Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH DOKTER MUDA

ILMU PENYAKIT PARU

BRONKIEKTASIS

Oleh:

ROSIHAN ANWAR

NIM 010710294

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

LAB/SMF ILMU PENYAKIT PARU

RSU Dr. SOETOMO SURABAYA

2012
A. PENDAHULUAN

Bronkiektasis merupakan suatu kondisi di mana jalan napas mengalami


pelebaran abnormal. Pelebaran ini disebabkan oleh adanya blokade mukus. Blokade
mukus yang semakin lama semakin banyak terkumpul di jalan napas mengakibatkan
bakteri dapat tumbuh dan mengakibatkan terjadinya infeksi.
Bronkiektasis dapat terjadi pada semua usia. Akan tetapi, bronkiektasis paling
sering terjadi pada masa anak-anak dengan gejala yang biasanya baru tampak setelah
proses patologis berjalan cukup lama. Bronkiektasis dapat terjadi sebagai bagian dari
defek sejak lahir atau dapat juga sebagai akibat dari penyakit lain seperti tuberkulosis,
pneumonia dan influenza. Bronkiektasis juga dapat diakibatkan oleh adanya sumbatan
jalan napas karena adanya suatu pertumbuhan massa, atau suatu benda asing yang
masuk jalan napas seperti mainan atau kacang.
Bronkiektasis tidak dapat disembuhkan. Akan tetapi, dengan pengobatan yang
tepat, seseorang dengan bronkiektasis dapat menjalani kehidupan secara normal.

B. DEFINISI

Bronkiektasis merupakan dilatasi jalan napas irreversibel pada paru baik


secara lokal maupun difus dan secara klasik dikategorikan menjadi silindrikal atau
tubular (bentuk tersering), varikosa, atau kistik. (Harrison’s Principle of Internal
Medicine, 2012)
Dalam buku Textbook of Respiratory Medicine disebutkan bahwa
bronkiektasis merupakan suatu penyakit yang jarang terjadi, terutama disebabkan
karena suatu proses infeksi, yang mengakibatkan perubahan abnormal dan permanen
pada satu atau lebih dari bronkus atau jalan napas.

C. ETIOLOGI
Bronkiektasis dapat terjadi baik karena infeksi maupun bukan infeksi. Pola
struktur yang terkena sering menjadi petunjuk terhadap penyebab dari terjadinya
bronkiektasis. Bronkiektasis fokal terjadi apabila kerusakan mengenai area tertentu di
paru-paru dan dapat diakibatkan oleh obstruksi jalan napas – baik karena faktor
ekstrinsik (penekanan oleh karena limfadenopati atau massa tumor) maupun faktor
intrinsik (tumor jalan napas, aspirasi benda asing, stenosis, kelainan kongenital seperti
atresia bronkus). Bronkiektasis difus terjadi apabila kerusakan terjadi secara luas di
paru-paru dan sering diakibatkan karena penyakit sistemik atau suatu proses infeksi.

D. PATOGENESIS

Mekanisme yang dianut secara luas pada bronkiektasis karena infeksi adalah
hipotesis vicious cycle, di mana kerentanan terhadap infeksi dan mekanisme bersihan
mukosilier yang buruk mengakibatkan terjadinya kolonisasi mikroba pada bronkus
dan percabangannya. Beberapa organisme, sebagai contoh adalah Pseudomonas
aeruginosa, memperlihatkan kecenderungan untuk berkolonisasi pada jalan napas
yang terganggu dan menghindari mekanisme pertahanan tubuh inang. Gangguan
bersihan mukosilier dapat terjadi sebagai akibat dari keadaan herediter seperti cystic
fibrosis atau dyskinetic cilia syndrome atau infeksi berat seperti pneumonia karena
Bordetella pertussis atau Mycoplasma pneumonia. Adanya kolonisasi mikroba
memicu terjadinya inflamasi kronis yang berakibat pada terus berlangsungnya
kerusakan dinding jalan napas, gangguan sekresi dan bersihan mikroba. Mediator
yang dikeluarkan bakteri juga diyakini dapat mengganggu bersihan mukosilier.
Studi klasik terhadap patologi bronkiektasis sejak tahun 1950 menunjukkan
inflamasi jalan napas kecil yang signifikan dan destruksi, dilatasi serta hilangnya
elastin, otot polos dan kartilago dari jalan napas besar. Proses ini diyakini terjadi
karena sel radang pada jalan napas kecil melepaskan protease dan berbagai mediator
lain seperti spesies reactive oxygen species (ROS) dan sitokin pro inflamasi yang
merusak dinding jalan napas besar. Proses inflamasi yang terus berlangsung pada
jalan napas kecil menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara. Anti protease seperti
α-1 antitripsin memegang peranan penting dalam menetralisir efek merusak dari
elastase neutrofil dan dalam meningkatkan efektifitas pembunuhan bakteri. Pasien
dengan defisiensi α-1 antitripsin juga dijumpai pada bronkiektasis di samping
umumnya ditemukan pada pasien emfisema.
Mekanisme yang diusulkan untuk bronkiektasis non infeksius adalah reaksi
imun yang merusak dinding bronkus. Oleh karena itu, kondisi autoimun sistemik
seperti misalnya Sjogren’s syndrome dan artritis rheumatoid dapat mengakibatkan
terjadinya bronkiektasis. Bronkiektasi traksi terjadi pada dilatasi jalan napas yang
ditimbulkan oleh distorsi parenkim sebagai akibat dari fibrosis paru (seperti pada
fibrosis pasca penyinaran atau fibrosis paru idiopatik).
E. GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah batuk produktif yang
persisten disertai produksi sputum yang banyak dan kental. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya ronki dan wheezing. Pada beberapa pasien dengan
bronkiektasis dapat ditemukan clubbing finger. Obstruksi jalan napas ringan sampai
sedang dapat dijumpai pada pemeriksaan faal paru, akan tetapi hasil ini juga
didapatkan pada kondisi lain seperti chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
Eksaserbasi akut bronkiektasis biasanya ditandai dengan peningkatan produksi
sputum dan purulensi.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis bronkiektasis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis batuk


persisten dengan produksi sputum disertai dengan hasil radiologis yang menunjang.
Meskipun foto thorak kurang sensitif dalam memperlihatkan proses bronkiektasis,
keberadaan dari “tram tracks” mengindikasikan adanya dilatasi sehingga patut
dicurigai sebagai suatu bronkiektasis. Foto CT-scan thorak jauh lebih spesifik dalam
mendiagnosis bronkiektasis sehingga menjadi modalitas pencitraan pilihan untuk
memastikan diagnosis bronkiektasis. Hasil CT yang positif menunjukkan gambaran
dilatasi jalan napas (terdeteksi sebagai “tram tracks” paralel atau seperti “signet ring
sign”), penebalan dinding bronkial, .penebalan sekresi, atau kista yang berasal dari
dinding bronkial (khususnya pada bronkiektasis kistik).

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah pneumonia berulang yang memerlukan
rawat inap, empiema, abses paru, gagal napas progresif, dan cor pulmonale.
Komplikasi lain yang juga dapat terjadi adalah infeksi bronkial kronik dan
pneumothorax. Hemoptisis yang mengancam nyawa juga dapat terjadi akan tetapi
jarang didapatkan.
Pada kasus bronkiektasis infeksi yang berat, infeksi berulang diikuti dengan
pemberian antibiotik yang sama dapat mengakibatkan terjadinya resistensi. Pada
kasus tertentu, kombinasi antibiotik berbeda mungkin diperlukan untuk mengobati
organisme yang resisten. Infeksi berulang dapat mengakibatkan perlukaan pada
pembuluh darah mukosa sehingga dapat menimbulkan perdarahan dari yang paling
ringan sampai batuk darah yang dapat mengancam nyawa. Tata laksana batuk darah
massive biasanya memerlukan intubasi untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi
sumber perdarahan, dan melindungi paru yang sehat. Kontrol perdarahan sering
memerlukan embolisasi arteri bronkial sampai dengan pembedahan pada kasus yang
berat.

H. PENATALAKSANAAN
Prinsip tata laksana bronkiektasis infeksi adalah pengendalian infeksi aktif dan
perbaikan bersihan sekresi serta higienisitas bronkial sehingga dapat mengurangi
beban mikroba di jalan napas dan meminimalkan risiko infeksi berulang.
1. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik ditujukan pada patogen penyebab ataupun yang diduga sebagai
penyebab dan sebaiknya segera diberikan saat eksaserbasi akut, biasanya untuk
jangka waktu 5-10 hari.

2. Bronkial Hygiene
Berbagai pendekatan dapat dicoba untuk meningkatkan bersihan sekret pada
bronkiektasis seperti hidrasi dan pemberian mukolitik, aerosolisasi bronkodilator
dan agen hiperosmolar (hipertonik salin), dan fisioterapi dada (drainase postural,
perkusi dada mekanis tradisional dengan menepuk-nepuk dada dengan telapak
tangan atau dengan penggunaan alat modern).

3. Terapi Anti Inflamasi


Para ahli meyakini bahwa pengendalian respon inflamasi mungkin bermanfaat
pada bronkiektasis. Sebuah penelitian berskala kecil yang telah dilakukan
menunjukkan perbaikan gejala dyspnea, penurunan kebutuhan inhalasi β-agonis,
dan penurunan produksi sputum melalui inhalasi glukokortikoid. Akan tetapi,
tidak ada perbedaan signifikan dalam fungsi paru atau laju eksaserbasi
bronkiektasis. Risiko imunosupresi dan supresi adrenal harus diperhatikan pada
penggunaan terapi antiinflamasi pada bronkiektasis infeksi. Akan tetapi,
pemberian glukokortikoid oral atau sistemik penting pada pengobatan
bronkiektasis karena etiologi tertentu seperti ABPA (allergic bronchopulmonary
aspergillosis), atau bronkiektasis non infeksi karena suatu kondisi yang mendasari,
khususnya suatu kondisi autoimun yang aktif seperti artritis rheumatoid atau
sindrom Sjogren.

I. PROGNOSIS
Secara umum, prognosis akan baik apabila pasien patuh terhadap semua
regimen pengobatan dan melaksanakan strategi preventif secara rutin. Akan tetapi,
prognosis bronkiektasis juga bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari serta
dipengaruhi oleh frekuensi eksaserbasi dan patogen yang terlibat (pada kasus infeksi).
Penyebab mortalitas pada bronkiektasis umumnya adalah karena kegagalan
pernapasan yang progresif. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pasien bronkiektasis
yang dirawat di ruang perawatan intensif dengan usia lebih dari 65 tahun yang
sebelumnya telah mendapatkan terapi oksigen jangka panjang biasanya memiliki
prognosis yang buruk.
Sebuah penelitian pada tahun 2007 terhadap orang dewasa dengan
bronkiektasis non cystic fibrosis (CF) menemukan bahwa mortalitas yang lebih tinggi
didapatkan pada usia lanjut, status gizi yang buruk, derajat penyakit yang berat
berdasarkan penemuan radiografis, serta adanya hipoksemia atau hiperkapnia.
Perawatan pencegahan seperti vaksinasi, kunjungan ke dokter secara teratur, dan
indeks massa tubuh yang normal dihubungkan dengan penurunan mortalitas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Buku Ajar Penyakit Paru 2010. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair – RSU Dr.
Soetomo. Cetakan I. Maret 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK
Unair – RSU Dr. Soetomo.
2. Dupont M, Gacouin A, Lena H, et al. Survival of patients with bronchiectasis after the
first ICU stay for respiratory failure. Chest. May 2004;125(5):1815-20.
3. Fauci, Anthony S. et. al. 2012. Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th ed.
New York: McGraw-Hill Companies.
4. Luce, JM. Bronchiectasis. In: Murray JF, Nadel JA, eds. Textbook of Respiratory
Medicine. 2nd ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders and Co; 1994:1398-1417.
5. Onen ZP, Gulbay BE, Sen E, et al. Analysis of the factors related to mortality in
patients with bronchiectasis. Respir Med. Jul 2007;101(7):1390-7.

Anda mungkin juga menyukai