2009 juga terdapat perlindungan hukum bagi pengguna jasa

(penumpang) yang merupakan penyandang cacat, orang tua lanjut usia, anak-anak, wanita

hamil dan orang sakit untuk memperoleh perlakuan khusus antara lain meliputi aksesibilitas,

prioritas pelayanan dan fasilitas pelayanan. Bagi perusahaan angkutan umum yang tidak
memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang

cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit dapat dikenai sanksi

administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, pembekuan izin dan/atau

pencabutan izin.

Hal ini sangat berbeda dengan undang-undang Lalu Lintas sebelumnya, yakni UU No.

14 Tahun 1992, dimana di dalam undang-undang tersebut perlindungan hukum terhadap

pengguna jasa (penumpang) angkutan umum belum maksimal, bahkan masih sangat minim.

Hal tersebut dapat dilihat dari tidak pengaturan mengenai peranan serta tanggung jawab

pemerintah secara detail terhadap penyelenggaraan lalu lintas, dan tidak adanya pengaturan

mengenai peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pengangkutan, selain itu pasal-

pasal (ketentuan) mengenai perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan

umum masih sangat sedikit dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 2009, misalnya dalam

hal perlakuan khusus bagi penyandang cacat , manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil

dan orang sakit. Dalam UU No. 22 Tahun 2009, hal tersebut dijabarkan secara jelas, namun

dalam UU No. 14 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 49 (1), perlakuan khusu hanya diberikan

bagi penderita cacat saja. Hal ini membuktikan bahwa dalam UU No. 22 Tahun 2009,

perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum lebih menjamin

diperhatikan.

Pada perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung, perlindungan hukum terhadap

penumpang di CV. Karya Agung telah dilaksanakan dengan baik. Dimana, pihak CV. Karya

Agung akan memberikan pelayanan angkutan kepada para calon penumpang yang telah

melakukan pembayaran dan akan mengembalikan biaya angkutan apabila terjadi

keterlambatan atau pembatalan keberangkatan. Dan pihak CV. Karya Agung akan

memberikan ganti kerugian kepada penumpang terhadap segala sesuatu kerugian yang timbul

akibat kesalahan atau kelalaian pihak pengangkut. Dan pihak CV. Karya Agung telah
mengasuransikan setiap penumpang yang diangkutnya, sehingga jika terjadi kecelakaan yang

mengakibatkan luka-luka, cacat seumur hidup ataupun meninggal dunia akan mendapatkan

santunan dari PT. Jasa Raharja terhadap penumpang atau ahli warisnya (bagi penumpang

yang meninggal dunia).119

119
Hasil wawancara dengan Ibu Samaria Sinaga, Pimpinan Direksi CV. Karya Agung, pada tanggal 17
Februari 2011, di Jalan Sidamanik No. 8, Pematangsiantar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka

penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pihak pengangkut dan

pihak pengguna jasa sama tinggi. Dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang

adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas

dasar ini dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan. Penumpang mempunyai

dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai

objek karena dia adalah muatan yang diangkut.

2. Hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan

umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut, menurut UU No. 22 Tahun 2009

adalah kecelakaan dalam pengangkutan. Sedangkan pada penyelenggaraan

pengangkutan darat yang diselenggarakan oleh CV. Karya Agung, hal-hal yang dapat

menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum yang

diakibatkan kesalahan dari pihak pengangkut antara lain kecelakaan yang diakibatkan

kesalahan atau kelalaian pengemudi. Pengguna jasa (penumpang) dapat juga

menderita kerugian akibat keadaan (kondisi) angkutan umum tidak dalam keadaan

baik dan layak pakai, juga dapat disebabkan karena barang bawaan penumpang

hilang, dicuri, ataupun jatuh di jalan.

3. Adapun perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang) angkutan umum

telah diatur dengan baik dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, yang mana dalam undang-undang ini tidak hanya terdapat peranan

serta tanggung jawab pihak pengangkut dan pihak penumpang tetapi juga terdapat
pengaturan mengenai peranan dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, serta

sanksi bagi para pihak yang tidak memenuhi peraturan yang terdapat dalam undang-

undang tersebut.

B. Saran

Sebagai bagian terakhir maka penulis mencoba memberikan saran-saran dan

pertimbangan-pertimbangan. Adapun saran dan pertimbangan itu adalah sebagai berikut:

1. Agar pihak pemerintah dapat semakin meningkatkan kegiatan sosialisasi UU No. 22

Tahun 2009, baik terhadap penyelenggara angkutan umum dan terhadap masyarakat

luas sebagai pengguna jasa angkutan umum. Hal ini bertujuan agar pihak perusahaan

pengangkutan dapat memahami hak dan kewajibannya dengan baik sehingga dapat

memberikan pelayanan yang maksimal kepada penumpangnya, dan agar masyarakat

sebagai pengguna jasa angkutan umum dapat mengetahui kewajiban dan hak-haknya

yang dilindungi dalam UU No. 22 Tahun 2009, sehingga nantinya dapat tercapai

penyelenggaraan pengangkutan yang baik dan lancar.

2. Agar penyelenggara angkutan umum CV. Karya Agung dapat meminimalisirkan hal-

hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang), misalnya

mengadakan pembinaan kepada para pengemudi angkutan CV. Karya Agung secara

berkala, sehingga keamanan dan keselamatan para penumpang bias lebih terjamin.

3. Agar segala upaya perlindungan hukum terhadap pengguna jasa (penumpang)

angkutan umum yang sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 dapat benar-

benar dilaksanakan oleh seluruh perusahaan pengangkutan umum.

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adji, Sution Usman, dkk, 1990, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

Arrasjid, Chainur, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Asshiddiqie, Jimly, Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
NKRI.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1974, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Medan: Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.

______________________, 1983, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan


Penjelasan, Bandung: Penerbit Alumni.

Basri, Hasnil, 2002, Hukum Pengangkutan, Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Djamin, Djanius, Syamsul Arifin, 1993, Bahan Dasar Hukum Perdata, Medan: Perbanas.

Harahap, Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Penerbit Alumni.

Kansil, C. S. T, 2006, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta:
PT. Pradnya Paramita.
Komariah, 2008, Hukum Perdata, Malang: UMM Press.

Muhammad, Abdulkadir, 1990, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti.

___________________, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Mertokusumo, Soedikno, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty.

Projodikoro, Wirjono, 1981, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Penerbit Sumur.

Purba, Hasim, 2005, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan: Penerbit Pusaka Bangsa.

Purwosutjipto, H. M. N, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta:


Penerbit Djambatan.
Subekti, 1970, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Pembimbing Masa.

______, 1987, Hukum Perjanjian, Bandung: PT. Intermasa.


Suharmoko, 2004, Hukum Perjanjian, Jakarta: Prenada Media.

Tirtodiningrat, 1986, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Jakarta: PT.
Pembangunan.

Uli, Sinta, 2006, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut,
Angkutan Darat dan Angkutan Udara, Medan: USU Press.
Warpani, Suwardjoko, 1990, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Bandung: ITB.

_______________, 2000, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bandung: ITB.

Watni, Syaiful, dkk, 2004, Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggung Jawab Pengangkut
dalam Sistem Pengangkutan Multimoda, Jakarta: Penerbit Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan

Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum.

C. Kamus

W. J. S Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Dinas Penerbitan


Balai Pustaka.
D. Internet

http://bantuanhukum.or.id/implementasi-undang-undang-nomor-22-tahun-2009-tentang-
lalu-lintas-dan-angkutan-jalan-raya/

http://hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-tanggung-
jawab-renteng/

http://supriyantonazareth.blog.friendster.com/2010/04/sosialisasi-undang-undang-lalu-lintas-
nomor -22-tahun-2009/,

Anda mungkin juga menyukai