Gagal napas dibagi menjadi 2 tipe yaitu gagal napas hiperkapni dan gagal napas hipoksemi.
1 Gagal napas hipoksemi
Gagal napas hipoksemi mempunyai nilai PO2 arteri yang rendah, tetapi PaCO2 normal atau
rendah. PaCO2 tersebut yang membedakan dari gagal napas hiperkapni. Gagal napas hipoksemia
menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau sirkulasi paru, misalnya
pada pneumoni, aspirasi cairan lambung, emboli paru, asma dan ARDS.1, 2, 5
Patofisiologi
Hipoksemi menunjukan PO2 darah arteri (PaO2) yang rendah, dan dapat digunakan untuk
menunjukan PO2 pada kapiler, vena dan kapiler paru. Hipoksi menunjukan penurunan
penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksi dapat disebabkan oleh hipoksemi berat, rendahnya curah
jantung, anemia, syok septik, atau keracunan karbon monoksida.2
Mekanisme hipoksemi dibagi dalam dua golongan utama yaitu berkurangnya PO2 alveolar
dan meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture).
1 Penurunan PO2 Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar adalah jumlah dari PO2, PCO22, PH2O, dan PN2. Bila PH2O dan
PN2 tidak berubah bermakna, maka setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan
penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan
penurunan PaO2 bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus.1
2 Pencampuran Vena (venous admixture)
Perbedaan PO2 alveolar-arteri (P(A-a)O2) meningkat dalam keadaan hipoksemi karena
peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, P (A-a)O2 normalnya
sekitar 10-20 mmHg, meningkat sesuai dengan usia dan pada posisi tegak.
Penyebab meningkatnya pencampuran vena:
1 Pirau kanan ke kiri (right to left shunt)
2 Ketidak sesuaian ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching = V/Q mismatching)
3 Keterbatasan difusi
Tabel 1 Mekanisme Hipoksemi
Mekanisme PACO2 PAO2 P(A-a)O2 PO2 pada 100% Contoh
O2 (mmHg)
PO2 Alveolar
PO2 inspirasi Normal > 550 ketinggian, penyakit
Hipoventilasi Normal > 550 neuromuslular,
sindrom obesitas-
hipoventilasi
Campuran
darah Vena
Pirau kanan Normal Normal < 550 ARDS, defek septal
ke kiri
V/Q Normal Normal > 550 Pneumoni, asma,
mismatching PPOK
Keterbatasan Normal Normal > 550 Proteinosis alveolar
difusi
IV MANIFESTASI KLINIS
Pening katan PaCO2 merupakan penekan sistem saraf pusat, tetapi mekanismenya terutama
melalui turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena
CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, pH turun secara cepat dan
hebat karena hiperkapni akut.1
Manifestasi gagal napas hipoksemi merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemi arteri dan
hipoksi jaringan. Hipoksemi arteri meningkatkan ventilasi melalui stimulasi kemoreseptor
glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea dan biasanya hiperventilasi. Hipoksi
menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerob, disertai pembentukan asam laktat.1
Tabel 2 Manifestasi Klinis Hiperkapni dan Hipoksemi
Hiperkapni Hipoksemi
Somnolen Ansietas
Letargi Takikardi
Koma Takipnea
Asteriks Diaforesis
Tidak dapat tenang Aritmi
Tremor Perubahan status mental
Bicara kacau Bingung
Sakit kepala Sianosis
Edema papil Hipertensi
Hipotensi
Kejang
Asidosis laktat
Sumber Amin 2006
V DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Gagal napas didiagnosis bila: PO2 arteri (PaO2) < 60 mmHg, atau PCO2 arteri
(PaCO2) > 45 mmHg, kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis
metabolik.1
VI TATALAKSANA
Gagal napas hiperkapni berarti adanya hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif bertujuan
memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga penyakit dasar dapat diobati. Gagal
napas hipoksemi memerlukan suplementasi oksigen sebagai terapi terpenting. Walaupun
umumnya tidak didapatkan hiperkapni, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan
menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas
hipoksemi harus diatasi, terutama jika pneumoni, sepsis, anemia berat, serta curah jantung yang
adekuat harus dipertahankan.1
1 Jalan napas
Pada semua pasien dengan gangguan pernapasan, harus dipikirkan dan diperiksa adanya
obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial, seperti endotracheal
tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risikonya.1, 6
Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma orofaring atau nasofaring karena
penekanan kronik, kerusakan trakea (erosi, trakeomalasia), gangguan respon batuk, risiko
aspirasi meningkat, gangguan fungsi mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara,
meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan.1
Keuntungan jalan napas artifisial ialah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi
jalur pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP,
memfasilitasi penyedotan sekret, dan jalur untuk bronkoskopi fiberoptik.1
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah:
1 Secara fisiologis: hipoksemi menetap setelah pemberian oksigen, PCO2 > 55 mmHg dengan
pH < 7,25, kapasitas vital < 15 mL/kg dengan penyakit neuromuskular.
2 Secara klinis: perubahan status mental dengan gangguan proteksi jalan napas, gangguan
repirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik, obstruksi jalan napas atas, sekret yang banyak
yang tidak dapat dikeluarkan oleh pasien dan membutuhkan penyedotan.1, 6
2 Oksigen
Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada mekanisme hipoksemi, tipe alat
pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen
pada konsentrasi yang berbeda-beda, dan ventilasi semenit pasien. Karena oksigen konsentrasi
tinggi merusak paru, harus diupayakan untuk meminimalkan jumlah dan lama terapi oksigen.1, 6
3 Bronkodilator
Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kontraksi otot polos, tetapi beberapa
mempunyai efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi.1
4 Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan parenteral atau
oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek sampingnya sangat berkurang, sehingga dosis
yang lebih besar dan lebih lama dapat diberikan. Peningkatan dosis dan frekuensi pemberian
sering kali dibutuhkan.1
Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian dan efek
samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak
digunakan karena tidak spesifik terhadap reseptor α2, juga tidak menunjukan kelebihan dalam
mengatasi bronkospasme. Agonis beta-adrenergik kerja lama (LABA), berguna untuk
penggunaan kronik seperti mencegah bronkospasme, tetapi tidak direkomendasikan untuk
serangan bronkospasme akut.1, 6
5 Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik) tergantung pada derajat
tonus parasimpatis instrinsik. Antikolinergik direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi
pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan
dengan agonis beta-adrenergik. Ipatropium bromide tersedia dalam bentuk MDI (metered-dose-
inhaler) atau larutan untuk nebulisasi. Efek samping seperti takikardi, palpitasi dan retensi urin
jarang terjadi.1
6 Teofilin
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-adrenergik. Mekanisme
kerjanya melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada siklik AMP (cAMP), translokasi kalsium,
antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta-adrenergik dan aktivitas anti-inflamasi. Efek
sampingnya antara lain takikardi, mual, muntah, aritmi, hipokalemi, perubahan status mental dan
kejang.1
7 Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menurunkan inflamasi jalan napas. Kortikosteroid aerosol
kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau
parenteral. Kortikosteroid inhalasi sangat jarang menimbulkan efek samping sistemik kecuali
batuk karena provokasi bronkospasme. Kortikosteroid yang lebih kuat mempunyai efek samping
jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis dan perkembangan katarak. Penggunaan
kortikosteroid bersama-sama dengan obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi telah
dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.1, 6
Efek samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemi, hipokalemi, retensi natrium dan
air, miopati steroid akut, gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan
gastrointestinal.1
9 Ventilasi Mekanik
1.Ventilasi mekanik Konvensional
Ventilasi mekanik meningkatkan ventilasi semenit dan menurunkan ruang rugi. Pendekatan ini
adalah pengobatan utama untuk hiperkapni akut dan hipoksemi berat. Strategi utama untuk
ventilasi mekanik harus menghindari tekanan tinggi puncak inspirasi dan optimalisasi
perekrutan paru-paru.2, 7
Pada orang dewasa dengan ARDS, strategi untuk memberikan volum tidal yang rendah (6
mL/kg) dengan mengoptimalisasikan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP) menawarkan
manfaat kelangsungan hidup lebih besar dibandingkan dengan volum tidal yang tinggi
(12 mL/kg).2, 7
Menurut strategi hiperkapni ARDS, CO2 arteri diperbolehkan meningkat sampai 100
mmHg namun pH darah dipertahankan lebih dari 7,2 dengan cara pemberian larutan buffer
intravena. Hal ini dilakukan untuk membatasi tekanan udara inspirasi kurang dari 35
cmH2O. PEEP harus diterapkan ke titik di atas tekanan infleksi seperti pada distensi alveolar
dipertahankan sepanjang siklus ventilasi. Ventilasi mekanik konvensional mengoptimalkan
rekrutmen paru-paru, meningkatkan tekanan rata-rata jalan napas dan kapasitas residu
fungsional, dan mengurangi atelektasis diantara siklus napas.2, 7
1. Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-VI. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2014. h. 170-5.
2. Katyal P, Gajic O. 2008. Pathophysiology of Respiratory Failure and Use of Mechanical
Ventilation. Rochester, MN, USA.
3. Fontán JJP, Behrman GGH. 2004. Respiratory Pathophysiology. Dalam: Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17, Saunders, An
Imprint of Elsevier; h. 431-5.
4. Priestley M, Helfaer M. 2004. Approaches in the management of acute respiratory failure in
children. Curr Opin Pediatr.;16(3):293-8.
5. Priestley MA, Huh J. 2008. Pediatrics: Cardiac Disease and Critical Care Medicine. Journal
[serial on the Internet]. (diunduh 5 Februari 2010), Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/908172.