Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan adalah cita-cita suatu bangsa yang terlihat dari

peningkatan taraf hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH). Namun peningkatan

UHH ini dapat mengakibatkan terjadinya transisi epidemiologi dalam bidang

kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan karena penyakit

degeneratif. Perubahan struktur demografi ini diakibatkan oleh peningkatan

populasi lanjut usia dengan menurunnya angka kematian serta penurunan jumlah

kelahiran. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan

UHH. Pada tahun 2000 UHH Indonesia yaitu 64,5 tahun (dengan persentase

populasi manula adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada

tahun 2010 dengan persentase populasi manusia lanjut usia (manula) adalah 7,56%

dan pada tahun 2013 menjadi 69,65 tahun dengan persentase populasi manusia

lanjut usia (manula) adalah 7,58%. Jika dilihat sebaran penduduk manula menurut

provinsi paling tinggi ada di Provinsi DI Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur

(10,40%) dan Jawa Tengah (10,34%), sedangkan persentase penduduk manula di

provinsi Bengkulu pada tahun 2013 sebanyak 5,86% (Depkes, 2013 ; Depkes,

2014).

Meningkatnya populasi manula ini membuat pemerintah perlu merumuskan

kebijakan dan program yang ditujukan kepada kelompok penduduk manula

1
sehingga dapat berperan dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi

masyarakat.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan manula

menetapkan, bahwa batasan umur manula di Indonesia adalah 60 tahun ke

atas.Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 138 ayat 1 menetapkan bahwa

Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga

agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan

martabat kemanusiaan. Ayat 2 menetapkan bahwa Pemerintah wajib menjamin

ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia

untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis

(Depkes, 2013 ; Depkes, 2014).

Seiring dengan bertambahnya usia, fungsi fisiologis mengalami penurunan

akibat proses degeneratif (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak

muncul pada usia lanjut. Penyakit tidak menular pada manula di antaranya

hipertensi, stroke, diabetes mellitus dan nyeri sendi. Organisasi kesehatan dunia

(WHO) pada tahun 2010 melaporkan bahwa 20% penduduk dunia terserang

penyakit nyeri sendi. Dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan

20% mereka yang berusia diatas 55 tahun. Prevalensi penyakit sendi di Indonesia

berdasarkan RISKESDAS 2013 sebanyak 24,7%, dimana jumlah penderita

meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi tertinggi pada umur ≥75

tahun (33% dan 54,8%). Sementara di Provinsi Bengkulu Penderita nyeri sendi

pada tahun 2013 adalah sebanyak 17% dari jumlah penduduk. Berdasarkan

laporan tahunan di Puskesmas Kampung Bali, jumlah penderita nyeri sendi yang

2
berusia manula pada tahun 2016 sebanyak 365 pasien meningkat menjadi 486

pasien pada tahun 2017 (Depkes, 2013 ; Depkes, 2014).

Seiring dengan semakin meningkatnya populasi lanjut usia dengan berbagai

macam penyakit yang diderita oleh manula. Pemerintah telah merumuskan

berbagai kebijakan pelayanan kesehatan lanjut usia yaitu Puskesmas santun lanjut

usia dan posyandu lanjut usia yang ditujukan untuk meningkatkan derajat

kesehatan dan mutu kesehatan lanjut usia untuk mencapai masa tua bahagia dan

berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Puskesmas Santun Usia

Lanjut adalah Puskesmas yang melaksanakan pelayanan kepada manula dengan

mengutamakan aspek promotif dan preventif di samping aspek kuratif dan

rehabilitatif. Di Bengkulu sendiri jumlah puskesmas santun lanjut usia pada tahun

2013 berjumlah 20 puskesmas. Posyandu manula adalah pos pelayanan terpadu

untuk masyarakat manula di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang

digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan

kesehatan. Posyandu manula bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup melalui

peningkatan kesehatan dan kesejahteraan (Depkes, 2014).

B. Rumusan masalah

Bagaimana peran Puskesmas Kampung Bali sebagai pusat pelayanan

kesehatan primer pada pengelolaan manula dengan riwayat nyeri sendi ?

3
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui peran Puskesmas Kampung Bali dalam pengelolaan manula

dengan riwayat nyeri sendi.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kegiatan pembinaan yang telah dilakukan di Puskesmas

Kampung Bali pada pasien manula yang memiliki riwayat nyeri sendi.

b. Memberikan masukan kepada tenaga kesehatan di Puskesmas Kampung Bali

mengenai kegiatan apa saja yang belum dan perlu dilakukan pada kegiatan

pengelolaan manula dengan riwayat nyeri sendi.

c. Mewujudkan kemandirian dan pengurangan gejala pada manula dengan

riwayat nyeri sendi melalui kegiatan yang dilakukan di Puskesmas.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi tenaga kesehatan

Menambah wawasan dan masukan di Puskesmas untuk terus berinovasi

dalam melakukan pengelolaan terhadap manula dengan riwayat nyeri sendi.

2. Bagi Masyarakat

a. Memberikan informasi tentang cara mencegah dan mengatasi nyeri sendi

yang sering terjadi pada manula

4
b. Melalui berbagai kegiatan yang dilakukan Puskesmas diharapkan akan

mengurangi keterbatasan aktivitas yang terjadi pada manula akibat nyeri

sendi.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. MANULA ( Manusia Lanjut Usia)

Manusia lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan

manusia dan ditandai oleh gagalnya seorang untuk mempertahankan

keseimbangan, kesehatan dan kondisi stres fisiologisnya. Manula juga berkaitan

dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup dan kepekaan secara

individual.1 Usia lanjut juga dapat dikatakan sebagai usia emas karena tidak

semua orang dapat mencapai usia lanjut, maka jika seseorang telah berusia lanjut

akan memerlukan tindakan keperawatan yang lebih, baik yang bersifat promotif

maupun preventif. Hal tersebut ditujukan agar manula dapat menikmati masa

usia emas dan menjadi usia lanjut yang berguna serta bahagia. Berdasarkan

Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan Lanjut Usia pada

Bab I Pasal I Ayat 2. Manusia lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia

60 tahun keatas, baik pria maupun wanita (Depkes, 2016).

B. NYERI

1. DEFINISI

Menurut Internasional Association for the study of PAIN (IASP), nyeri ialah

suatu pengalaman sensorik atau emosional yang tidak nyaman yang

berhubungan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial ada atau

6
yang digambarkan seperti kerusakan tersebut. Dalam praktek, nyeri ialah apa

yang dikatakan atau digambarkan oleh pasien sebagai nyeri, maka itulah

nyeri (Latief SA et al., 2001).

Nyeri akut adalah suatu reaksi adaptif yang berguna untuk menjaga

keutuhan jaringan sedangkan nyeri kronik merupakan suatu fenomena yang

berbeda karena disini nyeri telah kehilangan tujuan utamanya untuk

memberikan peringatan.Walaupun penyembuhan telah usai, keluhan nyeri

tetap ada sehingga disebut maladaptive pain. Fenomena ini mengisyaratkan

kepada kita bahwa terapi kausal tidak berlaku disini, sehingga harus dikelola

berdasarkan pemahaman yang baik mengenai mekanisme timbulnya nyeri

kronik (Guyton AC, 2007).

Dikategorikan nyeri kronik jika nyeri berlangsung melampaui batas

penyembuhan normal (berarti batas waktu bervariasi) sehingga dalam klinik

ada yang menyebut waktu 1 bulan, ada yang 3 bulan bahkan 6 bulan (Guyton

AC, 2007).

2. PERSEPSI NYERI

Nyeri timbul antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri

sampai dengan dirasakannya persepsi nyeri, hal ini terjadi melalui

serangkaian proses elektrofisiologik yang disebut nosisepsi sebagai berikut

(Guyton AC, 2007) :

a. Proses transduksi : proses dimana suatu rangsang nyeri (noxious stimuli)

baik berupa rangsang mekanis, termis maupun kimiawi yang diterima

7
oleh ujung-ujung saraf (nerve endings) akan diubah menjadi suatu

aktifitas listrik.

b. Proses transmisi : proses yang merambatkan rangsang melalui jalur saraf

sensoris menyusul proses transduksi.

c. Proses modulasi : proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik

endogen dengan asupan nyeri di kornu posterior. Proses desendern ini,

dikontrol oleh otak seseorang sehingga persepsi nyeri ini menjadi sangat

pribadi dan subjektif, dipengaruhi oleh latar belakang budaya,

pendidikan, atensi. Analgetik endogen yang dimaksud ialah endorfin,

serotonin dan noradrenalin.

d. Persepsi : hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik dari

proses-proses tersebut di atas, sehingga menghasilkan suatu perasaan

yang subjektif dikenal sebagai persepsi nyeri.

8
Gambar 1. Fisiologi Nyeri

3. KLASIFIKASI NYERI

Berbagai klasifikasi nyeri dapat kita temui dalam buku-buku

ajar.Klasifikasi nyeri yang lazim digunakan ialah yang berhubungan dengan

9
waktu, mekanisme, etiologi dan regio nyeri. Nyeri kronik dibedakan lagi atas

nyeri kanker dan nyeri kronik non kanker. Lebih lanjut nyeri kronik non

kanker dini dibedakan lagi menjadi nyeri neuropatik dan nyeri non

neuropatik contohnya fibromyalgia, myofascial pain, dan lain lain (Guyton

AC, 2007 ; Latief SA et al., 2001)

Berbeda dengan nyeri akut yang bersifat satu dimensi, artinya ia

merupakan gejala dari adanya jaringan rusak. Nyeri kronik bersifat

multidimensi yang disebabkan oleh tidak berfungsinya biologis atau-pun

patofisiologi yang masih belum jelas. Nyeri kronis terkait dengan faktor fisik,

psikologis dan sosial sehingga sulit dikelola. Dipererlukan penanganan

multidisiplin neurologi, rheumatologi, anestesiologi, rehab medik, terapi

alternative, dan lain lain (Guyton AC, 2007 ; Latief SA et al., 2001).

Klasifikasi yang banyak kegunaannya dalam penentuan terapi adalah

yang berdasarkan mekanisme yaitu (Guyton AC, 2007 ; Latief SA et al., 2001

; Abdulla A et al., 2013) :

a. Nyeri sederhana (fisiologik)

Nyeri sederhana adalah stimuli noxious ringan dan berlangsung singkat

sehingga tidak menimbulkan kerusakan jaringan.Stimuli mengaktivasi

nosiseptor sehingga mengeluarkan potensial aksi yang dijalarkan oleh

serabut saraf aferen (SSA) ke cortex, sehingga selanjutnya timbul

persepsi nyeri. Proses yang terjadi di nosiseptor berlangsung singkat.

Ketika stimuli hilang (misalnya gigitan nyamuk), proses di nosiseptor pun

10
hilang dan tidak menimbulkan proses yang berkepanjangan di neuron

kornu dorsalis. Pada nyeri sederhana ini persepsi nyeri berkolerasi positif

dengan intensitas nyeri. Nyeri fisiologik penting untuk mempertahankan

kelangsungan hidup setiap makhluk, sebab dapat membangunkan atau

mengaktivasi withdrawal reflex, (misalnya seseorang akan menepuk

nyamuk yang menggigitnya) sistem autonomik dan meningkatkan

kewaspadaan, emosional dan respons neurohumeral.

b. Nyeri inflamasi (nosiseptif)

Nyeri klinis ada dua bentuk, yaitu nyeri nosiseptif atau inflamasi dan

nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif atau inflamasi adalah nyeri yang

didahului oleh kerusakan atau inflamasi jaringan.Nyeri neuropatik ialah

nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada

sistem saraf. Kedua bentuk nyeri klinis tersebut menunjukkan gejala yang

sama, yaitu : nyeri spontan dan hipersensitifitas. Hipersensitivitas dapat

berupa hiperalgesia (respons yang berlebihan terhadap stimulus yang

secara normal menimbulkan nyeri) dan alodinia (nyeri yang disebabkan

oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri).

Hipersensitifitas pada nyeri inflamasi umumnya hilang bila proses

inflamasi sembuh. Lain halnya dengan nyeri neuropatik, dimana nyeri

spontan maupun hipersensitifitas muncul setelah lesi menyembuh. Hal ini

menggambarkan bahwa nyeri neuropatik terjadi bukan karena respons

11
terhadap proses patologik akan tetapi lebih ke arah proses patologik itu

sendiri.

c. Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang di

dapat pada struktur saraf perifer maupun sentral , nyeri ini lebih sulit

diobati

d. Nyeri psikogenik

Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri ini

timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri.

4. SKALA NYERI

a. Uni-dementional

1) Hanya mengukur intensitas nyeri

2) Cocok (appropriate) untuk nyeri akut

3) Skala yang biasa digunakan untuk evaluasi outcome pemberian

analgetik (Katz B, 2007 ; Strassels SA et al., 2008)

a) Visual Analog Scale (VAS)

Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling banyak

digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan

secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang

pasien.Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm,

dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua

12
ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan

deskriptif.Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan

ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin

terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal.VAS juga dapat

diadaptasi menjadi skala hilangnya atau reda rasa

nyeri.Digunakan pada pasien anak > 8 tahun dan dewasa.Manfaat

utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana.

Namun, untuk periode pascabedah, VAS tidak banyak bermanfaat

karena VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik serta

kemampuan konsentrasi ujung ekstrem juga digunakan pada skala

ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri. Skala numerik

verbal ini lebih bermanfaat pada periode pascabedah, karena

secara alami verbal atau kata-kata tidak terlalu mengandalkan

koordinasi visual dan motorik. Skala verbal menggunakan

katakata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan

tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri,

sedang, parah. Hilang atau redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai

sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang,

baik/ nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi pilihan

kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.

(Katz B, 2007).

13
Gambar 2. Visual Analog Scale

Gambar 3. Verbal Rating Scale

b) Numeric Rating Scale (NRS)

Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap

dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Penilaian ini lebih baik

daripada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun,

kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk

menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk

14
membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap

terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek

analgesic (Katz B, 2007 ; Strassels SA et al., 2008).

Gambar 4. Numeric Rating Scale (NRS)

c) Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak

dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka (Katz B,

2007).

Gambar 5. Wong Baker Pain Rating Scale

15
b. Multi-dimentional

1) Mengukur intensitas dan afektif (unpleasantness) nyeri

2) Diaplikasikan untuk nyeri kronis

3) Dapat dipakai untuk outcomes assessment klinis (Katz B, 2007 ;

Strassels SA et al., 2008).

C. NYERI SENDI PADA MANULA

Perubahan Fisiologis Muskuloskeletal terutama pada manula merupakan proses

alamiah yang akan dialami oleh setiap individu. Hal ini ditandai oleh penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi terhadap perubahan – perubahan terkait

usia. Perubahan tersebut diantaranya adalah perubahan fisik, mental, sosial, dan

spiritual yang akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan pada usia di atas 60

tahun (Depkes, 2014 ; Depkes, 2016 ; Guyton AC, 2007).

Perubahan fisik yang disebabkan oleh umur salah satunya adalah

perubahan pada otot lansia.Perubahan ini dapat menyebabkan mobilitas lansia

terganggu, terutama jika terjadi pada otot tungkai bawah.Secara alamiah aliran

darah ke otot berkurang sebanding dengan bertambahnya umur seseorang.Hal ini

menyebabkan jumlah oksigen, nutrisi, dan energi yang tersedia untuk otot ikut

menurun, sehingga menurunkan kekuatan otot manusia.Penurunan pencapaian

suplai tersebut juga dipengaruhi oleh serat otot rangka yang berdegenerasi,

sehingga terjadinya fibrosis ketika kolagen menggantikan otot. Penurunan massa

tonus dan kekuatan otot menyebabkan otot lebih menonjol di ekstremitas yang

16
juga menjadi kecil dan lemah. Perubahan struktur otot pada penuaan sangat

bervariasi, yaitu: terjadinya atrofi dan menurunnya jumlah beberapa serabut otot

dan fibril, meningkatnya jaringan lemak, degenerasi miofibril, dan sklerosis pada

otot. Perubahan – perubahan tersebut juga dapat menjadi dampak negatif, yaitu:

menurunnya kekuatan otot, menurunnya fleksibilitas, meningkatkan waktu reaksi

dan menurunkan kemampuan fungsional otot yang dapat mengakibatkan

perlambatan respon selama tes refleks tendon. Usia 60 tahun terjadi kehilangan

kekuatan otot total sebesar 10-20% dari kekuatan yang dimiliki pada umur 30

tahunan. Pemerosotan ini dimulai sekitar umur 40 tahun, dan semakin dipercepat

di tahun ke-60 usia seseorang. Penurunan kekuatan otot – otot pada tungkai

bawah dapat dilihat pada orangtua ketika sedang melakukan gerakan aktifitas

naik tangga (kesulitan dalam melakukannya), kekakuan tungkai pada saat berlari-

lari. Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh (Guyton AC, 2007).

Pinggang, lutut dan jari-jari pergelangan terbatas dan persendian membesar

dan menjadi kaku.Serabut-serabut otot mengecil sehingga seseorang bergerak

menjadi lamban otot-otot kram dan menjadi tremor. Salah satu penyakit lansia

yang mengganggu sistem muskulokeletal adalah nyeri sendi yang merupakan

suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan berulang dari

artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya endapan kristal, yang terkumpul di

dalam sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di dalam darah atau

disebut dengan hiperurisemia (Guyton AC, 2007).

17
D. ETIOLOGI NYERI SENDI

Penyebab utama penyakit nyeri sendi masih belum diketahui secara pasti,

biasanya merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan

faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi

seperti bakteri, mikroplasma dan virus. Ada beberapa teori yang dikemukakan

sebagai penyebab nyeri sendi yaitu (Anderson J et al., 2012) :

1. Mekanisme imunitas

Penderita nyeri sendi mempunyai auto antibody di dalam serumnya yang di

kenal sebagai faktor rematoid anti bodynya adalah suatu faktor antigama

globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgG titer yang lebih besar

1:100, Biasanya di kaitkan dengan vaskulitis dan prognosis yang buruk.

2. Faktor metabolik

Faktor metabolik dalam tubuh erat hubungannya dengan proses autoimun.

3. Faktor genetik dan faktor pemicu lingkungan

Penyakit nyeri sendi terdapat kaitannya dengan pertanda genetik.Juga dengan

masalah lingkungan, Persoalan perumahan dan penataan yang buruk dan

lembab juga memicu penyebab nyeri sendi.

4. Faktor usia

Degenerasi dari organ tubuh menyebabkan usia lanjut rentan terhadap

penyakit baik yang bersifat akut maupun kronik.

18
E. PENGELOLAAN NYERI SENDI PADA MANULA

Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2010 melaporkan bahwa 20%

penduduk dunia terserang penyakit nyeri sendi. Dimana 5-10% adalah mereka

yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang berusia diatas 55 tahun.

Prevalensi penyakit sendi di Indonesia berdasarkan RISKESDAS 2013 sebanyak

24,7%, dimana jumlah penderita meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Prevalensi tertinggi pada umur ≥75 tahun (33% dan 54,8%). Sementara di

Provinsi Bengkulu Penderita nyeri sendi pada tahun 2013 adalah sebanyak 17%

dari jumlah penduduk (Depkes, 2013 ; Depkes, 2014). Berdasarkan laporan

tahunan di Puskesmas Kampung Bali, jumlah penderita nyeri sendi yang berusia

manula pada tahun 2016 sebanyak 365 pasien meningkat menjadi 486 pasien

pada tahun 2017.

Cukup banyaknya kejadian nyeri sendi mendorong Pusat Kesehatan

Masyarakat untuk melakukan pengelolahan manula dengan riwayat nyeri sendi

dengan cara intervensi preventif, promotif dan kuratif. Hal ini ditujukan unuk

tercapainya kesejahteraan manula sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1998 (Depkes, 2013 ; Depkes, 2014).

1. Pengelolaan Preventif dan Promotif

a. Puskesmas dan Posyandu rutin melaksanakan senam lansia.

Senam lansia adalah olahraga ringan dan mudah dilakukan, tidak

memberatkan yang diterapkan pada lansia. Aktifitas olahraga ini akan

membantu tubuh tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap

19
kuat dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran didalam

tubuh. Senam lansia disamping memiliki dampak positif terhadap

peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan

imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur (Posyandu Kota

Bogor, 2012).

Tujuan senam lansia adalah untuk menjaga tubuh dalam keadaan sehat

dan aktif untuk membina dan meningkatkan kesehatan serta kebugaran

kesegaran jasmani dan rohani. Tujuan lain adalah memperbaiki pasokan

oksigen dan proses metabolisme, membangun kekuatan dan daya tahan dan

meningkatkan kondisi otot dan sendi (Posyandu Kota Bogor, 2012).

Langkah-langkah senam lansia pada lansia ada 3 tahapan, yaitu tahap

pemanasan, tahap gerakan inti dan tahap pendinginan (Posyandu Kota

Bogor, 2012).

1) Tahap Pemanasan

Pengaturan napas (dengan cara menarik napas 2x8), dengan pengaturan

napas dapat memperbaiki sistem kerja jantung.

2) Tahap Gerakan Inti

a) Jalan Ditempat (angkat kaki secara aktif ) 2x8

b) Lebarkan kaki sejajar (diam di tempat)

c) Bertepuk tangan (lengan sejajar dengan bahu) 2x8

d) Tepuk jari tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2x8

e) Silangkan antar jari tangan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2x8

20
f) Silangkan jempol tangan kanan (rentangkan tangan sejajar bahu) 2x8

g) Silangkan jempol tangan kiri (rentangkan tangan sejajar bahu) 2x8

h) Tepuk antar jari kelingking (rentangkan tangan sejajar bahu) 2x8

i) Tepuk antar jari telunjuk tangan (rentangkan tangan sejajar bahu )

2x8

j) Ketok pergelangan tangan kanan (lengan tangan sejajar bahu ) 1x8

k) Ketok pergelangan tangan kiri (lengan tangan sejajar bahu) 1x8

l) Tekan antar telapak tangan (tangan seja bjar dada atas) 1x8

m) Tekan putar telapak tangan (atas kebawah sejajar dada) 1x8

n) Buka dan remas jari tangan (gerakan peras santan) 2x8

o) Tepuk punggung tangan kanan (tangan sejajar dada atas)

p) Tepuk punggung tangan kiri (tangan sejajar dada atas) 1x8

q) Tepuk punggung lengan kanan (tangan sejajar dada atas) 1x8

r) Tepuk punggung bahu kanan (tangan sejajar dada atas) 1x8

s) Tepuk punggung lengan kiri (tangan sejajar dada atas) 1x8

t) Tepuk punggung bahu kiri (tangan sejajar dada atas) 1x8 21) Tepuk

pinggang (bungkuk badan 45 derajat) 2x8

u) Tepuk paha samping (gerakan mengenjot lutut naik turun) 2x8

v) Tepuk betis kaki (bungkuk badan sejajar 90 derajat) 2x8

w) Peregangan otot, lengan, bahu, punggung, lutut, betis 2x8

x) Menepuk perut bagian bawah (samping kanan – kiri) 2x8

y) Sikap tegap tangan simpul ke perut (tutup kaki, diam di tempat

21
z) Jinjit kaki (kaki lurus, diam ditempat) terakhir adalah sikap sempurna

tegak lurus.

3) Tahap Pendinginan

a) Tarik dan tahan napas (kedua tangan naik keatas kepala) 1x8

b) Hembuskan napas (kedua tangan turun kedepan dada) 1x8

c) Tarik dan tahan napas (kedua tangan naik keatas kepala) 1x8

d) Tarik dan tahan napas (tangan kanan naik keatas kepala) 1x8

e) Hembuskan napas (tangan kanan turun ke samping) 1x8

f) Tarik dan tahan napas (tangan kiri naik keatas kepala) 1x8

g) Hembuskan napas (tangan kiri turun ke samping) 1x8

h) Tarik, tahan dan hembuskan napas (angkat kedua tangan dan

turunkan perlahan) 2x4

b. Efektifitas Senam Lansia terhadap pengelolahan nyeri sendi

Senam lansia dapat mengurangi rasa nyeri yang dialami oleh lansia.

Semakin tidak aktif lansia mengikuti senam lansia nyeri yang dialami

akan semakin berat. pentingnya senam lansia untuk mengurangi nyeri

lansia dengan rematoid artritis harus diterapkan dengan sosialitas seperti

melakukan progam senam lansia setiap seminggu sekali.12 Pemberian

intervensi senam lansia selama 6 hari efektif mengatasi nyeri lutut pada

lansia. Pelaksanaan senam lansia dapat dilakukan pada pagi hari selama

kurang lebih 15-30 menit.11

c. Melakukan promosi kesehatan dengan media masaa dan media cetak

22
Pada penyuluhan kita dapat memberi edukasi padamanula

dengan penatalaksanaan nyeri sendi sederhana seperti :

1) Mengompres dengan es batu adalah langkah pertama meredakan

nyeri pada lutut. Namun jangan lupa membungkus es batu dengan

handuk.

2) Kurangi aktivitas berat yang membebani lutut.

3) Gunakan alas kaki yang sesuai dan nyaman.

4) Melakukan pemeriksaan bila mencurigai adanya kelainan bentuk

pada kaki.

5) Rajin berolah raga dengan gerakan merenggangkan kedua kaki

selebar-lebarnya. Aktivitas tersebut membuat otot kaki lebih

fleksibel dan mengurangi risiko nyeri lutut.

6) Mengkonsumsi suplement seperti Kalsium dan Glukosamin.

7) Memperbaiki postur tubuh demi menghindari nyeri lutut.

Misalnya ketika duduk, pastikan kaki tidak tertekuk atau

menggantung. Posisikan tubuh pada kursi senyaman mungkin.

Selain itu, jangan menyilangkan kaki ketika duduk dalam waktu

yang lama.

8) Batasi konsumsi garam yang memicu penyimpanan air berlebih

dan membengkak, akibatnya lutut bisa terasa nyeri.

9) Konsumsi makanan yang baik untuk sendi, seperti : terung,

paprika, tomat, kentang, dan juga vitamin C. Contoh buah dan

23
sayuran untuk mengobati penyakit asam urat: buah naga,

belimbing wuluh, jahe, labu kuning, sawi hijau, sawi putih, serai

dan tomat.

10) Berhenti merokok dan bila mampu berpuasa (1-3 kali seminggu)

11) Pada orang yang kegemukan (obesitas), biasanya kadar asam urat

cepat naik tapi pengeluaran sedikit, maka sebaiknya turunkan

berat badan dengan olahraga yang cukup (minimal 2-3 kali

seminggu, minimal 20-30 menit per hari).

12) Banyak minum air putih (1-2 gelas pagi hari, 1 gelas sebelum tidur

malam hari, minimal 2 liter per hari).

Gambar 6. Contoh Poster Hidup Sehat

24
2 . Pengelolahan Kuratif

Secara fisiologis, fungsi organ tubuh pada lansia akan mengalami perubahan.

Hal ini penting dipertimbangkan sebelum menentukan pengobatan

farmakologis yang tepat. Perubahan fisiologis pada lansia yang dapat

mempengaruhi pilihan terapi obat. Dengan mempertimbangkan perubahan

fisiologis pada lansia, maka WHO Step Ladder juga perlu disesuaikan.

Penggunaan WHO analgesics step ladder pada awalnya dikhususkan untuk

pendekatan tatalaksana nyeri kanker. Tetapi dewasa ini, pendekatan ini juga

dapat diterapkan untuk penatalaksanaan nyeri kronis non-kanker dengan

perhatian khusus. Modifikasi WHO analgesics step ladder pada lansia

menunjukkan bahwa OAINS non-spesifik, termasuk aspirin dan propoksifen

sebaiknya dihindari ( Barus J, 2015).

Asetaminofen (parasetamol) merupakan obat pilihan pertama untuk

tatalaksana nyeri kronik pada lansia, tetapi penting diingat bahwa

penggunaannya sebaiknya di minimalisir karena efek samping kerusakan hati.

Penggunaan asetaminofen sampai 4000 mg per hari dalam jangka panjang

berhubungan dengan kerusakan fungsi hati pada orang dewasa. Sesuai

rekomendasi Food and Drugs Administration USA (FDA-USA), penggunaan

asetaminofen untuk kasus nyeri kronis pada lansia sebaiknya dibatasi sampai

2000 mg/hari. Jika ingin memberikan OAINS, maka pilihan utama adalah

OAINS yang selektif bekerja menghambat COX 2 karena efek gastrointestinal

yang minimal.Hal yang dimaksud dengan analgetik adjuvant pada gambar 7

25
adalah obat-obat golongan antikonvulsan dan antidepresan yang dapat

dipergunakan pada nyeri persisten. Secara umum, pilihan terapi adjuvan untuk

nyeri persisten pada lansia dapat dilihat pada tabel 1 ( Barus J, 2015).

Gambar 7. Modifi kasi WHO Analgesics Step Ladder pada penatalaksanaan

nyeri pada lansia

Tabel 1. Terapi adjuvan nyeri persisten pada lansia

26
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan manusia lanjut usia (manula) dengan riwayat nyeri sendi yang

dilakukan di Puskesmas Kampung Bali berupa penggelolaan preventif dan kuratif.

Pengelolaan promotif yaitu pendidikan kesehatan, hanya dilakukan dengan metode

individu berupa bimbingan saat sesi akhir pengelolaan kuratif. Program pengelolaan

yang dilakukan Puskesmas Kampung Bali adalah pelaksaan Posyandu lanjut usia.

Posyandu lanjut usia (lansia) dilakukan sebanyak tiga kali dalam periode

waktu bulan Desember 2017. Kegiatan yang dilakukan Posyandu lansia berupa

skrining yaitu pengukuran tekanan darah, gula darah sewaktu (GDS), asam urat dan

kolesterol. Kegiatan lainnya adalah berupa pengelolaan kuratif berdasarkan keluhan

lansia dan penyakit degeneratif yang telah didiagnosis sebelumnya. Penyakit

terbanyak pada lansia yang rutin mengikuti kegiatan Posyandu lansia adalah

hipertensi, artritis dan diabetes mellitus.

27
Tabel 2 Jumlah Peserta Posyandu Lanjut Usia Puskesmas Kampung Bali selama

Bulan Desember 2017

Waktu Pelaksanaan Hipertensi Artritis Diabetes Lainnya Jumlah

Melitus (orang)

Selasa, 5 Desember 2017 23 13 10 7 53

Jumat, 15 Desember 2017 17 11 8 9 45

Selasa, 19 Desember 2017 19 9 12 11 51

Jumlah rata – rata peserta Posyandu lansia 49.67

Peserta Posyandu lansia rata-rata pada bulan Desember 2017 sebanyak 49

orang sampai dengan 50 orang setiap kali kegiatan dilaksanakan. Pada minggu ke-1

bulan Desember 2017 jumlah peserta Posyandu lansia sebanyak 53 orang. Pada

minggu ke-2 bulan Desember 2017 jumlah peserta Posyandu lansia sebanyak 45

orang. Pada minggu ke-3 bulan Desember 2017 jumlah peserta Posyandu lansia

sebanyak 51 orang.

Diakhir pengelolaan kuratif biasanya petugas akan memberikan edukasi

kesehatan dengan metode individu. Pendidikan kesehatan tentang nyeri sendi juga

dilakukan dengan metode individu berupa bimbingan dan wawancara. Pendidikan

kesehatan tentang nyeri dengan metode individu yang dilakukan oleh petugas kurang

efektif dan menarik. Dilihat dari sasaran pendidikan kesehatan yang berusia 60 tahun

keatas, metode individu dengan bimbingan dan wawancara dianggap kurang tepat.

Manusia lanjut usia akan mengalami penurunan fungsi kognitif sehingga mereka akan

28
mudah lupa dan lambat memahami tentang suatu materi. Kami menyarankan

sebaiknya pendidikan kesehatan diganti dengan metode kelompok berupa penyuluhan

dengan media elektronik yang dirasa lebih efektif seperti pemutaran video, film dan

slide show yang menarik agar peserta Posyandu lansia dapat dengan mudah

memahami dan mengingat pendidikan yang disampaikan. Slide show yang menarik

berisi tentang pengetahuan dasar tentang nyeri sendi, penyebab nyeri sendi dan cara

mudah untuk mengatasi serangan nyeri sendi. Video dan film dapat berisi materi tata

cara hidup sehat yaitu pentingnya berolahraga dan konsumsi makanan sehat

(Posyandu Kota Bogor, 2012).

29
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Pembinaan manula dengan riwayat nyeri sendi adalah pengelolaan terpadu

berupa pengelolaan preventif, promotif dan kuratif dapat melalui program

puskesmas maupun posyandu lansia.

2. Pengelolaan preventif dan promotif dapat berupa senam sehat yang

dilakukan setiap minggu dan pendidikan kesehatan dengan metode

kelompok.

3. Pengelolaan kuratif nyeri sendi pada manula diperlukan pertimbangan

dalam segala aspek. Hal ini terkait nyeri sendi merupakan nyeri kronis non-

kanker yang memiliki patofiologi yang rumit, sehingga pemilihan obat

NSAID dan opioid harus dipertimbangan secara baik.

B. SARAN

1. Puskesmas Kampung Bali Kota Bengkulu memiliki jumlah kasus nyeri

sendi yang cukup banyak dan cenderung meningkat dari tahun 2016

sebanyak 365 pasien menjadi 486 pasien pada tahun 2017. Namun

Puskesmas Kampung Bali belum memiliki program khusus untuk

pengelolaan manula dengan riwayat nyeri sendi. Kami berharap setelah

dilakukannya diskusi topik khusus Puskesmas dapat melaksanakan program

khusus untuk manula dengan riwayat nyeri sendi.

30
2. Posyandu lansia Puskesmas Kampung Bali sudah memiliki agenda rutin

seperti senam lansia, hal ini sudah baik. Namun sebaiknya pengelolaan

secara promotif lebih digalakkan. Pendidikan kesehatan dengan metode

individu sebaiknya diganti dengan metode kelompok dengan menggunakan

media elektronik yang lebih menarik.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abdulla A, Adams N, Bone M, Gaffi n J, Jones D, Elliott AM, et al..Guidance on the


management of pain in older people. Age and Aging 2013:42;i1-i57.

Anderson J, Caplan L, Yazdany J, Robbins ML, Neogi T, Michaud K, et al.


Rheumatoid arthritis disease activity measures: American College of
Rheumatology recommendations for use in clinical practice. Arthritis Care Res
(Hoboken) 2012;64:640–7.

Barus Jimmy. 2015. Penatalaksanaan Farmakologis Nyeri pada Lanjut Usia. Jakarta :
Departemen Neurologi Universitas Atmajaya.

Depkes. 2013. Gambaran kesehatan lanjut usia di


Indonesia.(https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web
&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjruba39rjYAhVKf7wKHZa9C6MQF
ggoMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.depkes.go.id%2Fdownload.php%3Ffile
%3Ddownload%2Fpusdatin%2Fbuletin%2Fbuletinlansia.pdf&usg=AOvVaw0s
JbbTNQn-i5xue4I2aUO6. Diakses Desember 2017.

Depkes. 2014. Situasi dan analisis lanjut usia.


https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad
=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjruba39rjYAhVKf7wKHZa9C6MQFgg1MAI&ur
l=http%3A%2F%2Fwww.depkes.go.id%2Fdownload.php%3Ffile%3Ddownloa
d%2Fpusdatin%2Finfodatin%2Finfodatin%2520lansia%25202016.pdf&usg=A
OvVaw0zV4TG2xXvjfCN0pa2wHO0. Diakses Desember 2017.

Depkes. 2016. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016.


http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/lain-
lain/Data%20dan%20Informasi%20Kesehatan%20Profil%20Kesehatan%20Ind
onesia%202016%20-%20%20smaller%20size%20-%20web.pdf. Diakses
Desember 2016.

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.

Katz B. Pharmacological management of pain in older people. J Pharm Pract Res.


2007;37:63-6.

Latief Said A, Suryadi Kartini A, Ruslan Dachlan. 2001. Petunjuk Praktis


Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta : FKUI.

32
Posyandu Kota Bogor. 2012. Gerakan Senam Lansia.
http://posyandu.org/posyandu/posyandu-lansia/922-gerakan-senam-lansia.html.
Diaskses : Desember 2017.

Strassels SA, McNicol E, Suleman R. Pharmacotherapy of pain in older adults. Clin


Geriatr Med. 2008;24:275-98.

33

Anda mungkin juga menyukai