Anda di halaman 1dari 164

DAFTAR ISI

FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA:


Potensi dan Kendala Oleh : Siti Amaroh

RELASI AGAMA DAN BUDAYA LOKAL


(Upacara Yaqowiyu Masyarakat Jatinom) Oleh : Efa Ida Amaliyah, MA

TIPOLOGI TASAWUF FALSAFI


Oleh : Fathul Mufid

FIKIH LINGKUNGAN
(Sebuah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis) Oleh: Dr. Ilyas Supena, M.Ag

STUDY AL- QURAN: PERSPEKTIF MUHAMMAD ARKOUN


Oleh:Muhammad Shohibul Itmam

MENGGAGAS KITAB KUNING YANG MEMBERDAYAKAN PEREMPUAN


Oleh : Jamal Mamur Asmani

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM ISLAM


Muhamad Mustaqim

MENGGAGAS PRINSIP PRIMORDIAL RELIGION DALAM MEMANIFESTASIKAN PERENIALISME AJARAN ISLAM


Oleh: Masudi, S.Fil.I., M.A.

MEMARTABATKAN GENERASI BERBEKAL KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN


Resensor: Moh. Rosyid

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 1467 KUH PERDATA TENTANG LARANGAN JUAL BELI ANTARA SUAMI ISTRI
Oleh : Santoso

MENGENAL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN MODEL INKLUSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Sulthon

FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA: Potensi dan Kendala Siti Amaroh1

Abstrak Filantropi merupakan perwujudan solidaritas antar manusia dalam membantu sesamanya sehingga menjadi berdaya. Istilah ini umumnya diberikan bagi orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal terutama bagi kaum miskin. Islam mendudukkan filantropi sebagai bentuk amal saleh yang memiliki dampak yang luas bagi terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebebasan. Dalam konteks makro ekonomi, akumulasi potensi sosial dapat menyeimbangkan sisi permintaan masyarakat. Potensi ini pada titik tertentu dapat menurunkan average propensity to consume kelompok miskin. Kata Kunci: Filantropi Islam, Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf

Pendahuluan Filantropi berasal dari bahasa Yunani, Philein cinta dan Anthropos manusia. Filanthropi merupakan perwujudan cinta manusia terhadap sesama sehingga memiliki kemauan untuk menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya sebagai bentuk pertolongan. Istilah ini umumnya diberikan pada orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal terutama bagi kaum miskin. Perwujudan cinta terhadap sesama dalam konteks Islam digambarkan secara lebih luas, dalam pengertian tidak sekedar mengentaskan kemiskinan dalam arti sempit tetapi dalam suatu sistem yang dapat mempengaruhi mekanisme makro ekonomi. Ajaran berbagi merupakan ekspresi manusia dalam mensyukuri karunia Allah SWT dan menyembunyikannya adalah kekikiran (QS. An Nisaa: 36-37). Instrumen filantropi Islam tidak hanya terbatas pada zakat tetapi juga infaq, shadaqah, dan wakaf. Penghimpunan filantropi Islam bertujuan untuk kesejahteraan umat. Umer Chapra dengan mengutip pandangan Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa tujuan utama syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan terhadap agama mereka (diin), diri (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta benda (maal). Terlindunginya lima hal tersebut berarti melindungi kepentingan umum. Artikel ini akan mendeskripsikan filantropi dalam perspektif Islam, kontribusi filantropi Islam dalam menyeimbangkan mekanisme makro ekononomi, konsep negara sejahtera dalam Islam melalui pemberdayaan potensi filantropi, keadilan dan kebebasan dalam Islam, filantropi Islam di Indonesia (potensi dan hambatannya), akuntabilitas lembaga filantropi dan tanggung jawab sosial lembaga filantropi di Indonesia.

Filantropi Islam Materialisme menjadikan kekayaan, kenikmatan badaniah, dan kesenangan nafsu sebagai tujuan dari upaya manusia (Umer Chapra, 2001). Hal ini memberikan fondasi bagi budaya manusia yang dari hari kehari secara terus menerus meningkatkan laju konsumsi dan melipatgandakan keinginanya yang tidak dapat dipenuhi oleh faktor produksi yang ada. Kepentingan pribadi dapat dipenuhi baik secara ekonomis maupun non ekonomis, namun orientasi materialisme terkadang mengesampingkan aspek non ekonomis karena tanggung jawab sosial dalam perspektik materialisme adalah meningkatkan keuntungan. Kesadaran berekonomi dalam perkembangan ekonomi global telah menggerakkan manusia tidak hanya sebagai economic man tetapi bergerak menjadi spiritual man. Kapitalisme dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi problematika sosial dalam masyarakat. Amartya Sen seorang filsuf dari India mengakui adanya hubungan komplementer antara agen individual dan agen
1

Dosen STAIN Kudus

keteraturan sosial. Kebebasan individu bukan terletak pada utilitas (utilitas individu tidak berdasarkan utilitas kelompok) tetapi pada kemampuannya untuk menterjemahkan utilitas sebagai sesuatu yang lebih luas dan tidak menekankan pada kebendaan semata Sen menolak paham-paham utilitarianisme, libertarianisme, dan rawlsianisme dan menunjukkan kelemahan paham-paham tersebut. Sen mengkritik utilitarianis yang tidak memperdulikan kebebasan dan hak (Duhs, 2008). Menurut utilitarianisme, utilitas ditentukan oleh pengorbanan. Dalam hal ini, utilitarianis tidak memberikan perbedaan antara keuntungan dan utilitas. Kritiknya terhadap libertarianis adalah ketiadaannya ketertarikan langsung terhadap kebahagiaan (happiness) atau terpenuhinya keinginan (desire fulfillment), lebih menekankan pada hasil bukan proses. Libertarian cenderung menekankan pada kebebasan negatif, sedangkan Sen lebih fokus pada kebebasan positif. Kemiskinan bukan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan negatif melainkan kebebasan positif karena "orang dalam kemiskinan ekstrim tidak bebas untuk melakukan banyak hal". Pembangunan memerlukan penghapusan pada penyebab utama kemiskinan, tirani, dan perampasan kesempatan sosial sistematis, dan juga pengahapusan terhadap pengabaian fasilitas publik maupun intoleransi atau overactivity represif negara. Penolakan Sen dalam melihat Rawls karena Rawl lebih berfokus pada distribusi sumber daya bukan pada peningkatan kemampuan perorangan. Amartya Sen hanyalah satu contoh filsuf bukan dari kelompok muslim yang menekankan pentingnya moralitas dalam pembangunan ekonomi. Hal tersebut tentu sejalan dengan alur pikir Islam yang menekankan keseimbangan. Kesadaran manusia untuk membantu sesamanya telah diajarkan secara terperinci dalam Al Quran. Instrumen yang mewujudkan kepedulian meliputi zakat, infaq, shodaqah, dan wakaf Islam menjadikan filantropi sebagai sumber pendapatan negara disamping sumber pendapatan lain seperti ghanimah, ushr, fayi, jizyah, dan kharaj. Gusfahmi (2007) merangkum klasifikasi pendapatan negara menurut pandangan beberapa tokoh-tokoh pemikir Islam seperti Abu Ubaid, Ibnu Taimiyah, Abu Yusuf, Said Hawwa, Imam An Nawawi, dan Sayyid Sabiq. Abu Ubaid dalam kitabnya Al-Amwal dan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmuatul Fatawa berpendapat bahwa pendapatan utama negara (primer) berdasarkan sumbernya diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu ghanimah, shadaqah, dan fayi. Klasifikasi seluruh sumber pendapatan negara mempertimbangkan asal-usul dari sumber pendapatan serta tujuan pengeluarannya. Menurut mereka, seluruh sumber pendapatan di luar ghanimah dan shadaqah berada di bahwah fayi. Abu Yusuf dalam kitabnya Al-Kharaj berpendapat bahwa klasifikasi pendapatan negara mengikuti sifat keagamaan dari sumber-sumber tersebut karena menurutnya klasifikasi seperti itu penting karena pendapatan dari setiap kategori harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh di campur sama sekali. Ghanimah (Qs.Al-Anfaal:1) hanya untuk lima kelompok (QS: Al-Anfaal: 41), zakat (QS. Al-Taubah:103) hanya boleh diperuntukkan bagi asnaf yang delapan (QS. Al-Taubah: 60). Namun Fayi (QS. Al-Hasyr: 6) dapat digunakan untuk pembiayaan umum negara (QS. Al-Hasyr: 7). Jika diklasifikasikan berdasarkan tujuan negara dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu pendapatan resmi negara dan pendapatan tidak resmi negara. Pendapatan resmi meliputi jizyah, kharaj, ushr (bea cukai), dan pakaj (dharibah). Sedangkan pendapatan tidak resmi negara meliputi ghanimah, zakat, shadaqah, dan wakaf. Tiga terakhir merupakan sumber filantropi Islam dalam konteks negara dalam perekonomian global.

Filantropi Islam dan Keseimbangan Makro Ekonomi Paradigma ilmu ekonomi masa kini memiliki dua karakteristik utama. Pertama, ilmu ekonomi berkembang sebagai suatu disiplin yang terintegrasi, disekitar inti kepentingan diri, usaha privat, mekanisme pasar, dan motif mencari keuntungan, berusaha memecahkan semua persoalan ekonomi dalam matriks kerangka diri tersebut. kedua, paradigma ini pada hakikatnya memutus hubungan antara ilmu ekonomi dan persoalan-persoalan transendental dan keprihatinan terhadap etika, agama, dan nilai-nilai moral. Pendekatan baru inilah yang dirasakan sekuler, bersifat keduniawian, positivistik, dan pragmatis. Pertimbangan-pertimbangan normatif secara sistematis dihapuskan atau dipinggirkan sedemikian rupa sehingga relevansinya justru menimbulkan persoalan tersendiri. Umer Chapra (2001) menyitir ramalan Scumpeter yang menyatakan bahwa kapitalisme menciptakan suatu kerangka pikir rasional, setelah menghancurkan otoritas moral begitu banyak institusi, yang pada gilirannya akan melawan miliknya sendiri.

Tujuan ekonomi secara makro adalah terciptanya suatu alokasi dan distribusi sumbersumber daya langka (scarcity) dan dapat menyelesaikan setiap persoalan masyarakat. Jika sebagian sumber daya dialokasikan untuk konsumsi, tabungan dan investasi tidak dapat mencukupi realisasi target kesempatan kerja penuh (full employment) dan pertumbuhan ekonomi (economic growth) maka hal itu merupakan indikator adanya ketidakseimbangan. Islam menjabarkan komponen utama pertumbuhan yang berkesinambungan akan tercapai jika terdapat sinergi antara sumber daya alam, kapabilitas manusia, teknologi dan lingkungan sosial lainnya. Akumulasi sumber dana dari masyarakat berupa tabungan dan investasi akan memberikan hasil yang optimal (optimal dalam Islam adalah tercapainya keseimbangan materi dan spiritual) harus diikuti oleh kapabilitas manusia lainnya seperti kerja keras, kesungguhan, kreatifitas, daya dukung teknologi yang manfaat disamping perilaku sosial yang konstruktif dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang distributif dalam tatanan kehidupan bernegara tercapai ketika tidak ada lagi kesenjangan dan terhambatnya akses masyarakat tertentu terutama kelompok miskin. Dengan kata lain, masyarakat secara keseluruhan telah berada pada situasi tatanan sosial yang mapan, adanya persamaan sosial dan tidak ada eksploitasi. Mannan (1993) berpandangan bahwa negara sejahtera dalam Islam bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umat manusia secara menyeluruh, sedangkan kesejahteraan ekonomi hanya merupakan sebagian dari padanya. Penekanan pada zakat dan sholat dalam Al Quran sangat penting artinya untuk memahami dengan tepat sifat sesungguhnya dari negara sejahtera dalam Islam. Akibat sosial dan ekonominya memberikan utilitas, dan pola sosial yang timbul bebas dari tirani kapitalisme yang tersembunyi dan standarisasi masyarakat komunis yang dipaksakan. Secara lebih luas, pandangan Abdul Mannan tentang konsep negara dirinci kedalam beberapa nilai yang lebih spesifik yang mencakup nilai moral dan spiritual, nilai politik, dan nilai ekonomi. Konsep ini didasarkan pada sejumlah pertentangan yang timbul akibat berbagai paham ekonomi yang dianut oleh negara-negara modern menafikan berbagai unsur penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang terkadang diperlakukan secara eksakta. Dasar nilai moral dan spiritual terletak pada penerimaannya akan hidup dan perkembangannya. Hidup secara layak, menggunakan panca indera masing-masing dan karunia yang diberikan Tuhan, secara tepat dan seimbang, itulah aturan hidup. (Q.S. Al Muminun: 51). Katakanlah, Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan dia pulalah yang mengharamkan rezeki yang baik. (Q.S. Al Araf: 32). Didalam konsep umum tersebut, Al Quran menetapkan petunjuk yang terinci untuk memupuk nilai-nilai moral dan spiritual. Tujuannya untuk mengembangkan semua kecakapan secara terkoordinasi dan bermanfaat. Apapun yang telah dilimpahkan Tuhan atas manusia baik kecakapan batin dan lainnya, harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Penggunaan itu harus disesuaikan dan diatur, karena kalau tidak maka bukan lagi merupakan kegiatan moral karena negara dalam perspektif Islam harus bertanggung jawab mengubah naluri menjadi siaft moral. Ciri politik negara dalam konsepsi Islam membedakannya dengan negara-negara barat. Negara-negara barat yang mengklaim dirinya sebagai negara modern, meletakkan kekuasaan pada kekuatan mayoritas sehingga ada kecenderungan untuk membuat dan menafsirkan hukum sesuai dengan kepentingannya. Sementara Islam menegaskan bahwa kekuasaan berada pada kendali Tuhan Pencipta Alam Semesta yaitu Alllah sehingga ada istilah Khilafah. Hal inilah yang membedakan pengertian negara menurut Aristoleles dan Plato maupun Hegel dan Green. Sedangkan nilai ekonomi dalam konsepsi Islam, sebagai pokok pembahasan dalam artikel ini, mendorong semua jenis kegiatan ekonomi yang tunduk pada perintah Al Quran dan Sunnah sehingga kegiatan monopoli dan spekulatif dilarang dalam pembangunan perekonomian dunia secara luas. Hak milik seseorang diakui dan dilindungi dalam Islam, tetapi pada harta tersebut ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian, dan hewanpun berhak untuk mendapatkan bagiannya (Q.S. Al Baqarah: 19). Tambahan kewajiban ini yang dilakukan melalui usaha sukarela berlaku di setiap bagian sistem Islam yang memberikan nilai tambah sosial (social value added). Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan mereka ini mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah

menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. (Q.S. Al Fatir: 29-30) Dengan demikian, negara sejahtera dalam Islam didasarkan pada perkembangan yang serasi dan manifestasi semua kemungkinan nilai kehidupan baik moral dan spiritual, ekonomi, dan politik. Indikator pertumbuhan ekonomi dalam Islam tercapai jika tidak ada distorsi terhadap sejumlah nilai-nilai seperti nilai-nilai persaudaraan, persamaan sosial, dan distribusi yang adil. Zakat merupakan salah satu sumber daya sosial yang menjadi penyeimbang dari sejumlah persoalan makroekonomi yang tidak bisa teratasi secara sempurna seperti pengangguran dan inflasi meskipun zakat bukan sebagai pengganti program pembiayaan diri yang diciptakan oleh masyarakat modern dan juga bukan sebagai pengganti pos-pos anggaran pemerintah untuk pembayaran kesejahteraan. Selain zakat masih banyak instrumen lain yang dapat berkembang dalam kehidupan masyakat.

Prinsip Keadilan dan Kebebasan Sosial Keseimbangan terjadi jika segala aspek dalam kehidupan berada pada titik temu tertentu dan problematika yang timbul setelah itu akan mencapai pula pada titik keseimbangan yang baru. itu artinya keseimbangan bukanlah sesuatu yang konstan tetapi memiliki elatisitas untuk berubah atas dasar perubahan asumsi. Begitu pula, dalam komunitas manusia maka segala bentuk perubahan bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Islam memberikan penekanan terhadap arti penting keadilan dalam kehidupan bernegara yang seimbang. Nilai-nilai moralitas merupakan ciri utama dan kekuatan Islam yang harus senantiasa tercermin dalam implementasi kehidupan yangg berlandaskan Islam yaitu Aqidah, Syariat, dan Akhlaq. Keadilan, seperti dikutip oleh A. Abdulkadir Kurdi (2000) dari Bretcht (1959), menyiratkan orang-orang yang mengajukan klaim dan melakukan justifikasi terhadap aturan-aturan atau standarstandar, membedakan keadilan dari amal, kebajikan, atau kedermawanan. Perdekatan ini merupakan alasan terhadap adanya keadilan distributif yang menjamin persoalan alokasi hak dan keuntungan. Dan para filsuf mengakui tiga sumber yang mungkin dapat menentukan keadilan atau ketidakadilan yaitu Tuhan, alam, dan akal. Prinsip-prinsip keadilan tercermin dalam perilaku ketidakmemihakan, kejujuran, dan persamaan. Konstitusi Islam (Al Quran) sangat menekankan keadilan sebagai salah satu aspek keyakinan personal yang sangat penting, disebabkan keterlibatannya yang mendalam dengan nilainilai moral keyakinan ideologis. Karena itu maka keadilan dikonsepsikan berdasarkan faktor kesadaran, yang biasanya diperlihatkan melalui dorongan emosi dan spiritual keyakinan ideologi individu. Dengan demikian, Islam menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari keimanan perseorangan terhadap risalah Allah SWT. Sedangkan kebebasan merupakan bagian dari konsep moral dan sosial yang mengacu pada problematika yang muncul dalam interaksi antar manusia atau pada kehidupan sosial tertentu. Dalam wilayah politik dan filsafat maka kebebasan dikaitkan dengan legitimasi. Konsep kebebasan itu sendiri merupakan titik pusat individualisme dan liberalisme Eropa. Menurut tradisi ini, kemerdekaan ditandai dengan kondisi tiadanya pemaksaan atau halangan yang dipaksakan orang lain. A. Abdulkadir Kurdi (2000) menyitir ungkapan Bertrand Russel (1941) yang menyatakan bahwa kebebasan secara umum mungkin bisa didefinisikan sebagai tiadanya halangan untuk merealisasikan keinginan-keinginan. kebebasan dalam pengertian ini haruslah ditempatkan sebagai kebebasan dalam pikiran saja tetapi bukan kebebasan dalam berperilaku atau kebebasan bernegara. Dalam Islam sendiri, kebebasan pada dasarnya berarti sebagai tanggung jawab terakhir manusia. Dari awalnya Islam telah mengakui kebebasan berkeyakinan atau berfikir, yang secara ideologis merupakan landasan konsep kebebasan. Seorang individu individu yang masih belum memiliki keyakinan ideologis digambarkan manusia dalam masih dalam tahapan kekacauan. Islam secara tegas memberikan kesempatan kepada setiap individu secara individu dan cerdas bertanggung jawab dalam menentukan nasibnya sendiri dan untuk itu dia hanya bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya dan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain (Al Anam: 164).

Oleh karena itu, konsep kebebasan dalam Islam harus dipandang sebagai tahapan pertama dari tindakan ke arah perilaku dan sikap yang diatur secara rasional berdasarkan pada kebutuhan riil umat manusia secara material dan spiritual. Tanggung jawab dan komitmen sangat menentukan terwujudnya kebebasan yang mengarah pada kemanfaatan bukan kebebasan yang merusak. Tanggung jawab sendiri membimbing individu menjauhi tahapan yang kacau dan mengarah pada tahapan yang rasional. Akan tetapi, konsep kebebasan selalu terbatasi manakala tanggung jawab ditingkatkan, dan sebaliknya.

Filantropi Islan Indonesia: Potensi, Kendala dan Pemberdayaannya Filantropi dalam Islam di Indonesia diterjemahkan sebagai amal salih atau bentuk kesalehan sosial umat terhadap sesamanya baik dilakukan dalam momentum tertentu atau pada saat-saat yang dikehendaki yang bertujuan untuk meringankan beban sesama, wujud syukur terhadap Sang Pencipta, dan mengharap keridloan Allah SWT. Filantropi Islam di Indonesia meliputi zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf dan tidak mengimplementasikan ghanimah karena Indonesia adalah negara merdeka dan berdaulat dan tidak dalam kondisi perang atau diperangi. Zakat merupakan salah satu potensi filantropi yang paling besar dan memiliki potensi untuk dieksplorasi secara lebih luas. Sayangnya, potensi ini belum dapat dioptimalkan dan sulit untuk diukur karena belum terlembagakan secara baik karena masih banyak yang membagikannya secara individu. Seperti disurvey oleh Public Interest on Research and Advocacy Centre (PIRAC) di http://pirac.org, menunjukkan bahwa hanya 0,02% dari Rp 12 triliun yang diestimasikan. Estimasi ini didasarkan pada determinan pengukuran potensi zakat dalam mengentaskan kemiskinan dimana jumlah keluarga sejahtera di Indonesia adalah 41.409.631 jiwa (data BKKBN 2008 berdasarkan survey 2004) sedangkan populasi umat Islan di Indonesia sekitar 86% dengan prosentase muzakki 55% dari populasi muslim. Terdapat beberapa alasan mengapa potensi zakat di Indonesia jauh dari perkiraan selain karena dilakukan secara pribadi adalah karena kesadaran yang masih rendah tentang kontribusi zakat dalam perekonomi, lembaga pengelola zakat masih sangat terbatas, tidak optimalnya sosialisasi baitul maal yang melekat pada fungsi perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah, serta akuntabilitas lembaga pengelola zakat yang masih dipertanyakan akuntabilitasnya. Banyaknya tragedi akibat pembagian zakat banyak terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Yusuf Wibisono (2009) dalam Indonesia Zakat and Development Report (IZDR) memberikan implikasi makro ekonomi dari zakat. Besaran konsumsi searah dengan perubahan pendapatan. Makin tinggi pendapatan maka makin besar konsumsi. Dalam teori ekonomi dikenal istilah marginal propensity to consume (MPC) dan average propensity to consume (APC). MPC adalah kenaikan konsumsi akibat kenaikan satu unit pendapatan, ( proporsi konsumsi terhadap pendapatan, konsumsi agregat suatu wilayah negara. Zakat yang diberikan dari orang mampu (muzakki) kepada yang tidak mampu (mustahik) akan meningkatkan pendapatan muzakki, dan konsumsi mustahik akan meningkat seiring naiknya pendapatan. Dalam konteks ini, kenaikan pendapatan muzakki seiring dengan meningkatkan pembayaran zakat tidak diterjemahkan dalam pertimbangan ekonomi saja tetapi dalam wilayah spiritual yang mendalam. Meskipun begitu, pengertian tersebut dapat dijelaskan secara makro ekonomi dimana ketika pendapatan kelompok tertentu meningkat maka dipastikan daya belinya akan meningkat. Peningkatan daya beli akan meningkatkan pertumbuhan banyak sektor seperti sektor riil sehingga memerlukan investasi yang memadai. Investasi dalam pengertian makro ekonomi memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang akan melipatgandakan pendapatan nasional yang itu akan dinikmati oleh seluruh masyarakat. Secara agregat, jika zakat terkumpul dan disalurkan maksimal, MPC orang miskin akan meningkat. Dilain pihak, besarnya konsumsi dibanding pendapatan (APC) orang miskin lebih rendah dari APC orang kaya. Mekanisme transfer kekayaan melalui zakat dapat menurunkan APC orang miskin karena biasanya APC-nya = 1 atau bahkan lebih besar dari 1 karena seluruh pendapatan

C ) , sedangkan APC adalah Y

C ( ) . Model ini digunakan untuk mengukur tingkat Y

digunakan untuk konsumsi bahkan mungkin konsumsi lebih besar dari pendapatan yang diperoleh atau pendapatan yang diperoleh tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok dalam standar mininimun kebutuhan hidup yang berlaku. Sisi filantropi lain dapat digali dari infaq, shadaqah, dan wakaf. Shadaqah adalah pembenaran (pembuktian) dari syahadat (keimanan) kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan materi (Gusfahmi, 2007). Menurut istilah agama, pengertian shadaqah sering disamakan dengan pengertian infaq, termasuk didalamnya hukum dan ketentuanketentuannya. Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan materi, sedangkan shadaqah memiliki pengertian yang lebih luas, menyangkut baik hal yang bersifat materi dan non materi. Sedangkan wakaf atau waqf secara harfiah berarti berhenti, menahan, atau diam. Secara teknis syariah, wakaf seringkali diartikan sebagai aset yang dialokasikan untuk kemanfaatan umat dimana substansi atau pokoknya ditahan, sementara manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum. Secara administratif, wakaf dikelola oleh pengelola wakaf (nadzir) sebagai pengemban amanah pemberi wakaf (waqif). Oleh karena itu, wakaf tidak boleh dipindahtangankan atau dijual. Hal yang menarik dalam fenomena eksplorasi potensi sosial terhadap wakaf adalah wakaf produktif. Pada jaman kejayaan Islam, wakaf pernah mencapai kejayaan walaupun pengelolaannya masih sederhana yaitu pada abad ke-8 dan ke-9. Pemanfaatan aset wakaf secara produktif memberikan kemanfaatan yang besar bagi umat. Belajar dari kasus di Bangladesh yang tergolong negara miskin dimana penghasilan yang kecil-kecil dan tersebar justru tidak mencukupi untuk memelihara harta wakaf itu sendiri sehingga membebani umat. Kondisi inilah yang melatarbelakangi dilakukannya reformasi dalam manajemen dan administrasi harta wakaf dinegeri tersebut. Mannan, salah seorang pemikir ekonomi Islam, melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa bahwa fleksibilitas dan lingkup pengembangan manajemen dan administrasi dilakukan dengan memperkenalkan wakag tunai. Rasionalisasi dari pemikiran tersebut bahwa dengan wakaf tunai maka masyarakat atau mayoritas penduduk dapat berpartisipasi. Hal ini dapat digunakan sebagai sarana rekonstruksi sosial dan pembangunan. Di Bangladesh, ada lembaga non pemerintah yang menjadi solusi dalam menangani kemiskinan yaitu Social Investment Bank Limited (SIBL). Bank ini menjadi alternatif peningkatan pendapatan bagi jutaan warga miskin, disamping merupakan pilihan warga kaya untuk investasi, mendapatkan bagi hasil dan hidup dalam lingkungan warga yang lebih baik. Keberhasilan wakaf tunai di negara-negara muslim seharusnya menjadi cermin untuk menumbuhkan semangat pemberdayaan wakaf di Indonesia. potensi yang besar tetapi belum disertai dengan sosialisasi dan pengelolaan modern menghambat hasil yang ingin dicapai. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan dan lembaga amal yang ada masih terkonsentrasi di kotakota besar sehingga tidak dipahami secara lebih luas. Masyarakat masih meragukan akuntabilitas lembaga tersebut sehingga kegiatan amal sosial masih dilakukan oleh orang perseorangan.

Kesimpulan 1. Filanthropi merupakan perwujudan cinta manusia terhadap sesama sehingga memiliki kemauan untuk menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya sebagai bentuk pertolongan 2. Perwujudan cinta terhadap sesama dalam konteks Islam digambarkan secara lebih luas, dalam pengertian tidak sekedar mengentaskan kemiskinan dalam arti sempit tetapi dalam suatu sistem yang dapat mempengaruhi mekanisme makro ekonomi 3. Instrumen filantropi Islam tidak hanya terbatas pada zakat tetapi juga infaq, shadaqah, dan wakaf. Penghimpunan filantropi Islam bertujuan untuk kesejahteraan umat 4. Pengembangan potensi Filantropi Islam bertujuan untuk tercapainya keseimbangan ekonomi yang menyeluruh baik material maupun spiritual

5. Indikator keseimbangan tercapai manakala masyarakat telah berada pada kondisi keadilan dan kebebasan sosial yang positif berdasarkan nilai-nilai moralitas 6. Pemanfaatan aset filantropi Islam secara produktif dapat membuat umat menjadi lebih berdaya. Dalam konteks makro ekonomi maka potensi filantropi Islam dapat menurunkan average propensity to consume kelompom miskin karena pendapatannya menjadi lebih besar daripada tingkat konsumsinya

Referensi

A. Abdulkadir Kurdi, 2000, Tatanan Sosial Islam: Studi Berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Chapra, M. Umer, 2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam (The Future of Economics: An Islamic Perspective), Gema Insani, Jakarta Duhs, L.A, 2008, Sens Economic Philosophy: Capabilities and Human in The Revival of Economics as a Moral Science, Real-World Economics Review, Issue no. 47, University of Queensland, Australia Gusfahmi, 2007, Pajak Menurut Syariah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta http://pirac.org, Mannan, M. Abdul, 1993, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Seri Ekonomi Islam No. 02, Edisi Lisensi, PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta Yusuf Wibisono ,2009, Indonesia Zakat and Development Report , Sharing Inspirator Ekonomi dan Bisnis Syariah Edisi 33 Tahun III September

Relasi Agama dan Budaya lokal (Upacara Yaqowiyu Masyarakat Jatinom) Efa Ida Amaliyah, MA

Abstrak Perayaan Yaqowiyyu di Desa Jatinom sudah menjadi ritual yang dilaksanakan setiap Hari Jumat minggu kedua di Bulan Safar penanggalan Jawa. Ritual Yaqowiyyu berupa penyebaran kue apem (diambil dari bahasa Arab, afwan=maaf) yang pertama kali dilakukan oleh Ki Ageng Gribig pada abad XV. Ritual tersebut berlangsung hingga saat ini sebagai ungkapan penghormatan terhadap Ki Ageng Gribig berupa menyebar kue apem ke halayak ramai yang sudah menunggu di lapangan yang sudah disediakan. Mereka dating tidak hanya dari wilayah Jatinom, tetapi juga dai luar daerah dengan membawa harapan akan mendapatkan apem tersebut sebagai bentuk keberkahan. Penelitian ini secara khusus membahas tentang makna dari semua unsure yang ada dalam ritual tersebut, seperti pengunjung, pedagang, dan masyarakat sekitar Desa Jatinom. Selain itu juga masuknya modernitas yang tidak bisa terelakkan lagi. Untuk mengetahui bahasan tersebut, maka pendekatan penelitian ini adalah pendekatan fungsionalis. Pendekatan fungsionalis mengadaikan bahwa suatu masyarakat dipandang sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi, yang bekerja dalam suatu cara yang relatif teratur menurut seperangkat aturan dan nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat tertentu. Sebuah perilaku atau tindakan social akan bisa dibenarkan karena hal tersebut dalam masyarakat dinilai sebagai fungsional. Makna yang muncul sangat beraneka ragam tergantung harapan dari mereka yang dating di ritual tersebut. Makna keberkahan adalah yang paling dominan. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan kue apem dari lemparan panitia, hajat-hajat yang mereka inginkan akan cepat terkabul. Sebagai contoh, bagi petani berharap panennya akan melimpah dengan menyebarkan apem hasil tangkapan di Yaqowiyyu ke sawah mereka. Begitu juga yang menghendaki adanya jodoh, berhasil dan sukses dalam pekerjaannya, serta usahanya yang lancar. Salah satu yang mereka lakukan dengan apem tersebut menyimpannya di tempat-tempat yang dianggap bisa aman, seperti lemari dan di bawah tempat tidur. Makna lain didapat oleh para pedagang dadakan, tukang parkir, dan masyarakat sekitar karena kedatangan keluarga jauh mereka. Dengan adanya antusiasisme dari kalangan masyarakat, maka pemerintah setempat mengapresiasi untuk keberlangsungan atau melanggengkan ritual tersebut. Salah satunya dengan mengandeng perusahaan rokok sebagai sponsor tunggal. Karenanya tidak salah kalau ritual Yaqowiyyu dijadikan sebagai wisata religi yang ada di Kabupaten Klaten. Sehingga, unsure-unsur modernitas yang diwakili oleh pemerintah dan perusahaan rokok mendukung untuk melestarikan ritual yang dilakukan oleh pendirinya yaitu Ki Ageng Gribig sebagai bentuk kearifan local bagi masyarakat yang mempercayainya.

Key word: Upacara Yaqowiyyu, Makna, Modernitas, pendekatan fungsionalisme.

Pendahuluan

Agama, termasuk Islam mengandung symbol-simbol system sosio-cultural yang memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan rancangan untuk mewujudkannya. Tetapi, symbol-simbol yang menyangkut realitas tidak selalu harus sama dengan realitas yang terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Menurut pengertian ini, agama dipahami sebagai suatu system budaya (cultural system).2 Sejak awal perkembangannya Islam sebagai konsepsi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin terlihat ketika wilayah Islam berkembang, sehingga menjadi agama yang mendunia. Pada kasus tertentu memunculkan varian Islam. Sebagai contoh, pada awal munculnya ketegangan antara doktrin teologis Islam dengan realitas dan perkembangan social, yang pada aplikasinya Islam mengakomodasi kenyataan social budaya.3 Islam merupakan konsep ajaran agama yang humanis, yaitu agama yang mementingkan manusia sebagai tujuan sentral dengan mendasarkan pada konsep humanisme teosentrik yaitu poros Islam yang bertumpu pada tauhidullah yang diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan kehidupan dan peradaban umat manusia. Prinsip humanisme teosentrik inilah yang akan ditranformasikan sebagai nilai yang dihayati dan dilaksanakan dalam konteks masyarakat budaya. Dari sistem humanisme teosentris inilah muncul simbol-simbol yang terbentuk karena proses dialektika antara nilai agama dengan tata nilai budaya.4 Fenomena pluralitas cultural dan pemahaman agama menjadi menonjol dilihat dari manifestasinya dalam budaya. Hal penting yang berkenaan dengan dialektika agama dan pluralitas budaya local, perlu diperhatikan karakteristik budaya yang mencangkup wujud, isi dan unsure-unsurnya. Wujud budaya ada tiga, yaitu gagasan, aktivitas dan benda, ketiganya saling berkaitan. Menurut Koetjoroningrat yang dikutip oleh Zakiyuddin bahwa isi kandungan budaya ada tujuh, antara lain: bahasa, system tehnologi, system ekonomi, organisasi social, system pengetahuan, religi dan kesenian.5 Agama dan budaya lokal dipandang sebagai dua kekuatan yang menyatu dalam realitas sosial. Agama sebagai ajaran transendental atau --meminjam istilah Peter L Berger--ajaran-- langit mampu bersentuhan dan dipahami oleh umat manusia ketika ia mampu membumikan dirinya dalam realitas kultural. Dan, pada titik ini sebenarnya kebudayaan merupakan media yang menjembatani antara realitas langit (transendental) dengan realitas bumi.6 Penyatuan antara budaya local dan Islam merupakan penafsiran kembali atas kenyataan adanya Islam sebagai konsepsi realitas dengan islam sebagai realitas social. Dalam wacana antropologi dan sosiologi, kedua realitas tersebut dikenal dengan konsep dualisme agama (Islam), yaitu Islam tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little

tradition) atau tradisi lokal (local tradition). Ernest Gellner menyebut kedua model tersebut dengan tradisi tinggi (high tradition) dan tradisi rendah (low tradition).7 Bentuk pluralitas budaya dan agama, bisa dimanifestasikan pada ritual atau upacara Yaqowiyyu di Desa Jatinom, Klaten Jawa Tengah. Masyarakat Jatinom merupakan pemeluk Islam yang taat. Keberagamaan mereka tidak lepas dari keberadaan Ki Ageng Gribig yang dianggap sebagai kyai yang menyebarkan Islam di Jatinom pada masa Walisongo. Ki Ageng Gribig jugalah yang dipercaya masyarakat setempat sebagai orang yang menciptakan upacara Yaqowiyu. Upacara Yaqowiyu atau sebar Apem ini selalu dilakukan di bulan Sapar di minggu kedua hari Jum'at. Upacara ini selalu disambut gembira oleh penduduk setempat dan juga pengunjung yang berasal dari luar Jatinom. Ekspektasi atau harapan mereka untuk "kejatuhan" atau mendapatkan Apem yang berarti berkah bagi mereka adalah tujuan utama atau tujuan primer. Pengunjung dari berbagai daerah termasuk penduduk masyarakat Jatinom sendiri dari sebelum Sholat Jum'at telah berdatangan. Mereka mengikuti do'a bersama di Masjid ada juga yang melakukan ziarah Kubur di Makam Ki Ageng Gribig sebelum mereka berkumpul di lokasi penyebaran apem. Besar harapan mereka untuk "kejatuhan apem" karena bagi mereka itu berarti berkah. Berkah yang mereka inginkan bermacam-macam, ada yang menginginkan berkah kesehatan, dengan memakan apem bagi yang sedang sakit dan mereka mempunyai sugesti kemungkinan akan sembuh dan diberi kesehatan oleh Allah. Jika apem diletakkan di ladang berkah yang akan didapat adalah suburnya tanah sehinggga meningkatkan hasil pertanian,dan bagi yang berdagang apem dijadikan sebagai jimat untuk menambah keuntungan. Upacara Yaqowiyu ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan telah mengalami banyak perkembangan dari tahun ke tahun, salah contohnya yaitu seperti dijelaskan diatas bahwa pada awalnya upacara ini hanya dilakukan oleh keluarga Ki Ageng Gribig, namun karena begitu banyak pengunjung yang ingin mendapat berkah maka oleh pemerintah daerah dan dinas pariwisata, tradisi ini dijadikan obyek wisata kabupaten Klaten, khususnya wisata religi. Melihat fenomena diatas tentu ada hal-hal yang perlu di kaji lebih mendalam tentang makna dari upacara Yaqowiyu dan bagaimana budaya itu masih bertahan walaupun masuknya modernitas? Untuk mengetahui hal tersebut, maka diperlukan sebuah pendekatan dalam mencermati fenomena dalam upacara atau ritual tersebut.

Pendekatan atau paradigma dalam Yaqowiyyu Upacara Yaqowiyyu mempunyai fungsi untuk menyatukan masyarakat yang datang untuk merayakan. Dalam kajian antropologi, fungsionalisme adalah metodologi untuk mengeksplorasi salaing ketergantungan. Dan fungsionalisme merupakan teori tentang proses cultural.8 Perspektif fungsionalis mengadaikan bahwa suatu masyarakat dipandang sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi, yang bekerja dalam suatu cara yang relatif teratur menurut seperangkat aturan dan nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat tertentu. Sebuah perilaku atau tindakan social akan bisa dibenarkan karena hal tersebut dalam masyarakat dinilai sebagai fungsional. 9 Menurut Geertz, pendekatan fungsional kurang mengesankan dalam menghadapi perubahan sosial. Tekanan pada keseimbangan system-sistem, pada homeostatis sosial,

dan pada gambaran structural yang abadi, menghasilkan prasangka demi kepentingan masyarakat yang terintegrasi baik dalam sebuah ekuilibrium yang stabil dan menghasilkan sebuah kecenderungan untuk lebih menekankan segi-segi fungsional dari adapt dan kebiasaan suatu masyarakat daripada menekankan implikasi-implikasi disfungsional (fungsi yang negatif yang melemahkan adaptasi atau penyesuaian system tertentu) adat dan kebiasaan itu.10 Dalam fungsionalisme, ada prasyarat yang harus disusun dengan beranggapan bahwa jika secara hipotesis prasyarat tidak terpenuhi maka masyarakat tidak akan lestari. Antara lain (1) jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya rekrutmen seksual. (2) diferensiasi peran dan pemberian peran. (3) komunikasi. (4) perangkat tujuan yang jelas dan dilaksanakan bersama. (5) pengaturan normative atas sarana-sarana. (6) pengaturan ungkapan afektif. (7) sosialisasi. (8) control efektif atas bentuk-bentuk perilaku pengacau (disruptif).11 Disamping pendekatan diatas, upacara ini menggunakan pendekatan antropologissosial. Pendekatan ini menekankan cara bagaimana kepercayaan dan khususnya ritus memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara individu-individu. Pendekatan ini menekankan cara structur sosial sebuah kelompok yang diperkuat dan dilestarikan melalui simbolisasi ritualistis atau mitis dari nilai-nilai sosial yang mendasari struktur sosial tersebut.12 Salah satu cara untuk membedakan antara system kebudayaan dan system sosial adalah melihat system kebudayaan sebagai sebuah system makna dan system symbol yang teratur, yang di dalamnya interaksi sosial berlangsung, dan melihat yang terakhir sebagai pola interaksi itu sendiri. Pada satu taraf ada kerangka kerja kepercayaan-kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai. Dengan kerangka kerja itu, para individu mendefinisikan dunia mereka, mengungkapkan perasaan-perasaan dan membuat penilaianpenilaian mereka. Bentuk tetap tingkah laku interaktif itulah yang dinamakan struktur sosial. Kebudayaan dan struktur sosial tak lain adalah abstraksi-abstraksi yang berbeda dari fenomena yang sama. Yang satu memandang tindakan sosial dari sudut maknanya bagi yang menghayatinya, yang lain memandang menurut sumbangannya untuk berfungsinya system sosial tertentu.13 Kedua pendekatan ini bersama-sama memberikan pemahaman yang semakin rinci tentang fungsi-fungsi sosial dan psikologis dari agama di dalam jangkauan luas masyarakat. Salah satu konsep terpenting dalam antropologi adalah holism, yaitu pandangan bahwa praktik-praktik social harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti secara bersama-sama. Misalnya, melihat antropologi dengan kekeluargaan, pendidikan, politik, magic, ekonomi, dan lainnya14. Manusia adalah makhluk yang paling senang mengadakan atau menghadiri festival (upacara atau parade) sehingga sering disebut sebagai homo festivus. Dari zaman purba sampai modern agenda untuk mengadakan festival tidak pernah hilang. Yaitu sebuah pesta budaya yang bersifat public, bahkan selalu dikaitkan dengan ritus keagamaan. Dalam Yaqowiyyu, kita sulit memisahkan antara ekspresi agama dan budaya. Sehingga manusia

juga mendapat julukan homo ludens, karena senang dengan ragam permainan, homo religius, karena selalu mencari dan merindukan Tuhan, disamping homo festivus.15 Masyarakat mempercayai bahwa upacara Yaqowiyyu selain membawa keberkahan juga meningkatkan solidaritas antara kelompok. Ada dua alasan mengapa tetap melakukan ritual atau upacara ini untuk waktu yang lama; (1) ritual atau upacara itu mendatangkan keberkahan bagi mereka yang menghadiri dan khususnya bagi mereka yang mendapatkan apem, yaitu keberkahan untuk kesehatan, rezeki, jodoh dan lainnya. (2) mereka menikmati upacaranya, menyukai acara berkumpul dan menikmati ritual itu sendiri.16

Yaqowiyyu: sebuah ritual yang membutuhkan proses Yang membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian symbol sacral yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur. Mereka yang mengambil bagian didalamnya, system religius itu tampaknya mempengatarai pengetahuan sejati, pengetahuan-pengetahuan tentang kondisi-kondisi hakiki, sehingga kehidupan harus dihayati.17 Menurut Mariasusai Dhavamony, tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara (ritual). Ritual merupakan agama dalam tindakan. Meskipun ungkapan iman nerupakan bagian dari ritual atau ritual itu sendiri, iman kegamaan berupaya menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut.18 Upacara menandai suatu perilaku formal yang nampaknya bukan ditanamkan oleh kepentingan atau rasionalisasi dari finalitas menurut makna-makna rasional. Perilaku ritual berlaku simbolis, yaitu menyatakan sesuatu tentang keadaan persoalan-persoalan, tetapi tidak harus mempunyai implikasi tindakan.19 Upacara Yaqowiyu atau sebar apem dilakukan setiap bulan sapar minggu kedua hari Jum'at. Upacara ini setiap tahunnya selalu dikunjungi lebih dari sepuluh ribu orang, tua, muda dan remaja juga anak-anak. Laki-laki dan perempuan bercampur menjadi satu di lapangan tempat penyebaran apem. Pada upacara ini apem yang disebar berjumlah ratusan ribu kilo (berton-ton). Pada upacara Yaqowiyu bulan sapar tahun ini (1427 H/2006 M) apem yang disebar berjumlah 4 ton kepada lebih dari sepuluh ribu pengunjung. Secara historis, upacara sebar apem Yaqowiyu ini dilakukan oleh Ki Ageng Gribig yang baru pulang dari Mekkah menunaikan ibadah Haji. Dari Mekkah Ki Ageng Gribig hanya membawa tiga apem yang masih hangat. Dia ingin memberikan apem-apem tersebut kepada seluruh warga namun itu pasti tidak cukup maka Ki Ageng Gribig menyuruh istrinya (Nyai Ageng Gribig) untuk memasak kue apem, setelah apem dirasa cukup maka Ki Ageng Gribig meminta warga untuk berkumpul di Masjid dan setelah menunaikan sholat dhuhur, apem tersebut dilemparkan pada semua warga sambil melafadkan ayat al-Qur'an "Yaqowwiyu" yang artinya ya Allah berilah kami kekuatan. Maka mulai saat ini dan sampai sekarang upacara tersebut dinamakan upacara Yaqowiyu. Upacara tersebut terus dilakukan oleh Warga dalam tiap tahunnya. Menurut para sesepuh Jatinom, awalnya apem tidak berbentuk gunungan, gunungan apem mulai diadakan sejak tahun 1874, bersamaan dengan dipindahnya lokasi sebaran apem dari halaman masjid Gede desa ke tempat yang ada sekarang yaitu lapangan yang terletak di

samping sebelah selatan masjid (dataran lebih rendah). Untuk melewatinya melalui tundakan tangga yang cukup panjang. Yang membawa dan mengawal adalah petugas khusus yang berasal dari keraton Surakarta yang dapat mandat dari keraton. Dengan diiringi suara bedug dan rebana yang dimainkan oleh beberapa orang. Sekarang yang memimpin penyebaran adalah dari pemerintah kabupaten dalam hal ini Bupati Klaten. Penyusunan gunungan mengandung makna yang religius dan islami. Apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3, maksudnya adalah jumlah rokaat dalam sholat Isyak, Subuh, Dhuhur, Asar dan Maghrib. Diantara susunan itu terdapat kacang panjang, tomat, wortel yang melambangkan masyarakat sekitarnya hidup dari hasil pertanian. Di puncak gunungan terdapat mustaka (seperti mustaka masjid) yang didalamnya berisi ratusan apem. Ada dua model gunungan apem, gunungan apem lanang dan gunungan apem wadon. Gunungan wadon lebih pendek dan lebih bulat. Gunungan apem lanang lebih tinggi dan dibawahnya terdapat kepala macan putih dan ular. Kedua hewan, macan putih dan ular adalah kelangenan ki Ageng gribig. Macan diibaratkan kiai kopek yakni macan putih kesayangan Ki Ageng Gribig, sedangkan ular adalah nyai kasur milik Ki Ageng Gribig.

Makna Yaqowiyu Bagi Yang Percaya Dhavamony mencatat, menurut Susanne Larger, upacara atau ritual mempunyai makna ungkapan yang lebih bersifat logis daripada psikologis. Upacara sebagai kontrol social bermaksud untuk mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri, dengan tujuan untuk mengontrol, dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan.20 Tujuan atau makna lain dari upacara yaitu untuk menjamin perubahan yang amat cepat dan menyeluruh pada keadaan akhir yang diinginkan oleh pelaku atau pengunjung upacara. Hal ini dapat dilihat pada fenomena pelaksanaan Yaqowiyyu dengan menggalap (meminta) berkah. Disinilah manfaat adanya upacara ini, karena sebagai pengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri sebagai individu atau individu bayangan. Yaitu untuk mengontrol dengan cara yang konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan. Perspektif religius berbeda dari perspektif akal sehat dalam kenyataan, dia bergerak melampaui kenyataan kehidupan sehari-hari ke kenyataan yang lebih luas untuk mengoreksi dan melengkapi kenyataan sehari-hari itu selain menerima dan megimani. Dia berbeda pula dari perspektif ilmiah yang tidak menyebabkan dia keluar dari skeptisme yang terlembaga. Perspektif ini menghasilkan pengambilan jarak dari seluruj hal tentang faktualitas dan juga memperdalam pemusatan perhatiannya pada fakta dan berusaha menciptakan sebuah aura faktualitas belaka. Hal ini merupakan sesuatu yang diilhami dari suatu kompleks symbol-simbol khususdari metafisis yang dirumuskan dan gaya hidup yang disarankan oleh symbol tersebutdengan sebuah otoritas persuasif.21 Setiap ritus atau upacara religius, apakah otomatis atau konvensional, mencakup perpaduan simbolis dari etos dan pandangan dunia, ritus itu terutama merupakan ritusritus tertentu yang didalamnya terdapat suasana hati dan motivasi, juga konsep metafisis

yang ketiganya dipertemukan, yang membentuk kesadaran spiritual pada sebuah masyarakat.22 Dalam Yaqowiyyu, dua unsur berpadu yaitu Religius yang meliputi tindakantindakan dan keyakinan yang ditujukan kepada makhluk adikodrati atau sesuatu gagasan yang terakhir berkenaan dengan nasib (menggalap), maka upacara berarti setiap organisasi kompleks apapun dari kegiatan manusia yang tidak hanya sekedar tekhnis atau rekreasional, dan berkaitan dengan penggunaan cara-cara tindakan yang ekspresif dari hubungan sosial. Dengan kata lain, dua unsur telah ada yaitu agama atau religi (Islam) dan budaya nenek moyang (upacara). Inilah cirri khas dari masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh tiga unsur (agama, budaya nenek moyang dan modernitas).23 Upacara Yaqowiyu ini selalu ditunggu oleh masyarakat Jatinom dan sekitarnya seperti Semarang, Klaten ,Solo dan Boyolali. Bahkan masyarakat Jatinom sendiri yang pergi merantau memilih pulang kampung pada upacara Yaqowiyu daripada Lebaran24. Mereka akan menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan banyak aktifitas selama pulang kampung. Betapa bermaknanya upacara ini bagi masyarakat Jatinom. Mereka mengharapkan keberkahan-keberkahan yang dipercaya bisa meningkatkan kualitas hidup mereka. Sementara pengunjung yang berasal dari penduduk Jatinom dan diluar wilayah Jatinom sudah berkumpul di lokasi sebaran apem menunggu acara dimulai. Setelah usai sholat Jum'at, panitia dan petugas sebar apem datang bersama dua gunungan apem didiringi oleh rombongan. Mereka menuju panggung-panggung tempat sebaran apem. Dan pengunjung sudah memenuhi lapangan dalam jumlah ribuan sudah siap-siap berebut apem yang dilempar. Mereka memilih tempat-tempat yang mudah untuk kejatuhan apem. Setelah ada suara musik tradisional jawa pengunjung sudah mengetahui bahwa ini saatnya apem-apem disebarkan, mereka semua bersorak-sorak dan bertepuk-tangan sambil berteriak gembira. Suasana sebar apem ini sangat meriah, setiap orang berteriak untuk dilempari apem kearah mereka, dan ketika puluhan apem melayang kearah mereka mereka berebut dengan meriah. Gerakan mereka memburu apem dari kejauhan seperti gelombang air laut, sungguh amat menarik. Pengunjung ini sedemikian percayanya sehingga berusaha sekuat tenaga dan segala cara untuk mendapatkan apem, ada yang membawa jaring sambil naik ke pohon yang dekat dengan panggung sebaran apem ada sehingga dia bisa menangkap apem dalam jumlah banyak. Melihat perilaku pengunjung yang unik dan antusiame yang tinggi untuk mendapat apem, betapa bernilai dan bermaknanya apem-apem ini. Bahkan seorang nenek-nenek usianya mungkin sekitar 80 tahun lebih dalam kondisi yang tidak terlalu sehat, dengan gembira bercerita bahwa dia mendapatkan dua apem. Apem tersebut oleh nenek akan dihancurkan dicampur air, air campuran apem tersebut akan digunakan untuk merendam bibit tananman yang akan ditanamnya seperti padi dan jagung. Nenek ini sangat yakin hasil panen padinya akan melimpah dan mendapatkan hasil gabah yang bagus. Seorang pengunjung lain dari Semarang misalnya, ibu dan suaminya ini datang untuk kesembuhan sakit anaknya, dia berhasil mendapatkan dua apem yang satu sudah dimakannya dan yang satu lagi dibawa pulang untuk anaknya. Dia juga membawa air dari sumber dekat lokasi sebaran apem yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Sekalipun dengan kecewa ibu tersebut menunjukkan tasnya yang disobek pencopet hingga

24

Mereka akan lebih mengutamakan pulang kampong pada ritual tersebut, hal ini dikarenakan anggapan terhadap Yaqowiyyu sangatlah besar terutama dalam kehidupan mereka. Kepercayaan yang besar itulah yang membuat banyak alasan untuk mengunjungi leluhur guna mendapatkan berkah tersebut.

semua uang dan surat-surat berharganya hilang, tapi tahun depan dia masih ingin kembali berziarah ke makam ki Ageng Gribig dan mengikuti upacara Yaqowiyyu. Seorang remaja putri dan teman prianya bercerita, dia datang untuk melihat keramaian ini, dia tidak bermaksud untuk mendapatkan apem, atau berziarah. Sambil bercanda dia mengatakan biar hubungan dengan kekasihnya berjalan langgeng. Mungkinkah berkah baginya jika tetap bersama kekasihnya? Karena dari pengunjung, semua menginginkan berkah dalm bentuk yang berbeda-beda; kesehatan, rizki bahkan ada juga jodoh. Makna ritual tersebut tidak hanya dimiliki oleh pengunjung saja, bagi warga sekitar pun akan merasakan maknanya. Misalnya para pedagang kaget disekitar tempat ritual. Mereka akan mendapatkan imbasnya dengan penghasilan bisa berlipat dari biasanya.

Masuknya Modernisme dalam upacara Yaqowiyu Kata modernisme mungkin terlalu luas, karena begitu banyak atribut-atribut yang dibawanya, tidak sekedar gagasan akan tetapi juga aksi-aksi kongkrit dari ide ini. Modernism juga bisa mempengaruhi makna dari suatu peristiwa, hal ini dikarenakan Keterlibatan pemerintah daerah, dinas pariwisata serta pasar merupakan elemen-elemen modernism. Mungkin Hegel melihat manusia modern makin terpisah dari alamnya, makin terasing dari dirinya sendiri dan dari orang lain satu sama lain. Marx memandang kehidupan modern sebagai suatu perjuangan kelas diantara para kapitalis (pemilik modal) dan orang-orang yang tertindas. Weber mengutuki "sangkar besi" rasionalitas yang menekan semua makna dari kehidupan.25 Teori modernisasi sering dihubungkan dengan evaluasi positif dan optimis atas kebudayaan modern juga pada evaluasi sosial. Kebudayaan modern lebih dekat dengan industrialisasai di bandingkan dengan budaya tradisional yang cenderung agraris. Masuknya paham dan ide-ide modernism pada upacara Yaqowiyu memberi kontribusi yang berbeda dengan teori modernisasai dalam analisa Hegel. Ketika aspek-aspek modernisme masuk dalam upacara Yaqowiyu, membuat upacara ini lebih di kenal oleh khalayak dan mendatangkan keuntungan dan perubahan tersendiri pada masyarakat Jatinom. Unsure modernism tersebut terwakili oleh pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata dan masuknya pasar yang bisa menambah nilai-nilai kapitalisme dari segi ekonomi. Pada awalnya upacara Yaqowiyu ini hanya dilakukan oleh penduduk Jatinom dan juga diikuti oleh penduduk Jatinom. Namun seiring dengan keyakinan banyak orang akan mendapat berkah dengan mengikuti upacara ini maka mulai banyak orang yang berdatangan dari tempat lain yang ingin mengikuti upacara ini. Upacara atau ritual tersebut sudah menjadi salah satu wisata spiritual yang terjadi setahun sekali pada bulan Safar dengan besarnya ekspektasi pengunjung dalam prosesi dan makna yang mengemuka di kalangan mereka. Dari tahun ke tahun upacara ini semakin banyak dikunjungi orang, dan penduduk Jatinom mulai berjualan Apem dan aneka kue lainnya di jalan sepanjang sungai Soka ditepi desa. Sungai soka merupakan bekas-bekas dari petilasan Ki Ageng Gribig. Karena semakin ramainya upacara ini maka kepala Desa dan pemerintah daerah merasa perlu untuk membentuk panitia yang mengatur keramaian ini. Maka mulai dibentuk panitia penyelenggara dari keluarga, pemerintah kecamatan, kabupaten dan dinas pariwisata. Panitia yang di bagi dua ini; panitia tetap dan tidak tetap memiliki tugas yang berbeda-

beda. Panitia tetap (keluarga) bertugas mengatur upacara, sedangkan panitia tidak tetap bertugas mengatur hal-hal yang berkenaan dengan keramaian, pencarian dana, pengadaan pasar, iklan, pemungutan karcis, kontrak kerja dengan perusahaan yang menyeponsori. Pada awalnya pengunjung tidak dikenai uang masuk tapi dari sejak tiga tahun yang lalu 2003, panitia sudah mulai memberlakukan tarif uang masuk sebesar 1000 rupiah perorang. Bisa dibayangkan dari puluhan ribu pengunjung yang datang berapa pendapatan yang masuk pada pemerintah kabupaten. sebuah pendapatan tersendiri bagi kabupaten Klaten. Akan tetapi barangkali cukup adil bagi pengunjung dengan 1000 rupiah bisa mengikuti upacara Yaqowiyu, berziarah ke makam Ki Ageng Gribig dan keluarga serta membawa air dari sumber mata air yang diyakini sangat berkhasiat bagi kesehatan. Modernism yang masuk adalah adanya pasar. Pasar yang dimaksud disini ada dua yaitu pasar tradisional dan perusahaan yang mensponsori upacara ini. Dengan dibentuknya panitia pelaksana upacara Yaqowiyu yang bertugas mengatur keramaian dan pasar tradisional. Dari tujuh hari sebelum hari pelaksanaan upacara pedagang dari berbagai daerah termasuk penduduk Jatinom sendiri mulai menempati sepanjang jalan menuju lokasi yang berfungsi sebagai pasar. Keberadaan pasar dadakan ini memberi penghasilan yang cukup besar bagi penduduk. Pengunjung yang ingin menyaksikan keramaian dan kemeriahan mulai berdatangan dari luar Jatinom. Baik mereka yang memiliki sanak saudara di Jatinom maupun yang tidak merupakan aset bagi pedagang ini. Begitu juga penduduk Jatinom yang tinggal dan bekerja di luar kota mulai pulang ke kampung halamannya. Penduduk yang berjualan apem hangat-hangat juga sudah mulai memenuhi jalan-jalan kecil kampung menuju makam Ki Ageng Gribig. Pada tanggal 15 sapar, hari jum'at merupakan puncaknya. Orang-orang penuh sesak. Begitu juga dengan pedagang apem-apem dan pedagang minuman keliling laris menjual dagangannya. Dari keterangan panitia petugas pelempar apem, pembuatan panggung disponsori oleh perusahaan rokok yang cukup terkenal di Indonesia dengan masa kontrak lima tahun. Bentuk sponsor tersebut berupa pembuatan dua buah panggung untuk menyebar apem yang berada di tengah-tengan lapangan dengan tinggi sekitar 15 meter. Hal ini memudahkan panitia untuk menyebar apem tersebut sehingga bisa mencapai ke semua orang yang memadati lapangan tersebut. Nampak di sekeliling panggung di tutup dengan spanduk yang bergambar dan bertuliskan perusahaan rokok tersebut. Sepanjang jalan dari pasar jatinom nampak berbagai baliho iklan dari berbagai perusahaan yang mendukung upacara ini.

Refleksi Sudah semestinya agama (baca: Islam) yang diturunkan ke bumi dengan segala isinya harus membumi, mampu bersandingan dengan 'yang lain' (the other). Ia tidak harus dilangitkan (sakral) karena hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia sebab tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan manusia. Padahal sesungguhnya agama diturunkan untuk manusia. Agama harus ditarik ke dalam wilayah profan di mana manusia sebagai khalifah di bumi mampu meng-creat keberagamaannya disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural yang melingkupinya. Agama tidak harus menjadi amunisi untuk menghabisi budaya lokal yang ada malah akan saling menyetubuhi menuju rekonsiliasi kultural, sehingga agama benar-benar membumi, indigenous. Upacara Yaqowiyyu merupakan penggabungan dari budaya lokal dan agama (Islam). Pendekatan yang ada dalam Yaqowiyyu adalah fungsionalisme yaitu metodologi untuk mengeksplorasi salaing ketergantungan. Dan fungsionalisme merupakan teori tentang

proses cultural. Juga pendekatan antropologis-sosial yaitu pendekatan yang menekankan cara bagaimana kepercayaan dan khususnya ritus memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara individu-individu. Dalam Yaqowiyyu, memuat tiga unsur yang dikenalkan oleh Bernard A. Risakotta yaitu (agama, budaya nenek moyang, dan modernitas). Masing-masing terwakili pada fungsinya. Agama disini adalah agama Islam yang merupakan agama yang diakui di Indonesia. Salah satu definisi budaya nenek moyang menurut dia adalah kepercayaan pada hal-hal yang dianggap mistis oleh masyarakat. Terakhir adalah modernitas yang mana sudah jelas sekali bahwa unsur tersebut merupakan bagian yang cukup besar mempengaruhi pada perayaan tersebut. Masuknya elemen-elemen modernitas seperti masuknya berbagai institusi pemerintah telah memberi warna yang menarik bagi perkembangan upacara dan masyarakat. Pemberian fasilitas-fasilitas untuk upacara telah memeudahkan pengunjung untuk mengikuti upacara ini. Dan masyarakat sendiri mengalami peningkatan ekonomi setelah masuknya pasar. Elemen-elemen modernitas tidak merusak makna yang sebenarnya tentang upacara Yaqowiyu.

Kesimpulan Masyarakat dan kebudayaan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan merupakan suatu pengetahuan yang bersifat abstrak yang ada di masyarakat, dengan kebudayaan, individu sebagai anggota masyarakat mewujudkan tingkah lakunya yang dipakai untuk berinteraksi baik dengan lingkungan alam, binaan yang dihadapinya atau dengan lingkungan social dalam lingkungan masyarakatnya. Kebudayaan bersifat abstrak dan berada dalam gerak individu-individu anggota masyarakat dan dipakai sebagai sarana interpretasi yang merupakan rangkaian model-model kognitif yang dihadapkan pada hidup manusia atau sebagai referensi dalam mewujudkan tingkah laku yang berkenaan dengan pemahaman individu terhadap lingkungan hidupnya. Macam keselarasan antara gaya hidup dan kenyataan fundamental yang dirumuskan simbol-simbol sakral bervariasi dari kebudayaan yang ke kebudayaan yang lain. Kekuatan agama dalam menyangga nilai-nilai social terletak pada kemampuan symbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu dan juga kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai tersebut. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran nyata. Melalui upacara atau ritual Yaqowiyyu ternyata kearifan local masih mengejala di kalangan masyarakat yang mempercayainya, sehingga perlu dukungan dari siapapun untuk melestarikannya. Peran pemerintah dan masuknya pasar sebagai bagian dari modernitas juga sangat mendukung untuk keberlangsungan upacara atau ritual yang masih ada di tengah-tengah masyarakat yang sebagian masih beranggapan hal tersebut merupakan produk nenek moyang yang tidak sesuai dengan jamannya lagi. Hal ini dikarenakan dalam upacara atau ritual tersebut pun peran agama sangat dominan sebagai bentuk kepercayaan terhadap Yang Maha Kuasa. Sehingga, relasi agama dan budaya local memang tidak bisa dielakkan lagi dengan melihat pada upacara atau ritual Yaqowiyyu tersebut.

Endnote: 1 Azyumardi Azra. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. (Jakarta, Paramadina, 1999), hal. 11 2 Ibid, hal 12.

(Hal ini dapat dilihat tatkala doktrin pokok al-Quran tentang Fiqh telah dirumuskan secara terperinci, saat itu juga para ahli terpaksa mempertimbangkan factor social budaya, dan memunculkan konsekuensi pada sebuah perbedaan diantara imam-imam. Misalnya, Imam SyafiI mengembangkan konsep qawl al-qodim ketika di Irak dan qawl al-jadid saat pindah ke Mesir)
3 4

Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 160 Zakiyuddin Baidhawi dan Muthoharun Jinan (ed). Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003), hal 28 5 http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=175. diambil 23 Mei 2006 Zakiyuddin, Op.cit, hal: 63 David Kaplan, Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. p. 77 8 Dr. H.R Riyadi Soeprapto, M.S, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. p. 72 9 Clifford Geertz. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991. hal. 73 10 David Kaplan, hal. 87 11 Clifford Geertz. Op.cit. hal. 71 12 Ibid, hal 74 13 Peter Connoly, Aneka Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal.34 14 Komaruddin Hidayat, Dialektika Agama dan Budaya, dalam M. Thoyibi (ed), Sinergi Agama dan Budaya Lokal: dialektika Muhamadiyah dan seni local. (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2003), hal. 7 15 David Kaplan, op.cit. hal 80 16 Clifford Geertz. Op. cit. hal. 53 17 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama. (Yogyakarta: Penerbit kanisius, 1995), hal 167 18 Ibid, hal 182 19 Ibid. hal 179 20 Clifford Geertz, op.cit. hal 32 21 Ibid, hal 33 22 Bernard T.Adeney R, Tantangan dan dampak kebudayaan modern dan Pasca-Modern dalam Sociology of Religion: A Reader. (Yogyakarta, 2004). hlm.374 23 Mereka akan lebih mengutamakan pulang kampong pada ritual tersebut, hal ini dikarenakan anggapan terhadap Yaqowiyyu sangatlah besar terutama dalam kehidupan mereka. Kepercayaan yang besar itulah yang membuat banyak alasan untuk mengunjungi leluhur guna mendapatkan berkah tersebut. 24 Bernard, ibid
7 6

Referensi Adeney, Bernard T., Tantangan dan dampak kebudayaan modern dan Pasca-Modern dalam Sociology of Religion: A Reader. Yogyakarta, 2004 Azra, Azyumardi. Konteks Paramadina, 1999) Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. (Jakarta,

Baidhawi, Zakiyuddin dan Muthoharun Jinan (ed). Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003 Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Penerbit kanisius, 1995 Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991 Hidayat, Komaruddin Dialektika Agama dan Budaya, dalam M. Thoyibi (ed), Sinergi Agama dan Budaya Lokal: dialektika Muhamadiyah dan seni local. Surakarta: Muhamadiyah University Press

Kaplan, David Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996) Soeprapto, Riyadi, M.S, Interaksionisme Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern.

http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=175, diambil 23 Mei 2006

TIPOLOGI TASAWUF FALSAFI

Oleh : Fathul Mufid ABSTRAK Ada dua bentuk tasawuf atau mistisisme dalam Islam, yaitu bercorak religius dan bercorak filosofis. Tasawuf yang bercorak religius adalah semacam gejala yang sama dalam semua agama, baik agama-agama langit atau agama purba. Sedangkan tasawuf yang bercorak filosofis, sejak lama telah dikenal di Timur sebagai warisan filsafat Yunani, maupun di Eropa abad pertengahan ataupun modern. Tasawuf religius adakalanya berpadu dengan tasawuf filosofis, seperti yang dapat kita lihat dalam beberapa sufi muslim maupun mistikus Kristen. Oleh sebab itu, pada diri seorang filosof terjadinya kecenderungan intelektual dan mistik secara terpadu sudah merupakan sesuatu yang tidak asing. Perpaduan antara dua bentuk tasawuf inilah yang menjadi embrio lahirnya tasawuf falsafi dalam sufisme. Tasawuf falsafi adalah pemaduan antara visi mistis dengan visi rasional atau perpaduan antara tasawuf dengan filsafat, sehingga ajaran-ajarannya bercampur dengan unsur-unsur dari luar Islam, seperti filsafat Yunani, Persi, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka, sejalan dengan ekspansi Islam pada waktu itu, tetap menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Para sufi falsafi memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan, yang kemudian melahirkan konsep mistik semi-filosofis ittihad dan fanabaqa yang dibangun oleh Abu Yazid al-Busthami, konsep hulul yang dialami oleh Husein bin Mansur al-Hallaj, maupun konsep tasawufnya Ibn Arabi yang dikenal dengan wahdat al-wujud, konsep isyraqiyah yang dirumuskan oleh Suhrawardi almaqtul, al-hikmah al-mutaaliyah yang digagas oleh Mulla Shadra, dan lain sebaginya.

Key word : Tipologi, tasawuf, falsafi, rasional, spiritual, kasyf, isyroqiyah. Wahdat al-wujud, dan al-hikmah al-mutaaliyah.

A. Pendahuluan
Tasawuf atau sufisme dewasa ini sangat menarik perhatian para peneliti muslim maupun kaum orientalis, bahkan masyarakat muslim awam. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kajian tasawuf yang dilakukan oleh para cendekiswan muslim, para peneliti Barat, maupun tumbuh suburnya pengajian tasawuf dalam berbagai level di kalangan masyarakat muslim ( Sokhi Huda, 2008 : 1). Berdasarkan fenomena tersebut, logis jika ada beberapa kalangan yang meramalkan bahwa tasawuf akan menjadi trend pada abad ke-21, sebagai suatu gerakan yang paling menonjol pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang dikenal dengan New Age Movement. Gerakan ini sebagai respon terhadap paradigma modernisme yang telah mengalami kegagalan ( Ruslani (ed), 2000 : vi-vii). S. H. Nasr menyatakan bahwa tasawuf pada hakekatnya adalah dimensi terdalam dan esoteris dari Islam ( the inner and esoteric dimension of Islam ) yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Adapun syariah adalah dimensi luar atau eksoteris ajaran Islam. Pengamalan kedua dimensi itu secara seimbang merupakan keharusan dari setiap muslim, agar di dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadi sempurna lahir dan batin ( S.H. Nasr, 1966 : 36). Sementara itu Ibn Khaldun menyatakan bahwa tasawuf termasuk salah satu ilmu agama yang baru dalam Islam. Cikal bakalnya bermula dari generasi pertama umat Islam, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun generasi setelahnya. Ia adalah jalan kebenaran dan petunjuk yang asal usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, pengharapan diri sepenuhnya kepada Allah, penjauhan diri dari kemaksiyatan, serta pemisahan diri dari orang lain untuk berkhalwat dan beribadah ( Ibn Khaldun, tt : 370). Jadi, apa yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Tuhan dalam suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya, sehingga kita melihat-Nya, atau bahwa Ia senantiasa mengawasi kita, dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya ( Nurcholis Madjid, 1985 : 100). Intisari dari mistisisme atau sufisme adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri atau berkontemplasi ( Harun Nasution, 1973 : 56). Konteks dinamika tasawuf dengan jalan kontemplasi akan dapat tampil dalam segala aspek kehidupan, bukan dengan pengasingan diri an sich, sehingga memungkinkan diterapkan oleh siapa saja, tanpa harus meninggalkan peran-perannya dalam kehidupan duniawi, seperti sebagai pendidik, pejabat, pedagang, dan lain sebagainya. Tasawf bukan berarti pelarian diri dari kenyataan hidup, tetapi ia merupakan usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang akan menegakkannya pada saat menghadapi kehidupan materialistis, dan juga untuk merealisasikan keseimbangan jiwanya, sehingga timbul kemampuan menghadapi berbagai kesulitan atau masalah hidup. Dengan demikian, tasawuf justeru mengaitkan kehidupan individu dengan masyarakatnya, sehingga bermakna positif bukan negatif ( Al-Taftazani, 1983 : 7). Di antara konsep tasawuf falsafi yang belum banyak dikaji oleh para pemerhati tasawuf adalah al-hikmah al-mutaaliyah yang dibangun oleh Mulla Shadra ( 980 H/1571 M- 1050 H/ 1640 M) yang hidup pada masa dinasti Safawi di Persia. Shadra dalam tasawuf falsafinya memadukan empat madzhab pemikiran sebelumnya, yaitu; 1) aliran paripatetik dari filsafat Islam, 2) al-hikmah al-isyraqiyah dari Suhrawardi, 3) ajaran irfan (gnosis) dari Ibn Arabi, dan 4) ilmu kalam dengan berbagai macam varian di dalamnya ( J. Rahmat, 2004 : Viii). Jika Ibn Arabi menyampaikan pengalaman mistiknya dengan menghindari bukti-bukti logis, Suhrawardi dengan teori isyraqiyahnya memberikan landasan rasional bagi visi spiritual, maka Shadra dengan al-hikmah almutaaliyahnya melanjutkan model Suhrawardi, meskipun ada beberapa perbedaan terutama pada aspek ontologisnya ( ibid, hal : xv).

Penulis dalam makalah ini berupaya melacak tipologi tasawuf falsafi secara umum, dan secara spesifik terhadap konsep irfannya Ibn Arabi, konsep isyraqiyahnya Suhrawardi, dan al-hikmah al-mutaalyah dari Mulla Shadra, yang meyakini sepenuhnya bahwa pengetahuan yang sejati adalah yang diperoleh melalui kasyf, yang ditopang oleh wahyu dan tidak bertentangan dengan burhan ( Syaifan Nur, 2003 : 51).

B. Definisi dan Aliran-Aliran Tasawuf


1. Definis Tasawuf Pengertian tasawuf baik secara etimologi maupun terminologi, terdapat banyak versi, sehingga timbul kesan antara versi yang satu dengan yang lain saling bertentangan. Namun yang lebih umum dipilih oleh para sufi sendiri adalah berasal dari kata shafa yang berarti kejernihan atau kesucian. Al-tashawwuf shafa al-sirr min kadarat al-mukhalafat ( tasawuf adalah kesucian hati dari pencemaran ketidakselarasan), maknanya ialah bahwa sufi harus menjaga hatinya dari ketidak selarasan dengan Tuhan, karena cinta adalah keselarasan ( Al-Hujwiri, 1993 : 47). Banyaknya akar kata yang diduga menjadi derivasi kata tasawuf, seperti shuf ( kain dari bulu domba), shaf (barisan), shuffah ( para zahid di serambi masjid Nabawi), shopos (kebijaksanaan), dan shafa (kesucian hati), menyebabkan sulitnya menarik rumusan definisi tern tasawuf tersebut. Kesulitan lain juga berpangkal pada esensi tasawuf sebagai pengalaman ruhaniyah yang sulit dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan maupun tulisan. Pengalaman ruhaniyah bersifat subyektif, sehingga mesing-masing orang mempunyai penghayatan dan pengungkapan yang berbeda satu sama lain, dan lebih dari itu secara historis-sosiologis, tasawuf tumbuh dan berkembang melalui berbagai segmen dan kawasan kultur yang berbeda. Namun demikian para ahli tetap berupaya merumuskan definisi tasawuf yang didasarkan pada satu asas yang disepakati, yaitu moralitas yang berdasarkan Islam. Artinya, pada prinsipnya tasawuf adalah moralitas yang bersemangat Islam, karena seluruh ajaran Islam pada hakekatnya adalah ajaran moral. Oleh sebab itu, di antara upaya para ahli yang berupaya merumuskan definisi tasawuf, nampaknya ada yang lebih tepat, yakni definisi yang dirumuskan oleh Ibrahim Basuni dalam bukunya yang berjudul Nas-ah al-tasawwuf al-Islam ( Ibrahim Basuni, 1969 : 17-25). Definisi tasawuf yang beragam itu oleh Basyuni dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : pertama, al-bidayat, yaitu prinsip awal tumbuhnya tasawuf sebagai manifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan, sehingga mendorong para sufi untuk memusatkan perhatiannya dalam beribadah kepada khaliqnya, yang dibarengi dengan kehidupan asketisme ( zuhud) dengan tujuan utama pembinaan moral. Berangkat dari prinsip al-bidayat di atas, tasawuf didefinisikan sebagai upaya memahami hakekat Allah, seraya melupakan kehidupan duniawi. Definisi lain mengatakan, bahwa tasawuf adalah usaha mengisi hati dengan selalu mengingat kepada Allah yang merupakan landasan lahirnya ajaran hubb ( cinta ilahi). Kedua, al-mujahadat, yaitu seperangkat amaliah dan latihan yang ketat dengan satu tujuan, yaitu berjumpa dengan Allah. Berangkat dari prinsip tersebut, tasawuf diartikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh agara seseorang berada sedekat mungkin dengan Allah dan dapat berhubungan langsung dengan Allah. Ketiga, al-madzaqat, yaitu prinsip yang didasarkan pada pengalaman spiritual yang dirasakan seseorang di hadirat Allah. Apakah ia merasa melihat Allah, atau merasakan kehadiran Allah dalam hatinya, dan atau ia merasa bersatu dengan Allah.

Berangkat dari prinsip di atas, maka tasawuf dipahami sebagai al-marifah al-haqq, yakni ilmu tentang kakekat realitas intuitif yang terbuka bagi seorang sufi. Untuk memahami apa hakekat tasawuf dengan berbagai alirannya, perlu juga dipahami ciri khas atau karakteristik tasawuf, yaitu; 1) Tasawuf memiliki obsesi kedamaian dan kebahagiaan spiritual yang abadi. Tasawuf berfungsi sebagai pengendali berbagai kekuatan yang bersifat merusak keseimbangan daya dan jiwa, agar ia kebal terhadap pengaruh luar dirinya untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan jiwa. 2) Tasawuf sebagai model epistemologi untuk mendapatkan pengetahuan langsung melalui tanggapan intuisi. Epistemologi sufisme ini tujuannya mencari hakekat kebenaran hakiki atau Realitas Mutlak (Wujud) melalui penyingkapan tabir (hijab), sehingga seorang sufi secara langsung melihat dan merasakan realitas itu. 3) Bahwa dalam setiap perjalanan (maqam) seorang sufi untuk meningkatkan kualitas moral dan penyucian jiwa ( tashfiyah an-nafs) melalui serial riyadlah yang ketat dan kontinyu. 4) Adanya peleburan diri pada kehendak Realitas Mutlak (Tuhan) melalui fana, baik dalam pengertian simbolis (sifat-sifat Tuhan) maupun pengertian substansial (Dzat-Nya). 5) Penggunaan kata-kata simbolis dalam mengungkapkan pengalaman batin, sehingga menimbulkan makna ambigu, tetapi yang ia maksud adalah makna yang ia rasa dan alami, bukan arti harfiahnya, yang dikenal dengan syathahat ( Al-Taftazani, Opcit, hal : 4-5).

2. Aliran-Aliran Tasawuf Tasawuf adalah merupakan kebudayaan Islam, karenanya unsur budaya lokal sangat mewarnai corak tasawuf, sehingga muncul beberapa aliran tasawuf, yaitu : a. Tasawuf Salafi, yaitu tasawuf yang ajaran dan metodenya berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi, serta praktik kerohanian generasi salaf. b. Tasawuf Sunni, yaitu tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan aspek syariah dan hakekat, namun diberi interpretasi dan metode yang belum dikenal pada masa salafussalihin. c. Tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang ajarannya berusaha memadukan antara visi tasawuf dan filsafat, sehingga cenderung melampaui batas-batas syariah ( Simuh, dkk, 2001 : 86-87). Sementara itu ada yang membagi tasawuf menjadi tiga aliran, yaitu; a) tasawuf akhlaqi, b) tasawuf amali, dan c) tasawuf falsafi. Perlu dipahami bahwa pembagian tersebut hanya sebatas dalam kajian akademik, sehingga ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, sebab dalam praktik, ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya (Amin Syukur, 1999 : 43)..

C. Tipologi Tasawuf Falsafi


Setiap agama dan setiap aliran mistik semuanya berawal dari satu konsep dan tujuan tertentu untuk mencapai sesuatu yang asli dan final. Bagi aliran mistik moderat, tujuan akhirnya adalah berupa penyaksian dan perjumpaan (syuhud, vision) terhadap yang asli melalui station-station ( maqamat, stages). Hal ini karena alliran tasawuf moderat mengakui prinsip bahwa alam semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Yang Maha Esa, diciptakan dari tiada menjadi ada ( creatio ex nihilo).

Sedang mistik ekstrim (semi -falsafi) maupun tasawuf falsafi, tujuan akhirnya adalah sampai pada tingkat menyatu dengan Yang Esa itu ( ittihad, union, jumbuh). Hal ini karena aliran mistik ekstrim dan falsafi, meyakini bahwa alam semesta merupakan pancaran ( emanasi, isyraq) dari Yang Maha Tunggal atau penjelmaan ( manifestasi, mazdhar) dari Yang Maha Esa ( Rivay Siregar, Opcit, hal : 22). Ada tiga tipe penyatuan dengan Tuhan dalam dunia tasawuf falsafi, yaitu : 1. Tipe etis, yaitu berupaya untuk menciptakan manusia paripurna atau manusia waskita, agar ia mampu berjumpa dengan Yang Ada melalui samadi, yoga seperti aliran subud. 2. Tipe kosmis, yaitu berupaya melebur diri, agar dapat menyatu ke dalam jiwa alam universal secara transenden ada melalui jalur emanasi menuju sangkan paran, karena manusia adalah pletikan-Nya. 3. Tipe Pantheistis, yang dalam tasawuf disebut ittihad atau manunggaling kawulo - Gusti dari situasi trans yang kemudian meningkat ke kasdaran ekstase ( fana) ( Surahardja, 1983 : 46). Sufi yang beraliran falsafi memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan, sehingga pembahasannya lebih bersifat filosofis, yakni meluas ke masalah-maslah metafisika. Pembahasan tasawuf falsafi meliputi hakekat manusia, hakekat Tuhan, dan proses kebersatuan manusia dengan Tuhan. Dalam tipe tasawuf ini, pembahasan terpenting adalah persoalan fana dan baqa, ittihad, hulul, wahdah al-wujud, insan kamil, isyraq, dan lain sebagainya. Asas dari pembahasan tasawuf falsafi adalah pemaduan antara visi mistik dengan visi rasional, sehingga banyak menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, meskipun maknanya telah disesuaikan dengan konsep tasawuf yang dirumuskan. Oleh sebab itu, para tokoh sufi falsafi pada umumnya mengenal dengan baik filsafat Yunani dengan berbagai alirannya seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Stoa, dan terutama NeoPlatonisme ( M. Sholihin dan Rosihon Anwar, 2008 : 68). Para sufi falsafi memiliki teori yang mendalam mengenai soal jiwa, moral, pengetahuan ( epistemologi), wujud ( ontologi), dan lain sebagainya yang sangat bernilai, baik ditinjau dari segi mistisk maupun filsafat. Paerhatian para sufi falsafi terutama diarahkan untuk menyusun teori tentang wujud dengan berlandaskan rasa (dzauq) yang merupakan titik tolak ajarannya. Sementara itu Ibn Khaldun menyimpulkan bahwa obyek utama yang menjadi perhatian para sufi falsafi ada empat, yaitu : 1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul darinya. 2. Iluminasi ataupun hakekat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani, arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenaikan ruh, hakekat realitas segala yang wujud yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos. 3. Peristiwa-peristiwa dalam alam atau kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluar- biasaan. 4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (Syathahiyyat), yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, atau memberi interpretasi. Mengenai latihan tingkatan (maqam) maupun keadaan ( hal) rohaniah, serta rasa( dzauq) yang ditimbulkannya, para sufi falsafi cenderung sependapat dengan sufi sebelumnya (baca sunni), karena hal tersebut tidak mungkin seorang pun mengingkarinya, sehingga segenap rasa para sufi falsafi adalah benar, dan akan mengantarnya menuju kebahagiaan hakiki ( Ibn Khaldun, Opcit, hal : 332). Oleh karena tipologi tasawuf falsafi bersifat sinkritis antara teori-teori filsafat dan mistik, maka tidak bisa sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa

sepenuhnya dikatakan filsafat. Hal ini karena tasawuf falsafai di satu pihak menggunakan term-term filsafat, namun di lain pihak metode yang digunakan adalah pendekatan intuitif (dzauq/wijdan) ( Al-Taftazani, Opcit, hal : 187). Para sufi falsafi menggunakan istilah-istilah dan simbol-simbol yang berbeda dalam mengungkapkan pangalaman spiritualnya, namun mereka memiliki kesamaan tujuan yaitu untuk memperoleh hubungan langsung dengan Allah SWT. Inilah salah satu ciri umum (tipologi) tasawuf falsafi yang dalam mengungkapkan ajaran-ajarannya menggunakan bahasa simbolis alegoris ( J.S.Trimingham, 1997: 1). Tasawuf falsafi ini dapat dipilah menjadi tiga fase, yaitu; a) fase semi-falsafi yang muncul pada abad ketiga Hijriyah, dengan munculnya Abu Yazid al-Busthami yang menggagas konsep fana-baqa dan konsep ittihad, dan Husein ibn Mansur al-Hallaj yang terkenal dengan ungkapannya ana al-haqq dan konsep hulul, serta konsep wahdah as-syuhud b) fase tasawuf falsafi irfani pada abad keenam dan ketujuh Hijriyah dengan tampilnya Ibn Arabi yang mempunyai toeri wahdah al-wujud, insan kamil, dan teori Nur Muhammad, Suhrawardi dengan teori isyraqiyah, Abdul Karim alJilli dengan teori insan kamil, dan Ibn Sabin denga teori kesatuan mutlak, dan c) fase tasawuf falsafi Persia pada abad kesembilan dan kesepuluh Hijriyah, yang tokohnya antara lain adalah Mir Damad yang memiliki konsep al-huduts al-dahri dan az-zaman al-mitsli, dan Mulla Shadra yang terkenal dengan al-hikmah al-mutaaliyah. Tokoh tasawuf falsafi yang disebut terakhir menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini, karena al-hikmah al-mutaaliyah yang dibangun Mulla Shadra merupakan kombinasi dari empat tradisi pemikiran sebelumnya, yaitu filsafat paripatetik terutama aliran Ibn Sina, tasawuf irfani dari Ibn Arabi, al-hikmah al-isyraqiyahnya Suhrawardi al-maqtul, dan ilmu Kalam dalam berbagai versi, terutama dari syiah Ismaili. Sebagai contoh keunggulan Shadra dalam al-hikmah al-mutaaliyah adalah gagasan teori wahdah al-wujud yang bercorak monisme-filosofis yang didasarkan pada analisis dan mempertimbangkan kritik-kritik logis,dan paradoks-paradoks filosofis sedemikian rupa, sehingga kebal terhadap berbagaai keberatan dan sanggahan. Semantara wahdah alwujud yang dibangun Ibn Arabi tidak didasarkan pada prinsip-prinsip filosofis dan ontologis, tetapi hanya didasarkan pada perenungan dan pengalaman spiritual. Karenanya ia tidak dapat dipandang sebagai sebuah gagasan filosofis dan tidak kebal terhadap berbagai kritik ( Muhsin Labib, 2004 : 87). Dipandang dari sudut epistemologi, pemikiran Shadra lebih tepat dimasukkan ke dalam domain tasawuf falsafi, karena ia berpendapat bahwa untuk meraih pengetahuan yang sempurna, pengetahuan rasional harus dipadu dengan pengalaman spiritual, dan pengetahuan spiritual harus dipadu dengan realisasi kesadaran yang lebih tinggi yang merupakan karunia Allah yang dapat dicapai oleh orang-orang yang menyucikan jiwanya dengan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw ( Fadlullah Haeri, 1994 : 134). Metode lain yang menyampaikan seseorang kepada pengetahuan yang sejati (hikmah) adalah kasyf melalui ilmu ladunni, dan selama seseorang belum sampai pada yingkatan tersebut, maka jangan dijadikan sebagai ahli hikmah, yang merupakan salah satu karunia ketuhanan ( Syifan Nur, 2002 :125).

D. Tasawuf Ibn Arabi


1. Epistemologi Ibn Arabi Marifat adalah pengetahuan tentang keesaan Tuhan yang dimiliki oleh para wali yang memandang Allah dengan mata hati. Hakekat marifat adalah memandang Tuhan dengan sinar marifat yang memancar dari dalam hati ( Masyaharuddin, 1999 : 53 ). Ibn Arabi menyatakan bahwa pengetahuan marifat diperoleh secara intuitif

melalui ilham dari Allah secara langsung mengenai kebenaran dan hakekat sesuatu, yang dapat ditangkap oleh rasa batiniyah (dzauq ). Ciri-ciri pengetahuan marifat menurut Ibn Arabi adalah sebagai berikut : 1. Bersifat bawaan dan berhubungan dengan cahaya ilahi ( al-faidl al-ilahi ) yang menerangi wujud makhluk dan mengejawantah pada manusia sufi dalam keadaan mistik tertentu. 2. Tak terjangkau akal pikiran, kerana akal tak mampu mengujinya ( supra rasional ). 3. Menyatakan diri dalam bentuk cahaya yang menyinari setiap hati sufi, ketika mereka telah mencapai maqam pemurnian hati. 4. Menyatakan diri hanya pada manusia tertentu ( arif ). 5. Tidak seperti pengetahuan spekulatif yang mengandung kira-kira, melainkan mengandung sifat pasti benar dan menimbulkan haqq al-yaqin. 6. Memiliki kemiripan dengan ilmu Tuhan, karena ia merupakan penyingkapan rahasia Tuhan. 7. Ilmu marifat adalah hasil dari pengalaman dan pengamatan langsung. 8. Melalui ilmu ini para sufi memperoleh pengetahuan yang sempurna tentang hakekat realitas ( Afifi, 1989 : 150-153 ). Ibn Arabi mengatakan, kesempurnaan marifat ialah dengan mengetahui tujuh obyek pengetahuan, yaitu : 1) mengetahui asma ilahi, 2) mengetahui tajalli ilahi, 3) mengetahui taklif Tuhan terhadap hambanya, 4) mengetahui kesempurnaan dan kekurangan wujud alam semesta, 5) mengetahui diri sendiri, 6) mengetahui alam akhirat, dan 7) mengetahui sebab dan obat penyakit batin ( Ibn Arabi, tt, jilid II : 319 ). Dengan mengetahui tujuh obyek tersebut sampailah sufi kepada taraf marifat yang sempurna. Untuk mencapai marifat sempurna itu seorang sufi harus melewati 60 tahapan-tahapan ( maqamat ) dengan senantiasa melakukan bermacam-macam ibadah, mujahadah, dan kontemplasi yang sesuai dengan aturan agama, sehingga satu demi satu maqamat itu dapat dilaluinya ( ibid : 139). Menurut Ibn Arabi ada tiga macam pengetahuan, yaitu : 1) pengetahuan intelek (al-ilm al- aqli ) yang merupakan hasil penalaran akal, 2) pengetahuan keadaan ( al-ilm al-ahwal ), sebagai hasil eksperimen, dan 3) pengetahuan rahasia ( al-ilm al-asrar), yang mirip dengan wahyu ( ibid, jld I : 31). Ada beberapa ciri pengetahuan rahasia (esoterik ) ini, yaitu : 1. Bersifat pasti dan meyakinkan, bukan bersifat spekulatif, karena ia merupakan visi langsung terhadap hakekat sesuatu, bukan melalui dalil-dalil. Orang yang mendapatkan ilmu ini berada dalam cahaya Tuhannya di jalan yang benar. 2. Pada dasarnya pengetahuan esoterik ini identik dengan pengetahuan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, orang yang bisa mencapainya hanyalah mereka yang telah menyadari kesatuan esensialnya dengan Tuhan, dalam hal fana dan baqa. 3. Sukar diungkapkan dengan kata-kata yang mudah dipahami orang awam, karena merupakan pengalaman rohani seorang sufi yang hanya bisa diungkapkan dengan bahasa simbolik dan metafora. 4. Ia merupakan karunia ( mawahib ) langsung dari Tuhan, setelah seseorang menempuh penyucian rohani. 5. Pengetahuaan esoterik ini hanya dimiliki oleh para Nabi dan Wali, karena merekalah yang telah mencapai puncak tertinggi penyucian rohani dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga mencapai peringkat insan kamil (Yunasril Ali, 1977 : 85-86 ). Selanjutnya Ibn Arabi menjelaskan, bahwa pengetahuan rahasia ( esoterik, alilm al-asrar) ini secara umum mirip dengan ilham, namun mempunyai beberapa perbedaan, yaitu :

1. Keseluruhan pengetahuan esoterik ini mengandung kebenaran dan kebaikan, sedang ilham bisa mengandung kebenaran dan kebaikan, dan bisa mengandung kesalahan dan keburukan. 2. Ia bersifat permanen, tidak akan hilang selamanya, sedang ilham tidak mesti demikian. 3. Ia merupakan hasil dari penghayatan iman dan amal saleh, sedang ilham tidak mesti demikian. 4. Pengetahuan ini hanya diperolah para nabi dan wali Allah, sedang ilham dapat pula diperoleh oleh siapa saja, bahkan orang jahat sekalipun ( Ibn Arabi, Jld I, tt : 237).

2. Ajaran Pokok Ibn Arabi Ibn Arabi mengungkapan ajaran-ajaran dan gagasan- gagasan para sufi sebelumnya dengan merekam secara sistematis dan rinci simpanan luas pengalaman mistik dan tradisi sufi. Ia menggali dari khazanah istilah-istilah teknis dan simbolsimbol dunia mistik yang diperkaya dengan pergumulaan berabad-abad antara dunia Islam dengan Neo Hellenistik. Ibn Arabi meninggalkan pernyataan-pernyataan definitif ihwal ajaran-ajaran sufi dan juga rekaman lengkap warisan esoteris Islam, sehingga ia sangat mempengaruhi semua ajaran sufi sesudahnya, sebagai penghubung dengan sufi yang mendahuluinya. Ia juga sebagai penghubung antara tasawuf Timur dan Barat, dengan indikator luasnya kunjungan ibn Arabi dan perjumpaannya dengan para sufi di berbagai wilayah Islam Timur dan Barat dalam pengembaraan spiritualnya. Ibn Arabi termasuk penulis yang produktif, karyanya berjilid-jilid dan mencapai ratusan judul yang diperkirakan sekitar 300 buah. 150 judul di antaranya telah disusun katalognya oleh Brochlman yang tersebar di berbagai perpustakaan di Timur maupun di Barat. Karya-karya tersebut meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan yang sangat luas, mulai dari antologi, kosmologi, psikologi, tafsir alQuran, dan yang terbanyak adalah tasawuf. Karya-karya tersebut penuh dengan ungkapa-ungkapan simbolis dan esoteris yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai bukti bahwa semua itu merupakan hasil dari ilham samawi ( Husen Nasr, 1969 : 134 ). Dalam bidang mistik, Ibn Arabi mempunyai beberapa ajaran pokok yang sangat mewarnai mazhab epistemologi tafsir al-Qurannya, yakni :

Wahdat al-Wujud Ajaran wahdat-al-wujud selama ini yang dianggap pendirinya adalah Ibn Arabi, karena ajaran tauhid yang dirumuskannya dipahami kebanyakan orang bercorak pantheisme, monisme atau monisme patheistik. Pada hal Ibn Arabi sendiri sama sekali tidak pernah menggunakan istilah tersebut dalam karya-karyanya ( Azhari Noor, 1995 : 35). Menurut Ibn Arabi, wujud segala yang ada ini merupakan teofani atau tajalli dari Yang Maha Benar di setiap saat dalam bentuk-bentuk yang tak terhitung bilangannya (Taftazani, 1997 : 202 ). Oleh karena alam ini merupakan tajalli Tuhan, maka tiap-tiap wujud ini mempunyai dua aspek, yaitu, pertama, aspek luar atau arad dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan. Kedua, aspek dalam yang merupakan jauhar dan haqq yang mempunyai sifat ketuhanan ( Nasution, 1992 : 92-93 ). Wujud ini pada hakekatnya adalah satu, yakni wujud Allah Yang Mutlak yang bertajalli (menampakkan diri ) dalam tiga martabat, yaitu :

a.

1. Martabat Ahadiyah (zatiah ), yaitu wujud Allah sebagai Zat Yang Maha Mutlak, mujarrad, tidak bernama, dan tidak bersifat, serta tidak dipahami dan tidak dihayalkan, sehingga tidak bisa dinamai Tuhan. 2. Martabat Wahidiyah (tajalli zat, faidh aqdas ), yakni Zat Yang Mutlak dan mujarrad itu bertajalli melalui sifat dan asma. Zat itu dinamakan Allah yang memiliki sifatsifat dan asma-asma yang sempurna (asmaul husna) yang tidak berlainan (identik) dengan Zat Allah ( ain zat) pada satu sisi, tetapi pada sisi lain merupakan hakekat alam empiris ini ( ayan tsabitah, tayyun awwal) yang belum memiliki wujud riil. 3. Martabat tajalli syuhudi ( taayyun tsani, faidl muqoddas ), yakni tajalli Allah melalui asma dan sifatNya dalam kenyataan empiris melalui proses kun, maka ayan tsabitah sebagai wujud potensial dalam zat ilahi menjadi kenyataan aktual dalam berbagai citra alam empiri ( fayakun ). Jadi, alam yang merupakan kumpulan fenomena empiris adalah wadah (mazhar ) tajalli ilahi dalam berbagai wujud atau bentuk yang tiada akhirnya ( Daudy, 1983 :73-74 ). Berdasarkan prinsip tiga martabat di atas, Ibn Arabi memandang bahwa Allah sebagai essensi Yang mutlak hanya dapat dikenal melalui tajalliNya pada alam empiris yang serba ganda dan terbatas ini, tetapi wujudNya yang hakiki tetaplah transenden, tidak dapat dikenal oleh siapa pun. Jadi relitas tunggal ini memiliki dua aspek, pertama, disebut Haqq, yakni bila dipandang sebagai essensi dari semua fenomena, dan kedua, disebut khalq, yakn bila dipandang sebagai fenomena yang memanifestasikan esensi itu. Haqq dan khalq, realitas dan penampilan, atau yang satu dan yang banyak tidak lain adalah sebutan-sebutan untuk dua aspek dari satu hakekat, yakni Tuhan. Kedua aspek itu muncul hanyalah dari tanggapan akal semata, sedang pada hakekatnya keduanya itu hanyalah satu ( Ibn Arabi, 1946 : 124 ). Konsep ini ada kemiripannya dengan teori emanasi dari warisan Plotinus yang telah diadopsi oleh para filosof muslim sebelumnya, yang intinya bahwa hubungan Tuhan dengan alam semesta adalah dalam bentuk emanasi yang bersifat vertkal, yakni melalui emanasi segala sesuatu mengalir dari Yang Awwal secara vertikal dan gradual sehingga menjadi alam semesta, sedang menurut Ibn Arabi melihatnya dalam bentuk tajalli yang bersifat horizontal, yakni segenap fenomena maknawi dan empiris muncul dan berubah sebagai manifestasi dari al-Haqq ( Yunasril Ali, 1977 : 51 ). Jadi, menurut Ibn Arabi hanya ada satu realitas tunggal, yaitu Allah. Adapun alam fenomena yang seba ganda ini hanyalah sebagai wadah tajalliNya. Hubungan antara yang real dan yang fenomenal di sini merupakan hubungan antara yang potensial dan yang aktual, karena tajalli Tuhan terjadi sebagai suatu proses abadi yang tiada henti-hentinya. Oleh sebab itu ajaran wahdat al wujud Ibn Arabi ini tidak dapat disamakan dengan panteisme, sebagimana pernyataan Husein Nasr bahwa tuduhan panteis terhadap para sufi mengandung dua kekeliruan, yaitu : 1. Panteisme adalah sistem falsafi, sementara Ibn Arabi dan sufi-sufi yang sefaham dengannya tidak pernah mengklaim sebagai pengikut atau menciptakan sistem falsafah apa pun. 2. Panteisme berarti kontinuitas substansial antara Tuhan dan alam semesta, sementara Ibn Arabi memandang bahwa Tuhan bersifat absolut transenden yang mengatasi setiap kategori dan meliputi segenap substansi ( Nasr, 1969 : 105 ). Insan Kamil Menurut Ibn Arabi, sebab terjadinya tajalli Allah pada alam ialah Ia ingin dikenal dan ingin melihat citra diri-Nya melalui alam semesta dengan memanifestasikan asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Jadi, alam fenomena ini merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang abadi, sebagai wadah tajalli ilahi, yang padanya Tuhan melihat citra diri-Nya dalam wujud yang terbatas. Namun alam empiris yang terbatas ini tidak dapat menampung citra Tuhan secara sempurna b.

dan utuh, tanpa ruh, laksana cermin buram yang belum dapat memantulkan gambaran Tuhan secara sempurna. Tuhan baru dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna dan utuh pada Adam ( manusia ) sebagai cermin yang terang, atau sebagai ruh dalam jasad. Akan tetapi, tidak semua manusia termasuk dalam kategori ini, kecuali insan kamil yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat-sifat Allah secara sempurna. Ia dijadikan Tuhan sebagai ruh alam, dan segenap alam ini akan tunduk kepadanya karena kesempurnaanya ( Yunasril Ali, 1977 : 55 ). Insan kamil merupakan miniatur dan realitas ketuhanan dalam tajalli-Nya pada jagad raya yang disebut Ibn Arabi sebagai al-alam as-shagir ( mikrokosmos ), yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari jagad raya ( makrokosmos ). Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan, jiwanya sebagai gambaran dari annafs al-kulliyah ( jiwa universal ), tubuhnya mencerminkan arsy, pengetahuannya mencerminkan pengetahuan Tuhan, hatinya berhubungan dengan bayt al-mamur, kemampuan mental spiritualnya terkait denga Malaikat, daya ingatnya dengan Saturnus ( zuhal ), daya inteleknya dengan Yupiter (al-musytari ), dan lain-lain ( Ibn Arabi, tt : 118-120 ). Kesempurnaan insan kamil pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan bertajalli secara sempurna melalui hakekat Muhammad ( alhaqiqat al- Muhammadiyah ) sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna, dan merupakan makhluk yang pertama diciptakan Tuhan sebelum Adam. Ibn Arabi juga menyebutnya dengan akal pertama ( al-aql al-awwal ), dan pena yang tinggi (al-qalam al-ala ) yang menjadi sebab penciptaan alam semesta dan sebab terpeliharanya ( Ibn Arabi, 1946 : 50 ). Alam tanpa manusia adalah ibarat cermin buram yang tidak dapat memantulkan gambar Tuhan, maka perintah Tuhan mengharuskan adanya kebeningan cermin alam, yaitu Adam atau manusia, agar dapat memantulkan gambar-Nya dengan jelas. Ibn Arabi mengatakan bahwa alam dapat hidup dan terpelihara secara terus menerus karena adanya manusia, bagaiakan pengikat permata pada cicicin, tempat ukiran dan tanda bagi harta benda raja yang disegel dengannya. Oleh sebab itu, manusia disebut khalifah karena dengan dialah Tuhan memelihara alam seperti segel memelihara harta benda. Selama segel memelihara harta benda, tak seorang pun berani membukanya tanpa seijin sang raja. Di sisnilah, maka Tuhan menunjuk manusia sebagai khalifah-Nya untuk memelihara alam, sehingga selama manusia sempurna berada di dalamnya, alam akan tetap eksis ( Ibn Arabi, 1946 : 50). Selanjutnya Ibn Arabi menunjukkan perbedaan antara manusia sempurna ( al-insan al-kamil ) dengan manusia binatang ( al-insan al-hayawan ) untuk memeperjelas statemennya bahwa tidak semua manusia menjadi insan kamil, hanya manusia-manusia pilihan (khusus ) tertentulah yang menjadi manusia sempurana, yaitu para nabi dan wali Allah ( Azhari Noor, 1995 : 133 ). Manusia sempurna adalah perpaduan ( jamiyah ) semua nama Allah dan semua realitas alam, atau paduan antara sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan. Aspek lahir manusia adalah makhluk, sedang aspek batinnya adalah Tuhan, dan inilah manusia sempurna yang diidamkan. Selain itu ( insan kamil ) adalah manusia binatang yang memilki sifat persisi seperti semua sifat binatang, dan bedanya hanya dalam differentia dan bentuk lahirnya saja, sehingga tidak berhak memperoleh jabatan khalifah. Khalifah di sini adalah kedudukan insan kamil sebagai wakil ( naib ) Allah atau manifestasi asma dan sifat-sifat Allah di muka bumi (al-khalifah almanawiyah ), hingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya ( Ibn Arabi, 1946 : 162). Ketinggian dan kemuliaan pangkat khalifah yang disandang insan kamil itu ditandai dengan tunduknya alam semesta kepadanya, dan mendapatkan pengetahuan esoterik yang oleh Ibn Arabi disebut pengetahuan rahasia ( ilm al-asrar ), pengetahuan kudus ( ilm al-ladunni ), atau pengetahuan gaib ( ilm al-ghayb ), yaitu

suatu bentuk pengetahuan yang ditiupkan Ruh Kudus ke dalam hati para nabi dan wali (Ibn Arabi, I, tt : 31 ).

E. Suhrawardi al-Maqtul
1. Sumber Tasawuf Falsafi Suhrawardi Suhrawardi adalah tokoh sufi falsafi yang paham tentang filsafat Platonisme, Paripatetisme, Neo-Platonisme, Hikmah Persia, aliran-aliran agama, dan Hermetitisme. Ia juga menguasai filsafat Islam, terutama al-Farabi dan Ibn Sina yang disebutnya sebagai Paripatetisme yang kemudian dikritik, meskipun ia sendiri terpengaruh pandangan-pandangan mereka. Ia juga mengenal dengan baik para sufi abad ketiga dan keempat hijriyah, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, dan Abu al-Hasan alKharqani, yang mereka itu menurut Suhrawardi adalah para iluminasionis Persi yang asli ( al-Taftazani, Opcit, hal : 195). Tasawuf Falsafi Suhrawardi dikenal dengan Tasawuf Isyraqiyah ( illuminatif) yang secara ontologis maupun epistemologis, lahir sebagai alternatif atas kelemahan-kelemahan pemikiran sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Kelemahan filsafat paripetetik secara epistemologis adalah bahwa penalaran rasional dan silogisme rasional tidak akan bisa menggapai seluruh realitas wujud, dan pada saat tertentu tidak bisa menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya. Secara ontologis, konsep tentang eksistensi-esensi filsafat paripatetik yang menyatakan bahwa yang fundamentel dari realitas adalah eksistensi ditolak oleh Suhrawardi. Baginya esensilah yang primer dan fundamental dari suatu realitas, sedang eksistensi hanya sekunder, merupakan sifat dari esensi, dan hanya ada dalam pikiran (Armahedi Mazhar, 2000 : xv).

2. Tipe Tasawuf Isyraqiyah Suhrawardi Tasawuf Isyraqiyah Suhrawardi merupakan tipe tasawuf falsafai yang paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran, mengingat ia memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai aliran filsafat Yunani, Persia, dan India. Tasawuf isyraqiyah nampaknya merupakan adonan yang sempurna dari berbagai unsur tasawuf dan filsafat yang dipahami Suhrawardi, melalui jalan sufi dan filosofi atau melalui rasa dan iluminasi. Al-isyraq, berarti bersinar atau memancarkan cahaya, dan lebih tepatnya diartikan penyinaran atau iluminasi. Menurut Suhrawardi sumber segala yaang ada ialah Cahaya Yang Mutlak, yang disebut Nur al-Anwar mirip matahari. Walaupun ia memancarkan cahaya terus menerus, namun cahanya tidak perrnah berkurang dan bahkan sama sekali tidak terpengaruh, Nur dalam konsep ini nampaknya dapat dianalogkan dengan rahmat Tuhan ( faydh) ( Al-Taftazani, Opcit, hal : 196). Cahaya bersifat immateri dan tidak bisa didefinisikan, karena sesuatu yang terang tidak memerlukan definisi, dan cahaya adalah entitas yang paling terang di dunia. Bahkan cahaya menembus susunan semua entitas, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, sebagai suatu komponen yang esensial dari padanya Menurut Suhrawardi, Allah Yang Maha Esa adalah Nur al-Anwar yang merupakan sumber segala sesuatu yang ada dan seluruh kejadian, yang dari-Nya memancar cahaya-cahaya yang menjadi sumber kejadian alam ruhi dan alam materi. Cahaya pertama yang memancar dari Nur al-Anwar, disebut Nur al-Hakim atau Nur al-Qahir. Setelah Nur al-Hakim lepas dari Nur al-Anwar, ia memandang sumbernya itu dan melihat dirinya sendiri yang nampak gelap jika dibanding dengan Nur al-Anwar. Akibat aksi memandang kedua arah itu, mengakibatkan terjadinya proses energi, sehingga terpancarlah cahaya kedua yang

ia sebut al-Barzakh al-Awal atau materi pertama. Melalui proses yang sama, dari alBarzakh al-Awal memancar nur-nur serta barzakh yang lebih gelap cahayanya. Seluruh barzakh yang telah lepas dari cahaya Nur al-Anwar memilki potensi dan aktual, karena secara terus menerus mendapatkan limpahan daya dari Nur al- Anwar. Dalam posisi yang demikian, Nur al-Anwar berfungsi sebagai penggerak dan penguasa yang disebur al Qahir, sementara al-Barzakh sebagai yang digerakkan dan yang dikuasai disebut alMaghurah ( Rivay Siregar, Opcit, hal : 112-113). Menurut Suhrawardi ada benda-benda yang merupakan cahaya dalam realitasnya sendiri, dan benda-benda yang bukan cahaya dalam realitasnya sendiri, masing-masing terjadi dengan sendirinya ( aksidensial), tergantung atau independen. Konsep ini menghasilkan empat maca realitas, yaitu ; a) cahaya immaterial yang terjadi dengan sendirinya, yang disebut Cahaya Murni ( al-Nur al-Mujarrad), b) cahaya aksidential ( al-Nur al-Aridl) yang inheren di dalam cahaya immaterial maupun tubuh fisik, c) perantara ( al-barzakh) atau substansi yang gelap ( al-jauhar al-ghasiq), yaitu tubuh dan d) mode yang gelap ( al-hayah al- al-dzulmaniyah), aksiden di dalam cahaya immaterial maupun tubuh fisik ( John Walbridge, 2008 : 62). Meski semua benda dihasilkan oleh cahaya, namun tidak semua benda adalah cahaya. Tubuh dan aksidennya yang tidak bercahaya bukanlah cahaya, meskipun penyebab dasarnya adalah cahaya immaterial. Cahaya, bagaimanapun adalah prinsip interrelasi antar benda-benda. Cahaya adalah sesuatu yang menifes dalam dirinya sendiri dan memanifeskan yang lain ( Ibid, hal : 64). Cahaya terklasifikasi menjadi; a) cahaya dalam dan bagi dirinya, dan b) cahaya dalam dirinya namun bagi lainnya. Cahaya aksidental, adalah cahaya bagi lainnya, meskipun ia berupa cahaya dalam dirinya, karena eksistensinya diperuntukkan bagi lainnya, berbeda dengan substansi gelap yang tidak pernah manifestan dalam atau bagi dirinya. Kehidupan adalah kondisi ketika suatu subyek manifestan bagi dirinya, dan karenanya Yang Hidup adalah Sang Pengenal Aktif atas diri-Nya ( Suhrawardi, 2003 : 113).

3. Ilmu Cahaya ( Epistemologi) Ilmu cahaya, menurut Suhrawardi didasarkan atas intuisi mitik, meskipun ia mencari bukti yang rasional atas pengetahuan tersebut. Ia membandingkan relasi pengalaman mistik dengan relasi observasi pada astronomi, dan menyatakan bahwa tanpa pengalaman mistik seorang pencari akan terjebak pada keraguan. Observasi saja tidaklah cukup menjadi basis sebuah ilmu, suatu struktur yang rasional diperlukan. Jadi, pengalaman mistik maupun nilai-nilai pembuktian dari para guru bijak, harus dicari bukti-bukti rasional yang diupayakan setelah pengalaman mistik . Ia menggabungkan cara nalar dengan cara mistik, keduanya saling melengkapi, karena nalar tanpa intuisi dan iluminasi adalah kekanak-kanakan, rabun dan tidak akan pernah mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa didukung logika dan latihan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat, dan tidak akan mampu mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis ( Hasyimsyah Nasution, Opcit, hal : 154). Pengetahuan yang benar dan pasti menurut Suhrawardi hanya dapat ditemukan dengan metode terlihat, sehingga dapat diketahui sebagaimana adanya.Untuk melihat sesuatu dalam pengertian ini adalah dengan bertindak mencari esensi wujud. Ia mengkritik kaum paripatetik, bahwa definisi suatu term tidak dapat menghantarkan pada konsepsi yang valid, dan karenanya tidak dapat mengetahui esensi sesuatu (wujud). Oleh sebab itu, ia menegaskan perlunya pertolongan ilahi dalam memperoleh

pengetahuan, sebagai teori epistemologi alternatif yang disimbolkan dengan al-ilm alhudluri ( pengetahuan dengan kehadiran) ( Husein Ziai, 1998 : 133-134). Ada pernyataan penting Suhrawardi yang penting dalam konteks ini, yaitu harus terdapat suatu korespondensi yang sempurna antara ide yang diperoleh dalam subyek dan obyek. Hanya korespondensi ini yang dapat menunjukkan bahwa pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya dapat diperoleh ( Ibid, hal : 136). Ketika orang lupa terhadap sesuatu, terkadang sangat sulit untuk ingat kembali sampai ia berusaha keras mengingat-ingatnya, meskipun itu tidak mudah. Namun di satu waktu, ia teringat padanya tanpa perlu mengingatnya. Pada kasus ini, ingatannya tidak berasal murni dari kekuatan badan, karena jika tidak, ia tak akan tersesat dari lorong Cahaya Pengatur ( Tuhan), setelah berusaha keras mengingatnya. Ingatan itu juga tidak berdasar pada kenyataan bahwa ia tersimpan dalam sebagian kekuatan tubuh, yang tercegah oleh suatu faktor penghambat, karena esensi yang menelusuri jejak ingatan adalah Cahaya Pemroses (Tuhan), bukan unsur barzakh, namun terhalang untuk menjelaskannya dalam sebagian kekuatan raganya. Pada saat lupa seseorang tidak pernah merasakan keberadaan sesuatu baik esensi maupun raganya. Ingatan, sebenarnya muncul dari dunia memori (alam az-Zikr) yang termasuk di antara obyek yang dituju oleh Raja Cahaya-cahaya kosmik Isfahbad , karena Dia-lah satu-satunya Zat yang tak pernah lupa ( Suhrawardi, 2003 : 187).

F. Mulla shadra
1. Tasawuf Mulla Shadra: Antara Filfasat dan Irfan. Filsafat ketuhanan bertujuan agar manusia berwawasan holistik, universal, dan berpikiran rasional, sedangkan irfan bertujuan agar manusia dengan segenap wujudnya dapat mencapai hakekat ilahi, fana (sirna) di dalamnya, dan terikat erat dengannya. Filsafat menggunakan metode logis dan pembuktian demonstratif dengan kendaraan akal, sementara irfan menggunakan metode pembersihan dan penyucian diri, sair wa suluk, dengan kendaraan qalbu. Bidang bahasan irfan adalah wujud Mutlak, yaitu Allah SWT, sehingga mirip dengan bahasan filsafat ketuhanan. Hanya saja filosof meyakini Dzat al-Haqq sebagai Wujud Mutlak, karena wujudNya identik dengan DzatNya, yakni Allah SWT, dan juga meyakini maujud yang wujudnya merupakan tambahan pada dzat dan hakekatnya, yakni segala sesuatu selain Allah. Sedangkan arif meyakini wujud sebagai hakekat manunggal milik Dzat al-Haqq belaka ( Muthahhari, 2002, hal : 113 ).

2. Bahasan Irfan Wujud Allah dalam pandangan filosof adalah bagian dari bidang kajiannya, sedang dalam pandangan arif adalah subyek pokok yang mesti dibahas, karena wujud sama dengan Wujud al-Haqq. Kaum arif meyakini ketunggalan dan ketak-berulangan tajalli, yakni hanya sekali yang dikenal denga ciptaan al-Haqq atau wujud yang merentang, sehingga segenap esensi menjelma dalam tajalli tunggal tersebut. Sebaliknya filosof meyakini adanya hierarki wujud dalam urutan satu, dua, tiga, dan seterusnya, meskipun dari atas ke bawah yang dikenal sebagai teori emanasi. Kaum arif menolak teori emanasi, kausalitas dan keragaman obyek-obyek yang ter-emanasi. Mereka meyakini maujud selain Allah adalah sekutuNya, karenanya keyakinan pada sesuatu selain-Nya adalah syirik atau penyekutuan, sebab semua maujud selain-Nya adalah tajalli-Nya atau penampakanNya ( Ibid, halaman : 114-116 ).

Ada tiga prinsip utama yang menopang tegaknya al-hikmah al- mutaaliyah, yaitu; 1) intuisi intelektual ( kasyf, dzauq, atau isyraq), 2) penalaran dan pembuktian rasional ( aql, burhan, atau istidlal), dan 3) agama atau wahyu (syara). Melalui kombinasi ketiga sumber pengetahuan tersebut, maka terlihat jelas keterpaduan yang harmonis antara prinsip-prinsip irfan, filsafat, dan agama dalam al-hikmah almutaaliyah( Sharif, 1966 : 939-940). Shadra meyakini sepenuhnya bahwa metode yang paling berhasil untuk mencapai pengetahuan yang sejati adalah kasyf, yang ditopang oleh wahyu, dan tidak bertentangan dengan burhan. Hakikat pengetahuan tidak bisa diperoleh, kecuali melalui pengajaran langsung dari Tuhan, dan tidak akan terungkap, kecuali melalui cahaya kenabian dan kewalian. Untuk mencapai pengetahuan hakiki, diperlukan proses penyucian kalbu dari segala hawa nafsu, mendidiknya agar tidak terpesona kepada kemegahan duniawi, dengan mengasingkan diri dari pergaulan, merenungkan ayat-ayat Tuhan dan Hadis Nabi, dan mencontoh perilaku kehidupan orang-orang saleh ( Syaifan Nur, Opcit, hal : 51-52). Menurut Shadra, persoalan ketuhanan (metafisika) bisa dipahami dengan dua cara, yaitu; 1) melalui intuisi intelektual dan gerak cepat, dan 2) melalui pemikiran konseptual dan gerak lambat. Para Nabi, orang-orang suci, dan mereka yang memilki visi spiritual memperolehnya denga cara yang pertama, sedangkan cara yang kedua ditempuh oleh para ilmuan, ahli pikir, dan mereka yang selalu mengandalkan pertimbangan akal. Dia juga menegaskan bahwa hakekat hikmah diperoleh melalui ilmu ladunni, dan selama seseorang belum mencapai tingkatan tersebut, maka jangan dijadikan sebagai ahli hikmah, yang merupakan salah satu kerunia katuhanan. Inilah yang disebut dengan metode kasyf ( Ibid, halaman : 55 ). Ilmu ladunni adalah yang paling kuat dan paling kokoh diantara seluruh ilmu yang ada. Namun seperti halnya akal, seluruh pencapaian kasyf harus ditimbang oleh agama, dan kasyf tidak akan berarti jika tidak sesuai dengan ukuran agama. Begitu pula pengetahuan kasyfi tidak mungkin dijelaskan kepada orang lain kecuali dengan menggunakan burhan ( Shadra, 1981 : 326). Shadra berupaya menghadirkan suatu eksposisi sufisme yang lebih sistematik, memberikan bukti-bukti yang logis, dan menjelaskan aspek-aspek yang didiamkan begitu saja oleh guru-guru sufi yang merupakan karunia dari langit sebagai hasil dari visi spiritual mereka. Jika dibandingkan dengan ajaran tasawuf irfannya Ibn Arabi dan alirannya, dapat disimpulkan bahwa hasil dari visi spiritual mereka, ditransformasikan Shadra menjadi versi intelektual, sehingga dapat dikatakan bahwa Shadra telah memberikan dasar yang lebih logis dan sistematis terhadap metafisika sufi aliran Ibn Arabi ( S.H. Nasr, 1978 : 58). Jika dibandingkan dengan al-hikmah al- isyraqiyah dari Suhrawardi, dapat ditemukan adanya hubungan yang erat antara keduanya, di samping adanya perbedaan tertentu yang fundamental, yaitu dalam persoalan wujud dan mahiyah. Shadra mengembangkan prinsip ashalah al-wujud, sedangkan Suhrawardi pendukung utama ashalah al-mahiyah. Perbedaan ini menyebabkan keduanya berbeda pandangan dalam masalah perubahan dan transformasi, tingkatan wujud, eskatologi, filsafat alam, dan hal-hal yang lebih khusus lainnya ( Syaifan Nur, Opcit, hal : 61 ). Beralih kepada perbandingan antara al-hikmah al-mutaaliyah dengan alhikmah al-masysyaiyah, dapat dikemukakan bahwa Shadra banyak berhutang budi kepada aliran ini khususnya Ibn Sina, di samping terdapat perbedaan dalam pelbagai hal yang mendasar, terutama dalam cara mereka membicarakan masalah ontologi. Shadra memahami wujud sebagai realitas yang bertingkat-tingkat, tetapi tetap merupakan sesuatu yang tunggal, sementara Ibn Sina mayakini bahwa setiap wujud berbeda antara yang satu dengan yang lain, yang berarti manyangkal keberadaan gerak substansialyang menjadi ajaran penting Shadra (Ibid, halaman : 62). Jika dikaitkan dengan kalam, Mulla Shadra menentang secara tegas metode dan

pemdekatan yang digunakan para mutakallimin. Dia dalam memecahkan persoalanpersoalan kalam memilih pendekatan yang lebih bersifat metafisik daripada teologis, tetapi keduanya memilki kesamaan, dalam arti keduanya sama-sama membahas persoalan teologis dan kegamaan. Sementara dalam bidang penafsiran al-Quran, Shadra menegaskan kembali prinsip-prinsip penafisiran dari para mufassir terdahulu, dan menambahkan interpretasi hermeneutik dan esoteriknya sendiri. Dalam bidang fiqh atau syariah, Shadra selalu mencari makna batin sebuah ajaran ( Ibid, hal : 65). Implikasi penting al-hikmah al-mutaaliyah bagi filsafat Islam dan tasawuf khususnya, dan pemikiran Islam umumnya adalah bahwa ia telah melakukan terobosan baru yang paling berarti. Aliran ini telah memberikan babak baru dengan karakteristiknya sendiri, yakni tidak ditemukannya perdebatan-perdebatan yang bersifat dangkal, maupun sifat permusuhan terhadap disiplin-disiplin keilmuan Islam tertentu, tetapi justeru seluruhnya diusahakan bisa menjadi satu kesatuan yang integral dan terpadu. Menarik untuk dicatat, bahwa ketika terjadi kebangkitan kembali filsafat Islam di Iran selama periode Pahlewi dan sterusnya, figur Mulla Shadra dijadikan sebagai pusat kajian ( Ibid, halaman : 70). 3. Wahdal al-Wujud Shadra Ada tiga pandangan tentang wahdah al-wujud yang direformulasikan oleh Shadra, yaitu : 1. Pandangan dari ahli metafisika Ismailiyah tettentu, yang menyatakan bahwa sumber realitas bukanlah Wujud Murni, tetapi yang memberi wujud atau keesaan (muwahhid), yang berada di atas seluruh konsep. Ia adalah Supara-Wujud, yang tindakan pertamanya adalah kun, memberikan wujud kepada segala sesuatu. 2. Pandangan dari pengikut filosof isyraqi, yang menerima prinsip tasykik ( gradasi atau tingkatan-tingkatan), yang oleh Suhrawardi diterapkan pada cahaya, tetapi oleh Shadra diterapkan pada wujud, dan mempercayai keesaan serta tingkatantingkatan wujud. 3. Pandangan para sufi, terutama Ibn Arabi yang menyatakan bahwa hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan, dan tidak ada yang lain ( la maujuda illa Allah), dan benda-benda yang tampak ada tidak lain adalah penampakan-penampakan dari wujud Yang Esa, yaitu Tuhan (S.H. Nasr, 1981 : 176). Intisari prinsip Mulla Shadra tentang wahdah al-wujud, perlu dipahami adanya tingkatan wujud, yaitu : 1. Wujud Murni, yaitu wujud yang tidak tergantung kepada selain dirinya dan tidak terbatasi. Keberadannya mendahului segala sesuatu yang lain, dan ia ada pada dirinya sendiri tanpa perubahan dan pergerakan. Ia dalah ketersembunyian murni dan kerahasiaan yang absolut, yang hanya bisa diketahui melalui perumpamaanperumpamaan dan bekas-bekasnya. 2. Wujud yang keberadaannya tergantung kepada selain dirinya, terbatas dengan sifat-sifat yang merupakan tambahan pada dirinya, seperti akal-akal, jiwa-jiwa, benda-benda langit, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lainya. 3. Wujud absolut dalam penyebarannya, yaitu realitas yang menyebar keseluruh bentuk yang bersifat mungkin dan lembaran-lembaran seluruh mahiyah, tanpa dibatasi dengan deskripsi tertentu ( Shadra, 1981 : 327-329). Shadra berusaha mensintesiskan pelbagai pandangan tentang prinsip metafisika yang paling dalam dan paling tersembunyi, juga yang paling nyata. Dia berusaha menunjukkan bahwa sesungguhnya wujud adalah esa, namun pelbagai determinasi dan cara-cara memandangnya menyebabkan manusia memahami dunia keanekaragaman, yang menutupi keesaan-Nya. Bagi yang memilki visi spiritual, prinsip wahdah al-wujud ini justeru ,merupakan kebenaran yang paling nyata dan terbukti, sedangkan

keanekaragaman tersembunyi darinya. Jadi, menurut Shadra keyakinan terhadap kebenaran prinsip wahdah al-wujud ini bukan merupakan hasil dari pembahasan yang bersifat rasional, melainkan berdasarkan pada pengalaman batin, melalui praktikpraktik dan disiplin spiritual yang sulit, di samping adanya karunia dari Tuhan. Dalam konteks ini, filsafat berperan untuk membibing dan mempersiapkan pikiran agar memperoleh suatu pengetahuan yang bukan hasil dari pembahsan secara rasional, melainkan yang dirasakan dan dialami secara langsung melalui intuisi intelektual ( Syaifan Nur, Opcit, hal : 108-109).

G. Kesimpulan Ada beberpa simpulan yang dapat ditarik dari uraian makalah ini, yaitu : 1. Tasawuf pada hakekatnya adalah dimensi terdalam dan esoteris dari Islam ( the inner and esoteric dimension of Islam ) yang bersumber dari al-Quran dan alHadis. Adapun syariah adalah dimensi luar (eksoteris ) ajaran Islam. Pengamalan kedua dimensi itu secara seimbang merupakan keharusan dari setiap Muslim, agar di dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadi sempurna lahir dan batin. 2. Tasawuf falsafi adalah pemaduan antara visi mistis dengan visi rasional atau perpaduan antara tasawuf dengan filsafat, sehingga ajaran-ajarannya bercampur dengan unsur-unsur dari luar Islam, seperti filsafat Yunani, Persi, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka, sejalan dengan ekspansi Islam pada waktu itu, tetap menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. 3. Sufi yang beraliran falsafai memandang bahwa manusia mampu naik ke jenjang persatuan dengan Tuhan, sehingga pembahasannya lebih bersifat filosofis, yakni meluas ke masalah-maslah metafisika. Pembahasan tasawuf falsafi meliputi hakekat manusia, hakekat Tuan, dan proses kebersatuan manusia dengan Tuhan. 4. Menurut Ibn Arabi, wujud segala yang ada ini merupakan teofani atau tajalli dari Yang Maha Benar di setiap saat dalam bentuk-bentuk yang tak terhitung bilangannya. Oleh karena alam ini merupakan tajalli Tuhan, maka tiap-tiap wujud ini mempunyai dua aspek, yaitu, pertama, aspek luar atau arad dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan. Kedua, aspek dalam yang merupakan jauhar dan haqq yang mempunyai sifat ketuhanan. 5. Tasawuf Isyraqiyah Suhrawardi merupakan tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran, mengingat ia memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai aliran filsafat Yunani, Persia, dan India. Tasawuf isyraqiyah nampaknya merupakan adonan yang sempurna dari berbagai unsur tasawuf dan filsafat yang dipahami Suhrawardi, melalui jalan sufi dan filosofi atau melalui rasa dan iluminasi. 6. Shadra berupaya menghadirkan suatu eksposisi sufisme yang lebih sistematik, memberikan bukti-bukti yang logis, dan menjelaskan aspek-aspek yang didiamkan begitu saja oleh guru-guru sufi yang merupakan karunia dari langit sebagai hasil dari visi spiritual mereka. Jika dibandingkan dengan ajaran tasawuf irfannya Ibn Arabi dan alirannya, dapat disimpulkan bahwa hasil dari visi spiritual mereka, ditransformasikan Shadra menjadi versi intelektual, sehingga dapat dikatakan bahwa Shadra telah memberikan dasar yang lebih logis dan sistematis terhadap metafisika sufi aliran Ibn Arabi

DAFTAR PUSTAKA

Abul Ala Afifi, 1989, Filsafat Mistik Ibn Arabi, Terj. Syahrur Mawi dan Nandi Rahman, Jakarta, Media Pratama. Ahmad Daudy, 1983, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Seikh Nuruddin ar-Raniri, Jakarta, Raja Wali. Abu Bakar Atjeh, 1984, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Sala, Ramadhan Al-Hujwiri, 1993, Kasyf al-Mahjub, Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi, Bandung, Mizan Al-Kalabadzi, 2002, Al-Taaruf li Madzhabi ahl al-Tasawuf, Trej. Rahman Astuti, Jakarta, Hikmah Amin Syukur, 1999, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Amatullah Amstrong, 1996, Sufi Terminology ( al-Qamus al-Shufi), the Mystical Language of Islam, Terj. Nashrullah dan Ahmad baiquni, Baqndung, Mizan Aj. Arbery, 1978, Sufism, An Account of the Mystic of Islam, London, George Allen Unwin & Ltd Fakhry, Majid, 1983, A History of Islamic Philosophy, New York, Columbia Univ. Press Gusti Abd Muin, 1985, Menyimak Tasawuf Sunni, Dalam Pesantren No. 3 Hakim, al-Tirmidzi, tt, Bayan al-Farq Baina al-Shadr wa al-Qalb wa al-Fuad wa al-Lub, Kairo, Maktabah Kulliah al-Azhariyah Harun Nasution, 1973, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang

Hasyimsyah Nasution, 1999, Fisafat Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama Henry Corbin, 2002, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Terj. Moh. Khazin dan Suhadi, Yogyakarta, LKIS. Hassan Hanafi, 1992, Islamologi, Terj. Miftah Faqih, Yogyakarta, LKIS Hilmi, Musthafa, 1982, Ibn Taimiyah wa al-Tasawuf, Iskandariyah, Dar al-Dawah

Husein Ziai, 1998, Knowledge and Illumination, A Study of Suhrawardis Hikmat alIsyraq, Terj. Afif Muhammad dan Munir, Bandung, Wacana Mulia. Ibn Arabi, tt, Futuhat al-Makkiyah, Beirut, Dar al-Fikr. --------------, 1946, Fushus al-Hikam, Kairo, Dar al-Kitab al-Arabiyah. --------------, 1988, Sufis f ndalusia, Terj. Nasrullah, Bandung, Mizan --------------, 2000, Syajarat al-Kaun, Terj. Wasmulkan, Surabaya, Risalah Gusti.

--------------, 2003, Risalah Ruh al-Quds fi Muhasabat an-Nafs, Terj. Moh. Anshor, Bandung, Hikmah.

Ibn Khaldun, tt, al-Muqaddimah, Kairo,al-Matbaah al-Bahiyah Ibrahim Basuni, 1969, Nasah al-Tasawuf al-Islam, Kairo, Dar al-Maarif Ibrahim, Hilal, tt, al-Tasawwuf al-Islam Baina al-din wa al-Falsafah, Kairo, Dar alNahdhah al-Arabiyah Jalaluddin Rahmat, 2004, Hikmah Mutaliyah, Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Juhan Balich, 2002, Mystical Islam, An Introduction to Sufism, Terj. Satrio Wahono, Jakarta, Serambi. Kautsar Azhari Nur, 1995, Ibn Arabi, Jakarta, Paramadina. Muhammad Luthfi Jamaah, 1927, Tarikh Falsafat al-Islam fi al-Masyriq wa al-Magrib, Mesir, Najib Muntaza. Murtadha Muthahhari, 2002, Filsafat Hikmah, Pengantar Pemikiran Shadra, Tim Penerjemah Mizan, Bandung, Mizan. Muhsin Labib, 2004, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinnan, Jakarta, Lentera Nasution, Harun, 1992, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang

Nicholson, Raynold A, 1975, The Mystics of Islam, London, Routledge and Kegan Paul Nurkholis Madjid, 1985, Pesantren dan Tasawuf, Pesantren dan Pembangunan, Jakarta, LP3S Rahman, Fazlur, 1975, The Philosophy of Mulla Shadra, Albany, state University of New York Press Rifay Siregar, 2002, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo sufisme, Jakarta, Raja Grafindo Persada Ruslani (ed), 2000, Wacana Spiritualitas Timur dan Barat, Yogyakarta, Qalam Sayyid Husein Nasr, 1969, Three Muslem Sages, Cambridge, Havard -------------------------, 1980, Living Sufism, London, Uniwin Paperbacks -------------------------, 1987, Science and Civiilization in Islam, Lahore, Suhail Academy. --------------------------, 1978, Shadr al-Din Syirazi and his Transendent Theosophy, Teheran, Academy of hilosophy Schimmel, Annamerie, 1986, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. S. Djokodarmono, dkk. Jakarta, Pustaka Firdaus Shadra, Mulla, 1377 H, al Madzahir al-Ilahiyyah, Qum, Matbaah Maktab al-Ilam alIslami University Press.

-----------------, 1383 H, al-Hikmah al-Mutaliyah fi al-asfar al-Aqliyah al-arbaah, Teheran, Syirkah Dar al-Maarif al-Islamiyah

------------------, 1967, Al-Syawahid al-Rububiyah fi Manahij al-Sulukiyah, Mashhed, University Press -------------------, 1976, Al-Mabda wa al-Maad, Teheran, Academy of Philosophy -------------------, 1984, Mafatih al-Ghaib, Teheran, Academy of Philosophy -------------------, 1366 H, Tafsir al-Quran al-Karim. Qum, Intisyarat Bidar --------------------, 2004, Hikmah al-Arsiyah, Terj. Dimitri Mahayana dan Dedy Djunaidi, Yoyakarta, Pustaka Pelajar Simuh, dkk, 2001, Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Surahardja, 1983, Mistisisme, Jakarta, Pradnya Paramita Syaifan Nur, 2002, Filsafat Wujud Mulla Shadra, Y0gyakarta, Pustaka Pelajar ----------------, 2003, Filsafat Mulla Shada, Jakarta, Teraju Solihin, M. dan Rosihon Anwar, 2008, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia Sokhi Huda, 2008, Tasawuf Kultural, Yogyakarta, LKIS Syihabuddin Suhrawardi, 2003, Hikmah al-Isyraq, Terj. Muhammad al-Fayyadl, Yogyakarta, Islamika. -------------------------------, 1956, Hayakil al-Nur, Mesir, Maktabah al-Tijariyah al-Kubra Suhrawardi, Abu al-Najib, 1994, Kitab adab al-Muridin, Terj. Yuliani Liputo, Jakarta, Pustaka Hidayah Syeikh Fadlullah Haeri, 2001, The Elements of Sufism, Terj. Muhammad Hasyim Assegaf, Jakarta, Lentera Basritama Taftazani, Abul Wafa, 2003, Madkhal ila al-Thasawwuf al-Islam, Terj. Rafi Usmani, Bandung, Pustaka. Trimingham, J.S, 1999, The Sufi Order in Islam, Terj. Lukman Hakim, Bandung, Pustaka Victor Danner, 2003, Ibn Athaillahs Sufi Aphorisms, Terj. Roudlan, Surabaya, Risalah Gusti William C. Chittick, 1989, The Sufi Path of Knowledge, New York, El-Bary. --------------------------, Dunia Imajinal Ibn Arabi, Terj. Ahmad Syahid, Suarabaya, Risalah Gusti.b Yunasril Ali, 1977, Ibn Arabi, Manusia Citra Ilahi, Jakarta, Paramadina.

FIKIH LINGKUNGAN (Sebuah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis) Oleh: Dr. Ilyas Supena, M.Ag Abstrak
A r t i k e l i n i d i d a s a r i o l e h f e n o m e n a k r i s i s l i n g k u n g a n y a n g b e r p o t e n s i m e n i m b u l k a n b e n c a n a

'

Kata Kunci: Ontologis, Epistemologis, Aksiologis

dan

A. Latar Belakang Masalah Bencana alam semakian hari semakin dekat mengancam jiwa manusia. Secara nasional, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kekeringan merupakan fenomena yang akrab dengan penduduk bangsa Indonesia. Sementara itu, secara global telah terjadi perubahan drastis wilayah lingkungan hidup, mulai dari kerusakan ozon (lubang ozon), pemanasan global, efek rumah kaca, perubahan ekologi, dan sebagainya. Belakangan ditemukan pula banyaknya kasus daratan pulau yang lenyap dari peta dunia karena naiknya permukaan laut serta kasus kepunahan spesies binatang tertentu, seperti punahnya harimau jawa.26 Krisis lingkungan ini pada gilirannya akan mengancam eksistensi bumi sebagai tempat tinggal manusia dan makhluk lain. Umat Islam yang umumnya tinggal di negara-negara yang berkembang tidak luput dari ancaman krisis lingkungan ini, bahkan persoalan cenderung lebih kompleks. Pasca kolonialisme dan imperialisme Barat, negara-negara muslim berusaha bangkit menemukan identitas mereka. Masalahnya, sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme keadaan: antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada eksploitasi kekayaan sumber daya alam, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga dikhawatirkan menimbulkan bencana yang akan menimpa. 27 Jika diamati secara lebih cermat, setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan , permasalahan . Permasalahan ini lahirnya kriris lingkungan ini. berakar pada kesalahan cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan posisi manusia dalam keseluruhan ekosistem. Cara pandang manusia yang mengganggap dirinya superior telah mendorong manusia untuk bersikap hegemonik terhadap inferioritas alam. Akibatnya, pola perilaku manusia cenderung bersifat konsumtif dan eksploitatif terhadap sumber daya alam. Paham ini ditunjang dengan paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.28
P e r t a m a f u n d a m e n t a l f i l o s o f i s

permasalahan politik ekonomi global. Sebagai imbas paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme, negara-negara maju (Barat) telah mendirikan pabrik-pabrik industri yang telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Permasalahan kemudian muncul ketika negara-negara Barat menuntut negara-negara dunia ketiga untuk mengambil peran positif dalam memelihara lingkungan ini, terutama menetralisir kasus kebakaran hutan, sementara negaranegara miskin dan berkembang memandang Barat sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap krisis lingkungan global.
K e d u a ,

, permasalahan pemahaman keagamaan. Di kalangan umat Islam, masih terdapat . Orang yang berpaham demikian golongan yang menganut pagam teologi yang bercorak akan memahami bencana alam seperti tsunami, banjir dan sebagainya sebagai Tuhan, dan tidak memandang krisis ekologis ini sebagai imbas dari krisis kemanusiaan dan krisis moralitas sosial ). Mereka kemudian serta kegagalan manusia dalam memahami hukum alam ( menghadapi bencana ini dengan ritual berdoa, mohon ampun, istigasah, menggelar zikir nasional (ilmu pengetahuan). Padahal Tuhan sendiri menyuruh dan seterusnya dan bukan pendekatan manusia untuk memahami fenomena alam dan fenomena sosial berdasarkan informasi ilmu
K e t i g a t e o s e n t r i k t a q d i r s u n n a t u l l a h s a i n s

Musnahnya harimau Jawa tidak hanya merugikan orang Jawa, tapi juga orang-orang di seluruh dunia. Musnahnya harimau Jawa sama dengan terputusnya rantai ekosistem kehidupan di muka bumi. 27 Fachruddin M. Mangunjaya, Dunia Islam dan Perubahan Iklim, , diakses tanggal 20 September 2007
h t t p : / / w w w . c o n s e r v a t i o n . o r . i d / t r o p i k a / t r o p i k a . p h p ? c a t i d = 3 5 & t c a t i d = 5 3 9

26

28
c e t a k / 2 0 0 7 /

Hikmat Trimenda, Islam dan Penyelamatan Lingkungan, , diakses tanggal 20 September 2007
0 2 2 0 0 7 / 1 6 / 0 9 0 2 . h t m

pengetahuan serta hidup berdampingan secara harmoni bersama alam dengan jalan menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya. Dalam bidang fikih, watak teosentrik ini juga tampak pada segolongan orang yang memahami fikih hanya sebatas ibadah seperti salat, saum, zakat, dan haji. Akibatnya, fikih yang berhubungan dengan fenoeman sosial, seperti fikih lingkungan masih terabaikan. Padahal dalam konteks krisis ekologis saat ini, fikih lingkungan menjadi sangat urgen. Melalui fikih lingkungan, perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa membuang sehelai sampah ke tempatnya atau menyingkirkan duri dari jalanan itu adalah ibadah. Melalui fikih lingkungan, juga perlu ditanamkan kepada masyarakat sebuah keyakinan bahwa berjualan di atas trotoar itu termasuk mengambil hak para pejalan kaki yang diharamkan agama dan sebagainya.29
m a h d l o h

Di antara tiga faktor penyebab krisis ekologi faktor fundamental-filosofis, faktor politik ekonomi global dan faktor pemahaman keagamaan - tulisan ini akan mencoba menyoroti faktor yang ketiga (faktor pemahaman keagamaan). Dengan asumsi Islam adalah agama yang ramah lingkungan, tulisan ini akan merumuskan fikih yang berorientasi pemeliharaan lingkungan atau disebut fikih lingkungan. Dengan fikih lingkungan, dunia Islam diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam membangun dunia dan peradaban kemanusiaan berdasarkan landasan etika dan ) yang dapat diterima oleh dunia muslim sendiri dalam ajaran lingkungan ( menghadapi problematika lingkungan yang mengancam dunia. 30 Hanya saja, sebagai sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, fikih lingkungan belum memiliki basis filsafat ilmu yang cukup kuat. Karena itu, tulisan ini akan menawarkan sebuah landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis bagi fikih lingkungan.
e n
v

B. Fikih Lingkungan dan Pergeseran Paradigma Pemahaman Keagamaan (fikih lingkungan) merupakan sebuah cabang disiplin dalam bidang lingkungan hidup yang dibangun dalam kerangka filosofi muslim dan berbasis fikih. Lahirnya fikih lingkungan merupakan sebuah langkah revolusioner dan berwatak dekonstruktif, mengingat fikih selama ini dipahami kalangan umum umat Islam identik dengan ibadah dan muamalah. Selama ini penghayatan seperti salat, saum, keagamaan umat Islam baru terfokus kepada pelaksanaan fikih ibadah zakat, dan haji, sementara fikih-fikih lainnya seperti fikih politik, ekonomi atau lingkungan masih terabaikan.31 Agama selama ini dipandang hanya berkutat pada ranah ritus dan simbol belaka dan cenderung mengabaikan realitas sosial yang tengah berkembang.32 Ketika kemudian Islam dihubunghubungkan dengan upaya pmeliharaan lingkungan, sebagian orang memandang sebelah mata. Padahal umat Islam (ulama) memiliki peranan penting dalam membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya konservasi lingkungan hidup, antara lain dengan menggunakan pendekatan fikih.
F i q h a l B i a h m a h d l o h

29
r a k y a t . c o m / c e

Muchsin
t a k / 2 0 0 5 / 0 3

al-Fikri,
0 5 / 0
4

Fikih
r e n
u

Lingkungan dan Kearifan Lokal, , diakses tanggal 20 September 2007


h m a t . h t m

30
h t t p : / / w w w . c o n

Fachruddin
s e r v a t i o n . o r . i d / t

M.
r o p i k a /

Mangunjaya,
t r o p i k a . p h p ? c a t i d =

Dunia
3 5 & t c a t i d =

Islam dan Perubahan Iklim, , diakses tanggal 20 September 2007


5 3 9 h t t p : / / w w w . p i k i r a n -

31
r a k y a t . c o m / c e

Muchsin
t a k / 2 0 0 5 / 0 3

al-Fikri,
0 5 / 0
4

Fikih
r e n
u

Lingkungan dan Kearifan Lokal, , diakses tanggal 20 September 2007


m a t . h t m

32
h t t p : / / m
u

Muhammad
a m m a d m a w h i
b u

Mawhiburrahman
h m a n .
b l

Menggagas
/ 0 5 / m e n
g g

Fikih
f

Lingkungan, diakses
l ,

tanggal 20 September 2007

Fikih lingkungan adalah fikih berisi regulasi atau norma-norma yang mengatur aksi-aksi dan tindakan manusia yang berhubungan dengan konservasi lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui, krisis ekologis sebagian besar dilatarbeakangi aksi-aksi dan tindakan manusia. Kepunahan spesies, misalnya, sangat berkaitan dengan habitat. Jika sudah paham karakteristik habitat, maka akan tampak karakteristik spesies yang tinggal di dalamnya. Dalam menyikapi kepunahan itu, memahami ) yang habitat tempat hidup spesies mutlak diperlukan. Karena itu, fikih lingkungan ( mengatur kaidah umum mengenai aksi-aksi dan perlikau yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi rusaknya habitat tersebut mutlak diperlukan. Di sini, fikih lingkungan harus mengatur tentang kaidah baik- buruk atau halal-haram yang akan menjadi patokan penilaian bahwa sebuah aksi itu baik atau buruk. Dengan cara ini, umat Islam akan mampu menghadirkan sebuah pendekatan religius yang mendasarkan diri pada Quran dan Hadits dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Umat Islam sekaligus dapat meyakinkan dunia bahwa Islam tidak identik dengan yang berbasis Quran untuk menyelesaikan kekerasan dan terorisme, tetapi ia memiliki 33 persoalan lingkungan hidup. Jadi, sudah saatnya umat Islam menyelamatkan alam tidak sekadar atas dengan panjatan doa, tapi juga harus dengan ilmu pengetahuan dengan memberikan perliaku yang dapat merusakan keseimbangan alam itu dengan berdasarkan pemahaman al-Quran.
F i q h a l B i a h
v

Oleh karena itu, revolusi paradigmatik menyangkut cara pandang manusia terhadap alam yang menjadi menjadi harga mutlak yang tidak bisa ditawar lagi. Antroposesntris berarti prinsip etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Dalam faham ini menempatkan manusia dan kepentingannya sebagai yang hal yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem.34 Hal ini berbeda dengan ekosentrisme yang merupakan etika lingkungan yang memusatkan diri pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak.35
a n t r o p o s e n t r i s e k o s e n t r i s

C. Basis

Fikih Lingkungan
f i q h a l b i ' a h

) ini merupakan Munculnya kesadaran mengenai urgensitas fikih lingkungan ( buah dari ajaran Islam yang sangat peduli terhadap lingkungan hidup. Sejak awal Islam telah menganjurkan pemeluknya untuk melakukan dua pola relasi-interaksi yang adil dan berimbang, antara pola interaksi manusia dengan Tuhan ( ) dan manusia dengan manusia dan ). Pola yang pertama dibingkai oleh , sedangkan pola yang alam ( kedua diwadahi oleh fiqh dengan memasukkan kajian baru seperti fiqh al-bi'ah, fiqh alsiysah dan lainnya.
h a b l u n m i n A l l a h h a b l u n m i n a l n a s f i q h a l -

Jika dikaji lebih lanjut, pola interaksi tersebut sesungguhnya terbangun atas dasar konsep Secara harfiah, berarti kesatuan ( ) yang secara absolut berarti mengesakan juga dapat diartikan secara luas Allah dan membedakannya dari makhluk. Akan tetapi sebagai kesatuan ( ) seluruh ciptaan baik manusia maupun alam -- dalam relasi-relasi mengandung pengertian tentang kesatuan antara Tuhan, kehidupan. Dengan kata lain, Rahman menjelaskan pandangan manusia dan alam.36 Dalam buku ) al-Quran mengenai relasi dalam tiga gagasan utama. dunia ( Tuhan merupakan satu-satunya eksistensi yang menciptakan alam dan manusia.
t a w h d . t a w h d u n i t a s t a w h d u n i t a s t a w h d M a j o r T h e m e s o f T h e Q u r a n , w o r l d
v

33
h t t p : / / w w w

Prof. Emeritus Mohammed Hyder, Duetkan Ulama dan Saintis Lingkungan Hidup, dalam , diakses tanggal 20 September 2007
. c o n s e r v a t i o n . o r . i d / t r o p i k a / t r o p i k a . p h p ? c a t i d = 3 5 & t c a t i d = 5 3 7

34

Mujiono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Alquran (Jakarta: Paramadian, 2002),

hlm. 36 Oki Sukirman, Teologi Lingkungan Revolusi Paradigma Atas Lingkungan, dalam http://blog.hmikab-bdg.web.id/2007/04/teologi-lingkungan.html, diakses tanggal 20 September 2007 36 Nurcholish Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), cet. XI, hlm.276.
35

Tuhan menciptakan alam sebagai sebuah kosmos atau tatanan yang teratur yang tidak statis, alam bukan suatu permainan yang sia-sia, tetapi ia melainkan berkembang secara dinamis. memiliki tujuan dan manusia harus mempelajari hukum-hukum alam ini yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan ( ) dan menjadikannya sebagai panggung aktivitas manusia.
K e t i g a , s u n n a t u l l a h

Pandangan dunia al-Quran tersebut dijelaskan Rahman dalam aksioma-aksioma berikut. segala sesuatu selain Tuhan, termasuk manusia dan alam semesta tergantung kepada Tuhan yang Maha Besar dan Perkasa pada dasarnya adalah Tuhan yang Maha Tuhan, aspek-aspek ini mensyaratkan sebuah hubungan yang tepat antara Tuhan dengan Pengasih, manusia hubungan antara yang diper-Tuan dengan hamba-Nya dan sebagai konsekuensinya hubungan yang tepat antara manusia dengan manusia.37
e r t a m a , K e d u a , K e t i g a ,

1. Tuhan Berdasarkan aksioma-aksioma yang dijelaskan Rahman, Tuhan merupakan eksistensi yang menempati posisi sentral bagi kelangsungan eksistensi manusia dan alam. Tuhan adalah pencipta serta pemelihara alam semesta dan manusia dan Dia pula yang akan mengadili manusia nanti, secara individual maupun kolektif dengan keadilan yang penuh belas kasih.38 Dia satu-satunya eksistensi yang mampu menjelaskan keteraturan alam semesta sekaligus ketergantungannya terhadap yang lain. Keteraturan alam semesta ini menjadi penting bagi perkembangan ilmu-ilmu kealaman modern, sebab ilmu-ilmu kealaman modern bisa tumbuh dan berkembang karena adanya asumsi mengenai keteraturan alam semesta ini. Tanpa adanya keteraturan alam semesta ini tidak akan ada hukum atau teori apapun yang dapat dihasilkan oleh ilmu pengetahuan modern.39 Jadi, keteraturan alam semesta ini akan melahirkan ketetapan pola-pola yang berlaku dalam hukum alam yang memberi peluang dikembangkannya penelitian ilmiah terhadap alam.40 Menurut al-Quran, seluruh alam semesta adalah sebuah struktur yang kokoh dan terpadu yang berjalan menurut hukumnya sendiri yang bersumber dari Tuhan. Al-Quran menegaskan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam alam semesta dan bahwa seluruh kosmos merupakan satu kesatuan organis.41 Alam bersifat otonom, tetapi tidak otokratis karena di dalam dirinya tidak ada jaminan terhadap eksistensinya sendiri dan karenanya ia tidak dapat menerangkan dirinya sendiri.42 Konsekeuensinya, alam tidak dapat berjalan dengan sendirinya secara kebetulan, tetapi ia sangat tergantung kepada siapa yang menciptakannya, yaitu Tuhan. Rahman lalu mengutip firman Allah: (langit dan bumi) karena ) (tuhan-tuhan yang lain itu) (QS. 21: 22-23). Menurut ayat tersebut, keteraturan alam semesta sangat tergantung pada keterlibatan Tuhan dalam mengatur alam semesta.
e k i r a n y a p a d a k e d u a n y a t e r d a p a t t u h a n t u h a n s e l a i n A l l a h t e n t u l a h k e d u a n y a i t u k a n r u s a k b i n a s a . M a h a S u c i A l l a h y a n g m e m p u n y a i A r s y d a r i a p a y a n g m e r e k a s i f a t k a n ( l l a h t i d a k d i t a n y a t e n t a n g a p a y a n g d i p e r b u a t n y a s e m e n t a r a m e r e k a k a n d i t a n y a

Sebagai konsekuensi dari keteraturan dan ketergantungan alam kepada Tuhan ini, maka Tuhan hadir sebagai wujud yang memberi arti dan makna bagi kehidupan ini. Tuhan adalah makna bagi realitas yang dimanifestasikan oleh alam dan manusia. Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi yang lain. Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap
Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), hlm. 2-3. Ibid., hlm. 1. 39 Ismail R. al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung; Pustaka, 1988), hlm. 43. 40 Selanjutnya lihat Deobold B. Van Dalen, Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial: Beberapa perbedaan dalam: Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 135-139. Lihat juga Ibid., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), hlm. 73. 41 Fazlur Rahman, The Quranic Concept of God, the Universe and Man dalam Islamic Studies, Jilid VI, No. 1, Tahun 1967, hlm. 3. 42 Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran, hlm. 4.
38 37

sesuatu. Tanpa adanya Tuhan, maka mustahil akan ada alam dan juga manusia. Dengan demikian, Tuhan bukanlah fakta di antara fakta-fakta lain dan berkoordinasi dengan fakta-fakta tersebut, tetapi Tuhan lebih merupakan cara di mana faka-fakta ini berjalan sebagai suatu totalitas. Dialah makna alam semesta dan cara yang oleh totalitas fakta dianggap sebagai yang mengisi mereka dengan makna yang dalam bahasa al-Quran dikatakan; (QS. 24:25). Dengan kata lain, konsep Tuhan adalah fungsional sebab Tuhan dibutuhkan bukan karena siapa Dia atau bagaimana Dia, tetapi karena apa yang Dia lakukan.
T u h a n a d a l a h c a h a y a l a n g i t d a n b u m i

Kemudian, konsekuensi yang lain dari keteraturan dan ketergantungan alam kepada Allah ini adalah bahwa Allah digambarkan sebagai Dzat yang Maha Kuasa sekaligus Maha Kasih. Kasih sayang Tuhan ini dibuktikan dengan kesediaan Tuhan menciptakan alam agar dikelola oleh manusia dengan tujuan yang baik. Bagi Rahman, penciptaan alam untuk manusia adalah berkat kemurahan Tuhan yang paling utama.43 Kemudian, dalam limpahan kasih Tuhan ini, Tuhan juga telah memberikan kepada manusia kesadaran dan kemauan yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan dan memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk mengelola alam bagi kemashlahatan manusia itu sendiri. Di sinilah manusia akan diuji apakah ia akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk kebaikan atau kejahatan.44 2. Alam komponen kedua yang menyusun bangunan teologi adalah alam semesta. Alam semesta ) atau pertanda adanya Tuhan dan bahwa hukum alam adalah bagian dari hanyalah indeks ( perilakunya ( ),45 sehingga hukum alam dikenal dengan predikat . Menurut alQuran, ketika Tuhan menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberi bentuk lahiriyah, pada waktu yang sama Tuhan juga melengkapinya dengan hukum-hukum kehidupan dan menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika perkembangannya. Rahman menggunakan istilah untuk merujuk pada proses pembentukan lahiriyah, dan istilah (yang secara literal berarti untuk merujuk pada kekuatan-kekuatan, potensialitas-potensialitas dan perintah) dan disposisi dengan proses ketimbang dipahami dalam terma peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sebagaimana pemahaman umum tentang term ini. Rahman mendasarkan pandangannya pada salah satu surat yang berasal dari periode Makkah awal, , yakni memberi bentuk kepada sesuatu) dan (bentuknya) serta yang memperlengkapi (setelah diciptakan) dengan potensialitasnya ( ) dan ) (QS. 87: 1-3). Menurut Rahman, ayat ini merupakan bukti yang kemudian memberi petunjuk ( paling mengesankan bahwa dalam bahasa al-Quran, ketika Tuhan menciptakan atau memberi bentuk lahiriyah kepada sesuatu pada waktu yang sama memperlengkapinya dengan konstitusi batin, dan hukum dinamika perilakunya, yaitu taqdirnya yang juga merupakan hidayah atau arah yang ditujunya.46
y a h s u n n a h s u n n a t u l l a h h u l q a m r t a q d i r s u c i k a n l a h n a m a T u h a n m u
Y

Ajaran fundamental al-Quran tentang alam semesta ini selanjutnya dapat diklasifikasikan ke alam semesta merupakan sebuah kosmos atau tatanan yang dalam tiga gagasan utama. ia merupakan sebuah tatanan yang tidak statis, melainkan berkembang secara teratur. dinamis. alam bukan suatu permainan yang sia-sia, tetapi ia memiliki tujuan dan manusia
P e r t a m a , K e d u a , K e t i g a ,

Ibid., hlm. 6. Ibid., hlm. 7. 45 Menurut Rahman, alam semesta berkaitan dengan Tuhan sebagaimana halnya karakter berkaitan dengan manusia, atau dalam suatu pengertian, sebagaimana suatu keseluruhan berhubungan dengan bagianbagiannya, keduanya tidak identik satu-sama lain dan tidak pula terpisah. Sebagaimana halnya manusia hampir-hampir tidak dapat merusak, memungkiri atau membuang karakternya, maka demikian pula halnya dengan Tuhan dan alam semesta. hlm. 5.
44
b

43

46

Fazlur Rahman, the Quranic Concept of God, hlm. 8.

harus mempelajari hukum-hukum alam ini yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan dan menjadikannya sebagai panggung aktivitas manusia.47 Dengan demikian, realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidaksengajaan (kebetulan atau main-main) sebagaimana pandangan beberapa saintis Barat, tetapi dengan rencana yang benar al-Haq (Q.S. Al-An'am: 73; Shaad: 27; Al-Dukhaan: 38-39). Oleh karena itu, alam mempunyai eksistensi riil, objektif, serta bekerja sesuai dengan hukum ). Pandangan Islam tentang alam (lingkungan hidup) ini bersifat menyatu yang berlaku tetap ( (holistik) dan saling berhubungan dengan Sang Pencipta alam dan makhluk hidup (termasuk manusia).48
q o d a r

3. Manusia Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang diberi keistimewaan oleh Allah. Ia diciptakan secara alamiah karena Tuhan menciptakan Adam dari tanah,49 tetapi manusia berbeda dari makhluk ciptaan alamiah lainnya, karena setelah dibentuk, Allah ke kepada manusia bukan malaikat dalam diri manusia.50 Allah kemudian memberikan ataupun setan untuk mengelola, memelihara dan memanfaatkan alam semesta, karena Adam diberi keistimewaan Allah berupa pengetahuan yang kreatif. Selain itu, manusia juga diistimewakan Allah dengan memberinya kekuatan moral. Bahkan di antara seluruh makhluk, hanya manusialah yang dilengkapi dengan kekuatan moral berupa kebebasan dan sekaligus tanggungjawab untuk menundukan alam dan memanfaatkannya untuk suatu tujuan yang baik. 51
m e n i u p k a n r u h k u s e n d i r i a m n a h

Akan tetapi, kekuatan moral dan intelektual manusia ini mendapat tantangan dari kekuatan negatif yang disimbolkan dengan setan. Ketika Allah memerintahkan malaikat dan setan untuk tunduk kepada Adam ternyata setan tidak mau melakukannya. Sikap setan ini oleh al-Quran tidak
47 48
c e t a k / 2 0 0 7 /

Fazlur Rahman, the Quranic Concept of God, hlm. 6. Hikmat Trimenda, Islam dan Penyelamatan Lingkungan, , diakses tanggal 20 September 2007
0 2 2 0 0 7 / 1 6 / 0 9 0 2 . h t m

QS. 15; 26,28,33; 6:2; 7:12). Al-Quran (QS. 15;29; 38:72; 32:9) tidak mendukung semacam dualisme yang radikal antara jiwa dan raga seperti yang terdapat dalam filsafat Yunani. Plato, misalnya, mengatakan bahwa jiwa dan tubuh dipandang sebagai dua buah kenyataan yang harus dibeda-bedakan dan dipisah-pisahkan. Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 42 Menurut Rahman, tidak ada sebuah keteranganpun dalam al-Quran yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua buah substansi yang berbeda, apalagi bertentangan, yakni jiwa dan raga. Bahkan perkataan al-nafs dalam al-Quran yang sering diterjemahkan dengan jiwa sebenarnya berarti pribadi atau ke-aku-an, yang menggambarkan keadaankeadaan, aspek-aspek, watak-watak atau kecenderungan diri pribadi manusia yang bersifat mental, dan bukan bersifat fisikal. Lihat Fazlur Rahman, Major Themes of The Quran, hlm. 26. 51 Pandangan Rahman ini merupakan penolakan terhadap madzhab Asyariyyah dan paham pantheisme sufistik. Dalam pandangan al-Asyari, manusia hanyalah aktor dalam pengertian metaforis. Tuhan menciptakan semua tindakan manusia dan manusia hanya memperolehnya (acquire). Menurut doktrin ini, semua perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnya oleh Tuhan, tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia yang dengan demikian memperolehnya. Kemudian datanglah pantheisme dan relativisme moral agama dari Ibnu Arabi. Kalau Asyari dan pengikutnya mengatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa berbuat dan bahwa penggunaan term ini bagi bentuk lain adalah metaforis, maka Ibnu Arabi dan pengikutnya mengajarkan bahwa hanya Tuhan yang eksis dalam realitas dan penggunaan term ini bagi yang lain adalah metaforis. Ketika Asyariyyah membuat konsep perbuatan manusia hampir seperti kosong, pengikut Ibnu Arabi juga membuat konsep eksistensi manusia yang mutlak menjadi kosong. Karena pengaruh teologi Asyariyyah dan pantheisme sufistik ini, konsep al-Quran mengenai taqdir ditafsirkan sebagai predeterminasi Allah terhadap segala sesuatu, termasuk perbuatan-perbuatan manusia. Menurut Rahman, jika semua perkembangan ini diletakkan di samping al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad, maka tampak suatu pertentangan yang tajam dengan al-Quran yang mengusung kebebasan dan tanggungjawab manusia. Lihat Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), hlm. 79. Lihat juga Ibid.,, Islam (Chicago: Chicago University Press, 1979), hlm.127 dan Ibid., Major Themes of The Quran, hlm. 35.
50

49

dinyatakannya sebagai sikap , tetapi sebagai sebuah kekuatan yang terusmenerus berusaha menyesatkan manusia, sehingga ia terperosok kepada tingkah laku yang sesat.52
a n t i T u h a n a n t i m a n u s i a

Dengan kata lain, meskipun manusia telah diberi amanah oleh Allah untuk menjadi yang bertugas mengelola alam, namun manusia adalah mahluk yang potensial berbuat kerusakan. Kisah primordial dalam al-Quran mengilustrasikan bagaimana malaikat sempat mempermasalahkan pemberian amanah ini kepada manusia. Malaikat beralasan bahwa merekalah yang lebih konsisten beribadah kepada Allah daripada manusia yang suka membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Allah lalu menjawab: (Q.S. al-Baqarah 30-33). Dengan nama . (pengetahuan) yang diajarkan Allah itulah, manusia dijadikan Allah sebagai
k h a l i f a h S e s u n g g u n y a A k u m e n g e t a h u i a p a y a n g k a m u t i d a k k e t a h u i d a n A l l a h e n g a j a r k a n A d a m b e b e r a p a n a m a s e l u r u h n y a k h a l i f a h

Dialog ini memperlihatkan bahwa intelektualitas dan moralitas tidak selamanya berbanding lurus. Penyebabnya adalah kegagalan manusia dalam menghadapi kekuatan negatif yang disimbolkan dengan setan yang terus-menerus berusaha menyesatkan manusia sehingga manusia tampil sebagai sosok yang serakah. Keserakahan ini kemudian melahirkan perilaku-perilaku amoral. Keserakahan ini pula yang melatarbelakangi lahirnya apa yang oleh Adorno dan Horkheimer dalam disebut dengan ; rasio yang hanya peduli pada metode memanipulasi alam, tetapi tidak peduli pada dampak ekologis yang ditimbulkannya.53 Akibatnya, keseimbangan alam terganggu dan bencanapun tidak terelakkan. Manusia yang dulu ingin membebaskan diri dari belenggu alam dengan berbekal kekuatan rasio-nya, justru kini terbelenggu oleh rasio itu sendiri. Kondisi inilah yang selanjutnya melahirkan apa yang oleh Nasr disebut (nestapa manusia modern), karena ia telah kehilangan wawasan spiritualnya 54 tentang alam.
i a l e k t i k D e r A u f k l a r u n g r a s i o i n s t r u m e n t a l t h e l i g h t o f m o d e r n m a n

Demikianlah hubungan integratif antara dalam pandangan Islam. Hubungan integratif ini selanjutnya akan menjadi ontologis permusuna fikih lingkungan. Dalam hubungan ini, manusia dan alam sama-sama menempati posisi yang sejajar. Manusia diberi hak mengelola alam, tetapi pada saat yang sama Allah memerintahkan manusia untuk memelihara keseimbangan alam dengan sebaik-baiknya.
T u h a n m a n u s i a a l a m

D. Basis

Fikih Lingkungan
T u h a n m a n u s i a a l a m o n t o l o g i s t e o l o g i s

ini selanjutnya akan menjadi basis Hubungan triadik bagi pengembangan fikih lingkungan. Fikih lingkungan di bangun atas dasar hubungan komplementer antara manusia dan alam di mana tidak ada pihak yang saling mendominasi satu atas yang lain. Basis ontologis-teologis ini kemudian dijadikan dasar pengembangan epistemologismetodologis fikih lingkungan. 1. Sumber Pengetahuan (
s o
u r c

) dalam fikih Islam

Dalam kajian fikih dijelaskan bahwa terdapat empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama meliputi al-Quran, sunnah, ijma (konsensus) dan qiys (penalaran analogis). Logika syariah sebagai suatu sistem perundang-undangan agama menunjukkan secara jelas bahwa ia adalah perundang-undangan yang dijabarkan pertama kali secara langsung dari al-Quran dan tradisi atau sunnah Nabi dan terakhir dari tindakan individu dan masyarakat yang hidup sesuai dengan wahyu dan tradisi Nabi. Menurut Abdillahi Ahmed An-Naim, dan tidak disebutkan secara jelas dalam al-Quran dan sunnah sebagai sumber syariah. Karena kedua konsep itu merupakan
i j m a q i y a s

Ibid., hlm. 27. Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: IRCiSoD, 2002), hlm. 105 54 Seyyed Hossein Nasr, Islam and the plight of modern man (London: Allen and Unwin, 1975), hlm. 20
53

52

produk dari sumber hukum yang disepakati secara ijtihad oleh para ahli hukum pendiri abad kedua dan ketiga Islam. 55 Namun demikian, kesimpulan para ulama tentang empat sumber hukum Islam tersebut dapat dilacak dari penfsiran mereka terhadap firman Allah QS. al-Nisa (59):
a i o r a n g o r a n g y a n g

. Perintah mentaati Allah dan RasulNya sebagaimana tercantum dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai perintah mengikuti al-Quran dan sunnah, sedangkan perintah mentaati diartikan sebagai perintah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati karena mereka itulah ulil amri ummat Islam dalam pembentukan hukum syariat Islam. Kemudian perintah mengembalikan kejadian yang dipertentangkan antara umat Islam kepada Allah atau . dan Rasulnya diartikan sebagai perintah mengikuti qiyas ketika tidak terdapat Pengertian taat dan mengembalikan masalah ini adalah mengembalikan masalah yang dipertentangkan kepada Allah dan Rasulnya karena qiyas adalah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan illat hukum antara dua jenis kejadian tersebut. Jadi ayat tersebut, merupakan dalil untuk mengikuti empat sumber hukum Islam yang selama ini diakui umat Islam.56
a g i m u d a n l e b i h b a i k a k i b a t n y a u l i l a m r i u j t a h i d i n n a s h i j m a

Di samping empat sumber hukum primer tersebut, terdapat sumber-sumber hukum lain yang bersifat sekunder, antara lain; pertama, yang didefinisikan sebagai upaya berpindahnya (nyata) kepada (tersembunyi) atau dari seorang mujtahid dari tuntutan (umum) ke hukum pengecualian karena ada dalil atau indikator yang menunjukkan perpindahan sering disebut (konstruksi yang ini57. Oleh karena itu, (pilihan hukum). Ini berarti seorang ahli menguntungkan) atau sering juga disebut secara kaku, sehingga sering dituduh hukum lebih suka memilih jalan yang lain selain )58. , (kesejahteraan sebagai keputusan yang sewenang-wenang ( umum) merupakan mashlahah yang tidak disyari'atkan oleh untuk mewujudkan mashlahah itu serta tidak terdapat dalil yang menunjukkan pengakuan dan pembatalannya, seperti keputusan sahabat untuk menciptakan penjara atau mencetak uang 59. Menurut Ahmed An-Na'im, konsep mashlahah ini sangat mirip dengan ide tentang "kebijakan umum" ( ) atau "kebijakan 60 ) dalam tradisi Barat . , (keterpaksaan) merupakan hukum" ( terhadap kandungan prinsip ayat-ayat al-Quran, seperti QS. al-Baqarah ayat penjabaran dari 239 yang mengizinkan tentara berkuda dalam peperangan untuk shalat di atas kuda sebagai pengganti ibadah yang dilakukan secara normal. Oleh karena itu, secara analogis dapat disimpulkan bahwa keterpaksaan menyebabkan sesuatu yang tidak dibolehkan menjadi dibolehkan ( ). yaitu sesuatu yang sudah dikenal dan menjadi tradisi manusia, berupa ucapan, perbuatan atau tentang hal meninggalkan sesuatu dan sebagainnya. Dengan
i s t i h s n q i y s j a l i q i y s k h f i h u k u m u l l i i s t i h s n f a
v

'

'

Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, terj. (Yogyakarta: LKIS, 1997), hlm. 39 Abdul Wahab Khaalaf, Ilm Ushl Fiqh, (Mesir: Darul Qolam, t.t), hlm. 21. Menurut Fazlur Rahman, hubungan timbal balik antara keempat prinsip ini sangat membingungkan dan sulit untuk menjelaskannya. Menurut Rahman, barangkali skema analisis Aristoteles dapat dijadikan sebagai perbandingan dasar untuk dapat membantu menjelaskannya. Berdasarkan skema Aristoteles, al-Quran dan sunnah adalah prinsip-prinsip material (causa material), kegiatan penalaran analogis (qiys) adalah prinsip yang dihasilkan dari prinsip pertama (causa effisien) dan ijma adalah prinsip formalnya (causa formal). Melalui skema aristoteles ini, maka struktur hukum Islam tersebut memungkinkan manusia untuk hidup di bawah bayangbayang kedaulatan Tuhan. Fazlur Rahmaan, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 90 57 Untuk lebih jelasnya, lihat Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 80-82 58 Abdullahi Ahmed An-Na'im, Op. Cit., hlm. 50 59 Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 84 60 Abdullahi Ahmed An-Na'im, Op. Cit., hlm. 51
56

55

demikian, terdapat empat sumber hukum yang utama meliputi al-Quran, sunnah, ijma' dan qiyas, di dan lainnya. samping sumber-sumber hukum sekunder semacam
i s t i h s n , i s t i s h l a h , d a r u r a t , ' u r f

2.

sebagai Kerangka Metodologis Fikih Lingkungan


m a s h l a h a h

Di antara sumber-sumber metodologi pengembangan hukum Islam, merupakan salah satu alat metodologis yang dapat dijadikan pegangan dalam mengembangkan fikih lingkungan. ini pada mulanya dijadikan dasar bagi para untuk merumuskan konsep Konsep yang akan menjadi landasan dalam penetapan hukum Islam. Berbeda dengan pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam yang menitikberatkan kepada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasaan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci, maka dalam pendekatan melalui kajian lebih menitikberatkan pada upaya melihat yang diturunkan Allah.61 Konsep nilai-nilai yang berupa kemashlahatan manusia dalam setiap ini diartikan sebagai maksud atau tujuan atau prinsip disyariatkannya hukum dan dalam Islam, karena itu yang menjadi bahasan utama adalah mengenai masalah 62 . Konsep ini berangkat dari asumsi bahwa semua kewajiban ( ) diciptakan dalam rangka ) merealisasikan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat, 63 dan bahwa semua kewajiban ( yang diemban oleh setiap manusia tidak dapat dipisahkan dari aspek kemashlahatan baik secara eksplisit maupun secara implisit. Dalam pandangan al-syatibi, hukum yang tidak mempunyai tujuan kemashlahatan akan menyebabkan hukum tersebut kehilangan legitimasi sosial di tengah masyarakat manusia, dan ini suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum Tuhan.64 Berdasarkan pemahaman al-Syatibi terhadap ayat-ayat al-Quran, ia menyimpulkan bahwa dalam arti kemashlahatan dapat ditemukan dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan,65 artinya apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang tidak jelas dimensi kemashlahatannya maka ia dapat dianalisis melalui yang dapat dilihat dari ruh syarah dan tujuan umum dari pewahyuan agama Islam. Menurut al-Syatibi, hakikat atau tujuan awal pemberlakuan adalah mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok; agama ( ), jiwa ( ), ), akal ( ), dan harta ( ) keluarga (
m a s h l a h a h f u q a h a a q s h i d a l s y a r a h m a q s h i d a l s y a r a h t a k l f a q a s h i d a l s y a r a h h i k m a h i l l a t a l u k m t a k l f t a k l i f m a q s h i d a l s y a r a h m a q s h i d a l s y a r a h y a r a h a l d i n a l n a f s a l n a s l a l a q l a l m a l

Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut, al-Syatibi membagi atau tujuan syariah kepada , dan dimaksudkan untuk memelihara lima unsur dalam kehidupan manusia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan 66 seperti makan, minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Yang atau ini ada lima yaitu: .67 Cara untuk menjaga yang lima termasuk , dari segi adanya ( ) yaitu tadi dapat ditempuh dengan dua cara. dengan cara manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya. tingkat
a q s h m a q s h i d m a q s h i d a l d h a r

Maqshid al-syarah secara substansial mengandung kemashlahatan yang menurut al-Syatibi yang dapat dilihat dari dua sudut pandang: Pertama, Maqshid al-Syar (tujuan Tuhan) dan kedua Maqshid almukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, maqshid al-syarah mengandung empat aspek, yaitu (1) tujuan awal dari al-Syari dalam menetapkan syariah, yaitu kemashlahatan dunia dan akhirat, (2) penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami, (3) penetapan syariah sebagai hukum mukallaf yang harus dilaksanakan, (4) penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Sedangkan maqshid al-syarah ditinjau dari sudut tujuan mukallaf aialah agar setiap mukallaf memenuhi keempat tujuan syariah yang digariskan al-Syari, sehingga tercapai kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 43 62 Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit., hlm. 199 63 Abu Ishaq al-Syathibi, Al-Muwfaqt, Juz II (Beirut: Dar al-Marifah, t.t.), hlm. 195 64 Menurut Wael B. Hallaq, konsep maqshid al-syarah dalam pemikiran al-Syatibi ini bertujuan mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan apresiasi hukum manusia. Lihat Wael B. Hallaq, The Primacy of The Quran in Syatibi Legal Theory, (Leiden: Ej-Brill , 1991), hlm. 89 65 Abu Ishaq al-Syathibi, Op. Cit., hlm. 6-7 66 Imam Syathibi, al-Muwafaqat, Op.Cit., Juz II, hal. 7. 67 Ibid., hal 8.

61

dari segi tidak ada ( ) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang menyebabkan misalnya shalat dan zakat, ketiadaannya. Sebagai contoh; menjaga agama dari segi misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad; menjaga jiwa menjaga agama dari segi dari segi misalnya makan dan minum; menjaga jiwa dari segi misalnya hukuman misalnya makan dan mencari ilmu; menjaga aqal qishash dan diyat; menjaga aqal dari segi misalnya had bagi peminum khamr; menjaga an-nasl dari segi misalnya dari segi misalnya had bagi pezina dan menjaga al-mal dari nikah; menjaga an-nasl dari segi segi misalnya jual beli dan mencari rizki dan menjaga al-mal dari segi misalnya atau adalah sesuatu yang sebaiknya riba, memotong tangan pencuri. ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan dan kesempitan.68 Misalnya, dalam masalah ibadah adalah adanya ; shalat bagi . atau adalah sesuatu yang sebaiknya ada dan demi sesuainya dengan keharusan akhlak yang baik atau dengan adat. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu juga tidak akan menimbulkan dalam melaksanakannya, hanya saja dinilai tidak pantas dan tidak layak manurut ukuran , menutup aurat dan hilangnya tatakrama dan kesopanan. Di antara contohnya adalah najis.
m i n n a h i y y a t i a l a d a m a l w u j u d a l a d a m a l w u j u d a l a d a m a l w u j u d a l a d a m a l w u j u d a l a d a m m u q d z i f ; a l w u j u d a l a d a m M a q a s h i d M a s l a h a h a j i y y a t

Setelah era al-Syathibi, banyak pemikir Islam yang mencoba mengembangkan lebih lanjut konsep tersebut, antara lain Fazlur Rahman. Bedanya, bila al-Syatibi pada lima unsur pokok: agama, jiwa, keturunan, akal dan harta, maka merumuskan Rahman lebih memeras lagi menjadi dua unsur; yaitu monoteisme dan keadilan sosial. Menurut (monoteisme). Rahman, nilai-nilai sentral ajaran Islam terletak pada nilai mengandung pengertian sentralitas dan urgensitas Tuhan bagi kehidupan manusia. Tuhan dibutuhkan sebagai pencipta, penopang, pemberi petunjuk dan terakhir sebagai hakim.69 Selain (monoteisme), pesan sentral al-Quran juga terletak pada konsep keadilan sosial. Sejak pertama kali al-Quran ditrurunkan kepada nabi Muhammad saw al-Quran berperan sebagai petunjuk masalah-masalah moral, spiritual dan problem-problem sosial tertentu, terutama politeisme dan ketimpangan sosial ekonomi yang kronis yang berlangsung dalam komunitas pedagang Makkah yang makmur.70 Salah satu prinsip keadilan sosial yang diletakan al-Quran adalah (QS. 59: 7). Sebagai pengejawantahan prinsip ini, al-Quran menetapkan zakat yang tujuan-tujuannya dirinci dalam QS. 9: 60.71
m a q s h i d a l s y a r a h m a s h l a h a h t a w h d T a w h d t a w h d e k a y a a n t i d a k b o l e h b e r e d a r h a n y a d i k a l a n g a n o r a n g o r a n g k a y a

Imam Syathibi, Op.Cit., hal. 9 Fazlur Rahman, Interpreting al-Quran dalam Inquiry, Mei, 1986, hlm. 49. 70 Fazlur Rahman Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: Chicago University Press, 1980), hlm. 5. 71 Fazlur RahmanSome Key Ethical Concepts of the Quran dalam Journal of Religious Ethics, Jilid XI, No. 2, 1983, hlm. 184.
69

68

Monoteisme

Keadilan sosial
i f d z a l a q l

Konsep al-Syathibi

Konsep Rahman

Namun demikian, baik al-Syathibi maupun Rahman sama-sama tidak menyinggung hifdz al-biah atau hifdz al-alam (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari maqashid al-syariah. Syariat memang tidak membahas secara langsung isu-isu tentang pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan, sementara fikih sendiri merupakan ilmu pengetahuan yang menuntun umat Islam dalam menentukan mana keputusan manusia yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer yang dapat dibenarkan dan mana yang tidak. Fikih mempertimbangkan kepentingan umat manusia (mashalih) yang terdiri atas lima hal: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), akal (al- aql), dan harta (al-mal).72 Hanya saja, meskipun al-Syathibi maupun Rahman sama-sama tidak menyinggung (memilihara lingkungan) sebagai bagian dari tetapi semangat moral alQuran- seperti yang ditunjukkan Rahman dalam konsep dan ini - akan memberi ruang yang bebas bagi para ilmuan untuk merumuskan konsep, hukum, serta teori-teori keilmuan Islam yang sesuai dengan ruang dan waktu serta situasi dan kondisi sosial tertentu, termasuk teori-teori yang berhubungan dengan fikih lingkungan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, rumusan fikih ini akan menutup kemungkinan lahirnya lingkungan akan bersifat dinamis dan rumusan keilmuan Islam yang statis, standard dan baku. Sebaliknya, kebebasan yang dimiliki oleh pemikir Islam bukanlah kebebasan mutlak, karena konsep, hukum dan teori yang ia hasilkan tidak boleh bertentangan dengan ajaran dan dalam al-Quran.73
h i f d z a l i a h m a q a s h i d a l s y a r i a h , m o n o t e i s m e k e a d i l a n s o s i a l m a q a s h i d a l s y a r i a h m o n o t e i s m e k e a d i l a n s o s i a l

3. Mempertimbangkan

sebagai

Meskipun al-Syathibi dan Rahman sama-sama tidak menyinggung (memilihara namun terdapat beberapa penjelasan al-Quran lingkungan) sebagai bagian dari maupun hadits yang menerangkan mengenai urgensitas pemeliharaan alam ini, antara lain:
h i f d z a l a l a m m a q a s h i d a l s y a r i a h ,

{Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal. 220} Fazlur Rahman, Islamic Modernism; its Scope, Method and Altrnative dalam International Journal of Midle Eastern Studies, Vol. I, No. 4, Tahun 1970, hlm. 331.
73

72

1. 2.

. (QS. 7: 56)
u k a k a n a m a n a t k e p a d a l a n g i t d a n b u m i d a n g u n u n g g u n u n g , m i k u l n y a d a n m e r e k a t a k u t d a r i a m a n a t i t u d a n d i p i k u l l a h

3. 4.

5.

'

6. 7. 8.

'

'

'

'

'

9.

'

'

10.
m

11.

12. 13. 14.

15. 16. 17. 18. 19.

20. 21. 22.

"

Secara tematik ( ), ayat-ayat al-Quran serta hadits-hadits tersebut, langsung atau tidak langsung, eksplisit atau implisit, memberikan hak kepada manusia sebagai khalifah Allah untuk memanfaatkan alam demi memenuhi kebutuhan hidupnya, dan pada saat yang sama memerintakan manusia untuk memeliharan dan menjaga keseimbangan alam. Karena itu, memelihara alam semesta ( ) merupakan pesan moral yang bersifat universal yang telah di sampaikan Allah kepada manusia, bahkan memelihara lingkungan hidup merupakan bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada dua hal yang perlu di sampaikan mengenai pemeliharaan alam semesta ( ). , pemeliharaan alam ) dipandang sebagai bagian dari di samping memelihara semesta ( ), jiwa ( ), keluarga ( ), akal ( ), dan harta ( ). Dengan demikian, agama ( kebutuhan dasar manusia tidak lagi terdiri dari lima hal pokok ( ) melainkan ) enam ( m a u d l u i h i f d z a l a l a m h i f d z a l a l a m P e r t a m a h i f d z a l a l a m m a q s h i d a l s y a r a h , a l d n a l n a f s a l n a s l a l a q l a l m l a l k u l l i y y a t a l k h a m s a h a l k u l l i y y a t a l s i t t a h

tanpa merubah struktur ( ) sebagaimana digagas al-Syathibi, namun dapat digunakan kaidah ushul fiqh yang mengatakan (sesuatu yang menjadi mediator pelaksaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib). Dengan argumentasi ini dapat dijelaskan bahwa meskipun pemeliharaan alam semesta ( ) tidak termasuk dalam kategori tetapi itu ) sendiri tidak mungkin terlaksana dengan baik apabila pemeliharaan alam semesta ( ) tidak akan berhasil dengan baik apabila diabaikan. Sebagai contoh upaya memelihara jiwa ( ), upaya memelihara keluarga ( ) kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta ( tidak berhasil dengan sempurna apabila kita mengabaikan pemeliharaan alam semesta ( ) dan seterusnya. Alternatif yang kedua ini dapat dijelaskan dalam skema berikut ini:
K e d u a , a l k u l l i y y a t a l k h a m s a h m l y a t i m m u a l w j i b i l l a b i h f a h u a w j i b h i f d z a l a l a m a l k u l l i y y a t a l k h a m s a h , a l k u l l i y y a t a l k h a m s a h h i f d z a l a l a m a l n a f s h i f d z a l a l a m a l n a s l h i f d z a l a l a m i f d z a l d i n

(mediator)

E. Basis

Fikih Lingkungan Berbicara mengenai fikih lingkungan, maka secara aksiologis di dalamnya berisi normanorma yang mengatur dan mengontrol pemeliharaan alam semesta ini melalui dua konsep atau
A
k

instrumen; yakni halal dan haram. Sebuah aksi atau tindakan dipandang halal, jika ia mengandung unsur adanya kebaikan, menguntungkan, menenteramkan hati, atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat maupun lingkungan. Sebaliknya, suatu aksi atau tindakan dipandang haram jika ia mengandung unsur kejelekan, membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan. Konsep halal dan haram sebagaimana yang digagas fikih lingkungan ini sesungguhnya dan . Konsep berakar pada basis teologis yang berhubungan dengan konsep secara teologis memiliki implikasi terhadap konsep manusia yang dalam al-Quran yang digambarkan sebagai makhluk . Al-Quran menyebut manusia sebagai (wakil Allah di muka Bumi) sekaligus sebagai hambanya ). Manusia dalam konsep adalah (pengelola sumber daya) di bumi. Sedangkan manusia sebagai (hamba Allah) berarti manusia meskipun memiliki kebutuhan-kebutuhan yang bersifat sehingga ia pun harus tetapi juga menyadari adanya realitas-realitas bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan di hadapan Tuhan.74 Dalam kapasitasnya sebagai ini manusia diberi amanah untuk memanfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab.
t a u h i d , k h i l a f a h a m a n a h t a w h d t h e o m o r f i s k h a l f a h A l l h f a l r d l ( a b d k h a l f a h m a n a g e r o f r e s o u r c e s a b d a r d l i y y a h e s k a t o l o g i k a l h a l f a h

Al-Quran berulangkali mengingatkan manusia bahwa seluruh perbuatan mereka di dunia akan diminati pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Dalam Q.S Al-Jatsiyah, 45:15, Allah berfirman: Barang siapa melakukan amal saleh, maka (keuntungannya) adalah untuk dirinya sendiri; dan barang siapa melakukan perbuatan buruk, maka itu akan mengenai dirinya sendiri. Dan kelak kamu semua akan kembali kepada Tuhanmu. Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan alam ini menurut cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Muhammad Fazlur Rahman Anshari mengatakan bahwa menjaga alam dari kerusakan bukan hanya memiliki implikasi positif bagi manusia sekarang dan generasi mendatang, tetapi sekaligus sebagai sarana menjaga martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan jalan mensyukuri nikmat Tuhan itu dalam bentuk perbuatan yang positif-konstruktif.75 Selain itu, dalam upaya memanfaatkan alam ini, manusia juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan ummat. Jika konsep tauhid, khilafah, amanah, halal, dan haram ini kemudian digabungkan dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan kemaslahatan maka terbangunlah suatu kerangka yang lengkap dan komprehensif tentang etika lingkungan dalam perspektif Islam. Konsep etika lingkungan ini mengandung sebuah penghargaan yang sangat tinggi terhadap alam, penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep etika lingkungan inilah yang harus menjadi landasan dalam setiap perilaku dan penalaran manusia.76 Berdasarkan etika lingkungan tersebut, maka tidak seorangpun, baik secara individu maupun kelompok, yang mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumber daya alam. Konsep "penaklukan atau penguasaan alam seperti yang dipelopori oleh pandangan Barat yang sekuler dan materialistik tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan bahwa yang berhak menguasai dan mengatur alam adalah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur yakni Rabbul Alamin. Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Pencipta. Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah tersebut. Dalam konteks ini, alam terutama bumi tempat tinggal manusia merupakan arena ujian bagi manusia. Agar manusia bisa berhasil dalam ujiannya, ia harus bisa membaca "tanda-

Lihat seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 103-105. Bandingkan juga dengan Seyyed Hossein Nasr, Mejelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 40-43. 75 Muhammad Fazlur Rahman Anshari, The Qur anic Founation and Structure of Muslim Society (Karachi:Trade and Industry Publications Ltd, 1973) Vol 2, hal. 126 76 Hikmat Trimenda, Islam dan Penyelamatan Lingkungan, http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/2007/022007/16/0902.htm, diakses tanggal 20 September 2007

74

tanda" atau" ayat-ayat" alam yang ditujukan oleh Sang Maha Pengatur Alam. Salah satunya adalah manusia harus mempunyai pengetahuan dan ilmu yang memadai dalam mengelola alam semesta. Menurut Seyyed Hossein Nasr, signifikansi alam ini setara dengan signifikanis al-Quran. Bila al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dengan lambang bahasa tulisan dan kata yang terhimpun ( ), maka sesungguhnya alam juga merupakan hamparan wahyu atau yang mempunyai nilai yang sama dengan Karenanya, keduanya samasama disebut sebagai ayat-ayat Tuhan. Ayat di sini bisa menunjuk pada bagian dari surat-surat alQuran, tetapi juga bisa menunjuk pada kebesaran Tuhan yang terhampar di alam semesta dan manusia.77
t h e r e c o r d e d Q u r a n Q u r a n o f r e a t i o n t h e r e c o r d e d Q u r a n .

F. Penutup Mengatasi krisis ekologis yang berlangsung dewasa ini, maka perlu dirumuskan fikih lingkungan yang berpijak pada pandangan berikut. menumbuhkan wawasan yang memandang alam bukan sebagai musuh, tetapi sebagai partner dialog dalam meraih keridhaan memandang alam sebagai pentas atau (pancaran) Tuhan, sehingga kita Tuhan. menjadikan alam sebagai sarana untuk bisa melihat gemerlapnya cahaya Tuhan di balik alam. untuk mengenal dan memahami Tuhan. memandang alam sebagai wujud kasih sayang Tuhan yang bertebaran di muka bumi dan manusia merespon kasih sayang Tuhan tersebut dengan cara menjaga keseimbangan alam. Berdasarkan wawasan yang demikian, kita diharapkan memiliki kearifan ekologis untuk hidup berdampaingan secara harmonis dengan alam.
P e r t a m a , K e d u a , t a j a l l i e m a n a s i K e t i g a , K e e m p a t ,

DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Mujiono, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Alquran Jakarta: Paramadian, 2002 Anshari, Muhammad, The Qur anic Founation and Structure of Muslim Society Karachi:Trade and Industry Publications Ltd, 1973) Vol 2, Dalen, Deobold B. Van, Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial: Beberapa perbedaan dalam: Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999 al-Faruqi, Ismail R., Tauhid, terj. Rahmani Astuti Bandung; Pustaka, 1988 al-Fikri,
r a

Muchsin,
k y a t . c o m
/

Fikih
c e t a k
/

Lingkungan
/

dan
n g a n
_

Kearifan Lokal, , diakses tanggal 20 September


h t t p
:
/ /

2007 Hallaq, Wael B., The Primacy of The Quran in Syatibi Legal Theory, Leiden: Ej-Brill , 1991 Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno, Dialektika Pencerahan, terj. Ahmad Sahidah Yogyakarta: IRCiSoD, 2002 Hyder,
h

Mohammed,
t t p
:
/ /

Duetkan
o n s e r
v

Ulama
r . i d
/

dan
a
/

Saintis
k a . p h p
?

Lingkungan
t i d
=

&

Hidup, dalam , diakses tanggal

20 September 2007 Jujun S. Suriasumantri (ed.), Ilmu dalam Perspektif Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999 ___________________, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998 Khaalaf, Abdul Wahab, Ilm Ushl Fiqh, Mesir: Darul Qolam, t.t

77

Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: Unwin Paperbacks, 1979), hlm. 55

Madjid, Nurcholish, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan, 1998), cet. XI, Mangunjaya,
h t t p
:
/ /

Fachruddin
w w w . c o n s e r
v

M.,
a t i o n . o r . i d
/

Dunia
t r o p i k a
/

Islam
p i k a . p h p
?

dan
a t i d
=

&

Perubahan Iklim, , diakses tanggal


=

20 September 2007 Mawhiburrahman,


h t t p
:
/ /

Muhammad,
u h a m m a d m a w h i b u r r a h m a n . b l o g s n . h t m l ,

Menggagas
p o t . c o m
2 0 0 7
/

Fikih
0 5
/

Lingkungan,
m e n g g a g a s f i k i h -

diakses tanggal 20 September 2007

An-Naim, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syariah, terj. Yogyakarta: LKIS, 1997 Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, London: Unwin Paperbacks, 1979 _________________, Islam and the plight of modern man London: Allen and Unwin, 1975 _________________, Mejelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1994 _________________. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terj. Luqman Hakim Bandung: Pustaka, 1987 Rahman, Fazlur, Major Themes of The Quran Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980 _____________, Interpreting al-Quran dalam Inquiry, Mei, 1986 _____________, Islamic Modernism; its Scope, Method and Altrnative dalam International Journal of Midle Eastern Studies, Vol. I, No. 4, Tahun 1970 _____________, Some Key Ethical Concepts of the Quran dalam Journal of Religious Ethics, Jilid XI, No. 2, 1983, _____________, The Quranic Concept of God, the Universe and Man dalam No. 1, Tahun 1967
I s l a m i c S t u d i e s

, Jilid VI,

_____________, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: Chicago University Press, 1980 _____________, Islam Chicago: Chicago University Press, 1979 _____________, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism Oxford: Oneworld, 2000 Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Jakarta: Logos, 1999 Sukirman, Oki, Teologi Lingkungan Revolusi Paradigma Atas Lingkungan, dalam http://blog.hmikab-bdg.web.id/2007/04/teologi-lingkungan.html, diakses tanggal 20 September 2007 al-Syathibi, Abu Ishaq, Al-Muwfaqt, Juz II Beirut: Dar al-Marifah, t.t. Trimenda, Hikmat, Islam dan Penyelamatan Lingkungan, , diakses tanggal 20 September 2007
h t t p
:
/ /

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.

STUDY AL- QURAN: PERSPEKTIF MUHAMMAD ARKOUN Oleh:Muhammad Shohibul Itmam *

Muhammad Arkoun

Abstrak; Merupakan fakta umum bahwa orang- orang yang sezaman dengan nabi Muhammad banyak dibentuk dan ditaklukkan oleh bentuk tunggal dimana firman Allah disampaikan oleh Muhammad78. Muhammad menjadi figur sentral rujukan terhadap semua masalah yang dihadapi manusia saat itu dengan menjelaskan al- Quran sebagai sumber utama yang merupakan bahasa umat saat itu.79 Sejalan dengan perkembangan dan tuntutan fenomena kehidupan, dewasa ini terjadi korelasi yang kohesif anatara ilmu dan penelitian sehingga keduanya tidak mungkin mampu dipisahkan80. Kajian al-Quran yang sangat panjang dan luas dalam perkembangkannya bisa dikelompokkan dalam tiga dekade, kodifikasi teks, penerjemahan teks dan dekade upaya umat Islam dalam memahami teks tersebut. Dalam tiga dekade tersebut, Arkoun memposisikan diri pada kajian yang pertama dengan menguak proses pewahyuan al-Quran dari dzat maha absolut, Allah SWT kepada manusia yang serba terbatas dengan penjelasan teori ilmiah. Arkoun adalah seorang ilmuan, pemikir Islam yang sangat terkenal yang dilahirkan di negara Aljazair yang dilanjutkan pengembangan intlektual dan karirnya di negara Perancis. Pemikirannya yang cemerlang mengkombinasikan antara konsep- konsep filsafat

*Muhammad Shohibul Itmam, adalah satu dari alumni mahasiswa Qoom Iran utusan PBNU setelah selesai menyabet gelar Master Hukum atas beasiswa dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jakarta, sekarang sedang melanjutkan study program Doktor ( S-3 ) di IAIN Walisongo.
78

Dr. Muhammad Arkoun, Pemikiran Arab, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal.6 Makalah ini dasampaikan dalam diskusi mata kuliah Manhaj Tafsir Program Doktor IAIN Walisongo Semarang yang dibimbing oleh Dr. KH. A. Hakim pada Kamis 29 Mei 2008. Sumardi Surya Brata, Metodologi Peneletian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 6

79

80

dan teori ilmiah moderen termasuk kritiknya yang sangat tajam terhadap fenomena pewahyuan al-Quran. Gagasannya menjadikan al-Quran terbukti secara ilmiah dengan istilah Nalar Islami dan Nalar Moderen, yang mampu menyatukan fenomena global dengan peradaban Islam. Tulisan ini akan membahas pemikiran Arkoun, yang dilanjutkan dengan produk pemikirannya tentang pewahyuan al-Quran sampai menjadi kitab yang tertutup (Official Clossed Corpus).

Kata Kunci: Study, al- Quran, Muh. Arqoun.

A. Profil Arkoun (Biografi dan Sosio Kulturnya) Pada saat akulturasi peradaban Prancis Aljazair berlangsung, pemikir Islam Muhammad Arkoun lahir pada 1 Pebruari 1928 di Tourirt, Mimoun Kabilia, sebuah daerah pegunungan Berber sebelah timur Aljir81. Daerah yang berada dalam kekuasaan Perancis sejak tahun 1830 menjadikan Akrkoun sejak masa kecilnya akrab dengan tradisi Perancis dan tradisi Kabilia. Tiga bahasa dia kuasai, bahasa prancis sebagai bahasa penjajah, bahasa arab sebagai bahasa agama dan bahasa kabilia sebaagai bahasa nasionalnya. Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi kebudayaan ini merupakan faktor penting perkembangan pemikiran Arkoun. Ia secara intens akrab dengan tiga bahasa, Kabilia sebagai bahasa sehari-hari, untuk mengungkap tradisi Kabilia, Arab sebagai pengantar keagamaan dan kegiatan komunikasi di masjid, juga penghubung Aljazair dengan dunia Islam Timur Tengah, dan bahasa Prancis sebagai bahasa sekolah, juga pengantar untuk memahami problematika pemikiran ilmiah modern. Tiga bahasa itu juga mewakili cara berpikir dan memahami kompleksitas masyarakat di sana. Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan SMP ke kota pelabuhan Oran, kota Aljazair di bagian barat. Sejak 1950-1954, ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah SMU di al-Harrach, pinggiran kota Aljazair. Tahun 1954, ia menjadi mahasiswa di Paris. 1961, ia menjadi dosen di Universitas Sorbonne di Paris, dan meraih gelar doktor sastra tahun 1969. Sejak 1970 sampai 1972, ia mengajar di Universitas Lyon, dan kembali ke Sorbonne sebagai mahaguru sejarah pemikiran Islam. Arkoun juga menjabat direktur ilmiah studi Islam terkenal, Arabica, juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan, Kehidupan dan Kedokteran dan menjabat sebagai direktur Kajian Islam Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III). Ia juga pernah menjadi dosen tamu di University of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembaga Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-Neuve di Belgia. Ia pun sempat menjadi guru tamu di Universitas Amsterdam. Jabatan dan kariernya menunjukkan posisi Arkoun yang tinggi untuk kualitasnya dalam sejarah pemikiran dan tafsir Islam. Secara cemerlang Arkoun mengakui dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran, sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data objekatif, bisa mengolah data itu dengan memakai analisa filosofis.
81

Ulya, dari Johan Hendrik Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Moderen: Memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun, dalam Ulumul Quran, Vol. IV, No. 4/ 1993, hal. 93

B.

Perkembangan Karir Intlektual Proyek utama pemikiran Arkoun adalah "kritik atas nalar Islam". Ia menerbitkan penelaahan itu dalam buku yang luar biasa, Pour De La Raison Islamigue. Buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi al-fikri al-Arabiy al-Islami, Sejarah Pemikiran Arab-Islam. Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya arkeolog, ia menggali seluruh lapisan geologis pemikiran Arab-Islam, dengan pisau episteme Michael Foucoult, dan membagi tingkatan Arab-Islam klasik, skolastik, dan modern. Ia juga membagi medan taklid berpikir umat dalam kurun masa itu, kemudian memasukkan postulat kajiannya sebagai "yang terpikirkan", "yang tak terpikirkan", dan "yang belum terpikirkan". Demi menjamah lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensinya: Alquran, sunnah, dan Ushul. Bagi Arkoun, al-Quran tunduk pada sejarah. Ia melihat, karena banyaknya campurtangan "sejarah penguasa" dalam pembakuan al-Quran, banyak di dalam kitab itu sesuatu yang sesungguhnya "yang terpikirkan" berubah menjadi "yang tak terpikirkan". Arkoun juga melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran pihak lain selalu salah, bid'ah), dogmatisme (pencampuran wahyu dan nonwahyu), sebagai "kotoran" dalam pemikiran Islam. Sebagai sebuah kerja pemikiran, Arkoun sadar, telaah yang dia usahakan ini membutuhkan energi yang sangat besar. Dan Arkoun sendiri sadar, masih banyak sekali hal-hal yang harus ia "bersihkan". Ia memang sudah mengajukan satu teknik pembacaan alQuran yang luar biasa, dengan metode semiotik. Ia juga telah berhasil menapaktilasi sejarah turunnya ayat, dan kemungkinan kesalahan dalam penyusunan. Ia bahkan siap jika suatu waktu tahu, ada kesalahan di dalam al-Quran karena "permainan" sejarah dan penguasa. Tapi, seandainya itu pun ada, "Iman saya tak akan guyah karenanya," kata Arkoun sejalan pemikirannya, yang sekilas sangat susah dicerna. Disamping karirnya di dunia kedosenan, juga pernah menjabat sebagai direktur jurnal paling bergengsi di di Paris, yaitu, Arabica. Dia juga pernah menerima jabatan resmi dari pemerintah Perancis seperti, menjadi anggota panitia nasional Perancis untuk etika ilmu pengetahuan kehidupan dan kedokteran, anggota majlis nasional gerakan anti AIDS dan lainya. Bukti pemikiran yang cemerlang dan karirnya ini menjadikan di anugrahi kehormatan besar sebagai anggota legion kehormatan Perancis, dan gelar dari pemerintah Perancis sebagi tokoh terkemuka di dunia universitas. Sehingga sampai sekarang ini gambarnya diabadikan di Universitas Sarbone yang merupakan tempat alammaternya82. Sejak menapakkan kakinya di Perancis ini, kecenderunganya lebih suka kehidupannya. Banyak hal yang menyebabkan demikian, diantaranya fasilitas materiil, dokumentasi ilmiah dan iklim politis yang kondusif. Meskipun demikian dia tidak pernah melupakan tanah airnya. Setiap undangan untuk media, seminar, ataupun yang lainnya selalu didatangi. Selain sibuk sebagai dosen dan aktifis sosial, Arkoun juga banyak melayani undangan untuk seminar diberbagai dunia, seperti di Indonesia pada tahun 1990 dalam seminar Contemporary Ekpressions of Islam in Building dan pada tahun 1992 dalam seminar Internasioanl Conference on Cultural Tourism.

82

Ulya, Hemeneutik, Majalah Berkala Tafsir Hadis, STAIN Kudus, Volume 2, no. 1, Januari, 2007

C. Karya- karya Arkoun Selain aktif sebagai nara sumber di berbagai kegiatan ilmiah Arkoun sebagai intlektual juga meninggalkan karya dalam berbagai karya tulis yang tidak hanya di Perancis dan Aljazair saja, tetapi juga bisa sampai di diberbagai belahan dunia pemikiran Islam. Dalam pemikiran Arkoun ditemukan tiga wacana kritis sebagai sumber utama, yaitu visi Quran, kitab klasik, dan fisafat barat perancis kontemporer yang sering dikategorikan sebagai pemikiran pasca modernisme83. Artikelnya sering dimuat dalam majalah terkemuka di dunia internasional, seperti Maghreb- Machreq, Studia Islamica, Diogene Paris, Islamiq Christiana, (Vatikan) dan arabica (Laiden). Adapun diantara buku-bukunya yang paling penting adalah : Traite dethique (traduction Francaise Avec Introduction et Notes du tahdzibalakhlaq. Buku ini berisi kajian tentang etika ibnu miskakawayh, diterbitkan di Damaskus, 1969. - Contributiona Ietude I,humanisme arabe au IV/ X siecle: Miskawayh Philosophe et historien. Buku ini berisi tentang kajian pemikiran Ibnu Miskawwayh dan sumbangnnya terhadap humanisme arab pada IV/ X, diterbitkan di Paris, 1970. - La pense arabe. buku ini membahas tentang pemikiran Arab, terbit di Paris pada 197084. Sedangkan yang berisi kumpulan artikel, diantaranya adalah : Essae sur La pensee Islamique, tentang essay- essay pemikiran Islam terbit tahun 1973 diterjemahkan dalam bahsa Arab bejudul al-Fikr al- Islamy : Qiroah Ilmiah. Lectures du Coran, terbit tahun 1982 dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Berbagai Pembacaan Al-Quran. Paur Une Critique a Raison Islamique, yaitu kritik terhadap pemikiran Islam terbit tahun 1984. Diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan judul Al-Fikri Islamy: Naqd Wa Ijtihad

D. Akar Pemikiran Arkoun Tujuan yang dikejar Arkoun adalah suatu perpaduan dari unsur yang paling mulia dalam pemikiran barat moderen. Yang paling mulia dalam pemikiran Islam adalah semangat keagamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam membentuk masyarakat Islam. Sedangkan dari pemikiran barat modern dia ingin mengambil alih rasionalitas dan sikap yang kritis sehingga menghasilkan jalan yang memungkinkan untuk memahami teks dan pemikiran keagamaan secara mendalam, melepaskan diri dari sifat kejumudan dan ketertutupan yang sering kali ditunjukkan. Atas dasar cita-cita itulah Arkoun membangun basis mindsetnya terlebih lingkungan intlektuanya yang sangat mendukung hal itu. Masa mudanya di Aljazair menyebabkan dirinya kental dengan kehidupan masyarakat muslim, nilai-nilai dan semangat keislaman, tetapi pengalamannya di Prancis telah mengkondisikannya untuk befikir dan bertindak rasionalis kritis. Implikasinya dia banyak membawa konsep-konsep filsafat moderen dan dan teori- teori ilmiah moderen untuk mendekati teks dan pemikiran Islam. Ini yang menyebabkan pandangan dia berbeda dengan intlektual Islam masa itu, yakni unsur kuasa menentukan teks dan pemikiran keislaman yang ada85.

83

Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan pemikiran Muhammad Arkoun, L.Kis, Yogyakarta, hal, 26 84 Ulya, Op Cit, hal. 6 85 Ibid, hal. 7

Di antara konsep filsafat moderen dan teori ilmiah yang banyak dijadikan rujukan Arkoun adalah konsep mitos yang dikembangkan oleh Paul Recouer, konsep tentang wacana dan epestem yang dikembangkan oleh Michael Foucoult, serta dekonstruksi Jackues Derrida. Permasalahan linguistik Arkoun banyak mengambil dari Ferdinand de Saussure, dan semiotika dirujuknya dari Northrop Frye dan antropologi dari Pierre Bourdieu. Arkoun yang lama belajar di Eropa (Prancis), memiliki kemampuan mengolah data dan subjek pembahasan supercanggih, terkait dengan kajian keislaman lintas batas. Dimulai dari pemaparannya seputar ilmu-ilmu tradisional Islam, hingga merambah pada kajian Islam kontemporer. Salah satu kemudahan yang ia dapatkan untuk itu, mungkin diperolehnya ikhwal konsern pemikirannya yang berkisar pada soal sejarah Islam. Sebagaimana banyak intelektual, baik Muslim dan nonmuslim yang belajar di Prancis, Arkoun memiliki kecenderungan berpikir yang terbilang rumit. Perpaduan dari berbagai jenis perkembangan wacana ilmu yang digandrungi di sana, seperti Derrida (Dekonstruksigrammatologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi), Poststrukturalisme ala Saussure (linguistik), Levi Strauss (antropologi), Politik (Voltaire), Eksistensialisme (Nietzche dan Sartre), Rasionalisme (Descartes), juga ilmu-ilmu arkeologisosial-sejarah Mazhab Analle, Prancis. Arkoun tidak sendirian dalam hal ini. Salah seorangnya ada juga ideolog Mesir kenamaan, Hassan Hanafi, yang menggoncang gairah pemikiran Islam dengan teori Islam Kirinya. Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum poststrukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang tak terpikir dan dipikirkan dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan poststrukturalisme. (Anwar, 2002). Pemikiran Arkoun nampak begitu luas objeknya. Namun yang paling mudah diidentifikasi, adalah pembahasannya yang berkaitan dengan al-Quran. Hal ini lebih didasari oleh upaya yang hendak dikembangkannya, yaitu membangun spirit Masyarakat Islam kontemporer menuju dialog antar-agama. Tajamnya kritik Arkoun pada nalar Islam, sebenarnya dimulai dari kritiknya terhadap disiplin epistemologis. Sebagaimana Derrida yang membongkar kemapanan bahasa dengan dekonstruksinya, maka Arkoun pun melakukan hal yang sama dengan memformat ulang semua kemapanan epistemologi ilmu-ilmu Islam, yang dianggapnya tidak mengalami perubahan signifikan. Menurut Arkoun, ranah keilmuan tersebut, semisal fiqh, kalam dan tasawwuf, telah terjangkiti oleh semangat ortodoksi yang berlebih-lebihan. Sehingga bukannya mengalami kemajuan malah sebaliknya, mundur teratur dari kancah pergulatan keilmuan dunia. Dalam bukunya Islam Kontemporer, Arkoun mendefinisikan ortodoksi sebagai sistem kepercayaan dan representasi-representasi mitologis yang melaluinya, dan dengannya, sebuah kelompok masyarakat yang telah ada menerima dan menghasilkan sejarahnya sendiri. Berangkat dari asumsi seperti ini, ia menengarai bahwa bahaya laten yang ditimbulkan oleh ortodoksi, harus segera diberangus. Itu jika umat Islam memang berniat untuk berdiri sejajar dengan bangsa Eropa (Kristen) dalam perkembangan dan penguasaan dunia modern. Kejumudan struktur epistemologis tersebut, menurut Arkoun tak dapat lagi diteruskan. Mesti ada tawaran dan gagasan baru yang bisa diaplikasikan ke hadapan umat. Maka dari itu, Arkoun melontarkan tawarannya tentang kemodernan dalam Islam. Agama mesti juga dipandang sebagai spirit perubahan zaman. Dan untuk memenuhi ambisinya tersebut, ia pun tak segan-segan untuk meneliti peran dan signifikansi al-Quran dalam abad modern ini. Jika memang Islam adalah agama yang sifatnya rahmatan lil alamin dan

al-Quran akan tetap terjaga hingga kini, maka semestinya dapat juga ditemukan kuncikunci pokok atas perkembangan zaman dari dulu hingga sekarang. Hermeneutika yang sangat berkait-erat dengan al-Quran, adalah lahan kajian yang juga ditekuni oleh Arkoun. al-Quran yang semula adalah tradisi lisan dan kemudian dibakukan dalam bentuk tertulis di zaman Khalifah Utsman bin Affan, disebut Arkoun sebagai Korpus Resmi Tertutup (Corpus Official Close). Lebih karena posisinya yang menunjukkan pengertian satuan besar teks-teks terhimpun dalam sebuah jilid. Korpus itu resmi karena pembuatannya ditentukan dan diawasi oleh sebuah kekuasaan politik yang telah terlibat dalam pertikaian. Adapun disebut tertutup, karena tak satu kata, tidak juga satu vokal pun yang dapat ditambahkan, dihapus atau diubah setelah terwujudnya konsensus kaum Mukminin tentang keutuhan dan kelengkapan wahyu. Akibat pemahaman bahwa wahyu Allah direpresentasikan oleh mushaf Utsmani adalah utuh, lengkap, dan transenden, membuat cara berpikir umat Muslim didominasi oleh nalar grafis (tulis). Inilah yang menjadi cara pemikiran Muslim selama ini, bahkan hingga sekarang dalam memandang wahyu. Teks (grafis) kemudian sering beralih fungsi menjadi preteks (dalih) yang sering hanya diulangi dan berfungsi sebagai pengabsahan kekuasaan kelompok tertentu. Kecenderungan seperti ini lazim kita temukan dan jumpai hampir di setiap belahan dunia Islam. Dan imbasnya, muncul berbagai macam golongan Islam yang masing-masing menjadi ekstrim tandingan dari golongan lainnya. Model- model pemikiran: objek kritik ini tertuju pada mode pemikiran ishlahi, yang muncul sejak permulaan periode nahdah (Kebangkitan) pada abad ke-19, yang dipelopori oleh al-Afgani (1838-1897 M) dan Muhammad Abduh (1849-1905 M), yang sebenarnya implisit mengandung corak pemikiran dalam dua bagian sejarah: sebelum dan sesudah Hijriah. Di mana semua umat Islam, akan memiliki keterikatan untuk kembali menerawang masa lalu dan kemudian berusaha mencontoh pola kehidupan yang dibangun Nabi pada masa Madinah. Maka proyek thinking Islam pada dasarnya merupakan jawaban terhadap dua kebutuhan utama: (1) kebutuhan khusus masyarakat-masyarakat Muslim untuk berpikir, untuk tahap pertama, tentang problem mereka sendiri yang telah dibuat tak terpikirkan (tak mungkin di pikirkan) akibat kemenangan pemikiran skolastik ortodoks; (2) kebutuhan pemikiran kontemporer pada umumnya untuk membuka lapangan baru dan menemukan horison pengetahuan baru, melalui suatu pendekatan sistematis yang lintas kultural, menuju problem fundamental keberadaan manusia. (Arkoun dalam Kurzman, 2003: 352). Dari yang tak terpikir menuju yang terpikir: bagian ini termasuk yang jadi orisinalitas pemikiran Arkoun. Pada mulanya, keberadaan ajaran Islam adalah sesuatu yang terpikir, namun tidak melulu filosofis. Baru kemudian kesempatan memikirkan itu terputus melalui salah satu hasil capaian dalam bidang fiqh di tangan Imam Syafii, yang dengan genial menciptakan konsep Ushl al-Fiqh di abad ke-3 H, atau apa yang juga telah dilakukan oleh mutakallimun Mutazilah. Keduanya menjadikan peluang untuk bidang kajian yang tadinya terpikir, menjadi tak terpikirkan ikhwal pembakuan dan legitimasi yang dilakukan oleh pihak penguasa yang bekerjasama dengan ilmuwan (ulama). Wahyu dan sejarah: sampai di sini, Arkoun menekankan bahwa, konsep wahyu yang dimaknainya sebagai proses historisisasi dari keberagamaan, mesti menuntun umat Islam pada usaha untuk menjadi aktor-aktor sejarah yang selalu up to date terhadap perkembangan zaman. Karena baik eksplisit maupun implisit, al-Quran berupaya menuntun manusia untuk mengembangkan potensi dari fakultas akal dan intuisinya untuk berpikir serta merenungi segala hal yang bersinergi dalam kehidupan keberagamaannya. Dengan landasan tesis inilah, maka Arkoun berkeyakinan bahwa umat Islam akan mampu

membuktikan dirinya sebagai warga dunia yang sesungguhnya, sekaligus pentahbisan bahwa Islam memiliki spirit universal: sebagai rahmatan lil alamin. Arkoun menyerukan sebuah dialog antaragama yang mencerahkan. Tidak memandang "yang lain" sebagai musuh yang sesaat dan harus diselamatkan. Ia juga telah terlibat dalam dialog antaragama, khususnya Muslim-Kristen, selama 20 tahun lebih, serta memfokuskan perhatiannya pada upaya untuk tidak saja memadukan unsur yang paling mulia dalam pemikiran Islam dan unsur yang paling berharga dalam pemikiran Barat modern serta tidak terkungkung oleh pemahaman-pemahaman klasik model Abad Pertengahan. Dalam perspektif Arkoun, sebagian besar umat Islam belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan menganggap hal itu sakral, yang karenanya tak boleh diperdebatkan lagi. Katanya, kesediaan untuk melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam memelajari dan mengungkapkan etika al-Quran dengan tetap mengingat konteks sejarah (asbab al-nuzul) adalah upaya untuk menepis kecenderungan negatif. Upayanya itu untuk memahami dan menangkap "isi objektif" al-Quran yang memang tampak kuat. Pada titik ini Arkoun banyak mengapresiasi tidak hanya khasanah Islam, tetapi juga pemikiran Barat modern. Pemikiran Barat modern itu diambil rasionalitas dan sikap kritisnya, yang memungkinkan memahami agama dengan cara yang lebih baik, dapat menyingkap serta membongkar ketertutupan dan penyelewengan. Ia sangat apresiatif terhadap semiotika, linguistik, antropologi, sosiologi, dan filsafat. Meskipun demikian, Arkoun juga bersikap kritis terhadap Barat. Misalnya, mengecam kepercayaan terhadap superioritas akal, karena, menurut Arkoun, kepercayaan itu tidak dapat dibuktikan oleh akal. Dalam proyek pembaruan pemikiran Islam ini, Arkoun sering mengajak umat Islam untuk memanfaatkan temuan-temuan positif dari pengkajian kembali seluruh tradisi Islam menurut pemahaman ilmiah yang paling mutakhir. Referensi-referensi teologis, menurut Arkoun, digunakan sebagai sistem kultural untuk saling bersifat eksklusif dan tidak pernah digunakan sebagai alat untuk melampaui kungkungan tradisional. Alih-alih melakukan pemikiran keagamaan yang baru, mereka justru terperangkap pada kubangan persepsi lama yang sudah memfosil. Fenomena seperti itu diperparah oleh fakta yang menyedihkan, bahwa tradisi keilmuwan lebih sering tidak dapat membantu untuk bergerak menuju pemikiran keagamaan yang baru. Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam teologi Islam. Padahal teologi harus memberikan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam. Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerjasama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia. Menurut Arkoun, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah yang kelak menjadi sebuah ruang baru kewarganegaraan yang membuka kesempatan bagi manusia dari seluruh belahan bumi manapun untuk mendapatkan kewarganegaraan.

E.

Sejarah Pewahyuan: dari Ummul Kitab sampai Korpus Tertutup Dikalangan orang beragama, teks keagamaan merupakan salah satu unsur terpenting untuk mendukung penghayatan Iman, amal dan berkomunikasi dengan kelompok-

kelompok agama lain86. Sehingga sampai sekarang masih ada umat Islam yang mempersepsikan bahwa al-Quran bersifat transendental maka ia berssifat ahistoris, dengan asumsi seperrti benda yang jatuh dari langit dan turun ke dunia secara sekaligus. Persepsi ini sama sekali tidak mempunyai alasan mendasar. Dalam wahyu Allah sendiri menyatakan bahwa al-Quran diturunkan secara bertahap, porsi dem porsi sesuai dengan tahapan pemahaman masyarakat, agar bisa dihafalakan dan menjadi mantap bagi umat Islam saat itu, diturunkan pertama kali dalam bulan ramadlan dan menggunakan bahasa arab. Arkoun menambahkan bahwa semua ujaran yang terkandung dalam wahyu al-Quran dihasilkan dalam situasi wacana. Situasi wacana adalah sejumlah keadaan dalam lingkungan tempat suatu pengujaran terjadi, yang dalam istilah agama disebut asbabun nuzul. Pengungkapan pewahyuan selama kurang lebih 22 tahun terlebih lagi kalau kita melihat sejarah mulai pewahyuannya sampai terkodifikasinya, yaitu pada abad 3 H/ 9 M, hal ini menunjukkan secara eksplisit bahwa wahyu al-Quran itu menyejarah dan tidak bisa dipertahankan jika dianggap wahyu al-Quran itu tanpa sejarah. Pemikiran Islam yang dikembangkan oleh Arkoun dapat dikategorikan dalam wilayah aliran metodologi historisme, yakni suatu bentuk analisis terhadap struktur kontruksi keilmuan agama dengan pergumulan kemanusiaan yang bersifat sosio historis dalam menyususn format suatu bangunan sistematika keilmuan agama87. Mengawali konteks Arkoun tentang sejarah pewahyuan, sebagaimana dikutip oleh Waryono bahwa alQuran adalah fenomena bacaan, bukan yang dibaca, hal ini karena sebelum ditranformasikan menjadi bahasa tulis al-Quran adalah pernyataan lisan. Bagi Arkoun ada tiga tahap atau tiga level pewahyuan yang dimaksud adalah meliputi tahap wahyu disebut ummu al kitab, tahap wahyu sebagai kitab resmi terbuka (offical opened corpus), dan tahap wahu sudah menjadi kitab resmi tertutup (offical clossed corpus) Tahap pertama, ummu al- kitab, wahyu adalah firman Allah yang transendental dan tidak terbatas dan tak terbatas. Pada level ini wahu terjamin otentisitas, orisinalitas dan transendensinya. Wahyu ini secara keseluruhan merupakan inisiatif dan kreatif Allah yang gagasannya menembus, mencerahkan dan memberi makna pada seluruh rialitas dan umat manusia yang tersentuh oleh gagasan tersebut. Wahyu ini dikomunikasikan melalui nabi Muhammad kepada umat manusia melalui instrumen bahasa manusia penerimanya. Dalam hal ini karena penerima wahyu umat pertama berbahasa arab, maka bahasa wahyu adalah bahasa arab. Tahap kedua, artikulasi bahasa wahyu dalam bentuk bahasa. Wahyu yang tidak terbatas dan berbahasa Allah menjelama dalam sejarah dunia, terekspresikan dalam bentuk susunan- susunan sintaksis, aturan retorika dan kosakata umat manusia penerima wahyu pertama. Wahyu pada tingkat kedua ini terbilang unik karena peristiwa ini terjadi hanya sekali dan tidak bisa diulang sehingga kita tidak bisa mengulanginya lagi. Wahyu dalam level ini bersifat oral. Ujaran wahyu saat itu tidak diketahui lagi apakah sama persis seperti sekarang ini atau tidak, namun yang jelas wahyu tersebut sudah terbingkai dalam sejarah, ideologi, kultur, dan faktor- faktor lainnya. Pada tahapan
86

Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan pemikiran Muhammad Arkoun, L.Kis, Yogyakarta, hal. 61 87 M. Amin Abdullah, Tradisi Kemodernan dan Meta Modernisme, L.Kis, Yogyakarta, 1996, hal. 3

ini wahyu menjadi wacana yang terbuka, kitab terbuka resmi (official opened corpus)88. Disebut oppened official corpus atau kitab terbuka resmi karena sebagai wacana atau ujaran, wahyu al- Quran ini belum terteutup bagi pengaruh seting sosio kultur dan historisitas, juga konteks yang bermacam-macam yang dilekatkan dan ditumpangkan dalam setiap pembacaan. Tahap ketiga, wahyu yang masih bersifat wacana terjelama dalam bentuk mushaf yang terbakukan. Peristiwanya terjadi pada masa kholifah ketiga (Utsman Bin Affan). Ketika proses pemushafan selesai, wahyu Allah diumumkan menjadi kitab tertutup resmi (Offical Clossed Corpus) Disebut offical clossed corpus karena wahyu itu sudah selesai, terbakukan dan terlembagakan, tak satupun kata boleh ditambahkan atau dihapuskan. Pengungkapannya tunduk dalam kaidah- kaidah pengungkapan tertulis atau teks bahasa arab yang konteks diluar itu tidak mempunyai akses dan jalan masuk kepadanya kecuali lewat teks dimaksud. Pergeseran dari wacana ke corpus tertutup resmi ini, Arkoun berpendapat bahwa wahyu al- Quran bersusunan mitis. Hal ini dia lihat dari konsep mitosnya Ricouer. Mitos dimaksud ini bukan berarti kisah hayalan dan dipungkiri tanpa dasar yang nyata, tetapi mitos yang dimaksud Arkoun adalah dalam pengertian antropologis, yaitu merupakan ungkapan simbolis dari kenyataan yang asli dan universal. Dalam bahasa lain mitos merupakan simbol yang mengungkapkan kebenaran, memberi inspirasi dan merupakan kekuatan yang hidup dalam suatu kebudayaan atau sub kebudayaan. Fungsinya adalah untuk menjelaskan rialitas, pelestari dan pembeku sebuah rialitas89.

F. Kesimpulan Dari uraian diatas kiranya dapat disimpulkan bahwa pemikiran Arkoun berbeda dengan kajian intletual klasik yang sering kali melihat fenomena ini secara dogmatis tekstual. Sesuai dengan mindset yang dibangunnya dia mendekonstruksi bangunan masa lalu dengan cara mendekati fenomena ini dengan kacamata teori ilmu- ilmu moderen. Nalar khas semacam ini dibangunnya melalui perpaduan dari sisi positif nalar tektual Islam dan sisi positif nalar krirtis barat. Tujuannya untuk mendobrak pensakralan pemikiran keagamaan yang berkembang di dunia Islam, yang menyebabkan umat Islam bergerak di tempat, ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi yang menyeruak di barat, sehingga sesungguhnya pemikiran yang orisinil dari Arkoun dapat menjadi rujuakan pengkaji al- Quran. Dari sinilah terjadi perubahan radikal terhadap eksistensi wahyu yang asalnya sebagai sebuah fakta transendental murni cenderung bergeser menjadi sebuah fakta kultural. Sebagai fakta kultural, wahyu dalam tahap Offical Clossed Corpus ini memunculkan tiga implikasi fundamental yaitu: Pertama, diskursus al- Quran yang pada mulanya diucapakan dan digunakan sebagai sebuah diskursus lisan (oral) kini menjadi sebuah teks tertulis. Kedua, karakter dari wahyu tang bersifat sakral dan tidak terbatas, ketika terwadahi dalam tempat material berupa bahasa (bahasa arab) maka berubahlah menjadi profan, yang harus tunduk pada kaidah- kaidah bahasa atau teori- teori linguistik.

88 89

Ibid, hal. 11 Ibid, hal. 12

Ketiga, kitab tersebut menjadi instrumen kultural menjadi dasar bagi perubahan fundamnetal lainnya dalam masyarakat Islam, yaitu meningkatkan peran dan akhirnya terjadi dominaasi budaya belajar tulisan atau budaya rakyat lisan. Berangkat dari penejelasan diatas maka al-Quran sekema sebagai berikut: menurut Arkoun bisa dibuat

WG QD OCC

(Words Of God)

(Quranic Discourse/ Official Opened Corpus)

(Official Closed Corpus)

DAFTAR PUSTAKA

Waryono Abdul Ghofur, al- Quran dan Tafsirnya dalam Perspektif Arkoun, dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed), Study al-Quran Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002 Dr. Muhammad Arkoun, Pemikiran Arab, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996 Ulya, dari Johan Hendrik Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Moderen: Memperkenalkan Pemikiran Muhammad Arkoun, dalam Ulumul Quran, Vol. IV, No. 4/ 1993, Ulya, Hemeneutik, Majalah Berkala Tafsir Hadis, STAIN Kudus, Volume 2, no. 1, Januari, 2007 Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan pemikiran Muhammad Arkoun, L.Kis, Yogyakarta, Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, memperbincangkan pemikiran Muhammad Arkoun, L.Kis, Yogyakarta M. Amin Abdullah, Tradisi Kemodernan dan Meta Modernisme, L.Kis, Yogyakarta, 1996, Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antaragama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.

Menggagas Kitab Kuning Yang Memberdayakan Perempuan Oleh : Jamal Mamur Asmani Peneliti Cepdes, center for pesantren and democracy studies, Jakarta , Hp. 085726836184 Jl. Kertamukti No. 12 Rt. 04/RW. 08 Pisangan Ciputat Tangerang Banten

Muqoddimah Nama kitab kuning cukup akrab di kalangan pesantren. Kitab kuning adalah kitab yang berisi ilmu-ilmu agama Islam secara universal, mulai tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, tauhid, nahwu, shorof, balaghoh, akhlaq, tasawuf, ijtimaiyah, dll yang warna kertasnya biasanya kuning. Warna tidak menjadi ukuran, yang penting isinya. Apalagi di zaman modern sekarang ini, warna favorit justru bukan kuning, tapi putih. Seumpama kitab Matan Taqrib dicetak dengan kertas putih, Bulughul Marom dicetak dengan kertas putih, dan kitab-kitab yang lain dicetak dengan warna putih, tidak lantas wasilah (perantara), yang penting status kitab kuningnya hilang. Warna hanya isinya. Dicetak dengan warna apapun, kalau isinya sama namanya tetap kitab kuning. Menurut hasil penelitian L.W.C. Van Den Berg (1886), kitab kuning yang ada di pesantren Jawa dan Madura terdapat sekitar 54 judul, terdiri dari kitab matan, syarah, dan hasyiyah. Perinciannya : fiqh ibadah ada 7 judul, fiqh umum ada 11 judul, tata bahasa arab ada 15 judul, ushuluddin ada 9 judul, tasawuf ada 7 judul, tafsir, hadits dan aurad ada 5 judul. Tetapi pada akhir abad ke-20, Martin van Bruinessen melaporkan bahwa kitab kuning yang beredar di daerah ini dan sekitarnya telah mencapai 900 judul. Yang menarik adalah, kitab-kitab kuning yang dulu dinilai riskan oleh para kiai semacam kitab-kitab Ibnu Taimiyah, Tafsir al-Kasysyaf, karya-karya ulama diluar madzhab Syafi'i seperti Tafsir alQurthubi, Subulus Salam, Hasiyah Jam'ul Jawami' dan lainnya justru sekarang mulai dimiliki oleh beberapa kiai pengasuh pesantren.[1]
 
          

Sumber munculnya kitab kuning dari al-Qur'an, hadits, pendapat para sahabat, dan sirah (sejarah hidup) Nabi Muhammad. Jadi setelah al-Qur'an dibukukan pada masa Kholifah Abu Bakar, dikodifikasi pada masa Utsman bin Affan, lalu muncul Tafsir Ibnu Abbas, disitulah awal munculnya kitab kuning. Perkembangan pesat mulai muncul tatkala umat Islam bergumul dengan orang asing yang terbiasa dengan budaya keilmuan. Orang Persi yang terbiasa dengan filsafat Yunani akhirnya mempengaruhi umat Islam. Muncullah pendidikan kesehatan, lalu ilmu-ilmu pasti, kimia, astronomi, dan ilmu lainnya yang ilmu aqliyah (rasional). Dengan demikian, dalam Islam ada terdolong ke dalam dua macam ilmu, ilmu naqli (tekstualis) dan ilmu aqli (rasionalis), atau secara simplistik, kita bisa membagi kitab kuning dalam dua bagian, kitab-kitab yang berisi produk, seperti fiqh, tauhid, dan kitab yang berisi alat, seperti nahwu-shorof-balaghoh, ushul-qowa'id fiqh, qowa'id, manthiq, dsb.
                     

Menurut Kiai Ali Yafie, kitab kuning adalah produk kebudayaan Islam. Ia adalah hasil kreasi para ilmuwan Islam yang mampu memandu perjalanan sejarah umat manusia. Pada masa keemasannya, para ilmuwan Islam aktif-dinamis dan produktif dalam mengarang puluhan jilid kitab kuning, baik yang berkaitan dengan masalah ibadah atau mu'amalah. Lihatlah periode Imam Syafi'i misalnya, beliau mengarang banyak kitab, seperti Al-Um, Ar-Risalah, Al-Musnad, dll, disusul Al-Muzani, Al-Buwaithi, An-Nawawi, AlGhozali, sampai ke Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi yang jumlahnya ratusan kitab, belum lagi ulama yang lain, kita hanya mengenal salah satunya saja seperti Ihya' Ulumiddin-nya Imam Ghozali, dan Tafsir Munirnya Imam Nawawi al-Bantani. Apakah hanya itu ? jelas tidak.

Ketika saya melakukan studi banding ke Perpustakaan IAIN Wali Songo Semarang bersama teman-teman dari Perguruan Islam Matholi'ul Falah, jalan-jalan keliling masuk dari satu tempat ke tempat yang lain, lalu saya masuk perpustakaan fakultas syari'ah, saya terkejut bukan main, kagum, takjub, dan sangat terkesima, deretan kitab kuning yang luas dan panjang terpampang dalam rak buku. Bagi saya, koleksi kitab tersebut luar biasa, sangat sempurna, mulai Tafsir yang beranekaragam pengarangnya, hadits, fiqh dari berbagai penjuru dunia, ushul fiqh yang dikarang oleh ilmuwan-ilmuwan besar Islam, dan dirasah lain sebagainya. Kitab-kitab salaf itu lalu disandingkan dengan islamiyah yang baru-baru, oh, luar biasa, hatiku terpana, terbuai oleh lamunan dan kekaguman. Betapa luas pemikiran yang ada dalam kitab kuning, tidak seperti dugaanku selama ini, bahwa kitab kuning hanya Matan Taqrib, Jauharatut Tauhid, Bulughul Maram, Tafsir Jalalain, Lubbul Ushul, dan sejenisnya yang biasa dipelajari di pesantren. Ternyata, masih segudang, bahkan jutaan kitab kuning yang selama ini belum kulihat dan kubaca. Belum lagi kitab kuning yang ada di perpustakaan luar negeri, misal di Universitas Chicagho AS, Inggris, Perancis, Leiden Belanda, Al-Azhar Kairo Mesir, Syiria, Makkah, Madinah, dll. Menurut orang-orang yang pernah belajar di luar negeri, perpustakaan asing yang notabenenya negaranya sekuler semacam AS, Inggris, dan Perancis, literatur keislamannya termasuk kitab kuning luar biasa lengkapnya, sangat sulit ditemukan di Indonesia.
  

turast (warisan), Menurut para pengkaji islam, kitab kuning biasa dikatakan artinya warisan keilmuan hasil peninggalan ulama-ulama besar pada zamannya. Kitab kuning mampu menjadi guidence umat Islam seluruh dunia selama beberapa abad lamanya. Ia menjadi simbol kebanggaan umat. Dalam mengkaji masalah, kitab kuning selalu menjadi refrensi utama. Pendapat-pendapat ulama yang ada dalam kitab kuning selalu menjadi primadona dan solusi setiap masalah. Kontribusi ini adalah prestasi yang sulit untuk ditandingi yang membuat pondasi pemikiran islam menjadi kokoh dengan cabang dan mata rantai yang menjulang ke angkasa, menampakkan cahaya, menerangi kegelapan dunia.

Pengaruh Kitab Kuning Pengaruh kitab kuning terhadap sikap perilaku umat Islam sangat besar. Bagi mereka, berpegangan kepada kitab kuning sama sekali tidak mengecilkan fungsi al-Quran dan Hadits. Karena kitab kuning juga menjadikan al-Quran dan Hadits sebagai acuan utamanya. Salah satu perilaku sosial hasil internalisasi kitab kuning yang saat ini disoroti banyak pihak adalah doktrin-doktrinnya tentang perempuan yang dinilai oleh kalangan feminis sebagai doktrin yang penuh dengan diskriminasi gender. Salah satu kitab yang banyak disorot kalangan peneliti, ilmuwan, dan aktivis gender/ feminis adalah Uqud al-Lujain yang dianggap berperan besar dalam melestarikan budaya patriarki lewat doktrin-doktrin diskriminatifnya. Biasanya santri yang sudah mendekati masa pernikahan, baik laki-laki maupun perempuan, senang dan bangga kalau kiainya membaca kitab tersebut, dan bahkan banyak dari para santri yang memohon langsung kepada kiainya untuk membacakan kitab tersebut sebagai bekal menikah nantinya. Proses internalisasi nilai dalam doktrin kitab itu berjalan sejak dulu hingga sekarang.

Misalnya dalam kitab Uqud al-Lujain ini ada hadits










 

  

  

Ittaqu fitnah al-dunya wa fitnata al-nisai fa inna awwala fitnati bani israila kanat min qibali al-nisai (HR. , takutlah kamu fitnah dunia dan fitnah para perempuan, maka sesungguhnya fitnah yang pertama menimpa Bani Israil berasal dari arah para perempuan, juga hadits

 

   

 

Ma taraktu badi fitnatan adhorra ala al-rijali min al-nisai (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah),[2] tidak aku tinggalkan sesudahku sebuah fitnah yang lebih membahayakan laki-laki dari pada perempuan (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah). Kedua hadits ini bukan dipahami sebagai peringatan Nabi akan fitnah negatif yang ditimbulkan perempuan yang tidak bermoral, tapi justru dijadikan justifikasi pelecehan, penindasan, penghinaan, dan pembatasan harga diri, hak, dan kehormatan perempuan, sebuah tindakan yang sangat dibenci Nabi Muhammad Saw. Dalam masalah kepemimpinan juga sama. Ayat yang sering digunakan yang Al-Quran Surah Al-Nisa, 5:34. yang terdapat dalam kitab Uqud al-Lujain adalah artinya :
 

kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Al-Nisa, 5:34). Ayat ini kemudian dimaknai sempit untuk melakukan domestikasi, subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi perempuan dalam wilayah _egati, khususnya dalam konteks kepemimpinan. Perempuan tidak boleh menjadi pejabat _egati, melihat dampak _egative yang ditimbulkannya.
 

uqud al-lujain adalah kitab panduan menikah, didalamnya dijelaskan Kitab banyak hadits yang menjelaskan kewajiban suami dan istri. Pengaruh kitab ini sangat besar dalam membentuk world view (pandangan hidup) masyarakat muslim. Namun, dalam konteks hukum, tetap yang berpengaruh adalah ribuan kitab-kitab fiqh yang dipelajari di pesantren, madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.

Dominasi Fiqh Kitab kuning yang menjadi primadona kalangan umat Islam, khususnya para santri dan kiai di pesantren adalah ilmu fiqh. Ia adalah jantung umat Islam. Ia dipelajari dan dijadikan alat justifikasi sebuah hukum atas permasalahan yang terjadi. Oleh sebab itu

dominasi fiqh dalam kehidupan umat Islam sangat kuat mengingat fungsinya sebagai stempel halal-haram atas permasalahan yang terjadi. Fungsi strategis ini dikarenakan tiga hal. Pertama, ilmu fiqh-lah ilmu yang paling dinamis karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial ( afalul mukallafin) yang selalu berubah dan kompetitif. Kedua, ilmu fiqh sangat rasional, iktisabi (ilmu hasil kajian, analisis, penelitian, mengingat ia adalah ilmu generalisasi, konklusisasi). Disini terjadi kontak sinergis antara sumber transendental ( adillah) dan rasionalitas (mujtahid ). Ketiga, fiqh-lah ilmu yang menekankan amaliyyah, bersifat praktis pada aktualisasi, real action, atau biasa dikatakan sehari-hari. Ketiga prinsip ini dapat kita temukan dalam definisi fiqh, yaitu : al-fiqhu al-ilmu bi al-ahkam alsyariyyah al-amaliyyah al-muktasabu min adillatiha al-tafsiliyyah[3], fiqh adalah ilmu hukum-hukum syara yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.
   

Dalam kitab lain dijelaskan beberapa pengertian fiqh secara terminologis (istilah). Pertama, prasangka yang kuat tentang hukum-hukum syara' yang praktis (amali) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Misalnya, wajibnya sholat lima waktu dengan dirikanlah shalat, dianalisis, kata mengambil dalil dari al-Qur'an adalah perintah, dan perintah itu menunjukkan wajib, maka firman Allah menunjukkan wajibnya shalat.[4]
+ , ! " * . # $ ) ( % & ' ( ( ( ! " ! " $ # $ ) # $ ) % & ' ( % & ' ( ( ( + , * . (

Pendapat yang lain mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara' yang amali) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.[5] Pendapat lain praktis ( mengatakan fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara' dengan menggunakan jalan ijtihad, misalnya wajibnya niat dalam wudlu', wajibnya membaca fatihah dalam shalat, sunnahnya shalat witir, niat pada waktu malam menjadi syarat sahnya puasa Ramadlan, wajibnya zakat pada harta anak kecil, membunuh dengan sesuatu yang berat mewajibkan qisas, dan lain-lain, bukan ilmu-ilmu yang bersifat rasional, seperti mengetahui satu adalah setengahnya dua; bukan hal-hal yang berhubungan panca indra, seperti mengetahui bahwa api itu membakar; dan juga bukan hal-hal yang sifatnya pasti dan tetap, seperti mengetahui bahwa Allah tunggal dan shalat lima waktu hukumnya wajib.
  0 /

Pengertian ini didasarkan bahwa hukum sebenarnya sudah tetap dengan sendirinya tanpa ijtihad. Fungsi ijtihad adalah menampakkan dan menetapkan. Hal ini karena ada hukum yang penetapannya tidak dengan jalan ijtihad, yaitu hal-hal yang sudah pasti, seperti keesaan Allah, wajibnya sholat lima waktu, haramnya zina, dan lain sebagainya. [6] Untuk lebih memperjelaskan pengertian fiqh ini dibawah ini dijelaskan kata perkata : a. Dhon qowi (Prasangka kuat) Pemikiran yang unggul dari berbagai anggapan setelah melakukan kajian mendalam dan akurat. Kesimpulan yang dibuat ini dinamakan prasangka kuat ( dhon qowi)
1 4 2 3

b. Ilmu Ilmu adalah hukum yang mantap yang sesuai dengan kenyataan yang dilandasi dengan dalil

c. Hukum Hukum adalah firman Allah yang berhubungan dengan perilaku orang mukallaf, baik berupa tuntutan ( al-tholab), pembolehan ( ibahah), atau peletakan ( wadlo').


d. Syara'

Syara' adalah aturan yang dibuat Allah atau Nabi Muhammad Saw. dengan rekomendasi Allah


e. Amaliyah

 

(praktis)

Amaliyah adalah menerangkan bagaimana melaksanakan suatu pekerjaan seperti shalat dan niat, bukan seperti ilmu keyakinan bahwa Allah itu Maha Kuasa.



f. Muktasab

Muktasab adalah diusahakan, diupayakan, dikaji secara mendalam, bukan datang dengan sendirinya. Orang yang berusaha menetapkan hukum ini adalah orang-orang yang betul-betul sudah menguasai semua ilmu yang dibutuhkan. Orang ini disebut mujtahid. Proses penggalian dan penetapan hukumnya dikatakan ijtihad atau iktisab. g. Dalil Dalil adalah sesuatu yang menunjukkan sesuatu yang dicari. Dalil ini berupa al-Qur'an, Hadits, ijma (konsensus ulama), analogi (qiyas), istishab (menetapkan hukum asal), istihsan (menganggap baik), istiqro' (penelitian empiris), dan iqtiran (menyertai). h. Tafsiliyah Tafsiliyah adalah terperinci, bukan global. Melalui sistematika dan metodologi ilmiah, tidak global, tapi ada proses menuju sebuah kesimpulan. firman Misalnya, haramnya zina berdasarkan firman Allah nahi). Dan larangan menunjukkan hukum Allah ini adalah larangan ( haram, kemudian disimpulkan kalau firman Allah ini menunjukkan hukum haram.[7]

! "

&

Fungsi mempelajari fiqh ini adalah untuk mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah yang menghasilkan manfaat hidup di dunia dan akhirat. Misalnya dalam masalah jual beli dan shalat. Tanpa mengetahui fiqh kita tidak mungkin mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, karena kita tidak mengetahui secara pasti hukum dari segala sesuatu yang kita lakukan. Hal ini bukan berarti mengesampingkan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai dua sumber hukum yang primer, karena fiqh diambil dari keduanya, ditambah ijma (konsensus ulama), analogi (qiyas), istishab (menetapkan hukum asal), istihsan (menganggap baik), istiqro' (penelitian empiris), dan iqtiran (menyertai).[8]

Dalam forum paling ilmiah pesantren, musyawarah/ bahtsul masail (membahas masalah aktual dengan perspektif kitab), para santri berlomba-lomba mencari jawaban masalah dengan redaksi (nash/ibarah) yang ada dalam kitab fiqh. dari satu kitab ke kitab lain dijelajahi untuk menemukan status hukum masalah actual tersebut. Mereka belum berani mengkaji langsung dari Al-Quran dan al-Hadits yang menurut mereka belum waktunya. Madzhab empat adalah kekayaan khazanah tradisi klasik umat Islam yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal. Alangkah ruginya kita kalau hanya mengambil satu diantaranya, apalagi dengan mencomooh yang lain. Empat kekayaan kita tersebut akan menjadi kekuatan besar kalau kita bisa mengkompromikan, apalagi mampu mengolah dan mengembangkannya sebagai jawaban atas stagnasi, formalisasi, dan simbolisasi pemikiran keislaman selama ini.

Moralitas Perempuan dalam Kitab Kuning Salah satu alasan fiqh mengatur aktualisasi perempuan adalah demi stabilitas moral publik. Moral adalah tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Saw. Moral adalah segala perilaku yang dilakukan manusia, baik ucapan, perkataan, dan semua sepak terjangnya. Moralitas perempuan sangat mempengaruhi moralitas publik. Jika perempuannya berperilaku tidak etis, seperti berpakaian minim dan menggugah nafsu lakilaki, maka stabilitas moral publik akan terganggu. Jika perempuan agresif menggoda lakilaki, maka stabilitas moral publik terancam. Oleh sebab itu, fiqh mempunyai aturan bagaimana perempuan yang mulia ini mempunyai moral yang agung sehingga kehadirannya membawa pencerahan dan kemajuan, bukan sebagai sumber fitnah atau dekadensi moral publik. Kita juga menyalahkan laki-laki mata keranjang yang mudah tergoda pada perempuan. Namun, perbaikan moral tidak hanya dilakukan salah satu pihak, tapi keduaduanya, laki-laki dan perempuan harus berperilaku sesuai tuntunan Nabi Agung Muhammad Saw. agar kehidupan ini berjalan secara benar, aman dan tentram. Moral identik dengan budi pekerti, adab, etika, tatakrama, dan sebagainya. Istilah al-akhlaq atau tersebut dalam kosa kata bahasa Arab sering disebut dengan kata al-adab. Pada diri manusia, selain diberi hati nurani yang senantiasa menegakkan ciri ketuhanan, juga terdapat nafsu yang cenderung tergiur oleh materi yang nisbi dan instan. Jika kemenangan dipihak nafsu, manusia akan turun derajat dan moralnya. Sedangkan jika hati nurani mampu mengungguli nafsu, orang tersebut akan naik derajatnya, moralnya terpuji, dan melebihi makhluk Tuhan lainnya. Moralitas merupakan sesuatu yang dilakukan bukan diucapkan, tindakan bukan tulisan, pelaksanaan bukan kekuasaan, pengamalan bukan hapalan, kenyataan bukan penataran, esensi bukan teori, realitas bukan identitas, afektif bukan kognitif, dan seterusnya. Eksistensinya tidak bisa dibuat-buat, dipalsukan maupun sekedar simbolik. Canggihnya teori, banyaknya ajaran, tingginya kedudukan dan jabatan, indahnya paras wajah, melimpahnya harta bukanlah jaminan akan baiknya moral seseorang. Tidak mustahil, orang miskin lebih bermoral ketimbang mereka yang berduit, rakyat jelata lebih bermoral ketimbang pejabat (Said Aqil Siraj, 2003).

Sesuatu yang bertentangan dengan moralitas luhur adalah liberalisme absolut. Liberalisme absolut atau kebebasan tanpa batas adalah sesuatu yang ditentang agama dan bangsa ini. Kitab kuning membatasi kebebasan perempuan dalam hal-hal tertentu demi kemaslahatan perempuan itu sendiri dan demi kemaslahatan masyarakat secara umum. Misalnya, kitab kuning mewajibkan perempuan menutup aurat, ini jelas ajaran mulia. Walaupun disatu sisi membatasi kebebasan perempuan, tapi disisi lain, bermanfaat bagi

perempuan itu sendiri dan masyarakat umum. Jika perempuan dibebaskan berpakaian sesuai dengan selera dan trend budaya yang terjadi, maka hal itu akan menyebabkan kondisi yang tidak aman bagi perempuan itu sendiri dan bagi masyarakat umum. Dus, aturan-aturan yang ada dalam kitab kuning yang kelihatannya membatasi perempuan, tapi hakikatnya mengarahkan dan membimbing perempuan untuk mencapai makarimul akhlaq (kemulian moral).

Menggagas Kitab Kuning yang Memberdayakan Perempuan Melihat realitas sosial inilah, menjadi tanggung jawab kita bersama untuk al-nushus al-fiqhiyyah) secara maksimal, melakukan kajian teks-teks fiqh ( rajih baik dalam menganalisis, mengkomparasikan, dan memilih pendapat yang (unggul) dalam pergumulan tradisi dan budaya Indonesia dengan teks-teks fiqh yang ada. Kita ingin menjadikan fiqh sebagai entry point pemberdayaan perempuan dalam aspek moralitas, intelektualitas, dan dedikasi sosial kemasyarakatan sebagai manifestasi peran publiknya. Emansipasi yang tetap dalam koridor dan bingkai syariat Islam yang luhur, toleran, dan progresif.
  

alPelacakan dan pengembaraan dalam mengkaji teks-teks fiqh ( nushus al-fiqhiyyah) adalah langkah utama dalam melahirkan pemikiran integral, holistik, dan moderat yang bersenyawa dengan tradisi bangsa ini. Melakukan komparasi ( muqoronah) satu pendapat dan pendapat lain adalah langkah kedua, baru kemudian memilih pendapat yang lebih rajih (unggul) dari segi dalil dan kemaslahatan social.


Semua langkah ini dilakukan demi satu tujuan : menghadirkan fiqh sebagai solusi bagi problem sosial dengan cirinya yang moderat dan progresif. Langkah ini mendesak kita lakukan, melihat eskalasi gerakan feminisme liberal sudah masuk dalam jantung pertahanan umat ini dengan bendera dekonstruksi khazanah Islam. Konsep fiqh ingin disesuaikan dengan frame thinking (kerangka berpikir) mereka. Dekonstruksi doktrin fiqh berarti membongkar fiqh dari akarnya dan menggantinya dengan ideologi dan main set mereka. Dekonstruksi ini menyebabkan desakralisasi dan profanisasi ajaran fiqh yang mengekor kepada sekularisme peradaban mereka yang anti Ketuhanan. Inilah yang harus kita respons secara cepat dan efektif, agar eksistensi peradaban fiqh tetap kuat dan aplikatif. Peradaban fiqh yang kuat dan aplikatif adalah peradaban fiqh yang bersinergi dengan budaya local dan nasional bangsa ini. Integrasi dan internalisasi fiqh dalam kebudayaan lokal dan nasional akan menyebabkan nilai religiusitas budaya menjadi kuat, dan agama secara otomatis akan terkulturalisasi, sehingga internalisasi nilai agama berjalan secara efektif dan inhern dalam psykologi bangsa ini. Kompromi dan integrasi agama dan budaya adalah tugas besar para pemikir Islam. Tugas ini membutuhkan reorientasi, reformulasi, redefinisi, dan revitalisasi khazanah keilmuan Islam. Khusus dalam masalah perempuan, tugas besar ini dilakukan untuk menemukan format peran publik perempuan yang sesuai dengan spirit nilai Islam dan kebudayaan bangsa. Misalnya, dalam konteks budaya Indonesia, berkumpulnya laki-laki dan perempuan sepanjang untuk tujuan positif-konstruktif, seperti pengajian umum, belajar di sekolah, bekerja, dan lain-lain, diperbolehkan selama tidak menimbulkan fitnah yang bertentangan

dengan aturan agama. Asasnya adalah kemanfaatan dan kemaslahatan bersama. Tidak ada demarkasi antara perempuan dan laki-laki. Kalau sampai ada demarkasi yang terjadi nantinya adalah radikalisasi masa. Tradisi lokal masyarakat dan bangsa tidak menerima realitas ideal tersebut. Misalnya, kalau anda hidup di pedesaan, menjadi seorang petani/ pedagang. Maka, perempuan akan selalu berkumpul laki-laki, misalnya saat menanam padi, mengambil rumput (matun), menuai padi, juga ketika bekerja di pasar, harus berkumpul laki-laki bukan muhrimnya dari mana saja. Ketika di rumahpun, mereka biasa ketemu dengan laki-laki yang tidak muhrimnya sebagai sebuah budaya turun temurun. Menjadi seorang pejabat birokrasi di kantor manapun di Indonesia , berkumpulnya laki-laki dan perempuan sudah menjadi tradisi. Di lembaga pendidikan, guru laki-laki dan perempuan dalam satu kantor. Para murid laki-laki dan perempuan juga berkumpul dalam satu kelas. Dalam alat transportasi, darat, laut, udara, laki-laki dan perempuan berkumpul. Pada acara resepsi pernikahan, berkumpulnya laki-laki dan perempuan tidak bisa dihindari. Dalam semua contoh diatas, kalau tempat laki-laki harus dipisahkan dari perempuan, tentu akan mengakibatkan gonjangan, selain membutuhkan sarana prasara, biaya, dan keperluan lain yang tidak ringan, ide semacam ini sama dengan mencabut manusia dari akar tradisinya. Oleh sebab itu, mayoritas bangsa ini tidak suka kalau Indonesia berubah menjadi negara Islam. Khawatir kalau aturannya berbentuk persis dengan kitab kuning tanpa melihat pluralitas dan heterogenitas budaya masyarakat. Budaya yang berlaku tersebut sama sekali tidak dibenci masyarakat dan berjalan selama berabad-abad. Yang dibenci masyarakat adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan yang berdampak negatif-destruktif, misalnya di tempat-tempat kemaksiatan, pelacuran, nigh club, diskotik, minum-minuman keras, tempat judi, narkoba, menjadi bintang iklan dengan pakaian yang transparan, membiarkan aurat dipertontonkan secara bebas, dan lain-lain. Perbuatan semacam ini jelas bertentangan dengan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, tata susila, dan moralitas luhur, juga bertentangan dengan ajaran agama yang menekankan keagungan moral dan kesucian perilaku. Format kompromi agama dan budaya local dalam konteks perempuan ini harus diupayakan demi memberdayakan potensi perempuan secara maksimal agar mereka mampu menampilkan kemampuan terbaik demi kemaslahatan bersama. Mereka bisa berperan aktif ditengah masyarakat di berbagai bidang, ekonomi, perdagangan, pertanian, wirausaha, pendidikan, sosial kemasyarakatan, budaya dan politik dengan tetap berpegang teguh pada koridor agama Islam.

Menuju Aktualisasi Peran Sosial Perempuan Kita ingin melihat muslimah Indonesia sebagai pioneer kebangkitan, pembaruan, dan kejayaan bangsa dan agama ini dengan sederet prestasi yang menakjubkan dan mengagumkan. Kita tidak ingin melihat muslimah Indonesia pasif, tidak mampu berkreasi, dan tidak mampu berkompetisi pada level yang tinggi. Peran sosial perempuan harus didinamisir dan revitalisir agar muslimah bersama laki-laki berjalan bersama-sama khoira ummah yang selalu menyeru menunjukkan peran sosialnya sebagai kebaikan, mencegah kemungkaran, dan melahirkan hal-hal baru yang bermanfaat bagi bangsa dan agama tercinta ini.
 

Dalam semua sector kehidupan, tampilnya perempuan sebagai subyek sangat diharapkan masyarakat. Dalam konteks agama, kita ingin melihat tampilnya perempuan yang mampu memberikan siraman rohani di televisi, radio, dan media elektronik lainnya. Tampilnya muballighoh-muballighoh (juru dakwah perempuan) sangat dinanti masyarakat. Dalam konteks pendidikan, kita membutuhkan perempuan-perempuan yang berkwalitas dan professional yang mampu mendidik kader-kader muda menjadi generasi masa depan bangsa yang kompetitif. Kelebihan perempuan disamping kwalitas personalnya, adalah penguasaannnya terhadap psykologi anak didik. Dalam konteks ekonomi, kita membutuhkan perempuan yang menjadi wirausahawan handal dengan ketekunan, kreatifitas, inovasi, dan konsistensi. Wirausahawan perempuan biasanya tahan banting, bekerja keras, dan mempunyai semangat tinggi dalam mengembangkan bisnis. Dalam konteks politik, kita membutuhkan kehadiran politisi perempuan yang fokus memberdayakan kaumnya, memperhatikan keadilan ekonomi rakyat, peningkatan kesehatan dan pendidikan, dan terciptanya system politik yang transparan, egaliter, dan bervisi jauh ke depan. Dalam konteks budaya, kita membutuhkan perempuan yang kreatif membuat terobosan-terobosan budaya sehingga mampu mensosialisasikan nilai-nilai Islam ditengah dekadensi dan degradasi budaya bangsa ini yang tidak menghargai kedisiplinan, kepercayaan, kerja keras, hemat, dan nilai-nilai Islam yang luhur dan agung, Dalam konteks jurnalistik, kita membutuhkan kehadiran jurnalis perempuan yang mampu menulis karya buku, makalah, opini, dan lain-lain guna mencounter hegemoni pemikiran Barat yang liberal-kapitalistik yang tidak mengindahkan norma dan doktrin budaya dan agama. Dalam konteks sosial kemasyarakatan, kita membutuhkan perempuan yang berperan sebagai penggerak dinamika sosial masyarakat dengan aktifitas-aktifitas yang positif-konstruktif demi kebaikan masyarakat. Kaum perempuan biasanya mudah dimobilisir untuk hal-hal yang positif. Hal ini membutuhkan sosok organisator perempuan yang mampu mengatur dan menjalankan roda organisasi dengan program-program yang progresif dan dinamis. Dalam konteks kesehatan, kita membutuhkan lahirnya tenaga medis perempuan yang mampu memberikan pengobatan cepat dan tanggap dan juga mampu melakukan sosialisasi intensif akan pentingnya membudayakan pola hidup sehat, pola makan sehat, dan pola aktifitas yang sehat. Semua sector ini menjadi tumpuan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Mengingat jumlah perempuan selalu lebih banyak laki-laki, maka lahirnya tokoh-tokoh perempuan yang mampu menggerakkan dinamika, kreatifitas dan progresifitas kaumnya adalah sebuah keniscayaan sejarah. Diskriminasi, domestikasi, dan subordinasi harus dihentikan oleh perempuan itu sendiri. Namun, semua itu jangan sampai menyebabkan mereka masuk dalam ideologi liberalisme absolut yang tidak mengindahkan ajaran Islam. Ajaran Islam adalah parameter semua perilaku manusia, baik dan buruk. Maka ajaran Islam haus menjadi pertimbangan utama dan pertama dalam melangkah. Semua itu dalam rangka menggapai ridlo Allah Swt. di dunia dan akhirat.

Kasus-kasus pelecehan seksual, perdagangan anak, kekerasan fisik, dan peminggiran peran publik adalah tantangan serius kaum perempuan untuk menunjukkan eksistensi dan peran sosialnya secara maksimal sesuai peran kesejarahan yang telah ditunjukkan para perempuan pertama Islam zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dimana mereka sangat antusias dalam berjuang demi tegaknya nilai-nilai Islam ditengah masyarakat.

, Sebagaimana pepatah yang selalu kita ingat perempuan adalah tiang Negara, jika perempuan baik, maka baiklah Negara, dan jika perempuan rusak maka rusaklah Negara. Pepatah ini harus melecutkan semangat berprestasi pada diri perempuan.

Kompetisi atau persaingan adalah ciri abad ini. Dalam semua sector kehidupan, kompetisi berjalan sangat ketat. Satu bidang diperebutkan sepuluh, seratus, sampai ribuan orang. Hampir tidak ada sektor kehidupan yang didalamnya tidak ada kompetisi terbuka. Oleh sebab itu, supaya menang dalam kompetisi dibutuhkan kwalitas personal yang tinggi, skills yang handal, proaktif menangkap dan memanfaatkan peluang, mampu mengantisipasi tantangan dan problem sosial, dan professional dalam teknis operasional. Agar muslimah mampu menjadi tiang Negara ini dan menang dalam kompetisi, maka ia harus mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin dimana, kapan dan kepada siapa saja. Tidak ada waktu tanpa belajar, belajar dan belajar. Ini juga dalam rangka membumikan visi pembebasan Islam yang menganjurkan perempuan untuk memaksimalkan aktualisasi demi kemanfaatan public secara luas.

Visi Pembebasan Islam Islam turun ke muka bumi ini tidak hanya melakukan reformasi teologis, tapi juga reformasi sosial dengan tokoh utama Nabi Muhammad Saw. Ia adalah seorang pemimpin agama yang gigih memperjuangkan keadilan, kesetaraan, keadaban, kemakmuran, ketentraman, kerukunan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia dunia-akhirat. Seorang pemikir modernis dari India , Asghar Ali Enggener, menyatakan, misi perjuangan Nabi tidak sebatas pada level vertical-personal ansich, tapi juga pada level horizontal-sosial. Artinya, misi dakwah Nabi tidak sekedar revolusi teologis, memberantas kemusyrikan dan kekufuran kafir jahiliyyah ketika itu, tapi juga menumpas dan membabat habis praktek kecurangan, ketimpangan, hegemoni, dominasi, sentralitas, dan kolonialitas yang dilakukan oleh punggawa bangsawan. Mereka menindas kaum lemah-tertindas, seperti perempuan, budak, pekerja kasar, dan fakir-miskin. Mereka menguasai aset-aset ekonomi produktif yang tidak boleh didistribusikan kepada orang lain. Para ekonom ini lalu bergandengan tangan dengan para birokrasi, penguasa politik di Makkah ketika itu. Maka terjadi sinergi dan kombinasi dua kekuatan besar yang mencengkram Makkah. Ajaran Islam datang dengan membawa pesan pembebasan, keadilan, dan kesetaraan. Tidak boleh ada perbudakaan dan hegemoni dalam bentuk apapun, tidak boleh ada diskriminasi, sentralitas, kriminalitas, distorsi, dan tidak boleh ada kolusi, korupsi, dan nepotisme. Pesan progresif Islam ini tentu saja membuat dua kekuatan (pengusaha-politisi) kebakaran jenggot. Segala daya upaya dimaksimalkan untuk menghentikan ajaran Muhammad. Karena ternyata, Islam tidak hanya membawa revolusi teologis, tapi juga revolusi sosial, ekonomi, budaya, dan politiknya yang sangat radikal dan revolusioner.[9]

Masyarakat yang dicita-citakan Islam adalah masyarakat yang didalamnya keyakinan tauhid dimantapkan, keadilan ditegakkan, persamaan dan kesetaraan dijunjung tinggi, hukum tidak pandang bulu, kaum dhuafa, fuqoro masakin diperhatikan, anak-anak jalanan, anak tuna netra dan orang gila diurusi, non-muslim diberi jaminan dan hak, kebersamaan, kedamaian, kerjasama dan kemajuan sektor ekonomi, pendidikan, dan budaya dikedepankan.[10] Salah satu misi utama Islam adalah pembebasan perempuan dari segala hegemoni, kekerasan, eksploitasi, dan krimininalitas. Ketika orang-orang Makkah malu mempunyai anak perempuan sebagai symbol kelemahan dan ketidakberdayaan, Islam datang dengan menghapus asumsi negatif semacam itu. Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sangat mulia. Islam mengharamkan tradisi kafir jahiliyyah yang membunuh hidup-hidup anak perempuan, sebagai tindakan biadab-sadis yang tidak berperikemanusiaan. Perempuan ketika menstruasi (haidl) dipandang oleh kaum Yahudi sebagai makhluk kotor, sehingga para perempuan tersebut diasingkan di gunung-gunung, di bukit-bukit, mereka diberi tanda khusus, misalnya celak, pacar, mark up, dan lain-lain. Islam kemudian datang dengan doktrin yang sangat radikal dan revolusioner. Islam memandang haidl bagi perempuan adalah suatu yang alamiyah, normal, dan sebagai salah satu tanda kesuburannya. Oleh sebab itu tidak boleh diasingkan, apalagi disiksa. Perempuan yang , sedang haidl harus diperlakukan seperti biasa. Sabda Nabi ishnau kulla syaiin illa al-nikah, lakukan apa saja kecuali bersetubuh. Sabda Nabi ini sangat revolusioner pada waktu dulu. Sebuah lompatan ajaran dan budaya yang mampu mengubah persepsi minor terhadap perempuan yang sedang haidl. Nabi memberikan contoh dengan minum bersama Aisyah ketika sedang haidl (Badriyah Fayumi, 2007).


Perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap laki-laki. Dia hanya sebagai alat pemuas laki-laki, khususnya dalam masalah seksual. Zaman dulu, perempuan seperti budak yang tidak berguna, siapa yang kaya dan terhormat, bisa membeli perempuan sesuka hatinya dan tidak terbatas. Islam datang dengan kewajiban melakukan akad nikah bagi orang yang ingin melakukan hubungan seksual, wajib memberikan nafkah dan memperlakukan perempuan dengan baik ( wa asyiruhunna bi almaruf). Serta memberikan batas maksimal menikah sebanyak empat jika mampu berlaku adil.
 

Perkawinan digeser statusnya, dari semata-mata urusan orang tua atau walinya menjadi urusan si pengantin sendiri, yakni dalam hal mahar, juga kalaupun si perempuan misalnya seorang budak. Bahwa mas kawin dizaman jahiliyyah semata-mata merupakan wewenang wali si gadis, dan bukan si gadis sendiri, dibuktikan oleh perkawinan syighar. Disini seorang laki-laki mengawinkan putrinya atau gadis di bawah perwaliannya dengan seorang laki-laki, dengan syarat si laki-laki kedua mengawinkan dirinya dengan putrinya atau gadis lain dibawah perwaliannya, kedua laki-laki itu tak perlu membayar mahar satu sama lain-tanpa si kedua gadis punya hak suara. Nikah syighar adalah salah bentuk yang dihapus oleh Islam, disamping bentukbentuk lain yang hanya menunjukkan kedudukan nikah sebagai alat laki-laki, misalnya kebiasaan mengkaryakan istri untuk memperoleh harta, atau menyuruh istri tidur bersama seorang tokoh untuk memperoleh bibit unggul, atau perkawinan yang hanya bisa dialami si perempuan bila bersedia dikerjain beramai-ramai lebih dahulu, kemudian, bila ia hamil, ditentukan siapa ayah si jabang bayi berdasar, misalnya kemiripan seperti dalam hadist kita dapati lewat penuturan Aisyah ra.[11]

Selain itu, perempuan pada masa Rasul juga diperbolehkan menjadi saksi dan menerima waris. Meski dalam kedua hal itu al-Quran terkesan menomorduakan perempuan dengan hanya memberi mereka setengah dari porsi yang diberikan laki-laki, tetapi semangat moralnya mencerminkan keadilan Islam. Pemberian hak menjadi saksi dan mewarisi bagi perempuan adalah penentangan terhadap tradisi jahiliyah yang menempatkan perempuan sebagai objek.[12] Perjanjian pertama (Aqobah) yang Muhammad akhiri dengan konversi orang-orang Yatsrib (Madinah) pertama sangatlah penting dalam kajian perempuan ini. Salah satu klausul menetapkan bahwa kaum Muslim tidak boleh membunuh anak-anak mereka. Selanjutnya, selama Perjanjian Kedua, perempuan ikut menjadi delegasi yang terlibat dalam membela Nabi dan Islam. Masyarakat Madinah berbeda sama sekali dari penduduk Makkah. Perempuan menikmati peran sosial yang tentu saja sangat penting dan sejumlah klan diatur menurut prinsip matriarchal. Para imigran pertama ini segera saja terkesan oleh bagaimana cara perempuan Anshar (perempuan Madinah) bekerja dihadapan publik. Mereka juga menunjukkan keistimewaannya dalam kehidupan privat. Umar bin al-Khattab (pengganti Muhammad yang kedua) mengemukakan bahwa sebelum hijrah : Kami biasa menyombongkan diri atas perempuan dan ketika kami datang kepada orang-orang Anshar dimana perempuan disana menempati posisi mereka di klan, perempuan-perempuan kami mulai mengadopsi kebiasaan perempuan Anshar (HR Bukhari dan Muslim). Ia mengutarakan ini seraya menyesali jika istrinya kini berani menanggapinya bila selalu memerintah, dan mengajarkannya bahwa ia harus mengikuti teladan Nabi.[13] Visi emansipasi perempuan ini tentu sangat revolusioner dan sangat bertentangan dengan tradisi kala itu dan sebelumnya. Bangsa Yunani dan Romawi pada zaman dahulu, menganggap kaum perempuan sebagai budak yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya. Filosof sekaliber Aristoteles pun mengatakan bahwa posisi perempuan di hadapan laki-laki menyerupai posisi hamba dihadapan tuan, pekerja dihadapan ilmuwan dan derajat lakilaki jauh lebih unggul atas perempuan.[14] Kaum perempuan pada masa Rasulullah digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan, dan bebas, tetapi tetap terpelihara akhlaqnya. Bahkan dalam al-Quran, figur ideal seorang Muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang mempunyai kompetensi di bidang istiqlal al-siyasi (QS. Al-Mumtahanah [60]:12), seperti figur politik atau arsyun azhim) (QS. AlRatu Bilqis yang mengepalai sebuah kerajaan adikuasa ( alNaml [27]:23), yang mempunyai kompetensi dibidang ekonomi, istiqlal al-istiqshadi (QS. Al-Qashash [28]:23), mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan pribadi, al-istiqlal al-syakhshi, yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan ayah atau suami bagi perempuan yang sudah menikah (QS. Al-Tahrim [66]:11), atau bersikap kritis terhadap pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum kawin (QS. Al-Tahrim [66]:12). Al-Quran mengizinkan kaum perempuan untuk melakukan gerakan oposisi terhadap segala bentuk system yang tiranik demi tegaknya kebenaran (QS. Al-Taubah [9]:71). Islam memberikan kebebasan yang begitu besar kepada perempuan untuk berkiprah di ruang publik, sehingga masa Nabi banyak sekali perempuan yang cemerlang kemampuannya yang diakui hingga saat ini.[15] Ini membuktikan bahwa syariat Islam berintikan kesamaan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Hanya kwalitas takwa yang membuat manusia berbeda dengan yang lain, bukan jenis kelamin.[16]



Pendidikan adalah kunci sukses Nabi Muhammad dalam memberdayakan perempuan. Pendidikan adalah proses penyerapan input pengetahuan, pengolahan dalam rasio (akal), penyimpulan dalam bentuk analisis teori, pengejawantahan dalam kehidupan praktis sehari-hari, dan pendorong ke arah penelitian, pengkajian, dan pengembangan secara terus menerus. Muncullah ilmuwan perempuan seperti Aisyah binti Abi Bakar,

Asma binti Abi Bakar, Hafshoh binti Umar bin Khottab, Khansa binti Khidam, Ummu Salamah, Ummu Ayyub, dan Ummu Habibah ra.[17] Tokoh perempuan Islam pertama tentu Sayyidatina Khodijah. Ia adalah perempuan pertama yang masuk Islam, ia pertama kali yang diajari Nabi membaca syahadat dan ajaran-ajaran Islam lainnya. Walau sudah menginjak tua, sekitar 55 thn (Nabi menikah pada usia 25 tahun, menerima wahyu kerasulan pada usia 40 thn, pada waktu menikah dengan Nabi, Khodijah berusia 40, sehingga pada waktu Nabi menerima wahyu beliau berusia 55), semangat belajar dan berjuang Khodijah sangat besar. Kekayaan, relasi, dan kewibawaannya digunakan secara all-out untuk membantu dakwah Nabi. Khodijah dan Abu Tholib adalah pilar utama kekuatan Nabi dalam berdakwah. Mereka sangat besar jasanya dalam mensuplay sumber ekonomi, menjaga keamanan, memantapkan langkah dan keyakinan Nabi, serta mendorong Nabi untuk terus mengembangkan dakwah islam ke segenap penjuru dunia. Disamping Khodijah, adik perempuan Umar bin Khottob juga sangat berjasa pada Nabi. Lewat bacaan alqurannya, Allah mengetuk pintu hidayah pada jiwa Umar bin Khottab sehingga ia tergerak hatinya masuk Islam. Alquran yang dibaca adik Umar ketika itu adalah surat Thoha yang sangat reflektif-kontemplatif. Dengan masuknya Umar ini, perjuangan dakwah Nabi menjadi semakin lancar dan cepat, ada perlindungan keamanan yang lebih besar yang datang dari Umar dan Nabi semakin bebas dan kreatif dalam mengembangkan dakwahnya. Mungkin Umar yang pertama kali usul agar dakwah Nabi bil sirri, samar-samar, tapi juga bil jahri, dengan terbuka, terangtidak hanya terang.

Aisyah ummul muminin adalah istri Nabi yang sangat terkenal karena pengetahuannya yang luas mengenai hadits, fiqh, sejarah, syair, pengobatan, dan ilmu astronomi, dan bahkan telah ikut serta dalam persoalan-persoalan politik dan memimpin kaum muslimin dalam perang Jamal (Yaum al-Jamal). Begitu dalamnya pengetahuan Aisyah tentang agama hingga Rasul bersabda : Ambillah dari Aisyah setengah dari pengetahuan tentang agama ini. Hal ini dipertegas oleh penjelasan Abu Musa, ia berkata, , , tidak ada sesuatu yang membuat sahabat-sahabat Rasulullah sulit dalam masalah hadits sama sekali, maka kita tanya Aisyah kecuali kita menemukan padanya sebuah ilmu (HR. Tirmidzi). Oleh sebab itu sahabat Musa bin Tholhah berkata , ma raaitu ahadan afshoha min Aisyah, aku tidak melihat seseorang yang lebih fasih dari Aisyah.[18]

Selain itu, sejarah merekam banyak perempuan yang terkemuka dan terpandang karena kedalaman ilmu dan kezahidannya. Amrah binti Abd Al-Rahman, misalnya, dipandang sebagai seorang seorang faqihah yang sangat alim, tergolong sebagai ulama besar yang memberikan fatwa di Madinah setelah sahabat-sahabat Nabi. Hafsah binti Sirin adalah ahli hadits dari Basrah yang terkenal karena ketakwaan dan kezahidannya. Dia mulai menghafal al-Quran dalam usia 12 tahun dan banyak meriwayatkan hadits. Haditsnya dijumpai dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Aisyah binti Thalhah adalah seorang ahli hadits yang terkenal dan terpercaya. Pada masa Muawiyah juga muncul tokoh-tokoh perempuan, seperti Ummu Banin, permaisuri Khalifah Al-Walid bin Abd Al-Malik yang sangat terkenal, karena pengetahuan dan wawasannya yang luas dan visinya yang jauh ke depan. Dia sering kali menjadi tempat untuk meminta saran dan pendapat oleh khalifah. Al-Sayyidah Sakinah binti Al-Husain merupakan salah seorang tokoh perempuan yang menjadi idola perempuan-perempuan pada masanya.[19]

Syifa binti Abdillah al-Adawiyah adalah tokoh perempuan yang piawai dalam mengendalikan perilaku pedagang di Ibu kota Madinah, lalu diserahi tugas hisbah oleh Khalifah Umar bin Khattab. Khaizarah ditunjuk menjadi konsultan para menteri negara oleh khalifah al-Mahdi. Sakinah cucu Ali bin Abi Tholib adalah guru Imam Syafii. AlArudhiyah tercatat sebagai satrawati asuhan Ibnu al-Musharraf.[20] Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila al-Ghaffariyah, Ummu Sinam alAslamiyah tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Imam al-Bukhari juga membukukan bab-bab dalam kitab Shahihnya tentang kegiatan kaum perempuan, seperti Bab al-Jihad, dan lain-lain. Dalam bidang pekerjaan, dapat disebutkan Ummu Salim binti Malhan juru rias, diantaranya Shafiyah binti Huyay, istri Nabi. Dalam bidang perdagangan, Khadijah binti Khuwailid dan Qilat Ummi Bani Anmar adalah pedagang sukses.[21] Imam Muslim dalam kitab Shohih Muslimnya juga menjelaskan keterlibatan perempuan-perempuan masa Nabi, seperti Ummu Sulaim dan sejumlah perempuan dari golongan Anshar, mereka ikut membantu dalam masalah penyediaan air, dan menyembuhkan bala tentara yang terluka.[22] Dari deskripsi ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Islam sangat menginginkan perempuan tampil bersama-sama laki-laki dalam mengemban amanah Allah, sebagai abdullah yang bertugas menyembah Allah, dan kholifatullah yang bertugas memakmurkan dan meramaikan bumi dengan keadilan, kemajuan, keagungan moral, kesejahteraan, dan kebahagiaan dunia-akhirat.

Landasan Normatif Ada banyak doktrin normatif yang menunjukkan peran publik perempuan, antara lain; Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mumin, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, lakilaki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Ahzab:35), Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat:13).[23] Wa la qod karramna bani Adama wa hamalnahum fi al-barri wa al-bahri wa razaqnahum min al-Thoyyibati wa faddholnahum ala katsirin mimman kholaqna tafdhila (QS. Al-Isra 70)

Dan sesunguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. Al-Isra : 70).[24] Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagiaan yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah keapda Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesunguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. An-Nisa:32). Wa al-muminuna wa al-muminatu badhuhum auliyau badhin yamuruna bi almarufi wa yanhauna an al-munkari wa yuqimuna al-sholata wa yuthuna al-zakata wa yuthiunallaha wa rasulahu, ulaika sayarhamahumullahu innallaha azizun hakim (QS. Al-Taubah 71). Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang maruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Taubah 71). Hadits :

Istaushu bi al-Nisai khoiran (Muttafaqun Alaihi). Berwasiatlah kamu semua dengan perempuan-perempuan kebaikan

 

   

 

Ala wastaushu bi al-Nisai khoiran fainnamahunna awanin indakum laisa tamlikuna minhunna syaian ghoira dzalika (HR. Tirmidzi) Ingatlah, dan berwasiatlah kamu semua dengan perempuan kebaikan, maka sesungguhnya mereka adalah penolongmu, kamu tidak memiliki mereka sama sekali, kecuali hal tersebut

  

Akmalul mukminina imanan ahsanuhum khuluqan wa khiyarukum khiyarukum li nisaihim (HR. Tirmidzi)

Orang mumin yang paling sempurna imannya adalah mereka yang paling bagus akhlaqnya, dan orang yang paling terpilih dari kamu semua adalah orang yang paling terpilih kapada istri-istrinya[25]

Penutup Doktrin normatif ini menunjukkan dengan jelas apresiasi Islam yang sangat besar amar maruf nahi dalam hal partisipasi public bagi perempuan. Bahkan munkar mempunyai cakupan yang maha luas dan berdimensi sosial. Masuk dalam dunia pendidikan, dakwah, dan politik adalah salah satu metode amar maruf nahi munkar. Politik untuk saat ini adalah metode yang paling efektif, mengingat ia mempunyai kekuatan untuk merumuskan kebijakan, melaksanakan, dan memantau pelaksanaannya secara intensif dan kontinu. Namun aktualisasi perempuan dalam semua bidang kehidupan tetap dalam koridor hukum Allah Swt, bukan konsep emansipasi yang kebablasan ala Barat dengan menghalalkan segala perbuatan dengan dalih kebebasan dan kesamaan.[26] Impossible (mustahil), peran-peran besar ini diwujudkan kalau perempuan tidak mempunyai SDM yang berkwalitas diberbagai bidang, baik ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, budaya, politik, hukum, pembangunan, dsb.



Daftar Pustaka : 1. A. Chozin Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning dalam Jurnal Pesantren P3M, No. 1/Vol. VI/1989 2. Abu Al-Ghifari dalam buku Perempuan bukan makhluk penggoda, ( Bandung : Mujahid, 2003) 3. Asghar Ali Engineer dalam Islam dan Pembebasan, diterjemahkan oleh Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy dari judul aslinya Islam and Its Relevance to Our Age, (Yogyakarta : LKiS, 1993) 4. Asybah wan Nadhoir 73, Bughyatul Mustarsyidin 253, Majalah Pesantren P3M, 3, Vol. VI. 1989. 5. Ahmad Rofiq dalam makalah Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam KB Menurut Tinjauan Agama Islam, dalam acara Sosialisasi dan Orientasi Program KB bagi LSM dan Tokoh Agama, diselenggarakan oleh BKKBN, di Jl. Pemuda No. 79 Semarang, 09 Agustus 2005 6. Faqihuddin Abdul Qodir, Bangga Jadi Perempuan, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004) 7. Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ala Ibni Qosim, ( Surabaya : Maktabah Shahabah Ilmu, tt.) 8. Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, al-Jami al-Shoghir fi Ahaditsi al-Basyir al-Nadhir, (Darul Katib al-Arabi, 1967) 9. KH. Hasyim Abbas dalam Presiden Perempuan Perspektif Hukum Islam, ( Yogyakarta : Kutub, 2004) 10. Lies Marcoes Natsir, MA dalam Makalah Peluang dan Tantangan Pesantren dalam Pendidikan Gender dan Hak Perempuan, Dalam Lokakarya Penyusunan

Rencana Strategis, Cepdes, center for pesantren and democracy studies, Malang, 48 Februari 2003 11. Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, ( Semarang : Thoha Putra, tt.) 12. Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin 13. Muhamamd Syadid dalam Manhaj al-Quran fi al-Tarbiyah, Daru al-Tauzi wa al-Nasyri al-Islamiyyah, tt. 14. Majalah Pesantren, No. 2/Vol. VI/1989 15. Nurul Agustina dalam buku Islam, Negara, dan Civil Society, Gerakan dan Pemikrian Islam Kontemporer, pada sub judul Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society, (Jakarta : Paramadina, 2005) 16. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syarah Mandzumatul Waraqot fi Ushul al-Fiqh, (Makkah : Wazarah al-I'lam, 1411 H.) 17. Syekh Syarqowi dalam Syarqowi ala al-Tahrir, 18. Siti Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis, ( Bandung : Mizan, 2005) 19. Sunan Tirmidzi, ( Semarang : Maktabah Thoha Putra) 20. Syekh Muhyiddin Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi dalam kitab Riyadh al-Sholihin, Min Kalami Sayyidil Mursalin, ( Semarang : Pustaka Alawiyyah, tt.) 21. Syekh Muslim dalam Shohih Muslim, ( Surabaya : al-Hidayah Surabaya , tt.), juz 2 22. Tajuddin Abdul Wahhab ibn Subuki, Jamul Jawami, dalam Hasyiyah alAllamah al-Bannani, ( Jakarta : Daru Ihyail Kutub al-Arabiyyah, tt.), juz 1 23. Tariq Ramadan, Menjadi Modern Bersama Islam, Teraju Mizan, 2003 24. Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris, Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, ( Jakarta : P3M, 2004) 25. Zakariyya al-Anshari, Tahrir ala Tubfah al-Thullab, ( Kediri : Ma'had Islami alSalafi, tt.)

A. Chozin Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning dalam Jurnal Pesantren P3M, No. 1/Vol. VI/1989, hal. 12.

[1]

Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, al-Jami al-Shoghir fi Ahaditsi al-Basyir alNadhir, (Darul Katib al-Arabi, 1967), hlm. 281 [3] Tajuddin Abdul Wahhab ibn Subuki, Jamul Jawami, dalam Hasyiyah al-Allamah al-Bannani, ( Jakarta : Daru Ihyail Kutub al-Arabiyyah, tt.), juz 1, hlm. 42-43 [4] Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, ( Semarang : Thoha Putra, tt.), hlm. 6 [5] Zakariyya al-Anshari, Tahrir ala Tubfah al-Thullab, ( Kediri : Ma'had Islami alSalafi, tt.), hlm. 2 [6] Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Syarah Mandzumatul Waraqot fi Ushul alFiqh, (Makkah : Wazarah al-I'lam, 1411 H.), hlm. 11 [7] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ala Ibni Qosim, ( Surabaya : Maktabah Shahabah Ilmu, tt.), hlm. 18-19, [8] Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadiin, Op. Cit. hlm. 6

[2]

baca Asghar Ali Engineer dalam Islam dan Pembebasan, diterjemahkan oleh Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy dari judul aslinya Islam and Its Relevance to Our Age, (Yogyakarta : LKiS, 1993), h. 1-16
[10]

[9]

Asybah wan Nadhoir 73, Bughyatul Mustarsyidin 253, Majalah Pesantren P3M, 3, Vol. VI. 1989.
[11]

Baca dalam Wanita : Di Dalam dan Di Luar Fiqh, di Majalah Pesantren, No. 2/Vol. VI/1989, hlm. 4-5, juga Syekh Syarqowi dalam Syarqowi ala al-Tahrir, Al-Hidayah, Juz 2, hlm. 233-234, dalam kitab ini diterangkan definisi nikah syighar, yaitu perkataan wali zawwajtuka binti ala an tuzawwijani bintaka wa budhu kullin minhuma shidaqul ukhra, aku kawinkan anak perempuanku padamu supaya kamu mengawinkan padaku anak perempuanmu, dan kemaluan masing-masing keduanya adalah mas kawin bagi yang lain. Walau dalam akad disebutkan mahar. [12] baca Nurul Agustina dalam buku Islam, Negara, dan Civil Society, Gerakan dan Pemikrian Islam Kontemporer, pada sub judul Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society, (Jakarta : Paramadina, 2005), hlm. 380 [13] Tariq Ramadan, Menjadi Modern Bersama Islam, Teraju Mizan, 2003, hlm. 435 [14] Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris, Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, ( Jakarta : P3M, 2004), hlm. 142
[15]

Siti Musdah Mulia dalam Muslimah Reformis, ( Bandung : Mizan, 2005), h. 43.

Baca Muhamamd Syadid dalam Manhaj al-Quran fi al-Tarbiyah, Daru al-Tauzi wa al-Nasyri al-Islamiyyah, hlm. 50-57 Faqihuddin Abdul Qodir, Bangga Jadi Perempuan, ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 84 Sunan Tirmidzi, ( Semarang : Maktabah Thoha Putra), hlm. 354 Muslimah Reformis, Op. Cit. hlm. 92-93 [20] baca KH. Hasyim Abbas dalam Presiden Perempuan Perspektif Hukum Islam, ( Yogyakarta : Kutub, 2004), h. 145 [21] Ahmad Rofiq dalam makalah Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam KB Menurut Tinjauan Agama Islam, dalam acara Sosialisasi dan Orientasi Program KB bagi LSM dan Tokoh Agama, diselenggarakan oleh BKKBN, di Jl. Pemuda No. 79 Semarang, 09 Agustus 2005 [22] Syekh Muslim dalam Shohih Muslim, ( Surabaya : al-Hidayah Surabaya , tt.), juz 2, hlm. 116 [23] Mahmud Syaltut dalam bukunya Min Taujihat al-Islam (1966:193) menjelaskan makna ayat ini, ia menyatakan : Pada hakikatnya, tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir (dapat dikatakan) sama, baik potensi maupun kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan. Lihat Ahmad Rofiq dalam makalah Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam KB Menurut Tinjauan Agama Islam, dalam acara Sosialisasi dan Orientasi Program KB bagi LSM dan Tokoh Agama, diselenggarakan oleh BKKBN, di Jl. Pemuda No. 79 Semarang, 09 Agustus 2005 [24] Muhammad Quraish Syihab (1998:302) mengatakan, ayat tersebut dan yang senada, bermaksud mengikis habis segala pandangan yang membedakan laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Ia menambahkan, munculnya mitos[19] [18] [17]

[16]

mitos yang memojokkan perempuan semisal racun, ular, dan api tidak lebih jahat dari pada wanita atau tantangan seorang pemimpin adalah harta dan wanita, tidak sejalan dengan Alquran. Karena godaan syetan tidak hanya ditujukan kepada Hawa, tetapi juga keapda laki-laki. Dan ketergelinciran Adam dan Hawa bisa dilihat sebagai sama-sama menerima rayuan fa waswasa lahuma alsyaithan (QS. Al-Araf, 7:20) dan fa azallahuma alsyaithan anha fa akhrajahuma (QS. Al-Baqarah 2:36). Lihat dalam makalah Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam KB Menurut Tinjauan Agama Islam, Ibid [25] Hadits-hadits ini dapat dibaca Syekh Muhyiddin Abi Zakariyya Yahya bin Syaraf al-Nawawi dalam kitab Riyadh al-Sholihin, Min Kalami Sayyidil Mursalin, ( semarang : Pustaka Alawiyyah, tt.), hlm. 148-151 [26] Abu Al-Ghifari dalam buku Perempuan bukan makhluk penggoda, ( Bandung : Mujahid, 2003), h. 78-81)

Konsep Pendidikan Multikultural Dalam Islam Muhamad Mustaqim

Abstrak Keragaman adalah suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Namun sejarah telah mencatat bahwa berbagai konflik sosial antar umat manusia seringkali muncul atas dasar perbedaan tersebut. Pendidikan adalah wahana untuk mampu membekali manusia menjadi manusia yang beradab dan sempurna. Melalui pendidikan multikultural, diharapkan akan mampu membekali manusia untuk bersikap inklusif dan toleran. Sadar bahwa perbedaan adalah anugrah dan hazanah keragaman yang menuntut kita untuk saling menghargai dan menghormati. Sehingga misi risalah islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan dapat terwujud.

Kata kunci: pendidikan, multikultural, Islam A. Pendahuluan Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam budaya, suku, bahasa, agama, ras, etnis, yang kemudian dikenal sebagai negara plural. Keberagaman ini mengantarkan bangsa Indonesia kepada kekayaan budaya yang besar. Multikultural adalah kata lain untuk menggambarkan keberagaman dan kemajemukan tersebut. Di sini, multikultural seakan dua mata pisau, satu sisi menjadikan bangsa kita kaya akan hasanah kebudayaan, tapi di sisi lain, rentan menimbulkan benturan, perselisihan dan konflik.(Baidhawy, 2005:21). Benturan sangat berpeluang terjadi, mengingat perbedaan sering kali mengantarkan manusia pada sebuah konflik dan pada akhirnya sampai pada tindakan anarkis. Berbagai fenomena riil yang sampai sekarang masih menggejala di masyarakat kita yang multikultural ini sudah sering kita saksikan. Konflik Ambon, Poso, Banyuwangi, pembantaian etnis Tiong Hoa, pembakaran gereja dan masjid adalah bagian kecil dari deretan konflik yang disinyalir - akibat perbedaan. Sejarah kemanusian telah membuktikan bahwa hilangnya ribuan nyawa sering kali disebabkan oleh perbedaan dan keragaman. Di Indonesia, fenomena pembunuhan massal telah menghiasi lembaran-lembaran kelam sejarah bangsa. Pembantaian besar-besaran pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada tahun 1998, konflik antara Kristen dan Islam di Maluku Utara pada tahun 1999-2003, serta masih banyak lagi benturan lainnya yang terjadi di bangsa yang multikulktural ini.(Ainul Yaqin, 2005:4). Dalam kancah sejarah duniapun, berbagai kekerasan yang dilatar belakangi oleh perbedaan menghiasi sejarah kelam peradaban manusia. Sampai saat ini, tidak kurang dari 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat tinggal mereka, dan yang lebih mengerikan, 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah Sehingga hal ini patut untuk kita sayangkan dan menjadi pehatian kita bersama. Kalau kita telisik, konflik dan benturan yang terjadi selama ini, lebih di sebabkan kurangnya kesadaran akan multikulturalisme yang ada. Masyarakat sering tidak bisa memahami akan kemajemukan makhluk hidup yang ada di dunia ini.

Ditambah dengan pola pikir primordial, yang senantiasa menganggap bahwa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar. Kebenaran dipahami sebagai apa yang ada pada nilai parsial diri mereka. Sedangkan kebenaran yang bersifat universal seakanakan tidak ada. Tidak berhenti sampai situ saja, eksklusifitas tersebut masih ditambah dengan prasangka dan stereotip bahwa orang lain di luar mereka adalah salah. Di sisi lain, pendidikan merupakan wahana untuk menjadikan manusia memiliki kedewasaan sikap dan prilaku. Pendidikan diharapkan mampu menjadi pembina manusia menjadi manusia sejati, yang bertugas melestarikan alam raya ini. Pendidikan dituntut untuk mampu mewujudkan manusia yang beradab, yang mampu merespon segala yang ada di alam ini. Tidak hanya itu saja, pendidikan juga harus mampu mewujudkan kedamaian dan ketentraman dunia. Namun, kenyataan yang ada, berkata lain. Pendidikan yang idealnya melahirkan manusia-manusia yang berwawasan luas, inklusif dan mampu menjadi agen perdamaian, ternyata tidak seperti yang diinginkan. Pendidikan hanya melahirkan manusia-manusia yang berfikir, bekerja dan bertindak untuk dirinya sendiri. Dalam kacamata Islam, pendidikan menurut agama Islam yang kemudian kita sebut sebagai pendidikan Islam mempunyai arti sebagai suatu sistem yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologoi Islam. (Samsul Nizar, 2002:32) Jika hal ini disepakati, maka hakekat pendidikikan Islam tidak lain adalah untuk membangun muslim yang Islami. Untuk bisa mencapai semua itu, pendidikan dalam hal ini mempunyai posisi yang cukup signifikan. Melalui pendidikan, multikultural nantinya tidak lagi sebagai ancaman perpecahan dan gesekan-gesekan. Lebih dari itu, multikultural akan menjadikan manusia saling menghargai dan hidup bersama dengan damai. Pendidikan multikultural sampai sini kemudian perlu menjadi perhatian kita bersama, mengingat kecenderungan perpecahan yang berakar dari multikulturalisme dan perbedaan sudah banyak memakan korban.

B. Pengertian Pendidikan Multikultural Pendidikan multikultural merupakan pendidikan dan multikultural. Untuk dapat multikultural secara komprehensif, terlebih pendidikan dan multikultural itu sendiri. Dari pengertian pendidikan multikultural.

istilah yang terdiri dari dua kata, memahami definisi dari pendidikan dahulu harus mengetahui pengertian dua definisi istilah ini, akan diketahui

1.

Pengertian Pendidikan Sebagaimana yang telah di ketahu bersama, bahwa definisi dari suatu istilah itu bersifat subyektif. Perbedaan sudut pandang dan paradigma mempengaruhi dan menentukan hasil definisi seseorang. Demikian juga dengan istilah pendidikan, mekipun istilah ini sudah sangat tua, bahkan sudah ada mulai manusia diciptakan, namun sampai sekarang belum ada kesepakatan bulat tentang definisi pendidikan. Hal ini tampaknya wajar, mengingat perbedaan persepektif para pemikir, serta perkembangan pemikiran pendidikan yang kian waktu kian berkembang pesat. Sehingga dari waktu ke waktu muncul para pemikir pendidikan, yang berimplikasi pada munculnya definisi pendidikan juga.

Dari sini, penulis mencoba menampilkan definisi pendidikan oleh para pemikir pendidikan yang sering di jadikan referensi dalam hasanah pendidikan. Para tokoh yang sering menjadi kiblat referensi pendidikan antara lain: a. H.A.R. Tilaar Pendidikan menurut Tilaar adalah proses pembudayan. Artinya pendidikan bertujuan membentuk manusia yang berbudaya, yakni berkembangnya kepribadian seseorang yang demokratis. (Tilaar, 2000:56) b. Mansour Fakih Menurut pandangan Mansour, pendidikan pada dasarnya adalah proses mengembalikan kembali manusia pada konsep fitrahnya. Pendidikan tidak lain adalah proses refleksi kritis terhadp ideologi dominan menuju transformasi sosial. (Mansour Fakih, 1999:22) c. Azyumardi Azra Menurut Azyumardi pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu dengan kesadaran suatu bangsa atau negara dapat mewariskan kekayaan budaya atau pemikiran kepada generasi berikutnya sehingga menjadi inspirasi bagi mereka dalam setiap aspek kehidupan. ( Azumardi Azra,1998:3) d. Paulo Freire Pendidikan menurut Freire adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesdaran akan kemandirian atau memberi kekuasan kepadanya untuk menjadi individu. (Wiliam A. Smith, 2003:53) Freire juga berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi yang diakibatkan oleh sistem yang hegemonik. e. Sistem Pendidikan Nasional Dalam Undang Undang sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk wAtak serta peadaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manuisia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu , cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2.

Pengertian Multikultural Multikultural secara etimologi (bahasa) terdiri dari dua kata, multi dan kultural. Multi berarti banyak, ragam dan aneka. Sedangkan Kultural berarti kebudayaan, kesopanan dan pemeliharaan. Sedangkan secara terminologi, banyak ilmuan mendefinisikan term multikultural secara beragam. Agar dapat diambil kesimpulan tentang pemahamanan definisi pendidikan multikultural yang beragam, maka sebelumnya akan dijelaskan tentang beberapa difinisi multikultural terlebih dahulu, adapun beberapa definisi tersebut adalah : Tilaar secara sederhana mengartikan multikultural sebagai pengakuan atas pluralisme budaya (Tilaar, 2004:179). Di sini pluralisme budaya bukanlah sesuatu yang given, takdir dari Tuhan. Tetapi merupakan proses internalisasi nilai dalam suatu masyarakat. Pengakuan terhadap keragaman budaya ini akan membawa masyarakat pada kedamaian dan keadilan.

Zakiyuddin Baidhawy menilai bahwa multikultural merupakan kenyataan pluralitas kultural yang hidup di masyarakat, bentuk pemerintahan, sistem ekonomi, sistem keagamaanatau intelektual, atau bahkan kebudayaan (Baidhawy, 2005:2). Multikultural adalah sebuah fakta sosial dalam berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang etnis dan bangsa. Dalam pandangan Ahmat Baso, seorang intelektual NU, Multikultural merupakan jalan untuk mengedepankan semua kontribusi yang dimiliki masyarakat yang telah hidup dalam keragaman dan perbedaan. Disini, Multikulturalisme merupakan titik pertemuan dari beberapa identitas budaya, agaman, kelompok etnis, dan ras yang telah menghasilkan hak-hak budaya masyarakat untuk membangun lingkungan dan kedamaian di antara titik pertemuan identitas yang beragam. Sehingga antar keragaman tersebut dapat hidup secara harmonis. Sementara itu, Bikhu Parekh, Professor Teori politik di Universitas Hull, sebagaimana dikutip oleh Nurul Huda mendefinisikan multikultural sebagai suatu perspektif atau cara pandang dalam melihat kehidupan manusia, yang di bangun berdasar tiga wawasan penting. Tiga wawasan itu adalah, pertama, bahwa manusia pada dasarnya tertanam secara kultural. Kedua, perbedaan budaya merepresentasikan keragaman sistem makna, dan visi tentang good life. Dan ketiga, secara internal dan konstitusif, setiap budaya itu bersifat plural dan meefleksidan dialog antar tradisi yang berbeda. Dari sini, pendidikan multikultural secara umum dapat di artikan sebagai sebagai upaya perubahan perilaku manusia melalui pengajaran yang menekankan pada keberanekaragaman budaya yang ada. Proses perubahan prilaku tersebut di tujukan untuk membentuk prilaku manusia yang sadar akan keragaman. Sehingga prilakuprilaku negatif yang bermula dari keragaman tersebut, seperti diskriminasi, prejudise (prasangka) dan stereotype dapat mampu dieliminir. Dari paparan diatas, para ahli tampaknya sepakat bahwa multikulturalisme masyarakat adalh sebuah fakta sosial dan keniscayan. Untuk mampu memahami keniscayan sosial tersebut, diperlukan kesadaran dan pengakuan akan keragaman. Dan pendidikan multikultural adalah proses untuk mewujudkan hal tersebut, dalam kerangka dasar terciptanya masyarakat yang damai, aman dan sejahtera.

C. Aspek Multikultural Sesuai dengan makna dasarnya, multikultural mempunyai arti keragaman kebudayaan ( Ainurrofiq Dawam, 2003: 101). Hal ini berarti bahwa ada beranekaragam kebudayaan atau kultur yang ada pada masyarakat. Keragaman tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek kultural. Ainul Yakin membagi keragaman tersebut menjadi beberapa aspek, yakni agama, bahasa, gender, status sosial, etnis, kemampuan dan usia. (Ainul Yaqin, 2005:33) Di sini penulis mencoba untuk menjelaskan aspek-aspek tersebut. 1. Keragaman Agama Sudah menjadi pemahaman bersama bahwasanya di dunia ini ada berbagai macam agama. Di Indonesia ada enam agama besar yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha dan Khonghucu. Meskipun tidak bisa di ingkari masih banyak agama lain yang ada. Keragaman Bahasa

2.

Unsur lain dari keragaman kultur adalah bahasa. Di dunia ini terdiri dari berbagai ragam komunitas dengan bahasa yang berbeda. Sebagaimana yang dianalisa oleh antropolog, Michael Krouss, bahwa 10.000 tahun yang lalu diperkirakan ada sekitar 15.000 macam bahasa di seluruh dunia. Namun sekarang sudah berkurang jumlahnya mejadi sekitar 6000 macam bahasa. Diperkirakan dalam seratus tahun lagi, 90% dari bahasa-bahasa ini akan hilang , karena sedikit masyarakat yang menggunakannya. Di Indonesia sendiri terdiri dari sekitar 250 macam bahasa. Bahkan bisa jadi lebih bila dihitung sekaligus aksen dan dialeknya. Konsekuensi dari hal ini dapat memancing adanya salah paham dan diskriminasi terhadap kelompok yang menggunakan bahasa tertentu. 3. Keragaman Gender Tuhan telah menciptakan manusia dari kalangan laki-laki dan perempuan, supaya terjadi komunikasi dan kecenderungan (rasa cinta dan sayang) untuk hidup bersama secara tenang. Sudah menjadi keniscayaan bahwa di dunia ini ada laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini bukan semata-mata untuk meninggikan derajat antara yang satu dengan yang lain. Lebih dari itu, supaya manusia mencapai ketentraman dalam kehidupan. Namun perbedaan ini seringkali disalah pahami, dan menimbulkan diskriminasi. Keragaman Status sosial Sepertinya sudah menjadi keniscayaan hidup, bahwa manusi diciptakan berbeda status sosialnya. Ada yang miskin, kaya, pejabat, jelata, presiden, buruh dan seterusnya. Di sini, status sosial seringkali melahirkan dominasi dan eksploitasi antara status yang satu kepada status yang lain. Sehingga kesadaran akan keragaman status sosial harus di bangun semenjak dini. Keragman Etnis Keragaaman etnis merupakan kenyatan yang harus diterima umat manusia. Adanya pluralitas etnis tersebut seharusnya tidak harus menimbulkan perpecahan dan saling memusuhi. Namun dalam perjalanan sejarah, keanekaragaman tersebut sering kali menyisakan noda kelabu yang memilkukan, akibat dari pertentangan antar etnis. Jumlah etnis di dunia ini sangatlah besar. Diperkirakan dalam 184 negara merdeka, terdapat 5000 kelompok etnis. Keragaman ini merupakan sebuah potensi terjadinya konflik, bila tidak di kelola dengan baik. Sehingga pembangunan kesadaran akan keragaman etnis menjadi tanggung jawab kita bersama. 6. Keragaman Kemampuan Manusia diciptakan di di dunia ini dengan keterbatasan-keterbatasan yang relatif. Keterbatasan pada seseorang, belum tentu dimiliki oleh orang lain, dan sebaliknya. Di sini manusia diciptakan dengan perbedaan kemampuan yang di milikinya. Perbedaan kemampuan atau diffable bukan suatu alasan bagi kita untuk membeda-bedakan antar sesama manuasia, meskipun pada orang yang mempunyai perbedaan kemampun. Keragaman Umur Perbedan umur adalah sebuah konsekuensi dari kemajemukan manusia. Karena manusia huidup , tumbuh dan berkembang memerlukan proses dan durasi waktu. Akumulasi dari proses sampai kurun waktu tertentu inilah yang kemudian disebut umur.

4.

5.

7.

Perbedaan umur melahirkan keragaman pengalaman, yang berdampak perbedaan dalam pemahaman, sikap dan prilakunya. Perbedaan ini tak jarang menimbulkan kesalah pahaman, yang sering berakhir dengan konflik. Kedangkalan kesadaran akan keragaman umur di sisi lain juga berpotensi menimbulkan diskriminasi. Disinilah urgensi dari kesadaran multikultural dalam aspek umur atau usia. D. Tujuan Pendidikan Multikultural Untuk mampu memahami tujuan Pendidikan Multikultural secara komprehensif, terlebih dahulu penulis paparkan beberapa pendapat tentang tujuan Pendidikan multikulural. Menurut Ainurrofiq Dawam, pendidikan multikultural setidaknya mempunyai enam tujuan (Ainurrofiq Dawam,2003:104), yaitu orientasi kemanusiaan, orientasi kebersamaan, orientasi kesejahteraan, orientasi proporsional, orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas dan orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. Sedangkan menurut Prof.Bennett dalam H.A.R. Tilaar (Tilaar, 2003:171), menyebutkan bahwa tujuan pendidikan multikultural yaitu: 1. Mengembangkan perspektif sejarah (etnohistorisitas) yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat. 2. Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat. 3. Memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di masyarakat. 4. Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice ) 5. Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi. 6. Mengembangkan ketrampilan aksi sosial ( social action ) Dari keenam point tersebut secara jelas sudah dapat dipahami dan harus mulai ditanamkan kepada masyarakat Indonesia berkenaan dengan kesadaraan atas keberagaman yang sudah menjadi kenyataan sejarah hidup yang tidak bisa dihindari atau diseragamkan, melainkan sebaliknya harus ada aksi-aksi untuk mengembangkan potensipotensi keanekaragaman tersebut dengan memberikan jaminan untuk berekspresi, berkreasi, dan berinovasi tanpa melupakan prinsip-prinsip toleransi. Ainul Yaqin dalam bukunya Pendidikan Multikultural, menyatakan Pendidikan Multikultural mempunyai dua tujuan. Yakni tujuan awal dan tujuan akhir (Ainul Yaqin, 2005:26). Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa. Harapannya adalah ketika mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik, maka mereka tidak hanya mampu membangun kecakapan dann keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan, tetapi juga mampu menjadi transformator pendidikan multikultural yang menanamkan nilai-nili pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya. Sedangkan tujuan akhirnya adalah bahwa peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran, tapi yang lebih penting, peseta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap dan berprilaku humanis, pluralis dan

demokratis. Hingga akhirnya apa yang menjadi cita-cita bersama, yakni kehidupan bersama secara damai dan toleran akan mampu terwujud. Muhammad Ali (Kompas, 2002)menjelaskan bahwa pendidikan multikultural mempunyai tujuan untuk melalukan proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, sehingga mampu melakukan upaya yang komperhensif untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan multikultural ini adalah adanya toleransi. E. Dasar Pendidikan Multikultural Islam pada dasarnya adalah agama yang toleran. Lewat beberapa teks nya Islam menagandaikan tatanan sosial masyarakat yang damai dan berkeadilan, dalam kerangka keragaman dan perbedaan. Dalam konteks pendidikan, Islam memberikan semangat untuk belajar kapan saja , dimana saja dan dari mana saja. Pendidikan multikultural bagi islam adalah bagian kecil dari konsep pendidikan yang ada. Toh begitu, Islam memandang bahwa segala ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah sangat penting. Sebagai bagian dari pendidikan iaslam, pendidikan multikultural mempunyai dasar yang kuat, baik secar tekstual, kontekstual maupun institusional. Berikut ini beberapa dasar tentang pendidikan multikultural :

1. Al-Quran dan Al-Hadits Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (education for all), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (long life education). a. Surat Al-Maidah ayat 8 Bahwa pendidikan harus memperlakukan semua anak didik secara adil, tidak ada semacam pilih kasih. Ketidak seimbangan pendidik terhadap anak didik tidak boleh menghambat untuk berlaku adil. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan ( Al-Maidah ayat 8).

b. Surat Al-Hujurat ayat 13 Bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar supaya dapat saling mengenal, dan diharapkan dari hal itu dapat terjalin interaksi yang baik, dan dapat menjadi prasyarat untuk dapat saling menghormati dan menghargai orang lain. Artinya:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mengenal (Al-Hujurat ayat 13).

c. Hadis tentang wajib menuntut ilmu. Artinya: Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, laki-laki dan perempuan.(H.R. Abdil Darr) Hadis tersebut mencerminkan bahwa di dalam Islam terdapat prinsip bahwa pendidikan harus disebarluaskan ke segenap lapisan masyarakat secara adil dan merata sesuai dengan disparitas yang ada atau sesuai dengan kondisi jumlah penduduk yang harus dilayani. 2. Dasar pendidikan multikultural dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pendidikan multikultural di Indonesia bertujuan untuk membina pribadipribadi Indonesia yang mempunyai kebudayaan sukunya masing-masing, memelihara dan mengembangkannya serta sekaligus membangun bangsa Indonesia dengan kebudayaan bangsa Indonesia sebagaimana yang di amanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. a. Pasal 31 UUD 1945, ayat 1 Ayat (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran b. Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. c. UU No. 2 Tahun 1989. Pasal (5); Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Pasal (7); Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan di selenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.

F. Penutup Pendidikan multikultural diupayakan untuk membangun sikap multikulturalime bagi peserta didik. Kesadaran akan perbedaan akan melahirkan sikap toleran, saling menghargai dan tolong menolong. Perbedaan antar individu bukan lagi menjadi alasan perpecahan dan konflik. Sehingga dunia yang damai dan ramah akan mampu terbangun bersama, dan disinilah misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan mampu terwujud.

G. Daftar Pustaka Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah, Inspeal, Yogyakarta, 2003 Azumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1998. Bikhu Parekh Dan Pendidikan Multikultural dalam www.india-seminar.com H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan, IndonesiaTera, Magelang, 2003 ___________, Multikulturalisme, PT Grasindo , Jakarta, 2004. ___________, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta , Jakarta, 2000. Jalaluddin Abdurrahman, Jamius Saghir, Bina Ilmu, Surabaya, 1995 Lihat www. MSPI.online M. Ainul Yaqin, Pendidikan multikultural : Cross-cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta, 2005. Mansour Fakih et, al, Pendidikan popular, Read book, Yogyakarta, 1999. Muhaimin El Mahadi, Multikulturalisme dan Pendidikan multikultural dalam http: // www.artikel.us/muhaimin6-04.html Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,Ciputat Pers, Jakarta, 2002. Wiliam A. Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire,Terj. Agung Prihantoro., Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama berwawasan Multikultural, Erlangga, Jakarta, 2005.

MENGGAGAS PRINSIP PRIMORDIAL RELIGION DALAM MEMANIFESTASIKAN PERENIALISME AJARAN ISLAM Oleh: Masudi, S.Fil.I., M.A. SARI Inti dari pandangan perenialisme adalah bahwa pada hakekatnya terdapat kebenaran dalam seluruh agama. Hakekat inilah yang disebut dengan inner metaphysical truth of religion (kebenaran metafisis batiniah agama) di dalam kamus peristilahan Islam disebut al-Din al-hanifprimordial religion. Kebenaran primordial ini selalu hadir sepanjang sejarah, berlaku abadi. Dengan kata lain, terdapat persatuan prinsip hakikat keilahian sebelum terjadinya keragaman. Doktrin al-Tauhid dalam Islam memberikan sumbangan besar kepada pemersatuan umat karena wahyu sendiri mengutamakan integrasi atau keterpaduan. Tuhan adalah Satu dan begitulah manusia, yang dicipta menurut GambaranNya, harus berpadu dan menyatu. Tujuan kehidupan beragama dan kerohanian, haruslah membangun visi keterpaduan yang sempurna dan menyeluruh dalam diri manusia dengan segala kedalaman dan keluasannya. Berkaitan dengan dimensi perenial, dapat dicermati bahwa cita-cita Islam dengan konsep al-Tauhid membawa manusia, dalam pluralitasnya yang telah jauh dari dimensi ruhaniah Tuhan, untuk kembali mengajak mereka kembali kepada pusat hidupnya yaitu Tuhan. Kedamaian adalah buah dari keseimbangan dan keselarasan yang hanya mungkin dicapai melalui keterpaduan dengan mengamalkan al-Tauhid. Bertoleransi dalam segala perbedaan sebagai hukum Tuhan (sunnatullah) adalah ajakan yang senantiasa disuarakan oleh semua agama. Implikasi sosial dimensi perenial dalam Islam mengajak segenap kaum Muslim untuk kembali kepada al-Quran dan al-Hadits sebagai akar pokok berdirinya suatu tradisi. Kata Kunci : Perenialisme, perenial, primordial religion, tauhid, sufisme Dinamika Kehidupan Modern Abad pertengahan sebagai abad kebangkitan Barat dengan tradisinya Renaissance90, telah menumbuhkan kemampuan manusia untuk melihat eksistensinya sebagai makhluk yang sanggup mencapai keunggulan dalam kehidupan. Cogito Ergo Sum91 (saya berfikir maka saya ada) sebagai embrio kemandirian renaissance di Barat, yakni paradigma falsafi pada permulaan abad pertengahan telah menggiring manusia untuk lebih mendudukkan dirinya sebagai sumber dari perputaran jalannya kehidupan. Dari abad inilah manusia Barat mulai mengembangkan dirinya sehingga mencapai suatu zaman yang gemilang yaitu zaman pencerahan Aufklarung. Paradigma antropologi menjadi inti dari beragam pembahasan dalam semua bidang, manusia adalah sentral dari semua perbincangan yang diperdebatkan. Manusia menduduki derajat tertinggi dan
Renaissance, kata Perancis ini berarti kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Dalam bahasa Inggris renaissance dari bahasa Perancis re (lagi, kembali) naissance (kelahiran). Dalam bahasa Latin nascentia, nascor, natus (kelahiran, lahir, dilahirkan). Peristilahannya dinisbatkan kepada suatu zaman orang dilahirkan kembali dalam keadaban. Dalam kelahirannya orang-orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Renaissance juga berarti zaman yang menekankan otonomi kedaulatan manusia dalam berfikir untuk mengadakan eksplorasi, eksperimen, dalam mengembangkan seni, sastra, dan ilmu pengetahuan di Eropa. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 953-954. Cogito Ergo Sum (bahasa Latin, saya berfikir, karena itu saya ada) pernyataan Descartes tentang intuisi yang sekilas, pasti, dan tak diragukan, yang di dalamnya dia mengenal dirinya dengan jelas dan tajam sebagai RES COGITANS (sesuatu atau diri yang berfikir). Dia tidak bisa meragukan bahwa dia berfikir (daru), karena dalam tindak meragukan itu sendiri dia membuktikan bahwa tindakan berfikir (meragukan) itu benar. Lihat, Romo Philipus Tule, SVD., ed., Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 52-53.
91 90

memegang kekuasaan penuh untuk mengendalikan alam, konsepnya adalah dengan melihat sejauh mana peran serta manusia di dalam menjadi manusia modern yang unggul. Keunggulan yang dicapai oleh manusia modern dengan bermacam-macam penemuan yang mereka temukan dalam dekade terakhir tidak lagi menempati keunggulannya kembali. Seperti diketahui, paradigma CartesianNewtonian yang mekanistik itu kini sedang mengalami keruntuhan karena mendapat pukulan bertubi-tubi. Pukulan-pukulan pertama terjadi ketika diketemukannya teori relativitas Einstien dan teori kuantum di paruh pertama abab ke-20. Pukulan kedua muncul ketika teori kompleksitas dikembangkan semenjak paruh kedua abad yang sama hingga awal abad ke21 ini (Mahzar, 2003 : 1). Runtuhnya teori Cartesian-Newtonian disebabkan oleh ditemukannya teori relativitas. Dari teori ini diketahui bahwa ruang dan waktu itu relatif terhadap kecepatan pengamat. Padahal, menurut teori mekanika Newton, ruang dan waktu itu objektif dan mutlak. Sementara itu dengan ditemukannya teori kuantum diketahui pula bahwa sesuatu itu merupakan gelombang atau partikel sekaligus, unsur-unsur yang diamati tergantung pada alat yang digunakan pengamat. Padahal menurut pandangan Newtonian gelombang dan partikel itu adalah dua predikat yang secara logika Aristotelian bertentangan satu sama lainnya (Mahzar, 2003 : 2). Sementara itu, teori kompleksitas meruntuhkan paradigma materialis mekanistik dari sisi lain. Meskipun teori kuantum relativistik meruntuhkan pandangan mekanika Newtonian dalam tataran mikroskopik, namun dalam tataran benda-benda seukuran manusia, yang disebut tataran makroskopik, mekanika Newton tetap berlaku. Misalnya, roket, yang berhasil sampai di bulan, dihitung dengan tepat berdasarkan mekanika klasik. Namun, akhir-akhir ini ditemukan bahwa pandangan mekanistik yang linear itu ternyata menyesatkan (Mahzar, 2003 : 5). Teori kompleksitas dan chaos menunjukkan bahwa realitas, pada tataran makroskopik sekalipun mempunyai keterkaitan kausal yang berbalik-balik dan tidak linear. Dalam fenomena chaos ini, masa depan suatu sistem tak mungkin diramalkan secara pasti, meskipun diketahui mekanika unsur-unsurnya. Dengan demikian pandangan mekanistik Newtonian kurang popularitasnya, terutama jika menyangkut sistem kompleks seperti makhluk hidup, manusia dan budayanya. Dilematika yang terjadi pada manusia modern pada dekade terakhir ini telah membawa mereka untuk bersikap individualis serta eksklusif dan tidak membuka diri akan keberadaan sesamanya. Di lain pihak realitas sosial membuktikan adanya kesinambungan sebab dan akibat dalam penciptaan hukum-hukum alamiah dari dasar penciptaan manusia. Berbagai asumsi akan kesamaan penciptaan dan proses hidup dalam realitas alamiah manusia membuktikan adanya suatu sikap keterpaduan yang terdapat dalam proses hidup ini, yaitu hidup yang abadi, sejati, atau dalam realitas kontemporer ini dikenal dengan istilah perennial. Perenialisme dalam Pandangan Para Ahli Dimensi perenial sebagai unsur-unsur keabadian dalam kehidupan adalah manifestasi dari hidup yang esoteris untuk mencapai dimensi transendental. Philosophia perennis sebagai suatu paradigma keabadian merupakan aliran dalam filsafat yang dipopulerkan oleh Neoskolastik dan berawal mula dari buku yang ditulis oleh Agustinus Steuchus (1496-1548), uskup Kissamos di Kreta. Dalam tulisannya yang berjudul De Perenni Philosophia (1540), ia menyatakan bahwa ada harmoni dasariah antara (a) pikiran orang-orang Kristiani pengikut Plato seperti Marsilio Ficino (1433-1494) dengan (b) filsafat klasik kuno. Selanjutnya penulis lain seperti Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) mengembangkan tesis ini dan mempertahankan adanya kesatuan dasar dalam sejarah pemikiran Barat. Aldous Huxley (1894-1963) menggunakan filsafat perenial dalam arti yang lebih luas dan menyatakan bahwa tradisi-tradisi keagamaan yang besar mempunyai

kebijaksanaan kuno yang sama (Gerald OCollins, S. J., dan Edward G. Farrugia, 1996 : 82). Kelangsungan dimensi perenial mempunyai nilai keabadian yang senantiasa dapat ditemukan di setiap tempat dan keadaan. Kelangsungannya disebabkan oleh realitas perenial sebagai realitas mendasar yang akan ada serta dipergunakan kapan saja. Pemahaman akan nilai keesaan Tuhan sebagai Penyebab utama terjadinya semua proses kehidupan adalah dimensi utama yang menjadi penekanan setiap agama bagi pengokohan keimanan umatnya. Nilai ketakwaan dan penghambaan terhadap Tuhan adalah nilai utama yang dapat dijadikan tolak ukur keberagamaan umat. Oleh karena itu, dalam perkembangan budayanya yang terkini setiap pemeluk agama tidak dapat mengkategorisasikan dirinya sebagai orang terdekat dengan Tuhan dalam beragama dan mengingkari atas prilaku orang lain yang tidak sejalan dengan pemahamannya. Konsep utama yang harus mereka perangi adalah kebutaan seseorang akan keberadaan-Nya (Gerald OCollins, S. J., dan Edward G. Farrugia, 1996 : 82). Sebagai salah satu contoh untuk menemukan dimensi perenial dalam agama, Islam menghadirkan dimensi tersebut dari pewahyuannya. Dimensi perenial dalam Islam menjadi semakin jelas ketika dilihat dari sejarah kedatangannya. Realitas Islam terlahir bukan didasarkan pada pribadi penyebarnya, melainkan pada Tuhan. Muhammad hanyalah orang yang terpilih untuk menyampaikan petunjuk-Nya. Karena itu akan lebih sesuai untuk menyebut Islam sebagai Allahisme (agama yang dinisbatkan kepada Allah sebagai pembawanya) daripada Mohammadanisme (agama yang dibawa oleh Muhammad sebagai utusan-Nya). Tuhan adalah pusat dari segalanya di dalam Islam, peranan Muhammad di dalam Islam serta Kristus di dalam Kristen sangat jauh berbeda. Islam melakukan legislasi atas manusia sebagai adanya, dengan semua kemungkinan yang terkandung di dalam dirinya (OCollins, S. J., dan G. Farrugia, 1996 : 83). Kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki oleh manusia di dalam beragam Islam mendudukkan manusia dalam suatu posisi yang sejajar antara yang satu dan lainnya. Kesejajaran ini menjadikan ajaran yang terdapat dalam Islam mempunyai tempat yang aktual serta perenial. Dimensi perenial Islam sebagai sandaran yang senantiasa akan menjadi sumber pokok dalam keseharian hidup manusia di dunia adalah kesejatian yang memiliki nilai universal untuk semua bentuk ajaran umat di dunia. Kesejatian ini dapat dilihat dari aktivitas kaum perenialis atas kajian mereka yang memasukkan doktrin tentang al-tauhid dalam agama Islam sebagai ruang lingkup kajiannya. Doktrin tentang tauhid dalam Islam, menurut pendukung perenialis, ternyata tidak secara eksklusif esensi pesannya hanya milik Islam, melainkan terlebih merupakan hatinya setiap agama. Konsep pewahyuan dalam Islam dimaknai sebagai penegasan mengenai doktrin tentang tauhid, dan oleh karenanya, dalam setiap agama, doktrin tentang tauhid akan ditemukan (Hidayat dan Nafis, 2003 : 58). Keesaan sebagai wujud tertinggi dari semua landasan keberagamaan umat manusia dimiliki sepenuhnya oleh Islam. Keesaan Tuhan (al-Tawhid) sebagai manifestasi dari unsurunsur keberagamaan umat manusia menggiring mereka untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan yang identik dengan kesejahteraan, ketentraman, dan kebahagiaan. Dalam Islam inti dari kesejahteraan tergambarkan dari millah92 Ibrahim. Dikatakan bahwa, Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau Kristen, tapi seorang hanif (suci) dan pasrah kepada Allah (muslim); ia tidak termasuk orang-orang yang memberi sekutu kepada Allah (Q.S. al-Maidah 3 : 67). Keberagamaan yang pasrah (Islam, secara generik) menjadi
Millah, jalan atau Syariat dalam agama. Baca, Abu Yasui Bulis, Al-Munjid fi al-Lughah wa alAlam (Beirut, Dar Masyriq, 1986), hlm. 771.
92

dasar dari iman Islam, dan menjadi ukuran universal atas pandangan agama-agama lain secara Islam par exellence, agama Islam itu sendiri (Hidayat dan Nafis, 2003 : 58). Kesetaraan akan akumulasi nilai-nilai keberagamaan yang tercermin dari Islam sebagai agama yang hanif memunculkan suatu landasan perenial (abadi) dari Islam itu sendiri. Keabadiannya termanifestasikan dari tingginya harapan kesejahteraan dan ketentraman manusia dalam kehidupannya di dunia. Dalam kepasrahan ini pula Islam mengajarkan beberapa macam jalan yang ditujukan untuk mereka yang ingin mencapai ketentraman dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat nantinya.

Perenialisme Islam Islam adalah jalan tengah dalam segala hal, baik dalam hal konsep, akidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia maupun dalam perundang-undangan (Qardhawi, 2001 : 12). Sikap tengah merupakan salah satu ciri khas Islam. Ia merupakan salah satu di antara tonggak-tonggak utamanya, yang dengannya Allah SWT membedakan umat-Nya dari yang lain. Dan demikianlah, Kami telah menjadikan kamu, bangsa tengah (middle nation) agar kalian menjadi saksi atas seluruh manusia dan komunitas dunia (QS Al-Baqarah [2]: 143). Gagasan jalan tengah merupakan konsep kunci untuk memahami sifat dan identitas peradaban Islam (Bakar, 2003 : 5), suatu peradaban yang mencerminkan suatu jembatan peradaban manusia antara Barat dan Timur. Peradaban Islam di sini dapat diketemukan dalam sifat keagamaannya yang khas dan juga doktrin-doktrin dan perspektifnya yang universal. Sumber pokok untuk melihat universalitas dalam Islam ini adalah dengan memahami makna perkataan islam itu sendiri (Madjid, 1992 : 426). Islam atau lebih tepatnya sebagai istilah dengan makna generiknya, al-islam, ialah sikap tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang meliputi seluruh alam semesta (Madjid, 2004 : 41). Sebagaimana diketahui, al-Quran diturunkan bukanlah untuk menjadi suatu kitab yang dimaksudkan untuk memaparkan teori-teori ilmiah kepada manusia. Alih-alih, tujuan utama diturunkannya al-Quran adalah untuk mengajak manusia meyakini kebesaran, keagungan, dan keesaan Tuhan, serta mendorong seluruh manusia untuk melakukan observasi dan penelitian yang dibarengi dengan penyucian jiwa guna mencapai kemapanan iman akan keagungan-Nya (Shihab, 1999 : 247). Dalam pandangan Islam seorang manusia yang perangai batiniahnya menuruti atau selaras dengan tatanan makrokosmik, dipandang telah mencapai keseimbangannya dengan yang Nyata. Apabila hubungan-hubungan batin itu tidak mengikuti tatanan ini, orang tersebut ada di luar keseimbangannya dengan Tuhan dan Kosmos (Murata, 2004 : 328). Kesejatian yang terdapat dalam Islam membawa manusia untuk senantiasa berada dalam naungan Tuhan, tentu saja dari sudut pandang tertentu, segala sesuatu berada dalam tatanan sempurna, meskipun ia berada di luar keseimbangan. Tuhan telah mengeluarkan perintah Jadilah! dan segala sesuatu muncul di tempat-tempat mereka semestinya. Tradisi menyebut perintah khusus ini perintah kemunculan (al-amr altakwin). Melalui perkataan Jadilah! Tuhan memunculkan segala sesuatu. Inilah nafas Yang Maha Pengasih melalui mana tuhan mengucapkan setiap firman yang mungkin (ibid). Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Islam menyebar ke seluruh dunia bagaikan kilat berkat substansinya, dan penyebarannya terhenti di karenakan bentuknya. Substansi mempunyai hak-hak yang tidak terbatas, sebab ia lahir dari Yang Mutlak, sedangkan bentuk adalah relatif, dan karena itu hak-haknya terbatas. Dari

keterbatasan inilah bentuk dalam agama memberikan dampak yang kurang baik kepada pemersatuan kebenaran agama, sementara dimensi teratas dari agama itu sendiri adalah Yang Transenden, Yang Tunggal dan tidak terbagi-bagi. Dalam menanggapi suatu keabadian yang terdapat dalam Islam, Islam mentoleransi adanya perbedaan dalam kultur manusia. Akan tetapi, dari adanya perbedaan ini manusia dalam nilai-nilainya yang suci memiliki suatu kesinambungan dengan hukumhukum Tuhan. Iqbal93 menggambarkan kesatuan diri manusia dengan Tuhan menjamin adanya kesatuan pikiran dan intuisi, kesatuan pikiran dan wujud. Dalam dimensi ini Iqbal menegaskan bahwasannya signifikansi pembedaan antara spiritual dan sekular, Tuhan dan manusia, lenyap dalam suatu fakta bahwa Tuhan sendiri adalah bagian dari keabadian itu (D. Lee, 2000 : 75). Pengakuan akan Kemaha Esaan Tuhan dan Kemaha Kuasaan Tuhan atas alam raya adalah suatu tatanan teratas yang harus dimiliki oleh manusia. Bagi Iqbal, monoteisme94 merupakan prasarana dan pendamping tidak terelakkan bagi suatu dunia dengan beragam dirinya yang unik. Kenabian Muhammad menyatukan orang-orang beriman dalam suatu organisasi sosial dan politik yang konkret dan memberikan perlindungan dari ancaman apa pun terhadap kesatuan komunitas (D. Lee, 2000 : 76). Kesatuan dalam suatu kesejatian yang abadi adalah pemersatu dari adanya keragaman hidup di bumi. Sejarah manusia baik di Timur maupun di Barat, hanyalah cerita perebutan akan suatu kekuasaan yang sifatnya temporal belaka dan seringkali mengakibatkan pertengkaran yang tiada akhir. Iqbal mengibaratkan bumi ini dalam nilai esensialnya sebagai kemuliaan yang tinggi, tertampung di dalamnya bermacam-macam makhluk dari berbagai suku, ras, bangsa yang berbeda-beda pula. Akhir dari keabadian alam ini akan kembali ke sisi-Nya di mana tidak ada manusia satupun yang akan memilikinya kecuali Tuhan (Iqbal, 1987 : 36). Kesejatian yang ditanamkan oleh Tuhan kepada manusia dengan ajakan kepada nilai patuh, tunduk, dan pasrah akan segala kekuasan-Nya, mengesampingkan dan melampaui segala tingkat dan derajat manusia di sisi Tuhan. Manusia dalam realitasnya tidak lain adalah pelestari atas kehidupan di alam raya ini. Secara tidak langsung mereka telah dipasrahkan oleh Tuhan dengan kekuasaan untuk memeliharanya. Dari amanat yang dipasrahkan oleh Tuhan ini kepada manusia akan terlihat bahwasannya manusia dalam kesejatiannya adalah mereka yang senantiasa mengingat segala kekuasan, undang-undang, adat-istiadat, dan segala hukum yang datangnya dari Tuhan (Iqbal, 1987 : 36). Keberadaan manusia sebagai bayangan Tuhan tidak lain adalah penyeimbang dari keberadaan Tuhan itu sendiri, dari sanalah maksud dan tujuan Islam digambarkan dengan suatu tujuan untuk menggabungkan makna dari Yang Mutlak dengan sifat keseimbangan, gagasan bahwa Yang Mutlak menguasai keseimbangan, dan perwujudan keseimbangan
Iqbal adalah seorang penyair dan penulis religius-politik asal India-Pakistan. Filosof-penyair Islam dan Pakistan ini lahir pada 9 November 1877 di Sialkot, kota perbatasan Punjab. Kakek Iqbal, Syaikh Muhammad Rafiq, meninggalkan desa kelahirannya, Looehar, di Kashmir tidak lama setelah 1857, sebagai bagian dari migrasi besar-besaran kaum Muslim Kashmir yang melarikan diri dari penindasan brutal penguasa Hindu Dogra dukungan Inggris di Kashmir pada 1846. walaupn keluarganya tak pernah kembali ke Kashmir, kenangan akan tanah dan penduduknya tidak pernah terhapus dari benak Iqbal. Dia tetap berdedikasi pada prinsip penentuan nasib senddiri bagi rakyat Kashmir. Baca, John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj., Eva Y. N., et. al., (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 321. Monoteisme, berasal dari bahasa Yunani satu Allah. Iman akan satu (dan satu-satunya) Allah yang pribadi, Mahakuasa, Mahatahu, Mahacinta, adalah Pencipta dan Tuhan bagi semua orang dan segala sesuatu. Yang berada sebagai Yang Lain dan mengatasi seluruh jagat raya. Baca, Gerald OCollins, S. J. dan Edward G. Farrugia, S. J., Kamus Teologi, hlm. 206.
94 93

demi Yang Mutlak. Hal ini dapat pula dinyatakan dalam suatu landasan, jika manusia yang diciptakan menurut rupa Allah itu berbeda dari makhluk-makhluk lainnya karena ia memiliki intelegensi yang transenden, kebebasan berkehendak dan kemampuan berkatakata, maka sesuai dengan urutan ketiga sifat tersebut Islam adalah agama kepastian dan shalat (Schuon, 1994 : 6). Secara tidak langsung dari tiga asas dasar dalam Islam dapat diketemukan di dalamnya unsur tritunggal yaitu: al-iman (keyakinan), al-islam (hukum; secara harfiah berarti ketaklukan) dan al-ihsan (jalan; secara harfiah berarti kebajikan). Cara yang esensial dari unsur yang ketiga di atas adalah mengingat Allah yang diaktualisasikan melalui kata-kata berdasarkan unsur yang pertama dan kedua. Dari sudut pandangan metafisis al-iman adalah kepastian mengenai Yang Mutlak dan ketergantungan segala sesuatu kepada Yang Mutlak; al-islamdan Nabi Muhammad karena ia merupakan personifikasi Islamadalah ekuilibrium dengan Yang mutlak sesuai dengan terma-terma Yang Mutlak; dan terakhir sekali al-ihsan mengembalikan al-iman dan al-islam kepada esensi-esensinya melalui kemakbulan kata-kata suci karena kata-kata suci ini adalah sarana bagi intelegensi dan kehendak (Schuon, 1994 : 6). Manusia dalam wujudnya sebagai makhluk harus memposisikan dirinya sebagai suatu ciptaan guna mengabdi kepada Penciptanya. Sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah) dan panggung di mana nama-nama serta sifat-sifat Tuhan dipertunjukkan, manusia bisa mencapai kebahagiaan hanya dengan tetap memegang teguh kodratnya ini atau dengan menjadi dirinya secara sungguh-sungguh (Nasr, 2002 : 37). Manusia diberkahi hadiah intelegensi berharga yang memungkinkannya mengenal realitas tertinggi sebagai Yang Transenden, dan alam objektif sebagai realitas khusus pada tingkatannya sendiri, dan Realitas Tertinggi sebagai Diri yang Imanen dan Tertinggi yang mendasari semua selubung subjektivitas dan berbagai diri atau lapisan kesadaran dalam dirinya. Pengetahuan dapat mencapai Yang Sakral yang melampaui subjek yang mengetahuinya dan di hati subjek ini, karena pada akhirnya Realitas Tertinggi sebagai Yang Sakral itu adalah yang mengetahui dan diketahui, kesadaran batin dan realitas luar, Subjek imanen murni dan Objek Transenden, Diri Tak Berhingga hingga Wujud Mutlak yang tidak keluar dari Wujud. Dalam masyarakat tradisional yang tidak pernah terlepas dari keyakinan mereka akan adanya Tuhan serta senantiasa melestarikan tradisi suci agama, Tuhan tidak selesai sebagai sesuatu yang hanya harus disembah, melainkan juga harus menjadi contoh bagi segala aktivitas umat manusia di bumi profan ini. Karenanya segala perilaku dan apa saja yang dibangun dan diciptakan oleh manusia merupakan tiruan dari alam Tuhan yang sakral (Hidayat dan Gaus AF, ed., 2001 : 82). Gambaran ini dapat dilihat dari realitas manusia primitif yang melihat dirinya sebagai salah satu dari subjek-subjek yang banyak jumlahnya di mana dunia itu berdiri, lebih menjadikan langkah-langkah hidupnya sebagai penyatuan dengan dunia. Manusia primitif tidak membeda-bedakan lapangan hidup keagamaan dengan lapangan hidup duniawi. Hidup adalah satu keutuhan dan oleh karenanya segala hal itu dimasukkan dalam bidang keagamaan (Honig Jr, 2000 : 14). Keutuhan ini tidak lain adalah keyakinan manusia primitif akan sesuatu yang Sakral dari Yang Absolut. Bagi mereka, hal keagamaan itu bukan suatu lapangan yang terpisah dari dalam hidupnya, bagi mereka kebutuhan hidup adalah dimensi abadi dari kekuasaan Yang Absolut itu sendiri (ibid., 15). Perenialisme Ajaran Islam Manifestasi Inner Metaphysical Truth of Religion (Kebenaran Metafisis Batiniah Agama) Islam dalam perkembangannya telah memberikan kontribusi signifikan dalam kehidupan beragama umat manusia. Keberagaman ini termanifestasikan dari makna Islam, dalam makna generiknya sebagai sikap pasrah manusia kepada Tuhan. Keesaan Tuhan dan

segala keagungan-Nya adalah bukti yang tidak dapat dibantah oleh manusia. Manusia dituntut untuk senantiasa mengakui dan mengagungkan keesaan-Nya serta mengabdi dan menjalankan perintah-Nya. Di dalam mengutip tentang konsep perenial dalam konteks genesis agama (Islam), dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan beberapa corridor penting kepada pengikutnya sehingga dapat diwujudkan menjadi pedoman keberagamaannya. Di antara konsepsi tersebut adalah: 1) Tauhid Konsep al-Tauhid (Keesaan Tuhan). Konsep al-Tauhid sebagai inti dari ajaran Islam adalah kenyataan yang terdapat dalam setiap jantung ajaran agama lain. Salah satu konsep perenial dalam Islam terdapat dalam konsep al-Tauhid (Keesaan Tuhan). Dari konsep inilah Islam senantiasa menyatakan dirinya dalam perwujudan untuk kembali kepada agama asli, atau pernyataan kembali kepada ajaran al-Tauhid yang selalu ada dalam setiap perputaran sejarah kehidupan manusia. Itulah sebabnya mengapa ia disebut sebagai agama yang suci (al-Din al-Hanif) yang muncul pada akhir lingkaran sejarah kemanusiaan untuk menyatakan kembali kepada kebenaran hakiki tradisi purba. Ia mirip dengan Sanata Dharma dalam agama Hindu. Doktrin Keesaan Tuhan yang ditegaskan al-Quran tidak semata-mata menekankan transendensi mutlak atau keterpisahan total Tuhan dari manusia. Walaupun terdapat eksperesi untuk menggambarkan kenyataan kebesaran Tuhan ini seperti Allah Akbar, biasa diterjemahkan dengan Allah Maha Besar, tetapi kalimat ini bermakna bahwa Tuhan lebih besar daripada segala yang dapat dipikirkan dan dibayangkan oleh manusia tentang Dia. Ini juga diakui oleh teologi apopathic (penolakan) dalam agama Katolik dan Gereja Ortodoks serta agama Yahudi tradisional (Nasr, 2003 : 6). Kesucian dari doktrin ini adalah suatu bukti bahwa semua agama mengisyaratkan semua tujuannya kepada Realitas Yang Absolut dalam segala bidang kehidupan manusia manapun. Ajaran Islam, dengan demikian, tidak lain adalah penerimaan akan Tuhan sebagai Yang Satu (al-Ahad) dan penyerahan diri kepada-Nya (taslim), yang menghasilkan perdamaian (salam) (Nasr, 2003 : 3). Untuk itulah dapat dicermati dalam Islam termuat petunjuk yang ditanamkan sebagai benih di dalam hati manusia, manusia adalah wadah bagi benih itu. Manusia tidak dapat memecahkan wadah itu, ia hanya dapat membersihkannya agar wadah itu pantas menerima benih yang diberikan Tuhan kepadanya (Nasr, 1983 : 20). 2) Tradisi Selanjutnya, bagian dari dimensi perenial dalam Islam terdapat dalam tradisi. Tradisi adalah pohon tunggal wahyu Ilahi yang akar-akarnya adalah al-Quran dan al-Hadits, sedangkan batang dan cabang-cabangnya membentuk tubuh tradisi tersebut selama lebih dari empat belas abad di hampir setiap penjuru dunia. Semua peradaban masyarakat Timur, meskipun bentuknya berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi masing-masing dapat dipersandingkan. Hal ini bisa terjadi, karena keseluruhannya adalah representasi dari karakteristik tradisional di mana masing-masing tradisi memiliki eksperesi nilai klasik dan nilai eksoterik. Akan tetapi dimana pun tradisi itu berada, dalam esensinya memiliki kesamaan tujuan dan satu kesepakatan prinsip di dalamnya (Guenon, 1995 : 214). Dalam pembahasan tentang tradisi, pembahasan yang senantiasa menjadi penekanannya adalah memasukkan prinsip-prinsip yang mengikat manusia ke surga. Atas landasan inilah agama dapat dilihat dari sudut pandang yang suci. Sudut pandang ini tidak lain adalah manifestasi dari nilai-nilai esensial yang dinampakkan oleh Tuhan untuk membawa manusia kepada permulaannya. Tradisi dalam dimensi ini tidak lain adalah upaya membawa manusia untuk mengetahui nilai-nilai sakral (Nasr, 1997 : 79). Pengakuan atas nilai-nilai sakral dalam dimensi kehidupan manusia sebagai pemersatu atas kekuatan Ilahiah adalah realitas yang senantiasa terdapat dalam semua peradaban

manusia. Dari sanalah dapat dilihat bahwa tradisi mencakup semua karakteristik dan prinsip atau norma yang berbeda dan turun-temurun serta secara substansial memberikan sumbangan bagi unsur-unsur peradaban. Gagasan tentang tradisi bukan sembarangan atau diketemukan, karena menurut kaum perenialis tradisi terkait dengan keberadaan manusia (Aslan, 2004 : 72). Sebagai bukti faktual, esensi tradisi adalah untuk mengembalikan manusia kepada suatu pengertian atas keberadaannya. Kaum perenialis mendefinisikan tradisi sebagai segala yang menghubungkan manusia dengan yang Awal untuk membuat mereka sadar akan Yang Akhir. Setiap manusia wajib menyadari bahwa kedudukan Yang awal dan Yang Akhir adalah sama (Aslan, 72). 3) Sufisme Bagian selanjutnya dimensi perenial dalam Islam terdapat dalam sufisme. Sufisme merupakan sumsum tulang atau dimensi terdalam dari wahyu keislaman. Berangkat dari sufisme inilah upaya yang luhur di mana dimensi al-Tauhid bisa tercapai. Membangun semangat bersama dalam keberagamaan serta belajar untuk mengerti agama orang lain bukan berarti menyamaratakannya dalam satu wadah yang tidak terbataskan. Akan tetapi, dalam wilayah ini, masing-masing agama yang ada serta dianut oleh masing-masing manusia mengandung keistimewaannya sendirisendiri. Dalam dimensi ini dapat ditegaskan bahwa kesatuan agama atau kesamaan agama terjadi hanya pada tingkatan Esensi Tertinggi, yang berdiri di atas semua perbedaan dan keragaman lahiriah kosmik. Di sini keragaman dan kualitas berbagai agama yang berbeda-beda menjadi absah belaka (Ulumul Quran, 1993 : 111). Dalam menemukan dimensi metafisis batiniah agama sebagai pemersatu dalam mencapai tingkatan Esensi Tertinggi sufisme dapat dijadikan sebagai alat Bantu dalam membangkitkan dimensi ini. Penyajian sufisme yang baik akan lebih menghiasi tradisi Islam yang komprehensif. Bahkan sufisme itu sendiri dapat menjelaskan aspek paling universal dan perenial dari Islam (Azra, 2002 : 202). Peran aktif sufisme sebagai bagian dari pelestarian dimensi perenial menjadi jalan manusia di dalam pencarian spiritual dan mistikal bersifat yang berhaluan perenial. Perlu diketahui, bahwa jalan yang ditawarkan dalam sufime merupakan kewajaran dan kebutuhan natural dalam kehidupan manusia secara kolektif (Ulumul Quran, 111). Sebagai salah satu ajaran yang berdimensikan unsur-unsur perenial, tradisi sufisme banyak mengilhami aspek-aspek kehidupan dengan muatan pesan kearifan perenial. Ajaran ini pada intinya ingin membawa manusia kembali pada pusat eksistensinya dengan menjadikan Sophia Perennis sebagai pandangan hidup mereka (Sukidi, 2001 : 20). Dimensi spiritual perjalanan dalam perenial akan membawa manusia untuk terbuka terhadap realitas serta lebih banyak mengerti akan makna sejati dari agama-agama sebagai kesejatian universal, tidak eksklusif, tetapi inklusif; serta tidak dogmatis (Sukidi, 22). Tradisi dalam sufisme memberikan alternatif dalam menjawab nilai-nilai universal agama dengan titik tekan bahwa tradisi sufisme adalah apresiasi ajaranajaran masa lalu yang berakumulasi pada masa kini. Ajaran-ajaran itu, dalam pengkajiannya, dimaksudkan untuk membantu menghidupkan cita-cita agama yang terejawantahkan dalam aktivitas hidup sehari-hari (Chittick, 2002 : 51). Nilai keterbukaan atas semua dimensi kehidupan menjadi lebih harmonis ketika ajaran sufisme menempati tempatnya yang pasti dalam dataran kehidupan ini. Kesimpulan Beberapa konsepsi tentang dimensi perennial di atas menggambarkan bahwa pada tingkat keberagamaan umat, masing-masing dari kepercayaan mereka memiliki dasar konsepsi yang sama. Keesaan Tuhan dalam Islam yang dikenal dalam Islam dengan sebutan al-Tauhid, pengejawantahannya dalam agama Hindu dan Kristen tidak memiliki keberlawanan konsep dasar. Sanatana Dharma sebagai konsepsi suci dalam agama

Hindu memiliki konsep yang tidak berlawanan jauh dari konsep tentang al-Tauhid dalam Islam. Pluralitas agama adalah sebuah keniscayaan yang harus diakui. Keberagamaan masyarakat bertitik pangkal kepada satu dasar yang sama, yaitu mengesakan Tuhan. Dasar pengesaan inilah yang nantinya mewujud sebagai landasan konsepsi dari perenialisme. Sebuah dasar yang menegaskan akan keberlanjutan dari suatu ajaran dalam semua prinsip keagamaan. Prinsip-prinsip ini menjadi aspek primordial dalam agama primordial relegion yang tidak akan habis terkikis oleh perkembangan zaman. Penggagasan tentang prinsip primordial dalam agama primordial religion dalam Islam mengejawantah pada beberapa struktur keagamaan yang telah berjalan seiring kemunculan Islam itu sendiri. Prinsip tentang al-Tauhid menjadi pondasi keberagamaan Islam yang senantiasa mewujud dalam semua struktur kehidupan manusia. Pengakuan seorang manusia dalam syahadat dirinya atas keesaan Tuhan menjadi tolak ukur pangkal kepasrahan dari pengabdiannya kepada Yang Absolut. Aspek berikut pada penggagasan nilai primordial ajaran Islam sebagai espektasi perenialisme di dalamnya adalah tradition tradisi. Mengacu kepada argumentasi Nasr, tradisi sebagai bagian perenialisme Islam bertumpu kepada peneguhan al-Quran dan a-Hadits sumber segala syariat. Al-Quran dan al-Hadits sepenuhnya mengakomodir prinsip-prinsip dasar hidup manusia dari semua perilaku yang bertendensi muamalah maAllah vertikalitas kehidupan manusia dan muamalah maannas aspek horisontal kehidupannya. Sementara itu, pada bagian akhir dari primordial religion primordial agama Islam sebagai investasi dari prinsip perenialisme adalah sufisme. Sufisme adalah konsesi utama atas kemanunggalan prinsip al-Tauhid dalam kehidupan manusia. Dari sufisme, seseorang dapat mencapai tingkatan tertinggi kebertuhanan dan pengakuan dirinya akan keesaan Allah Swt.

DAFTAR PUSTAKA Aslan, Adnan. Menyingkap Kebenaran Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen, terj., Munir. Bandung: Alifya, 2004. Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta: Gramedia, 2002. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002. Bakar, Osman. Islam dan Dialog Peradaban, terj., Imam Khoiri dan Oman Fathurrohman SW. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003. C. Chittick,William. Tasawuf di Mata Kaum Sufi, terj., Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2002. D. Lee, Robert. Mencari Islam Autentik, terj., Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, 2000. Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj., Eva Y. N., et. al., Bandung: Mizan, 2001. Guenon, Rene. East and West, terj., Martin Lings. London, Luzac dan Co. Ltd, 1995. Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, ed.,. Passing Over Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia, 2001. Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Bandung: Mizan, 2003. Honig Jr., A. G. Ilmu Agama, terj., M. D. Koesomosoesastro dan Soegiarto. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 200. Iqbal, Muhammad. Javid Namah: Kitab Keabadian, terj., Mohammad Sadikin. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987. Madjid, Nurcholish. Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2004. _______________. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta; Paramadina, 1992. Mahzar, Armahedi. Melampaui Paradigma Holistik Sintesa Integralisme Islam PostNewtonian, makalah pada seminar filsafat, BEM-J AF, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 Mei 2003. Murata, Sachiko. The Tao of Islam, terj., Rahmani Astuti dan M. S. Nashrullah, Jakarta: Mizan, 2004. Nasr, Seyyed Hossein. Islam dalam Cita dan Fakta, terj., Abdurrahman Wahid dan Hashim Wahid. Jakarta: LAPPENAS. 1983. __________________. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj., Abdul Hadi WM. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002. __________________. Islam Agama, Sejarah, dan Peradaban, terj., Koes Adiwidjajanto. Surabaya: Risalah Gusti, 2003. __________________. Pengetahuan dan Kesucian, terj., Suharsono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. __________________. The Hearts of Islam: Pesan-pesan Universal Islam Kemanusiaan, terj., Nurasiah Faqih Sutan harahap. Bandung: Mizan, 2003. untuk

OCollins, S.J., Gerald dan Edward G. Farrugia, S.J. A Concise Dictionary of Theology, terj., I. Suharyo, Pr. Yogyakarta: Kanisius, 1996. Philipus Tule, SVD., Romo., ed., Kamus Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 52-53. Qardhawi, Yusuf. Membedah Islam Ekstrem terj., Alwi A. M. Bandung: Mizan, 2001.

Schuon, Frithjof. Memahami Islam, terj., Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1994. Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1999. Sukidi. New Age Wisata Spiritual Lintas Agama. Jakarta: Gramedia, 2001. Ulumul Quran, No. 4. Vol. IV, 1993. Yasui Bulis, Abu. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Alam. Beirut, Dar Masyriq, 1986. SEKILAS TENTANG PENULIS Masudi, M.A. lahir sebagai keturunan asli Madura dari pernikahan H. A. Jufri dengan Hj. Radhiah di Sumenep pada, 04 Mei 1984. Studi kesarjanaannya ditempuh pada Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta 2001-2005 mengambil studi Aqidah dan Filsafat. Kelulusannya dari universitas ini diraih dengan predikat cumlaude dan prestasi lainnya sebagai lulusan termuda dan tercepat. Setelah menyelesaikan program kesarjanaannya, penulis meminang salah seorang keturunan Madura pula Muflihah, SS., M.A. asli Pamekasan. Dari pernikahannya ini lahir dua orang anak Muhammad Najah Kamal Masud dan Kenziy Najwalmasud. Bersama istri dan kedua orang anaknya, penulis menyelesaikan studi Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 2006-2008 dalam konsentrasi Antropologi Budaya. Selama empat tahun penulis mengabdikan diri, mengajar di PP. Al-Munawwir Komplek Q Yogyakarta bersama KH. Ahmad Warson Munawwir (Penulis Kamus al-Munawwir). Saat ini, penulis berada pada tugas barunya sebagai dosen pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus. Di samping aktif menulis dan mengajar, beragam karya terjemahan telah dihasilkan dan dipublikasikan. Di antara beberapa karya tersebut adalah Legalitas Poligami Ditinjau dari Sudut Pandang Ajaran Islam, diterbitkan oleh penerbit Sketsa Yogyakarta 2006, Hakhak Anak dalam Islam, diterbitkan oleh Santusta Yogyakarta 2009, dan 3 Pesan Rasulullah SAW dalam Shalat, diterbitkan oleh Santusta Yogyakarta 2009, dan Nasehat untuk Calon Pengantin, diterbitkan oleh Santusta Yogyakarta 2009. Sementara itu, karya terjemah yang akan terbit dalam waktu dekat adalah Doa-doa Maqbul dalam al-Quran dan al-Hadits. Penulis dapat dihubungi melalui email; msd.jufri@gmail.com.

Resensi Buku

Judul Buku

: KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN : FONDASI GENERASI BERMARTABAT

Penulis Kata Pengantar Penerbit Tahun terbit Tebal

: Moh. Rosyid, M.Pd. : Prof. Dr. Daldiyono Hardjodisastro : Idea Press, Yogyakarta : 2009 : 201 halaman

MEMARTABATKAN GENERASI BERBEKAL KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN Resensor: Moh. Rosyid Dosen STAIN Kudus

Sebuah keprihatinan bahwa generasi terdidik jika tidak cerdas dan tidak santun terhadap diri dan lingkungannya, atau cerdas tetapi tidak santun atau tidak cerdas tetapi santun, benar-benar menyesakkan dada lingkungannya. Sebagai contoh, setiap lulus ujian, berpawai mengganggu kenyamanan pengguna jalan dengan norak, mencorat-coret pakaiannya sebagai ekspresi lulus, dan bagi yang tidak lulus, menangis berlebihan bahkan sebagian darinya bunuh diri dijadikan jalan pintas. Disusul, selama masih aktif menjadi peserta didik, tawuran antarpelajar atau antarmahasiswa bahkan demo yang tidak jelas substansinya atau demo pesanan menjadi kelaziman. Yang lebih menyeramkan lagi, uang SPP ditukar dengan pulsa, lebih fatal lagi untuk membeli narkoba, sebagai gaya masa kini yang tidak islami dan tidak indonesianis, meskipun mengibuli orangtua yang susah payah membiayai pendidikannya. Di tengah banyak kalangan yang ingin melanjutkan studi, tetapi

karena benturan ekonomi pendidikan hanya (sebatas) angan-angan yang terpendam dalam benaknya. Sisi lain, imbas pola konsumsi global, didorong gaya hidup konsumeris dan kimiawi sentris. Semua itu pada dasarnya mengumbar nafsu ankara murka yang memprihatinkan, mengapa? Berpijak dari ungkapan, jika tak terdidik akan merusak negara, mereka berpikir seribu pikir karena tidak mampu. Tetapi, bagi generasi yang terdidik, merobohkan negara, butuh waktu kilat, karena berbekal strategi, kepicikan, dan ketidakarifannya. Berawal dari keprihatinan itulah, perlunya suntikan pengetahuan tentang budaya adiluhung yang telah disulam leluhur kita untuk dijadikan fondasi ideal menjadi generasi yang santun dan cerdas. Karena tidak ada jaminan bahwa mereka yang semula santun (hanya) karena bergabung dengan setitik komunitas yang norak, lambat atau cepat mewarnai karakter, apalagi karakter jelek lebih mudah menular. Kebudayaan diibaratkan sebagai tempat (wadah, contour) dan pendidikan dimisalkan sebagai bahan (content) yang menempati (diwadahi), sehingga tempat didahulukan daripada yang menempati. Dengan tempat yang ideal, diharapkan terciptanya generasi yang berbudaya (beretika), bertata laku (conduct) bijak, dan menempati tempat (kebudayaan) yang ideal pula, karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut menandaskan bahwa generasi yang berbudaya tercipta setelah digodok di lembaga pendidikan. Jika tidak terwujud, berarti pendidikan telah gagal mencetak generasi terdidik, sebagaimana tertuang dalam UU nomor 20/2003 pasal 3 pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (berharga diri) dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan pun memiliki tujuan baku, dalam UU nomor 20/2003 tercantum dalam pasal 3 tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkannya, keberadaan mata ajar ilmu budaya selazimnya dikokohkan keberadaannya beserta evaluasi yang melekat dan berkesinambungan. Karena bagian dari strategi mengeksiskan budaya dan kebudayaan adalah melalui jalur pendidikan yakni penanaman nilai budaya secara teoretis diimbangi pemahaman secara praktis yang tercermin dalam tujuan pembelajaran, meliputi (i) tujuan pendidikan nasional (tujuan yang sifatnya umum, jangka panjang dan didasari falsafah negara), (ii) tujuan institusional/lembaga, ingin dicapai setiap lembaga pendidikan, (iii) tujuan kurikuler, yang ingin dicapai setiap bidang studi, dan (iv) tujuan instruksional/pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai setiap akhir bab(subbab). Untuk mewujudkan generasi yang bermartabat, khususnya dalam pandangan publik, generasi terdidik harus mumpuni dalam keilmuan, berakhlakul karimah, eksis dalam kehidupan (hal ini bermakna tidak menjadi pengangguran, terhormat bekal keilmuannya, dan penderma secara materiil dan nonmateriil). Untuk merealisasikannya menjauhkan sifat angkuh, sombong, dan individualis sebagai cermin sifat nonetis. UU nomor 20/2003 pasal 1 (2) Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI 45 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman dan Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pasal 37 ayat 1 (g) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat seni dan budaya. Meskipun realitasnya, sebagian perguruan tinggi menjadikan mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD) disempitkan menjadi satu mata kuliah dengan Ilmu Sosial Dasar (ISD) dan Ilmu Alamiah Dasar (IAD), ketiga ilmu yang berbeda esensi dasar, hanya dengan pertimbangan kepraktisan yang tidak praktis menjadi satu mata kuliah. Faktor kebudayaan merupakan bagian penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan (a) individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-

cita, sikap, pengetahuan, keterampilan, dsb. Semua itu dapat diperoleh individu melalui transaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan dan (b) keberadaan masyarakat sebagai modal kurikulum merupakan refleksi dari cara berpikir, bercita-cita, atau kebiasaan. Adapun tujuan materi ilmu budaya adalah agar peserta didik mampu mengembangkan daya tanggap-tangkas, perspektif, bernalar-kritikkritis, apresiatif, dan responsif-interaktif berkenaan dengan budaya dan kebudayaan yang ada di lingkungannya dan budaya global dalam konteks masa lalu (menelaahnya dengan ilmu sejarah ), kini (memosisikan diri sebagai pelaku sejarah), dan mendatang (mendudukkan diri sebagai saksi sejarah) (hlm:10). Daya tanggap-tangkas bermakna mampu memahami dinamika budaya lokal, nasional, dan global untuk ditelisik pesan budayanya, sedangkan perspektif berarti mampu menerawang ke depan idealitas budaya masa depan yang berpijak dari masa lalu dan masa kini. Adapun bernalar-kritik-kritis adalah setiap realitas budaya tidak serta- merta diterima tanpa reserve, tetapi dengan pemahaman secara komprehensif. Makna apresiatif adalah menyongsong dinamika budaya bermodal positif thinking (khusnudlon), dan responsif-interaktif dikandung maksud mampu mendialogkan dinamika budaya lokal, nasional, dan global secara padu berbekal pengetahuan yang luas. Dengan demikian, diharapkan mampu memahami informasi sampah (gosip atau suudlon) untuk ditelaah faktor pemicunya agar tidak tersulut konflik, tercerahkan dengan informasi yang membangun (petuah, fatwa, dsb). Munculnya informasi sampah imbas dari persaingan hidup yang tidak siap menerima realitas hidup (kalah) sehingga mengalahkan lawan dengan cara yang tidak santun pula (tidak fair play) dalam bentuk membabi-buta karena menerabas etika dan norma agama dan budaya. Sehingga ditemukan identitas/jati diri bangsa yang seutuhnya berupa karakter diri yang mencerminkan kepribadian positif sebagai warga, bangsa, dan warga bangsa. Realitas Budaya Untuk mewujudkannya, idealnya aktivitas yang dilakukan dalam proses pendidikan harus berangkat dari realitas budaya yang ada, sehingga pendidikan dapat berkembang sederap dengan ekologi budaya yakni ruang dan waktu (lingkungan budaya) akan memengaruhi perubahan budaya yang membentuk ekosistem budaya dan ekologi budaya melalui kontak budaya dalam ekosistem terjadilah dinamika budaya. Ekologi budaya merupakan wajah budaya yang sering berhadapan dengan lingkungan dan terjadinya pengaruh political space dan cultural agency yang menguat di hati pemilik budaya dan muncul image (citra budaya) yang mendorong tumbuhnya jati diri budaya. Realitas menunjukkan kebudayaan adalah produk manusia yang dipengaruhi ruang dan waktu, mengalami tawar-menawar atau negosiasi budaya antara menerima atau menolak proses berbudaya dan tercipta pendidikan berbasis budaya menuju terciptanya generasi bermartabat yakni kualitas individu dan bangsa dalam merengkuh pembangunan bermodalkan moralitas, etika-budaya, dan profesionalisme. Pendidikan berbasis budaya adalah upaya pemerintah dan masyarakat menggali khazanah budaya adiluhung bangsa yang telah ditinggalkan dengan memahami, menginventarisasi, mengevaluasi, dan menganalisis keberadaan budaya leluhur dan budaya global dipahami maksud yang terkandung dengan membelah substansi budaya yang tersimpul dalam simbol budaya, eksplisit maupun implisit. Pendidikan diarahkan mengambil nilai luhur yang dijadikan pedoman umum dalam aktivitas pembelajaran. Tujuan tersebut dihadang realitas bahwa setiap wilayah mempunyai keunikan dan keragaman budaya yang tidak (selalu) dapat disatukan yang seharusnya menjadi nilai lebih dari bangsa kita. Kunci yang dipegang dan dilaksanakan adalah sikap multikulturalisme atau menghargai budaya masyarakat Tidak menjadi generasi yang tercerabut dari akar budaya, dengan bukti lebih enjoy mengenal Kentucky, McDonalds, Coca-Cola dari pada istilah jenang/dodol, kopi tubruk, atau jamu gendong. Begitu pula lebih terngiang-ngiang dengan Michael Jackson, Elvis Presley, Lisa Presley, atau John Lennon dari pada Waljinah, Ida Laila, atau Musmulyadi bahkan Didi Kempot.

Lebih tersepona bukan terpesona dengan Number Ones dan Thriller-nya Jacko dari pada Walang Kekeknya Waljinah atau Bengawan solo-nya Gesang. Perlu diingat, keberadaan kebudayaan sejak era penjajahan Belanda mendapatkan perhatian ekstra oleh founding fathers dengan tujuan mencari identitas budaya bangsa. Hal tersebut berkembang pada abad 20 hingga kini, kebudayaan menjadi gerakan nasional yang dikenal strategi kebudayaan dengan tujuan memberikan konstruksi Indonesia ke depan yang berjalan secara alamiah dalam proses asimilasi dan akulturasi budaya. Agar proses tersebut tidak tergoyahkan oleh sisi negatif budaya lokal dan global, penanaman nilai budaya adiluhung harus dikokohkan, di samping evaluasi melekat dan berkesinambungan, dunia pendidikan sebagai wadahnya. Dengan harapan terbentuk generasi yang bermartabat yakni menjadi warga masyarakat yang guyup-rukun, tepo seliro, dan anderbeni dengan sesamanya, dan pluralis yakni memandang dan menghargai kemajemukan (keserbabedaan), menghormati terhadap pihak lain (the others) yang berbeda ras-suku-agama-dan keyakinan, membuka diri terhadap corak budaya, agama, dan keyakinan anak manusia, rela berbagi ide (sharing), keterbukaan untuk saling belajar (inklusivisme), melibatkan diri dalam dialog. Instropeksi Budaya Yang menjadi persoalan adalah mengapa karakter tidak bermartabat tersebut terjadi? Untuk menjawabnya, perlu hipotesa yakni gaya hidup glamour, dan keberagamaan masyarakat yang kian tergerogoti dinamika zaman akhir, di antaranya kebebasan bergaul berbeda jenis kelamin dan ghoiru mukhrim, sehingga terjadinya aborsi, perselingkuhan, dan mortalitas dan pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi kesejahteraan. Semua itu (diduga) karena longgarnya mengakses sumber informasi dan dukungan perangkat informasi (komputer). Sumber informasi mulai dari media cetak (koran, majalah, jurnal, buletin) media layar (audio-visual) seperti televisi, internet, facebook, dsb. Hasil survei Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satyawacana (UKSW) Salatiga tahun 2005, terhadap 188 siswa di 4 SMA negeri dan swasta Salatiga tergolong sekolah favorit yang letaknya tidak jauh dari kampus, mendedahkan, 3,2 persen telah melakukan hubungan seks (intercourse) dan 2,13 persen telah mencoba melakukan petting (mendekatkan alat kelamin tanpa intercourse). Hubungan seks tersebut tidak hanya dilakukan dengan pacar, tetapi juga dengan teman dan pekerja seks, bertempat di rumah sendiri, hotel, maupun losmen. Hubungan seks tersebut dilakukan sejak usia 15-17 tahun dengan aktivitas pacaran mulai bincang-bincang (ngobrol), berpegang tangan, berpelukan, cium pipi, kening, leher, meraba daerah sensitif, petting, hingga ngesek dengan alat kontrasepsi. Merasa bersalah 1,6 persen, takut ketahuan 0,53 persen, 0,5 persen ketagihan, dan 1,1 persen merasakan nikmat. Latar belakang melakukan seks didasarkan ungkapan cinta 1,6 persen, coba-coba 1,06 persen, dan kebutuhan biologis 0,53 persen (Kompas, 10/3/2005, hlm.A). Bahkan ciuman masal (6.124 pasangan) memecahkan rekor di Manila, Filipina pada hari Valentine Day tahun 2007 yang menumbangkan pemecah rekor tahun 2005 sebanyak 5.875 pasangan di Budapest, Hongaria (Suara Merdeka, 12/2/2007, hlm.1). Hal yang identik, bagi anak yang telah berusia 12 tahun di Inggris, dengan dalih mengurangi jumlah kehamilan pada remaja dan mengantisipasi penyebab penyakit kelamin, dipermudah mendapatkan kondom dengan menunjukkan kartu kondom dari pemerintah secara gratis setelah mengikuti pendidikan seks yang aman oleh petugas kesehatan di klinik anak muda. Kondom tersedia di lapangan sepak bola, potong rambut, dan klinik kesehatan (Jawa Pos, 9/6/2009, hlm.5). Realitas menggambarkan bahwa imbas dari bebas berperilaku, di Amerika, jual beli sperma dilegalkan melalui lisensi HFEA (badan yang mengurusi pembuahan dan embriologi manusia) sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen. Tetapi, karena Nigel Woodforth (42 th) dan Ricky Gage (48 th) menjual kepada 700 perempuan secara illegal, sehingga dikategorikan tindak kriminal (Jawa Pos, 2/6/2009, hlm.5). Data imbas kebebasan bergaul, satu ibu, dua bapak, dan dua anak, sebagaimana suami James Harrison dengan istrinya, Mia Washington, asal Dallas Texas, AS, melahirkan kembar berselang 7 menit dari sel sperma yang berbeda (James dan

selingkuhannya) berputrakan Justin dan Jordan Washington dengan raut muka tidak mirip karena dua sperma pria yang berbeda membuahi dua sel telur Mia. Hal ini dalam perspektif medis merupakan kejadian 1:1 juta kehamilan. Hasil tes DNA, peluang Justin dan Jordan mempunyai satu ayah hanya 0,001 atau 1:1 juta (Jawa Pos, 20/5/2009, hlm.7). Bahkan Survei Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2006 menyebutkan, aborsi mengakibatkan 68.000 kematian dan jutaan perempuan dunia terluka dan menderita cacat permanen, sedangkan aborsi karena kehamilan tidak diinginkan di Indonesia setiap tahun 2,6 juta kasus aborsi. Sebanyak 700.000 pelakunya remaji berusia di bawah 20 tahun (Kompas, 4/7/2009, hlm.13). Di Shanghai, Tiongkok, selama liburan sekolah (May Day) angka remaji usia 16-18 th mengaborsi naik 30 persen (Jawa Pos, 11/5/2007, hlm.5). Dengan demikian perlunya budaya direnungkan dan dilaksanakan dalam diri kita masing-masing, selamat berbudaya, nuwun.

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PASAL 1467 KUH PERDATA TENTANG LARANGAN JUAL BELI ANTARA SUAMI ISTRI Santoso PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syariat Islam yang bersifat universal dan abadi itu memiliki hukum-hukum dan undang-undang yang diperlukan manusia, guna mengatur segala urusan kehidupan manusia. Sebagai ajaran universal, ia dapat seirama dengan pergolakan hidup manusia dan terus dapat menyertai kehidupan, sehingga intisari dari syariat Islam, termasuk di dalamnya hukum Islam, adalah untuk memelihara manusia dan kemuliaannya serta menjauhkan segala yang menyebabkan terganggunya kemuliaan manusia (Taufik Adnan Amal, 1989: 33). Syariat Islam tersebut bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Sumber dari yang maha mengetahui dari yang sudah, sedang dan akan terjadi, sehingga wajar kalau Al-Quran dalam sejarah pemikiran hukum Islam selalu dipandang sebagai kitab suci yang berisi perundang-undangan (Taufik Adnan Amal, 1990: 24). Dari syariat tadi kemudian diformulasikan hukum Islam. Menurut Prof. Hasby Ash-Shiddieqy, hukum Islam merupakan kumpulan aturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslimin dalam keseluruhan aspeknya, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Karena karakteristik yang serba mencakup ini hukum Islam menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam (Hasby Ash-Shiddieqy, 1975: 160). Al-Quran sebagai sumber perundang-undangan, sebagian besar adalah berisikan tentang muamalah hukum yang mengatur tentang hubungan antara sesama manusia dan termasuk di dalamnya tentang jual beli. Kata jual beli sebenarnya mengandung satu pengertian yang dalam bahasa arab dinamakan dengan al-bai yang bentuk jamaknya al-buyu dan konjungsinya yang artinya menjual (Muhammad Idris alMarbawy hlm: 72). Dalam bahasa Indonesia, kata jual beli memiliki dua makna secara berpisah, namun dapat memiliki makna yang utuh yaitu : berdagang, berniaga, menjual dan membeli barang-barang (W.J.S. Poerwadarminta, 1984: 423). Dengan demikian, kata jual beli itu dapat di pisah satu-satu dan memiliki satu makna, dan di sisi lain dapat berkumpul dan memiliki makna yang berbeda. Secara istilah, jual-beli seperti dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin adalah sebagai berikut yang artinya : Menyerahkan harta dengan harta dua penyerahan itu untuk pembelanjaan dengan ijab dan qabul, atas dasar keizinannya. Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah di janjikan (R. Subekti, 1989: 366). Adapun dasar yang paling jelas yang terdapat dalam al-Quran (QS. Al-Bagarah : 275). adalah Artinya : Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dengan demikian secara umum jual beli itu memang dihalalkan oleh Allah SWT, apabila jual beli itu telah memenuhi syarat dan rukunnya. Demikian juga kaitannya dengan jual beli antara suami istri. Dalam hukum Islam pun harta yang diperoleh selama perkawinan, termasuk dalam pengertian harta bersama. Dengan demikian sejak zaman Rasulullah SAW.

Sampai sekarang belum di jumpai adanya jual beli antara suami dan istri. Namun demikian Islam mengakui adanya pemindahan harta benda selama perkawinan, yaitu dengan adanya perjanjian perkawinan. Hal ini seperti ditunjukkan dalam Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang berbunyi : 1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat nikah mengenai harta dalam perkawinan. 2) Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. 3) Disamping ketentuan ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat (H. Abdurrahman, 1992: 124). Apabila perjanjian telah disepakati bersama antara suami istri tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalan ke Pengadialan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatan. Demikian juga sebaliknya, jika si istri yang melanggar di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama (Ahmad Rofiq, 1995: 162-163). Sementara itu dalam KUH Perdata Pasal 1467 disebutkan bahwa antara suami dan istri tidak boleh terjadi jual beli, kecuali dalam ketiga hal sebagai berikut: 1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum. 2) Jika penyerahan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, juga dari siapa ia tidak dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual, atau uang yang menjadi kepunyaan si istri, demikian itu jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan. 3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan, sekedar benda-benda itu dikecualikan dari persatuan (R. Subekti, 1989: 328). Dengan mengacu pada Pasal tersebut, secara hukum jual beli antara suami istri tidak boleh terjadi. Sementara prinsip yang paling pokok dalam hal jual beli dalam Islam adalah didasarkan pada surat An-Nisa ayat 29 yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dengan demikian yang dikehendaki dalam pelaksanaan jual beli adalah samasama saling suka, yang membeli senang terhadap barang dan yang menjual rela terhadap barang yang dijualnya. Sebagaimana dalam kitab ushuliyah yang Artinya : Hukum dari dasar sesuatu (bidang muamalah) adalah boleh (sah) selama tidak terbukti adanya larangan (Muhammad al-Sidqy, hlm. 109). Kaidah yang lain dalam kitab (al-Qowaid al-Nuraniyah) dikatakan : yang artinya : Hukum asal dari berbagai akad dan menyaratkan persyaratan-persyaratan yang di

dalamnya adalah boleh (sah), tidak haram dan tidak batal selama tidak terbukti adanya dalil yang mengharamkan dan membatalkan. (Ibn Taimiyah, hlm. 255) Yang menjadi problem apabila jual beli itu terjadi antara suami dan istri, karena kelihatannya sering terjadi, perjanjian khusus yang mengatur tentang harta milik dan penggunaannya di antara suami istri, meski diperbolehkan. Dari sinilah penulis menganggap perlu untuk mengkaji masalah tersebut kaitannya dengan harta benda antara suami istri. Kajian ini mengemukakan judul : Analisis terhadap Pasal 1467 KUH Perdata tentang larangan jual beli antara suamiistri.

B. Rumusan Masalah Dengan berpijak kepada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam Penelitian ini adalah sebagai berikut :

pokok

1. Bagaimana syarat-syarat jual beli dalam KUH Perdata, adakah larangan jual beli antara suami istri? 2. Bagaimana akibat hukum dari jual beli antara suami istri? 3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap ketentuan Pasal 1467 KUH Perdata tentang jual beli antara suami istri? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui ketentuan dan syarat-syarat jual beli dalam KUH Perdata maupun hukum Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum jual beli antara suami istri menurut KUH Perdata dan kaitannya menurut hukum Islam. 3. Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap bentuk jual beli yang dilakukan antara suami istri. Dari hasil kajian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca dan juga bagi diri penulis khususnya tentang pelaksanaan jual beli yang dilakukan antara suami istri.

JUAL BELI DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Jual Beli Sebelum penulis mengemukakan tentang jual beli menurut ahli fiqih, terlebih dahulu akan penulis kemukakan pengertian jual beli menurut bahasa, yang dalam hukum Islam (fiqh) dikenal dengan istilah al-bai. Jual beli menurut bahasa adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual (W.J.S. Poerwadarminta, 1985: 419). Kata jual beli sebenamya mengandung satu pengertian yang dalam bahasa arab berasal dari kata al-bai yang bentuk jamaknya al-buyu artinya menjual (Muhammad Idris Al-Marbawy, hlm.72). Adapun arti jual beli menurut bahasa sebagaimana dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin dalam kitab Kifayah al-akhyar yang Artinya: Memberikan sesuatu karena

ada pemberian (imbalan yang tertentu). (Imam Taqiyuddin Abi Bakar ibn Muhammad al-Husain, hlm. 239) Syeikh Zakariya Al-Ansary dalam Kitab Fath Al-Wahhab memberikan definisi sebagai berikut yang artinya : Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. (Syeikh Abi Yahya Zakariya Al-Ansary, hlm. 157) Pendapat Sayyid sabiq dalam kitab Fiqih al-Sunnah memberikan definisi sebagai berikut : yang artinya : Pertukaran barang secara mutlak.(Sayyidsabiq,hlm.126.) Adapun jual beli (al-bai) menurut istilah ahli fiqih berbeda-beda dalam memberi definisi, akan tetapi maksud dan tujuannya sama. Disini akan penulis kemukakan beberapa definisi jual beli tersebut sebagai berikut : Menurut Imam Taqiyyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifayah al-Akhyar mengemukakan: yang artinya : Pemberian harta karena menerima harta dengan ikrar penyerahan dan jawab penerimaan (ijab-qabul) dengan cara yang diizinkan". Menurut Syeikh Abi Yahya Zakariya al-Ansary dalam kitab fath alWahhab mengemukakan sebagai berikut : Artinya : Tukar menukar barang dengan harta yang lain dengan cara tertentu. (Syeikh Abi Yahya Zakariya al-Ansary, hlm.159) Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah halaman 225 dan Muhammad ibn Ismail al-Kahlany al-sanany dalam kitab Subul al-Salam mendefinisikan sebagai berikut : yang artinya : Kata al-bai (jual) dan al-syira (beli) biasanya digunakan dalam pengertian yang sama, dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua, dimana yang satu dengan yang lamnya bertolak belakang".

Dari definisi-defmisi di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah merupakan suatu peristiwa seseorang (penjual) menyerahkan barangnya kepada orang lain (pembeli) setelah ada persetujuan antara keduanya mengenai barang dan harganya. Kemudian barang tersebut diterima oleh pembeli sebagai ganti uang yang diserahkan kepada penjual dan itu semua dilakukan dengan saling rela. Dengan demikian jual beli melibatkan dua pihak, dimana suatu pihak menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang diterima sebagai pembeli dan satu pihak yang lainnya menyerahkan barang sebagai ganti atas uang yang di terima sebagai penjual. Telah menjadi sunnatullah bahwa manusia harus bermasyarakat, saling menunjang, saling menopong, dan saling tolong menolong antara satu dan yang lainnya. Sebagai mahluk sosial, manusia menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain, saling bermuamalah untuk memenuhi hajat hidup dan mencapai kemajuan dalam hidupnya. Di antara sekian banyak aspek kerjasama dan perhubungan manusia, maka ekonomi perdagangan termasuk salah satu diantaranya. Bahkan aspek ini amat penting peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Setiap orang akan mengalami kesulitan dalam memenuhi hajat hidupnya jika tidak bekerja sama dengan orang lainnya. (Hamzah Yaqub, 1992:14) Dalam melaksanakan kegiatan itu, dilaksanakan secara umum menurut kebutuhan dan ada pula yang dilaksanakan secara khusus, sehingga menjadi profesi

selaku pedagang yang berfungsi membeli, mengangkut dan menjual barang-barang kebutuhan masyarakat. Dalam melaksanakan perdagangan pula, tidak akan terlepas dari beberapa unsur yang harus dipenuhi, antara lain : 1. Adanya penjual. 2. Adanya pembeli, dan 3. Adanya barang. B. Dasar-dasar Jual Beli Adapun yang menjadi dasar hukum disyariatkannya jual beli adalah al-Quran dan al-Hadits, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 275. yang artinya : "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... (QS. Al-Bagarah : 275). Dari ayat tersebut diatas, dapat diambil pemahaman bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-Nya dengan baik dan dilarang jual beli yang mengandung riba atau merugikan orang lain. Firman Allah dalam surat al-Nisa : Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa : 29). Jelaslah sudah bahwa diharamkannya kepada kita memakan harta bersama dengan jalan batil, baik itu dengan jalan mencuri, menipu merampok, merampas ataupun dengan jalan lain yang tidak dibenarkan Allah, kecuali dengan jalan perniagaan atau jual beli yang didasari atas dasar suka sama suka dan saling menguntungkan. Nabi Muhammad SAW telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bazzar : Artinya : Dari Rifaah ibn Rafi, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya, Usaha apa yang paling baik? Rasulullah SAW menjawab : Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (jujur). (H.R. al-Bazzar dan disahihkan oleh al-haklm).( Muhammad ibn Ismail al-Kahlany al-sanany, hlm. 4) Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda : yang artinya : Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah SAW telah melarang jual beli dengan spekulasi dan jual beli garar. (H.R. Muslim)? Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa usaha seseorang yang baik adalah berusaha sendiri tanpa menggantungkan orang lain, dan setiap jual beli yang didasari kejujuran hati tanpa adanya kecurangan juga penipuan. C. Syarat dan Rukun Jual Beli Adapun syarat dan rukun jual beli yang harus terpenuhi dalam hal jual beli, adalah sebagai berikut : 1. Sighat Aqad. 2. Aqid, dan 3. Maqud alaih.

Dalam suatu perbuatan jual beli, ketiga rukun ini hendaklah dipenuhi, sebab apabila salah satu tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli yang sah. 1. Sighat Aqad. Pengertian aqad menurut bahasa adalah ikatan yang ada diantara ujung suatu barang. Sedangkan menurut istilah ahli fiqih ialah ikatan ijab qabul menurut cara yang disyariatkannya sehingga tampak akibatnya. (Wahbah alZuhaily, hlm. 115) Prof. Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan pengertian akad sebagai berikut : Aqad menurut bahasa : yang artinya : Al-rabt (mengikat) yaitu mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain, sehingga bersambung, lalu keduanya menjadi sebagai sepotong benda. (Hasby AshShiddeqy, 1974: 21 ) Aqad menurut istilah : yang artinya : Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan oleh syara yang menetapkan kedua belah pihak. (Hasby AshShiddeqy, 1974: 21) Sebagai misal, penjual menjajakan barangnya dengan berkata, aku jual barang ini kepadamu dengan harga sekian rupiah. Kemudian disebut oleh pembeli, ya aku setuju untuk membeli barang itu. Maka perkataan penjual tadi disebut ijab, sedangkan jawaban pembeli dinamakan qabul. Dalam aqad jual beli, dapat juga dengan kata yang menunjukkan pemilikan dan pemberi paham yang dimaksudkan. Dengan kata lain bahwa ijab qabul terjadi tidak mesti dengan kata-kata yang jelas, namun yang dinamakan aqad atau ijab qabul itu bisa juga maksud dan makna-makna yang dilontarkan antara penjual dan pembeli. Seperti dikatakan Asymuni A. Rahman dalam buku kaidah- kaidah fiqih yaitu : yang artinya : yang dianggap dalam aqad adalah maksud-maksud dan makna-makna, bukan lafadz dan bentuk-bentuk perkataan. (Asymuni A. Rahman, 1980: 90) Sighat ijab qabul yang merupakan rukun jual beli harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : a. Satu sama lain harus berhubungan di satu tempat tanpa adanya pemisah yang merusak. b. Ada kesepakatan ijab qabul pada barang yang saling ada kerelaan diantara mereka berupa barang yang dijual dan harga barang. Jika keduanya tidak sepakat dalam jual beli atau aqad, maka dinyatakan tidak sah dan sebaliknya apabila keduanya menyatakan sepakat maka jual beli itu sah. c. Ungkapan hams menunjukkan masa lalu (madi) seperti perkataan penjual aku telah terima atau masa sekarang (mudari) jika yang diinginkan pada masa itu juga. Jika yang diinginkan pada masa yang akan datang dan semisalnya, maka hal itu merupakan janji sebagai aqad yang sah. Oleh karena itu tidak menjadi sah menurut atau secara hukum. Perkataan atau ungkapan ijab dan qabul sesuai dengan adat dan kebiasaan, tidaklah harus sama karena tiap daerah kemungkinan berbeda-beda ungkapannya, asalkan menunjukkan ikatan jual beli yang baik. Dalam kaidah Usuliyah telah disebutkan sebagai berikut :Artinya : Tulisan itu sama seperti pembicaraan. (Asymuni A. Rahman, hlm. 93) 2. Aqid. Aqid adalah orang yang melakukan akad, dalam jual beli tidak mungkin terjadi tanpa adanya orang (pihak) yang melakukan. Dan orang yang melakukan akad haruslah orang yang :

a. Berakal, agar tidak terkicuh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. yang dimaksud dengan berakal, yaitu dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik baginya, maka apa bila salah satunya tidak berakal maka tidak sah jual belinya. b. Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa). Yang dimaksud dengan kehendak sendiri, yaitu bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli tersebut salah satu pihak tidak melakukan tekanan atau paksaan. Hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW. Artinya : Dari Dawud ibn salih al-Madany, dari ayahnya ia berkata: Saya mendengar Abi said al-khudiy berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya jual beli itu berdasarkan saling adanya kerelaan. (H.R. Ibn Majah). c. Keduanya tidak mubadzir. Yang dimaksud keduanya tidak mubadzir, yaitu para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut bukanlah manusia yang boros (mubazir). Sebagai mana disebut kan dalam al-Quran : Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. al-Nisa : 5). d. Baligh. Baligh atau dewasa dalam hukum Islam adalah apabila telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan). (Choiruman Pasaribu, 1994, hlm. 35)

3. Maqud alaih. Untuk menjadi sahnya jual beli harus ada maqud alaih yaitu barang yang menjadi obyek jual beli atau yang menjadi sebab terjadinya perjanjian jual beli.( Choiruman Pasaribu, 1994, hlm. 37) Benda yang dijadikan sebagai obyek jual beli ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Bersih barangnya. Yang dimaksud disini adalah bahwa barang yang diperjual belikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis, atau digolongkan sebagai benda yang diharamkan. Hal ini didasarkan atas hadis Rasaulullah SAW. yaituArtinya : Dari Jabir ibn Abdillah, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun kemenangan Makkah : Sesungguhnya Allah telah melarang (mengharamkan) jual beli arak : Bagaimana dengan lemak bingkainya, karena dipergunakan untuk mengecat kayu dan minyaknya untuk lampu penerangan ? Kemudian Rasulullah bersabda : Mudah-Mudahan Allah melaknat orang-orang yahudi, karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak bangkai pada mereka, tetapi mereka menjadikannya. Menjualnya serta memakannya (hasilnya). (Imam Muslim, hlm.689)

b. Dapat dimanfaatkan, yaitu barang yang diperjual belikan harus ada manfaatnya, sehingga tidak boleh memperjual belikan barang-barang yang tidak bermanfaat, seperti lalat, tikus, nyamuk dan lain sebagainya. (Abi Yahya Zakariya al-Ansary, hlm. 160) c. Mampu Menyerahkan Milik orang yang melakukan akad, maksudnya bahwa orang yang melakukan perjanjian jual beli atas suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut dan atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Dengan demikian jual beli barang yang dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau berhak berdasarkan kuasa si pemilik di pandang sebagai

perjanjian yang batal. d. Milik orang yang melakukan akad Mampu menyerahkan, maksudnya keadaan barang haruslah dapat diserah terimakan, akan tidak sah jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan, kemungkinan akan terjadi penipuan atau akan menimbulkan kekecewaan pada salah satu pihak. e. Mengetahui, maksudnya adalah barang yang diperjual belikan dapat diketahui oleh penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya, maupun sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi kekecewaan di antara kedua belah pihak. Begitu juga harganya harus diketahui sehingga dapat dihindarkan terjadinya pertentangan. (Abd al-Rahman al-Jaziry, 1983, hlm. 103). f. Barang yang di akadkan ada ditangan. Maksudnya adalah perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum di tangan (tidak berbeda dalam kekuasaan penjual) adalah dilarangsebab bisa jadi barang sudah rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan. (Choiruman Pasaribu, hlm. 40)

D. Macam-macam jual beli Dalam hukum Islam (fiqih) sangat merinci macam-macam jual beli dari berbagai sudut, sebagai berikut : 1. Cara pelaksanaan. Jual beli ditinjau dari segi pelaksanaannya ada dua macam, yaitu : Jual beli yang dilarang. Dalam Islam ada beberapa jual beli yang dilarang. Pelarangan tersebut karena disebabkan dapat menimbulkan kemadharatan, di antaranya adalah sebagai berikut : 1) Jual beli gharar (mengandung tipu daya). Dalam hukum Islam tidak menyebutkan jual beli dengan percobaan spesifik. Disini jual beli tersebut penulis kiaskan dengan jual beli gharar. Dalam hal ini Dr. Wahhab al-Zuhaily menjelaskan dalam kitab fiqih al-Islam sebagai berikut : Artinya : Imam al-sarkhasy berkata, gharar adalah sesuatu yang tertutup atau tidak diketahi akibatnya. Imam al-Qarafy al-Maliky berkata yang prinsip dari gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui, apakah ia menghasilkan atau tidak? seperti burung yang diangkasa dan ikan yang ada di dalam air. Imam al-syairaszy al-syafiI berkata : gharar adalah sesuatu yang majhul atau tidak diketahui akibatnya. Ibn Qayyim berkata : gharar adalah suatu yang tidak mampu untuk diserahkan, baik barang itu ada atau tidak ada, seperti menjual budak yang melarikan diri dan unta yang lepas. (Wahbah alZuhaily, hlm. 436) Dari beberapa pernyataan tersebut diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa jual beli dengan percobaan termasuk jual beli gharar karena mengandung bahaya atau madharat kepada salah satu pihak. Contoh jual beli yang terdapat unsur-unsur gharar antara lain: a) Jual beli munasabah, adalah jual beli yang kedua belah pihak saling mencela barang yang ada pada mereka, dan ini dijadikan dasar jual beli yang tidak saling rela. b) Jual beli muzadarah, adalah jual beli buah-buahan yang masih hijau, dan belum tampak kebaikannya (ijon). c) Jual beli munaqalah, adalah jual beli tanaman dengan takaran yang dikenal. d) Jual beli muzabanah, adalah jual beli yang mana pembeli telah menyentuh atau melamar barang yang dijual, maka jual belinya harus jadi meskipun tidak diketahui adanya saling rela atau tidak. (Ibn Rusyd, hlm. 111)

2) Jual beli dengan menghambat orang desa ke luar kota dengan membeli barangbarangnya sebelum mereka datang di pasar, dan mereka (orang desa) belum mengetahui harga pasar. Jual beli semacam ini dilarang oleh Nabi SAW. dalam salah satu hadisnya :Artinya : Dari Ibn Abbas ra. Berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : janganlah menemui orang-orang yang berkendaraan (orangorang yang membawa dagangannya) ke pasar.( Imam Muslim, hlm 659) 3) Membeli barang yang telah diberi orang lain yang masih dalam masa khiyar Nabi SAW bersabda : Artinya : Dari Ibn Umar ra. Berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Janganlah seseorang dari kamu sekalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada saudaranya. (Imam Muslim, hlm 659) 4) Jual beli barang yang ada cacatnya atau cela yang tersembunyi dan tidak tampak oleh pembeli. Nabi SAW. bersabda : Artinya : Dari Abu Hurairoh ra. Berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah lewat dan menemui timbunan biji-bijian makanan, dan bertanya apakah ini wahai pemilik makanan. Orang (pemilik) tersebut menjawab : mengapa engkau tidak menunjukkan saja bagian atasnya wahai Rasulullah? kemudian Rasulullah menjawab : Apakah engkau tidak meletakkan di atasnya makanan agar manusia mengetahuinya, barang siapa yang menipu, maka bukan termasuk umatku. (H.R. Muslim). (Muhammad ibn Ismail al-kahlany al-sanany, hlm. 29) 5) Jual beli yang tidak dilarang. Jual beli yang tidak dilarang oleh Islam adalah jual beli yang dilakukan dengan kejujuran, tidak ada penipuan, paksaan, kekeliruan dan hal lain yang dapat mengakibatkan persengketaan dan kekecewaan atau alasan penyesalan bagi kedua belah pihak, yaitu si penjual dan pembeli. Pendek kata jual beli yang memenuhi syarat rukunnya. 2. Obyek terhadap barang yang diperjual belikan. Jual beli apabila ditinjau dari segi obyek barang yang akan diperjualbelikan dapat dibagi menjadi : a. Jual beli Muqayadah yaitu jual beli dagangan dengan barang dagangan yang lain. Seperti menjual beras ditukar dengan pakaian, menjual radio ditukar dengan tape recorder, dan lain sebagainya. b. Jual beli al-sarf yaitu jual beli mata uang dengan mata uang lainnya. Seperti menjual mata uang dirham dengan mata asing uang lainnya yang berlaku dipasaran. c. Jual beli al-salam yaitu jual beli sesuatu barang yang tidak bisa dilihat zatnya, tetapi sifat dan bentuknya telah ditentukan dan tanggung jawab ada pada pembeli. d. Jual beli al-mutlaq yaitu jual beli barang atau benda yang dengan uang secara mutlak. Seperti menjual mobil dengan uang dirham atau lainnya. (Wahbah alZuhaily, hlm. 595) 3. Harga (saman). Jual beli apabila ditinjau dari segi harganya dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu : a. Jual beli Musawamah yaitu jual beli yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak antara penjual dan pembeli tentang harga yang telah ditentukan, sehingga benar-benar saling rela. b. Jual beli murabahah yaitu jual beli dengan menjual barang berharga lebih banyak atau menjual barang dengan harga lebih mahal dari harga pembelian semula.

c. Jual beli al-tauliyah yaitu menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga pembelian semula.
d.

Jual beli al-wadiah yaitu menjual barang yang lebih murah dari harga pembelian semula. (Wahbah al-Zuhaily, hlm. 597)

4. Jual beli dilihat dari segi hukumnya, dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu : a. Jual beli mubah, yaitu jual beli yang asalnya adalah mubah hukumnya. b. Jual beli wajib, yaitu jual beli seperti qadi hendak menjual harta seorang yang muflis (orang yang hutangnya lebih banyak dari pada hartanya). c. Jual beli haram, yaitu jual beli yang dilarang oleh syara, seperti menjual khamar, berhala, bangkai dan lain sebagainya. d. Jual beli sunnah, yaitu seperti memperjual belikan sesuatu benda kepada sahabat atau famili yang dikasihani, dan kepada orang yang sangat berhajat kepada barang tersebut. (Wahbah al-Zuhaily, hlm. 578) 5. Dalam pelaksanaan pembayaran jual beli, dapat dibagi menjadi dua macam yaitu : a. Pembayaran kontan. yang dimaksud pembayaran kontan adalah jual beli dimana penjual menerima langsung uang dari pembeli, atau sipenjual menyerahkan langsung barangnya dan si pembeli menyerahkan uangnya secara langsung, sebagai ganti barang yang telah diterimanya Adapun jual beli yang dibayar secara kontan adalah sebagaimana yang terdapat dalam suatu hadits Artinya : Diriwayatkan dari Ubaidah ibn Samit, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Emas dengan Emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, biji-bijian dengan biji-bijian, garam dengan garam, hendaknya sama banyaknya dan dibayar dengan kontan. (H.R. Muslim). (Muhammad ibn Ismail al-kahlany al-sanany, hlm. 37)

b. Pembayaran tidak kontan. Pembayaran dengan tidak kontan adalah pembayaran dengan kredit atau hutang, yaitu apabila seseorang menjual barangnya dengan persetujuan bahwa pembayarannya akan dilaksanakan setelah lampau waktu sesuai dengan perjanjian. Jual beli seperti ini dikenal sebagai memberi hutang dan hukumnya sunnah, dan bahkan terkadang hukumnya menjadi wajib seperti menghutangi orang yang benar-benar membutuhkan. Sebagaimana dalam al-Quran disebutkan dalam surat al-Maidah ay at 2 : Artinya : "dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.... (QS. Al-Maidah : 2).

E. Hak dan Kewajiban Antara Penjual dan Pembeli Untuk menjaga kemaslahatan bersama atas kepentingan yang berbeda pada masing-masing pihak dalam jual beli haruslah sesuai dengan apa yang telah disyariatkan oleh hukum Islam baik dalam syarat maupun rukunnya. Berkaitan dengan hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli, adalah merupakan suatu konsekwensi logis atas perikatan yang dilakukan dalam jual beli. Seperti telah disebutkan dimuka, bahwa jual beli merupakan perikatan antara keduanya dengan ketentuan pihak penjual dengan menyerahkan barangnya, dan pihak pembeli menyerahkan uangnya sebagai pembayaran. Hal tersebut sesuai dengan akad perjanjian jual beli ini. Berawal dari kepentingan yang berbeda terhadap barang dan tujuannya, maka hendaklah dilakukan penulisan dari transaksi tersebut, sebagaimana firman Allah dalam surat al-baqarah : Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. Al-Baqarah : 282) Selain penulisan tersebut, untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan di antara perselisihan, pengingkaran dan pemalsuan, maka diperlukan adanya seorang saksi. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran : Artinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS. AlBaqarah : 282). Dari ayat di atas, dimaksudkan apabila terjadi kelupaan, baik dari diri sendiri atau yang lainnya, maka pihak saksi dapat mengingatkan dan membenarkan manakala terjadi kekeliruan atau perselisihan dari kedua belah pihak dalam perjanjian semula.

JUAL BELI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Ketentuan Umum Perjanjian Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orangorang sebagai anggota suatu masyarakat dan bertujuan mengadakan tata tertib diantara anggota-anggota masyarakat itu. Ini berarti bahwa anasir hukum baru dianggap ada apabila suatu tingkah laku dan kepentingan seseorang bayak menyinggung atau mempenggaruhi kepentingan orang banyak. Maka apabila seseorang berjanji melakukan sesuatu hal, janji itu dalam hukum pada hakikatnya ditujukan pada orang lain. Berhubungan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa sifat pokok dari suatu perjanjian hukum antara orang-orang, jadi semula tidak merupakan hubungan antara orang dan suatu benda. (Wirjono Prodjodikoro, 1991: 12) Hukum perjanjian diatur dalam buku III kitab Undang-undang hukum perdata yang terdiri dari dua bagian penting, yaitu: 1. Bagian Umum Memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada

umumnya. 2. Bagian Khusus Bagian ini memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu. (Benyamin Asri dan Thabrani Asri, 1987: 75) Pada ghalibnya perjanjian-perjanjian itu tidak terikat pada suatu bentuk perjanjian dapat dibuat secara lisan, dan jika dibuat dalam suatu tulisan, maka ini kebanyakan kali hanya bersifat sebagai alat pembuktian. Akan tetapi untuk beberapa perjanjian ada ditentukan bentuk tertulis ataupun malahan untuk bentuk riil, seperti halnya pada scenking. (Sri Soedewi Masjhoen Sofwan,) Pada prinsipnya perjanjian yang kita kenal merupakan perjanjian obligatoir, kecuali undang-undang menentukan lain. Perjanjian bersifat obligatoir, berarti bahwa dengan ditutupnya perjanjian itu pada azasnya baru melahirkan perikatan perikatan saja, dalam arti, bahwa hak atas obyek perjanjian belum beralih. untuk peralihan tersebut masih diperlukan adanya levering/penyerahan. Dengan demikian pada prinsipnya yang bias membedakan antara saat lahirnya perjanjian obligatoirnya dengan saat penyerahan prestasi/haknya, sekalipun pada jual beli tunai yang langsung diikuti dengan penyerahan bendanya, kedua moment itu jatuh bersamaan. (J. Satrio, 1982: 38). Dengan adanya sifat perjanjian yang obligatoir itu, maka pada prinsipnya semua perjanjian yang sah adalah yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan semacam ini dalam KUH Perdata disebut dengan azas perjanjian. Adapun azas perjanjian secara umum adalah : Azas Ke 1 Azas Ke 2 : Bahwa semua perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. : Azas kebebasan dalam membuat perjanjian (disimpulkan dari azas ke 1 di atas). Azas Ke 3 : Bahwa perjanjian-perjanjian itu tidak dapat di batalkan secara sepihak, atau dapat dibatalkan oleh hakim berdasarkan alasan-alasan undang-undang. :Azas bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. (Bahsan Mutafa, 1985: 81)

Azas Ke 4

Azas persetujuan memang cukup mendominasi dalam KUH Perdata, sehingga menurutnya persetujuan bersifat konsensual, yaitu cukup dianggap terjadi dengan adanya perizinan saja dari kedua belah pihak. Padahal adanya overeenkomsten ini bukan kekecualian diluar hakekat bahwa semua perjanjian menurut BW adalah konsensual. Kalau seandainya ada persetujuan yang maksudnya mengadakan salah satu persetujuan reeel tersebut di atas, yaitu pand bewaaargeving atau verbluiklening akan tetapi tidak atau belum disertai penyerahan barang yang bersangkutan. Ini hanya berakibat bahwa tidak atau belum terbentuk pand bewaaargeving atau verbruiklening seperti yang diatur dalam Pasal-Pasal yang bersangkutan dengan BW. Akan tetapi persetujuan yang telah terbentuk ini, tetapi merupakan persetujuan yang menurut Pasal 1338 BW mempunyai kekuatan seperti undang-undang bagi para pihak. Hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai nama, atau mungkin dapat dinamakan persetujuan akan membentuk persetujuan pand atau

akan membentuk persetujuan bewaaargeving atau akan membentuk persetujuan verbruiklening. (Wirjono Prodjodikoro, hlm. 33) Disamping ketentuan di atas, untuk sahnya suatu perjanjian dalam BW juga dibutuhkan syarat-syarat, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi : Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Suatu hal yang tertentu; Suatu sebab yang halal. (R. Subekti, hlm. 283) Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada azasnya setiap orang yang sudah akil baliqh atau dewasa dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata, disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian: 1. 2. 3. 4. 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seseorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.(R. Subekti, 1987: 17-18) Hukum tidak akan mengakui semua perjanjian. Hukum perjanjian terutama berkenaan dengan pemberian suatu kerangka dalam mana usaha dapat berjalan, jika perjanjian dapat dilanggar dengan bebas tanpa hukuman, maka orang-orang yang tidak bermoral akan menciptakan kekacuan. (Abdul Kadir Muhammad, 1986: 94). Karena itu hukum inggris akan turut campur dan memerintahkan orang-orang yang melanggar perjanjian itu supaya membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan, tetapi hanya perjanjian itu memenuhi syarat-syarat berikut ini : Maksud mengadakan perjanjian; Persetujuan yang tetap (agreement); Prestasi (consideration); Bentuknya (from); Syarat-syarat tertentu (definite term); Kuasa yang halal (legality). (Abdul Kadir Muhammad, 1986: 94). Persetujuan yang tetap (agreement) juga merupakan syarat sahnya perjanjian. Persetujuan yang tetap seperti ini juga dinamakan persetujuan kehendak, yaitu kesepakatan seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian persetujuan disini sifatnya sudah mantap tidak lagi dalam perundingan. (Abdul Kadir Muhammad, 1990: 89) 1. 2. 3. 4. 5. 6. Di samping persetujuan tetap ini, juga dibutuhkan adanya prestasi yang hanya akan mengakui persetujuan yang bukan janji-janji semata (di inggris). Karena itu suatu

perjanjian harus menjadi perbuatan kedua belah pihak, tiap-tiap pihak yang berjanji untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya harus memperoleh pula pemenuhan prestasi yang telah dijanjikan oleh pihak lainnya itu. Prestasi timbal balik ini adalah suatu ciri khusus Common law dan tidak diperlukan oleh kebanyakan system hukum eropa termasuk skotlandia. (Abdul Kadir Muhammad, hlm. 94) Sedangkan perjanjian menurut bentuk (from)nya dari suatu perikatan memang bermacam-macam antara lain : 1. Perikatan Bersyarat yaitu suatu perikatan yang oleh kedua belah pihak digantungkan pada suatu kejadian diwaktu yang akan datang, dan yang belum tentu akan terjadi. 2. Perikatan dengan ketentuan waktu yaitu suatu perikatan yang oleh kedua belah pihak digantungkan pada suatu kejadian di hari yang akan datang dan yang pasti akan terjadi. 3. Perikatan Alternatif yaitu suatu perikatan yang membolehkan debitur cara ia memenuhi kewajibannya. memilih

4. Perikatan Fakultatif yaitu suatu perikatan yang mewajibkan debitur memberikan suatu prestasi yang sudah ditentukan, akan tetapi disamping itu ia berwenang juga untuk tidak memberikan prestasi yang sudah tertentu itu, akan tetapi yang lain. (M. Isa Arif, 1979: 56-57.) Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah baik meliputi orang-orangnya maupun obyeknya. Kesemuanya itu diatur di dalam Pasal 1320 BW dan seterusnya dalam bab dua bagian kedua buku III. (J.Satrio, 1992: 125) Yang mengenai subyeknya ialah : a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut. b. Ada sepakat (konsensus) yang menjadi dasar perjanjian, yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan, ataupun penipuan). (R. Soebekti, 1988, hlm. 16) Sedangkan syarat yang terakhir adalah kuasa yang halal (legality) yaitu jenisjenis tertentu yang dengan jelas bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) tidak dibenarkan sama sekali oleh hukum. Misalnya pengadilan tidak akan memperkenankan seorang pembunuh bayaran memperoleh ganti rugi jika orang yang menyuruh membunuh itu menolak pembayaran yang telah disetujui. (Abdul Kadir Muhammad, hlm. 95)

B. Perjanjian Jual Beli dalam KUH Perdata Berdasarkan azas konkordansi, maka pada tanggal 1 Mei 1948 di Indonesia diadakan KUHS/BW Nederland yang dikodifikasikan pada tanggal 5 Juli 1830. KUHS/BW ini berasal atau bersumber dari KUHS/BW Prancis (Code Civil), dan Code Civil itu bersumber pula pada kodifikasi hukum Romawi Corpus Iuris Civillis dari Kaisar Justisianus (527-565). (C.S.T. Kansil, 1979:20) Menurut pendapat yang lazim, pada zaman sekarang lapangan hukum perdata dapat dibagi dalam 4 (empat) bidang hukum, yaitu : 1. Hukum perseorangan (personenrecht); 2. Hukum keluarga (familierecht), yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum hubungan keluarga;

3. Hukum warisan; 4. Hukum kekayaan (vermogenrecht), yang terdiri dari : a. Hukum kebendaan (zakenrecht), dan b. Hukum perikatan (verbintennisenrecht). (H.M.N. Purwosujtipto, 1993: 4) Perjanjian jual beli atau, seperti itu disebut oleh undang-undang, beli dan jual, dan perjanjian pengangkutan (lalu lintas trem dan lalu lintas kereta api), termasuk perjanjian-perjanjian yang paling banyak diadakan dalam lalu lintas masyarakat. Singkatnya, ialah bahwa pihak yang satu, penjual mengikat diri kepada pihak lainnya, pembeli dengan memindah tangakan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir sejumlah tertentu berwujud uang. Jadi, perutangan dari penjual untuk menyerahkan (benda) dan dari pembeli untuk membayar, dipenuhi pada ketika itu juga dan persetuan kehendak konsensus yang diisyaratkan bagi terjadinya perjanjian, kebanyakan kali ternyata terjadi secara diam-diam, khususnya bagi barang-barang yang diberi harga. (H.F.A. Vollmar, hlm.271272) Berpedoman pada azas yang telah dikemukakan dalam bab tentang azas-azas, perjanjian jual beli ini harus diatur sebagai perjanjian konsensual dan juga jual beli itu belum memindahkan hak milik atas barang yang memindahkan hak milik ini adalah suatu perbuatan hukum yang dinamakan penyerahan, adapun penyerahan ini berbeda-beda menurut macamnya barang yang diserahkan, tanah, barang bergerak atau piutang (barang tak tertubuh). Oleh karena sudah ada undang-undang pokok agraria maka penyerahan mengenai tanah harus diatur tersendiri dalam peratuaran yang merupakan pelaksanan dari undang-undang pokok agraria itu, tetapi cara-cara penyerahan mengenai barang yang bukan tanah perlu sekaligus diberikan pengaturanya dalam undang-undang hukum perikatan yang akan datang. Kalau dalam system BW pembayaran adalah suatu faktor yang irrelevant (tidak penting) untuk peralihan hak milik atas barang yang dijual, tetapi karena dalam pikiran orang yang hidup dalam suasana hukum dapat pembayaran itu (sebagai perbuatan tunai) adalah penting maka sebaiknya apabila yang dijual itu suatu barang yang tertentu dan sudah tersedia, pembayaran itu juga mengalihkan hak milik. Juga dalam hal seperti itu harus dimungkinkan bahwa si pembeli yang sudah membayar itu bias menuntut penterahan barangnya (eksekusi riil) dan tidak diwajibkan hanya menerima ganti rugi saja. (R. Soebekti, hlm. 29) Sedangkan ongkos-ongkos akte (surat perjanjian) jual beli harus dibayar oleh pembeli kecuali kalau penjual dan pembeli menentukan yang berlainan. Siapakah yang harus memikul ongkos pengangkutan dari tempat penjual ketempat pembeli?. Ada dua rupa ongkos yang berbeda, yaitu ongkos pengantaran dan ongkos pengambilan. Kalau dalam persetujuan ditentukan, bahwa barang akan diantarkan oleh penjual, ongkos-ongkos pengantaran itu dipikul oleh penjual. Tetapi kalau dalam persetujuan ditentukan barang akan diambil oleh pembeli, maka pembelianlah yang memikul ongkos pengambilan. Disinipun ada kekecualian, kalau kedua belah pihak menentukan yang berlainan. Meskipun ada ketentuan umum yang diterangkan diatas, sesungguhnya tentang pengangkutan menyangkut syarat penyerahan barang yang harus ditetapkan dahulu tempatnya, waktunya dan siapa yang harus membayar biayanya. hal ini dalam praktek

biasa ditentukan dengan tegas dan sangat hati-hati sebab selain mudah menimbulkan sengketa, juga biayanya mempengaruhi harga barang. (Iting Partadiredja, 1978:23) Untuk menjamin hak-hak si penjual karena vanderechat tidak mungkin dilakukan (sebab barang harus segera dipakai oleh si pembeli), dalam praktek telah tercipta perjanjian yang dinamakan huurkoop. Disini dijanjikan bahwa harga barang dapat dicicil, barangnya seketika dapat diserahkan pada si pembeli, apabila angsuran yang penghabisan telah dibayar lunas. Si pembeli tidak boleh menjual maupun menggadaikan barangnya sebab itu belum menjadi miliknya, dan jika ia berbuat demikian ia dapat dituntut perihal pengelapan. (R. Soebekti, 1980: 163)

C. Syarat-syarat Jual Beli Dalam Hukum Perdata Jual beli ialah persetujuan diantara penjual yang mengikat diri untuk menyarahkan barang-barang dan pembeli yang mengikat diri untuk membayar harganya. Seperti dalam persetujuan lain-lain, dalam jual beli ada dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Jual beli mengandung dua proses penyerahan barang dan pembayaran harganya. Dalam penyerahan barang penjual menjadi debitur. Sedang dalam penyerahan uangnya dia menjadi kreditur. Pembeli dalam penyerahan barang menjadi kreditur, sedang hukum pembayaran uangnya menjadi debitur. (Iting Partadiredja, 1978: 21) Resiko dapat meliputi sejumlah kecelakaan atau kerusakan dari kerugian yang ringan sampai kehilangan atau atau kerusakan total. Ketentuan dasar untuk menentukan pada siapa kerugian itu seharusnya dibebankan adalah pasal 20: Kecuali jika sebaliknya disetujui, barang itu tetap menjadi resiko penjual sampai hak milik itu berpindah kepada pembeli, tetapi ketika hak milik itu berpindah kepada pembeli, barang itu menjadi resiko pembeli apakah penyerahan sudah dilakukan atau belum. Undang-undang juga menentukan lebih kemungkinan waktu kapan kerugian itu dapat terjadi. terperinci. Ada tiga

a. Kerugian yang terjadi sebelum perjanjian dibuat Jelasnya kerugian ini menjadi beban penjual. Ia tidak hanya kehilangan barang, tetapi juga bertanggung jawab kepada pembeli mengenai kerugian jika ia berjanji menyerahkan barang dan kemudian tidak dapat melakukannya. Apabila barang tidak tertentu itu dijual misalnya, hal itu terserah kepada penjual untuk mendapatkan persediaan dan jika persediaannya sendiri menjadi rusak, dicuri, atau musnah, hal ini adalah kemalangannya sendiri; ia harus mendapatkan barang pengganti atau menghadapi kerugian karena tidak ada penyerahan. b. Kerugian yang terjadi antara perjanjian dan pemindahan hak milik Hak milik hanya berpindah segera pada waktu perjanjian dibuat, ketika itu pasal 18 ketentuan satu berlaku. Kerugian terjadi setelah perjanjian, tetapi sebelum hak milik berpindah akan tunduk pada ketentuan-ketentuan yang sama yang dibicarakan di atas; prima facie kerugian menjadi beban penjual dan selanjutnya lagi pembeli boleh menuntut ganti rugi karena non penyerahan jika penjual tidak mempunyai persediaan lain. c. Kerugian yang terjadi setelah pemindahan hak milik berdasarkan pasal 20, kerugian ini menjadi beban pembeli walaupun barang itu masih berada dalam kekuasaan penjual. Namun demikian, ada dua provisos terhadap pasal 20. proviso pertama, menentukan bahwa apabila penyerahan telah ditunda karena kesalahan penjual

atau pembeli, barang itu menjadi resiko pihak yang bersalah mengenai setiap kerugian yang tidak mungkin terjadi selain karena penundaan itu. Akhirnya, pasal 20 hanya berlaku dalam hal tidak adanya persetujuan sebaliknya, dan pihak-pihak selalu dapat menyetujui bahwa resiko itu akan berpindah sebelum hak miliknya, atau sebaliknya. (Abdul Kadir Muhammad, hlm. 265-268) Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara dua pihak yang saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian. Suatu perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun sudah disepakati. Agar supaya suatu perjanjian yang disepakati dapat mengikat harus ada tanda ikatan. Tetapi dengan adanya tanda ikatan belum tentu suatu perjanjian itu dapat dipenuhi. Jadi suatu tanda ikatan menurut hukum adat belum tentu merupakan tanda pengikat. Di samping itu terdapat tanda-tanda ikatan yang bersifat sepihak atau juga tanda-tanda ikatan antara manusia dan bukan manusia. Dengan catatan tidak di semua daerah di Indonesia berlaku tanda-tanda ikatan yang sama. (Hilman Hadikusuma, 1979: 103) Untuk terjadinya perjanjian ini, dalam KUH perdata cukup jika kedua belah pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harganya. Si penjual mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu pertama, menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki barang itu dengan tenteram, dan kedua, ia bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Kewajiban si pembeli, membayar pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan. Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual beli ditutup dan ditempat barang itu berada. Menurut undang-undang, sejak saat ditutupnya perjanjian, resiko mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli. Artinya mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang itu rusak hingga tidak dapat diserahkan pada si pembeli, maka orang ini masih tetap harus membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahan itu, si penjual harus merawat barangnya, maka mulai saat itu ia memikul resiko terhadap barang itu, dan dapat dituntut untuk memberikan kerugian. Barang-barang yang dijual atas dasar beratnya, jumlahnya atau ukurannya, mulai menjadi tanggungan si pembeli setelah barang-barang itu ditimbang, dihitung atau diukur. Karena baru mulai saat penimbangan, perhitungan atau pengukuran itu dianggap barang-barang itu disediakan untuk si pembeli. (R. Soebekti, 1980: 162) Adapun mengenai syarat-syarat jual beli dalam KUH perdata adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH perdata yang berbunyi : Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Suatu hal tertentu; Suatu sebab yang halal. (R. Subekti, 1990: 283) Empat syarat tersebut diatas merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian, artinya tanpa syarat ini perjanjian dianggap sebagai tidak pernah ada. 1. 2. 3. 4. Dua syarat pertama, disebut syarat-syarat subyektif, karena mengenai orangorangnya (para pihak dalam suatu perjanjian) sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri/obyek dari perjanjian yang dilakukan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan, artinya salah satu dari pihak yang mengadakan perjanjian itu dapat meminta kepada hakim, supaya perjanjian itu dibatalkan karena syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi. (Hari Saherodji, 1980: 89) Kata sepakat dalam KUH Perdata dinamakan asas konsensuil adalah, suatu azas yang mengatakan bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat diantara pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa perjanjian itu telah lahir

pada saat atau detik tercapainya kata sepakat atau consensus. (Benyamin Asri, 1992, hlm. 81) Mengenai kecakapan untuk membuat suatu perjanjian dalam KUH Perdata dijelaskan dalam Pasal 1330 yang berbunyi : Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa, 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu. (R. Subekti, hlm. 284) Yang dikategorikan belum dewasa dalam Undang-undang adalah : 1. Apabila peraturan-peraturan undang-undang memakai istilah belum dewasa, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksud adalah segala orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. 2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh dua tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah belum dewasa. 3. Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak. (R.Subekti, hlm.77) Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan , jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh dibawah pengampuan karena keborosannya. Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya, berdasar atas keadaannya dungu, sakit otak atau mata gelap. Berdasar atas keborosannya, pengampuan hanya boleh diminta oleh para keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para keluarga semendanya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keempat. Dalam hal yang satu dan yang lain, seorang suami atau istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya. Barang siapa karena kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap mengurus kepentingan- kepentingan diri sendiri sebaikbaiknya, diperbolehkan meminta pengampuan bagi diri sendiri. (R. Subekti, hlm. 115)

D. Pasal 1467 KUH Perdata tentang Larangan Jual beli Jual beli adalah suatu perjanjian konsensual, artinya ia sudah dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan pembeli mengenai dasar-dasar yang pokok (essentialia) yaitu barang dan harga biarpun jual beli mengenai barang yang tak bergarak. Sifat konsensual jual beli ini di tegaskan dalam Pasal 1468. salah satu sifat yang penting lagi dari jual beli menurut KUH Perdata adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja. Artinya, menurut sistem kitab Undang-undang Hukum Perdata, jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. (Subekti, 1990: 80) Perjanjian-perjanjian jual beli yang dilarang Pasal-Pasal 1467-1470 menentukan dalam hal-hal apakah suatu perjanjian jual beli karena kedudukan tertentu dari salah satu dari para pihak atau dari kedua-dua pihak tidak dapat terjadi secara sah atau lebih baik dikatakan bahwa perjanjian tersebut dapat diganggu gugat.

Di antara para suami istri berdasarkan Pasal 1467 jual beli adalah terlarang, seperti juga perjanjian penghadiahan. Dalam hal itu larangan yang terakhir adalah terbatas. Sebab, tidak berlaku bagi yang disebut pemberian dari tangan ke tangan (yang tidak melampaui batas), dibandingkan Pasal 1715 nomor 399, larangan pembelian dan penghadiahan bermaksud untuk mencegah pergeseran harta antara para suami istri dan untuk menghalang-halangi, bahwa para suami istri itu mengadakan perubahan dalam hubungan harta perkawinan mereka bertentangan dengan Pasal 204 (bandingkan nomor 38), dengan mengadakan perjanjian-perjanjian pura-pura (atau semu). Larangan jual beli sejauh ini bersifat lebih keras, yaitu bahwa itu tidak memberikan perkecualian-perkecualian seperti yang terdapat dalam Pasal 1751 ayat (2) terhadap larangan penghadiahan. (H.F.A. Vollmar, 1980, hlm. 284) Bunyi Pasal 1467 adalah sebagai berikut : Antara suami-istri tak boleh terjadi jual beli kecuali dalam ketiga hal yamg berikut : 1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum. 2) Jika si istri menyerahkan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Juga dari siapa ia tidak dipisahkan, berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual, atau uang yang menjadi kepunyaan si istri, demikian itu jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan; 3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan. (R. Subekti, hlm. 328) Di samping larangan jual beli dalam KUH Perdata terdapat juga larangan penghibahan antara suami istri. Larangan itu tercantum dalam Pasal 1678 KUH Perdata, akan tetapi menurut ayat (2) Pasal itu dikecualikan dari larangan itu adalah pemberian hadiah benda bergarak bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi dengan memperhatikan kemampuan pemberi hibah. Dalam kedudukan harta perkawinan sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat kita golongkan dalam beberapa macam, sebagaimana yang disebutkan dibawah ini : a. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan, yaitu harta bawaan. b. Harta yang diperoleh/dikuasai suami dan istri sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan. c. Harta yang diperoleh/dikuasai suami perkawinan yaitu harta pencaharian. dan istri secara perseorangan selama

bersama-sama

d. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang kita sebut hadiah perkawinan. (Hilman Hadikusuma, 1983: 157) Pada asasnya pemberian/warisan seperti itu kepada salah satu diantara suami istri sepanjang perkawinan masuk kedalam harta kekayaan, tetapi pembuat undangundang memberikan kemungkinan penyimpangan artinya dapat menjadi hak suami atau

istri pribadi atau dengan perkataan lain tak masuk kedalam harta persatuan.( J. Satrio, 1991: 63) Jika seandainya pemberian secara timbal balik antara suami istri itu diperkenankan maka mereka akan bebas dalam melaksanakannya membuat pengecualian tentang campur tangan kekayaan secara bulat dan ini sama sekali tidak diperbolehkan oleh burgelijke wetboek. Keinginan pembentuk undang-undang tentang alasan untuk mengadakan larangan pemberian antara suami istri adalah untuk menghindarkan penipuan dan korupsi perihal pemindahan hak milik dari suami kepada istri atau sebaliknya dengan maksud merugikan orang-orang berpiutang (kreditur). (Oemar Salim, 1981: 80-81) Larangan tersebut juga didasarkan atas pertimbangan demi menghindarkan peralihan harta benda kedalam harta benda istri atau sebaliknya yang dilarang oleh Pasal 29 ayat (4) UU perkawinan dalam hal suami istri kawin dengan perjanjian perkawinan. Apabila larangan tersebut tidak ada maka bilamana suami mempunyai banyak hutang ia dapat mengalihkan kepada istri agar tidak dapat disita, dan dilelang oleh pengadilan untuk pembayaran hutang suami kepada krediturnya. Dalam hal perkawinan tanpa perjanjian perkawinan menurut Pasal 35 ayat (1) UU perkawinan menjadi harta bersama maka tidak ada gunanya bagi suami yang banyak hutangnya untuk menghibahkan benda-benda yang bernilai kepada istrinya agar menyelamatkan benda-benda yang bernilai kepada istrinya dari pelelangan oleh pengadilan untuk pembayaran hutang suami. Sebab benda-benda yang dihibahkan itu menjadi harta bersama yang tidak bebas dari penyitaan dan pelelangan untuk membayar hutang suami. (Suryadiningrat, 1980: 71) Selainnya pengecualian dari larangan bermaksud dalam ayat (2) Pasal 1678 merupakan pengecualian kedua, ialah istri boleh menahan sisa uang belanja untuk dirinya berdasarkan persetujuan dengan sudah dianggap sebagai kebiasaan atau norma apabila seorang suami mengambil asuransi jiwa dalam mana ditetapkan istri yang akan menerima uang asuransi bilamana sisuami meninggal. (Suryadiningrat, hlm. 74-75) Memang dalam Pasal 1467 disebut tiga hal, yang disitu sebagai perkecualian dapat dibenarkan adanya jual beli antara para suami istri, tetapi pada peneropongan lebih lanjut mengenai itu, ternyata bahwa yang ditentukan disitu ditujukan kepada hal yang berlainan sama sekali. Yaitu bahwa tagihan-tagihan dari istri terhadap suaminya atau sebaliknya dapat diperhitungkan dan diselesaikan dengan pemindahtanganan barang-barang. Jadi, disini ada yang disebut pemberian sebagai pembayaran dan pembenarannya dapat diterangkan sebagai berikut, yaitu, bahwa itu berusaha untuk mencegah likwidasi tanpa perlu dan pembelian lagi barang-barang harta kekayaan. Undang-undang tidak memberikan jawaban atas pertanyaan, apakah perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan Pasal 1503 adalah batal mutlak ataukah itu dapat dibatalkan, tetapi, Hogeraad menentukan (arres 8 Januari 1932), bahwa kebatalannya hanyalah dapat ditemukan oleh suami atau istri yang telah dirugikan. Pada ketentuan-ketentuan larangan dari Pasal 1504-1506 ada terdapat motifmotif lain. Itu jelasnya ialah mengenai transaksi, yang disitu calon pembeli ada dalam suatu hubungan sedemikian terdapat barang-barang yang bersangkutan atau

pemiliknya, sehingga dapat terjadi bahaya untuk kerugian eigenar itu. Oleh karena calon pembeli menyalah gunakan keadaan-keadaan dan pengaruhnya. Apakah akibat dari pada perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan PasalPasal tesebut? Disini melebihi ditempat lain terasa sekali kekurangannya akan peraturan yang sudah disinyalir dalam nomor 341 terhadap luasnya kebatalan transaksi-transaksi yang ditentukan oleh undang-undang untuk beberapa keadaan. Orang mengemukakan dan mempertahankan berbagai pendapat. Mengenai orang-orang yang mempunyai pesanan mengenai itu telah diperoleh kata sepakat suatu cara pendekatan yang juga dianut oleh Hogeraad (arres 13 juni 1914) bahwa si pemberi pesanan sendiri dapat memberikan dispensasi dari pada larangan Pasal 1506. sehingga penjualan kepada pemegang pesanan adalah sah, apabila pemberi pesanan terlebih dahulu telah memberikan persetujuannya atau kemudian telah memperkuat penjualan itu, baik secara diam-diam maupun secara tegas-tegas. (H.F.A. Vollmar, 1980: 284-285)

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pasal 1467 KUH Perdata Tentang Larangan Jual Beli Antara Suami Istri Dalam KUH Perdata terdapat larangan jual beli antara suami istri selama perkawinan berlangsung hal ini adalah didasarkan pada pasal 1467 KUH Perdata yang berbunyi : Antara suami-istri tak boleh terjadi jual beli kecuali dalam ketiga hal yamg berikut : 1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum. 2) Jika si istri menyerahkan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Juga dari siapa ia tidak dipisahkan, berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual, atau uang yang menjadi kepunyaan si istri, demikian itu jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan. 3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan. Sekedar benda-benda itu dikecualikan dari persatuan. (R. Subekti, 1990: 328) Ketentuan tersebut hanya mempunyai arti kalau suami istri itu kawin dengan (perjanjian) perpisahan kekayaan. Sebab kalau mereka itu kawin dalam percampuran kekayaan (yang adalah pola normal dalam hukum BW), maka kekayaan kedua belah pihak di campur menjadi satu, baik kekayaan yang selama perkawinan. Ketentuan (larangan jual beli antara sumi istri) ini dimaksudkan untuk melindungi orang-orang pihak ketiga yang mengadakan transaksi-transaksi dengan si suami atau si istri dimana mereka tentunya menyandarkan kepercayaan mereka kepada kekayaan si suami atau istri itu. Dalam hukum perkawinan juga kita lihat suatu larangan untuk merubah suatu perjanjian perkawinan. (R. Subekti, 1989: 100-101)

Dalam hal perkawinan tanpa perjanjian perkawinan menurut pasal 35 ayat (1) UU perkawinan yang berbunyi harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. (Arso Sasro Atmojo, 1981: 94) Maka tidak ada gunanya bagi suami yang banyak hutangnya menghibahkan benda-benda yang bernilai kepada istrinya agar menyelamatkan benda-benda itu dari penyitaan dan pelelangan oleh pengadilan untuk pembayaran hutang suami, sebab benda-benda yang dihibahkan itu menjadi harta bersama yang tidak bebas dari penyitaan dan pelelangan untuk membayar utang suami. (R.M. Suryodiningrat, 1980: 70) Di samping itu keinginan pembentuk undang-undang tentang alasan untuk mengadakan larangan jual beli antara suami dan istri adalah untuk menghindarkan penipuan dan korupsi perihal pemindahan hak milik suami kepada istri atau sebaliknya dengan maksud merugikan orang-orang berpiutang (kreditur). (Oemarsalim, 1987: 8081) Pada azasnya pemberian seperti itu kepada salah satu diantara suami istri sepanjang perkawinan masuk dalam harta persatuan, tetapi pembuat undang-undang memberi kemungkinan penyimpangan artinya dapat menjadi hak suami atau istri pribadi dengan perkataan lain tak masuk kedalam harta persatuan. (J. Satrio, 1991: 63) Sedangkan dalam Islam bila mana dua orang suami istri tinggal bersama-sama dalam satu rumah kepunyaan si suami, si suami dapat melakukan pemberian atas rumah tersebut kepada istrinya tanpa betul-betul menyerahkan rumah tersebut kepada istrinya itu. Suatu sikap yang betul-betul menurut peraturan-peraturan akan mengharuskan si suami berbuat sebagai berikut : a. Bahwa si suami dan si istri harus meninggalkan rumah tersebut. b. Bahwa si suami haruslah menyerahkan pemilikan yang telah dikosongkan itu. dengan resmi kepada istrinya

c. Bahwa si istri harus menerima pemilikan tersebut dan memasuki rumah itu sebagai pemilik yang tidak dapat digugat lagi. Peraturan yang sama juga berlaku bila mana seorang istri melakukan pemberian kepada suaminya. Contoh yang kongkrit dalam Islam pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW yaitu pada perkara Siti Aminah dan Siti Khotijah. Seorang suami telah melakukan pemberian atas satu rumahnya dan beberapa petak lainnya kepada istrinya. Dia telah menyerahkan kunci-kuncinya kepada istrinya kemudian meninggalkan rumahnya dalam beberapa hari (untuk memperlihatkan dengan senyatanyatanya bahwa pemilikan telah diserahkan). Tetapi kemudian kembali kedalam rumah tersebut dan tinggal bersama istrinya sampai hari matinya. Dalam hal ini dinyatakan bahwa pemberian tersebut adalah sah. Jika satu pemberian telah dilakukan seorang suami kepada istrinya dan nama si istri telah dimaksudkan sebagai pemilik yang baru kedalam buku catatan kantor pendaftaran, sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada kenyataan bahwa si suami masih tetap tinggal di sana atau tetap menerima sewa rumah tersebut setelah pemberian dilaksanakan, tidaklah mengganggu kesahan pemberian itu. Anggapan dalam suasana yang demikian ialah bahwa si suami bertindak sebagai orang yang dikuasakan oleh si istri itu. Selanjutnya, jika surat pemberian menyatakan bahwa si suami telah menyerahkan pemilikan kepada istrinya dan kemudian surat tersebut diserahkan pula kepada si istri dan tetap ada dalam tangannya, maka dalam

keadaan ini penukaran nama pemilik tidaklah lagi diperlukan. (Asaf A.A. Fyzee, 1966: 26-27) Larangan jual beli dalam KUH Perdata ini kalau dicermati lebih lanjut ada tiga hal yang perlu di bahas yaitu yang berkaitan dengan pengecualian. Dalam KUH Perdata pengecualian itu ada tiga yaitu : 1. Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum. Menyerahkan benda dari suami kepada istri adalah ada kemiripan dengan hibah. Dalam KUH Perdata, hibah antara suami istri selama perkawinan berlangsung juga dilarang. Hal ini termuat dalam pasal 1678 KUH Perdata : Dilarang adalah penghibahan antara suami istri selama perkawinan. Namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si penghibah. (R. Subekti, hlm. 388) Menurut hukum Al-Quran, semua orang mempunyai hak untuk menerima hibah. Hibah yang diberikan kepada orang-orang yang berada dalam pengawasan walinya seperti orang yang dibawah umur, orang gila, orang mubazir, dan sebagainya, harus diserahkan kepada walinya yang bersangkutan. Orang yang tidak beragama Islam pun dapat menerima hibah dari seorang yang beragama Islam, begitu pula sebaliknya. Begitu pula hukum Al-Quran membolehkan seorang istri menerima hibah dari suaminya, begitu pula sebaliknya. Dan penghibahan antara suami istri ini dilarang oleh hukum perdata dalam pasal 1678 KUH Perdata. (Abdoerraoef, 1970, hlm. 129) Dasar penghibahan antara suami istri ini boleh dalam al-Quran adalah surat Al-Baqarah ayat 177 yang Artinya: Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta. (QS. AlBaqarah : 177) Berpijak dari ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa pemberian yang paling utama adalah kepada kerabat-kerabatnya, kemudian setelah itu kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta. Pengertian kerabat-kerabatnya di sini dengan istilah al-qurba menurut Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din al-Suyuty di maknakan dengan al-qarabah (Jalal al-Din al-Suyuty, hlm. 25) sehingga mengundang arti keluarga, kaum kerabat atau karib. (Mahmud Yunus, 1973: 336) Sedangkan menurut Mahmud Yunus Karib kerabat adalah termasuk di dalamnya, anak, istri dan lain sebagainya. (Mahmoed Joenoes, 1957: 24) Sedangkan hibah kepada suami istri yang terdapat dalam hadits adalah di dasarkan pada hadits yang Artinya : Dari Ibrohimah, Umar bin Abd al-Aziz berkata : tidak akan menarik (hibah yang telah diberikan kepada istrinya). Dan Rasulullah SAW mengijinkan istrinya ketika merawat sakitnya di rumah Aisyah. Dan Nabi berkata : menarik kembali hibah seperti anjing yang memakan kembali apa yang dimuntahkannya". (Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhary, hlm. 90) Berdasarkan hadits tersebut maka jelaslah bahwa hibah kepada suami atau istri dalam Islam adalah boleh dan bahkan menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada istri itu sama artinya dengan anjing yang sudah muntah kemudian dimakannya kembali.

Disamping itu kebolehan hibah kepada istri itu dalam Islam adalah sama nilainya dengan hibah kepada anak-anaknya. Sedangkan dasar pertimbangannya adalah hibah kepada orang lain saja boleh kenapa hibah kepada istri tidak boleh. Kalau dasar pelarangan hibah antara suami istri adalah kekhawatiran terjadi kelimpahan harta yang dapat merugikan orang lain, sebenarnya tidak ada masalah karena apapun yang terjadi harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, sehingga pelimpahan harta dari suami kepada istri juga merupakan harta bersama, yang mana apabila si suami memiliki hutang si istri juga mempunyai kewajiban untuk membayar hutang si suami atau bahkan kepada anak-anaknya memiliki kewajiban untuk membayar hutang orang tuanya. Tujuan utama hibah kepada kerabat dalam Islam adalah untuk membangkitkan rasa kasih sayang, sehingga hadits Nabi Muhammad SAW berbunyi yang (Artinya : Dari Abu Hurairoh RA dari nabi SAW bersabda : Saling memberi hibah, niscaya kamu saling mencintai?) (diriwayatkan oleh al-bukhori dalam kitab al-adab al-mufrad dan abu yala dengan isnad yang baik). (Imam Abu al-Fadl Ahmad ibn Hajar al-Asqalany, hlm. 197) Demikian itu penghibahan antara suami istri selama perkawinan. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah seandainya pasal 1678 KUH Perdata itu dihapuskan. Karena apapun yang terjadi harta yang diperoleh selama perkawinan atau sebelum perkawinan tetap dapat dipisahkan, yaitu : a. Harta yang diperoleh/dikuasai yaitu harta bawaan. suami atau istri sebelum perkawinan

b. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan. c. Harta yang diperoleh/dikuasai suami perkawinan yaitu harta pencaharian. atau istri bersama-sama selama

d. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hibah, yang kita sebut hadiah perkawinan. (Hilman hadikusuma, 1983: 157) Sehingga apabila terjadi pelimpahan antara yang satu dengan yang lain dalam arti suami istri tetap merupakan harta bersama, yang terjadi dapat dijadikan alasan ingkar karena kepailitan. Karena hakikatnya adalah harta bersama. Dengan memperhatikan uraian diatas maka nampak disatu sisi hibah antara suami istri selama perkawinan berlangsung KUH Perdata melarangnya. Namun disisi lain kaitannya dengan jual beli, hibah atau pemberian antara suami istri itu diperbolehkan. Oleh sebab itulah penulis cenderung kepada hukum Islam yang tidak melarang adanya hibah suami istri selama perkawinan. 2. Jika si istri menyerahkan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Juga dari siapa ia tidak dipisahkan, berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual, atau uang yang menjadi kepunyaan si istri, demikian itu jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan. Dalam hal ini tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Sebab betapapun mengembalikan barang pinjaman adalah merupakan suatu keharusan. Para fuqoha

mengkatagorikan hutang itu adalah mal hukumnya yaitu yang artinya : Sesuatu yang dimiliki oleh pemberi hutang, sedang dia itu berada ditangan yang berhutang. (T.M Hasby Ash-Shiddieqy, 1974: 155) Mengingat defmisi itulah maka hutang adalah tergolong harta, sekalipun antara suami hutang itu harus dikembalikan. Oleh sebab itu antara hukum Islam dan KUH Perdata ada kesamaan persepsi tentang pengembalian barang dari suami kepada istri atau sebaliknya. Dengan demikian hal ini secara hukum diperbolehkan sejalan dengan kaidah umum yang artinya : pada prinsipnya sesuatu itu adalah mubah. (Abd al-Wahab khallaf, 1985: 137) 3. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan? Dengan tidak mengurangi, namun demikian dalam ketiga hal ini, hak-hak ahli waris pihak-pihak yang melakukan perbuatan, apabila salah satu pihak dengan cara demikian telah memperoleh suatu keuntungan secara tidak langsung. (R. Subekti, hlm. 306-307) Kekurangan pemberian yang akan diberikan kepada istri adalah merupakan kewajiban. Hal ini ditegaskan dalam kitab Ianah al-tholibin sebagai berikut yang artinya : Apabila calon suami menyerahkan harta kepada calon istrinya dengan mengatakan bahwa harta itu untuk mas kawin (yang wajib karena akad) dan kiswah yang diwajibkan karena akad dan tamkin sedang pihak istri menyatakan bahwa harta tersebut adalah hadiah, maka perkataan istrilah yang dibenarkan. (Sayid Bakri, hlm. 340) Sementara dalam kitab al-muhazzab dijelaskan yang artinya : Apabila perceraian terjadi sesudah dukhul maka mahar harus dibayar penuh. (Syeikh Abi Ishaq Ibrahim al-Syairazy, hlm. 61) Melihat pada permasalahan tersebut maka jual beli antara suami kaitannya dengan penyerahan kekurangan harta perkawinan antara hukum Islam dan KUH Perdata adalah tidak ada perbedaan. Dengan demikian menurut penulis jual beli antara suami istri setelah adanya pemisahan harta suami dan istri adalah tidak ada masalah. Dan hal ini seharusnya juga diperbolehkan dalam KUH Perdata sehingga pasa 1467 itu dapat dihilangkan. B. Analisis terhadap Syarat-syarat Jual Beli dalam KUH Perdata Syarat adalah suatu yang tergantung adanya hukum atas adanya syarat dan lazim dari tidak adanya syarat tidak adanya hukum. (Dahlan Idhamy, 1990: 39) Sedangkan yang dimaksud dengan syarat jual beli dalam KUH Perdata adalah sesuatu yang tergantung adanya hukum jual beli atas adanya syarat dan lazim dari tidak ada syarat jual beli tidak ada hukum jual beli. Syarat jual beli yang terdapat dalam KUH Perdata memang tidak disebutkan secara khusus, akan tetapi syarat jual beli itu termasuk didalamnya tentang syaratsyarat perjanjian pada umumnya. Sebab syarat-syarat perjanjian secara umum juga meliputi sewa menyewa, tukar menukar, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam meminjam dan lain sebagainya yang berkenaan dengan perjanjian. Syarat sah perjanjian dalam KUH Perdata disebutkan dalam pasal 1320 yang berbunyi : untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat? yaitu :

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Suatu hal yang tertantu. Suatu sifat yang halal. (R. Subekti, 1990: 283) Sepakat karena yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian adalah harus disertai dengan ijab qobul baik itu dengan cara terang-terangan (sharih) atau dengan cara samar-samar (kinayah) sebagaimana dikatakan Ibnu Rosyid dalam kitab hidayah almujtahib sebagai berikut yang artinya : Sesungguhnya jual beli itu terjadi dengan sah harus diserahi dengan ucapan, baik dengan cara terang-terangan atau kinayah. (Ibn Rusyd, hlm. 128) 1. 2. 3. 4. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya juga harus digambarkan oleh Allah SWT dalam al-Quran sebagai berikut yang Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.(QS. An-Nisa : 29). Demikian juga Rasulullah SAW telah bersabda melalui riwayat dari ibnu hibban sebagai berikut yang artinya : Dari Ibnu Hibban sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : akad jual beli itu yang berlangsung suka sama suka (rida). (Muhammad Ibn Ismail alKahlany, hlm. 4) Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan, kerelaan dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan yang di dalamnya tidak adanya unsur memadhorotkan (membahayakan, merugikan) diantara pihak yang melakukan perikatan. Dengan kata lain, dalam KUH Perdata dan hukum Islam tidak ada perbedaan prinsip dalam hal kesepakatan ini. Sedangkan dalam kaitannya dengan kecakapan untuk membuat sesuatu perikatan dalam KUH Perdata dijelaskan bahwa kedewasaan seseorang didasarkan pada pasal 330 KUH Perdata yang berbunyi : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin? Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam berkedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini. Penentuan arti istilah belum dewasa? yang dipakai dalam beberapa peraturan ordonanci 31 januari 1931, LN 19311954 : 1) Apabila peraturan-peraturan undang-undang memakai istilah belum dewasa? maka sekedar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan adalah segala orang yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin? 2) Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur dua puluh dua tahu, maka tidaklah mereka lagi dalam istilah belum dewasa? 3) Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak.(R Subekti,hlm.98) Dengan demikian orang yang belum dewasa/berusia 21 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan adalah dianggap belum dewasa. Sedangkan dalam Islam, kedewasaan itu sendiri tidak ada batasan umur. Akan tetapi jika dikiasakan pada kebolehan berperang sebagaimana dalam hadits yang Artinya : Saya (ibnu umar)

dihadapkan pada Rasulullah untuk berperang uhud, dan pada waktu itu saya berumur 14 tahun, lalu beliau tidak memperbolehkan saya ikut, kemudian saya dihadapkan beliau untuk perang khandaq, sedangkan saya waktu itu berumur 15 yahun, maka beliau membolehkan saya ikut. (Abu Abdillah ibn Ismail al-Bukhary, hlm. 106) Maka batas dewasa itu sebenarnya kalau dipahami hadits itu adalah minimal berumur 15 tahun. Akan tetapi kalau dikembalikan pada undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, maka umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk wanita. (A. Wasit Aulawi, 1981: 86). Sedangkan menurut kompilasi hukum Islam di Indonesia, disepakati bahwa kedewasaan untuk dapatnya melangsungkan hibah adalah berumur 21 tahun. (Abdurrahman, 1992: 164) Sedangkan dalam kaitannya dengan orang yang menerima hibah dalam KUH Perdata berpegangan pada pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi : Anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan bila mana juga kepentingan si anak menghendakinya. (R. Subekti, hlm. 25). Sementara dalam Islam apabila masih berupa janji maka dapat mengakibatkan tidak sahnya hibah. (Sayid Sabiq, hlm. 461) Sedangkan orang yang tidak cakap dalam KUH Perdata yang lainnya adalah orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan. Dalam hal ini KUH Perdata memandang terhadap orang tersebut adalah sama dengan hukum orang yang belum dewasa yaitu berdasarkan pada pasal 452 KUH Perdata. Termasuk dalam kategori ini adalah setiap orang dewasa yang beliau berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan. Jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh dibawah pengampuan karena kebosanannya. Dalam Islam terhadap orang-orang yang demikian ini adalah digolongkan kepada orang yang dungu (safih). Imam Taqiyuddin berpendapat bahwa orang tua atau anak kecil, orang gila dan orang dungu (safih) tidaklah sah apabila mereka membelanjakan (mentasarrujkan). (Imam Taqiy al-Din Abi Bakar, hlm. 267). Disamping itu ada firman Allah yang senada dengan pernyataan tersebut yang Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (QS. an-Nisa) Dalam hal ini Ibn al-Munzir berkata : Sebagian besar para Ulama dinegeri Islam berpendapat bahwa pembatasan itu dikenakan kepada setiap orang yang menghamburhambur hartanya, baik itu anak-anak ataupun orang dewasa. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi yang artinya : (Dari Abu al-Duha dari Nabi SAW berkata : Telah diangkat pena dari tiga orang yaitu dari orang yang sedang tidur sampai ia bangun dan dari anak-anak hingga dewasa dan dari orang yang gila sampai la berakal). (Imam Abu Dawud, hlm. 141) Sedangkan kaitannya dengan akad perwakilan para Ulama sepakat tentang kebolehannya, sebagaimana pendapat Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih al-Sunnah sebagai berikut : Selain dapat dengan lisan dan tulisan, akad juga dapat dilakukan dengan perantaraan tulisan dari satu pihak yang berakad, dengan syarat si utusan dari suatu pihak menghadap kepada pihak yang lainnya. Jika tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak akad sudah menjadi sah. (Sayyid Sabiq, 1971: 93)

Dengan demikian pada hakekatnya antara hukum Islam dengan KUH Perdata adalah sama-sama bertumpu pada kemampuan akal sebagai landasan berpijak kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Bahkan dalam Islam sendiri memandang akal adalah alat untuk memahami dan memperoleh sesuatu (paham). Dan dengan akal terarahlah kemauan (syara) untuk pelaksanaannya. Demikian masalah kecakapan dalam hal jual beli baik dalam KUH Perdata maupun hukum Islam. Kesemuanya yang dituju adalah untuk maslahah sehingga keduanya tidak ada masalah.

KESIMPULAN Setelah penulis teliti data-data yang berhubungan dengan pasal 1467 KUH Perdata tentang larangan jual beli antara suami istri dan setelah penulis mengadakan pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengannya maka dapatlah kesimpulan sebagai berikut : 1. Syarat jual beli yang terdapat dalam KUH Perdata memang tidak disebutkan secara khusus, akan tetapi syarat jual beli itu termasuk didalamnya tentang syarat-syarat perjanjian pada umumnya. Sebab syaratsyarat perjanjian secara umum juga meliputi sewa menyewa, tukar menukar, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam meminjam dan lain sebagainya yang berkenaan dengan perjanjian. Syarat sah perjanjian dalam KUH Perdata disebutkan dalam pasal 1320 yang berbunyi : Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat? yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Jual beli antara suami istri adalah di larang berdasarkan Pasal 1467 KUH Perdata. 2. Akibat hukum jual beli antara suami istri setelah adanya pemisahan harta suami dan istri adalah tidak ada masalah. Dan hal ini seharusnya juga diperbolehkan dalam KUH Perdata sehingga pasa 1467 itu dapat dihilangkan. 3. Larangan jual beli antara suami istri yang terdapat dalam pasal 1467 KUH Perdata dalam pandangan Islam tidak diatur baik yang terdapat dalam al-Quran atau al Hadits. Bahkan para ulama sendiri tidak menyinggungnya dalam pembahasan jual beli yang terdapat dalam kitab-kitabnya. Sementara hibah antara suami istri (selama perkawinan) dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan, yang mana antara hibah dan jual beli adalah sama-sama memiliki unsur tasaruf yang syarat rukunnya hampir sama dengan jual beli, maka pada hakikatnya jual beli antara suami istri tidak ada masalah, dan sah menurut hukum Islam. PENUTUP

Dengan segala puji dan rasa syukur kahadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi ini, meskipun dalam pembahasannya sangat sederhana. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha secara maksimal dengan mencurahkan segala kemampuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu sebagai manusia biasa sedikit banyak mempunyai sifat serba kurang dan dhoif, maka dalam penyusunan skripsi ini apabila terdapat kekurangan dan kesalahan, semata-mata hanyalah karena keterbatasan pengetahuan dan kekurangan pada diri penulis. Oleh karenanya, koreksi dan saran-saran dari pembaca, akan penulis terima dengan sepenuh hati, demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. dan untuk itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Akhirnya semoga dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pada pembaca pada umumnya. Amin Wallahu Alam Bi Al Sawab

DAFTAR PUSTAKA

Abd Al-Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqh Ala Al-Mazahib Al-Arbaah, Juz III, Ikhla Wakif, Turki, 1983. Abdoerraoef, Al-Quran dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1970. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Abdul Kadit Muhammad, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986. Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Terj. Moch Tolchah Mansur), Risalah, Bandung, 1985. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992. Abu Abdillah Muhammad Ibn Islmail Al-Bukhary, Sahih Al-Bukhory, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, t. th. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1995. Arso Sosro Atmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1981. Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam, II, (Terj. Arifin Bey), Tinta Mas, Jakarta, 1966. Bachsan Mustafa, dkk., Azas-azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Armico, Bandung, 1985. Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Tanya Jawab Pokok-pokok Hukum Perdata dan Hukum Agraria, Armico, Bandung, 1987. Choiruman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, tt., 1994. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984. Hamzah Yaqub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Diponegoro, Bandung, 1992. Hasby Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975. Hasby Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974. Hilman hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1983. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Al-Maarif, Bandung, t. th.

Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid, Dar Al-Fikr, Beirut, t. th. Ibn Taimiyah, al-Qawaid al-Nuraniyah, Dar al-Fikr, Mesir, t.th. Imam Abu Fadl Ahmad Ibn Hajar Al-Asqalany, Bulugh Al-Maram, Dar Al-Fikr, Beirut, t. th. Imam Muslim, Sahih Musilim, Juz I, Al-Marifah Li Al-Tab Wa Al-Nasyr, Bandung, t. th. Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husain, Kifayah Al-Akhyar, Juz I, Al-Maarif, Bandung, t. th. Isa Arif, Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 1979. Iting Partadiredja, Pengetahuan dan Hukum Dagang, Erlangga, Jakarta, 1978. Jalal al-Din Abd al-Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980. Jalal Al-Din Al-Suyuty, Tafsir Al-Quran Al-Karim, Usaha Keluarga, Semarang, t. th Kansil, Hukum Dagang Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1979. Mahmoed Joenoes, Tafsir Al-Quranal-Karim, Pustaka Mahmudiyah, Jakarta, 1957 Mahmud Junus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan penyelenggara penterjemah/Pentafsir al-Quran, Jakarta, 1973. Muhammad Al-Sidqy, Al-Wajiz Fi Idah Al-Kulliyah, Mustafa Al-Baby Al Halaby Wa Auladuh, Mesir, t. th. Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlany Al-sanany, Subul Al-Salam, Juz III, Maktabah Dahlan, Bandung, t. th. Muhammad Idris al-Marbawy, Kamus Idris al-Marbawy, Al-Hidayah, Surabaya, t.th. Noeng Muhadjir, Penelitian Kualitatif, Alumni, Bandung, 1982. Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid I, Djambatan, Jakarta, 1993. Satrio, Hukum Perdata Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. Sayid Bakri, Ianah Al-Talibin, Juz III, Dar Al-Ihya, Indonesia, t. th.

Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, t. th. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit UI, Jakarta, 1986, hlm. 11-12 Sri Dewi Masjhoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perutangan, Seksi Hukum Perdata FH. UGM, Yokyakarta, 1980. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya, Bakti, Bandung, 1988. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan berdasarkan sumber perjanjian, Tarsito, Bandung, 1980. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, jilid I, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yokyakarta, 1978. Syeikh Abi Ishaq Al-Syairazy, Al-Muhazzab, Juz II, Toha Putra, Semarang, t. th. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1989. Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual al-Quran, Mizan, Bandung, 1990. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (terj. I.S. Adiwinata), Rajawali, Jakarta, t.th. Wahbah al-Zuhaly, Al-Fiqh al-Islamy w Adillatuh, juz IV, Dar al-Fikr, Mesir, t.th. Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, 1991. Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Quran, Jakarta, 1992

MENGENAL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN MODEL INKLUSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM Oleh: Sulthon Abstrak

Pendidikan adalah hak semua warga Negara tanpa memandang setatus social, ras , etnis, suku, bangsa termasuk anak yang menyandang kecacatan. Dengan demikian anak berkelaianan juga memiliki hak yang sama dengan anak pada umumnya dalam kesempatan berpendidikan yang layak, sesuai dan bermartabat. Semua yang menyangkut aturan undang-undang sudah jelas dan terakomodir keberadaannya, namun dari segi pelaksanaannya masih banyak yang menyimpang dari aturan yang sesungguhnya. Pada kenyataanya anak berkelainan belum bisa mengikuti pendidikan yang leluasa karena tidak semua sekolah yang ada bisa melayaninya karena alasan-alasan klasik yang merugikan anak berkelainan. Sekolah yang memberikan pendidikan bagi anak ini masih bersifat apresiatif dan ironis sehingga perlu perjuangan yang berat menuju pendidikan yang benar-benar demokratis. Secara ideal dengan pendidikan yang terintegrasi berarti anak berkelainan dapat dilayani disekolah manapun mereka inginkan, termasuk memilih sekolah di madrasah. Karena madrasah akan menjadi pilihan bagi mereka karena baik orang tua maupun siswa anak berkelainan ini membutuhkan sentuhan-sentuhan yang berkenaan dengan penyadaran, keimanan, dan keikhasan. Pendekatan keagamaan secara fitrah menjadi bagian yang sangat berpengaruh dalam setiap kondisi dan situasi yang dihadapi manusia, karena pada hakekatnya manusia itu akan selalu menyatu dengan Tuhannya melalui pengembangan spiritualitasnya. Berbagai problem yang dihadapi anak berkelainan dan juga orang tuanya akibat kecacatan yang dideritanya menyebabkan timbulnya berbagai macam masalah yang mengirinya termasuk kesulitan belajar, bersosialisasi, dan kesulitan lain yang berkaitan dengan problem psikologis, yang kesemuanya dibutuhkan kekuatan dalam menghadapinya.

Kata Kunci : Pendidikan, Multikultural, Inklusi, dan Islam

A. Pendahuluan Pendidikan segregasi bagi anak berkebutuhan khusus sampai saat ini belum menunjukkan titik terang dalam memberikan layanan bagi mereka. Dalam kenyataanya terdapat banyak hal yanmg masih menyimpan permasalahan. Pertama, berkaitan dengan pemerataan. Sebagian besar pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus berada di kotakota besar, sehingga tidak menjangkau mereka yang berada di daerah. Hal ini menyebabkan lebih dari 40 % jumlah penyandang cacat belum tertampung dalam pendidikan. Kedua, pendidikan segregasi mengandung nilai filosofis yang kurang menguntungkan karena dengan pendidikan yang terpisah semakin membatasai anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya yang normal. Akibatnya sekat perbedaan akan semakin jauh, sehingga akan mengalami kecanggungan dikemudian hari ketika harus kembali dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Ketiga, Biaya pendidikan semakin tinggi karena banyaksarana prasarana yang harus dipersiapkan dan harganya cukup mahal.

Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) sebagai representasi dari pendidikan segregasi tertua di Indonesia sebenarnya diselenggarakan oleh pemerintah dan swadaya masyarakat dalam rangka memberikan layanan khusus karena pada saat itu terdapat pemahaman bahwa layanan pendidikan bagi anak tersebut yang paling sesuai adalah sekolah segregasi. Dalam pasal 32 (UUSPN NO. 20 Tahun 2003 Bab IV) disebutkan bahwa pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Berdasarkan pasal 32 UUSPN, maka dalam layanan pendidikanya terspesifikasi sesuai jenis kecacatan siswa, yaitu SLB khusus anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, tuna ganda, serta anak berbakat yang masing-masing terpisah satu sama lain. Secara statistic di Jawa Tengah terdapat 27 sekolah khusus anak tuna netra, 69 sekolah untuk anak tuna rungu, 78 sekolah untuk anak tuna grahita, 14 sekolah untuk anak tuna daksa, dan 2 sekolah bagi anak tuna laras. Meskipun secara kuantitatif terlihat bertambah jumlahnya sekolah segregasi tiap tahunnya, namun pertumbuhan tersebut tetap tidak mengimbangi jumlah anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan layanan pendidikan. Adanya kebijakan pemerintah dengan mendirikan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Inpres Tahun 1980, yaitu di setiap kabupaten didirikan satu SDLB itu hanya sebatas pemberian apresiasi yang tentunya belum sampai pada pemerataan pendidikan yang sesungguhnya bagi anak berkelainan. Masih langkanya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ini karena memang sekolah ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan dalam realitasnya pemerintah kurang menaruh perhatian yang serius. Ini terbukti 190 jumlah sekolah segregasi sebagian besar adalah sekolah yang dikelola swasta. Bagi anak berkebutuhan khusus, amanat UUD 1945 terutama pasal 31 belum dapat menjamin haknya sebagai warga Negara dalam berkesempatan memperoleh pendidikan. Ini menunjukkan bahwa layanan pendidikan segregasi dengan berbagai kelemahannya perlu pemikiran dan upaya alternatif sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Kebijakan pemerinyah dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun perlu memperhatikan seruan International Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO tahun 2000, yaitu penuntasan wajib belajar 9 tahun bagi anak berkebutuhan khusus kiranya sulit dicapai bila tetap melanggengkan pendidikan segregasi. Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah seruan UNESCO yang dalam praksisnya dapat berbentuk pendidikan inklusi. Pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus adalah mutlak, karena dilandasi oleh pasal 31 UUD 1945 dan pernyataan Salamanca tahun 1994 yang merupakan perluasan tujuan EFA dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan pendidikan inklusi. Melalui pendidikan inklusi diharapkan sekolah-sekolah regular dapat melayani semua anak ini. Di Indonesia melalui SK Mendiknas No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah regular yang melayani penuntasan wajib belajar bagi anak berkebutuhan khusus. Dengan pendidikan model inklusi lebih menjangkau bagi seluruh anak berkebutuhan khusus yang tersebar di seluruh negeri ini untuk memperoleh kesempatan berpendidikan, karena mereka dapat ditampung di sekolah-sekolah regular dimana mereka tinggal. Dengan demikian pemerataan pendidikan bagi anak kategori ini akan mudah tercapai. Selain dari itu pendidikan inklusi juga akan memberikan kesempatan yang besar bagi anak berkebutuhan khusus untuk berkembang potensinya tanpa dibedakan dengan teman sebayanya. Mereka dapat bersosialisasi, partisipasi, dan berekspresi dalam proses pembelajaran yang bermakna. Dengan memberikan kebebasan mereka untuk duduk bersama, belajar dan bermain bersama secara psikologis akan memperkecil jurang pemisah dengan teman lainnya, sehingga kepercayaan dirinya akan terbangun dengan baik. Kepercayaan diri bagi anak berkebutuhan khusus sangat menentukan dalam

kehidupanya kelak. Mereka akan dapat hidup secara normal dan menyatu dengan masyarakat manakala dalam diriya terbentuk kompetensi social melalui belajar bersama di sekolah yang integrasi. Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal mengikuti prinsip dasar sebagai berikut : selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. (Pernyataan Salamanca Konferensi Dunia tentang Pendidikan Anak Berkelainan, 1994). Model pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Secara filosofis model segregasi sebenarnya tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berinteraksi dengan masyarakat normal, tapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Pendidikan segregasi dilihat dari segi pengelolaan memang menguntungkan bagi guru dan administrator, namun dari sudut pandang peserta didik sungguh merugikan. Karena tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa (Reynolds dan Brich, 1988). Berdasarkan fakta empiris, pendidikan segregasi hanya melanggengkan kebijakan yang bersifat pragmatis tanpa diimbangi dengan berbagai pertimbangan untung ruginya bagi kepentingan peserta didik. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan layanan pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh potensinya tanpa sekat-sekat social yang mempertajam dirinya dengan masyarakat selama mereka berada terpisah dalam pendidikan, maka selama itu pula mereka akan tetap jadi manusia yang lain, berbeda dan hanya merasa punya satu komunitas yang sama dengan dirinya. Dengan kata lain, pendidikan baginya belum berarti memberikan kebebasan untuk berkembangnya seluruh potensi peserta didik. Pendidikan inklusi sebagai alternatif pendidikan integrasi bagianak berkebutuhan khusus memiliki empat karakter makna, yaitu: 1) Pendidkan inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak; 2) Pendidikan inklusi berarti memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatanhambatan anak dalam belajar; 3) Pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak kecil yang hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; dan 4) Pendidikan inklusi diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, eksklusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar (Direktorat PLB, 2004). Dalam konteks pendidikan, pendekatan inklusi dalam prakteknya lebih memberikan peluang bagi anak berkebutuhan khusus untuk memahami, menyadari diri dan mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan penuh kebebasan dan kreativitas dalam atmosfir pendidikan biasa. Sebenarnya inilah titik awal penyelenggaraan pendidikan yang demokratis bagi anak berkelainan. Memandang hakekat pendidikan inklusi yang lebih mengutamakan keragaman, hambatan dalam belajar, proses dan hasil serta kebutuhan layanan pendidikan bagi anak berkelainan, maka sebuah pendidikan yang lebih tepat dan memiliki nilai lebih dalam menerima dan menyadarkan anak tersebut, yaitu melalui pendidikan Islam. Mengapa Pendidikan Islam? Ada argumen yang bisa diketengahkan disini; Pertama, Pendidikan Islam

bersumber pada ajaran Islam (Al-Quran dan Hadits) dimana dalam seluruh ajarannya tak pernah membedakan kategori manusia dari segi fisik, namun yang paling mulia di sisi Allah hanyalah prestasi ibadah (taqwanya). Hal ini akan membawa penyadaran yang hakiki terutama bagi anak cacat untuk tidak putus asa atau menyalahkan Tuhannya. Tapi sebaliknya, justru akan membangkitkan semangat hidup dan berkarya secara baik. Kedua, keberadaan orang cacat diakui oleh Islam sebagaimana termaktub dalam surat An-Nur ayat 61. Ayat di atas mengukuhkan keberadaan orang tuna netra sebagai salah satu jenis kecacatan yang diakui dalam ajaran Islam. Ketiga, pendekatan religius pada hakekatnya setiap manusia memiliki potensi religius untuk bertauhid kepada Allah, dengan mengembangkan potensi ini secara maksimal, mereka akan bertambah keyakinannya sehingga keadaan yang kurang pada dirinya tidak akan menjadi alasan untuk frustasi, meratapi diri dan selalu minder, tapi secara berangsur-angsur motivasi dalam dirinya akan bertambah seiring dengan bertambahnya kompetensi keimanan dalam dirinya. Keempat, Islam sangat menghargai perbedaan individu, segala perbuatan manusia pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan secara individu kepada Tuhannya, sebagaimana firman-Nya yang artinya : tiap-tiap orang bertanggung jawab terhadap segala yang diperbuatnya (QS. Al-Mudatsir:38) Implikasi ayat di atas bahwa Islam sangat menghargai keragaman atau deferensisai hakekat manusia yang tidak boleh dibedakan hanya berdasarkan atas ras, jenis kelamin, kecacatan dan seterusnya. Karena semua urusan akan dibebankan pada masing-masing individu. Dengan demikian membelajarkan anak berkebutuhan khusus dalam pendidikan Islam memiliki landasan yang kuat dan lebih sesuai dengan karakteristik permasalahan yang mereka hadapi.

B. Pendidikan Segregasi 1. Pengertian pendidikan segregasi Pendidikan segregasi adalah pendidikan yang dilakukan secara terpisah baik dari segi kurikulum, penyelenggaraan dan tenaga pendidiknya, pendidikan segregasi dalam praksisnya berbentuk sekolah luar biasa dan sekolah dasar luar biasa dan sekolah terpadu (Direktorat PLB,2004).Sekolah Luar Biasa adalah sekolah yang khusus memberikan layanan pendidikan pada satu jenis kecacatan tertentu seperti SLB-A untuk anak tuna netra, SLB-B khusus anak tuna rungu dan sebagainya.sedang Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) adalah sekolah yang didirikan pemerintah dalam rangka penuntasan wajib belajar bagi anak usia 7-12 tahun berada di tiap kabupaten untuk menangani beberapa kecacatan. Jadi SDLB dapat menangani anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa dan tuna laras dalam satu satu sekolah. Sekolah terpadu adalah sekolah umum yang menerima anak berkelainan dengan kurikulum sama dengan anak normal seperti anak tuna netra bersekolah di SMU umum. Menyebut pendidikan segregasi dalam prakteknya berbentuk pendidikan luar biasa atau pendidikan anak berkebutuhan khusus. Menurut UUSPN No. 20 tahun 2003 pada pasal 32 disebutkan bahwa pendidikan luar biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social dan atau memiliki potensi kecerdsan dan bakat istimewa (UUSPN No.20 tahun 2003 Bab IV Pasal 32). Lasikun Notoatmodjo menyatakan pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diberikan kepada anakanak luar biasa yang meliputi anak tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras dan tuna ganda agar mereka dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan jenis dan taraf kelainannya (1984).

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki tingkat kelainan fisik ( tuna netra, tuna rungu, tuna daksa), emosional (tuna laras), mental ( tuna grahita),kecerdasan dan bakat istimewa agar mereka dapat menikmati kehidupan yang layak. Sedang anak didik luar biasa adalah anak yang menyandang kelainan fisik, intelektual psikologis maupun kelainan social atau emosi atau tingkah laku (Tien Supartinah, 1995). Terkait dengan pengertian anak luar biasa, maka yang menjadi ukuran dalam pendidikan bagi mereka adalah sejauh mana kesulitan yang dihadapi dalam mengikuti pembelajaran, sehingga anak tidak dapat diperlakukan sama dalam suatu pendidikan bersama dengan anak pada umumnya. 2. Anak Berkelaianan dan Permasalahannya Kelainan yang dialami masing-masing anak memiliki karakteristik khusus karena secara langsung ataupun tidak langsung akan berakibat sebagai berikut : 1). Tuna netra, yaitu anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya berupa kebutaan menyeluruh atau setengah (buta sebagian). Sedang masalah yang dihadapi adalah komunikasi visual, oleh karena itu mereka umumnya memiliki pengertian yang bersifat abstrak, terbatas mobilitasnya, sulit memahami konsep secara keseluruhan, perkembangan pribadi dan sosialnya, mereka memiliki gejala antara lain kurang mandiri, konsep diri negatif, kurang percaya diri, peka terhadap orang lain disekitarnya, penyesuaian social terlambat. Perkembangan pendidikan mereka mengalami hambatan komunikasi karena harus mengenal tulisan Braille. Kemampuan comprehension juga terganggu karena kesulitan mengintegrasikan informasi yang diterimanya. 2). Tuna rungu, yaitu anak yang kehilangan sebagian atau seluruh daya pendengaranya, sehingga anak tidak dapat berkomunikasi secara verbal. Masalah yang dihadapi adalah dalam hal bahasa, sulit memahami bahasa orang lain, waktu bicara nafasnya pendek agak tersendat-sendat. Dilihat dari perkembangan pribadi dan social, mereka memiliki rasa rendah diri, gangguan bicara dan bahasa, cenderung lebih suka berkelompok dengan sesama tuna rungu, kurang peka terhadap orang lain. Dari segi pendidikan, anak tuna rungu mengalami masalah pada bahasa dan komunikasi, perhatian mereka sulit dialihkan, lebih memperhatikan yang kongkrit dan sulit memahami yang abstrak. 3). Tuna grahita, yaitu anak yang mengalami hambatan dalam perkembangan mental disertai ketidakmampuan untuk belajar dan menyesuaikan diri sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan khusus. Masalah mendasar bagi anak tuna grahita adalah rendahnya kemampuan berpikir. Perhatian dan ingatannya lemah, perhatiannya mudah dipengaruhi, untuk memahami kemampuan berpikir dan inteligensinya dapat dilihat klasifikasi yang sudah umum digunakan dalam pendidkan bagi mereka, yaitu : (1) Debil IQ-nya 50-70 (2) Embisil IQ antara 25-49; (3) Idiot memiliki IQ antara 24 kebawah (Lasikun, 1984). Dilihat dari perkembangan social dan emosinya, anak tuna grahita dan kepribadianya, mereka lebih agresif, banyak tingkah laku yang bersifat menyerang, merusak dan kurang terkontrol. 4). Tuna daksa, yaitu anak yang memiliki kelainan yang menetap pada alat gerak seperti: tulang, sendi, sedemikian rupa sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus. Sebagian besar keadaan anak tuna daksa tidak langsung menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan inteligensi, hanya kelainan pada anak cerebral palcy. Dilihat dari segi perkembangan dan emosianal tuna daksa, tidak ada sesuatu yang spesifik. Hal ini tergantung banyak factor, antara lain tingkat kesulitan akibat kecacatan, kapan cacat itu terjadi, bagaimana keadaan keluarga

dan dorongan social serta status social dalam kelompok, serta sikap terhadap anak. 5) Tuna laras (tuna sosial), yaitu anak yang mengalami hambatan dalam hal penyesuaian diri terhadap lingkungan social dan bertingkah laku kurang wajar atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Hambatan yang dimiliki anak tuna laras adalah sukar mengadakan hubungan dengan orang lain dan tidak baik kehidupan emosinya, cenderung berbuat menyimpang dari norma social, bersifat apatis terhadap lingkungannya. Bratanata mengklasifikasikan anak tuna laras meliputi : (1) anak berperilaku buruk tanpa gangguan emosi; (2) anak berperilaku buruk disertai gangguan emosi; dan (3) anak terganggu emosi tetapi tidak berperilaku buruk (1976). Secara umum penyebab gangguan tingkah laku adalah ; pertama, lingkungan yang buruk, kedua, keterbelakangan mental; ketiga, penyakit tertentu seperti epilepsy, neurosis; keempat, kelainan kepribadian seperti psikopat. Dilihat dari bentuknya, kelainan kepribadian anak tuna social dimasukkan dalam psikopat yaitu gangguan tingkah laku yang menyusahkan orang lain. Anak tipe ini mengalami kesukaran dalam mengatur dirinya sendiri. Tujuan pendidikan bagi anak tipe psikopat dikelompokkan menjadi hipertim dan histeris. Anak hipertim penyimpangan terletak pada kehidupan suasana hati, ia cenderung dalam suasana gembira dan riang. Hal ini dimanifestasikan dalam tingkah laku yang sibuk, banyak gerak, suka tertawa dan banyak bicara serta suka menghiraukan larangan atau norma-norma. Anak histeris memiliki kelainan kepribadian, memiliki egosentris yang kuat, keinginan untuk menguasai dan kepalsuan dalam menyatakan perasaan. Anak tipe ini suka bersandiwara, mampu menyatakan yang tidak sebenarnya secara baik.

3. Layanan Khusus Bagi Anak Berkelainan di sekolah Inklusi 1). Layanan Khusus Anak Tuna Netra Pendidikan bagi anak tuna netra yang perlu difasilitasi berkaitan dengan kesulitan yang dihadapinya yaitu dengan memberikan latihan orientasi dan mobilitas. Latihan ini untuk membiasakan mereka agar memiliki kecakapan dan kecekatan yang memungkinkan anak tuna netra mencapai gerak yang efisien dan luwes, bagaimana ia dapat mengarahkan dirinya dengan baik, dan juga latihan membaca dan menulis dengan huruf Braille serta latihan menggunakan tongkat putih secara benar. 2). Layanan Khusus Anak Tuna Rungu Karena terdapat hambatan pendengaran, maka anak ini mengalami masalah dalam komunikasi dengan orang lain melalui bahasa lisan. Mereka harus dilatih membaca bibir, yaitu latihan menangkap pikiran orang lain melaui gerak bibir lawan bicaranya. Kemudian latihan bina wicara, latihan ini lebih menekankan pada pengembangan bicara melalui pembentukan suara, artikulasi, intonasi dan melatih kelancaran bicara. Juga perlu latihan mendengar. Latihan ini diberikan agar mereka dapat memanfaatkan sisa pendengaran yang masih dimiliki melalui latihan bina persepsi bunyi dan irama (BPBI). Terakhir latihan komunikasi total, yaitu latihan komunikasi dengan memanfaatkan berbagai kemampuan yang dimilikinya dengan menggunakan isyarat, berbicara mengeja jari dan membaca ujaran. Semua komponen ini bertujuan untuk memperjelas maksud dalam komunikasi.

3) Layanan Khusus Anak Tuna Grahita. Layanan yang diberikan yaitu melatih koordinasi motorik. Latihan ini bertujuan agar mereka mampu menggunakan anggota badan serta panca inderanya nya secara teratur, lalu dilatih mengurus diri sendiri (activity of daily living). Latihan ini bertujuan agar mereka dapat membantu mengatasi dirinya sendiri, tidak tergantung pada orang lain dan mengurus kebutuhan hidupnya sehari-hari.

4) Layanan Khusus Anak Tuna Daksa Latihan yang harus diberikan pada anak tuna daksa antara lain latihan koordinasi motorik. Latihan ini bertujuan agar mereka mampu menggerakkan bagian-bagian badan, kemudian latihan fisioterapi, okupasional terapi dan vocational terapi serta latihan memakai alat protese. 5) Layanan Khusus Anak Tuna Laras Latihan yang bisa diberikan pada anak ini menyangkut sosialisasi, mengingat kelainan ini anak lebih tidak memiliki kemampuan penyesuaian dengan lingkungan sekitar akibat kelainan emosi. Latihan ini bertujuan agar anak memiliki semangat gotong royong, rasa tanggung jawab, seperti ikut dalam kegiatan lingkungan, ikut perlombaan di sekolah, di RT/RW, kerja bakti, kegiatan pembinaan kejujuran, kemudian latihan bina pribadi, semisal menyadari perbuatannya dan mau minta maaf atas kesalahan yang diperbuat, latihan menahan amarah, latihan bertingkah laku, sopan dan sebagainya. Semua itu berguna sebagai dasar keterampilan bersosialisasi dengan masyarakat. Semua latihan khusus di atas dimaksudkan untuk membekali anak berkelainan agar memiliki kesiapan untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah inklusi.

C. Pendidikan Inklusi 1. Pengertian Pendidika inklusi Menurut Sapon-shevin (Oneil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dapat dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersamasama teman seusianya. Sedang Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan. Setiap murid mendapatkan bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut dan saling membantu denagn guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi. Definisi sejenis dikemukakan Staub dan Pack (1995) yang menyebutkan pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas biasa. Dari tiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang melayani anak berkelainan di sekolah-sekolah regular terdekat,

bersama dengan teman seusianya pada kelas yang sama dengan program pendidikan yang layak, menantang sesuai kemampuan dan kebutuhan setiap murid. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dapat dididik bersama anak lainnya yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freigberg, 1995). 2. Landasan Pendidikan Inklusi 1) Landasan Filosofis Landasan filosofis penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi yang disebut Bhinneka Tunggal Ika (Mulyono Abdurrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan financial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan sebagainya. Sedang kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, dan sebagainya. Bertolak dari filosofi bhineka tunggal ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebinekaan. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sehingga kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan yang lainya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, agama, dan sebagainya. Hal ini selayaknya diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi.

2) Landasan Yuridis Landasan yuridis dalam pelaksanaan pendidikan inklusi adalah UndangUndang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusi atau berupa sekolah khusus. Sedang secara internasional, penerapan pendidkan inklusi mengikuti Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan yang ada. 3) Landasan Pedagogis Pasal 3 UUSPN No. 20 tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi WNI yang demokratis dan bertanggung jawab. Tujuan ini mustahil dapat tercapai jika sejak semula mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. 4) Landasan Empiris Penelitian tentang pendidikan inklusi telah banyak dilakukan di Negaranegara Barat. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak

berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregasi hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzmam, dan Meesick, 1982). Hasil penelitian yang dilakukan Calberg dan Cavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1986) terhadap 11 buah penelitian, Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun social anak berkelainan dan teman sebayanya.

3. Profil Pembelajaran Model Inklusi Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsip terhadap kebutuhan individu siswa. Sebagai ilustrasi dikemukakan Sopon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) ada lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu : 1) Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana social kelas dan mengajarkan serta menjadi model perilaku yang menghargai perbedaan. Anak yang tahu bahwa ada temannya yang terpaksa menggunakan communication board karena tidak dapat berbicara akan menyadari bahwa anak-anak mempunyai kecepatan membaca yang berbeda-beda dan bahwa di kelas ini tidak semua merayakan Idul Fitri karena agamanya berbeda-beda. 2) Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar, guru di sini secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, berpikir kritis, pemecahan masalah dan asesmen secara autentik. Misalnya: guru kelas IV merencanakan pembelajaran dengan tema Jakarta. Dengan menggunakan peta DKI sebagai titik tolak materi pembelajaran dikembangkan untuk membaca, menulis, pemecahan masalah kreatif, ilmu pengetahuan social, dan sebagainya. Kegiatan belajar mengajar dapat berupa bermain peran, investigasi kelompok secara kooperatif dan sebagainya. Kegiatan yang direncanakan bersifat multimodalitas, interaktif, berpusat pada anak, partisipatif dan menyenangkan. 3) Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif Perubahan kurikulum berkaitan dengan perubahan metode pembelajaran. Model tradisional, dimana seorang guru secara sendiri berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model muridmurid bekerja sama, saling mengajar dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidkan teman-temannya. Antara pembelajaran kooperatif dan kelas inklusi semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk saling belajar dari yang lain.

4) Inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terusmenerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Meskipun guru selalu dikelilingi oleh orang, pekerjaan dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari inklusi meliputi pengajaran dengan tim kolaborasi dan konsultasi dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan para professional, ahli bina wicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerja sama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus. 5) Inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada masukan orang tua pada pendidikan anaknya. Misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program-program pengajaran individual. Dari profil pemmbelajaran dengan konsep inklusi menampung anak yang heterogen, ditangani oleh lembaga dari berbagai profesi, sebagai satu tim sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi. Guru biasa perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dasar dalam menangani kelas yang heterogen, perlu dikembangkan kerjasama tim dari berbagai tenaga professional, dan sekolah perlu dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan semua anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah tersebut. 4. Model Pendidikan Inklusi Melihat kondisi dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusi dapat dilakukan berbagai cara sebagai berikut : 1) Inklusi penuh (kelas regular), yaitu anak berkelainan belajar bersama anak lainya (normal) sepanjang hari di kelas regular dengan kurikulum yang sama. 2) Kelas regular dengan cluster, yaitu anak berkelainan belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus. 3) Kelas regular dengan pull out, yaitu anak berkelainan belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas regular ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, yaitu anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular, namun dalam bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas regular. 5) Kelas khusus penuh, yaitu anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.

Setiap sekolah inklusi dapat memilih model-model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada: (1) jumlah anak berkelainan yang akan dilayani; (2) jenis kelainan masing-masing anak; (3) gradasi (tingkat) kelainan anak; (4) ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan; (5) sarana dan prasarana yang tersedia.

Jika mutu lulusan pendidikan dipengaruhi oleh mutu atau kualitas proses pembelajaran, maka berbagai factor yang menentukan dalam proses pembelajaran yang sebenarnya saling terkait seperti; input siswa, kurikulum, (bahan ajar), tenaga kependidikan, sarana prasarana, dana, manajemen dan lingkungan (sekolah, masyarakat dan keluarga), juga perlu diperhatikan. Komponen tersebut merupakan subsistem dalam system pendidikan (sistem pembelajaran), jika ada perubahan pada salah satu subsistem, maka menuntut perubahan atau penyesuaian komponen lainya. Ini dapat dijelaskan dalam konstalasi sebagai berikut : Tenaga Pendidik Sarana Prasarana

Kurikulum

Manajemen

Dana

Input Siswa

Proses Belajar Mengajar

Output Siswa

Lingkungan Dalam hal ini, bila dalam suatu pembelajaran di kelas terdapat perubahan pada input siswa dalam pendidikan inklusi, maka menuntut adanya penyesuaian (modifikasi) kurikulum (bahan ajar), peran serta guru, sarana prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan, serta kegiatan belajar mengajar.

D. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Zuhairini menjelaskan pendidikan Islam adalah usaha-usaha lebih sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam (1983). Sedang Murni Djamal (1982) mengatakan pendidikan Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikannya dapat memahami apa yang terkandung dalam ajaran Islam secara keseluruhan, mengamalkan makna dan maksud serta tujuan yang akhirnya dapat mengamalkan serta dapat menjadikan ajaran agama Islam yang telah dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya, dapat mendatangkan keselamatan di dunia dan akhirat kelak. Pendapat lain disampaikan Zarkowi Suyuti (dalam A. Malik Fajar, 1998), pengertian pendidikan Islam meliputi tiga hal; pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh keinginan dan semangat cita-cita luhur untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam. Di sini kata Islam dijadikan sebagai sumber nilai yang akan diimplementasikan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Disini kata Islam ditempatkan sebagai sebuah disiplin ilmu dan

dikaji serta diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu lainya. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Disini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang mengilhami serta tujuan yang hendak dicapai dalam keseluruhan proses pendidikan sekaligus juga sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang diselenggarakan. Dari tiga pengertian pendidikan Islam di atas adalah jenis pendidikan yang diadakan sebagi usaha yang sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik melalui bimbingan dan asuhan agar nantinya dapat memahami apa yang terkandung dalam ajaran Islam, mampu hidup sesuai ajaran-Nya dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya. Berbicara pendidikan Islam, maka tersirat di dalamnya ada madrasah, pesantren dan pendidikan agama Islam di sekolah umum. Dalam hal ini yang menjadi focus tulisan ini adalah madrasah. 2. Model-Model Pendidikan Islam Pendidikan Islam yang bertugas pokok menggali, menganalisis dan mengembangkan serta mengamalkan ajaran Islam yang bersumberkan Al-Quran dan Al-Hadis, cukup memperoleh bimbingan dan arahan. Dari kandungan makna yang terungkap dari kedua sumber tuntutan tersebut, makna yang komprehensif dari sumber tersebut menjangkau dan melingkupi segala aspek kehidupan modern. Al-Quran sebagai sumber pedoman hidup umat manusia telah menggelarkan wawasan dasar terhadap masa depan hidup manusia dengan rentangan akal pikirannya yang mendalam dan meluas sampai pada penemuan ilmu dan teknologi yang canggih (Fadhil al-Djamaly, 1977). Pendidikan Islam sejak awal perkembangannya senantiasa meletakkan pandangan filosofisnya kepada sasaran sentralnya, yaitu peserta didik, sebagai makhluk Tuhan yang memiliki potensi dasar fitrah dimana religiusitas Islam menjadi intinya, yang dikembangkan secara vertical dan horizontal menuju kehidupan lahir batin yang bahagia. Oleh karena itu, berbagai model pendidikan Islam yang berorientasi ke masa depan merupakan jawaban yang tepat. Model-model pendidikan Islam yang tidak berorientasi pada masa depan yaitu: 1) Model pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pikir bahwa nilai-nilai lama yang konservatif dan asketis harus dilestarikan dalam sosok pribadi muslim yang resistan terhadap pukulan gelombang zaman. Orientasi demikian tentu kurang dapat diandalkan oleh umat untuk menjawab tantangan zaman. 2) Pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pikir bahwa nilai-nilai Islami yang mengandung potensi mengubah nasib masa lampau ke masa kini yang dijadikan inti kurikulum pendidikan, maka model pendidikan Islam menjadi bercorak perenialistik, niali-nilai yang tahan lama diinternalisasikan ke dalam pribadi anak didik, sedang nilai-nilai yang potensial bagi semangat pembaharuan ditinggalkan. 3) Pendidikan Islam lebih berorientasi pada personalisasi kebutuhan pendidikan dalam segala aspeknya, maka ia bercorak indiviualistik, dimana potensi yang bersifat mengubah dan membangun masyarakat dan alam sekitar kurang mengacu pada kebutuhan sosiokultural. 4) Pendidikan Islam yang berorientasi pada masa depan sosio, masa depan tekno, dan masa depan bio, dimana ilmu dan teknologi menjadi pelaku perubahan dan pembaharuan kehidupan social, maka pendidikan Islam yang bercorak teknologis, dimana nilai-nilai pragmatic-realivistik-kultural.

Dengan memperhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia, maka model pendidikan Islam seharusnya berorientasi pada pandangan falsafah sebagai berikut: 1) Filofofis, yaitu memandang peserta didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitrah, dinamis dan sosio-religius serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada Maha Pencipta. 2) Emotiologis, potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengtahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid yang basyariyah-dharuriyah manusia muslim sejati berderajat mulia. 3) Pedagogis adalah makhluk belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses berkembangnya didasari nilai-nilai Islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan social, cenderung pada pola hidup yang harmonis anter kepentingan duniawi dan ukhrowi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekholifahan dimuka bumi. Sedangkan secara praksis pembelajaran model-model tersebut didesain menjadi : 1) Content, lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa ini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan, materi pelajaran yang menantang anak untuk melakukan evaluasi dan memecahkan problem-problem kehidupan nyata. 2) Pendidik, bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang diologis interdependen dan terpercaya. Ia menyadari bahwa pengetahuan dan pengalamannya lebih dewasa, menjadikan anak didik sebagai subyek belajar yang harus difasilitasi dalam proses belajarnya. 3) Anak didik dalam proses belajar mengjar melakukan hubungan diologis dengan yang lain (guru, teman sebaya, orang dewasa, serta alam sekitar), belajar secara independent dan bersama-sama menghayati persepsi terhadap realitas kehidupan dan memperhatikan persepsi orang lain. 3. Madrasah dan Nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam Sekolah Inklusi Madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam (Muhaimin, 2003). Ciri khas itu berbentuk : (1) Mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan Agama Islam, yaitu Al-Quran-Hadist, AqidahAkhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab; (2) Suasana keagamaannya, yang berupa suasana kehidupan madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia. Pendidikan madrasah sebenarnya hendak memenuhi kepentingan utama yaitu sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup Islami, memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan system sekolah dan berusaha merespon tuntutan masa depan. Sebagai lembaga pendidikan Islam, madrasah dalam proses pembelajarannya selalu berusaha mengembangkan: (1) Potensi dan memperkokoh akidah siswa; (2) sikap kebangsaan yang ber-Bhinika Tunggal Ika; (3) Motivasi untuk rajin, pintar, kreatif, kritis dan inovatif; (4) Etika social yakni keterpaduan antara personal religiusity dengan social religiosity, artinya seseorang tetap bersikap dan berprilaku sesui dengan agama dimana saja dan kapan saja; (5) Sikap tanggung jawab dan kemandirian dalam kehidupannya. Kelima sasaran yang dikembangkan dalam dunia madrasah jika diterapkan dalam

pendidikan inklusi akan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan disekolah biasa. Artinya, kelebihan yang dimiliki pada lembaga pendidikan Islam (madrasah) adalah pendekatan keagamaan melalui internalisasi nilai-nilai ajaran agama sebagai pengejawantahan dari sikap hidup seorang muslim. Sebagai contoh nilai keberagamaan pribadi dan social sebagaimana yang dikembangkan dalam pendidikan madrasah memiliki relevansi dengan semangat yang dikembangkan dalam pendidikan inklusi. Sikap hidup yang dilandasi dengan ajaran agama tidak memiliki batas dan sekat-sekat social yang melekat pada individu. Hal ini akan berdampak pada tidak adanya deskriminasi antara anak yang normal dengan anak yang berkelainan. Penyadaran akan hakekat manusia yang tidak harus dibedakan karena fisik sudah menjadi bagian dalam pesan moral pendidikan Islam. Dengan demikian, pendidikan inklusi sangat tepat bila diterapkan dalam pendidikan Islam. Ada beberapa argumen yang bisa dikemukakan disini antarnya : Pertama, segi peserta didik, anak berkelainan akan merasa aman dan nyaman ketika belajar dimadrasah karena disamping lingkungan yang religius dilandasi oleh keyakinan bahwa dihadapan Tuhan hanya takwanya yang dipertimbangkan sehingga perbedaan dari segi fisik tidak masalah dalam hubungan social termasuk hubungan dalam belajar bersama. Kedua, dari sisi pendidik, guru di madrsah secara agama dan pengetahuan memeiliki keterbukaan akibat penyadaran agama pada dirinya untuk mampu berbuat kebajikan (jihad) demi mendapatkan keridloan Allah, sehingga memperlakukan anak berkelainan dilandasi dengan hati yang tulus Lillahi taala. Ketiga, dalam segi muatan pendidikan, madrasah lebih kaya dengan penanaman ajaran agama yang mantap, sehingga salah satu dari penekanannya adalah segi kesadaran manusia. Landasan keagamaan akan mendorong anak berkelainan dapat menerima kekurangan yang ada pada dirinya, karena semua yang menyangkut permasalahan manusia sebenarnya bersumber dari Yang Maha Pencipta yang tidak boleh disesali ataupun menjadi beban. Namun sebaliknya, semua yang terjadi dalam dunia ini harus diterima dan dihadapi dengan hati yang ikhlas.

E Penutup Selama ini layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan Nasional yang dalam prakteknya selalu mengalami berbagai hambatan baik yang menyangkut pemerataan pendidikan maupun yang terkait dengan pola pelaksanaan. Dalam hal pemerataan pendidikan, masih sangat terbatas jumlahnya sehingga belum tertampung semua anak berkelainan ini dalam pendidikan karena alasan tidak terjangkaunya sekolah bagi mereka karena jauh letaknya, sedang dalam pola pelaksanaan sekolah bagi anak berkelainan ini masih mengandung dilema permasalahan antara segregasi ataupun inklusi. Praktek pendidikan segregasi selalu berdampak pada melebarnya jurang pemisah antara anak berkelainan dengan anak normal yang secara psikologis merugikan anak berkelaianan karena mereka akan merasa terkucilkan dari teman sebayanya dan semakin menyadarkan mereka tentang perbedaan dirinya sehingga mereka menjadi minoritas yang lain. Hal ini akan menjadikan anak berkelainan miskin akan keterampilan dan penyesuaian social. Terkait dengan pendidikan inklusi, yang memberikan kesempatan bagi anak berkelainan belajar bersama dengan anak normal juga masih banyak kendala baik menyangkut guru-gurunya yang belum memahami benar tentang pendidikan inklusi juga sulitnya merubah image masyarakat yang kurang baik tentang anak berkelaian. Hal ini akan menghambat pelaksanaan sekolah inklusi di sekolah umum.

Memandang makna yang lebih dalam tentang hak-hak untuk memperoleh pendidikan, dalam tulisan ini menyoroti bahwa anak berkelaianan juga memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan di madrasah sebagaimana anak yang lainya. Madrasah sebagai sekolah yang mengedepankan nilai-nilai agama sebagai pedoman hidup dan penyadaran akan keberadaannya, maka akan lebih cocok jika model pendidikan inklusi diterapkan di madrasah. Madrasah memilik nilai-nilai yang lebih karena semua pengabdian dan perjuangan dalam pendidikan lebih didasarkan pada keikhlasan karena Allah.

DAFTAR PUSTAKA Baker, ET. Et. All, ( 1995)The Effects of Inclusion on Learning,Education Leadership Bratanata (1976) Pendidikan Anak Berkelainan, Jakarta: Depdikbud. Carlberg. C & Cavale. K (1980) The Effect of Special Class Vs Reguler Class Placement for Exceptional Children: a Meta Analysis, The Journal of Special Education Direktorat PLB (2004) Mengenal Pendidikan Terpadu, Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Depdiknas. Lasikun Notoadmojo (1995) Dasar-Dasar Pendidikan Luar Biasa , Yogyakarta. Depdikbud. Muhaimin (2003) Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Bandung: Nuansa Mulyono Abdurrahman ( 2002) Landasan Pendidikan Inklusi dan Implikasinya dalam Penyelenggaraan LPTK, Makalah dalam Pelatihan Buku jar bagi Dosen Jurusan PLB, Yogyakarta: 26 Agustus, 2002. Murni Djamal (1982) Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: P3TA IAIN, Ditjen Bimbaga Islam, Depag. Sopan-Shevin M (1995) Why Gifted students Belong in the Inclusive Schools, Educational Leadership. Stoub D & Peck C.a (1995) What are the outcame for non disable Student?, educational leadership. Sunardi (2002) Pelayanan Pendidikan Medis dan Sosial Bagi Semua Penyandamng Cacat Secara Terpadu, Surakarta: Lembaga Penelitian UNS, UNS Press. Tien Supartinah (1995) Psikologi Anak Luar Biasa , Surakarta: UNS Press. Zuhairini (1983) Metode Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional.

BIOGRAFI PENULIS SULTHON, S.Pd, M.Ag,. M.Pd. Lahir di Pati 3 Nopember 1971. Saat ini sebagai Dosen tetap di Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus. Juga menjadi staf pengajar di Lembaga Psikologi Personata Kudus. Pendidikan S.1 ditempuh di Kota Surakarta, yakni Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) lulus tahun 1998, Melanjutkan Program Magister (S.2) di Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang dengan tesis berjudul Pola Asuh Orangtua yang Islami Sebagai Upaya Pretentif Timbulnya Kenakalan Pada Anak lulus tahun 2004, serta Program Magister yang kedua di Universitas Negeri Yogyakarta konsentrasi Pendidikan Dasar, jurusan Sains dengan tesis Pengembangan Media Pembelajaran Sains Berbasis Pemanfaatan Lingkungan Sekitar Pada Siswa MI Daerah Pinggiran Kota Kabupaten Kudus lulus tahun 2009. Jurnal yang sudah dipublikasikan antara lain, Pola Asuh Orangtua yang Islami Sebagai Upaya Prefentif Kenakalan Anak, dalam Konseling Religi, Vol. 1 Nomor 1 Des. 2005 Jurusan Dakwah STAIN Kudus, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Pemikiran Islam, dalam Jurnal Addin, Edisi XXII, Juli-Des. 2005 P3M STAIN Kudus, Individualisme dalam Perspektif Pendidikan Islam dalam Jurnal Edukasia, Hubungan Perilaku Beribadah Orangtua dan Pendidikan Islam dalam Keluarga dengan Kenakalan Remaja siswa SMA Negeri 3 Semarang dalam Jurnal Empirik Addin, Edisi Juli-Des 2006. , "Fenomena Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah Luar Biasa (SLB)", dalam Majalah Rindang, Kanwil Depag, Prop Jawa Tengah Edisi Oktober 2006.

Anda mungkin juga menyukai