Anda di halaman 1dari 8

Judicial Behavior Dalam Perspektif Hukum Profetik

Saepul Rochman

Mahasiswa Program Magister (S-2) Ilmu Hukum (MIH)


Universitas Muhammadiyah Surakarta
Surakarta, Indonesia
Email: rochmanson@gmail.com

Abstrak — Kebijakan hukum dalam Judicial Behavior agar tidak saling mengalahkan satu sama lain, khususnya
semestinya menjadi pembahasan yang serius berkaitan untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang
dengan beberapa peristiwa hukum yang terjadi dewasa independen sebagai bagian dari kebijakan penegakan
ini. Pada kenyataannya, apabila legislator ingin hukum. Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) pada
mempertahankan model hukum positivistik diperlukan
konsistensi atas tujuan kepastian hukum itu sendiri,
gilirannya merespon kehendak kaum reformis dengan
berupa norma yang lebih terperinci, Undang-undang melakukan amandemen ketiga atas UUD 1945, yang
pada tahapan ini harus siap digunakan tanpa selanjutnya melahirkan komisi yudisial, dengan berbagai
memerlukan penafsiran. Oleh karena itu, artikel ini tugas, otoritas dan eksistensinya dijamin berdasarkan
mencoba mengeksplorasi proses implementasi Pasal 24B UUD 1945 dan kemudian diatur dalam UU
kekuasaan kehakiman, khususnya implikasi putusan No. 22 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No.
pengadilan terhadap kebijakan politik hukum yang 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.1
lebih luas. Pembahasan atas kajian tersebut akan Mahfudh MD sebagaimana dikutip oleh Absori
dibahas dengan menggunakan metode filsafat dan menyatakan keprihatinannya atas kenyataan yang
perbandingan hukum dengan menggunakan kerangka
teori hukum profetik. Berdasarkan hasil penelitian
ditimbulkan dari politik penegakan hukum di Indonesia,
diperlukan beberapa cara untuk mentransendensikan dimana ditemukan berbagai ketidaksesuaian antara zona
putusan-putusan pengadilan sebagai usulan untuk das sein dengan das sollen. Mahfud menyesalkan retorika
mengubah kebijakan, selain perlunya regulasi yang hukum yang menjanjikan kepastian tidak mampu
mengamanatkan keabsahan putusan hakim sebagai menggaransi adanya hukum yang dapat diprediksi secara
sumber legislasi. pertama, melakukan inventarisasi pasti hingga setiap orang mendapatkan perlakuan yang
terkait putusan-putusan yang serupa; Kedua, sama di hadapan hukum, peraturan-peraturan tidak
melakukan kuantifikasi terhadap berbagai undang- mampu menumbangkan kesewenang-wenangan, sehingga
undang dan peraturan yang digunakan dalam putusan- pada saat yang sama menegakkan keadilan, hukum tidak
putusan tersebut; Ketiga, melakukan sinkronisasi
vertikal maupun horizontal atas peraturan
mampu menampilkan dirinya secara eksplisit sebagai
perundangan-undangan tersebut; Keempat, menilai pedoman yang harus diikuti, bahkan adakalanya
implikasi putusan-putusan di masyarakat; Keempat, kehadiran norma baru merupakan awal baru konflik
menyajikannya sebagai naskah akademik atau risalah sosial dan tidak semua hal dapat dijawab oleh hukum.
lainnya yang berguna untuk menghindari adanya Produk-produk hukum lebih banyak terderivasi dari
tindakan yang serupa dikemudian hari. kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
yang dominan.2
Kata kunci: Pengadilan, hukum, putusan, Kebijakan, Pengaruh hakim dalam penegakan hukum di Amerika
profetik terutama imbas sosial yang terjadi akibat suatu putusan
pengadilan menurut Neil Duxury, sedikit banyak
I. PENDAHULUAN
dipengaruhi oleh asal universitas, dukungan riset,
Latar Belakang perpustakaan dan jurnal, dimana hakim tersebut belajar
Penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh ilmu hukum. Faktor lainnya adalah hubungan antara
kualitas hakim, melalui badan peradilan aturan-aturan
hukum yang semula tidak memiliki kemampuan untuk
mengikat dan memaksa ditafsirkan sehingga mampu 1
Syahuri, Sistem Rekrutmen Hakim Berdasarkan Tiga Undang-Undang
memerintahkan, mengeksekusi dan menghukum suatu Bidang Peradilan Tahun 2009 Untuk Mewujudkan Peradilan Bersih,
tindak kejahatan. Pengadilan seringkali dianggap sebagai Makalah disampaikan pada seminar dengan tema, “Pembaharuan
upaya paling rasional untuk memperoleh keadilan. Posisi Sistem Hakim Sebagai Pondasi Mewujudkan Peradilan Bersih”, yang
yang sangat dominan tersebut disadari oleh kaum diselenggarakan di Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, Bandung,
pada tanggal 10 Oktober 2013, hal. 2-3.
reformis di Indonesia pada tahun 2008, sehingga mereka
mendesakan rancangan amandemen UUD 1945 yang 2
Absori, Politik Hukum Menuju Hukum Progresif, (MU Press: Surakarta),
bertujuan untuk menata legislatif, eksekutif dan yudikatif 2013, hal. 251.

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


167 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4
lembaga-lembaga peradilan dan fakultas yang harus diminimalisasi dengan hadirnya klinik hukum (lembaga
tumbuh dalam jalinan yang sehat.3 bantuan hukum) di sekolah hukum.
Persoalan yang melanda hampir setiap struktur Sentralitas hukum positivistik yang bertumpu pada
hukum yang ada di Indonesia adalah persoalan kepastian hukum membuat masyarakat dengan sukarela
profesionalisme aparat penegak hukum, seperti maupun terpaksa menerimanya atas dasar atribusi
penyuapan dan korupsi serta menerima janji dukungan normatif. Apabila hukum dipergunakan oleh aparatnya
politik agar nanti setelah menjabat dilindungi kepentingan sebagai tajam kepada masyarakat yang lemah, dan
usahanya dan lebih jauhnya memberikan konsesi bernegosiasi dengan orang yang memiliki hubungan
kemudahan perizinan, keringanan upah buruh dan kepentingan dengan aparat, bukan merupakan bagian
seterusnya. Kenyataan ini berakibat pada produk-produk yang dapat dimusyawarahkan. Bahkan apabila aturan
hukum yang menyempal dari tujuannya sebagai upaya hukum tumpul ke atas yang menunjukan bahwa pasal-
paling obyektif untuk mencapai keadilan. Persoalan- pasal hukum tersebut tidak berlaku bagi kelas elit sosial
persoalan tersebut pada akhirnya memerlukan atau menguntungkan orang-orang yang berkuasa dan
dibentuknya berbagai institusi yang bertugas mengawasi mereka yang dapat menjamin kebebasan dengan tebusan
personil hukum yang pada gilirannya memerlukan denda. Hukum yang demikian akan dengan mudah
pembiayaan yang memadai. menjadi hukum yang bekerja pada ranah marjinal, tidak
Disamping itu proses penegakan hukum dan keadilan menyelesaikan persoalan sosial yang semestinya dan
bertalian dengan pendidikan hukum atas para aparat menjadi sumber ketidakpercayaan publik.
penegak hukum (pengemban hukum formil), dalam Formulasi Permasalahan
berbagai bentuknya, rekrutmen hakim, jaksa dan Berdasarkan fokus studi tersebut, maka masalah
kepolisian di Indonesia diterpa isu yang kurang yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan
menggembirakan. Penelitian yang dikeluarkan oleh sebagai berikut :
Komisi Yudisial mengenai profesionalisme hakim pada 1. Bagaimanakah Judicial Behavior menurut
tahun 2008, yang menilai hakim Indonesia menilai adanya hukum positif?
beberapa masalah (kekurangan) menyangkut 2. Bagaimakah Judicial Behavior menurut hukum
profesionalisme hakim, terutama yang berkaitan dengan profetik?
aspek-aspek penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan Tujuan dan Manfaat Penelitian
berpikir yuridis, kemahiran yuridis, kesadaran serta Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
komitmen profesional. Untuk itu perlu dipertimbangkan proses implementasi bagi kekuasaan kehakiman
pengakomodasian berbagai materi pada saat dilakukan khususnya implikasi putusan hakim dari perspektif teori
tes bagi calon hakim maupun pada saat dilakukannya hukum profetik
pendidikan dan pelatihan bagi hakim. Pada satu sisi (pada Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian
saat tes seleksi calon hakim), materi-materi terkait ini adalah dengan tereksplorasinya model putusan hukum
aspek-aspek profesionalisme yang diakomodasi tersebut di Indonesia berbasis hukum profetik diharapkan akan
dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai bermanfaat dalam pemilihan kebijakan politik penegakan
bagaimana kapasitas dan kompetensi calon hakim, hukum.
sedangkan di sisi lain dapat dijadikan sebagai media untuk Kajian Pustaka
meningkatkan kapasitas dan kompetensi hakim ketika Istilah Judicial Behavior berkenaan dengan
mereka mengikuti pendidikan dan pelatihan.4 perilaku-perilaku hakim dalam proses pemeriksaan
Demikian juga tidak adanya hubungan yang intens perkara, menurut Lawrence Baum perilaku ini terdiri
antara pengadilan dengan sekolah-sekolah hukum dari tiga tipe perilaku yang terbagi menjadi, perilaku yang
menimbulkan persoalan yang tidak sederhana, lulusan- semata-mata mendasarkan pada model tindakan hukum,
lulusan hukum akan kehilangan pengetahuan untuk perilaku hakim yang mendasarkan pada sikap (attitude)
mengerti dan memahami proses bekerjanya hukum pada dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga atau
level aksi (Law In action), tidak hanya mengetahui hukum interaksi dengan pihak lain, dan perilaku hakim yang
pada tingkatan undang-undang (Law In the Books), bertipe strategis. Perilaku hakim yang dikategorikan
diskursus ini pernah diperdebatkan oleh Roscoe Pound murni legal adalah perilaku hakim yang secepatnya
dan Llewellyn.5 Kesenjangan antara hukum di perkuliahan menafsirkan hukum dengan mendasarkan kepada kasus
dan hukum pada ranah praktikal ini, memang dicoba alternatif (yurisprudensi) dan doktrin-doktrin hukum
dengan landasan prestasi-prestasi hakim tersebut.
3
Neil Duxury, Jurists and Judges An Essay on Influence, (Hart Publishing:
Sebaliknya hakim yang dimasukkan dalam kategori kedua,
Oxford-Portland Oregon), 2001, hal. 24. adalah seorang hakim yang menginginkan kebijakan
4
publik yang baik sebab itu ia memilih alternatif-alternatif
Penelitian yang dikeluarkan oleh Komisi Yudisial mengenai
profesionalisme hakim pada tahun 2008, yang menilai hakim dengan menggunakan prestasi sebagai kebijakan. Tipe
Indonesia menilai adanya beberapa masalah (kekurangan) terakhir adalah seorang hakim yang menginginkan
menyangkut profesionalisme hakim. Lihat Khudzaifah Dimyati, J. putusan publik yang baik dalam hubungannya dengan
Johansjah, dan Kelik Wardiono, Potret Profesionalisme Hakim dalam termaksimalkannya berbagai implikasi dari putusannya di
Putusan, (Komisi Yudisial Republik Indonesia: Jakarta), 2008, hal. 162.
5
Morton J. Horwitz, the Transformation of American Law 1870-1960:
The Crisis of Legal Orthodoxy, Oxford University Press. Inc, (Oxford:
1992), hal. 173.

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


168 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4
seluruh negara bagian.6 Judicial behavior dalam makalah ini pemaknaan atas apa yang disampaikan Ken Wilber
berkenaan dengan tipe yang terakhir. tentang kesadaran-kesadaran manusia.9
Politik penegakan hukum Indonesia yang berasal Apabila seseorang memikirkan dan menyikapi
dari sistem hukum kolonial Belanda, tidak memungkinkan suatu objek, informasi dan fenomena, baik sebagai proses
putusan hakim, praktis dapat mengubah kebijakan politik. pengetahuan maupun sehari-hari, akan ada tiga sikap yang
Di pengadilan tingkat pertama (PN) hakim hanya dapat muncul dari dirinya berupa sikap abstain, afirmasi,
melakukan vonis atas pelanggaran dan kejahatan tetapi ataupun memvalsfikasinya. Sikap abstain atau
tidak dapat mengubah dan langsung dirujuk sebagai mengabaikan terjadi disebabkan karena kesangsian akan
referensi untuk menjadi politik hukum pidana dalam kebenaran yang dialami oleh seseorang meskipun secara
cakupan yang lebih luas. Demikian juga pada lembaga subjektif dan a priori, kesangsian ini membuatnya berada
pengadilan tata usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah berdiam di tempat dan menghalanginya untuk bersikap
Agung (MA putusan hakim hanya mampu membatalkan. dan bertindak. Sikap abstain dapat digambarkan sebagai
Terkecuali Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kasus ambiguitas sempurna disebabkan tidak adanya
pemilihan umum ditemukan adanya putusan yang kecenderungan mengafirmasi atau memvalsifikasi suatu
membuat kebijakan (ultra petitum) seperti pemilu ulang di objek, informasi dan fenomena.
beberapa daerah yang dijadikan objek sengketa. Apabila yang dimaksud skeptisisme adalah
Kerangka Teoritik kesangsian jenis ini maka metodologi keraguan yang
Teori hukum profetik adalah teori yang dipopulerkan Rene Descartes, adalah sesuatu hal yang
mengintegrasikan agama, sains dan ilmu yang tidak akan menghasilkan pengetahuan atau manfaat.
mendasarkan pada pandangan Kuntowijoyo tentang ilmu Sebab apabila ada kecenderungan pada penolakan maka
sosial profetik. Dasar konstruksi normatif menurut teori yang terjadi adalah teori negasi atau valsifikasi. Sikap
ini adalah perintah-perintah Allah dan Nabi yang memvalsifikasi, terjadi karena adanya dua variabel
tercantum dalam Al-Kitab dan Al-Hikmah baik dalam psikologis yang memiliki tingkatan-tingkatan seperti
bentuk pernyataan (hadits), pembiaran (isyarat) maupun nampak di alam fisik berupa membantah dan melawan
tindakan (Sunnah). Substansi norma tersebut meliputi; 1) secara fisik. Kesangsian tersebut telah didukung oleh
kewajiban akan disertai dengan prestasi dan/atau sejumlah bukti-bukti yang menurutnya mengandung
penghargaan tertentu apabila dilakukan baik secara kebenaran karena itu dari kesangsian telah mengalami
individual maupun kolektif; 2) anjuran untuk dilakukan, transformasi menjadi sikap tertentu berupa bantahan
tidak memuat sanksi umumnya terdapat kerugian secara atau penolakan.
individu apabila tidak dilakukan berupa hilangnya prestasi; Sementara sebaliknya, apabila seseorang
3) perkenan apabila dinilai tidak membahayakan diri atau cenderung memilih pada kutub X yang menurutnya lebih
orang lain; 4) perbuatan sia-sia umumnya tidak memuat tepat, tetapi tidak membantah kemungkinan adanya
sanksi hanya dianjurkan untuk meninggalkan perbuatan kebenaran pada kutub Y, kondisi batinnya sedang berada
itu; 5) Pelanggaran dikenakan sanksi ringan dan sosial; pada tahapan menduga bahwa salah-satunya lebih baik
dan 6) Larangan yang memuat sanksi yang eksplisit atau paling benar. Adapun jika seseorang memilih sudut
apabila dilakukan.7 Y, dan menolak kemungkinan benar pada sudut X, maka
Namun demikian, perintah-perintah nabi harus ia telah sampai pada kemantapan memilih yang ditandai
berdialektika dengan realitas dan kesadaran manusia dengan sikap afirmasi; mempercayai dan/atau meyakini.
untuk menciptakan norma hukum. Setidaknya terdapat 4 Penolakan hati terhadap yang kemungkinan kebenaran
(empat) cita hukum profetik 8 yang meliputi aktivisme pada sudut yang lain bukan merupakan tanda keraguan
historis (amal), humanisasi (kebudayaan dan sains), terhadap kebenarannya, namun merupakan pengenalan
liberasi (ilmu) dan transendensi (iman dan “melampaui”). positif terhadap kesalahan atau kepalsuannya. Inilah
Cita hukum profetik terkumpul dalam bagian pertama, petunjuk atau bimbingan yang bersifat intuitif dari ilahi
sebab suatu tindakan fisikal merupakan hasil dari (hidayah).10
internalisasi kebudayaan, sains, ilmu dan keimanan, ranah Sikap afirmasi pada dasarnya disebabkan varibel
inilah yang melahirkan transformasi psikologis. psikologis berupa rasa mempercayai bahwa objek
Tidak berhenti pada transformasi psikologi, tersebut dapat didekati atau tidak berbahaya tanpa
proses ini dilanjutkan dengan eksternalisasi untuk sampai memerlukan pembuktian. Ini merupakan tahap keimanan
pada transformasi kultural, sosial sistemik, hukum suatu dalam pengertian “percaya” sebagai suatu kondisi jiwa
bangsan dan hukum internasional yang dijalankan dengan yang berada pada kecenderungan memilih bertindak
semangat objektifikasi. Pandangan ini merupakan secara a priori, tanpa paksaan dan spontanitas serta tanpa

9
Ken Wilber memadukan pandangan budayawan postmodern dan
teknolog modernis. Bagi Wilber manusia memiliki empat kuadran
kesadaran; subjektifitas (psikologi), kuadran objektifitas (fisikal),
6
Lawrence Baum, Judges and Audiences: A Perspective on Judicial Behavior, kuadran intersubjektif (kultural), dan kuadran interobjektif (sosial
(Princeton University Press: New Jersey), 2006, hal. 6. sistemik). Lihat Ibnu Rusydi, Paradigma Pendidikan Agama Integratif-
Transformatif, Jurnal Pendidikan Islam: Volume I, Nomor 1, Juni,
7
Substansi norma tersebut diderivasi dari: wajib/fardlu, mandub, mubah, 2012/1433, hal. 113-114.
lagh, makruh dan haram sebagaimana dikenal dalam fikih Islam. 10
Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan), 1995, hal.
8
QS. Ali Imran (3): 110 31.

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


169 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4
pertimbangan mendalam karena itu ia lebih bersifat oleh kualitas eksistensinya dan demikian pula imanensi
intuitif atau instingtif. hukum pada jenjang wujud yang sama tersebut,
Variabel psikologis berupa sikap mempercayai merupakan pertemuan medan transendensi dan imanensi
ini akan naik pada tahap keyakinan apabila didasarkan pada jenjang hirarki norma yang akan menghasilkan suatu
pada suatu bukti tertentu baik bukti tersebut disusun risalah yang berfungsi sebagai rahmat bagi semesta alam
berdasarkan sumber yang benar, proposisi rasional dan dan norma baru yang berasal pada risalah itu. Sementara
empiris. Apabila bukti-bukti tersebut sampai pada pertemuan antara keimanan dan kemajuan sains akan
kualitas dan kuantitas yang representatif, dan telah menghasilkan sikap yang adil., sebab seseorang telah
mengalami pengujian-pengujian tertentu maka keyakinan mengetahui posisinya dan misi yang menjadi bebannya
ini akan membawa kepada ilmu atau sikap ilmiah. Dengan dalam struktur integralisme ontologis alam semesta.
demikian, kesadaran manusia bertransformasi dari Secara aksiologis hukum profetik meng-
keimanan, keyakinan, ilmu dan tindakan-tindakan embangkan konsep keadilan intersubjektifitas dan
tertentu hingga mempengaruhi lingkungan fisik. interobjektifitas yang berimplikasi pada pengadopsian
Perbuatan-perbuatan yang tidak mendasarkan kembali tatanan yudisial yang mendasarkan pada tata
pada intuisi yang salah dan keliru dalam menerjemahkan hukum masyarakat nusantara setelah berabad-abad
petunjuk, pada dasarnya adalah tindakan yang tercela, terkubur akibat kolonialisme yang tidak hanya pada
merugikan, dan diingkari oleh hati nurani yang memiliki penguasaan sumber-sumber produksi tetapi juga pada
konsekuensi yang berbeda-beda, karena itu pada waktu tata hukum yang telah ada terutama struktur dan
yang sama, teori hukum profetik juga merekonstruksi substansi hukum di Nusantara.
epistemologi hukum dengan diafirmasinya intuisi, dan Kolonisasi atas struktur hukum ini terjadi
wahyu, juga pendekatan transmisional selain ragam selama tiga tahap, pertama dengan dibentuknya Kantor
pendekatan yang telah ada. Terutama menegasi Agama (Kantoor Voor Inlandsche Zaken), 14 dan
epistemologi keraguan Cartesian yang hingga saat ini mengirimkan Snouck Hourgonje yang dibayar mahal, ia
mendominasi penelitian hukum. menjabat sebagai kepala kantor ini, program ini
Realitas juga demikian adanya memiliki dimensi- merupakan kelanjutan dari program sebelumnya, dimana
dimensi tertentu yang berarti adanya jenjang hirarkis Hugo Grotius seorang aktor pemikiran VOC pada tahun
tertentu dari alam material hingga primasi eksistensi. 1613 pernah diutus ke London untuk menguasai hukum
Tesis ini meyakini bahwa alam semesta memiliki struktur tanah dan perdagangan serta cara-cara halus untuk
ontologis yang bertingkat; struktur fisik-metafisik, mengatasi pergolakan.15
maupun imanen-transenden. 11 Akibatnya terdapat dua Pada tahap kedua terjadi dengan adanya
bentuk hukum umum. Hukum fisik merupakan imanensi dualisme hukum, atau ditambahkannya pengadilan untuk
dari hukum yang transenden sehingga keberadaannya Timur Asing dan Eropa dengan adanya peraturan tentang
menjadi sangat bergantung pada aspek transendentalnya. Organisasi Peradilan Reglement op de Rechterlijke
Integrasi antara hukum yang fisik dan metafisik Organisatie (RR0 1847) dengan orang belanda sebagai
mengandung dua konsep; keimanan yang kualitasnya hakim, yang menghapus kewenangan Wedana dan Bupati.
bergerak naik kepada fitrahnya, dan ilmu yang Tata peradilan yang berakar pada tradisi nusantara dan
substansinya menurun menyesuaikan dengan berbagai Islam (adat), menurut Soetandyo Wignjosoebroto
bentuk-bentuk kenyataan. setidaknya terdapat empat lembaga peradilan (mulai dari
Representasi tertinggi yang hadir di dunia dari tingkat distrik hingga pusat) dan tiga lembaga lainnya di
transendensi adalah wahyu (nubuwah)12 dan konsekuensi luar lembaga-lembaga tersebut, seperti Pengadilan
akhir dari imanensi adalah realitas (kauniyah) dan manusia Swapraja yang dikelola oleh Raja-Raja, Sultan dan
(insaniyah. 13 Interkoneksi antara wahyu, realitas dan Pangeran-Pangeran atau Majelis Penghulu (Priester Raad)
manusia pada jenjang suatu wujud yang dapat dicapai yang diakui pada tahun 1882 melalui Koninlijk Besluit
tertanggal 19 Januari 1882 No. 24. Badan penyelesaian
sengketa lainnya adalah Pengadilan Desa (Desa
11
Integralisme ontologis diartikan sebagai sebuah struktur antara Rechtpraak) yang terletak di zona-zona yang tidak
manusia, kosmologi dan kekuasaan Tuhan: manusia dan alam sebagai
manifestasi dari kekuasaan Tuhan. Manusia sebagai struktur
terjangkau pemerintah. 16
terbawah bersama-sama dengan dunianya baik mikrokosmos dan
14
makrokosmos, maupun transendental dan eskatologis, dan Tuhan Kantor ini dibentuk untuk menjamin kedudukan pemerintah Hindia
sebagai primasi di alam semesta. Lihat. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Belanda melalui saran-sarannya diharapkan dapat mengendalikan
Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Teraju (PT. Mizan Publika: masyarakat Jajahan. Karena itu kantor ini sering menjadi bagian telik
Jakarta), 2004, hal. 62. sandi, berperan membela umat Islam, tetapi bukan berarti menjadi
12
pembela Islam, karena bukan itu yang menjadi alasan dan tujuan
Mohammed Shahrour, Al-Kitab wa Al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah, pendirian kantor itu. Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda:
diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dalam edisi Indonesia Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken, (LP3ES: Jakarta), 1985, hal. 211.
menjadi, “Prinsip dan Dasar-Dasar Hermeneutika Kontemporer”,
15
(Yogyakarta: ELSAQ) , hal. 199 Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan
13
Islam di Indonesia (1596-1942), terj. Suryan A. Jamrah, (Mizan:
Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, alih Bandung), 1995, hal. 52.
bahasa: Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Gunawan Muhammad,
16
(Yogyakarta: Jalasutra), 1982, hal. 148. Pandangan Iqbal tersebut Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional
dijadikan referensi oleh Kuntowijoyo untuk menentukan ontologi Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan
ilmu sosial profetik. Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-1990), (Jakarta: Raja
Epistemologi Metodologi dan Etika, Op.Cit, hal. 27. Grafindo), 1995, hal. 73.

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


170 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4
Tahap ketiga adalah pada masa pendudukan yang menjadikan tokoh agama sebagai kanselor, UU N0.
Jepang, undang-undang peralihan Soekarno meneruskan 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi
unifikasi badan-badan peradilan tersebut dengan alasan Papua yang memberikan kewenangan kepada tetua adat
anti-kolonisasi, yang berlaku hingga saat ini mulai dari untuk memeriksa perkara perdata adat dan pidana dalam
Pengadilan Tingkat Kabupaten atau Konta (Pengadilan batasan sebagai upaya rekonsiliasi, tidak merupakan
Negeri ), Koto Hoin (Pengadilan Tinggi) dan Soko Hoin penjatuhan penjara atau kurungan.20
(Mahkamah Agung), dengan tetap mengurangi dan
membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan II. METODE PENELITIAN
swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang Penelitian ini menggunakan metode
bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam perbandingan hukum yang dipadu dengan filsafat hukum
Tinggi.17 profetik. Data-data yang dikumpulkan berdasarkan kajian
Sementara tesis yang ditulis oleh Mason C. kepustakaan dan kemudian dianalisis secara deskriptif,
Hoadley menyajikan fakta, adanya kolonisasi atas metode interpretasi dan hermeneutik. Analisis dengan
substansi hukum ini yang terjadi pasca pembubaran metode deskriptif dilakukan karena penelitian ini
hukum Jawa, sebelumnya telah didahului oleh perubahan bermaksud untuk memperoleh gambaran secara
bentuk ke dalam format hukum Jawa-Belanda, yang pada sistematis dan objektif. Hasil analisis pada tahap pertama
gilirannya menggantikan hukum yang hampir 100 tahun tersebut, kemudian dilanjutkan dengan analisis melalui
lamanya berlaku di kalangan mayoritas pribumi metode Interpretasi dan hermeneutik (yang dilakukan
nusantara. secara simultan) untuk menemukan makna dibaliknya.
Akibatnya hukum yang berlaku pada suatu III. HASIL DAN PEMBAHASAN
wilayah akan terbentuk dengan dua referensi, hukum 1. Judicial Behavior dalam Pandangan Hukum
Indiesche Belanda yang dalam kasus ini menjadi hukum Positif
Republik Indonesia dan hukum adat yang memuat Islam Positivisme hukum memiliki sejumlah anggapan-
sebagai komponen yang penting dan telah menjawab anggapan, sebagaimana institusi, lebih tepatnya birokrasi
kondisi-kondisi sosial ekonomi baru diciptakan formil, hukum dianggap sekumpulan peraturan yang
Imperalisme, suatu tahapan awal globalisasi.18 dirumuskan oleh kekuasaan Negara. Pada bagian ini
Menurut hukum profetik, selain hakim hukum merupakan lembaga penaklukan daripada
memutuskan dengan objektif, diperlukan juga basis pengayoman,
transendental yang melapisi putusan hukum yang Orientasinya yang terlepas dari moralitas,
dirumuskannya. Landasan transendental tersebut membuat para pembuat aturan merumuskan hukum
disesuaikan dengan agama pelaku dan korban. Apabila sebagai bersifat netral dan bebas nilai (objektif),
terjadi persoalan hukum dalam mazhab yang sama, meskipun pembuat peraturan memiliki kepentingan
proses judisial dilakukan secara intersubyektif. sendiri-sendiri. Sebab hukum pada dasarnya adalah
Dalam hal terjadinya persilangan persekutuan produk politik, tidak berhenti disitu para pembuat
hukum antara pelaku dan korban, konstruksi hukum yang hukum adalah pejabat negara yang malangnya dapat dibeli
dipergunakan untuk memeriksa perkara merupakan hasil oleh pengusaha demi mendesakkan aturan kemudahan-
permusyawaratan dari para pemuka agama, terbatas kemudahan berinvestasi dengan harga yang efisien dan
pihak-pihak yang berperkara. Proses yudisial dalam upah buruh yang murah, karena itulah bagi para penganut
hukum profetik seperti bandul jam akan bergerak ke aliran studi hukum kritis konsep netralitas hukum adalah
ranah intersubyektif apabila terjadi perkara hukum ataus suatu absurditas.21
engketa pada persekutuan hukum yang sama, dan Dengan posisi hukum yang bertujuan demi
kembali ke ranah interobjektifitas apabila bertalian penegakan aturan, hukum adalah hukum, terlepas dari
dengan para pihak yang tunduk pada persekutuan adat, suatu sebab-akibat yang timbul dari kenyataan sosial,
agama, dan mazhab hukum yang berbeda.19 tetapi ia lebih tepatnya ada disebabkan karena adanya
Kecenderungan ke arah tata hukum nusantara norma yang memiliki ujaran keharusan atau perintah.
prakolonial ini terlihat dengan regulasi Mahkamah Syariah Kenyataan ini relatif berbeda dengan ajaran fungsi hukum
di Aceh, PERMA No. 1/2008 tentang Prosedur Mediasi Fichte yang menganggap bahwa hukum merupakan
di Pengadilan, yang mengundang tetua adat, serta UU pengatur sarana-sarana pemenuhan hak, pemberi hak
No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 75 ayat (3) atau otoritas, melindungi hak, menjamin dan
merealisasikan keadilan.22
17
A. Patra M. Zein dan Daniel Hutagalung, Panduan Hukum di Indonesia: Posisi lembaga peradilan dipaksa hanya untuk
Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum mengikuti berbagai tahapan formil yang di dalamnya
2006,(Jakarta : YLBHI dan PSHK), 2007, hal. 17.
18
Mason C. Hoadley, Islam dalam Tradisi Hukum Jawa dan Hukum 20
Ade Saptomo, P. Sumaryo dan Zulkarnaen, Hukum dan Kearifan Lokal:
Kolonial, (Graha Ilmu: Yogyakarta), 2009, hal. 33-34. Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, (Jakarta: Grasindo), 2010. hal. 37.
19
Absori, Kelik Wardiono, dan Saepul Rochman, Hukum Profetik: Kritik 21
Djaka Soehendera, Beberapa Catatan Awal tentang Studi Hukum Kritis,
Terhadap Paradigma Hukum Non-sistematik, (Genta Publishing: Themis, Volume 1, Nomor 1, Oktober, 2006, hal. 27, 28, 29 dan 30.
Yogyakarta), 2015, hal. 342. Bandingkan dengan Saepul Rochman,
22
Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum: Kritik Terhadap Asumsi-Asumsi W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum; Idelalisme Filosofis dan
Dasar Ilmu Hukum Non-Sistematik, Penelitian Skripsi, Universitas Problema Keadilan II, Terj. Muhammad Arifin, (Jakarta : PT. Raja
Muhammadiyah Surakarta (tidak diterbitkan), 2014, hal. 458. Grafindo Persada), 1994, hal. 6, 7 dan 8

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


171 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4
terdapat tahapan-tahapan persidangan yang diatur terpenuhinya asas peradilan yang cepat dan berbiaya
sedemikian rupa dan harus menurut hukum formil yang murah.
berlaku, pada kenyataan ini posisi hakim adalah sebagai 2. Judicial Behavior dalam Perspektif Hukum
lembaga yang bertugas menjalankan hukum baik formil Profetik
maupun materiil, bahkan seringkali hakim tidak berani Apabila Indonesia berkomitmen dengan Rule of
melakukan kreativitas penafsiran dan hanya cukup Law (ROL) menurut R. C. Van Caenegem, meniscayakan
menjadi pelaksana undang-undang. Dengan demikian, adanya basis perlindungan secara individual melalui
positivisme dalam konteks yudisial menunjuk pada proses pengadilan dengan mendasarkan pada berbagai
proses peradilan dimana keputusan hakim diambil secara sumber aturan hukum, karena itu ia tidak hanya untuk
mekanistis automatic atau slot-machine sebagaimana menegakkan hukum semata. 25 Hanya saja, hukum
ditemukan dalam istilah Ronald Dworkin dan Hart.23 Indonesia dipengaruhi oleh Hans Kelsen dan Hans
Pandangan positivisme mainstream yang Nawiansky, yang menampakkan adanya hubungan yang
mengesampingkan keadilan, dan hanya berorientasi pada paling dekat antara putusan hakim dengan persoalan
kepastian hukum dengan asumsi bahwa ketika orang sosial yang nyata.
mengetahui hukum yang pasti dan tetap (baik dengan Dalam pandangan Kelsen dan Nawiansky, suatu
pengetahuannya maupun fiksi hukum) maka jika orang norma berasal dari norma tertinggi (grundnorm) yang
ditindak sesuai dengan konsekuensi hukumnya dengan menciptakan norma-norma di bawahnya secara atributif;
demikian telah diadili secara wajar.24 Dari Grundnorm, berupa Norma fundamental negara
Apabila pembuat aturan berkomitmen pada (staatfndamentalnorm), aturan dasar Negara
positivisme yang membuat hukum pasti rumusannya (Staatsgrundgezets), Aturan formil Negara (Formell
dapat diprediksi, bukan diperkirakan, menjadi sangat Gezets), Undang-Undang hingga Peraturan Pelaksanaan
perlu untuk membuat aturan yang terperinci, detail dan dan Peraturan Otonom (verordnung en autonome satzung)
mempertimbangkan konsekuensi akhir, termasuk dalam salah satunya adalah putusan hakim.26
rumusan sanksi yang dapat diatur berdasarkan jumlah Pendekatan Martin Shapiro, nampaknya tepat
kerugian dan kalkukasi matematis lainnya, pertimbangan untuk menguraikan hirarki norma di atas, khususnya
moral, dampak dan lain sebagainya. Rumusan yang tidak untuk menjelaskan hubungan antara konstitusi, undang-
terperinci mengakibatkan ketidakpercayaan publik yang undang, kebijakan terkait dan kekuasaan kehakiman
tidak hanya merugikan lembaga peradilan namun juga menghasilkan institusi-institusi, aktivitas litigasi sebagai
akan meragukan profesionalisme lembaga legislatif yang bentuk input kebijakan, dan menghasilkan kasus hukum
telah digaji untuk sidang-sidang demi membuat undang- sebagai luarannnya. Tujuan seseorang datang ke
undang. pengadilan pada dasarnya tidak hanya untuk mencari
Tanpa rumusan yang pasti dan terperinci keadilan tetapi juga perubahan kebijakan yang
putusan hukum menjadi tidak pasti seperti proposisi, dianggapnya tidak adil. Pada bagian ini pengadilan selain
“seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, dan sebagai pemutus perkara, juga sebaiknya mampu untuk
dinyatakan bersalah dipidana dengan penjara paling lama mengubah kebijakan politik.27
dua puluh tahun”, adalah sebuah proposisi yang Tujuan Shapiro memiliki relevansi dengan teori
memberikan pilihan bagi hakim untuk menafsirkan, yang hukum profetik, meskipun memiliki penjelasan yang
mana nampak membingungkan dengan konsep hakim berbeda. Transendensi selain dimaknai sebagai keimanan
sebagai pelaksana undang-undang, atau hakim merupakan individual pemutus perkara, juga dapat diartikan hasil
bagian dari sistem positivisme hukum yang besar dan putusan tersebut apabila telah mencapai keputusan yang
harus mengikuti aturan main yang telah ditentukan. final (inkracht van gewijde), kualitasnya dapat dinaikan
Peraturan dalam sistem positif meniscayakan yang menjadi sumber dalam mengubah kebijakan politik
rumusan hukum yang lebih terperinci dan memang khusus bidang yang diputuskan untuk masa yang akan
bertujuan untuk menghindari terjadinya penafsiran, datang, tidak hanya sebagai cara untuk membatalkan izin
undang-undang pada tahapan ini harus siap digunakan yang sudah dirumuskan pejabat publik, memvonis suatu
tanpa memerlukan penafsiran apapun. tindak pidana semata tetapi juga memberikan arahan
Dalam bentuk yang lebih konkret, perkara- untuk mengubah kebijakan penegakan atau
perkara yang menyangkut sengketa kepemilikan tanah penanggulangan pidana.
dapat diperiksa selama berbulan-bulan lamanya apalagi Tahapan yang harus dilakukan sebelum
diusulkan ke tingkat banding dan peninjauan kembali. menaikan kualitas atau status putusan antara lain adalah
Pihak penggugat yang umumnya tidak menguasai objek sebagai berikut: pertama, melakukan inventarisasi terkait
sengketa akan berada pada situasi yang tidak putusan-putusan yang serupa; Kedua, melakukan
menguntungkan. Hal ini berakibat pada tidak
25
R. C. Van Caenegem, Judges, Legislators and Professors Chapters in
European Legal History, (Cambridge University Press: Cambridge),
23
2002, hal. 4.
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela
26
Keadilan, (Yogyakarta: Kanisius), 2009, hal. 66-68 Ronto, Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara, (PT. Balai Pustaka
24
(Persero): Jakarta Timur), 2012, hal. 45.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus
27
Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Alec Stone Sweet, Governing with Judges: Constitutional Politics in
Kanisius), 2003, hal. 22 dan 23 Europe, (Oxford University Press: New York), 200, hal. 25.

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


172 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4
kuantifikasi terhadap berbagai undang-undang dan Apabila memang tidak dimungkinkan suatu
peraturan yang digunakan dalam putusan-putusan aturan yang terperinci dan spesifik, maka perlu
tersebut; Ketiga, melakukan sinkronisasi vertikal maupun dipertimbangkan tata hukum prakolonial, manuskrip-
horizontal atas peraturan perundangan-undangan manuskrip hukum seperti naskah Yasadipura yang berada
tersebut; Keempat, menilai implikasi putusan-putusan di di perpustakaan Inggris perlu kembali dipelajari, dan
masyarakat; Keempat, menyajikannya sebagai naskah perlu dipertimbangkan untuk menegakkan kembali
akademik atau risalah lainnya yang berguna untuk pengadilan penghulu atau pengadilan Surambi dan adat
menghindari adanya tindakan yang serupa dikemudian baik yang masih murni adat maupun telah berinteraksi
hari. dengan hukum Islam. Indonesia perlu menerjunkan
Berdasarkan hirarki hukum yang diadopsi sistem hakim-hakim mediator ke setiap perkampungan untuk
hukum nasional Indonesia, sebagaimana tersebut diatas. melatih mediator lainnya yang berasal dari warga local,
Kualitas putusan akan dinaikan ke peraturan pelaksanaan, mazhab dan agamanya masing-masing, sehingga di setiap
Undang-Undang hingga usulan perubahan UUD 1945. tempat tersedia pengadil indigenous yang setiap saat
Secara teoritis, usulan, naskah dan risalah yang berada di tengah masyarakat.
disimpulkan dari putusan-putusan tersebut dinaikan dan Para juru adil tersebut bertugas untuk untuk
pada saat yang sama aturan berupa kebijakan hukum menggali dan menemukan keadilan intersubyektif-
yang telah ada berimanensi hingga terjadi pertemuan interobyektif yang berfungsi sebagai cara untuk
antara naskah dan kebijakan yang akan menghasilkan merekonsialiasi konflik yang terjadi di masyarakat,
peraturan, undang-undang dan aturan-aturan lainnya. memuliakan bangsa Indonesia dengan tidak
Aturan-aturan perundangan-undangan yang selama ini memperlakukannya sebagai benda, meliberasikan dari
dirumuskan berdasarkan kepentingan pragmatis, dan sistem hukum yang jauh dari kebijaksanaan dan
tidak memuliakan bangsa Indonesia akan digantikan menumbuhkan semangat toleransi hukum.
dengan usulan-usulan yang didasarkan oleh kenyataan- Dengan diakomodasinya model transendensi
kenyataan hukum di tengah-tengah masyarakat, sebagai tersebut diharapkan putusan hukum tidak hanya bersifat
cara untuk melakukan proses humanisasi. Dengan cara membatalkan tetapi juga mengubah kebijakan. Perubahan
yang demikian, putusan-putusan yang pada mulanya kebijakan tersebut didasarkan pada adanya usulan yang
digunakan untuk melindungi kepentingan individu dan merupakan hasil analisis atas berbagai putusan-putusan
masyarakat, mengalami pergeseran dari yang semula pasif pengadilan.
menjadi aktif guna meliberasikan masyarakat.
Tata organisasi peradilan yang semula bertumpu DAFTAR PUSTAKA
[1] Absori. 2013. Politik Hukum Menuju Hukum Progresif, (MU Press:
di daerah kabupaten atau kota, akan dianggap tidak Surakarta),
relevan berkaitan dengan luasnya suatu wilayah pada [2] Absori, Kelik Wardiono, dan Saepul Rochman, 2015, Hukum
sebuah kabupaten dan masih adanya zona-zona yang sulit Profetik: Kritik Terhadap Paradigma Hukum Non-Sistematik, (Genta
dijangkau atau membuat masyarakat kesulitan Publishing: Yogyakarta),
mendatangi pengadilan, sebab itu yang sering terjadi [3] Ade Saptomo, P. Sumaryo dan Zulkarnaen, 2010. Hukum dan
adalah penyelesaian secara musyawarah yang dimediasi Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, (Jakarta:
Grasindo)
oleh kepala dusun. Oleh karena itu, di Bulukumba
[4] Al-Attas Naquib, 1995. Islam dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan).
misalnya, kepala dusun atas permintaan warga memediasi
[5] Arianto, Henry. Peranan Hakim Dalam Upaya Penegakan Hukum di
perkara pencurian yang kemudian menghukum pihak Indonesia, Jurnal Lex Jurnalica, Volume 9 Nomor 3, Desember
terlapor membayar sejumlah denda dan membuat pesta 2012
untuk memulihkan ketertiban yang dilanggarnya, [6] Caenegem, R. C. Van Judges, 2002, Legislators And Professors
demikian ini menandai bahwa praktik keadilan Chapters In European Legal History, (Cambridge University Press:
intersubjektif telah menjadi bagian dari masyarakat lokal. Cambridge),
Tetapi dalam kasus-kasus yang berakibat sistemik seperti [7] Duxury, Neil. 2001, Jurists and Judges An Essay on Influence, (Hart
Publishing: Oxford-Portland Oregon),
korupsi memerlukan penanganan yang juga luar biasa
[8] Friedman, W. 1994, Teori dan Filsafat Hukum; Idelalisme Filosofis
sebab itulah perlu ada model penyelesaian perkara yang
dan Problema Keadilan II, Terj. Muhammad Arifin, (Jakarta : PT.
berasas pada keadilan interobyektif. Raja Grafindo Persada)
[9] Hardiman, F. Budi. 2003, Melampaui Positivisme dan Modernitas:
IV. KESIMPULAN Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas,
(Yogyakarta: Kanisius)
Kebijakan hukum dalam judicial behavior
[10] Hoadley, Mason C. 2009. Islam dalam Tradisi Hukum Jawa dan
semestinya menjadi pembahasan yang serius berkaitan Hukum Kolonial, (Graha Ilmu: Yogyakarta),
dengan beberapa peristiwa hukum yang terjadi dewasa [11] Horwitz, Morton J. 1992. The Transformation of American Law
ini. Pada kenyataannya, apabila legislator ingin 1870-1960: The Crisis of Legal Orthodoxy, Oxford University Press.
mempertahankan model hukum positivistik yang selama Inc
ini telah menjadi kekuatan yang hegemonik, diperlukan [12] Iqbal, Muhammad. 1982. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam
konsistensi atas tujuan kepastian hukum itu sendiri, Islam, alih bahasa: Ali Audah, Taufiq Ismail, dan Gunawan
Muhammad, (Yogyakarta: Jalasutra)
berupa norma yang lebih terperinci, undang-undang pada
[13] Khudzaifah Dimyati, J. Johansjah, dan Kelik Wardiono. Potret
tahapan ini harus siap digunakan tanpa memerlukan Profesionalisme Hakim dalam Putusan, (Komisi Yudisial Republik
penafsiran. Indonesia: Jakarta), 2008

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


173 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4
[14] Kuntowijoyo, 2004, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi
dan Etika, Teraju (PT. Mizan Publika: Jakarta).
[15] Steenbrink, Karel. 1995, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial
Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), terj. Suryan A. Jamrah,
(Mizan: Bandung)
[16] Raharjo, Agus. Membaca Keteraturan dalam Ketidakteraturan:
Telaah Tentang Fenomena Chaos Dalam Kehidupan Hukum, Jurnal
Hukum Syiar Madani, Vol. IX No. 2 (Juli, 2007), Fakultas Hukum
UNISBA, Bandung
[17] Robertson, Dilip K. Das dan Cliff. 2014. Trends in the Judiciary:
Interviews with Judges across Globe, (International Police Executive
Symposium Co-Publication dan CPC Press Taylor & Francis
Group: London),
[18] Rochman, Saepul. Paradigma Profetik Dalam Ilmu Hukum: Kritik
Terhadap Asumsi-Asumsi Dasar Ilmu Hukum Non-Sistematik,
Penelitian Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (tidak
diterbitkan), 2014
[19] Soehendera, Djaka. Beberapa Catatan Awal tentang Studi Hukum
Kritis, Themis, Volume 1, Nomor 1, Oktober, 2006
[20] Suminto, Aqib. 1985, Politik Islam Hindia Belanda: Het Kantoor Voor
Inlandsche Zaken, (LP3ES: Jakarta)
[21] Sweet, Alec Stone. 2002. Governing With Judges: Constitutional
Politics in Europe, (Oxford University Press: New York)
[22] Shahrour, Mohammed. Al-Kitab wa Al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah,
diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dalam edisi Indonesia
menjadi, “Prinsip dan Dasar-Dasar Hermeneutika Kontemporer”,
(Yogyakarta: ELSAQ)
[23] Syahuri, Taufiqurahman. Sistem Rekrutmen Hakim Berdasarkan Tiga
Undang-Undang Bidang Peradilan Tahun 2009 Untuk Mewujudkan
Peradilan Bersih, Makalah disampaikan pada seminar dengan tema,
“Pembaharuan Sistem Hakim Sebagai Pondasi Mewujudkan Peradilan
Bersih”, yang diselenggarakan di Fakultas Hukum, Universitas
Padjajaran, Bandung, pada tanggal 10 Oktober 2013
[24] Ujan, Andre Ata. 2009, Filsafat Hukum: Membangun Hukum,
Membela Keadilan, (Yogyakarta: Kanisius)
[25] Wignjosoebroto, Soetandyo. 1995. Dari Hukum Kolonial Ke
Hukum Nasional Suatu Kajian Tentang Dinamika Sosial Politik dalam
Perkembangan Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-
1990), (Jakarta: Raja Grafindo).

Prosiding Konferensi Nasional Ke- 5


174 Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah(APPPTM)
ISBN: 978-602-19568-5-4

Anda mungkin juga menyukai