Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan
komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya nutrisi yang dibutuhkan
untuk pembentukan sel darah merah, yang mengakibatkan penurunan
kapasitas pengangkut oksigen darah (Doenges, 1999). Anemia adalah istilah
yang menunjukan rendahnya hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin
dan hematokrit di bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935). Anemia adalah
berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas
hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml
darah (Price, 2006 : 256). Disseminated Intravascular Coagulation adalah
suatu gangguan dimana terjadi koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan).
DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling umum
berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker prostat,
traktus GI dan paru-paru. Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI =
Idiopathic Trombocytopenic Purpura/ITP) ialah suatu keadaan perdarahan
berupa ptekie atau ekimosis di kulit ataupun selaput lendir dan berbagai
jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak
diketahui.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan anemia dan bagaimana askep pada anemia ?
2. Apa yang dimaksud dengan DIC dan bagaimana askep pada DIC ?
3. Apa yang dimaksud dengan PPTI dan bagaimana askep pada PPTI ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang anemia dan askep pada anemia.
2. Untuk mengetahui tentang DIC dan askep pada DIC.
3. Untuk mengetahui tentang PPTI dan askep pada PPTI.

BAB II

1
PEMBAHASAN

A. ANEMIA
1. KONSEP TEORI
a. PENGERTIAN
Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti
kehilangan komponen darah, elemen tak adekuat atau kurangnya
nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah merah, yang
mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah
(Doenges, 1999). Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya
hitungan sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di
bawah normal (Smeltzer, 2002 : 935). Anemia adalah berkurangnya
hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin
dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah
(Price, 2006 : 256).
Dengan demikian anemia bukan merupakan suatu diagnosis atau
penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit
atau gangguan fungsi tubuh dan perubahan patotisiologis yang
mendasar yang diuraikan melalui anemnesis yang seksama,
pemeriksaan fisik dan informasi laboratorium.

b. ETIOLOGI
Penyebab anemia antara lain :
1) Perdarahan
2) Kekurangan gizi seperti zat besi, vitamin B12, dan asam folat
3) Penyakit kronik, seperti gagal ginjal, bronkietasis, empyema
4) Kelainan darah
5) Ketidaksanggupan sumsum tulang membentuk sel-sel darah.

c. PATOFISIOLOGI
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum
tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya.
Kegagalan sum-sum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi,
pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang
tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau
hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat
akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel
darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah
yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system
fagositik atau dalam system retikuloendotelial terutama dalam hati dan
limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang

2
terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap
kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan
dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1
mg/dl atau kurang ; kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai
rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit).
Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ
tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang.
Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah
satunya otak. Otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika
kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang
memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak
bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).

d. MANIFESTASI KLINIS
Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih,
lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang
terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat
pada bagian kelopak mata bawah).Anemia bisa menyebabkan
kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika
anemia bertambah berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan
jantung(Sjaifoellah, 1998).

e. KOMPLIKASI
Anemia juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang.
Akibatnya, penderita anemia akan mudah terkena infeksi. Gampang
batuk-pilek, gampang flu, atau gampang terkena infeksi saluran napas,
jantung juga menjadi gampang lelah, karena harus memompa darah
lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani
dan berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi
janin. Selain bayi lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga
mengganggu perkembangan organ-organ tubuh, termasuk otak
(Sjaifoellah, 1998).

f. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Jumlah hemoglobin lebih rendah dari normal (12-14 g/dl)
2) Kadar hemalokrit menurun.( normal 37 %-41 %)
3) Peningkatan Bilirubin total
4) Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi
5) Terdapat pansitopenia, sum-sum tulang kosong diganti lemak
(pada anemia aplastik)

3
g. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tindakan umum :
Penatalaksanaan anemia ditunjukan untuk mencari penyebab dan
mengganti darah yang hilang.
1) Transpalasi sel darah merah.
2) Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
3) Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah
merah.
4) Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang
membutuhkan oksigen
5) Obati penyebab perdarahan abnormal bila ada.
6) Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.

Pengobatan (untuk pengobatan tergantung dari penyebabnya) :


1) Anemia defisiensi besi
 Mengatur makanan yang mengandung zat besi, usahakan
makanan yang diberikan seperti ikan, daging, telur dan sayur.
 Pemberian preparat fe
 Perrosulfat 3x 200mg/hari/per oral sehabis makan
 Peroglukonat 3x 200 mg/hari /oral sehabis makan.
2) Anemia pernisiosa : pemberian vitamin B12
3) Anemia asam folat : asam folat 5 mg/hari/oral
4) Anemia karena perdarahan : mengatasi perdarahan dan syok
dengan pemberian cairan dan transfusi darah.

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


a. PENGKAJIAN
Pengkajian pasien dengan anemia (Doenges, 1999) meliputi :
1) Aktivitas / istirahat
Keletihan, kelemahan, malaise umum.Kehilangan produkifitas,
penurunan semangat untuk bekerja Toleransi terhadap latihan
rendah.Kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak
2) Sirkulasi Riwayat kehilangan darah kronis,Riwayat endokarditis
infektif kronis, palpitasi
3) Integritas ego
Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pemilihan
pengobatan, misalnya penolakan transfusi darah
4) Eliminasi
Gagal ginjal, Hematemesi, Diare atau konstipasi
5) Makanan/cairan
Nafsu makan menurun, mual/muntah, berat badan menurun.
6) Nyeri/ kenyamanan

4
Lokasi nyeri terutama didaerah abdomen dan kepala
7) Pernapasan
Napas pendek pada saat istirahat maupun aktifitas
8) Seksualitas
Perubahan menstruasi misalnya menoragia, amenore . Menurunnya
fungsi seksual

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai
oksigen/nutrisi ke sel.
Ditandai dengan :Palpitasi : kulit pucat, membrane mukosa kering,
kuku dan rambut rapuh, perubahan tekanan darah
2) Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
oksigen
Ditandai dengan : kelemahan dan kelelahan, Mengeluh penurunan
aktifitas/latihan,lebih banyak memerlukan istirahat/ tidur
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kegagalan untuk mencerna, absorbsi makanan
Ditandai dengan : Penurunan berat badan normal, penurunan turgor
kulit, perubahan mukosa mulut, nafsu makan menurun, mual,
kehilangan tonus otot
4) Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan jumlah
makanan, perubahan proses pencernaan, efek samping penggunaan
obat
Ditandai dengan : Adanya perubahan pada frekuensi, karakteristik
dan jumlah feses, mual, muntah, penurunan nafsu makan

c. INTERVENSI
1) Diagnosa 1 Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan suplai oksigen/nutrisi ke sel.
 Kaji tanda-tanda vital, warna kulit, membrane mukosa, dasar
kuku
 Beri posisi semi fowler
 Kaji nyeri dan adanya palpitasi
 Pertahankan suhu lingkungan dan tubuh pasien
 Hindari penggunaan penghangat atau air panas
Kolaborasi
 Monitor pemeriksaan laboratorium misalnya Hb/Ht dan jumlah
sel darah merah
 Berikan sel darah merah darah lengkap
 Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi

5
2) Diagnosa 2 Intoleran aktifitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai oksigen
 Kaji kemampuan aktifitas pasien
 Kaji tanda-tanda vital saat melakukan aktifitas
 Bantu kebutuhan aktifitas pasien jika diperlukan
 Anjurkan kepada pasien untuk menghentikan aktifitas jika
terjadi palpitasi
 Gunakan teknik penghematan energi misalnya mandi dengan
duduk.

3) Diagnosa 3 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan


dengan penurunan jumlah makanan, perubahan proses pencernaan,
efek samping penggunaan obat
 Kaji riwayat nutrisi termasuk makanan yang disukai
 Observasi dan catat masukan makanan pasien
 Timbang berat badan tiap hari
 Berikan makanan sedikit dan frekuensi yang sering
 Observasi mual, muntah
 Bantu dan berikan hygiene mulut yang baik
Kolaborasi
 Konsul pada ahli gizi
 Berikan obat sesuai dengan indikasi misalnya vitamin dan
mineral suplemen
 Berikan suplemen nutrisi

4) Diagnosa 4 Konstipasi atau diare berhubungan dengan penurunan


jumlah makanan, perubahan proses pencernaan, efek samping
penggunaan obat
 Observasi warna feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah
 Kaji bunyi usus 7
 Beri cairan 2500-3000 ml/hari dalam toleransi jantung
 Hindari makan berbentuk ga
Kolaborasi
 Konsul ahli gizi untuk pemberian diet seimbang
 Beri laktasif
 Beri obat anti diare

d. EVALUASI

6
Evaluasi pada pasien dengan anemia adalah :
1) Infeksi tidak terjadi.
2) Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
3) Pasien dapat mempertahankan/meningkatkan ambulasi/aktivitas.
4) Peningkatan perfusi jaringan.
5) Dapat mempertahankan integritas kulit.
6) Membuat/kembali pola normal dari fungsi usus.
7) Pasien mengerti dan memahami tentang penyakit, prosedur
diagnostic dan rencana pengobatan.

B. DIC (DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION)


1. KONSEP TEORI
a. PENGERTIAN
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu gangguan
dimana terjadi koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC
dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling umum
berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker
prostat, traktus GI dan paru-paru. Proses penyakit tertentu yang
umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC
termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis. Keadaan ini diawali
dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang
oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi
pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan
sehingga jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan
yang berlebihan.

b. ETIOLOGI
Beragam penyakit dapat menyebabkan DIC, dan secara umum melalui
salah satu dari dua mekanisme berikut.
1) Respon inflamsi sitemik, menyebabkan aktivasi jaringan sitokin
dan selanjutnya mengaktivasi proses koagulasi (contoh: sepsis atau
trauma mayor)
2) Pelepasan atau paparan materi prokoagulan ke dalam aliran darah (
contoh: pada kanker, injury otak atau kasus obstetrik)

Pada situasi tertentu, dapat muncul kedua manifestasi tersebut (contoh:


trauma mayor atau pankretitis nekrotik).
1) Penyebab DIC akut :
Infeksi : bakteri (sepsis gram negatif, infeksi gram
positif, rickettsia)
Malignansi : virus (contoh: HIV, CMV, varicella-zoster

7
virus, dan hepatitis virus)
Obstetri : jamur (contoh: histoplasma), parasite
(contoh: malaria)
Trauma : Hematologi (contoh: acute myelocytic
leukemia)
Tranfusi : Metastase (contoh: mucin-secreting
adenocarcinoma)
Lain-lain : Abrupsio plasenta, Emboli cairan amnion,
Fatty liver akut pada kehamilan,
Ekslampsia, Luka bakar, Kecelakaan
bermotor, Keracunan bisa ular, Reaksi
hemolitik tranfusi, Penyakit liver/ gagal
hati akut, Pelaralatan prosthetic, Alat bantu
ventrikel.

2) Penyebab DIC kronis :


Malignansi : Tumor padat, Leukemia
Obstetrik : Sindrom fetus mati dalam kandungan ,
Penahanan produk konsepsi
Hematologi : Sindrom myeloprolifferative
Vaskular : Rheumatoid arthritis
Kardiovaskular : Raynaud disease, Infark miokard
Inflamsi : Kolitis ulseratif, Crohn disease,Sarkoidosis
DIC terlokalisir : Aneurisma aorta, Kassabach-merrit
syndrome, Penolakan allograft ginjal akut

Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:


1) Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau
persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke
dalam aliran darah.
2) Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin
(suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)
3) Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung,
pankreas maupun prostat.

Sedangkan orang - orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi


untuk menderita DIC:
1) Penderita cedera kepala yang hebat
2) Pria yang telah menjalani pembedahan prostate
3) Terkena gigitan ular berbisa

8
c. PATOFISIOLOGI
Meliputi 4 mekanisme yang terjadi secara simultan :
1) Pergerakan thrombin yang dimediasi oleh TF
2) Disfungi mekanisme fisiologis antikoagulan sehingga tidak effektif
mengimbangi pergerakan thrombin.
3) Kerusakan penbersihan fibrin karena depresi sistem fibronolitik.
4) Aktivasi inflamasi.

Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem


pembekuan darah secara sistemik. Trombosit yang menurun terus
menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai tanda-
tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah curiga DIC.
Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan
darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga
menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang
mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi
protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan
mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan
intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat
pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan
perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis
sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup
menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana. Pengendapan fibrin
pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur
utamanya terdiri dari dua macam :
1) Pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor
pembekuan darah.
2) Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada
sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat
pembentukan trombin secara terus-menerus.
3) Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem
fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya
endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Sistem sistem yang
tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar
inhibitor fibrinolitik PAI-1.
Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat
terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan
perdarahan. DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan
darah. Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor
pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat
menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah

9
tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh
faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya
trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah. Pembentukan
trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya
bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi.
Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VIIa
yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama
jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh
faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik.
Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam
pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari
sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga
mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel
polimorfonuklear. Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah
yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat
melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam
membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi
menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan
kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh
enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang
teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin
III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas
pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan
sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi
depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur
protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat
sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis
factor-alpha (TNF-α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi
rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total
protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus
menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan
bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas
DIC. Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa
alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan faktor-
faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway
inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor
pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga
kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah keci. Pada penelitian
dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga
kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata
akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik.

10
Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai
senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat
dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di
masa depan.
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem
fibrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus
menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau
endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen
Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum,
kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C,
dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga
fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus
DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3
(AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat),
akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di
mana-mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi
tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah,
trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus
akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga
kegagalan organ, bahkan kematian.
Jalur inflamasi dan koagulasi berinteraksi dengan cara saling
menguatkan. Terjadi komunikasi silang antara dua sistem tersebut,
dimana inflamasi menigkatkan aktivasi arus clotting dan dan hasil
koagulasi sehingga merangsang aktivitas inflamsi menjadi lebih hebat.
Terdapat beragam pemicu berbeda yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hemostatis yang dapat meningkatkan tingkat
kemampuan koagulasi. Banyak faktor koagulasi teraktivasi yang
diproduksi oleh DIC berkontribusi dalam memicu inflamasi dengan
cara menstimulus pelepasan sel sitokin proinflamasi oleh sel
endeotel,faktor Xa, trombin, dan komplek TF-VIIa terbukti
menimbulkan efek proinflamsi.

d. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung
pada system organ yang terlibat dalam thrombus/infark atau episode
perdarahan. Biasanya terdapat riwayat perdarahan pada gusi dan sistem
GI. Pada fase akut biasanya muncul peteki dan ekimosis serta
perdarahan pada penusukan vena dan kateter. Pada post operasi,
perdarahan bisa terjadi pada sekitar tempat pembedahan, drain dan
trakeostomi. DIC kronis bisa menimbulkan sedikit gejala, seperti
mudah memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena,
perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada

11
gejala yang tidak dapat diamati. Gambaran utama pada pasien DIC
berupa : perdarahan (64%), disfungsi ginjal (25%), disfungsi hepar
(19%), disfungsi pernafasan (16%), shock (14%), dan disfungsi sistem
syaraf pusat (2%). Manifestasi klinis dapat berupa:
1) Sirkulasi : tanda perdarahan spontan mengancam
nyawa, tanda perdarahan sub akut, tanda
trombosi difus atau terlokalisir,
perdarahaan ke lubang serous.
2) Sistem syaraf pusat : perubahan kesadaran non spesifik atau
stupor, defisit neurologis.
3) Kardivaskular : hipotensi, takikardi, kolaps sirkulasi
4) Respirasi : pleural friction rub, tanda ARDS.
5) Gastrointestinal : hematomesis, hematochezia.
6) Genitourinarius : azotemia atau gagal ginjal, hematuria,
oliguria, metrorrhagia, perdarahan uterine.
7) Dermatologis : peteki, jaundice, purpura, bula hemoragik,
akrosianosis, nekrosis kulit ekstremitas
bawah, infark terlokalisir atau gangren,
perdarahan di tempat penusukan atau
hematom subkutandalam, trombosis.

e. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit
untuk didiagnosa. Tidak ada single test yang digunakan untuk
mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus, beberapa tes yang berbeda
digunakan untuk diagnose yang akurat. Tes yang dapat digunakan
untul mendiagnosa DIC termasuk:
1) D-dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah
dengan mengukur fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang
yang mempunyai kelainan biasanya lebih tinggi dibanding dengan
keadaan normal.
2) Prothrimbin Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang
diperlukan dalam proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan
protein darah, atau factor pembekuan yang diperlukan untuk
membekukan darah dan menghentikan pendarahan. Prothrombin
atau factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang
dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat digunakan
sebagai tanda dari DIC.

3) Fibrinogen

12
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen
dalam darah. Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran
dalam proses pembekuan darah. Tingkat fibrinogen yang rendah
dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh
menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi.
4) Complete Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung
jumlah sel darah merah dan sel darah putih. Hasil pemeriksaan
CBC tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC, namun dapat
memberikan informasi seorang tenaga medis untuk menegakkan
diagnose.
5) Hapusan Darah
Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarna
dengan pewarna khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah
mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk sel darah merah, sel darah
putih,dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering terlihat
rusak dan tidak normal pada pasien dengan DIC.

Skor Tes Pembekuan


Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
(International Society on thrombosis and Hemostasis)
Skor atau Skala 0 1 2 3

Jumlah Platelet >100 <100 <50


(x109/L)
PT (detik) <3 >3 but <6 ≥6

Fibrinogen(g/L) >1 <1

Fibrin-related Tidak Meningkat Peningkatan


markers* meningkat sedang yang tajam
(meningkat)
TOTAL Jika ≥5, overt DIC- tes diulang setiap hari.
Jika <5, non-overt DIC – tes diulang 1-2 hari setelah
tes pertama dilakukan.
*jalan pintas dari penilaian fibrin yang berhubungan dengan
penanda yang ditegakkan untuk tes spesifik.
(diadaptasi dari Franchini, et al., 2006, 6)

f. PENATALAKSANAAN

13
Penatalakasanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang
mendasari terjadinya DIC. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan
terhadap KID tidak akan berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang
bersifat suportive dapat diberikan.
1) Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan
proses pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh
penyebab lain. Meski pemberian heparin juga banyak
diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam
penelitian klinik pada pasien DIC, heparin tidak menunjukkan
komplikasi perdarahan yang signifikan. Dosis heparin yang
diberikan adalah 300 – 500 u/jam dalam infus kontinu.
Indikasi:
 Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat.
 Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi.
 Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal
ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas.
Dosis:
100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250
iu/jam) kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai
aPTT 1,5-2 kali kontrol. Low molecular weight heparin dapat
menggantikan unfractionated heparin.
2) Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif.
Trombosit diberikan hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan
atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan perdarahan.
Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam
plasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja,
sementara pada pasien DIC terjadi gangguan seluruh faktor
pembekuan.
3) Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya
pengobatan ini cukup mahal. Direkomendasikan sebagai terapi
substitusi bila AT III<70% .
Dosis:
Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam
dengan infus kontinu selama 3 – 5 hari.
Rumus:
 1 iu x BB (kg) x Δ AT III, dengan target AT III > 120%
 Δ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%

4) Obat-obat antifibrinolitik

14
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan,
tetapi pada pasien DIC pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan.
Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis sehingga
fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC
yang terjadi akan semakin berat. Tidak ada penatalaksanaan
khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya,
misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan
untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka
janin harus dilahirkan secepatnya. Transfusi trombosit dan
komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah
sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan
masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko
komplikasi perdarahan.
Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa
menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin
dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat,
mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah
maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk
memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki
kondisi perdarahan. Satu-satunya terapi medikamentosa yang
dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno
ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III
dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak
bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah
terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu
mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan.
Dengan dosis dewasa normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV
infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap
empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U
tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada
jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian
bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi
ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga
dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin
parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus
dihadapi.

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

15
a. PENGKAJIAN
1) Adanya faktor-faktor predisposisi:
 Septicemia (penyebab paling umum)
 Komplikasi obstetric
 SPSD (sindrom distress pernafasan dewasa)
 Luka bakar berat dan luas
 Neoplasia
 Gigitan ular
 Penyakit hepar
 Trauma
2) Pemeriksaan fisik:
 Perdarahan abnormal pada semua system dan pada sisi prosedur
invatif
Kulit dan mukosa membrane
Perembesan difusi darah atau plasma
Purpura yang teraba pada awalnya di dada dan abdomen
Bula hemoragi
Hemoragi subkutan
Hematoma
Luka bakar karena plester sianosis akral ( estrimitas berwarna
agak kebiruan, abu –abu, atau ungu gelap )
 Sistem GI
Mual dan muntah
Uji guayak positif pada emesis atau aspirasi
Nasogastrik dan feses
Nyeri hebat pada abdomen
Peningkatan lingkar abdomen
 Sistem ginjal
Hematuria
Oliguria
 Sistem pernafasan
Dispnea
Takipnea
Sputum mengandung darah
 Sistem kardiovaskuler
Hipotensi meningkat dan postural
Frekuensi jantung meningkat
Nadi perifer tidak teraba
 Sistem saraf perifer
Perubahan tingkat kesadaran
Gelisah

16
Ketidaksadaran vasomotor
 Sistem musculoskeletal
Nyeri : otot,sendi,punggung
Perdarahan sampai hemoragi
 Kehamilan
Insisi operasi
Uterus post partum
Fundus mata perubahan visual
Pada sisi prosedur invasif : suntikan, IV, kateter arteral dan
selang nasogastrik atau dada, dll.
 Kerusakan perfusi jaringan
Serebral : perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental,
sakit kepala
Ginjal : penurunan pengeluaran urin
Paru : dispnea dan orthopnea
Kulit : akrosianosis ( ketidakteraturan bentuk bercak sianosis
pada lengan perifer dan kaki )

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan
dengan hemoragi sekunder.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan denganmeningkatnya
tingkat ansietas dan adanya pembekuan darah.
3) Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
4) Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi
perebesan darah dan tepat fungsi kongesti jaringan danperlambatan
volume darah bersirkulasi.
5) Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang
berhubungan dengan keadaan syok, hemoragi, kongesti jaringan
dan penurunan perfusi jaringan.
6) Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan,
kehilangan beberapa aspek kemandirian karena penyakit kronis
yang diderita

c. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Diagnosa keperawatan : Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi
jaringan berhubungandengan hemoragi sekunder.
Hasil yang diharapkan:
 Menunjukan tidak ada manifestasi syok
 Menunjukan pasien tetap sadar dan berorientasi
 Menunjukan tidak ada lagi perdarahan
 Menunjukan nilai-nilai laboraturium normal

17
No. Intervensi

1. Pantau hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital, dan perubahan


sisi baru dan potensial.

2. Mulai kewaspadaan pendarahan


a. Kewaspadaan apabila ada resiko terhadap perdarahan (jumlah
trobosit kurang dari 50.000/CU mm23)
1) Tempatkan tanda “kewaspadaan perdarahan” di atas tempat
tidur klien, sehingga petugas perawatan kesehatan lainnya
mengetahui adanya kewaspadaan terhadap perdarahan.
2) Pertahanan semua sisi fungsi selama 5 menit.
3) Pantau hasil pemeriksaan koagulasi.
4) Berikan transfuse darah seperti yang diminta dan sesuai dengan
penatalaksanaan medis.
5) Instruksikan klien untuk menghindari aktivitas fisik berlebih.
6) Tes gualak untuk semua feses dan muntahan terhadap darah.
7) Inspeksi urine terhadap hematuria nyata.
8) Periksa warna dan konsistensi feses.
9) Inspeksi kulit, rongga oral dan konjungtiva setiap hari dan catat
luasnya ptekie dan memar bila ada.
10) Gunakan pencukur jenggot listrik sebagai pengganti pisau
cukur.
11) Gunakan sikat gigi berbulu halus untuk menyikat gigi.
12) Hindari pengukuran suhu rektal dan tindakan enema.
13) Hindari aspirin dan berbagai produk yang mengandung aspirin.
14) Instruksikan klien untuk berjalan dengan menggunakan alas
kaki.
15) Selama menstruasi, catat jumlah pembalut yang digunakan.
b. Kewaspadaan bila ada resiko terhadap hemoragi spontan (jumlah
trombosit kurang dari 20.000/CU mm23).
1) Tempatkan tanda “kewaspadaan perdarahan” di atas tempat
tidur klien, sehingga petugas kesehatan lainnya mengetahui
adanya kewaspadaan terhadap perdarahan.
2) Berikan pelunak feses (bila tes Guaiak negative).
3) Instruksikan klien untuk menghindari meniup atau batuk keras.
4) Pertahankan tirah baring klien untuk menghindari trauma yang
tidak diinginkan.
5) Pertahankan posisi kepala, tempat tidur ditinggikan untuk
mengurangi tekanan intrakranial dengan resiko terjadinya
hemoragi intrakranial.
6) Pantau tanda vital, warna kulit dan suhu, nadi pedalis, status
mental, dan bunyi paru setiap 4 jam.

18
7) Setiap 2-4 jam, anjurkan klien membalik badan, napas dalam
dan latihan gerak perlahan.
8) Gunakan kumur perawatan mulut, sebagai pengganti sikat gigi.
9) Hindari penggunaan pencuci mulut komersial. Gunakan larutan
salin atau campuran natrium bikarbonat dan hydrogen
peroksida.
10) Pertahankan pelumas atau pelembab kulit dengan lotion.

2) Diagnosa keperawatan : Gangguan pertukaran gas berhubungan


dengan meningkatnya tingkat ansietas dan adanya pembekuan
darah.
Hasil yang diharapkan : Kebutuhan oksigen klien terpenuhi
No Intervensi

1 Posisikan klien agar ventilasi udara efektif.

2 Berikan oksigen dan pantau responnya.

3 Lakukan pengkajian pernapasan dengan sering.

4 Kurangi kebutuhan oksigen dengan mengurangi aktivitas yang berlebih.

5 Kendalikan stimulus dari lingkungan.

3) Diagnosa keperawatan : Nyeri berhubungan dengan trauma


jaringan
Hasil yang diharapkan : Rasa nyeri yang dialami klien berkurang
No Intervensi

1 Kaji lokasi, kualitas dan intensitas nyeri, gunakan skala tingkat nyeri.

2 Baringkan klien pada posisi yang nyaman, berikan penyangga bantal


untuk mencegah tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu.

3 Bantu memberikan perawatan ketika klien mengalami perdarahan hebat


atau rasa tidak nyaman.

4 Pertahankan lingkungan yang nyaman.

5 Berikan waktu istirahat yang cukup, buat jadwal aktivitas dan


pemeriksaan diagnostik, bila memungkinkan, sesuaikan dengan
toleransi klien.
6 Bantu klien dengan pilihan tindakan yang nyaman seperti musik,

19
imajinasi atau distraksi lainnya.

7 Berikan analgesik sesuai order dokter dan kaji kefektifannya.

4) Diagnosa keperawatan : Defisit volume cairan yang berhubungan


dengan hemoragi, perembesan darah pada tempat puncti, kongesti
jaringan dan perlambatan sirkulasi volume darah.
Hasil yang diharapkan : Mempertahankan status hemodinamik
yang adekuat.
No Intervensi

1 Kaji tanda-tanda vital setiap 1 jam.

2 Kaji dan pantau jantung terhadap frekuensi dan irama jantung.

3 Evaluasi pengeluaran urin setiap jam (jumlah dan berat jenis).

4 Kaji bunyi napas setiap 1 jam.

5 Kaji kualitas dan keberadaan nadi perifer setiap 4 jam.

6 Pertahankan masukan dan pengeluaran yang akurat.

7 Berikan cairan IV, sesuai intruksi.

8 Berikan produk-produk darah sesuai intruksi.

9 Evaluasi nilai-nilai hasi laboraturium Hb, Ht, Na, K, Cl, PT, PTT,
jumlah platelet produk solit fibri, fibrinogen dan masa pembekuan.

10 Pertahankan tirah baring.

5) Diagnosa keperawatan : Resiko tinggi terhadap kerusakan


integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok, hemoragi,
kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.
Hasil yang diharapkan : Kulit akan tetap utuh, tanpa ada bagian
yang mengalami memar atau lecet.
No Intervensi

1 Kaji semua permukaan kulit setiap 4 jam.

2 Angkat, periksa, dan gantikan semua balutan yang menekan, setiap 4-8
jam sesuai intruksi.
3 Atur posisi pasien setiap 2 jam

4 Evaluasi semua keluhan.

20
5 Periksa jumlah SDP terhadap potensi infeksi.

6 Beri obat sesuai intruksi, untuk memberi rasa nyaman.

7 Hindari fungsi berlebihan untuk keperluan pemeriksaan laboraturium,


gunakan aliran arterial atau akses IV pada pembuluh besar untuk
pengambilan darah.

8 Gunakan bantalan restrain yang empuk jika diperlukan.

9 Untuk keamanan, bantu semua gerakan untuk turun dari tempat tidur.

10 Lakukan hygiene oral tiap 4 jam.

11 Kaji semua orificium terhadap adanya hemoragi atau memar.

6) Diagnosa keperawatan : Ansietas berhubungan dengan rasa takut


mati karena perdarahan, kehilangan beberapa aspek kemandirian
karena penyakit kronis yang diderita
Hasil yang diharapkan :
 Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas
sampai tingkat dapat ditangani.
 Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat
menerimanya.
No Intervensi Rasional

1 Catat petunjuk perilaku, misalnya Indikator derajat ansietas/stress


gelisah, peka rangsang, kurang misalnya pasien merasa tidak dapat
kontak mata, perilaku menarik terkontrol di rumah, kerja atau
perhatian. masalah. Stress dapat gangguan
fisik juga reaksi lain.

2 Dorong menyatakan perasaan, beri Membuat hubungan terapeutik,


umpan balik. membantu klien mengidentifikasi
penyebab stress.

3 Akui bahwa masalah ansietas dan Validasi bahwa perasaan normal


masalah mirip dengan dapat membantu menurunkan
diekspresikan orang lain, stress.
tingkatkan perhatian
mendengarkan klien.

4 Berikan informasi yang adekuat Keterlibatan klien dalam


dan nyata tentang apa yang akan perencanaan keperawatan
dilakukan, misalnya tirah baring, memberikan rasa control dan

21
pembatasan masukan per oral dan membantu menurunkan ansietas.
prosedur tindakan yang lain.

5 Berikan lingkungan yang tenang Memindahkan klien dari stress


untuk istirahat. luar, meningkatkan relaksasi, dan
membantu menurunkan ansietas.

6 Dorong klien atau orang terdekat Tindakan dukungan dapat


untuk menyakan perhatian. membantu klien untuk
meringankan energi untuk
dituangkan pada penyembuhan.

7 Bantu klien untuk mengidentifikasi Perilaku yang berhasil dapat


perilaku koping yang dilakukan dikuatkan pada penerimaan
pada masa lalu. masalah atau stress saat ini,
meningkatkan rasa kontrol diri
klien.

8 Bantu klien belajar mekanisme Belajar cara untuk mengatasi


koping paru, misalnya teknik masalah dapat membantu dalam
mengatasi stress dan keterampilan menurunkan stress, meningkatkan
berorganisasi. kontrol penyakit.

9 Kolaborasi
 Berikan obat sesuai indikasi Dapat digunakan untuk
sedatif, misalnya barbiturat, menurunkan ansietas
agen antiansientas dan dan memudahkanistirahat.
diazepam. Dibutuhkan bantuan untuk
 Rujuk pada perawat spesialis, meningkatkan kontrol dan
pelayanan sosial atau penasehat eksaserbasi.
agama.

d. EVALUASI
1) Tidak ada manifestasi syok
2) Pasien tetap sadar dan berorirentasi
3) Tidak ada lagi perdarahan
4) Nilai-nilai laboraturium normal
5) Klien tidak merasa sesak lagi
6) Klien mengatakan rasa nyerinya berkurang

22
7) Kebutuhan volume cairan terpenuhi
8) Integritas kulit terjaga
9) Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas
sampai tingkat dapat ditangani.
10) Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
11) Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan
cemas berkurang.
12) Menunjukan pemahaman tentang rencana terapeutik.
13) Klien ikut berpartisipasi dalam perawatan dirinya.

C. PURPURA TROMBOSITOPENIA IDIOPATIK (PTI =


IDIOPATHIC TROMBOCYTOPENIC PURPURA/ITP)
1) KONSEP DASAR
a. PENGERTIAN
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI = Idiopathic
Trombocytopenic Purpura/ITP) ialah suatu keadaan perdarahan berupa
ptekie atau ekimosis di kulit ataupun selaput lendir dan berbagai
jaringan dengan penurunan jumlah trombosit karena sebab yang tidak
diketahui. PTI merupakan kelainan autoimun dimana autoantibodi IgG
dibentuk untuk mengikat trombosit. Tidak jelas apakah antigen pada
permukaan trombosit dibentuk. Meskipun antibodi antitrombosit
dapat mengikat komplemen, trombosit tidak rusak oleh lisis langsung.
Insidens tersering pada usia 20-50 tahun dan lebih sering pada wanita
dibanding laki-laki (2:1). PTI pada anak yang tersering terjadi antara
umur 2-8 tahun, lebih sering pada wanita.

b. ETIOLOGI
Penyebab pasti belum diketahui. Kemungkinan akibat
hiperslenisme, infeksi virus, intoksikasi makanan atau obat (asetosal,
para amino salisilat/PAS, fenilbutazon, diamoks, kina, sedormid) atau
bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, panas), kekurangan faktor
pematangan (malnutrisi), KID dan autoimun.

c. MANIFESTASI KLINIS
PTI banyak terjadi pada masa anak-anak, tersering dipresipitasi
oleh infeksi virus dan biasanya dapat sembuh sendiri. Sebaliknya pada
orang dewasa, biasanya menjadi kronik dan jarang mengikuti suatu
infeksi virus. Klien secara umum tampak baik dan tidak demam.
Keluhan yang dapat ditemukan adalah perdarahan mukosa dan kulit.
Perdarahan yang paling umum terjadi adalah epistaksis, perdarahan

23
mulut, menoragia, purpura dan ptekie. Pada pemeriksaan fisik terlihat
klien dalam keadaan baik dan tidak terdapat penemuan abnormal lain,
selain yang berhubungan dengan perdarahan.

d. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombosit
<10.000/ml. Hitung jenis lain normal, kecuali kadang-kadang dapat
terjadi anemia ringan yang disebabkan oleh perdarahan atau
berhubungan dengan hemolisis. Pemeriksaan morfologi sel darah
normal, kecuali trombosit yang agak membesar(megakariosit).
Megakariosit ini merupakan trombosit yang dihasilkan sebagai respon
dari destruksi trombosit. Leukosit biasanya normal, dapat terjadi
leukositosis ringan dengan pergeseran ke kiri bila terdapat perdarahan
hebat. Pada keadaan yang lama dapat ditemukan limfositosis relatif dan
leukopenia ringan. Pada pemeriksaan sumsum tulang terlihat normal
dengan jumlah megakariosit normal atau meningkat dengan maturation
arrest pada stadium megakariosit. Teskoagulasi terlihat mendekati
normal. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal,
retraksi bekuan abnormal, prothrombin consumption time memendek.
Test Rumple-Leed positif.

e. PENATALAKSANAAN
1) Pada klien anak
 PTI akut
Pada yang ringan hanya dilakukan observasi tanpa pengobatan
karena dapat sembuh secara spontan
Bila setelah 2 minggu tanpa pengobatan jumlah trombosit
belum naik, berikan kortikosteroid
Pada trombositopenia akibat DIC dapat diberikan heparin
intravena. Pada pemberian heparin sebaiknya selalu disiapkan
antidotum yaitu protamin sulfat
Bila keadaan sangat gawat (terjadi perdarahan otak atau saluran
cerna), berikan transfusi suspensi trombosit

 PTI menahun/kronis
Kortikosteroid diberikan selama 6 bulan : prednison 2-5
mg/kgBB/hari peroral
Immunosupresan : 6-merkaptopurin 2,5-5 mg/kgBB/hari
peroral ; azatioprin 2-4 mg/kgBB/hari peroral ;
siklofosfamid 2 mg/kgBB/hari peroral

24
Splenektomi, bila : resistensi setelah pemberian kombinasi
kortikosteroid dan obat imunosupresif selama 2-3 bulan, remisi
spontan tidak terjadi dalam waktu 6 bulan pemberian
kortikosteroid saja dengan gambaran klinis sedang sampai
berat, atau klien menunjukkan respons terhadap kortikosteroid
namun memerlukan dosis yang tinggi untuk mempertahankan
keadaan klinis yang baik tanpa perdarahan

2) Pada klien dewasa


Beberapa klien PTI mengalami remisi spontan dan sebagian
besar akan memerlukan pengobatan. Pengobatan inisial dengan
prednison 1-2 mg/kgBB. Prednison bekerja pertamakali dengan
menurunkan afinitas makrofag dari limfa untuk antibody-coated
trombosit.terapi dosis tinggi prednison juga dapat menurunkan
ikatan antibody pada permukaan trombosit dan terapi jangka
panjang dapat menurunkan produksi antibody. Perdarahan
seringkali berkurang dalam 1 hari setelah awal
penggunaanprednison. Efek ini berperan dalam mempertahankan
stabilitas vaskuler. Hitung trombosit biasanya akan meningkat
dalam 1 minggu dan respons pengobatan sebagian besar selalu
tampak dalam 3 minggu. Splenektomi merupakan terapi defenitif
bagi PTI dewasa. Splenektomi diindikasikan bila klien tidak
berespon pada pemberian prednison dosis awal atau dosis tinggi
untuk mempertahankan hitung trombosit yang
adekuat.Splenektomi dapat tetap aman meskipun hitung trombosit
< 10.000/ml. Sekitar 80% dari klien splenektomi akan
mengalami remisi baik parsial atau sempurna. Imunoglobulin dosis
tinggi iv (400 mg/kgBB) selama 3-5 hari, mempunyai efektivitas
tinggi (90%) dalam meningkatkan hitung trombosit dengan cepat,
yaitu 1-5 minggu. Namun imunoglobulin harus diberikan pada
situasi gawat darurat seperti persiapan operasi pada klien
dengan trombositopenia berat. o Pada klien yang gagal, baik pada
terapi prednison/splenektomi, dapat digunakan Danazol 600
mg/hari yang telah berespons terhadap 50% kasus. Imunosupresif
seperti vinkristin, infus vinblastin, azatioprin dan siklofosfamid
dapat digunakan pada kasus-kasus refrakter. Transfusi trombosit,
jarang diberikan pada pengobatan PTI. Transfusi hanya diberikan
pada kasus-kasus perdarahan berat yang mengancam jiwa untuk
mempertahankan kemantapan hemostasis.

f. PROGNOSIS

25
Prognosis untuk remisi baik. Perhatian utama selama fase inisial
adalah dapat terjadi hemoragik serebral, yang beresiko bila mana
hitung trombosit < 5.000/ml. Pada penyakit yang kronik, dimana tidak
berespons terhadap prednison dan splenektomi, biasanya klien
memerlukan penatalaksanaan lanjutan.

3. KONSEP ASKEP
a. PENGKAJIAN
Kemungkinan data yang didapatkan pada klien dengan penyakit
trombositopenia antara lain :
1) Perdarahan ringan sampai berat pada kulit (mudah memar, ptekie,
ekimosis), epistaksis, pedarahan gusi (bula berisidarah), muntah
berwarna hitam kopi atau hematemesis, sputum dengan darah,
hematuria, tes guaiak positif, menstruasi banyak, serebral (sakit
kepala, bicara kacau, malaise), ekstremitas kebas dan nyeri
2) Riwayat perdarahan dalam keluarga
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA TINDAKAN
1) Perubahan perlindungan (proteksi) berhubungan dengan abnormal
profil darah (trombositopenia)
 Tujuan : perubahan perlindungan/proteksi dapat diatasi atau
proteksi tubuh adekuat kembali
 Kriteria: tanda vital dalam batas normal, tidak ada bukti
perdarahan atau memar pada kulit, pemeriksaan urine dan feses
menunjukkan perdarahan negatif, sistem pernafasan dan
neurologi tidak menunjukkan tanda perdarahan
 Rencana tindakan :
 Pertahankan tirah baring bila terjadi perdarahan
 Pantau vital sign setiap jam
 Kaji status neurologis setiap 2-4 jam sekali
 Periksa urine dan feses terhadap perdarahan setiap hari
 Kaji kulit dan membran mukosa terhadap perdarahan setiap
4-8 jam
 Pantau hasil pemeriksaan laboratorium
 Lakukan perawatan dengan teknik aseptik dan antiseptik
pada luka atau pada sisi pungsi
 Hindari trauma untuk mencegah perdarahan
 Gunakan handuk dan pakaian yang lembut untuk mandi,
hindari perawatan kulit yang kasar
 Berikan transfusi darah trombosit bila diindikasikan
 Berikan terapi kortikosteoid dan terapi imunosupresif
sesuai indikasi

26
 Hindari penggunaan antihistamin, fenotiazin, aspirin, dan
agen antiimflamasi nonsteroid pada PTI
 Siapkan plasmaferesis bila diperlukan
 Siapkan untuk splenektomi bila diindikasikan

2) Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan cedera fisik


ditandai dengan bula yang berisi darah
 Tujuan : membran mukosa oral dapat dipertahankan dalam
kondisi normal dengan kriteria tidak terdapat bula di rongga
mulut, klien mendapatkan diet dan cairan seimbang, BB klien
dalam batas nilai ideal
 Rencana tindakan :
 Kaji integritas membran mukosa setiap 4 jam
 Berikan higienis oral dengan hati-hati sebelum dan setelah
makan setiap 2-4 jam
 Pertahankan diet yang disukai atau sesuai dengan indikasi,
hindari makanan yang sukar untuk dikunyah untuk
meminimalkan resiko trauma
 Berikan cairan sesuai indikasi sampai 2500 ml setiap hari
kecuali ada kontraindikasi
 Ukur masukan dan haluaran setiap 8 jam
 Timbang BB klien setiap hari dengan pakaian dan timbangan
yang sama

3) Nyeri berhubungan dengan agen fisik yang diakibatkan dari


tekanan saraf sekunder terhadap perdarahan
 Tujuan : nyeri hilang atau terkontrol dengan kriteria klien dapat
melaksanakan aktifitas tanpa nyeri atau tanpa rasa tidak
nyaman, wajah dan postur tetap rileks
 Rencana tindakan :
 Kaji nyeri meliputi lokasi, durasi, intensitas (gunakan skala
nyeri), dan faktor predisposisi setiap 4-6 jam
 Berikan posisi klien senyaman mungkin
 Siapkan tempat tidur yang dapat diatur untuk mencegah
kontriksi oleh pakaian tidur
 Berikan aplikasi dingin atau hangat sesuai dengan
keinginan klien dan bila tidak ada kontraindikasi
 Letakkan benda-benda dalam jangkauan klien
 Gunakan tindakan penghilang rasa nyeri, seperti relaksasi,
terapi musik, panduan imajinasi, sentuhan dsb.
 Batasi pengunjung
 Pantau efektifitas analgesik bila diberikan

27
4) Kurang pengetahuan klien tentang proses penyakit, prognosis dan
pengobatan berhubungan dengan kurang mendapatkan informasi
mengenai proses penyakit, nutrisi, aktifitas dan pengobatan
 Tujuan : pengetahuan klien dan keluarga bertambah dengan
kriteria klien atau keluarga mengungkapkan pemahaman
tentang perawatan dirumah dan instruksi tindak lanjut,
mendemonstrasikan metoda untuk mendeteksi adanya
perdarahan termasuk pemeriksaan feses dan urine,
mendemonstrasikan higiene oral dan tindakan perawatan kulit
 Rencana tindakan :
Proses penyakit
 Demonstrasikan metode untuk mengkaji perdarahan
 Bicarakan tanda dan gejala kekambuhan untuk dilaporkan
pada dokter, seperti sakit kepada yang berkepanjangan,
batuk dengan sputum berdarah, nyeri abdomen menetap,
muntah darah segar atau hitam kopi, peningkatan area ptekie
atau ekimosis, bula yang dipenuhi darah pada rongga mulut,
darah pada urine atau feses
 Peragakan metode pemeriksaan darah dalam urine dan feses
 Anjurkan klien untuk memberitahu dokter bila berencana
untuk hamil atau bila diduga hamil
 Ingatkan klien untuk tidak mendonorkan darahnya
 Jelaskan perlunya untuk menghidari trauma dengan
menghindari konstipasi, benda-benda yang dapat
menimbulkan perdarahan, menggunakan produk perawatan
kulit dan mulut yang non-abrasi
Nutrisi
 Jelaskan pentingnya higiene oral yang teratur
 Jelaskan pentingnya mempertahankan diet seimbang dengan
hidrasi adekuat
Aktifitas
 Jelaskan pentingnya untuk menyeimbangkan waktu aktifitas
dengan istirahat
 Gunakan alat bantu bila diperlukan untuk mencegah trauma
Obat-obatan
 Ajarkan tentang nama obat-obatan, dosis, waktupemberian,
tujuan dan efek samping
 Ajarkan bagaimana cara membaca isi dari obat-obatan yang
dijual bebas, menghindarkan obat-obatan yang mengandung
asam asetilsalisilat (antihistamin, fenotiazin atau angen
antiimflamasi nonsteroid pada PTI)

28
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas
adalah sebagai berikut :

29
1. Anemia sering dijumpai di masyarakat dan mudah dikenali. Tanda dan
gejalanya beragam, seperti pucat, lemah, mual, dll. Pendiagnosaan
anemia dapat ditunjang dengan pemeriksaan laborat yakni adanya
penurunan kadar Hb.
2. Disseminated intravascular coagulation (DIC) merupakan suatu
gangguan pembekuan darah yang didapat, berupa kelainan
trombohemoragic sistemik yamg hampir selalu disertai dengan penyait
primer yang mendasarinya.
3. Trombositopenia menggambarkan individu yang mengalami resiko
tinggi terkena infusiensi trombosit sirkulasi. Tanda dan gejalanya yaitu
hidung mengeluarkan darah atau pendarahan pada gusi dan ada darah
pada urine atau feses.

B. SARAN
1. Sebagai perawat kita harus mampu mengenali tanda-tanda dan gejala
pada suatu penyakit dan memberikan asuhan keperawatan pada pasien
secara tepat dan benar.
2. Perawat harus mampu menerapkan komunikasi terapeutik guna
menurunkan tingkat kecemasan pasien.
3. Perawat harus bisa bekerja ssam dengan tenaga kesehatan yang
lainnya.
4. Perawat harus memantau setiap perkembangan pada pasien

DAFTAR PUSTAKA

http://rizkyekasavitri.blogspot.co.id/. KMB pada Kelainan Darah. Diakses/


Diunduh pada tanggal 8 Agustus 2017 Pukul 10.00 WIB.

30
31

Anda mungkin juga menyukai