Anda di halaman 1dari 8

Hukum Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan menentukan siapa-siapa yang
dapat menjadi ahli waris, dan menentukan berapa bagiannya masing-masing. Islam sebagai
agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum lainnya, untuk
menjadi pedoman bagi umat manusia agar terjamin adanya kerukunan, ketertiban,
perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan di bawah naungan dan ridho Illahi. Aturan
hukum kewarisan Islam diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan kesadaran hukumnya sehingga menjadi suatu system hukum kewarisan yang
sempurna.

Sejarah Hukum Kewarisan Islam


Sejarah Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah.
Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat dipaparkan sebagai berikut ;
Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian
warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal
itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah
dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan
melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak
mampu memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan
peperangan serta merampas harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/
atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini
berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan yang melarang menjadikan wanita dijadikan
sebagai warisan. Dalam Ayat tersebut Allah SWT. Berfirman : orang yang beriman, tidak
halal bagi kamu mempusakai wanita dengan …
Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling
mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara
itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6
(satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli
warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk
saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk
sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada
masa permulaan Islam hal ini masih berlaku. Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW.
Hijrah ke Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara Muhajirin
dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan hubungan persaudaraan karena hijrah
antara Muhajirin dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi.
Dari paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dasar untuk dapat saling
mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah :
1. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
2. Adanya pengangkatan anak
3. Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah dewasa. Oleh
karena itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa
permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan
Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi.
Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak,
janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya suatu ketentuan
yang harus ditaati oleh setiap muslim. Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak
dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti
halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit
maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan Allah SWT. Menegaskan ini dengan
Firman-artinya sebagai berikut ; -laki ada hak (bagian) dari hartapeninggalan ibu, bapak, dan
kerabatnya; dan bagi orang perempuan juga ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu,
bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah Berfirman yang
artinya : (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahwa bagian seorang anak laki-
laki.
Kemudian di dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula bahwa : -kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu 11. Sedang mengenai kewarisan berdasarkan
persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah dihapuskan dengan Hadits
Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya :
(HR. Bukhori dan Muslim)
Hal ini terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang dijadikan dasar penghapusan
hubungan Muwarosah antara Muhajirin dengan Anshor.
Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai VII
Hijriyah, selama Rasulullah berada di Madinah, menggantikan hukum adat kewarisan
Jahiliyah, sejalan dengan yat-ayat yang mengatur hukum keluarga (perkawinan). Demikian
pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara berangsur-angsur mengalami
perubahan demi perubahan yang kesemuanya itu menuju kesempurnaan, yaitu suatu tatanan
masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
Meskipun adalah sistem kekeluargaan yang bersifat bilateral, akan tetapi ternyata
pengaruh adat istiadat masyarakat Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah kuat sehingga
mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum Kewarisan pada masa
sahabat dan sesudahnya. Praktik kekeluargaan Patrilineal yang sangat menonjol tersebut telah
mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa lalu sampai sekarang.
Dan paham inilah yang masuk dan diajarkankepada ummat Islam di Indonesia.
Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang dianut dan berkembang di
Indonesia adalah kukum keluarga yang bersifat bilateral, sementara hukum kewarisan yang
diajarkan bersifat patrilineal sehingga hukum kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat
sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan dalam
praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru di bidang hukum kewarisan.
Dalam upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW. Menetapkan bahwa orang
yang memerdekakan budak, maka ia menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal dunia.
Akan tetapi pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.
Hukum Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing merupakan Sub-sistem
yang membentuk suatu Sistem Hukum, yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat
dipisahkan ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya. Oleh karenanya
kedua hukum tersebut harus mempunyai sifat, asas dan gaya yang sama sehingga dapat
dilaksanakan dengan enak dan selaras dalam dalam tata kehidupan keluarga, apabila terjadi
ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam kehidupan keluarga.
Demikian pula halnya dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem
hukum keluarga harus memiliki sifat, asas, dan gaya yang sama dengan Hukum Perkawinan.
Selain itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat berbagai Mahdzab, seperti
halnya pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini terjadi karena faktor sejarah, tata berbeda-
beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan juga
menimbulkan disparitas nya putusan Pengadilan Agama.
Disamping itu, corak kehidupan masyarakat Arab yang bersifat patrilineal sangat
menonjol dan mempengaruhi pemahaman terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum
Kewarisan Islam yang kita pelajari selama ini adalah hukum kewarisan yang lebih bercorak
patrilineal karena beraal dari pemahaman masyarakat Arab tempo dulu sehingga sering kali
terasa janggal dan tidak adil karena corak kehidupan masyarakat kita adalah bilateral,
sementara hukum waris yang akan diterapkan bercorak Patrilineal. Keadaan yang demikian
ini sangat dirasakan oleh Mahkamah Agung RI. Sebagai Pengadilan Negara tertinggi yang
bertugas membina jalannya peradilan dari semua lingkungan peradilan, termasuk disini
adalah Peradilan Agama. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang
Peradilan Agama, dimana kekuasaan Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta
menyelesaikan sengketa waris dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris
yang jelas, rinci, mudah dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam
Indonesia yang bilateral semakin terasa mendesak.

Hal yang perlu diketahui bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai corak atau karakteristik
tersendiri, yang berbeda dengan hukum kewarisan yang lain, corak atau karakteristik tersebut
adalah :
a. Perolehan perseorangan ahli waris
Maksudnya perolehan yang diperuntukan bagi perseorangan yaitu bagian tertentu bagi
orang-orang tertentu, dalam keadaan tertentu. Angka-angka faraid 1/8, ¼, 1/6, 1/3, ½,dan
2/3menunjukan jaminan kepemilikan secara individu. Untuk anak lakilaki memperoleh
bagian dua kali anak perempuan.
b. Variasi pengurangan perolehan ahli waris
Variasi pengurangan perolehan terjadi karena adanya orang-orang tertentu dalam
keadaan tertentu memperoleh bagian yang tertentu atau kehadiran dzawul faraid lainnya.
Contohnya dapat dilihat dalam beberapa garis hukum :

1) Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 11, perolehan dzawul faraid dua orang anak
perempuan atau lebih 2/3, satu orang anakperempuan 1/2
2) Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 12, perolehan untuk duda atau janda, dari ½
menjadi ¼ untuk duda karena ada anak, dari ¼ menjadi 1/8 untuk janda karena ada anak.
Pengurangan perolehan bagian warisan disebabkan oleh jumlah mereka berbeda.
3) Garis hukum Surat An-Nisa’ ayat 176, perolehan bagi satu saudara perempuan 1/2 ,
dua orang saudara perempuan atau lebih 2/3. (Zainuddin Ali, 2008:23)
c. Metode penyelesaian pembagian warisan
Adanya metode penyelesaian yang dikenal dengan Aul dan Rad.Aul adalah suatu cara
penyelesaian bila terjadi ketekoran dalam pembagian harta warisan, dilakukan pengurangan
terhadap bagian masing-masing ahli waris secara berimbang. Rad adalah pengembalian sisa
harta setelah dibagi kepada dzawul faraid, sisa hartA tersebut dibagi secara berimbang oleh
ahli waris dzawul faraid. (Hazairin, 1964:45).
Kerangka Pemikiran/Kerangka Teoretik

Sumber hukum kewarisan Islam yang utama adalah Al-Qur’an, yaitu surat An-Nisa ayat
7,11,12,33 dan 176. Di samping sumber hukum yang utama tersebut, juga terdapat sumber
hukum yang lainnya yaitu Assunnah dan Ijtihad. Al-Qur’an rinci sekali menentukan bagian
ahli waris tertentu. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu dan dalam keadaan yang
tertentu disebut ahli waris Dzul faraid. (Sajuti Thalib, 1982:65).

Sertakan Sumber Artikel : http://gudangnews.info/#ixzz441VHk5SR


E. Asas-asas Hukum Waris Islam

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dapat digali dari keseluruhan ayat-ayat hukum yang

terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan dari hadist Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini dapat dikemukakan lima asas yaitu :

1. Asas Ijbari

Asas Ijbari adalah peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang

masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli

waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli

waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan yang

ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang

dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

2. Asas Bilateral

Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak

kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.

3. Asas Individual

Bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap

ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris

lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-

bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut

kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh

ahli waris yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta warisan itu tidak menghapuskan hak

mewaris para ahli waris yang bersangkutan.

4. Asas Keadilan Berimbang


Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang

diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan bahwa faktor

perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat

hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang

didapat oleh laki-laki.

5. Asas Kewarisan Semata Kematian

Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta

tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka secara

kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.

F. Pembagian Warisan Dalam Agama Islam

D. Hal-hal yang Dapat Menggugurkan Warisan

Dalam Hukum Islam, terdapat hal-hal yang dapat membuat seseorang tidak dapat atau tidak

boleh menerima warisan, yaitu :

1. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari

saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik

tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah

dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan

perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah

pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk

diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

2. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menjadi penghalang baginya untuk

menerima warisan dari pewaris. Hal ini sesuai dengan Hadist Rasulullah yakni hadits riwayat

Ahmad yang artinya :

“Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat mewarisinya, walaupun
korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya sendiri,(begitu juga) walaupun korban itu
adalah orang tuanya atau anaknya sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima
warisan”.
Pada dasarnya pembunuhan adalah kejahatan, namun demikian ada juga pembunuhan yang

dilakukan dalam keadaan tertentu sehingga pembunuhan bukan menjadi suatu kejahatan,

untuk itu pembunuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :

 Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum, yaitu pembunuhan yang

pelakunya tidak dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau dosa, dapat dikategori

dalam hal ini; pembunuhan musuh dalam perang, pembunuhan dalam pelaksanaan

hukuman mati, dan pembunuhan dalam membela jiwa, harta dan kehormatan.

 Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum, yaitu pembunuhan yang dilarang

oleh agama dan terhadap pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/atau akhirat, yang

termasuk dalam kategori ini adalah; pembunuhan sengaja dan berencana,

pembunuhan tersalah, pembunuhan seperti sengaja, dan pembunuhan seperti tersalah.

3. Perbedaan agama

Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan ahli waris, sehingga tidak saling

mewaris, misalnya pewaris muslim, ahli waris non muslim. Hal ini didasari oleh Hadis

Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, yang artinya :

“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat
mewarisi harta orang Islam “.
Syarat dan Rukun Pembagian Waris
1. Syarat Pembagian Waris
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu:
a. Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki (sejati),
meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut
dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai
berikut :

1. Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui
pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.
2. Mati hukmi, yaitu kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan
hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang
dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan
upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia.
3. Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia.
Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun,
ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut
telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.

b. Hidupnya ahli waris


Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan
pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak
tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal
dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup.

c. Mengetahui status kewarisan


Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara
keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orangtua-anak dan hubungan saudara,
baik sekandung, sebapak maupun seibu. (Amir Syarifudin, 2008: 34-35).

Sertakan Sumber Artikel : http://gudangnews.info/#ixzz441VV01HQ

2. Rukun Pembagian Waris


Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli
waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masingmasing mempunyai ketentuan
tersendiri. Hal ini diuraikan sebagai berikut : Pewaris (Al-Muwarris) Pewaris adalah orang
yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris
yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan
hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih
hidup. Oleh karena itu, seseorang yang masih hidup dan mengalihkan haknya kepada
keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itudilakukan pada saat
menjelang kematiannya. (Amir Syarifudin, 2008: 36).

Sertakan Sumber Artikel : http://gudangnews.info/#ixzz441VaSkgr

Irsan ismail. Hukum http://echtheid-irsan.blogspot.co.id/2012/04/hukum-islam-waris-islam.html


A. PENDAHULUAN
Dalam kaitan pengelolaan harta, syariat Islam mengatur pula tata cara dan ketentuan
pembagian harta yang ditinggalkan orang meninggal dunia yang disebut hukum waris.
Pengaturan harta waris didasarkan kepada firman Allah :

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. ( An-Nisaa 4:7)(Prof. Dr.
Azumardi Azra, dkk, 2002 : 194).
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan
penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam
masyarakat. Hukum kewarisan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia karena
terkait dengan harta kekayaan dan manusia yang satu dengan yang lainnya. Kematian atau
meninggal dunia adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh seseorang, karena kematian
merupakan akhir dari perjalanan hidup seorang manusia. Jika orang yang meninggal dunia
yangdikenal dengan pewaris meninggalkan keluarga dan harta kekayaan yang disebut
warisan, dengan cara apa kita akan menyelesaikan atau membagi warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris serta hukum apa yang akan diterapkan untuk membagi warisan tersebut. Hukum
yang membahas tentang peralihan harta peninggalan, pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban seseorang yang meninggal dunia, diatur dalam hukum kewarisan.Hukum
kewarisan yang lazim disebut dengan Hukum Faraid merupakan bagian dari keseluruhan
hukum Islam yang khususmengatur dan membahas tentang proses peralihan harta
peninggalandan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal duniakepada yang
masih hidup. (Idris Djakfar dan Taufik Yahya, 1995:3-4).

Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendefinisikan hukum kewarisan adalah:


“ Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari seseorang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut
berdasarkan kepada Wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl. Hukum kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.Selain terdapat dalam Al Qur-an, ketentuan hukum kewarisan Islam juga
terdapat dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W yang artinya :“Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi
S.A.W, ia berkata : Berikanlah faraid (bagian yang telah ditentukan dalam Al Qur-an) kepada
yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki
yang terdekat”. (H.R. Bukhari – Muslim). ( Amir Syarifudin, 2008:12).

Sertakan Sumber Artikel : http://gudangnews.info/#ixzz441VaSkgr

Anda mungkin juga menyukai