Anda di halaman 1dari 6

SEKULARISME DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

INDONESIA

Tiar Anwar Bachtiar


(Ketua Umum PP Pemuda Persis & Peneliti INSISTS)

Krisis pendidikan yang dihadapi umat manusia, termasuk di Indonesia, sudah sampai pada taraf
yang begitu mengkhawatirkan. Kita lihat saja kasus di Indonesia. Selain soal anggaran yang selalu
saja setiap waktu menjadi perbincangan hangat, sesungguhnya krisis terjadi pada tubuh
pendidikannya itu sendiri. Dari sisi pembiayaan pendidikan, pendidikan di Indonesia sedang sampai
pada titik yang begitu mengkhawatirkan. UU BHP yang beberapa waktu lalu disahkan diprediksi
akan semakinn melegitimasi pendidikan Indonesia yang sudah semakin berhaluan neoliberal dan
diselenggarakan sebagai pasar.
Gembar-gembor mengenai pendidikan murah dan pendidikan gratis di televise kelihatannya
memang hanya sekedar iklan narsis pemerintah. Padahal, di lapangan atas nama apapun tetap saja
banyak sekolah yang berlomba-lomba memeras muridnya. Apalagi kalau sekolah sudah berlabel:
terpadu, unggulan, standar nasional, standar internasional dan semisalnya. Ada-ada saja alasan
sekolah untuk menarik uang dari kantong orang tua murid. Akhirnya, sekolah tidak lebih hanya
berperan sebagai lembaga bimbingan belajar yang hubungannya dengan stake holder (murid dan
orang tua) dilandaskan pada hubungan transaksional.
Kalau sekolah sudah memposisikan diri sebagai “perusahaan” yang tengah bertransaksi dengan
konsumennya (orang tua dan siswa), maka hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada lagi komitmen
moral dalam proses pendidikan. Yang ada orang tua sudah meniatkan hal-hal yang materialistis saat
memasukkan anaknya ke sekolah, guru pun sudah tidak memikirkan hal lain selain uang. Akibatnya
bisa dibayangkan: sekolah berubah menjadi pasar.
Efek berikutnya bisa segera ditebak. Selain sekolah menjadi semakin mahal dari sisi mutu
lulusan sangat mengkhawatirkan. Memang banyak sekolah yang kelihatannya bisa melahirkan
manusia-manusia berotak cerdas. Namun sangat sulit untuk mengatakan dengan pasti bahwa
sekolah-sekolah ini akan mencetak manusia-manusia bermoral. Kenyataannya, korupsi di negeri ini
semakin menggejala. Jelas ini dilakukan oleh mereka yang bersekolah. Bahkan mungkin sampai
jenjang persekolahan paling tinggi.
Cerita pilu lain soal kegagalan sekolah adalah fenomena tawuran, narkoba, dan seks bebas yang
dilakukan siswa-siswa sekolah yang kian hari kian meningkat jumlahnya. Sekolah sama sekali tidak
memiliki kekuatan untuk membentuk karakter dan watak murid untuk menjadi tidak seperti itu.
Kalaupun ada murid yang terhindar lebih banyak disebabkan faktor lain di luar persekolahan dan
proses pendidikan. Sekolah memang bukan satu-satunya yang berkontribusi, namun proses
transmisi ilmu pengetahuan di sekolah tidak banyak memberikan kontribusi penting dalam
pembentukan karakter baik pada murid di sekolah. Bahkan, tidak jarang anak-anak justru semakin
menjadi-jadi kenakalannya setelah mereka masuk dan bersekolah di sekolah-sekolah tertentu.

Realitas Konsep Dasar Pendidikan Indonesia


Sebetulnya, kalau kita bongkat sampai ke akarnya, sekolah-sekolah yang diselenggarakan di
negeri ini sudah salah sejak akarnya, yaitu soal konsep dasar dan falsafah pendidikannya. Sekolah-
sekolah di negeri ini, sekalipun telah memiliki aturan perundang-undangan yang merancang
pendidikan sejak basis pemikiran dasarnya sampai masalah-masalah pelaksanaan teknisnya, yaitu
UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan peraturan-peraturan
turunannya, namun kelihatannya masih belum mencerminkan falsafah dan konsep pendidikan yang
benar dan jelas. Walaupun dari sisi misi besar pendidikannya sudah bisa dibenarkan, namun turunan
teknisnya justru tidak mencerminkan misi besar itu.
Dalam UU Sisdiknas Bab 1 Pasal 1 disebutkan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan begara.”

Bagian ini memperlihatkan tujuan dan sekaligus falsafah dari pendidikan yang harus
diselenggarakan oleh semua lembaga pendidikan di Indonesia. Tidak ada yang bermasalah secara
esensial kelihatannya.
Namun, praktik di lapangan tidka terlihat jelas perwujudan dari tujuan yang baik itu. Praktik-
praktik pendidikan tidak memperlihatkan pendulum kea rah sana. Bukti yang paling kasat mata
adalah kurikulum dan proses pembelajaran yang dipraktikkan di berbagai sekolah. Kalau memang
pendidikan di negeri ini ingin mewujudkan pribadi yang “memiliki kekuatan spiritual, beragama,
mampu mengendalikan diri, berkepribadian, berakhlak mulia, cerdas, dan terampil”, apakah
kurikulum pendidikan yang dirancang sudah memadai? Dari sisi struktur pelajaran saja sama sekali
tidak menunjukkan itu. Pelajaran agama hanya diberi porsi sangat rendah. Bagaimana mungkin
dengan pengajaran agama yang hanya 2 jam per minggu dapat mengajarkan agama dengan baik?
Apalagi bercita-cita mewujudkan pribadi yang beragama dan berakhlak mulia.
Baru dilihat dari jumlah jam pelajaran saja disangsikan apakah kurikulum di sekolah-sekolah
yang ada saat ini mampu mewadahi tujuan yang begitu luhur. Apalagi kalau kurikulum yang
dijalankan dibedah sampai ke akar epistemologinya. Akan segera semakin nyata ditemukan
ketidakmungkinan kurikulum itu mengantarkan peserta didik sesuai dengan tujuan Sisdiknas di
atas. Buktinya telah nyata di hadapan mata: secara moral kualitas keluaran pendidikan di negeri ini
tidak menghasilkan pribadi-pribadi yang diharapkan! Kalaupun cerdas cenderung merusak.
Kecerdasannya tidak mampu menemukan esensi kesejatian dirinya sehingga lahir pribadi-pribadi
yang terpecah (split personality).
Kalau ditelaah lebih mendalam, memang kurikulum yang dikembangkan sebagai penjabaran dari
misi sistem pendidikan nasional memperlihatkan ketidaksesuaian dengan misi besar sehingga
hasilnya pun jauh dari apa yang diinginkan. Memang ada muatan agama yang wajib diajarkan di
semua jenjang pendidikan seperti diamantkan UU Sisdiknas pasal 37. Namun, kelihatannya
keberadaan agama di sana tidak pernah memiliki kejelasan hubungan dengan pelajaran lain yang
wajib dikembangkan seperti pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal.1
Ketidakjelasan ini semakin kelihatan ketika Peraturan Menteri mengenai Standar Isi2, Standar
Kompetensi Lulusan3 dan Standar Proses4 pendidikan diterbitkan. Di mana posisi pendidikan
agama semakin terlihat jelas. Agama bukan diletakkan sebagai ruh dari semua mata pelajaran yang
ada. Agama memiliki ruang tersendiri, sementara pelajaran lain berada di tempat yang lain lagi.
Keterpisahan ini semakin menegaskan ada paradigm keliru yang melandasi struktur kurikulum dan
proses penyelenggaraannya dalam sistem pendidikan nasional di negeri ini. Kekeliruan ini berakibat
fatal, yaitu krisis dan kegagalan pendidikan seperti yang kita saksikan hari ini. Berangkat dari
situasi ini, tulisan ini akan mencoba membongkat paradigm keliru di balik pendidikan di negeri ini
dan apa yang mesti dubah secara fundamental berdasarkan padangan hidup Islam (Islamic
worldview).

Sekularisme Mengangkangi Pendidikan Indonesia

1
UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab X Pasal 37
2
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
3
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan
4
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Sandar Proses
Saat UU Sisdiknas disahkan tahun 2003 lalu, terjadi kontroversi yang luar biasa. Bahkan aksi
dukung dan tolak sampai mengerahkan masa ratusan ribu untuk turun ke jalan. Saat itu terjadi
polarisasi antara dua kubu: kubu Islam yang menghendaki UU Sisdiknas disahkan dan kubu sekular
yang menolak UU Sisdiknas. Poin yang menjadi perdebatan adalah masalah “pendidikan agama”
yang secara tegas dimasukkan dalam No. 20 tahun 2003 itu. Jelas kelompok Islam ingin
menghendaki ada bagian itu untuk menjamin keberlangsungan pendidikan agama di negeri ini,
sementara kubu sekular jelas tidak menghendaki hal itu.
Bahkan sampai hari ini UU ini terus dipermasalahkan. Koalisi Pendidikan, sebagian kelompok
yang dulu menolak, mengajukan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi.5 Sekalipun yang menjadi
bidikan adalah masalah pembiayaan yang menjadi dasar bagi munculnya UU No. 9 Tahun 2009
Tentang Badan Hukum Pendidikan,6 namun kelihatannya bila bagian ini berhasil bola biar akan
terus bergulir pada substansi masalah yang dipertentangkan pada tahun 2003 lalu, yaitu mengenai
pendidikan agama dan keagamaan.
Pada satu sisi adalah sesuatu yang baik bahwa pendidikan agama masih mendapat porsi dalam
sistem pendidikan nasional di negeri ini. Namun, kelihatannya untuk mewujudkan pendidikan
berlandaskan prinsip nilai Islam yang benar masih butuh perjuangan panjang. Kurikulum yang
dirancang masih menempatkan agama dan materi pelajaran lainnya pada deret ukur. Agama
dianggap sebanding saja dengan matematika, bahasa Inggris, dan semisalnya. Perancangan
kurikulum pendidikan ini dapat dibaca dengan jelas dalam Peaturan-Peraturan Menteri tentang
Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, dan Standar Proses Pendidikan. Bahkan, untuk menjamin
terlaksananya peraturan-peraturan itu, pemerintah membentuk Badan Standarisasi Nasional
Pendidikan Indonesia (BNSPI).
Mengenai pelajaran agama, baik Islam, Kristen, Katolik, ataupun agama lainnya, dalam Standar
Isi di semua jenjang pendidikan, disebutkan kepentingannya sebagai berikut:

Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari
pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengamalan, pemahaman, dan
penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya
bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.7

Perhatikan dengan saksama kalimat-kalimat yang tertera dalam kutipan di atas. Seperti inilah
penguasa negeri ini mendudukan agama. Agama direduksi hanya sekadar alat untuk mendidik
“mental-spiritual”. Agama diposisikan hanya sebagai instrument pengembangan potensi
kepribadian yang sangat individual. Lebih dari itu, semua agama posisinya disamaratakan.
Dalam kasus agama lain boleh jadi benar bahwa agama hanya sekadar instrument untuk
membangun budi pekerti dan kualitas mental individual sejenisnya. Namun, bila dikaitkan dengan
Islam, konsep ini tentu bermasalah. Islam tidak didefinisikan hanya sekadar agama yang bertujuan
membangun akhlak mulia dan budi pekerti semata. Islam memiliki dimensi sosial, politik, budaya,
dan peradaban yang inheren dalam seluruh ajarannya. Mereduksi Islam hanya semata aspek
spiritual adalah tindakan yang sangat gegabah dan “patut dicurigai” terkontaminasi pemikiran
Barat-sekular.

5
http://www.republika.co.id/berita/39830/Advokasi_Koalisi_Pendidikan_Uji_Materi_UU_Sisdiknas
6
http://www.republika.co.id/beriita/36635/Sidang_Uji_Materiil_UU_BHP_Mulai_Digelar
7
Tujuan pendidikan agama ini terdapat dalam pendahuluan semua dokumen tantang Standar Isi pada mata
pelajaran “Agama” yang merupakan bagia dari Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Pendidikan Nasional.
Sebagaimana dimaklumi Islam adalah suatu sistem yang komprehensif yang mencakup seluruh
aspek dalam kehidupan manusia. Islam sangat memperhatikan aspek mentalitas dan kepribadian
sebagai basis tindakan individual adalah benar. Namun pada saat yang sama Islam pun agama yang
sangat menaruh perhatian besar pada masalah fisik manusia, sistem sosial, sistem hukum,
kekuasaan, kebudayaan, bahkan kesenian sekalipun.8 Islam sama sekali bukan semata-mata masalah
spiritualitas.
Kalau kenyataannya penjabaran sistem pendidikan nasional di negeri ini seperti jelas terbaca
dalam Peraturan Menteri di atas yang akan menjadi acuan pembuatan kurikulum bagi seluruh
sekolah di Indonesia, sudah tidak bisa ada interpretasi lain bahwa pengaruh pemikiran sekular
sangat berpengaruh dalam sistem pendidikan Indonesia. Kekhasan pemikiran sekular terletak cara
pandang terhadap agama. Agama diletakkan hanya sebagai urusan privat, dalam hal ini pembinaan
mental-spiritual, bukan pada ranah public.
Klaim ini dapat dibantah kalau merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam
mendefinisikan sekularisme. Menurut KBBI sekularisme adalah “paham atau pandangan filsafat
yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.” Dengan kata lain
sekularisme adalah paham keduniaan dan kebendaan yang menolak agama sama sekali. Dengan
definisi ini, apa yang termaktub dalam UU Sisdiknas dan peraturan derivatnya sama sekali tidak
menunjukkan paham sekular sama sekali.
Definisi yang sama kelihatannya dapat ditemukan juga dalam The Fontana Dictionary of The
Modern Thought. Di sini secularism didefinisikan sebagai the rejection of religion after
secularization (penolakan terhadap agama setelah proses sekularisasi).9 Agama memang ditolak,
tapi penolakan ini terjadi setelah melalaui proses sekularisasi. Sekularisasi sendiri didefinisikan
sebagai the decline of religion (proses kejatuhan agama).10 Proses kejatuhan agama sendiri terjadi
secara mentah-mentah. Mula-mula kejatuhan peran agama ini dimulai dengan tidak berperannya
tokoh-tokoh agama dalam kehidupan masyarakat. Mereka kehilangan kepercayaan dan simpati
publik. Setelah itu, peran agama sendiri dikerdilkan sehingga sampai pada titik agama sama sekali
ditolak, bahkan dianggap sebagai “opium” yang harus disingkirkan. Sampai pada titik ini
sekularisme te;ah sampai pada titik ekstrim ketidakpercayaan sama sekali kepada agama
(atheism).11
Sejalan dengan itu, bahkan diprediksi bahwa agama akan tetap ada sekalipun proses
sekularisasi sudah berjalan sedemikian intensif. Namun, sebagai gantinya, masyarakat sekular
cenderung beralih dari budaya beragama (religious culture) kepada sekadara kepercayaan agama
(religious faith). Kalau sebelum agama seperti kata kerja (verb), maka berikutnya agama hanya
menjadi kata benda (noun). Kalau dulu orang melakukan sesuatu karena dan menurut petunjuk
agama, maka sekarang orang melakukan apa yang mereka lakukan tanpa peduli pada agama dan
bukan karena agama. Agama mengerucut jadi fideisme dan eupraxophy. Asalkan Anda percaya
bahwa Tuhan itu ada, maka Anda sudah dianggap beragama. Cukup menjadi orang baik, tanpa
perlu menjadi pemeluk agama tertentu.12
Sebagian orang di Indonesia yang tahun 2003 lalu menolak mentah-mentah pelajaran agama
masuk ke dalam UU Sisdiknas kelihatannya memang sudah benar-benar telah melakukan rejection
of religion. Mereka telah “tersekularkan” secara ‘kaffah’. Namun bukan berarti yang belum
menolak secara tegas kepada agama atau yang masih mengakomodasi agama tidak disebut sekuler.
Kalau semangat akomodasi terhadap agama hanya sekadar “memberi ruang” dalam masyarakat

8
Sayyid Sabiq. Islamuna. Dae El-Fikr Beirut, 1982; Mahmud Syaltut. Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah. Dar El-Qalam
tk., 1966; Sa’id Hawa. Al-Islam. tp., tk., 1981.
9
Allan Bullock, Oliver Stallybrass, and Stephen Trombley (ed.). The Fontana Dictionary of Modren Thought.
Fontana Paper Black London, 1988 hal. 765
10
Ibid. hal 765.
11
Ibid. hal 765.
12
Syamsudin Arif. Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran. Gema Insani Press Jakarta, 2008, hal.87-88
yang semakin tidak menyenangi agama dan agama direduksi hanya pada hal-hal yang dapat
diterima pikiran modern-sekular, jelas ini pun bagian dari sekularisme. Paling tidak, per definisi,
sedang berproses menuju sekularisme paripurna.
Reduksi agama (baca: Islam) hanya sebatas pada masalah moral-spiritual adalah bukti proses
sekularisasi tengah terjadi. Kelihatannya agama dimasukan dalam kurikulum karena ada tuntutan
politik dari kelompok-kelompok Islam. Pada saatnya, ketika proses sekularisasi sudah semakin
massif dan merasuk sangat dalam ke dalam sendi masyarakat bukan mustahil pemisahan mutlak
agama dari ranah kebijakan politik dan bahkan penolakan terhadap agama akan benar-benar terjadi
di negeri ini. Dengan semakin menyempitnya peran agama seperti yang terjadi saat ini pun
sesungguhnya sudah menunjukkan bahwa sekularisme sedang menancapkan kukunya di negeri ini.
Kalau sudah dapat terdeteksi apa ideology yang mengangkangi pendidikan di negeri ini, maka
pertanyaan berikutnya yang patut kita jawab adalah apa ancaman akibat sekularisme di negeri ini?
Inilah yang harus menjadi pemantik kesadaran semua. Sekularisme yang merasuk dan menyerang
bangsa ini, sebagaimana sejarahnya di Barat, berpotensi menimbulkan bom waktu kehancuran
sendi-sendi masyarakat. Apalagi kalau sekularisme ini telah menyerang pendidikan. Sampai saat ini
pendidikan tetap merupakan pranata transfuse kebudayaan dari generasi ke generasi. Artinya, kalau
sampai pendidikan terkontaminasi begitu jauh oleh sekularisme, maka darah yang mengalir dalam
tubuh generasi umat akan tercemari virus yang berbahaya ini.
Di negeri tempat asalnya, sekularisme telah benar-benar membunuh agama. Sebagian besar
orang di Barat sana, setelah sekian ratus tahun proses sekularisasi berlangsung, sebagian besar
orang cenderung tidak mau beragama. Hasil jajak pendapat di negara-negara maju seperti Inggris,
Jerman, dan Amerika menunjukkan adanya penyusutan angka pengunjung gereja (church-goers)
secara stabil dan signifikan sejak tahun 1960 hingga sekarang ini.13 Bahkan, fenomena gereja dijual
karena sudah tidak ada lagi jemaat yang mau datang sudah bukan lagi sesuatu yang aneh. Di
Inggris, misalnya Al-Islam.com memberitakan bahwa lebih dari 60 gereja di Inggris ditutup setiap
tahun. Ratusan uskup mengatakan, ribuan gereja hanya didatangi 10 jamaah atau kurang setiap hari
minggunya. Laporan terpisah The Ecclesiological Society, yayasan penjaga gereja, menyebutkan, 4
gereja dari 4.000 gereja hanya dihadiri tak lebih dari 20 jamaah. Laporan ini mengingatkan
kemungkinan ditutupnya gereja tersebut karena sedikitnya pengunjung. Yayasan mengatakan,
jumlah warga Inggris yang melakukan ritual keagamaan meningkat dari 1 juta menjadi 3,5% pada
tahun 1970 dan 1,9% pada tahun 2001. Tapi, dalam urun dipertahankan, dan 925 dirubah bentuknya
menjadi tempat yang tidak ada kaitannya dengan keagamaan seperti perpustakaan, tempat olah raga,
gedung pertunjukan, studio music, ruang tarian, dan tempat tinggal.14
Bercokolnya sekularisme bukan hanya mengancam eksistensi agama, namun juga mengancam
kemanusiaan pada umumnya. Eksperimen sekularisme di Barat harus secara jujur kita lihat sebagai
bukti historis kegagalan sekularisme membangun peradaban umat manusia. Secara fisik, semenjak
sekularisme dideklarasikan dan membusungkan dada menantang agama, kelihatannya kehidupan
manusia lebih mdan lebih mudah. Namun kalau ditelaah lebih mendalam sesungguhnya kemajuan
yang diraih umat manusia dua abad belakangan ini harus dibayar mahal dengan kerusakan yang
tidak ada bandingnya sejak dua ribu tahun ke belakang.
Kasus Protokol Kyoto, 2001, dapat menjadi bukti cukup baik untuk menggambarkan bagaimana
kerusakan dialami dunia seiring dengan meningkatnya apa yang disebut sebagai “kemajuan” oleh
manusia modern-sekuler. Barat, khususnya Amerika Serikat, yang menjadikan lingkungan hidup
sebagai salah satu isu penting dalam politik internasional, justru merupakan perusak alam terbesar
di dunia. Ironisnya, AS yang merupakan penyumbang terbesar emisi gas CO2, malah menolak

13
Ibid. hal.85.
14
http:abudira.wordpress.com/2009/01/30/banyak-gereja-dijual-di-inggris/
menandatangani Protokol Kyoto. Sikap AS ini memicu protes keras dari berbagai LSM di seluruh
dunia.15
Kerusakan akibat manusia-manusia yang berpikiran sekular tidak dapat terhindarkan. Pasalnyam
sekularisme benar-benar terlalu mempercayakan perancangan dan pengaturan hidup ini kepada
manusia semata. Padahal, seringkali yang lebih berkuasa dalam diri manusia adalah hawa nafsunya,
bukan hanya pikirannya. Hawa nafsu manusia memang cenderung merusak dan eksploitatif
sehingga jika diikuti terus ujungnya adalah kerusakan. Pikiran yang tercampuri hawa nafsu itulah
yang mendorong manusia untuk bertindak “tidak benar” dan “tidak tepat” (wrong action). Tidak
benar dan tidak tepat dalam arti yang sedalam-dalamnya, yaitu tidak sesuai dengan karakter
eksistensial manusia dan semesta yang didiaminya sehingga berujung pada kehancuran manusia dan
alam, baik secara fisik maupun psikhis.
Berkaca pada apa yang telah terjadi di dunia ini akibat sekularisme, sudah semestinya apa yang
juga tengah berlangsung di negeri ini menjadi perhatian sangat serius. Dunia pendidikan di negeri
ini tengah dikangkangi ‘hantu’ sekularisme, bahkan sudah sejak awal kemerdekaannya. Beruntung
bahwa agama yang mengakar di Indonesia adalah Islam hingga sekularisme tidak seberhasil di
negeri asalnya, Eropa dan Amerika. Namun, bahayanya tetap saja tidak dapat dianggap remeh.
Sekularisme kini telah menyerang jantung-jantung umat Islam, terutama melalui pendidikan, baik
pendidikan agama maupun pendidikan umum.
Untuk meghindari kerusakan yang lebih parah terhadap agama dan kemanusiaan di negeri ini,
kita harus kembali menata ulang sistem pendidikan di negeri ini agar hanya jangan sekedar
mengakomodasi agama, namun disimpan bukan sebagai prioritas utama. Agama, dalam hal ini
Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini, harus menjadi basis perancangan pendidikan secara
nasional. UU Sisdiknas sesungguhnya member payung cukup lebar untuk menata pendidikan
nasional berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Namun sayang karena pemikiran para ahli pendidikan
kita sebagian besar telah ter-Barat-kan, akhirnya saat diimplementasikan secara operasional model
lama tetap dipertahankan. Agama tetap tidak pernah menjadi basis pendidikan. Untuk itu diperlukan
pemahaman yang baik tentang konsep keilmuan dan pendidikan Islam sehingga para pengambil
kebijakan dapat merancang kembali konsep dan sistem pendidikan yang ada saat ini. Kalaupun
perubahan secara nasional dapat saja terkendala secara politis, paling tidak pemahaman yang benar
mengenai konsep pendidikan Islam ini dapat diimplementasikan di sekolah-sekolah Islam dan
sekolah-sekolah milik umat Islam.

15
Adian Husaini. Wajah Peradaban Barat; dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal. Gema Insani
Press Jakarta, 2005, hal.107.

Anda mungkin juga menyukai