Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebutuhan Nutrisi Terhadap Wanita Lanjut Usia

Kebutuhan nutrisi pada populasi usia lanjut tidak berubah, yang mengalami perubahan
sejalan dengan usia yang menua adalah pengeluaran energi atau energy expenditure. Intake
energi sesuai rekomendasi tata laksana pemenuhan gizi pada populasi usia lanjut adalah sebesar
2050 kcal pada pria dan sebesar 1600 kcal pada wanita (Setiati et al., 2013). Pencernaan dan
penyerapan zat atau gizi makronutrien seperti karbohidrat, lemak dan protein tidak berubah,
melainkan perubahan terdapat terutama pada penyerapan zat atau gizi mikronutrien seperti
Vitamin B12, Vitamin D dan Kalsium. Hal ini yang menyebabkan pada usia tua pemenuhan
kebutuhan mikronutrien lebih perlu diperhatikan. Misalnya, kebutuhan akan mikronutrien
berupa kalsium dan vitamin D sesuai dengan RDA (recommended dietary allowances)
sebanyak 1200mg dan 500 IU, sementara kebutuhan mikronutrien seperti riboflavin, niacin,
thiamin, folate, vitamin B6 dan Vitamin B12 memiliki kadar yang sama pada usia muda
(Russell, 2007). Namun, pemenuhan kebutuhan nutrisi pada populasi lanjut usia, masih
menjadi sebuah masalah yang menyebabkan malnutrisi pada lansia perlu mendapat perhatian
khusus.

Pada populasi lansia, baik wanita atau pria berusia lanjut terjadi perubahan fisiologis
dari saluran pencernaan atau yang disebut dengan metabolik karakteristik pada usia lanjut.
Dengan bertambahnya usia, terdapat peningkatan nafsu makan dan konsumsi makanan.
Dimana lansia sehat dibandingkan dengan remaja lebih susah untuk merasa lapar, masih
merasa kenyang sebelum makan, konsumsi makanan dengan ukuran lebih kecil, makan snack
yang lebih jarang, dan mudah kenyang setelah makan lebih cepat dibandingkan populasi
dengan usia muda. Hal ini disebabkan oleh perubahan fisiologis pada tubuh lansia. Perubahan
yang terjadi antara lain: 1) berkurangnya sensitifitas terhadap bau dan rasa yang berkaitan
dengan nafsu dan asupan makan, 2) menurunnya pengosongan makanan pada lambung dan
sekresi asam lambung, 3) adanya penyakit komorbid yang memperat pemenuhan kebutuhan
nutrisi (Ahmed dan Haboubi, 2010).

Pada wanita lanjut usia terdapat beberapa perbedaan pada kebutuhan gizi dan nutrisi
oleh karena wanita lansia mengalami proses menopause yakni peralihan dari masa reproduktif
ke masa non-reproduktif yang ditandai dengan kadar estrogen yang berkurang hingga akhirnya
menurun. Dimana berkurangnya kadar estrogen ini akan mempengaruhi beberapa keadaan
wanita seperti lebih rentan terkena kejadian kardiovaskular dan kejadian osteoporosis.
Kebutuhan nutrisi dan status gizi menjadi salah satu prediktor penting pada angka
kelangsungan hidup pasien.

2.2. Pola Makan Wanita Lansia di Indonesia

Secara umum, intake makanan pada populasi lansia di indonesia cukup sehat karena
kaya akan biji-bijian, buah-buahan, sayur dan ikan yang mana hampir menyerupai pada
kebiasaan intake makanan populasi lansia didaerah eropa selatan yang kaya akan biji-bijian,
sayur, buah-buahan dan daging yang rendah lemak. Pada penelitian multi-center yang
dilakukan oleh Siti setiati et al mengenai pola makan popilasi usia lanjut di Indonesia
ditemukan bahwa:

- Intake energi, protein, karbohidrat, serat dan vitamin A pada pria lansia indonesia
ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan wanita lansia indonesia. Meskipun, intake
energi pada kedua populasi lansia masih dibawah rekomendasi intake energi bagi
penduduk berusia diatas 60 tahun. Intake protein juga ditemukan masih lebih rendah
dibandingkan rekomendasi dengan sumber protein utama adalah protein nabati dan
yang kedua adalah protein yang berasal dari ikan-ikanan (Setiati et al., 2013).
- Intake lemak ditemukan lebih tinggi pada wanita lansia indonesia, tetapi lebih rendah
daripada rekomendasi intake lemak. Sumber lemak pada umumnya berasal dari
minyak-minyakan, dimana minyak digunakan untuk menambah rasa (Setiati et al.,
2013).
- Intake kalsium juga lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi, yakni sebesat 800
mg/hari. Hasil ini juga lebih rendah dibandingkan pada penelitian yang dilakukan pada
populasi lansia di Australia, yakni sebesat 852 mg/hari (Setiati et al., 2013).
- Intake biji-bijian atau tanaman gandum yang tinggi berasal dari kebiasaan populasi
lansia Indonesia mekonsumsi nasi putih dan mie yang berbahan dasar nasi. Selain itu,
kebiasaan masyarakat indonesia mengkonsumsi santan sebagai penambah rasa pada
beberapa daerah, ditemukan bahwa intake santan lebih tinggi pada populasi wanita
lansia indonesia (Setiati et al., 2013).
- Intake protein yang berasal dari telur juga ditemukan lebih tinggi pada populasi wanita
lansia indonesia dibandingkan pada populasi pria lansia indonesia, sebanyak 10-15 g
telur yang mengindikasikan bahwa mereka mengkonsumsi 1 butir telur setiap 5 hari
(Setiati et al., 2013).

Berdasarkan hasil analisa multivariat, ditemukan bahwa jenis kelamin, tingkat


pendidikan, dan osteoporosis secara signifikan mempengaruhi intake makanan. Populasi
wanita lansia Indonesia ditemukan memiliki intake energi yang lebih tinggi sebesar 80%
dari rekomendasi intake energi sehari-hari. Pada penelitian ini ditemukan bahwa faktor
pendidikan berpengaruh secara langsung terhadap intake energi, dimana populasi wanita
lansia indonesia dengan tingkat pendidikan yang rendah memiliki intake energi yang
kurang berdasarkan rekomendasi intake energi sehari-hari, hampir sebanyak 80%. Pada
penelitian yang sama, ditemukan bahwa wanita lansia dengan osteoporosis akan
mengkonsumsi energi lebih banyak sebesar 80% daripada rekomendasi energi sehari-hari
dibandingkan pada populasi wanita lansia indonesia tanpa osteoporosis. Populasi ini akan
mengkonsumsi lebih banyak protein dan kalsium untuk mempertahankan kesehatan tulang
dan mencegah terjadinya patah tulang (Setiati et al., 2013).

2.3 Pengaruh Keluhan Vasomotor terhadap Kualitas Hidup Wanita Menopause

Selama menjelang menopause, turunnya kadar hormon estrogen dapat menyebabkan


munculnya berbagai keluhan vasomotor salah satu diantaranya keringat malam, merasa
kedinginan atau chills dan perasaan/semburan panas atau hot flashes. Keluhan vasomotor yang
paling umum dijumpai berupa perasaan/semburan panas (hot flashes) yang muncul secara tiba-
tiba dan kemudian disertai keringat yang banyak. Keluhan ini muncul di malam hari dan
menjelang pagi kemudian perlahan-lahan akan dirasakan juga pada siang hari (Rahman,2010).
Semburan panas ini mula-mula dirasakan di daerah kepala, leher, dan dada. Kulit di area
tersebut terlihat kemerahan, namun suhu badan tetap normal meskipun pasien merasakan
panas. Segera setelah panas, area yang dirasakan panas tersebut mengeluarkan keringat (night
sweats) dalam jumlah yang banyak pada bagian tubuh terutama seluruh kepala, leher, dada
bagian atas, dan punggung. Selain itu, dapat juga diikuti dengan adanya sakit kepala, vertigo,
perasaan kurang nyaman, dan palpitasi (DeCherney, 2006).

Dari semua keluhan atau gejala menopause gejala hot flashes inilah yang paling sering
dikaitkan dengan munculnya dampak negatif baik secara fisik maupun emosional. Hot flashes
dapat menyebabkan efek negatif dari kualitas hidup seorang wanita melalui menurunnya
kualitas tidur dari seorang wanita, dan meningkatnya tingkat kelelahan dan depresi pada wanita
menopause. Hot flushes pada wanita dalam masa transisi menopause rata-rata mulai dirasakan
2 tahun sebelum Final Menstrual Period (FMP) dan 85 persen wanita akan terus mengalaminya
setidaknya selama 1 tahun. Diantara wanita tersebut, 25 sampai 50 persen mengalami hot
flusehes selama 5 tahun, bahkan ada yang lebih dari 15 tahun (Cunningham, 2008). Durasi tiap
episode serangan hot flushes bervariasi, hingga mencapai 10 menit lamanya, dengan rata-rata
durasi serangan 4 menit (Schmitz, 2007). Frekuensi hot flushes setiap harinya bervariasi antar
individu, dimulai 1-2 kali per jam hingga 1-2 kali perminggu (Rahman, 2010). Tingginya
frekuensi wanita yang mengalami gejala hot flashes yang tinggi ini lah yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kualitas hidup dari wanita tersebut.

2.4 Pengaruh Asupan Nutrisi Terhadap Keluhan Vasomotor

Beberapa upaya dalam menghadapi masa-masa menopause dan menanggulangi


keluhan yang dapat dan mungkin muncul pada masa ini adalah dengan mengkonsumsi
makanan yang kaya akan fitoesterogen. Fitoesterogen adalah sumber esterogen yang berasal
dari polong-polongan seperti kacang kedelai, padi-padian, sebagian besar sayuran dan buah-
buahan. Pemenuhan kadar estrogen dalam tubuh oleh karena menurunnya kada estrogen pada
masa menopause dapat dilakukan dengan terapi sulih hormon dengan menggunakan pil
kontrasepsi. Namun, pada beberapa populasi wanita menopause seperti pada wanita dengan
riwayat kanker payudara atau telah menjalani pengobatan untuk kanker payudara dimana terapi
sulih hormon memiliki dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya maka alternatif
pemenuhan kadar estrogen dalam darah adalah dengan konsumsi fitoestrogen. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, dimana pada masa menopause terjadi penurunan kadar estrogen
dalam darah yang menyebabkan timbulnya estrogen withdrawal sehingga muncul keluhan
seperti semburan/perasaan panas atau hot flashes, keringat malam dan perasaan menggigil yang
sering dikeluhkan dan dampaknya pada kualitas hidup wanita (Moore, 1997).

Mekanisme kerja dari konsumsi atau intake fitoesterogen terhadap penanganan keluhan
vasomotor pada wanite peri dan pre menopause adalah sebagai alternatif dari terapi sulih
hormon, yakni menggantikan kadar estrogen yang menurun pada masa pre dan peri-menopause
sehingga keluhan yang timbul dapat diminimalisir. Seperti yang kita ketahui sebelumnya,
bahwa keluhan vasomotor berupa hot flashes muncul akibat kadar estrogen yang turun atau
terjadi fluktuasi kadar estrogen pada masa pre dan peri menopause wanita. Dengan
mengkonsumsi, estrogen yang didapatkan dari tumbuhan atau tanaman seperti kedelai dan
polong-polongan, kadar estrogen yang berfluktuasi ataupun menurun ini dapat digantikan.
Meskipun, tidak seefektif dan seefisien terapi sulih hormon. Namun, pilihan ini dapat
digunakan pada mereka dengan kontraindikasi penggunaan terapi sulih hormon.

Asupan nutrisi atau gizi yang seimbang juga memiliki pengaruh terhadap keluhan
vasomotor pada wanita menopause. Kebutuhan kalori dan zat-zat gizi pada wanita menopause
yang dianjurkan adalah disesuaikan dengan faktor-faktor seperti berat badan, tinggi badan, usia
dan aktifitas. Dimana kebutuhan kalori dan zat lainnya akan berbeda dari populasi wanita usia
produktif, pentingnya gizi seimbang adalah untuk mencegah terjadinya penimbunan lemak
pada daerah seperti perut. Oleh karena penimbunan lemak berlebihan pada usia muda akan
mempengaruhi Body Mass Index, dimana faktor ini juga akan mempengaruhi timbulnya gejala
vasomotor menopause secara langsung (Rumdasih,Paath dan Heryati, 2004).

Beberapa sumber fitoesterogen yang telah dibuktikan dapat mengurangi keluhan


vasomotor pada wanita menopause, antara lain:

- Black cohos atau Cimicifuga racemosa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Illinois di Chicago/National Institute of Health Center for Botanicals
Dietary Supplements Research in Women’s Health, menyatakan bahwa tananam ini
dapat mengurangi keluhan vasomotor seperti hot flashes dan memperbaiki gangguan
mood melalui efek serotonergik yang dimiliki (Geller and Studee, 2005).
- Kedelai dan isoflavone. Tumbuhan dalam kategori ini memiliki kadar fitoesterogen
seperti formononetin, biochanin A, daidzein, dan genistein. Meskipun kandungan
esterogen yang dimiliki dan efeknya terhadap keluhan vasomotor pada wanita
menopause masih belum sepenuhnya diketahui. Namun, berdasarkan perbandingan
pada daerah dengan konsumsi kedelai yang tinggi seperti asia dibandingkan dengan
daerah dengan konsumsi kedelai yang rendah seperti di amerika, wanita pada
menopause di daerah dengan konsumsi tinggi kedelai melaporkan keluha atau gejala
vasomotor yang lebih rendah (Geller and Studee, 2005).
- Cengkeh merah atau Trifoilum pretense. Tanaman ini memiliki kandungan yang sama
dengan kedelai tetapi kadar yang lebih tinggi pada zat o-methylated isoflavones,
formonentin dan biochanin A yang dipercaya memiliki efek menyerupai estrogen
sehingga mampu mengurangi keluhan dan gejala vasomotor pada wanita menopause
(Geller and Studee, 2005).

2.4.1 Metabolisme dan Penyerapan Makanan pada Lansia


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme dan penyerapan
nutrisi pada wanita menopause baik yang berupa fisiologis maupun patologis. Beberapa
perubahan fisiologis pada lansia adalah: berkurangnya indera perasa dan pengecap,
meningkatnya aktivitas sitokin, melambatnya pengosongan lambung, perubahan distensi dari
lambung dan faktor hormonal.

- Berkurangnya indera perasa dan pengecap. Terdapat laporan bahwa pada usia 65-80
tahun terdapat penuruanan ketajaman indera perasa dan pengecap sebanyak >60%. Hal
ini tentu akan mempengaruhi nafsu makan sehingga berkaitan dengan jumlah intake
makanan dari pasien. Pada akhirnya hal ini akan mengakibatkan diet pada populasi
lansia yang tidak bervariasi hingga akhirnya muncul malnutrisi pada zat-zat
mikronutrien(Geller and Studee, 2005).
- Berkurangnya kadar sitokin yang beredar dalam tubuh, seperti IL1, IL6 dan TNFα
memiliki pengaruh dalam berkurangnya massa otot skeletal dalam tubuh, yang akan
mempengaruhi komposisi lemak tubuh(Geller and Studee, 2005).
- Perubahan distensi lambung. Dengan seiring bertambahnya usia, terjadi perubahan
berupa gangguan relaksasi reseptif pada fundus gaster, menyebabkan pengisian cepat
antral gaster dan distensi, sehingga pada akhirnya pada populasi lansia akan muncul
gejala berupa mudah kenyang (Geller and Studee, 2005).
- Gangguan pada hormon neuropeptide Y dan pro-opiomelacortin yang dihasilkan oleh
hipotalamus yang berperan dalam rasa lapar, cholecystokinin (CCK) dan pancreatic
polypeptide (PPY) pada perifer yang berperan dalam rasa kenyang, sehingga terjadi
imbalans akan rasa lapar dan rasa kenyang. Oleh karena penurunan dari motilitas usus
dan pengosongan lambung kadar PPY dan CCK pada darah akan tetap tinggi, dengan
efek negatif pada neuropeptide Y dan pro-opiomelacortin yang akan menimbulkan rasa
lapar yang muncul lama, dan rasa kenyang yang cepat timbul (Geller and Studee, 2005).
- Kadar leptin pada populasi lansia yang cenderung lebih tinggi akan menimbulkan efek
bahwa tubuh sudah memiliki kadar lemak yang cukup dan tidak butuh asupan makanan
tambahan (Geller and Studee, 2005).
- Kadar insulin yang meningkat, yang merupakan hormon penanda rasa kenyang dengan
cara menstimulasi sinyal leptin ke hipotalamus dan menghambat gherlin. Pada populasi
lansia cenderung terjadi menurunnya toleransi glukosa dan meningkatnya kadar insulin,
sehingga akan memperkuat stimulasi sinyal leptin dan menurunnya stimulasi gherlin
(Ahmed and Haboubi, 2010).
Perubahan fisiologis
↓ ekspenditur dalam penuaan:
energi
- Hormonal
- Sitokin
Proses anoreksia
- ↓indera perasa
dalam penuaan
Perubahan patologis: dan ngecap
- Perubahan
- Kondisi dalam saluran
kesehatan pencernaan
- Obat-obatan
- Psikologis ↓ olahraga
- Sosial
Gambar 2.1 Diagram faktor-faktor yang berpengaruh dalam metabolisme dan
penyerapan gizi pada populasi lansia (Ahmed and Haboubi, 2010)

2.5 Penilaian Status Gizi

Penilaian komprehensif status gizi meliputi pengukuran anthropometri, nilai-nilai


laboratorium, pemeriksaan fisik, dan riwayat pasien. Pengukuran antropometri termasuk
diantaranya tinggi badan, berat badan, massa index tubub atau body mass index, pengukuran
massa lemak tubuh dan pengukuran massa otot tubuh. Pengukuran nilai laboratorium termasuk
diantaranya pemeriksaan albumin, retinal-binding prealbumin, transferrin, pemeriksaan darah
lengkap, serum folat, vitamin B12 dan kolesterol. Riwayat konsumis makanan dalam 24 jam
atau catatan konsumsi makan selama 3 hari sebelum pemeriksaan dapat membantu dalam
penilaian status gizi (Culross, 2008).
Rekomendasi dari the Hartford Foundation menyarankan penggunaan penilaian nutrisi
mini digunakan sebagai alat skrining awal. Selain itu, terdapat alat lain yang dapat digunakan
seperti skala depresi geriatri, mini mental state exam (MMSE), dan index katz. Penilaian
menggunakan penilaian nutrisi mini contohnya, adalah sebuah alat skirining yang digunakan
pada populasi usia lanjut (usia>65 tahun) yang terdiagnisa dengan malnutrisi atau memiliki
resiko malnutrisi. Alat penilaian ini diterbitkan pada tahun 1994 oleh Guigoz et al,lalu pada
tahun 2009 diterbitkan oleh Kaiser et al, yang terdiri atas 6 pertanyaan mengenai intake
makanan, penurunan berat badan, mobiloitas tubuh, stres psikologis atau penyakit akut, adanya
demensia atau depresi dan massa index tubuh (body mass index atau BMI). Ketika pengukuran
berat badan dan tinggi badan tidak bisa dilakukan sebagai gantinya dapat dilakukan
pengukuran lingkar kaki. Penilaian ini menggunakan sistem skoring dengan nilai, 12-14
dianggap normal, 8-11 adalah indikasi resiko malnutrisi, 0-7 adalah malnutrisi. Berikut adalah
contoh penilaian status gizi menggunakan penilaian nutrisi mini atau mini nutritional
assessment (MNA) (Culross, 2008).
Gambar 2.2 Mini Nutritional Assessment (MNA) (Kaiser, 2009)

2.6 Optimalisasi Diet pada Lansia untuk Mengurangi Keluhan Vasomotor

Menu diet dengan gizi seimbang pada wanita dalam fase menopause antara lain:

- Karbohidrat. Merupakan zat gizi yang dikonsumsi dalam presentase paling besar pada
menu makanan sehari-hari, yakni mencapai 55% dan jenis karbohidrat yang dianjurkan
adalah karbohidrat kompleks seperti: biji-bijian utuh atau wholegrain, roti dan pasta,
kacang-kacangan, nasi, sayuran dan buah-buahan. Dianjurkan untuk mengurangi
konsumsi karbohidrat sederhana dan gula (Kasdu, 2004).
- Protein. Konsumsi protein tidak lebih dari 15% jumlah kalori dan memperbanyak
protein dari sumber nabati dibanding dengan sumber hewani (Kasdu, 2004).
- Lemak. Konsumsi lemak yang dianjurkan adalah sebesar 20-30% dari seluruh jumlah
kalori, mengurangi kadar kandungan lemak jenuh dan memperbanyak kadar kandungan
tak jenuh (Kasdu, 2004).
- Vitamin dan mineral. Salah satu vitamin yang asupannya harus diperhatikan pada
populasi wanita menopause adalah vitamin D. Vitamin D memiliki fungsi
meningkatkan absorbsi atau penyerapan kalsium dan juga penting dalam menjaga
densitas atau kekuatan tulang. Dianjurkan konsumsi kalsium sebesar 1000-1200 mg
dan vitamin D sebesar 500 IU perhari untuk mencegah terjadinya osteoporosis (Kasdu,
2004).

Anda mungkin juga menyukai