SKRIPSI
OLEH :
DIAN NATALIA
NIM : 070200147
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2011
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA (PENUMPANG)
ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 22
TAHUN 2009
SKRIPSI
OLEH :
DIAN NATALIA
NIM : 070200147
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia Nya
yang selalu memenuhi hari-hari saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini untuk melengkapi tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Saya telah berupaya dan berusaha sebaik dan semaksimal mungkin dalam
mengerjakan skripsi ini untuk memperoleh hasil yang terbaik. Adapun judul skripsi ini adalah
kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai konsumen fasilitas
publik transportasi. Kemudian juga akan dibahas mengenai hal-hal apa saja yang dapat
penyelenggaraan pengangkutan. Dan dalam skripsi ini juga membahas mengenai bentuk
Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dalam tata bahasa maupun ruang lingkup pembahasannya. Hal ini tidak terlepas dari
keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, dengan senang hati
saya akan menerima setiap kritik dan saran yang sifatnya membangun dan membantu penulis
Saya menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas
3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas
5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah
6. Ibu Maria Kaban, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak
membantu dan memberikan pengarahan kepada saya selama proses penyusunan dan
7. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum
8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum sebagai Dosen Wali saya selama saya
9. Keluarga saya yang sangat saya cintai, untuk Bapak ku Dorman Simbolon dan Mama
kehidupan saya, yang selalu mendukung saya secara jasmani dan rohani, yang selalu
mendoakan saya dan memberikan saya semangat dan kasih sayang, yang menjadi
inspirasi terbesar dalam kehidupan saya. Untuk Kakak saya Desy Purnamasari
Simbolon, Amk dan adik-adik saya Dionisius Pandapotan Simbolon, Dea Ananda
Simbolon, dan Debora Anzelika Simbolon yang selalu memberikan semangat dan
selalu membuat saya tersenyum sehingga saya menjadi kuat dan dapat menyelesaikan
skripsi ini.
10. Kelompok Kecil Jingle Bells, abang saya Erwin A.P Silaban, saudara-saudara saya
Desy K.C Sitepu, Sarah Simanjuntak, Julieta Simorangkir, R.N Abdelina, Linda,
Jepta Panjaitan, Andryanto Pasaribu, dan Adik-Adik saya Revany Bangun, Sri
11. Sahabat-sahabat saya di Fakultas Hukum USU: Rotua Hasibuan, Peggy Siahaan, Rina
Stephanie, Rini Laura, Elsamaria, Andy Sitorus, Daniel, Bardixcon, Satra, Ismed,
Aris, Christanti, Borry, dan yang lainnya. Rekan-Rekan MDC (Meriam Debating
Club): Bang Anov, Bang Ucup, Kak Witra, Kak Wina, Satra, Jojo, Miranda, Li Pei
Yung, Udur dan Akmal. Dan saudara saya Kak Rina Ginting.
13. Untuk seluruh staf dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................................................................ 8
C. Pembatasan Masalah ........................................................................................................................... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................................................................ 8
E. Keaslian Penulisan............................................................................................................................... 9
F. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................................................................ 10
G. Metode Penelitian ................................................................................................................................ 16
H. Sistematika Penulisan ......................................................................................................................... 18
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................................................ 91
B. Saran ........................................................................................................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa (Penumpang) Angkutan
Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
1
Dian Natalia
2
Hasim Purba
3
Maria Kaban
ABSTRAK
Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun dalam kenyataannya masih sering
pengemudi angkutan melakukan tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi
penumpang. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi
pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha
angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Permasalahan yang diangkat dalam
skripsi ini adalah kedudukan hukum pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagai
konsumen fasilitas publik transportasi, hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi
pengguna jasa (penumpang) angkutan umum dalam penyelenggaraan pengangkutan, dan
bentuk perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 kepada
pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.
Metode penulisan yang mendasari penulisan skripsi ini adalah metode penelitian
normatif dan penelitian sosiologis. Dalam penelitian normatif, penulis melakukan penelitian
melalui peraturan-peraturan dan bahan hukum yang berhubungan dengan penulisan ini
sedangkan dalam penelitian sosiologis, penulis melakukan penelitian terhadap salah satu
perusahaan pengangkutan di kota Pematangsiantar, yaitu pada perusahaan pengangkutan CV.
Karya Agung. Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan studi
kepustakaan (library research), yaitu mempelajari buku-buku, peraturan perundang-
undangan, catatan kuliah dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini
dan studi lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke objek
penelitian untuk mengumpulkan data dan keterangan-keterangan yang diperlukan.
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pihak pengangkut dan
pihak pengguna jasa sama tinggi. Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi
penumpang akibat kesalahan pihak pengangkut antara lain kecelakaan yang diakibatkan
kelalaian pengemudi, kondisi angkutan yang tidak layak pakai, maupun akibat barang
bawaan penumpang hilang atau rusak.
Pemerintah hendaknya semakin meningkatkan kegiatan sosialisasi UU No. 22 Tahun
2009, baik terhadap penyelenggara angkutan umum dan terhadap masyarakat luas sebagai
pengguna jasa angkutan umum, agar upaya perlindungan hukum terhadap pengguna jasa
(penumpang) angkutan umum yang sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 dapat
benar-benar dilaksanakan oleh seluruh perusahaan pengangkutan umum.
A. Latar Belakang
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari
ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau
yang memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, perairan, dan udara guna
menjangkau seluruh wilayah Indonesia4. Hal lain yang juga tidak kalah pentingnya akan
diberbagai sektor ke seluruh pelosok tanah air misalnya, sektor industri, perdagangan,
Secara umum, masyarakat yang melakukan pergerakan dengan tujuan yang berbeda-
beda membutuhkan sarana penunjang pergerakan berupa angkutan pribadi (mobil, motor)
merupakan angkutan yang tidak memiliki rute dan jadwal yang tetap dalam beroperasi
memiliki rute dan jadwal yang tetap serta tempat pemberhentian yang jelas.
Pada umumnya sebagian besar masyarakat sangat tergantung dengan angkutan umum
ekonominya masih tergolong lemah atau sebagian besar tidak memiliki kendaraan pribadi.
4
Abdulkadir Muhammad,Hukum Pengangkutan Niaga;Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.7.
5
Ibid, hlm.8.
Banyaknya kelompok yang masih tergantung dengan angkutan umum ini tidak diimbangi
dengan penyediaan angkutan umum yang memadai, terutama ditinjau dari kapasitas angkut.
Akibatnya hampir semua angkutan umum yang tersedia terisi penuh sesak oleh penumpang.
Hal ini menyebabkan para penumpang berusaha memilih alternatif angkutan umum lainnya
yang dirasa lebih nyaman, efektif dan efisien meskipun dengan biaya yang cukup besar.
diperlukan. Pembangunan yang baik dan berkualitas tidak hanya mengenai peningkatan mutu
sarananya saja, tetapi juga harus menyangkut pembangunan aspek hukum transportasi
sendiri.
Pembangunan hukum tidak hanya menambah peraturan baru atau merobah peraturan
lama dengan peraturan baru tetapi juga harus dapat memberikan kepastian dan perlindungan
hukum bagi semua pihak yang terkait dengan sistem transportasi terutama pengguna jasa
transportasi. Mengingat penting dan strategisnya peran lalu-lintas dan angkutan jalan yang
menguasai hajat hidup orang banyak serta sangat penting bagi seluruh masyarakat, maka
pembangunan dan pengembangan prasarana dan sarana pengangkutan perlu di tata dan
dikembangkan dalam sistem terpadu6 dan kepentingan masyarakat umum sebagai pengguna
jasa transportasi perlu mendapatkan prioritas dan pelayanan yang optimal baik dari
pemerintah maupun penyedia jasa transportasi. Selain itu perlindungan hukum atas hak-hak
berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas jangkauan dan pelayanannya
6
Suwardjoko Warpani,Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,ITB, Bandung, hlm.13.
lintas dan angkutan jalan sekaligus mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan
terpadu.
hukum pengangkutan itu sendiri. Pengangkutan di Indonesia diatur dalam KUH Perdata pada
Buku Ketiga tentang perikatan, kemudian dalam KUH Dagang pada Buku II titel ke V.
Selain itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu dengan
dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai
Pengganti UU No. 14 Tahun 1992, serta Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang
Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku meskipun PP No. 41 Tahun 1993 merupakan
peraturan pelaksanaan dari UU No. 14 tahun 1992 dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324
Pada saat Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 ini mulai berlaku, semua peraturan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam pasal 2 dan pasal 3
UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (yang selanjutnya disingkat dengan UULLAJ) mengatur
Adapun Asas penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 UULLAJ yakni:
a. asas transparan;
b. asas akuntabel;
c. asas berkelanjutan;
d. asas partisipatif;
e. asas bermanfaat;
i. asas mandiri.
Sedangkan Pasal 3 UULLAJ menyebutkan mengenai tujuan dari Lalu Lintas dan
a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib,
lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian
Menurut Pasal 4 UULLAJ dinyatakan undang-undang ini berlaku untuk membina dan
menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yangaman, selamat, tertib, dan lancar
melalui:
b. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas
c. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
Demikian juga dalam Pasal 9 UULLAJ tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum serta Pasal 141 UULAJ tentang standar pelayanan
angkutan orang dan masih banyak pasal-pasal lainnya yang terkait dengan adanya upaya
memberikan penyelenggaraan jasa angkutan bagi pengguna jasa atas kenyamanan, keamanan,
mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa
angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Secara
angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diti untuk menjalankan
kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam
yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan
selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari satu tempat ke tempat tujuan dapat
berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya,
luka, sakit maupun meninggal dunia. Sehingga tujuang pengangkutan dapat terlaksana
yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang, baik itu kerugian yang secara
nyata dialami oleh penumpang (kerugian materiil), maupun kerugian yang secara immateriil
seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh penumpang. Misalnya saja
tindakan pengemudi yang mengemudi secara tidak wajar dalam arti saat menjalani tugasnya
pengemudi dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penumpang yang menjadi korban. Hal ini tentu saja
melanggar pasal 23 ayat 1 (a) UULLAJ. Tindakan lainnya adalah pengemudi melakukan
penarikan tarif yang tidak sesuai dengan tarif resmi, hal ini tentu saja melanggar pasal 42
UULLAJ tentang tarif. Atau tindakan lain seperti menurunkan di sembarang tempat yang
dikehendaki tanpa suatu alasan yang jelas, sehingga tujuan pengangkutan yang sebenarnya
diinginkan oleh penumpang menjadi tidak terlaksana. Hal ini tentu saja melanggar ketentuan
pasal 45 (1) UULLAJ mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang yang
dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan. Dan adanya perilaku
Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam sektor pelayanan
angkutan umum masih banyak menyimpan permasalahan klasik. Dan dalam hal ini pengguna
jasa (penumpang) sering menjadi korban daripada perilaku pengangkut yang tidak
bertanggung jawab.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk
mempelajari, memahami, dan meneliti secara lebih mendalam mengenai bentuk perlindungan
hukum bagi pengguna jasa angkutan umum, yang mana dalam tulisan ini pengguna jasa yang
dimaksud adalah penumpang dan penulis menggunakan UU No. 22 Tahun 2009 sebagai
pedoman. Selanjutnya penulis menyusunnya dalam suatu penulisan hukum yang berjudul:
B. Rumusan Masalah
Berlatar belakang pada uraian di atas, maka maka ada beberapa pokok permasalahan
2. Hal-hal apa yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang)
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi permasalahan yakni angkutan umum
yang akan dijelaskan dan dipaparkan dalam skripsi ini adalah angkutan umum berdasarkan
UU No. 22 Tahun 2009, hal ini mengingat banyaknya jenis angkutan umum. Dan dalam
skripsi ini, penulis mengambil contoh rill sebuah perusahaan pengangkutan, yaitu perusahaan
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk memperoleh gelar
sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selain itu berdasarkan
permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis
angkutan umum.
2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna
jasa ( penumpang) angkutan umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut dan
E. Keaslian Penulisan
Angkutan Umum Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 belum pernah ada sebelumnya.
Keaslian penulisan skripsi ini benar merupakan hasil dari pemikiran penulis dengan
mengambil panduan dari buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan judul skripsi
Dalam penulisan ini yang ditekankan penulis adalah bagaimana bentuk perlindungan
hukum yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2009 terhadap kerugian yang diderita oleh
pengguna jasa (penumpang), apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak pengangkut dan
bagaimana penerapan hukum yang dilaksanakan dalam usaha pengangkutan di jalan raya.
membahas mengenai perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum.
Oleh karena itu, penulisan ini dapat dikatakan penulisan yang pertama kali dilakukan,
F. Tinjauan Kepustakaan
Hukum adalah tata aturan sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku
manusia.7 Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal, tetapi
seperangkat aturan yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu
7
Jimly Asshiddiqie, Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekjen dan Kepaniteraan MK RI.
Jakarta. 2006, hlm. 13
sistem. Sehingga konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya
memperhatikan satu aturan saja.8 Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum adalah untuk
mengatur tata tertib masyarakat secara damai dan adil. Perdamaian di antanra manusia
tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainya terhadap yang merugikannya.
secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai
tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika hukum tersebut menuju peraturan yang
yang dilindungi sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi
menyatakan hukum mempunyai tugas yang suci yakni memberikan kepada setiap orang apa
yang berhak diterimanya. Anggapan ini berdasarkan etika dan Aristoteles berpendapat bahwa
hukum bertugas hanya membuat keadilan.10 Sedangkan menurut Van Kant, tujuan hukum
adalah untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia sehingga kepentingan itu tidak dapat
diganggu oleh manusia lain. Dengan kata lain hukum bertujuan untuk melindungi hak-hak
Berdasarkan teori-teori tentang tujuan hukum sebagaimana yang telah diuraikan maka
dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa jika tujuan hukum semata-mata hanya untuk
mewujudkan keadilan saja maka tidak seimbang sehingga akan bertentangan dengan
kenyataan. Sebaliknya akan terjadi juga kesenjangan jika tujuan hukum hanya untuk
mewujudkan hal-hal yang berfaedah atau yang sesuai dengan kenyataan karena akan
bertentangan dengan nilai keadilan. Begitu juga jika tujuan hukum semata-mata hanya untuk
8
Ibid.
9
Chainur Arrasjid. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. 2000, hlm. 40.
10
Ibid.
11
Ibid, hlm. 42.
menwujudkan kepastian hukum saja, maka akan menggeser nilai keadilan maupun nilai
kegunaan dalam masyarakat. Sehingga kita harus melihat tujuan hukum dari ke tiga nilai
dasar hukum, yakni nilai keadilan, kegunaan atau manfaat dan kepastian hukum.12
Perlindungan hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Perbuatan (hal
tahu peraturan) untuk menjaga dan melindungi subjek hukum, berdasarkan peraturan
Mertokusumo adalah suatu hal atau perbuatan untuk melindungi subjek hukum berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku disertai dengan sanksi-sanksi bila ada yang
Mertokusumo yang dimaksud perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan
kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan
dengan manusia lain.15 Kata perlindungan di atas menunjuk pada adanya terlaksananya
penanganan kasus yang dialami dan akan diselesaikan menurut ketentuan hukum yang
berlaku secara penal maupun non penal dan juga adanya kepastian-kepastian usaha-usaha
Hukum merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh
tugasnya yang diatur dalam Hukum Nasional, yang mana Hukum Nasional berguna untuk
menyelaraskan hubungan antara pemerintah dan penduduk dalam sebuah wilayah negara
yang berdaulat, mengembangkan dan menegakkan kebudayaan nasional yang serasi agar
12
Ibid, hlm. 47.
13
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buku Satu. Balai Pustaka. Jakarta. 1989, hlm. 874.
14
Soedikno Mertokusumo. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta. 1991,hlm.9.
15
Ibid
terdapat kehidupan bangsa dan masyarakat yang rukun, sejahtera dan makmur. Hukum juga
benda-benda maupun orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan
perjanjian timbal balik, yang mana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang ke tempat tujuan tertentu, sedangkan
pihak lainnya, yaitu pengirim barang, penerima barang dan penumpang wajib menunaikan
Adapun arti hukum pengangkutan jika ditinjau dari segi keperdataan, dapat diartikan
berdasarkan atas dan bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terbit
karena keperluan pemindahan barang-barang dan/ atau orang-orang dari suatu tempat ke
16
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Departemen P dan K, PN Balai Pustaka,
Jakarta, 1976, hlm.97.
17
Sinta Uli,Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut, Angkutan
Darat dan Angkutan Udara, USU Press, Medan, 2006, hlm. 20.
18
Sution Usman Adji, Djoko Prakoso, dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1990, hlm. 6-7.
19
Ibid, hlm. 5.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya ditulis dengan KUHD)
tidak ada aturan mengenai pengangkutan orang di darat, begitu juga dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (selanjutnya ditulis dengan KUH Perdata) tidak terdapat peraturan
umum mengenai pengangkutan orang. Oleh karena itu, perjanjian pengangkutan orang di darat
hanya dapat didasarkan atas pasal-pasal yang terdapat pada Bab I sampai dengan bab IV
Diluar KUHD dan KUH Perdata terdapat peraturan mengenai pengangkutan orang di
darat, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang UULLAJ, serta PP No. 41 Tahun 1993 tentang
Angkutan Jalan. Dalam UU No. 22 Tahun 2009 secara khusus diatur mengenai hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam pengangkutan darat seperti asas-asas dan tujuan penyelenggaraan
lalu-lintas dan angkutan jalan, fasilitas dan elemen pendukung dalam penyelenggaraan lalu-
lintas dan angkutan jalan, asuransi, tarif angkutan, dan juga diatur mengenai tanggung jawab
pihak pengangkut.
Pengertian pengguna jasa menurut Pasal 1 angka 20 UU No. 22 Tahun 2009 adalah
perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan umum, sedangkan
penumpang adalah orang yang mengikatkan diri kepada pihak pengangkut 21.
dan penumpang (orang) yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan baik
dengan cara charter menurut waktu maupun menurut perjalanan22. Perusahaan angkutan
umum menurut UU No. 22 Tahun 2009 adalah badan hukum yang menyediakan jasa
Angkutan umum merupakan sarana angkutan untuk masyarakat kecil dan menengah
agar dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam masyarakat.
20
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3, Hukum Pengangkutan,
Penerbit Djambatan, Jakarta, 1981, hlm. 50-51.
21
Sinta Uli, op.cit, hlm. 20.
22
Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Penerbit Pustaka, Bangsa Prees, Medan, 2005, hlm.
135.
Sedangkan pengertian angkutan menurut UU No 22 Tahun 2009 adalah perpindahan orang
dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang
perpindahan orang dan/ atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan
kendaraan.
dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik dan layak antara lain mencakup
G. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
skripsi ini yakni perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung yang beralamat di Jalan
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian normatif dan
3. Sumber Data
Adapun data yang dikumpul dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan
pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dibagi atas
3 (tiga), yaitu:
Perdata, KUHD, UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan,
dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
dan sumber literatur lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas
dalam skripsi ini sehingga diperoleh data ilmiah sebagai bahan dalam uraian
teoritis.
ketentuan yang terdapat pada UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
5. Analisis Data
Analisa data dalam penulisan ini menggunakan data kualitatif, yaitu suatu analisi data
secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang
H. Sistematika Penulisan
permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan
Bab I : Pendahuluan
Pada bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan
pengangkutan.
Pada bab ini akan diuraikan mengenai pengertian pengguna jasa dan
Bab V : Penutup
Bab ini merupakan bab akhir dari skripsi ini, dan merupakan penutup
berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat perjanjian,
sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang
berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak. 23 Dalam bahasa
ketentuan pasal ini, “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau leb ih
Para Sarjana Hukum Perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang
terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan juga terlalu luas.25
23
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 117.
24
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, 2006.
25
Ibid.
26
Ibid.
diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan
antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
dikehendaki Buku III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan perjanjian tersebut tidak disebutkan
tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu
tidak jelas untuk apa.
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali
apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”. 27 Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang
“Perjanjian adalah : Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. 28
“Sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan
sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.” 29
“Perjanjian atau verbintenis mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta
benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan
prestasi”. 30
27
Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hlm.169.
28
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hlm.9.
29
Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hlm.9.
30
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 6.
Menurut Tirtodiningrat menyatakan bahwa:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua
orang atau lebihuntuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-
undang”. 31
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan
“Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
memang berbeda-beda. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar sebab dalam mengemukakan
defenisi dari perjanjian itu, para pakar hukum tersebut memiliki sudut pandang yang saling
berbeda satu sama lain. Namun dalam setiap defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana
tersebut tetap mencantumkan secara tegas bahwa dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang
menjadi subjek dan objek dari perjanjian tersebut yaitu adanya hubungan hukum yang terjadi
diantara para pihak yang menyangkut pemenuhan prestasi dalam bidang kekayaan.
Adapun yang menjadi dasar hukum dari perjanjian ini antara lain Buku ke Tiga Kitab
31
Tirtodiningrat, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, PT. Pembangunan, Jakarta, 1986,
hlm.83.
32
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 78.
33
Sudikno Mertokusumo, op. cit, hlm. 97.
34
R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1970, hlm 16.
b. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar
kebebasan menentukan kehendaknya ( tidak ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan),
dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuat perjanjian,
maka perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya.
tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut batal jika ada yang
memohonkan pembatalan.
objek tersebut dapat berupa benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada.
Sehingga dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek
2. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (pasal 1333 KUHPerdata)
Tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja jumlah itu di
3. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari (pasal 1334 ayat 2 KUHPerdata).
Sedangkan barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah :35
1. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk menetapkan
kewajiban masing-masing.
35
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Penerbit Fakultas Hukum USU,
Medan, 1974, hlm. 166.
36
R. Subekti, op.cit.
2. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan undang-
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah perjanjian
tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 (empat) syarat agar suatu perjanjian
harus bersepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang
lain. Kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian itu harus diberikan secara
bebas.37
Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik. Dalam hal
persetujuan ini, kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang
bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Dengan demikian kata
sepakat antara kedua belah pihak atau lebih di dalam mengadakan perjanjian itu harus tanpa
cacat, sebab jika terdapat cacat dalam perjanjian itu, persetujuan itu dapat dimintakan
pembatalannya kepada pengadilah.38 Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1321
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa tiada kesepakatan sah apabila kesepakatan itu
diberikan secara kekhilafan (dwaling) atau diperoleh dengan paksaan (dwang) atau penipuan
(bedrog).
37
Komariah, op.cit, hlm. 175.
38
Djanius Djamin, Syamsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan
(Perbanas), Medan, 1993, hlm. 176-177.
Mengenai kekhilafan/ kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai inti sari
pokok perjanjian, harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Sedangkan
kekhilafan/ kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat menjadi batal
pada suatu ancaman. Dalam hal ini yang diancamkan oleh undang-undang harus merupakan
suatu perbuatan yang dilarang atau yang tidak diizinkan (tidak dibenarkan) undang-undang.
Jika suatu perbuatan yang diancam itu dibenarkan atau diizinkan oleh undang-undang,
misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di muka hakim dengan penyitaan
Mengenai pengertian penipuan (bedrog) ini terjadi, apabila suatu pihak dengan
kelicikan sehingga pihak lain terbujuk untuk melakukan sesuatu atau memberikan
Syarat kedua sahnya perjanjian adalah adanya kecakapan atau cakap dalam hukum.
Menurut Pasal 330 KUHPerdata, seseorang dikatakan cakap dalam hukum apabila telah
berumur 21 tahun, atau yang telah melangsungkan pernikahan. Dalam Pasal 1330
KUHPerdata disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah :
3. Perempuan yang telah kawin ( dengan adanya UU No. 1 Tahun 1974, ketentuan ini
tidak berlaku lagi) dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap
dan boros. Apabila seseorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah
Ketiga hal ini, bila melakukan perjanjian tanpa izin dari yang mengawasinya maka
dikatakan perjanjian itu bercacat. Oleh karena itu perjanjian itu dapat dibatalkan oleh
Menurut ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata, setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap. Pasal tersebut
menyatakan bahwa semua orang dianggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam
suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan
Hal ini dikarenakan dari sudut keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian
nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, sehingga harus mempunyai cukup kemampuan
untuk menginsafi benar-benar tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu.
Sedangkan dari sudut hukum, karena orang yang membuat suatu perjanjian itu berarti
untuk melindungi baik bagi dirinya maupun dalam hubungan dengan keselamatan dirinya.
41
Mariam Darus Badrulzaman, op. cit, hlm. 165.
42
C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 226.
43
Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op.cit, hlm. 178-179.
c. Suatu hal tertentu,
Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya.
Menurut Pasal 1333 KUHPerdata, suatu hal tertentu artinya barang yang menjadi objek
perjanjian paling sedikit harus dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak menjadi
Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan di dalam
perjanjian mengenai :45
1. Jenis barang,
2. Kualitas dan mutu barang,
3. Buatan pabrik dan dari Negara mana,
4. Buatan tahun berapa,
5. Warna barang,
6. Ciri khusus barang tersebut,
7. Jumlah barang,
8. Uraian lebih lanjut mengenai barang itu.
Dengan demikian, perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenisnya tidak tertentu
maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau jenis objek merupakan syarat
Sebab atau causa yang dimaksudkan undang-undang adalah isi perjanjian itu sendiri.
Jadi sebab atau causa tidak berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian
yang dimaksud.46
Menurut Subekti, “Sebab atau causa harus dibedakan dengan motif atau desakan jiwa
yang mendorong seseorang untuk membuat suatu perjanjian”. 47 Menurut Pasal 1337
KUHPerdata, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Akibat hukum dari perjanjian
yang berisi causa yang tidak halal, mengakibatkan perjanjian itu batal demi hukum. Dengan
demikian tidak ada dasar untuk membuat pemenuhan perjanjian di muka hakim.
44
Komariah, op.cit, hlm. 175.
45
C.S.T Kansil, op.cit, hlm. 227.
46
Komariah, op.cit, hlm. 175.
47
Djanius Djamin, Syamsul Arifin, op. cit, hlm. 180.
Dua syarat yang pertama disebut dengan syarat-syarat subjektif karena menyangkut
subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat-syarat
objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.48
Perjanjian dapat dibedakan atas berbagai cara, pembedaan tersebut antara lain: 49
a. Perjanjian timbal balik,
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli.
b. Perjanjian cuma-cuma atau perjanjian atas beban,
Perjanjian dengan cuma-cuma adalh perjanjian yang memberikan keuntungan bagi
salah satu pihak saja, misalnya hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana
terhadap para prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak
lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum.
c. Perjanjian bernama (benoemd) dan perjanjian tidak bernama (onbenoemd),
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dan tidak
disebutkan dalam KUHPerdata dan KUHD, tetapi hidup dan berkembang di dalam
kehidupan masyarakat. Jumlah perjanjian tidak bernama ini tidak terbatas, dan
lahirnya perjanjian ini di dalam kehidupan masyarakat adalah berdasarkan akan
kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum
perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian tak bernama adalah perjanjian sewa-beli.
d. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir,
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana hak milik dari seseorang atas
sesuatu, beralih kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian
dimana para pihak terikat untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian
yang menimbulkan perikatan).
Menurut sistem hukum KUHPerdata perjanjian jual beli belum mengakibatkan
beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas
benda yang diperjual-belikan masih diperlukan penyerahan. Perjanjian jual beli
tersebut dinamakan perjanjian obligatoir, dan penyerahannya sendiri merupakan
perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian benda-benda tidak bergerak, maka
perjanjian jual beli tersebut disebut perjanjian jual beli sementara.
e. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
Menurut pasal 1338 KUHPerdata perjanjian ini telah mempunyai kekuatan mengikat.
Perjanjian riil adalah perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi
penyerahan barang misalnya perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPerdata),
pinjam pakai (pasal 1740 KUHperdata).
48
Ibid, hlm. 17.
49
Ibid.
f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya, antara lain:
1. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari
kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang atau kwijtsschelding (pasal
1438 KUHPerdata).
2. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian dimana para pihak
menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
3. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (pasal 1774
KUHPerdata).
4. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebahagian atau seluruhnya dikuasai oleh
hukum publik, karena salah satu pihak adalah penguasa yang bertindak sebagai
penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas.
Menurut Komariah : “Perjanjian bernama adalah perjanjian khusus yang diatu r dan
disebutkan dalam KUHPerdata Buku III Bab V s/d Bab XVII dan yang diatur dalam KUHD,
misalnya perjanjian jual-beli, sewa menyewa, penitipan barang, pinjam pakai, asuransi, dan
perjanjian pengangkutan. Kemudian, perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat
kedua belah pihak sejak adanya kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak.”
50
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit
Alumni, Bandung, 1983, hlm. 108-119.
Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Mengikat artinya
masing-masing para pihak dalam perjanjian tersebut harus menghormati dan
melaksanakan isi perjanjian, serta tidak boleh melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan isi perjanjian. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak
semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa
unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
e. Asas persamaan hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat dan tidak ada
perbedaan di hadapan hukum. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan
ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai
manusia ciptaan Tuhan.
f. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan.
g. Asas kepastian hukum
Menurut asas ini perjanjian harus mengandung kepastian hukum bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu
yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
h. Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari
pihak debitur. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagi
panggilan dari hati nuraninya.
i. Asas kepatutan
Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian, melalui asas ini ukuran tentang hubungan
ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
j. Asas kebiasaan
Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam
keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.
Menurut Komariah : “Setiap perjanjian dinyatakan sudah sah atau mengikat apabila
sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Isi perjanjian
yang mengikat tersebut kemudian akan berfungsi sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya.” 51
Menurut pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik
51
Komariah, op.cit, hlm. 173-174.
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad
yang dimaksud bukanlah semata-mata hanya perjanjian bernama, tetapi juga meliputi
perjanjian tidak bernama. Dengan istilah “secara sah” pembentu undang -undang
Secara sah artinya adalah bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat
sah suatu perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang sah
menimbulkan suatu akibat yakni perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali secara
52
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 168.
53
Ibid, hlm. 107.
54
Komariah, op.cit, hlm. 200.
a. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang
dihapuskan karenanya.
b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama,
yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seseorang berpiutang ditunjuk
untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya.
Pembaharuan hutang adalah suatu perjanjian dengan mana perikatan yang sudah ada
dihapuskan dan sekaligus diadakan suatu perikatan baru. Novasi menurut pasal 1413
KUHPerdata terjadi dalam tiga bentuk, yaitu:
a. Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru, dengan perjanjian lama
dihapuskan.
b. Apabila terjadi penggantian debitur, maka dilakukan penggantian perjanjian
dengan mana debitur lama dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila terjadi penggantian kreditur, maka dilakukan penggantian perjanjian
dengan mana kreditur lama dibebaskan dari perikatannya.
Menurut pasal 1415 KUHPerdata, maka kehendak untuk mengadakan novasi haruslah
tegas, yaitu dengan sebuah akte.
Dalam hal pencampuran utang, pencampuran kedudukan dapat terjadi berdasarkan
alas hak umum, misalnya bila kreditur meninggal dunia dan sebagai satu-satunya ahli
waris yang ditinggalkannya adalah debitur dan sebaliknya, atau juga dapat terjadi
berdasarkan alas hak khusus, misalnya jual beli.56
55
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hlm. 157.
56
Ibid, hlm. 186-187.
B. Pengangkutan Pada Umumnya
Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas
kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari zaman kehidupan manusia yang modern
senantiasa didukung oleh pengangkutan. Bahkan salah satu barometer penentu kemajuan
kehidupan dan peradaban suatu masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan
dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan
Pengertian lain dari pengangkutan adalah kegiatan pemindahan orang dan atau barang
dari suatu tempat ke tempat lain baik melalui angkutan darat, angkutan perairan, maupun
benda maupun orang-orang, karena perpindahan itu mutlak diperlukan untuk mencapai dan
57
Hasim Purba, op.cit, hlm. 3.
58
Ibid.
59
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 60.
60
Hasim Purba, op.cit, hlm. 4.
61
Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm 1.
62
Hasim Purba, op.cit, hlm. 4.
b. Kegiatan ekonomi di bidang jasa;
c. Berbentuk perusahaan;
mulai dari pemuatan ke dalam alat angkut, kemudian di bawa menuju ke tempat yang telah
pengirim. Adapun sifat perjanjian pengangkutan adalah timbal balik, artinya kedua belah
pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat
ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim adalah membayar
uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan pengangkutan yang dilakukan
oleh pengangkut. 64
sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya.
Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umunya didasarkan pada jenis alat angkut
yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya
63
Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm 1.
64
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm 2.
65
Ibid, hlm. 2-3.
66
Hasnil Basri, Hukum Pengangkutan, Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum USU, Medan, 2002,
hlm. 22-27.
dengan berjenis-jenis alat pengangkutan, antara lain dengan kendaraan bermotor di atas jalan
raya dan dengan kendaraan kereta api dan listrik di atas rel.
Pada dasarnya pengangkutan melalui darat digunakan untuk menghubungkan kota
yang satu dengan kota yang lain atau daerah yang lain di satu pulau. Selain dari jenis
angkutan tersebut, pengangkutan surat-surat/ paket melalui pos dan berita lewat kawat radio
dan televisi termasuk juga pengangkutan darat.
b. Pengangkutan Laut
Laut memiliki fungsi yang beraneka ragam. Selain berfungsi sebagai sumber
makanan dan mata pencaharian bagi umat manusia, sebagai tempat berekreasi, dan sebagai
alat pemisah atau pemersatu bangsa, laut juga berfungsi sebagai jalan raya perdagangan.
Ruang lingkup angkutan laut jauh berbeda dari ruang lingkup angkutan darat. Ruang
lingkup angkutan laut meluas melampaui batas Negara, sehingga ruang lingkup itu dapat
dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
1. Ruang lingkup angkutan laut dalam negeri,
2. Ruang lingkup angkutan laut luar negeri.
Dalam hal ini, hubungan nasional dan internasional tidak hanya terletak pada satu
bidang hukum saja, melainkan pada bidang yang beraneka ragam, sehingga dapat dikatakan
bahwa hukum laut meliputi seluruh bidang hukum, baik hukum publik dan privat nasional
maupun internasional.
c. Pengangkutan Udara
International Air Transport Association (IATA) sebagai organisasi internasional, yang
mana tergabung sebagian besar pengangkut-pengangkut udara diseluruh dunia telah
menyetujui syarat-syarat umum pengangkutan (General Condition of Carriage), baik untuk
penumpang, bagasi maupun untuk barang. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan
untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya.
Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui lebih dulu oleh calon penumpang atau
pengirim barang, sebab di dalam tiket penumpang selalu disebutkan bahwa pengangkutan
udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan ordonansi
pengangkutan udara di Indonesia (S. 1939-100). Dengan membeli tiket pengangkutan udara,
maka telah terjadi perjanjian pengangkutan antara pengusaha dengan penumpang dan dengan
sendirinya semua ketentuan-ketentuan yang tercantum pada tiket pengangkutan udara telah
berlaku.
Menurut Sution Usman Adji : “ Pengangkutan melalui laut dapat dibagi atas
pengangkutan antar pulau dan pengangkutan ke luar negeri, selain itu juga dapat dibagi atas
pengangkutan dengan pelayaran tetap dan pengangkutan dengan tramp (kapal tambangan).” 67
tempat. Selain itu, sumber yang berupa bahan baku tersebut harus melalui tahapan produksi
67
Sution Usman Adji, dkk, op.cit, hlm. 252.
yang lokasinya juga tidak selalu di lokasi manusia sebagai konsumen. Kesenjangan jarak
antara lokasi sumber, lokasi produksi, dan lokasi konsumen itulah yang melahirkan
pengangkutan.68
Secara umum dinyatakan bahwa setiap pengangkutan bertujuan untuk tiba di tempat
tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang
meningkatkan daya guna dan nilai, yang berarti dengan dilakukannya kegiatan pengangkutan
maka barang atau benda yang diangkut tersebut akan meningkat daya guna maupun nilai
pengangkutan juga akan membawa fungsi bagi penumpang sebagai pengguna jasa angkutan,
dengan dukungan jasa angkutan tersebut penumpang dapat sampai ke tempat yang dituju
68
Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Penerbit ITB, Bandung, 1990, hlm. 4.
69
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 16.
70
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm.1.
71
Surwadjoko Warpani1, op.cit, hlm.4.
kondisi alaminya (misalnya kayu dan bahan makanan), sehingga membutuhkan teknologi
yang tepat. Teknologi pengangkutan yang tepat harus memnuhi syarat-syarat, antara lain:
1. Menjamin agar muatan tidak rusak.
2. Menjaga agar penggunaan tenaga/ kekuatan yang diperlukan untuk mengangkut
muatan berada dalam keadaan baik, sehingga tidak merusak muatan.
3. Melindungi muatan dari segala kerusakan sehingga beberapa hal harus
dikendalikan, misalnya suhu lingkungan yang bauk, tekanan udara, dan
kelembapan.
Di samping itu, sarana angkutan hendaknya sejauh mungkin menghindari pencemaran
terhadap udara, suara, dan air.
d. Jalan, sebagai prasarana angkutan;
Komponen pokok dalam pengangkutan adalah jalan (prasarana) dan kendaraan
(sarana). Menurut UU No. 13 Tahun 1980 tentang Jalan, yang dimaksud dengan jalan adalah
suatu prasarana perhubungan dalam bentuk apa pun, meliputi segala bagian jalan, termasuk
bagian pelengkap dan perlengkapannya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas. Menurut Pasal 1
angka (12), jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan
tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
e. Organisasi, yaitu pengelola angkutan.
Kegiatan pengangkutan selalu melibatkan banyak lembaga karena fungsi dan peran
masing-masing tidak mungkin ditangani oleh satu lembaga saja. Di Indonesia, pada tingkat
nasional, masalah pengangkutan menyangkut beberapa lembaga, seperti Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Perhubungan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan. Di
bawahnya, pada tingkat pelaksanaannya terdapat Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan, Polisi
Lalu Lintas dan perusahaan pengangkutan.
Karena demikian banyak pihak dan lembaga yang bersangkut-paut, maka
diperlukanlah suatu sistem untuk menangani masalah pengangkutan, dan dalam hal inilah
organisasi pengangkutan diperlukan.
Secara umum barang dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu barang padat,
cair dan gas yang mana karakter masing-masing golongan barang tersebut menuntut
perlakuan khusus dalam pengangkutan, dan dengan demikian perlu disediakan jenis
Prinsip-prinsip tanggung jawab merupakan salah satu unsur penting dari segi
perlindungan hukum bagi konsumen jasa angkutan. Prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut
antara lain :73
72
Surwadjoko Warpani2, op.cit, hlm. 34.
73
Syaiful Watni, dkk. Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggung Jawab Pengangkut dalam Sistem
Pengangkutan Multimoda, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
Jakarta, 2004.
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga bersalah (presumption of liability)
Menurut prinsip ini setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap
kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pihak
pengangkut dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka ia dapat dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi kerugian tersebut
Yang dimaksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah
mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang
msenimbulkan kerugian itu tidak mungkin dapat dihindari.
Beban pembuktian (onus of proof) diberikan kepada pihak pengangkut, bukan kepada
yang dirugikan dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut.
b. Prinsip tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
Menurut prinsip ini, setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya
dalam penyelenggaraan pengangkutan dan membayar ganti rugi atas segala kerugian yang
timbul akibat kesalahannya itu. Menurut prinsip ini, beban pembuktian diberikan kepada
pihak yang dirugikan dan bukan kepada pengangkut.
c. Prinsip tanggung jawab mutlak
Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang
timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya
kesalahan pengangkut. Prinsip ini menitikberatkan pada penyebab bukan kesalahannya.
d. Prinsip pembatasan tanggung jawab
Prinsip pembatasan tanggung jawab adalah prinsip yang membatasi tanggung jawab
pengangkut sampai jumlah tertentu. Prinsip ini mempunyai 2 (dua) variasi, yaitu:
1. Variasi mungkin dilampaui
Variasi ini memberikan kemungkinan bahwa batas ganti rugi dilampaui apabila
pihak yang dirugikan dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan karena
perbuatan sengaja atau kesalahan atau kelalaian berat dari pihak pengangkut.
2. Variasi tidak mungkin dilampaui
Variasi ini tidak memberikan kemungkinan batas ganti rugi dilampaui, karena
dianggap bahwa batas tanggung jawab pengangkut ditetapkan sudah cukup tinggi
yakni US. $. 100.000 (seratus ribu dolar amerika) untuk setiap penumpang.
Menurut H.M.N Purwosutjipto, prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga tak
bersalah (presumption of liability) memiliki 3 (tiga) variasi, yakni sebagai berikut:74
1. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat
membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya
(Pasal 522 KUHD untuk angkutan laut).
2. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat
membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk
menghindarkan timbulnya kerugian (Pasal 24 jo Pasal 30 Ordonansi
Pengangkutan Udara).
3. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia dapat
membuktikan bahwa kerugian bukan timbul karena kesalahannya (Pasal 24 UU
Lalu Lintas dan angkutan Jalan Raya).
Pada ketiga variasi di atas berlaku juga ketentuan bahwa pengangkut tidak
bertanggung jawab apabila kerugian ditimbulkan oleh kesalahan atau kelalaian penumpang
74
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 28-29.
Pada prinsip tanggung jawab mutlak Pengangkut hanya dapat membebaskan diri dari
tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian ditimbulkan karena kesalahan
penumpang sendiri atau karena sifat mutu barang yang diangkut. Prinsip tanggung jawab
mutlak ini baru dipergunakan pada penerbangan dan angkutan udara internasional, yaitu
berdasarkan Konvensi Roma tahun 1952 yang mengatur tanggung jawab operator pesawat
udara untuk kerugian yang diderita pihak ketiga di permukaan bumi.76
C. Perjanjian Pengangkutan
pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim. Kesepakatan tersebut pada dasarnya berisi
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri
Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis), tetapi selalu
didukung oleh dokumen pengangkut. Dokumen pengangkutan berfungsi sebagai bukti sudah
terjadi perjanjian pengangkutan dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang mengadakan
perjanjian. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut surat muatan, sedangkan dokumen
dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter (charter party), seperti carter pesawat udara
untuk mengangkut jemaah haji dan carter kapal untuk mengangkut barang dagangan.79
75
Ibid.
76
Ibid, hlm. 29.
77
Suwardjoko Warpani1, op.cit, hlm. 2.
78
Ibid, hlm. 46.
79
Ibid, hlm. 3.
80
Ibid.
b. Kejelasan rincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko para pihak.
c. Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.
d. Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian,
e. Kepastian mengenai waktu, tempat dan alasan apa perjanjian berakhir.
f. Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan maksud yang
dikehendaki para pihak.
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Subjek hukum pengangkutan
adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu pihak-
pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak dalam perjanjian
pengangkutan.81
81
Ibid, hlm. 59.
82
Ibid, hlm. 60.
83
H.M.N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 21-22.
a. Mengusahakan pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat
pengangkutnya;
b. Mengusahakan kesanggupan alat pengangkut itu untuk dipakai menyelenggarakan
pengangkutan menurut persetujuan;
c. Memperlakukan dengan baik dan melakukan penjagaan atas muatan yang
diangkut.
4. Menyerahkan muatan ditempat tujuan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan
dalam perjanjian.
Menurut Pasal 124 ayat (1) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengenudi kendaraan bermotor
umum, yaitu:
1. Mengangkut Penumpang yang membayar sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan;
trayek yang sama tanpa dipungut biaya tambahan jika Kendaraan mogok, rusak,
3. Menggunakan lajur Jalan yang telah ditentukan atau menggunakan lajur paling kiri,
Selain itu di dalam UU No. 22 tahun 2009 terdapat beberapa kewajiban yang harus
3. Menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang (Pasal 167 UU No. 22 Tahun
2009);
2009);
5. Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah
Selain itu dalam UU No. 22 Tahun 2009 terdapat beberapa hak-hak dari pihak
pengangkut, yaitu:
1. Perusahaan angkutan umum berhak untuk menahan barang yang diangkut jika
pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang
ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan (Pasal 195 ayat (1) UU No. 22 Tahun
2009).
2. Perusahaan angkutan umum berhak memungut biaya tambahan atas barang yang
disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan (Pasal 195 ayat (2) UU No. 22
Tahun 2009).
84
Ibid, hlm. 22.
3. Perusahaan angkutan umum berhak menjual barang yang diangkut secara lelang
tidak memenuhi kewajiban (Pasal 195 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009).
4. Jika barang angkutan tidak diambil oleh pengirim atau penerima sesuai dengan batas
kepada pihak pengangkut maka secara otomatis pihak penumpang berhak atas
Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak pengirim barang antara lain menerima
barang dengan selamat di tempat yang dituju, menerima barang pada saat yang sesuai dengan
yang ditunjuk oleh perjanjian pengangkutan, dan berhak atas pelayanan pengangkutan
barangnya.88
membagi tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengangkutan ke dalam 4 (empat)
bagian yaitu tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan kereta api, tanggung jawab para
85
Ibid, hlm. 60.
86
Ibid, hlm. 60.
87
H. M. N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 23.
88
Ibid.
pihak dalam pengangkutan darat, tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan perairan,
dan tanggung jawab para pihak dalam pengangkutan udara.89 Dan dalam bab ini yang akan
Tanggung jawab pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu tanggung jawab yang
Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpang, pengirim atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan
diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan
tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim, yang
timbul karena pengangkutan yang dilakukannya (Pasal 234 UU No. 22 Tahun 2009).
barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang
yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan (Pasal 190 UU
Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh
segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Selain
itu Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali
disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan
Penumpang (Pasal 191 dan Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).
89
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 37.
90
Hasim Purba, op.cit, hlm. 101-102.
BAB III
KEDUDUKAN HUKUM PENGGUNA JASA ( PENUMPANG) ANGKUTAN UMUM
Pengertian pengguna jasa dalam Pasal 1 angka (22) UU No. 22 Tahun 2009 adalah
perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah pengguna jasa dan
Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, pengguna jasa (penumpang)
adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini
dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan.91 Menurut Pasal .1 angka (25) UU No. 22
Tahun 2009 penumpang adalah orang yang berada di dalam kendaraan selain pengemudi dan
awak kendaraan.
menentukan bahwa pengguna jasa adalah setiap orang atau badan hukum yang menggunakan
jasa pengangkutan kereta api, baik untuk pengangkutan orang maupun barang.
Angkutan menurut Pasal 1 angka (3) UU No. 22 Tahun 2009 adalah pemindahan
orang dan atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di
Ruang Lalu Lintas Jalan. Angkutan umum merupakan sarana angkutan untuk masyarakat
kecil dan menengah supaya dapat melaksanakan kegiatannya sesuai dengan tugas dan
Angkutan umum, khususnya angkutan orang yang diatur dalam Keputusan Menteri
91
Suwardjoko Warpani, op.cit. hlm. 15
di Jalan Dengan Kendaraan Umum dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 35
Pengertian angkutan dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.35 tahun 2003
angkutan dari pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan
Nomor 41 tahun 1993 menyebutkan bahwa, definisi dari angkutan umum adalah pemindahan
orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan
bermotor yang disediakan untuk dipergunakan untuk umum dengan dipungut bayaran.
menggunakan kendaraan umum dan dilaksanakan dengan sistem sewa atau bayar. Dalam hal
angkutan massal, biaya angkutan menjadi beban tanggungan bersama, sehingga sistem
angkutan umum menjadi efisien karena biaya angkutan menjadi sangat murah.92
Karena sifatnya yang massal, maka para penumpang harus memiliki kesamaan dalam
berbagai hal, yakni tujuan, asal, lintasan, dan waktu. Pelayanan angkutan umum akan
berjalan dengan baik apabila dapat tercipta keseimbangan antara persediaan dan permintaan.
Dalam kaitan ini pemerintah perlu campur tangan dengan tujuan antara lain:93
a. Menjamin sistem operasi yang aman bagi kepentingan masyarakat pengguna jasa
angkutan, petugas pengelola angkutan, dan pengusaha jasa angkutan;
b. Mengarahkan agar lingkungan tidak terlalu terganggu oleh kegiatan angkutan;
c. Menciptakan persaingan sehat;
d. Membantu perkembangan dan pembangunan nasional maupun daerah dengan
meningkatkan pelayanan jasa angkutan;
e. Menjamin pemerataan jasa angkutan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan;
f. Mengendalikan operasi pelayanan jasa angkutan.
dalam melakukan kegiatannya, baik kegiatan sehari-hari yang berjarak pendek atau
menengah (angkutan perkotaan/ pedesaan dan angkutan antar kota dalam propinsi) maupun
92
Ibid, hlm. 38-39.
93
Ibid, hlm. 171.
kegiatan sewaktu-waktu antar propinsi (angkutan antar kota antar propinsi). Aspek lain
pelayanan angkutan umum adalah peranannya dalam pengendalian lalu lintas, penghematan
Dalam rangka pengendalian lalu lintas peranan layanan angkutan umum tidak dapat
ditiadakan. Dengan cirri khas lintasan tetap dan mampu mengangkut banyak orang dengan
seketika, maka efisiensi penggunaan jaringan jalan menjadi lebih tinggi karena pada saat
yang sama luasan jalan yang sama dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Oleh karena itu,
pengelolaan yang baik yang mampu menarik orang untuk lebih memilih menggunakan
angkutan umum dari pada menggunakan kendaraan pribadi, menjadi salah satu andalan
bahan bakar minyak (BBM). Cadangan energi bahan bakar minyak di dunia sangat terbatas,
jika layanan angkutan umum sudah semakin baik dan mampu menggantikan peranan
kendaraan pribadi bagi mobilitas masyarakat, maka ribuan kendaraan tidak akan digunakan
Angkutan umum juga sangat berkaitan dengan pengembangan wilayah, yakni dalam
pelayanan angkutan yang baik dan layak bagi masyarakat. Ukuran pelayanan yang baik
adalah pelayanan yang aman, cepat, murah, dan nyaman. Sejumlah hal yang perlu diketahui
dalam kaitannya dengan kualitas dan kuantitas pelayanan angkutan umum penumpang,
meliputi volume lalu lintas yang akan dilayani, frekuensi dan penjadwalan pelayanan,
94
Ibid, hlm. 39-40.
95
Ibid.
96
Ibid.
lamanya perjalanan yang diharapkan, derajat kepentingan perjalanan, serta biaya angkutan
yang dibebankan. Disamping itu harus dipenuhi cirri pelayanan yang dapat memnuhi tuntutan
umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal, yang meliputi keamanan, keselamatan,
selamat, aman, nyaman dan terjangkau. Dan dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab
atas penyelenggaraan angkutan umum (Pasal 138 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009).
Pasal 137 UU No. 22 Tahun 2009 membagi angkutan menjadi 2 jenis, yaitu angkutan
orang dan angkutan barang. Angkutan orang dan angkutan barang dapat menggunakan
kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Angkutan orang yang menggunakan
Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus (Pasal 137 UU No.
22 Tahun 2007).
Pada Pasal 140 UU No. 22 Tahun 2009, pelayanan angkutan orang dengan kendaraan
bermotor umum terdiri atas angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek
dan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.
Jenis pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek, terdiri atas
97
Ibid, hlm. 173.
Yang dimaksud dengan angkutan lintas batas negara adalah angkutan dari satu kota
ke kota lain yang melewati lintas batas negara dengan menggunakan mobil bus umum
yang terikat dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).
Yang dimaksud dengan angkutan antar kota antar propinsi adalah angkutan dari satu
kota ke kota lain yang melalui daerah kabupaten/kota yang melewati satu daerah
propinsi yang terikat dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat (2) UU No. 22 Tahun
2009).
Yang dimaksud dengan angkutan antar kota dalam propinsi adalah angkutan dari satu
kota ke kota lain antar daerah kabupaten/kota dalam satu daerah propinsi yang terikat
dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009).
4. Angkutan Perkotaan;
Yang dimaksud dengan angkutan perkotaan adalah angkutan dari satu kota ke kota
lain dalam kawasan perkotaan yang terikat dalam trayek (Penjelasan Pasal 142 ayat
c. Kawasan yang berada dalam bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan
5. Angkutan Perdesaan.
Yang dimaksud dengan angkutan perdesaan adalah angkutan dari satu tempat ke
tempat lain dalam satu daerah kabupaten yang tidak bersinggungan dengan trayek
angkutan perkotaan.
Kriteria pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek,
terminal untuk angkutan antar kota dan lintas batas Negara; dan
3. Menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan
Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek,
Menurut PP No. 41 Tahun 1993 taksi adalah kendaraan umum dengan jenis mobil
Argometer adalah alat pencatat jarak atau lama perjalanan yang sekaligus
menunjukkan biaya yang harus dibayar oleh penumpang. Jadi, cara pembayaran biaya
sewa tidak atas dasar tawar menawar tetapi ditetapkan sesuai dengan kilo meter
disepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam
atau mobil bus umum (Pasal 153 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009).
98
Ibid, hlm. 59-60.
Angkutan orang untuk keperluan wisata harus menggunakan mobil penumpang umum
dan mobil bus umum dengan tanda khusus (Pasal 154 ayat (2) UU No. 22 Tahun
2009).
menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/ atau barang
antar kota, antar propinsi, serta lintas batas negara. Pemerintah Daerah provinsi wajib
menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang
tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam
wilayah kabupaten/kota (Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 22 Tahun 2009).
Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan
Menurut Pasal 173 ayat (1) dan (2) UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan angkutan
umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki izin
penyelenggaraan angkutan, baik angkutan orang dalam trayek, angkutan orang tidak dalam
trayek maupun angkutan barang khusus atau alat berat. Namun, kewajiban memiliki izin
angkutan tersebut tidak berlaku untuk pengangkutan orang sakit dengan menggunakan
perizinan angkutan umum terdiri dari izin usaha angkutan, dan izin trayek atau izin operasi.
Uuntuk memperoleh izin usaha angkutan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi,
antara lain (Pasal 36 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003):
a. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
b. Memiliki akte pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbentuk badan usaha, akte
pendirian koperasi bagi pemohon yang berbentuk koperasi, tanda jati diri bagi
pemohon perorangan;
Untuk angkutan orang dalam trayek, izin penyelenggaraan angkutan diberikan oleh
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
(satu) provinsi;
provinsi.
c. Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk penyelenggaraan angkutan orang
yang melayani trayek yang seluruhnya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta.
Menurut Pasal 177 UU No. 22 Tahun 2009, pihak yang telah memiliki izin
minimal.
angkutannya dibeikan oleh (Pasal 179 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009):
a. Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
3. Angkutan pariwisata.
b. Gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1
tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus
d. Bupati/walikota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya
yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan (Pasal 174 ayat (1)
UU No. 22 Tahun 2009). Mengenai ketentuan pemberian izin trayek diatur dalam Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003. Menurut Pasal 42 ayat (1) dan (2) untuk
melakukan kegiatan penyelenggaraan angkutan dalam trayek wajib memiliki izin trayek,
yang terdiri dari surat keputusan izin trayek dan surat pelaksanaan izin trayek. Berdasarkan
Pasal 45 ayat (1) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003, untuk
memperoleh izin trayek pihak pemohon wajib memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis.
Persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon untuk memperoleh
izin trayek, meliputi (Pasal 45 ayat (2) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35
Tahun 2003):
c. Memiliki atau menguasai kendaraan bermotor yang laik jalan yang dibuktikan dengan
fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sesuai domisili perusahaan dan
gambar lokasi dan bangunan serta surat keterangan mengenai kepemilikan dan
penguasaan;
e. Memiliki atau bekerja sama dengan pihak lain yang mampu menyediakan fasilitas
f. Surat keterangan kondisi usaha, seperti permodalan dan sumber daya manusia;
g. Surat keterangan komitmen usaha, seperti jenis pelayanan yang akan dilaksanakan
h. Surat pertimbangan dari Gubernur atau Bupati/ Walikota, dalam hal ini Dinas
Propinsi atau Dinas Kabupaten/ Kota yang membidangi lalu lintas dan angkutan jalan.
Sedangkan, persyaratan teknis yang harus dipenuhi oleh pihak pemohon untuk
memperoleh izin trayek, meliputi (Pasal 45 ayat (3) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
angkutan terbaik.
Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pihak pengangkut dan
pihak pengguna jasa sama tinggi, tidak seperti dalam perjanjian perburuhan dimana para
pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada buruh.
Dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang adalah orang
yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas dasar ini dia berhak
mempunyai dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan
sebagai objek karena dia adalah muatan yang diangkut. Sebagai pihak dalam perjanjian
pengangkutan, penumpang harus mampu melakukan perbuatan hukum atau mampu membuat
perjanjisan.100
penumpang.
menderita kerugian yang diakibatkan kelalaian pihak pengangkut, pihak penumpang dapat
mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pengangkut. Jika tuntutan ini dibantah oleh
pengangkut, maka pengangkut harus membuktikan bahwa kerugian itu bukan disebabkan
oleh kelalaian atau kesalahannya. Bila pihak pengangkut dapat membuktikannya maka pihak
penumpang harus dapat membuktikan adanya kelalaian atau kesalahan dari pihak pengangkut
sehingga menimbulkan kerugian bagi dirinya. Jika akhirnya pihak pengangkut terbukti
99
H. M. N Purwosutjipto, op.cit, hlm. 7.
100
Suwardjoko Warpani, op.cit, hlm. 71.
101
Ibid, hlm. 73.
bersalah, maka pihak pengangkut berkewajiban untuk membayar ganti kerugian yang diderita
pihak penumpang.102
perlakuan khusus bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum, yaitu bagi penyandang
cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil dan orang sakit. Dalam hal ini, perlakuan
khusus yang dimaksud antara lain pemberian kemudahan berupa sarana dan prasarana fisik
dan nonfisik yang bersifat umum serta informasi yang diperlukan bagi penyandang cacat,
manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit untuk memperoleh kesetaraan
Perlakuan khusus tersebut meliputi (Pasal 242 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009):
1. Aksesibilitas;
3. Fasilitas pelayanan;
Menurut Pasal 243 UU No. 22 Tahun 2009, masyarakat secara kelompok dapat
perlakuan khusus, apabila ada perusahaan pengangkutan yang tidak memberikan perlakuan
khusus kepada pengguna jasa (penumpang) angkutan umum sebagaimana yang telah
angkutan kepada pihak pengangkut maka seketika itu juga pihak penumpang telah
mengikatkan dirinya pada perjanjian pengangkutan. Dalam hal ini, pihak penumpang sebagai
102
H. M. N Purwosutjipto, op.cit, hlm 52.
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 tentang
memiliki hak-hak, antara lain (Pasal 84 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35
Tahun 2003) :
1. Penumpang kendaraan umum berhak diberi tanda bukti atas pembayaran angkutan
2. Bagi penumpang yang telah diberikan tanda bukti pembayaran, berhak mendapatkan
pelayanan sesuai dengan perjanjian yang tercantum dalam tanda bukti pembayaran;
3. Bagi penumpang yang telah memiliki bukti pembayaran dan/atau telah membayar
biaya angkutan, tidak dibenarkan dibebani biaya tambahan atau kewajiban lainnya di
luar kesepakatan;
4. Penumpang berhak atas penggunaan fasilitas bagasi yang tidak dikenakan biaya
dengan penumpang;
2003, adapaun yang menjadi kewajiban dari pihak penumpang kendaraan umum yaitu
penumpang wajib untuk membayar biaya angkutan sesuai yang telah ditentukan dan
disepakati, dan bagi yang tidak membayar biaya angkutan dapat diturunkan oleh awak
penumpang mempunyai kewajiban untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri selama berada
di dalam angkutan, misalnya dengan tidak mengeluarkan anggota tubuh ke luar angkutan
melalui jendela. Penumpang juga memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban dan
ketenangan selama perjalanan dengan tidak membuat onar dan keributan sehingga proses
pengangkutan dapat terlaksana dengan baik, dan penumpang memiliki kewajiban untuk
menjaga barang bawaan yang berada di bawah pengawasan dan penjagaan pihak penumpang
Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, dilatarbelakangi dengan pemikiran bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai
peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari
Tujuan yang baik dari undang-undang ini guna menciptakan lalu lintas dan
kemakmuran rakyat, persatuan dan kesatuan bangsa, menjunjung tinggi martabat Indonesia di
dunia internasional. Indonesia pada saat ini berada pada peringkat pertama tingkat kasus
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus
dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi dan pengembangan wilayah (Point a dan b bagian menimbang UU No. 22 Tahun
2009).
penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah
ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang kemudian
disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini adalah kelanjutan
pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah klausul yang diaturnya, yakni yang tadinya
memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan
lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah.
Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda
kehidupan bangsa dan negara. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009,
undang-undang ini melihat bahwa lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis
dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya
UU No. 22 Tahun 2009 cukup berbeda jauh dari undang-undang sebelumnya, yakni
UU No. 14 Tahun 1992, dimana UU No. 14 Tahun 2009 dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.107
Perbandingan Pengaturan
105
Edy Halomoan, Implementasi UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya, http:// bantuanhukum.or.id//implementasi-undang-undang-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-
angkutan-jalan-raya/, diakses pada tanggal 02 Februari 2011, pukul 13.36 WIB.
106
Ibid
107 Diakses dari http://supriyantonazareth.blog.friendster.com/2010/04/sosialisasi-undang-undang-
lalu-lintas-nomor -22-tahun-2009/, pada tanggal 23 Februari 2011, pukul 20.15 WIB.
Undang-Undang
Bab IX Lalu Lintas dan Angkutan Bab IX Lalu Lintas bagi Penderita
Cacat
UU No. 14 Tahun 1992 terdiri dari 74 Pasal dan 16 Bab, dimana sistem dan norma
hukum masih begitu mengambang, sedangkan untuk UU No. 22 Tahun 2009 terdiri dari 326
Dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 2009, maka pemerintah pusat dan daerah memiliki
Pada bab sebelumnya telah dinyatakan bahwa secara umum pengangkutan bertujuan
untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang
maupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu
tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu
yang direncanakan. Sedangkan dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat,
tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit, atau meninggal dunia.110
kecelakaan yang menyebabkan kerugian bagi pihak pengguna jasa (penumpang) angkutan
umum. Di Indonesia, pada tahun 2006 tercatat sekitar 36 ribu orang meninggal dunia akibat
kecelakaan di jalan raya, dan 19 ribu orang diantaranya melibatkan pengendara sepeda motor.
108
Ibid.
109
Edy Halomoan, Implementasi UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya, http:// bantuanhukum.or.id//implementasi-undang-undang-nomor-22-tahun-2009-tentang-lalu-lintas-dan-
angkutan-jalan-raya/, diakses pada tanggal 02 Februari 2011, pukul 13.36 WIB.
110
Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm. 16.
Sedangkan, pada tahun 2008 terjadi 18 ribu kasus kecelakaan, sedangkan pada tahun 2009
Menurut Pasal 229 UU No. 22 Tahun 2009, kecelakaan dapat digolongkan antara lain:
Kecelakaan lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan
dan kerusakan kendaraan dan/atau barang. Yang dimaksud dengan “luka ringan”
adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan
perawatan inap di rumah sakit atau selain yang di klasifikasikan dalam luka berat
Yang dimaksud dengan luka berat menurut penjelasan Pasal 229 ayat (4) UU No. 22
1. Jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan
bahaya maut;
111
Diakses dari http:// hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB
7. Luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh)
hari.
kecelakaan bukan tanpa dasar. Jumlah penumpang yang mengalami kerugian dalam
pengangkutan dapat semakin meningkat apabila upaya untuk menekan dan mencegah
kecelakaan dan hal-hal lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi penumpang tidak
mendapat perhatian dari semua pihak, baik pihak pemerintah, pengelola perusahaan angkutan
mencegah terjadinya kecelakaan maupun hal-hal lain yang dapat mengakibatkan kerugian
kendaraan bermotor umum misalnya, dimana pada Pasal 77 UU No. 22 Tahun 2009
dinyatakan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor umum di jalan
wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang
dikemudikan. Surat Izin Mengenumdi tersebut sebagai bukti bahwa pengemudi kendaraan
umum.
Pada UU No. 22 Tahun 2009 terdapat juga pengaturan mengenai waktu kerja, waktu
istirahat, dan dan pergantian pengemudi kendaraan bermotor umum yang wajib dipatuhi dan
2009, waktu kerja bagi pengemudi kendaraan bermotor umum paling lama 8 (delapan) jam
sehari dan pengemudi kendaraan bermotor umum setelah mengemudikan kendaraan selama 4
(empat) jam berturut-turut wajib beristirahat paling singkat setengah jam. Dalam hal tertentu
Pengemudi dapat dipekerjakan paling lama 12 (dua belas) jam sehari termasuk waktu
112
Ibid.
istirahat selama 1 (satu) jam. Hal ini diperlukan agar pengemudi kendaraan bermotor umum
dapat konsentrasi penuh ketika mengendarai kendaraan, selain itu juga untuk mencegah
pengangkutan umum terdapat beberapa hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
pengguna jasa (penumpang) angkutan umum antara lain kecelakaan yang diakibatkan
kendaraan atau angkutan umum tidak wajar dan tidak berkonsentrasi yang dapat
mengakibatkan penumpang menderita luka-luka, tidak sehat, atau meninggal dunia. Selain
pengangkutan umum, pengguna jasa (penumpang) dapat juga menderita kerugian akibat
keadaan (kondisi) angkutan umum tidak dalam keadaan baik dan layak pakai, misalnya ban
angkutan umum yang ditumpangi oleh penumpang bocor atau mesin angkutan tidak dalam
keadaan baik sehingga menyebabkan angkutan mogok. Hal ini mengakibatkan penumpang
mengalami keterlambatan untuk sampai ke tempat tujuan, tidak sesuai dengan waktu yang
direncanakan. Timbulnya kerugian terhadap penumpang angkutan CV. Karya Agung juga
dapat disebabkan karena barang bawaan penumpang hilang, dicuri, ataupun jatuh di jalan.
menerapkan atau memberikan syarat kepada calon pengemudi angkutan CV. Karya Agung
yakni memiliki surat izin mengemudi kendaraan bermotor perseorangan dan juga memiliki
surat izin kendaraan bermotor umum, sebagaimana diatur pada Pasal 78 ayat (2) UU No. 22
Karya Agung menerapkan waktu kerja bagi pengemudi angkutan umum 8 (delapan) jam
sehari, dan apabila dalam 8 (delapan) jam trayek yang menjadi tujuan pengangkutan belum
selesai maka akan dilakukan pergantian pengemudi angkutan. Hal ini dimaksudkan agar
pengemudi angkutan dapat mengendarai angkutan dengan baik dan konsentrasi sehingga
pemeriksaan atau pengujian angkutan secara berkala, yakni setiap 6 (enam bulan) sekali pada
musibah pengangkutan, karena peristiwa itu jelas merugikan, baik bagi pengguna jasa
(penumpang) maupun pihak pengangkut, bahkan mungkin pihak lain yang tidak ada
kaitannya dengan pengangkutan. Jika sebelum diadakan perjanjian pengangkutan sudah dapat
diketahui akan terjadi kecelakaan, maka alat pengangkut tidak akan diberangkatkan karena
sudah diketahui ada ancaman bahaya yang akan terjadi. Terjadinya musibah pengangkutan
pengangkutan karena akan menimbulkan kerugian material, fisik, atau korban jiwa.114
Perusahaan pengangkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
pada dasarnya berada dalam tanggung jawab perusahaan pengangkutan umum. Oleh karena
itu, sudah sepatutnya apabila kepada perusahaan pengangkutan umum dibebankan tanggung
jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang, yang timbul karena
113
Hasil wawancara dengan Ibu Samaria Sinaga, Pimpinan Direksi CV. Karya Agung, pada tanggal 17 Februari
2011, di Jalan Sidamanik No. 8, Pematangsiantar.
114
Diakses dari http:// hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB
pengangkutan yang dilakukannya. Dengan beban tanggung jawab ini, pengangkut didorong
Menurut Pasal 187 UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan pengangkutan umum wajib
mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh pengguna jasa baik penumpang
maupun pengirim barang jika terjadi pembatalan keberangkatan. Selain itu menurut Pasal 191
UU No. 22 Tahun 2009, dinyatakan perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan
kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat
penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah
atau dihindari atau karena kesalahan penumpang (Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009).
Akan tetapi, perusahaan pengangkutan tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan
disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut (Pasal 192 ayat (4) UU No. 22 Tahun
2009).
Berbeda halnya dalam UU No. 22 Tahun 2009, pengaturan mengenai tanggung jawab
pihak pengangkut pada UU No. 14 Tahun 1992 tidak dijelaskan secara rinci. Hanya
disebutkan bahwa pengusaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga karena kelalaiannya dalam
melaksanakan pelayanan angkutannya (Pasal 45 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1992), dan tidak
dibedakan bentuk kerugiannya apakah kerugian luka berat atau ringan atau kerugian yang
115
Ibid.
Selain mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan pengangkutan
terhadap pengguna jasa (penumpang) yang menggunakan jasa angkutan, UU No. 22 Tahun
2009 juga mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab pengemudi kendaraan bermotor,
jika terjadi kecelakaan dalam penyelenggaraan pengangkutan. Menurut Pasal 231 UU No. 22
Tahun 2009, pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas
berkewajiban:
Selain itu, menurut Pasal 234 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009, menyatakan bahwa
jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak
ketiga karena kelalaian pengemudi dan setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor,
dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau
perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi. Namun, hal tersebut tidak
a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan
Pengemudi;
pencegahan.
jasa (penumpang) atau bagian biaya pelayanan (Pasal 192 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2009).
Menurut Pasal 235 UU No. 22 Tahun 2009, jika korban meninggal dunia akibat
kecelakaan lalu lintas, pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum wajib
memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana, dan Jika terjadi cedera
terhadap badan atau kesehatan korban akibat kecelakaan lalu lintas, pengemudi, pemilik,
dan/atau perusahaan angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya
Hal ini menegaskan bahwa dalam UU No. 22 Tahun 2009 terdapat tanggung renteng
antara pengusaha, pengemudi, dan perusahaan angkutan umum. Tanggung renteng adalah
konsep hukum perdata yang menekankan tanggung jawab atas suatu kerugian berada di
tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan
pengangkutan sebagaimana yang diatur Pada Pasal 189 UU No. 22 Tahun 2009.
bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas angkutan yang baik dan layak pakai untuk
keberangkatan maka pihak pengelola perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung akan
mengembalikan biaya angkutan yang sebelumnya telah dibayarkan oleh penumpang. Selain
pengangkutan CV. Karya Agung bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kerugian yang
dialami oleh pengguna jasa (penumpang). Jika penumpang meninggal dunia akibat
116
Diakses dari http://hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB.
kecelakaan pengangkutan, maka perusahaan pengangkutan dan pengemudi berkewajiban
memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
cedera atau luka-luka, maka pihak perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung akan
membantu biaya pengobatan sebagi wujud tanggung jawab pihak pengangkut terhadap
Karya Agung bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas bagasi sebagai tempat
bawaan penumpang mengalami kerusakan atau hilang, maka perusahaan pengangkutan hanya
bertanggung jawab terhadap barang bawaan penumpang yang terdapat di bagasi, dengan
ketentuan penumpang dapat membuktikan bahwa barang tersebut rusak ataupun hilang
disebabkan kelalaian pihak pengangkut. Namun, terhadap barang bawaan penumpang yang
berada dibawah pengawasan dan penjagaan penumpang sendiri, pihak pengangkut tidak
bertanggung jawab atas kerusakan maupun kehilangan barang tersebut. Selain itu, bentuk
tanggung jawab lain yang diberikan perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung kepada
penumpangnya adalah jika penumpang sampai di tempat tujuannya pada malam hari, maka
pengemudi angkutan akan mengantar penumpang sampai di rumahnya atau tempat lain yang
menjadi tujuannya. Hal ini untuk melindungi keselamatan dan keamanan penumpang.
Adapun bentuk ganti kerugian yang akan diberikan oleh pihak pengangkut kepada
penumpang akibat kerusakan dan kehilangan barang bawaan penumpang adalah berdasarkan
kesepakatan atau negoisasi antara pihak pengangkut dan pihak penumpang yang mengalami
jawab atas segala hal yang dialami oleh penumpang selama penyelenggaraan pengangkutan.
Dan sesuai dengan kewajiban yang diberikan oleh UU No. 22 Tahun 2009 kepada pihak
pengangkut, maka perusahaan pengangkutan CV. Karya Agung mengasuransikan tanggung
Angkutan umum merupakan barang umum (public goods), yang artinya merupakan
hak setiap warga negara untuk memperolah pelayanan yang baik dalam menggunakan jasa
angkutan umum, dan penyediaan alat transportasi yang baik ini merupakan kewajiban
melakukan kegiatan transportasi sejalan dengan tujuan negara yaitu untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur. Dan untuk menjamin terselenggaranya pengangkutan
yang baik dan adil bagi masyarakat maka pemerintah berkewajiban untuk memberikan
pemerintah mengeluarkan suatu peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan pelayanan lalu
lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu, mewujudkan etika
berlalu lintas dan budaya bangsa, dan mewujudkan penegakan hukum dan kepastian hukum
bagi masyarakat, yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Bentuk perlindungan hukum yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2009 antara lain
kegiatan pengangkutan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
sebagai pengguna jasa angkutan umum. Menurut Pasal 138 ayat (1), angkutan umum
117
Hasil wawancara dengan Ibu Samaria Sinaga, Pimpinan Direksi CV. Karya Agung, pada tanggal 17 Februari
2011, di Jalan Sidamanik No. 8, Pematangsiantar.
118
Diakses dari http://hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-
tanggung-jawab-renteng/, pada tanggal 05 Januari 2011, pukul 11.45 WIB.
diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman,
dan terjangkau, dan pemerintah bertanggung jawab atas hal tersebut. Ini menunjukkan adanya
kepastian hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan angkutan umum yang
Selain itu menurut Pasal 197 UU No. 22 Tahun 2009, dinyatakan bahwa pemerintah
pelayanan;
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah mempunyai peranan yang besar untuk
memberikan perlindungan hukum baik bagi pengguna jasa angkutan umum dan perusahaan
umum, agar para pihak tidak mengalami kerugian dalam penyelenggaraan pengangkutan dan
telah diberikan tanda bukti atas pembayaran tersebut, maka penumpang telah mempunyai hak
untuk memperoleh pelayanan pengangkutan. Dan kepada penumpang tidak dibenarkan untuk
dibebani biaya tambahan diluar kesepakatan dan penumpang juga berhak atas penggunaan
fasilitas bagasi yang tidak dikenakan biaya maksimal 10 kg per penumpang. Ketentuan
kelebihan bagasi diatur sesuai dengan kesepakatan antara pengangkut dan penumpang (Pasal
Menurut Pasal 187 UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan pengangkutan umum wajib
mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh pengguna jasa baik penumpang
maupun pengirim barang jika terjadi pembatalan keberangkatan. Selain itu menurut Pasal 191
UU No. 22 Tahun 2009, perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan
angkutan. Perusahaan pengangkutan umum juga bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan,
kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena
kesalahan penumpang (Pasal 192 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009). Apabila dalam
penumpang menjadi korban kecelakaan lalu lintas, maka menurut Pasal 240 UU No. 22
a. Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
b. Ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu
lintas; dan
pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan
Pada UU No. 22 Tahun 2009 juga terdapat perlindungan hukum bagi pengguna jasa
(penumpang) yang merupakan penyandang cacat, orang tua lanjut usia, anak-anak, wanita
hamil dan orang sakit untuk memperoleh perlakuan khusus antara lain meliputi aksesibilitas,
prioritas pelayanan dan fasilitas pelayanan. Bagi perusahaan angkutan umum yang tidak
memenuhi kewajiban menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kepada penyandang
cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit dapat dikenai sanksi
pencabutan izin.
Hal ini sangat berbeda dengan undang-undang Lalu Lintas sebelumnya, yakni UU No.
pengguna jasa (penumpang) angkutan umum belum maksimal, bahkan masih sangat minim.
Hal tersebut dapat dilihat dari tidak pengaturan mengenai peranan serta tanggung jawab
pemerintah secara detail terhadap penyelenggaraan lalu lintas, dan tidak adanya pengaturan
mengenai peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pengangkutan, selain itu pasal-
pasal (ketentuan) mengenai perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan
umum masih sangat sedikit dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 2009, misalnya dalam
hal perlakuan khusus bagi penyandang cacat , manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil
dan orang sakit. Dalam UU No. 22 Tahun 2009, hal tersebut dijabarkan secara jelas, namun
dalam UU No. 14 Tahun 2009 berdasarkan Pasal 49 (1), perlakuan khusu hanya diberikan
bagi penderita cacat saja. Hal ini membuktikan bahwa dalam UU No. 22 Tahun 2009,
perlindungan hukum bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan umum lebih menjamin
diperhatikan.
penumpang di CV. Karya Agung telah dilaksanakan dengan baik. Dimana, pihak CV. Karya
Agung akan memberikan pelayanan angkutan kepada para calon penumpang yang telah
keterlambatan atau pembatalan keberangkatan. Dan pihak CV. Karya Agung akan
memberikan ganti kerugian kepada penumpang terhadap segala sesuatu kerugian yang timbul
akibat kesalahan atau kelalaian pihak pengangkut. Dan pihak CV. Karya Agung telah
mengasuransikan setiap penumpang yang diangkutnya, sehingga jika terjadi kecelakaan yang
mengakibatkan luka-luka, cacat seumur hidup ataupun meninggal dunia akan mendapatkan
santunan dari PT. Jasa Raharja terhadap penumpang atau ahli warisnya (bagi penumpang
119
Hasil wawancara dengan Ibu Samaria Sinaga, Pimpinan Direksi CV. Karya Agung, pada tanggal 17
Februari 2011, di Jalan Sidamanik No. 8, Pematangsiantar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pihak pengangkut dan
pihak pengguna jasa sama tinggi. Dalam perjanjian pengangkutan orang, penumpang
adalah orang yang mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan dan atas
dasar ini dia berhak untuk memperoleh jasa pengangkutan. Penumpang mempunyai
dua status, yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai
2. Hal-hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan
umum akibat kesalahan dari pihak pengangkut, menurut UU No. 22 Tahun 2009
pengangkutan darat yang diselenggarakan oleh CV. Karya Agung, hal-hal yang dapat
diakibatkan kesalahan dari pihak pengangkut antara lain kecelakaan yang diakibatkan
menderita kerugian akibat keadaan (kondisi) angkutan umum tidak dalam keadaan
baik dan layak pakai, juga dapat disebabkan karena barang bawaan penumpang
telah diatur dengan baik dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, yang mana dalam undang-undang ini tidak hanya terdapat peranan
serta tanggung jawab pihak pengangkut dan pihak penumpang tetapi juga terdapat
pengaturan mengenai peranan dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, serta
sanksi bagi para pihak yang tidak memenuhi peraturan yang terdapat dalam undang-
undang tersebut.
B. Saran
Tahun 2009, baik terhadap penyelenggara angkutan umum dan terhadap masyarakat
luas sebagai pengguna jasa angkutan umum. Hal ini bertujuan agar pihak perusahaan
pengangkutan dapat memahami hak dan kewajibannya dengan baik sehingga dapat
sebagai pengguna jasa angkutan umum dapat mengetahui kewajiban dan hak-haknya
yang dilindungi dalam UU No. 22 Tahun 2009, sehingga nantinya dapat tercapai
2. Agar penyelenggara angkutan umum CV. Karya Agung dapat meminimalisirkan hal-
hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi pengguna jasa (penumpang), misalnya
mengadakan pembinaan kepada para pengemudi angkutan CV. Karya Agung secara
berkala, sehingga keamanan dan keselamatan para penumpang bias lebih terjamin.
angkutan umum yang sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 dapat benar-
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adji, Sution Usman, dkk, 1990, Hukum Pengangkutan di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Asshiddiqie, Jimly, Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
NKRI.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1974, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Medan: Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Basri, Hasnil, 2002, Hukum Pengangkutan, Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Djamin, Djanius, Syamsul Arifin, 1993, Bahan Dasar Hukum Perdata, Medan: Perbanas.
Kansil, C. S. T, 2006, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta:
PT. Pradnya Paramita.
Komariah, 2008, Hukum Perdata, Malang: UMM Press.
Purba, Hasim, 2005, Hukum Pengangkutan di Laut, Medan: Penerbit Pusaka Bangsa.
Tirtodiningrat, 1986, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Jakarta: PT.
Pembangunan.
Uli, Sinta, 2006, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport Angkutan Laut,
Angkutan Darat dan Angkutan Udara, Medan: USU Press.
Warpani, Suwardjoko, 1990, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Bandung: ITB.
_______________, 2000, Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bandung: ITB.
Watni, Syaiful, dkk, 2004, Penelitian Tentang Aspek Hukum Tanggung Jawab Pengangkut
dalam Sistem Pengangkutan Multimoda, Jakarta: Penerbit Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
C. Kamus
http://bantuanhukum.or.id/implementasi-undang-undang-nomor-22-tahun-2009-tentang-
lalu-lintas-dan-angkutan-jalan-raya/
http://hukumonline.com/undang-undang-nomor-22-tahun-2009-pertegas-sistem-tanggung-
jawab-renteng/
http://supriyantonazareth.blog.friendster.com/2010/04/sosialisasi-undang-undang-lalu-lintas-
nomor -22-tahun-2009/,