Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pendahuluan
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam ) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.6
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.6
Indonesia masih menempati urutan ketiga di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Menurut profil kesehatan Indonesia tahun 2016
wilayah terbanyak dengan kejadian kasus baru Tuberkulosis yaitu di provinsi Jawa
Barat dengan jumlah kasus sebanyak 23.774, sedangkan di provinsi Nusa Tenggara
Timur terdapat 3.173 kasus baru. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh
nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.6
Angka kejadian kasus baru dengan BTA positif TB pada tahun 2016 di
Indonesia tertinggi didapatkan pada provinsi Jawa Barat (23,774 kasus), Jawa
Timur (21.606 kasus), dan Jawa Tengah (14.771 kasus). Pada tahun 2016 NTT
menduduki peringkat ke 10 tertinggi (3,173 kasus). Angka kejadian TB di NTT

1
tertinggi adalah Kota Kupang sebanyak 683 kasus, Malaka sebanyak 560 kasus,
dan diikuti oleh Sikka sebanyak 396 kasus.10
Berdasarkan data jumlah pasien dengan Tuberkulosis, diperkirakan 1,5 %
memiliki Tuberkulosis milier. Insiden TB milier lebih tinggi pada orang Afrika di
Amerika Serikat karena pengaruh faktor sosial ekonomi, laki-laki lebih tinggi
insidennya dari wanita. Pada beberapa kasus di temukan bahwa kulit hitam lebih
tinggi insidennya di bandingkan kulit putih karena pengaruh sosial ekonomi.5
Diantara orang dewasa yang imunocompetent, Tuberkulosis milier biasanya terjadi
kurang dari 2% dari semua kasus TB.13
Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama
usia < 2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB
mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat
terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer
sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman
yang dorman.15
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis menganggap TB paru
merupakan maslah yang penting, sehingga penulis akan melaporkan kasus
mengenai seorang perempuan dengan TB paru.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. SL
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 49 tahun (01-07-1968)
Agama : Kristen Protestan
Status pernikahan : sudah menikah
Suku bangsa : Timor
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
No. RM : 476642
Tanggal MRS : 23 – 10 – 2017
2. ANAMNESIS
Keluhan utama : Lemas
Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan lemas karena
menurunnya nafsu makan yang sudah dirasakan sejak ± 2 bulan yang lalu.
Pasien juga merasakan sesak yang sudah dirasakan sejak 2 minggu terakhir
namun tidak mengganggu aktivitas sehari – hari, selain itu Pasien juga memiliki
riwayat batuk yang lama ± 1 tahun, batuk berdahak berwarna putih, darah (-)
keringat malam (+).
Pasien juga merasakan demam sejak 2 minggu terakhir, secara terus
menerus dan berkurang bila minum obat penurun demam (paracetamol), pasien
juga mengeluhkan menggigil dan berkeringat banyak terutama pada malam
hari. Nyeri kepala tidak ada, pusing tidak ada, nyeri menelan tidak ada, Mual
tidak ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada, nyeri perut tidak ada. Nafsu
makan menurun, ada penurunan berat badan, menurut pasien dan keluarganya
sebelum muncul gejala pasien memiliki berat badan seperti anak perempuannya
(48kg).

3
BAB: biasa
BAK: kesan lancar warna kuning
Riwayat penyakit terdahulu : Sebelumnya pasien pernah merasakan
gejala yang sama dan riwayat kontak dengan penderita batuk lama tidak jelas.
Riwayat keluarga : Dalam keluarga pasien tidak ada yang memiliki
keluhan maupun gejala yang sama.
Riwayat pengobatan : Pasien pernah minum OAT sebelumnya, menurut
pasien dan keluarganya obat yang seharusnya diminum selama 6 bulan namun
pasien hanya mengkonsumsinya selama 1 bulan.
Riwayat kebiasaan : merokok (-), alkohol (-), makan teratur 3 kali sehari.
Riwayat sosioekonomi : Sekarang pasien tinggal bersama dengan kedua
anak dan suaminya. Penghasilan keluarga ± Rp. 200.000 - Rp. 500.000.

3. STATUS PRESENT
 Keadaan umum : Tampak sakit berat
 Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)
 Gizi kurang
o BB : 37 kg
o TB : 165 cm
o IMT : 13,6 kg/m2 (kurang)

Tanda Vital
 TD : 110/60 mmHg
 Nadi : 108 x/menit reguler, kuat angkat
 Pernapasan : 28 x/menit; reguler
 Suhu : 37,30C

4
4. PEMERIKSAAN FISIS
 Kepala
Normochepal
Rambut berawarna hitam dan tidak mudah dicabut
 Mata
Eksoptalmus/enoptalmus : (-)
Gerakan : ke segala arah
Kelopak mata : dalam batas normal
Kongjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (+/+)
 Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
 Mulut
Bibir : sianosis (-) mukosa lembab (+)
Gusi : perdarahan (-)
 Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
 Dinding dada
Inspeksi:
Bentuk : simetris kiri=kanan
Sela iga : semetris kiri=kanan
Retraksi : (-)
 Dada
 Paru
Anterior
Inspeksi : pengembangan dada simetris, penggunaan otot
bantu pernapasan (-) retraksi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), taktil fremitus D=S
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

5
Auskultasi :
Vesikuler ronkhi wheezing

+ + ++ + - -
+ + + - - -
+ + - - - -

Posterior
Inspeksi : penegmbangan dada simetris, penggunaan otot
bantu pernapasan (-) retraksi (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus D=S
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi :
Vesikuler ronkhi wheezing

++ + - -
+ +
+ - - -
+ +
- - - -
+ +

 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tampak di ICS 5 Midclavicula Sinistra
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 Midclavicula Sinistra
Perkusi : Batas kanan atas ICS 2 parasternal dextra
Batas kanan bawah ICS 4 parasternal dextra
Batas kiri atas ICS 2 parasternal sinistra
Batas kiri bawah ICS 5 midclavicula sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, gallop (-) murmur (-)

 Perut
Inspeksi : datar, ikut gerak napas distensi (-)
Palpasi : nyeri tekan (-) hati dan limpa tidak teraba
Perkusi : tympani, nyeri ketuk (-)
Auskultasi : bising usus (+) 5x/menit kesan menurun

6
 Ekstremitas : akral hangat, edema CRT < - + 2”
+ +
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Hb : 12,3 g/dl
Ht : 36,6 %
RBC : 5,02 x 106 u/L
WBC : 14,7 x 103 u/L
Eosinofil : 0,1 %
Neutrofil : 91,5 %
Limfosit : 5,9 %
Trombosit : 250 x 103/ul
GDS : 16 mg/dl
Ureum : 23,40 mg/dl
Kreatinin : 0,47 mg/dl
Albumin : 2,10 mg/dl

 Rontgen Thoraks :

Kesan : TB Milier

7
6. DIAGNOSIS
 TB millier
 Pneumonia
 Hipoalbumin
 Obs. Edema

7. PENATALAKSANAAN AWAL
 O2 2-4 lpm/ nasal canul
 IVFD Clinimix 1000cc 20 tpm  IVFD Lipofundin 20 tpm  IVFD RL :
NS = 1: 1 / 20 tpm
 Pro NGT  Diet TKTP 2100kkal
 Drip Ceftriaxone 2x2gr dalam NS 100cc (> 30 menit)
 Inj. Methilprednisolon 1x62,5mg
 Inj. Ranitidin 2x1amp
 Inj. Ondancetron 2x1amp
 Drip albumin 20%
 Vip Albumin 1x1 tab
 Neurodex 1x1 tab
 Paracetamol 3x 500mg (k/p)
 Nebulizer combivent 3x/hari

8. RENCANA PEMERIKSAAN
 Sputum BTA SP, gram, jamur
 Kultur sputum gram dan sensitivitas antibiotik
 Urinalisa, SGOT/SGPT, ureum/kreatinin, GDS, LED, ADT, elektrolit

8
Follow Up 2 hari

29 Oktober 2017 30 Oktober 2017


S batuk (+) sesak (-) nafsu makan menurun, batuk (-) sesak (-) tidak nafsu makan,
lemas, BAB (-) sudah 3 hari BAK baik lemas, BAB (-) sudah 4 hari BAK baik
O  KU : sakit sedang, GCS: E4V5M6  KU : sakit sedang, GCS: E4V5M6
 TD : 110/60 mmHg  TD : 110/80 mmHg
 Nadi : 101x/menit,  Nadi : 88x/menit, regular,
regular, kuat angkat kuat angkat
 Suhu : 36,7oC  Suhu : 36,7oC
 Pernafasan : 19x/menit  Pernafasan : 19x/menit
 Mata : konjunctiva pucat (-/-), sclera  Mata : konjunctiva pucat (-/-), sclera
ikterik (-/-) ikterik (-/-)
 Hidung : rhinore (-/-)  Hidung : rhinore (-/-)
 Mulut : mukosa bibir pucat (-)  Mulut : mukosa bibir pucat (-)
 Leher : KGB membesar (-).  Leher : KGB membesar (-).
 Jantung (asukultasi): S1 S2, murmur  Jantung (asukultasi): S1 S2, murmur
(-) gallop (-) (-) gallop (-)
 Pulmo: perkusi : sonor/sonor  Pulmo: perkusi : sonor/sonor
 Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing  Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-) (-/-)
 Abdomen : datar, supel, BU (+) 5  Abdomen : datar, supel, BU (+) 5 ×/menit
×/menit kesan menurun, hepar tidak kesan menurun, hepar tidak teraba, lien
teraba, lien tidak teraba tidak teraba
 Ekstermitas : akral hangat, edema (+),  Ekstermitas : akral hangat, edema (+),
CRT <3 detik CRT <3 detik
A  TB on OAT  TB on OAT
 Pneumonia  Pneumonia
 Hipoalbumin  Hipoalbumin
 Obs. Edema  Obs. Edema
P = O2 Nasal 4Lpm  O2 Nasal 4Lpm
 IVFD clinimix 1000cc/24jam  IVFD clinimix 1000cc/24jam
 Diet TKTP 2100 lunak  Diet TKTP 2100 lunak
 Ceftriaxon 2x2gr dalam NS 100cc  Ceftriaxon 2x2gr dalam NS 100cc
 Inj. Ondancentron 3x1amp  Inj. Ondancentron 3x1amp
 Inj. Ranitidin 2x1 amp  Inj. Ranitidin 2x1 amp
 Vip-albumin 1x1 tab  Vip-albumin 1x1 tab
 Neurodex 1 x 1 tab  Neurodex 1 x 1 tab
 Drip albumin 20%  Drip albumin 20%

9
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat
tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA).7

Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis.7

2.2 Cara Penularan


Penyakit Tuberkulosis biasanya menular melalui udara yang tercemar
dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita
batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita dewasa.
Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang
biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah),
dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Tuberkulosis dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru,
otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain,
meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.11

10
Gambar 2. Penyebaran bakteri Tuberkulosis.1

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan Saat Mycobacterium


tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh
koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian
reaksi imunologis bakteri Tuberkulosis ini akan berusaha dihambat melalui
pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme
pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut
dan bakteri Tuberkulosis akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-bentuk dormant
inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.11
Bakteri Tuberkulosis akan tetap dormant sepanjang hidupnya pada sebagian
orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik, sedangkan pada orang-orang
dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami
perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak ini

11
membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi
sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat
diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif
terinfeksi Tuberkulosis.10
Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak
dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial
ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat,
meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya
epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun,
virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting
dalam terjadinya infeksi Tuberkulosis.10

2.3 Patogenesis
2.3.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.
Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
napas, atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.3
Bakteri akan berkembang biak di dalam sitoplasma makrofag bila menetap
dijaringan paru dan dapat menyebar ke organ tubuh lainnya. Bakteri yang bersarang
di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut
sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat
terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Bakteri dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri

12
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier.3
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:3
1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya
> 5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman
yang dormant
3) Berkomplikasi dan menyebar secara :
a) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran
napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis
akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.6
b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
c) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan yang cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
typhobachillosis Landouzy.6
13
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan Tuberkulosis primer.3

2.3.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(Tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal.
Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.3
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam
3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari
sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.3
Tergantung dari jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang
dini ini dapat menjadi:3
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras,
menimbulkan perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila
jaringan keju dibatukkan keluar terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-
mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi
jaringan firbroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas
sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena
adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang
diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan
TNF-nya.
14
Bentuk lain yang jarang terjadi adalah cryptic disseminate TB yang terjadi
pada imunodefisiensi dan usia lanjut. Disini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri
sangat banyak. Kavitas dapat menjadi:3
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi
kavitas ini masuk dalam peredaran darah arteri, maka akan terjadi TB
milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk
lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus. Sarang ini
selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang disebutkan diatas. Bisa
juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal atau empiema bila
ruptur ke pleura,
b) Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi) sehingga menjadi
tuberkuloma. Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau
dapat aktif kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi. Komplikasi
kronik kavitas ini adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus dan
kemudian menjadi mycetoma,
c) Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga
meyembuh dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang-kadang
berakhir dengan kavitas yang terbungkus, menciut, dan berbetuk seperti
bintang yang disebut stellate shape.

2.4 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat:2
1) Kelas 0 : Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang
pada kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1 : Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya
tergantung pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta
kekebalan tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes

15
tuberculin lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir,
dan sementara itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus
dipertimbangkan terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun
dan penderita infeksi HIV.
3) Kelas 2 : Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada
kelas 2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi
dan bakteriologi negatif.
4) Kelas 3 : Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua
pasien dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah
selesai. Jika diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus
diklasifikasikan sebagai tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk
ke kelas 3, seseorang harus memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau
radiografi TB saat ini. Hal ini dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis.
Seseorang yang menderita TB di masa lalu dan juga yang saat ini
memiliki penyakit aktif secara klinis termasuk dalam kelas 3. Seseorang
tetap di kelas 3 sampai pengobatan untuk episode penyakit saat ini
selesai.
5) Kelas 4 : TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan
tidak ada bukti klinis.
6) Kelas 5 : Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk
dalam kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika
prosedur diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada
salah satu kelas sebelumnya.

Klasifikasi Tuberkulosis paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (Basil


Tahan Asam / BTA), TB paru dibagi atas:6
1) TB paru BTA (+), adalah :
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif,
16
b) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif.
c) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
2) TB paru BTA (-), adalah :
a) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinis dan kelainan radologi menunjukkan
Tuberkulosis aktif.
b) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. Tuberkulosis positif.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya


yaitu:6
1) Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk
tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang
dari satu bulan.
2) Kasus pengobatan ulang:
a) Kasus kambuh (relaps): pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi
berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau
biakan positif.
b) Kasus gagal (smear positive failure): pasien yang menjalani
pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal,
ditandai dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah
mendapatkan obat anti tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.
c) Kasus defaulted atau drop out: pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.

17
3) Kasus kronik
Pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah pengobatan ulang
lengkap yang disupervisi dengan baik.
4) Kasus Bekas TB:
a) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran
yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih
mendukung.
b) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik.

Klasifikasi Tuberkulosis ekstraparu:6


Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran
kencing dan lain-lain.
TB paru TB paru BTA (+)
TB
TB paru BTA (-)

TB ekstraparu

Kasus baru

Kasus kambuh
Tipe penderita
TB paru Kasus Drop Out

Kasus gagal pengobatan

Kasus kronik

Gambar 3. Skema klasifikasi Tuberkulosis.

18
2.5 Gejala Klinis
2.5.1 Gejala Respiratori
Gejala respiratori yaitu:3
1) Batuk / Batuk Darah
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk
ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut
adalah batuk darah (hemoptisis).
Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri
pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan yang
hebat (aneurisma Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya adalah
aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik.
2) Sesak Napas
Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik / melepaskan nafasnya.

2.5.2 Gejala Sistemik


Gejala sistemik yaitu:3
1) Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadand panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama
dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah
seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari serangan
demam influenza.
2) Malaise
19
Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri
otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama makin
berat dan hilang timbul secara tidak teratur.

2.6 Pemeriksaan Fisik


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan
struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks
lobus inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum.6
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung
dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,
pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess.6

20
2.7 Pemeriksaan Penunjang

Gambar 6. Pemeriksaan Tuberkulosis paru.12

2.7.1 Pemeriksaan Bakteriologi


1) Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan.
Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama
pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refles batuk. Dapat
juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik selama 20-30
menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi
diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho
alveolar lavage).3

21
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya
ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (3) Kuman berbentuk batang
yang ramping (diameter kurang dari 0,5 µm), kadang melengkung, sering
bermanik-manik polikromatik, seringkali tampak pada specimen klinis
sebagai pasangan atau kelompok beberapa organism yang terletak
bersisian.4

Gambar 7. Sputum BTA.6


Pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.
Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah:
a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa,
b) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens
(pewarnaan khusus),
c) Pemeriksaan dengan biakan (kultur),
d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat.

Pemeriksaan dengan mikroskoskop fluoresens dengan sinar


ultraviolet walaupun sensitifitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena
pewarnaan yang dipakai (auramin-rhodamin) dicurigai bersifat
karsinogenik.3

22
Pewarnaan yang lebih pasti adalah dengan karbofluksin, pewarnaan
ini membutuhkan pembacaan yang teliti dengan mikroskop imersi minyak,
basilus tuberkulosa dapat dilihat dengan pembesaran 1000 kali.4
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak.
Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan
dinyatakan negative. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu
Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa3. Sementara medium biakan agar
adalah Middle Brook.6
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat
kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada
fenomena dead bacilli, atau non culturable bacilli yang disebabkan
keampuhan panduan obat anti tuberculosis jangka pendek yang cepat
mematikan kuman BTA.panduan obat anti tuberkulosis jangka pendek yang
cepat mematikan kuman BTA.3

2) Pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan,


bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari:2
a) Cairan serebrospinal sebaiknya dianalisis untuk mengetahui
kadar protein dan glukosa (dibandingkan dengan total serum
simultan protein dan glukosa). Jumlah sel darah putih juga
harus diperoleh. Protein yang tinggi (50% dari konsentrasi
serum protein), limfositosis, dan glukosa yang rendah adalah
khas meningitis tuberculosis.
b) Bilasan lambung sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya.3 Sekitar 50 ml isi
lambung harus diaspirasi pada pag hari, setelah pasien
menjalani puasa selama 8-10 jam, dan lebih baik jika pasien
masih di tempat tidur.
c) Cairan pleura, peritoneum, dan perikardial dapat dianalisis
untuk mengetahui kadar protein dan glukosa (dibandingkan
23
dengan total serum simultan protein dan glukosa). Sel dan
diferensial jumlah harus diperoleh. Protein yang tinggi (50%
dari konsentrasi serum protein), limfositosis, dan glukosa
yang rendah biasanya ditemukan pada infeksi tuberkulosis.
d) Bilasan urin biasanya menunjukkan hasil negatif dan
karenanya tidak efektif untuk dilakukan.

2.7.2 Pemeriksaan Radiologi


Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan
seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal
ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada,
sedangkan pemeriksaan sputum selalu negatif.3
Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior.
Gambaran yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah:
1) Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta
segmen superior lobus bawah paru ditemukan berupa
bercak-bercak seperti awan / nodular.6
2) Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula
berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan
terlihat menebal,
3) Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.3
4) Efusi pleura unilateral atau bilateral.

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah:6


1) Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,
2) Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi,
3) Schwarte atau penebalan pleura.

24
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru
adalah bayangan hitam radio-ulsen di pinggir paru atau pleura
(pneumotoraks) dan atelektasis yang terlihat seperti fibrosis yang luas
disertai penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun
pada satu bagian paru
Berdasarkan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk
kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut:3
1) Tuberkulosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat
nonkavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi
jumlahnya, tidak melebihi satu lobus paru.
2) Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan
diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrat bayangan
halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya
kasar tidak lebih dari sepertiga bagian paru.
3) Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrat dan kavitas
yang melebih keadaan pada moderately advanced
tuberculosis.

Gambar 8. Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru

25
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif 2-
3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.6 Pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT.1

2.8.1 Obat Anti Tuberkulosis


Obat yang dipakai:
1) Jenis obat utama (lini 1) yang digunaka adalah :
INH, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.
2) Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin, PAS (para amino salicylic acid), Ofloksasin, Tiasetazon,
Etionamid, Sikloserin, Protionamid, Viomisin, Kapreomisin,
Amikasin, Norfloksasin, Levofloksasin, Klofazimin.3
Kemasan:
1) Obat tunggal: obat disajikan secara terpisah.

Tabel 1. Jenis dan dosis OAT


Dosis Obat (mg)
Berat
Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Streptomisin
Badan
(R) (H) (Z) (E) (S)
< 40 300 150 750 750 Sesuai BB
40-60 450 300 1000 1000 750
>60 600 450 1500 1500 1000

2) Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
International union Againts Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan

26
kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis
obat kombinasi tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada berikut:1

Tabel 2. Dosis OAT KDT


Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
Berat 3 kali seminggu selama 16
tiap hari selama 56 hari
Badan minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 2 tablet 2 tablet
38-54 3 tablet 3 tablet
55-70 4 tablet 4 tablet
>71 5 tablet 5 tablet

Obat kombinasi dosis tetap mempunyai beberapa keuntungan


dalam pengobatan TB:1
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien.
d) Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan yang benar dan standar.

27
2.8.2 Panduan obat Anti Tuberkulosis
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:6
1) Pasien kasus baru TB paru dengan BTA positif, dan TB dengan BTA
negatif beserta gambaran foto toraks lesi luas (termasuk luluh paru).
Paduan obat yang dianjurkan: 2RHZE/4RH atau
2RHZE/4R3H3atau 2RHZE/6HE. Pengobatan fase inisial
resimennya 2HRZE, maksudnya Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama dua
bulan.
Kemudian diteruskan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE,
maksudnya Rifampisin dan Isoniazid diberikan selama empat bulan
setiap hari atau tiga kali seminggu, atau diberikan selama 6 bulan.
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi.
2) Pasien baru TB paru dengan BTA negatif beserta gambaran foto
toraks lesi minimal.
Panduan obat yang dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 2RHZE/4R3H3
atau 6RHE
3) Pasien TB paru kasus kambuh.
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan RHE selama 5 bulan.
4) Pasien TB paru kasus gagal pengobatan.
Paduan obat yang dianjurkan: 2RHZES/1RHZE/5RHE.
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2
(contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat
diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji

28
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan
RHE selama 5 bulan.
5) Pasien TB kasus putus obat.
Paduan obat yang disediakan oleh Program Nasional TB:
RHZES/1RHZE/5R3H3E3.
Pasien TB paru kasus lalai berobat akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria berikut:
a) Berobat < 4 bulan
Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks
positif, TB aktif pengobatan diteruskan.
b) Berobat ≥ 4 bulan
Bila BTA saat ini negatif, klinis dan radiologi tidak aktif atau
ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila
gambaran radiolologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan
juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Bila
BTA saat ini positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama.

6) Pasien TB paru kasus kronik.


a) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4
macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini
2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dan lain-lain.
Pengobatan minimal selama 18 bulan.
29
b) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan.
d) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru.
Sedangkan menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:1
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru
2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

30
Tabel 3. Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 2.12
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. 4KDT + 2 tab Etambutol
38-54 3 tab 4KDT 3 tab 3 tab 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj 4KDT + 3 tab Etambutol
55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin 4KDT + 4 tab Etambutol
inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin 4KDT + 5 tab Etambutol
inj.

2.8.3 Efek samping obat dan penatalaksanaannya


Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan. Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek
samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.1

31
Tabel 4. Efek samping ringan OAT.12
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu Rifampisin Semua OAT diminum malam
makan, mual, sakit sebelum tidur
perut
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin)
terbakar di kaki 100mg per hari
Warna kemerahan Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
pada air seni (urine) perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 5. Efek samping berat OAT.12


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk
kulit OAT penatalaksanaan dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
keseimbangan. Etambutol
Ikterus tanpa penyebab Hampir semua Hentikan semua OAT sampai
lain OAT ikterus menghilang.
Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT, segera
muntah (permulaan OAT lakukan tes fungsi hati.
ikterus karena obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin.
(syok)

32
Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit”:1
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-
gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-
histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal
tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan
terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua
OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek
samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

2.8.4 Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus


Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus dibagi menjadi:1
1) Kehamilan dan menyusui
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan Pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua
OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat
dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang
akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat
berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB. Tidak ada indikasi penguguran pada pasien TB dengan
kehamilan.
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu
menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat
paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah
penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan
dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
33
2) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50
mcg).

3) Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau
klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan
streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan.

4) Pasien TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari
3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus
dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat
dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan
kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang
dapat dianjurkan (rekomendasi WHO) adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.

34
5) Hepatitis karena Obat
Dikenal sebagai kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaannya:
a) Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+])  OAT Stop
b) Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali  OAT stop
c) Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2  OAT stop
d) SGOT, SGPT > 5 kali  OAT stop
e) SGOT, SGPT > 3 kali  teruskan pengobatan, dengan
pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan:


a) Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
b) Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium, bila klinik dan
laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT),
maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis
penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa
laboratorium saat INH dosis penuh, bila klinik dan
laboratorium normal, tambahkan rifampisin, desensitisasi
sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga
paduan obat menjadi RHES3.
c) Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi.

6) Pasien TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-
pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi
melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal.

35
Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.

7) Pasien TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula
darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopati diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol,
maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan.

8) Pasien TB Milier
Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH dan diindikasikan
untuk rawat inap. Pada gejala meningitis, sesak napas, gejala toksik, dan
demam tinggi dapat diberikan kortikosteroid prednison dengan dosis 30-40
mg per hari kemudian diturunkan secara bertahap.

9) Pasien Efusi Pleura TB


Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE/4RH. Evakuasi cairan
dilakukan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan dapat diberikan
kortikosteroid. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi
luas dan DM. Evakuasi cairan dapat diulang jika diperlukan.

36
10) Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru),
adalah:
a) Untuk TB paru:
a. Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi
dengan cara konservatif.
b. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema
yang tidak dapat diatasi secara konservatif.
c. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang
terlokalisir
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien
TB tulang yang disertai kelainan neurologik.

11) Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS
sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium
klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin
harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal).
Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi
dalam satu unit pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan pengobatan
secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu
dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul
sukarela dengan test HIV).

37
12) Tuberkulosis pada organ lain
Paduan OAT untuk pengobatan tuberculosis di berbagai organ tubuh
sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya lama pengobatan untuk TB
tulang, TB sendi, dan TB kelenjar adalah 9-12 bulan. Paduan OAT yang
diberikan adalah: 2HRZE/7-10RH

2.9 Tuberkulosis Milier


a. definisi
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit
limfohematogen sistemik akibat penyebaran kuman Mycobacterium
Tuberculosis dari kompleks primer, yang biasnya terjadi 2-6 bulan setelah
infeksi awal. Tuberkulosis milier sering terjadi pada bayi atau anak-anak
dengan usia dibawah 5 tahun dan juga pada orang-orang dengan
immunocompromised berat. TB milier dapat mengenai satu atau beberapa
organ termasuk otak. Pada gambaran radiologi dapat terlihat kuman basil
TB berbentuk millet (padi) ukuran rata-rata 2 mm, lebar 1-5 mm di paru. 25
% pasin dengan TB milier akan melibatkan meningeal.9,13,14

b. Patogenesis

Penyebaran kuman pada TB milier adalah secara hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan jumlah
kuman yang besar dari fokus infeksinya yaitu di paru ataupun ekstraparu.
Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya didalam
pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di
tempat tersebut. Tempat yang paling sering adalah hati, limpa, bone marrow,
paru dan meningen karena organ - organ tersebut memiliki banyak sel fagosit
di dalam dinding sinosoidnya. Istilah milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm , sedangkan secara
histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam

38
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB.9

c. Manifestasi klinik

Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada


banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang paling sering
dialami oleh orang yang menderita TB milier adalah penurunan nafsu makan,
demam, penurunan berat badan, batuk berdahak, keringat malam, mengiggil,
nyeri dada, sakit perut, saki kepala, batuk darah, mual dan diare. TB milier
juga dapat di awali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang sering
hilang timbul (remittent), biasanya mulai meningkat pada sore hari.
Menggigil dan badan terasa kaku biasanya sering terjadi pada penyakit
malaria, sepsis, namun pada TB milier sering juga ditemukan gejala tersebut.
Lebih kurang 50% pasien, limfadenopati superfisial, splenomegali, dan
hepatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian
bertambah tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai
gejala respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya
masih normal. Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu
gejala respiratorik seperti batuk dan sesak nafas di sertai ronki atau mengi.9

Gejala sistemik yang sering muncul karena TB milier merupakan


penyakit yang melibatkan banyak organ kelainan kulit berupa tuberkuloid,
papula nekrotik, eritema. Tuberkel koroid di temukan pada pasien, dan jika
di temukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat
membantu diagnosis TB milier, sehingga pada TB milier perlu di lakukan
funduskopi untuk menemukan tuberkel koroid. Tuberkel koroid biasnya
bersifat bilateral, pucat, lesinya berwarna abu atau kuning yang berukuran
kurang dari seperempat optic disc dan teletak 2 cm dari optic disc. TB
meningitis juga sering ditemukan pada 10-30% orang dengan Tuberkulosis
milier. Sebaliknya sepertiga dari pasien dengan meningitis TB memiliki
39
penyakit yang mendasarinya yaitu TB milier, dalam penelitian juga
ditemukan bahwa keterlibatan neorologis pada pasien dengan TB milier yaitu
meningitis atau meningoensfalitis TB dengan atau tanpa tuberkuloma.13

Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas,
yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan
paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm).9

Gambar 4. Tanda patognomonik TB milier, (a) gambar foto thorax pa, (b) CT
scan thorax, (c) tuberkuloma dan meningitis TB, (d) tuberkuloma koroid.14

d. Diagnosis

Menentukan diagnosis Tuberkolusis milier pada orang dewasa


cukup sulit karena manifestasi klinik pada TB milier yang tidak spesifik untuk
mendiagnosis seseorang menderita TB milier. Pemeriksaan foto thorax tidak
selalu memberikan gambaran tipikal TB milier, gambaran tipikal pada TB
milier biasanya ditemukan pada stadium lanjut dan biasanya pasien datang
dengan berbagai komplikasi. Pemeriksaan HRCT relatif sensitif dan
menunjukan gambaran nodul milier yang terdistribusi acak. Pemeriksaan

40
ultrasonografi, CT- scan dan magnetic resonance berguna untuk menentukan
keterlibatan organ lain (TB ekstra paru). Pada TB milier. Pemeriksaan
histopatologis dari biopsi jaringan, pemeriksaan biakan M. Tuberkolusis dari
dahak, cairan tubh, dan jaringan tubuh lain yang penting dalam memastikan
diagnosis. Tuberkulosis milier yang tidak diobati dalam 1 tahun akan
berakibat fatal. Diagnosis serta pemberian obat anitituberkulosis dapat
menyelamatkan nyawa.9

Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis TB milier seperti:

1. Gambaran klinis seperti demam yang biasanya akan meningkat waktu


malam hari, penurunan berat badan, panurunan nafsu makan,
tahikardi, keringat malam menetap setelah pemberian antituberkulosis
selama 6 minggu.

2. Gambaran klasik pada pemeriksaan foto thorax yaitu berupa tuberkel


halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan
bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm).

3. Lesi paru berupa gambaran retikulonodular difus bilateral di belakang


bayangan milier yang dapat dilihat pada foto toraks maupun HRCT.

4. Bukti mikrobiologi dan atau histopatologi yang menunjukan


tuberkulosis.

5. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan sputum

Tidak semua pasien dengan TB milier akan memberikan


menifestasi batuk yang produktif. Tetapi ketika terdapat menifestasi klinik
batuk yang produktif maka pemeriksaan sputum harus dilakukan.
Diagnosis tuberkulosis masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan
klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup
banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya

41
tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru
sebaiknya dicantumkan status klinis, status bakteriologis, status radiologis
dan kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien
tuberkulosis paru.13

Pasien dengan sputum BTA positif:6,7,12

 Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis


ditemukan BTA, sekurang – kurangnya pada 2 x pemeriksaan, atau
 Satu sediaan sputumnya positif deisertai kelainan radiologis yang
sesuai dengan gambatan TB aktif, atau
 Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan positif.

Pasien dengan sputum BTA negatif:6,7,12

 yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan


BTA sedikitnya pada 2 x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis sesuai
TB aktif, atau
 Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum tidak ditemukan kuman BTA
sama sekali, tetapi pada biakannya positif.

2. Pemeriksaan laboratorium darah


Hasil pada pemeriksaan darah biasanya tidak sensitif dan
spesifik. Pada saat Tubekulosis baru mulai atau aktif maka akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. LED meningkat. Bila penyakit mulai sembuh maka
leukosit akan kembali ke normal, LED mulai menurun ke awal. Hasil
pemriksaan darah lain juga dapat ditemukan anemia ringan dengan
gambaran normositik normokrom, peningkatan gama globulin dan
penurunan kadar natrium darah. Terjadi supresi sumsum tulang akibat
mekanisme imun pada TB milier sehingga dapat menyebabkan
pansitopenia.9,13

42
3. Pemeriksan radiologi
Gambaran klasik TB milier pada pemeriksaan radiologi
merupakan salah satu petunjuk sesorang menderita TB milier

Gambar 5. Foto Thorax TB milier 18

4. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal harus dipikirkan untuk dilakukan, meskipun ditemukan
gambaran MRI otak yang normal.8 Pada pemeriksaan lumbal pungsi
orang yang menderita Tuberkulosis milier didapatkan:
- Leukosit : kira kira 65 % pasien mempunyai white blood count,
dengan 100-500 mononuklear
- Predominan limfosit (70 %)
- Kenaikan asam laktat di CSF
- Penurunan level glukosa

Pengobatan Tuberkulosis pada keadaan khusus seperti TB milier:16,17


1. Rawat inap
2. Panduan obat 2 RHZE / 4 RH Pada keadaan khusus ( sakit berat ),
tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi pengobatan, maka
pengobatan lanjutan dapat diperpanjang. Pengobatan fase lanjutan, bila
diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH,
dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3. Pada TB meningitis maka ethambutol
43
diganti streptomisin. Selain itu pada TB siste saraf pusat biasanya diberi 2
RHZS dan 10 RH.
3. Pemberian kortikosteroid tidak rutin hanya di berikan pada keadaan :
- Tanda/ gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda/ gejala toksik
- Demam tinggi

Evaluasi pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan obat. Evaluasi yang penting adalah: 4

 Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap bulan.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya penyakit komplikasi.
- Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal
pengobatan, misalnya penambahan berat badan yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-
lain.
 Evaluasi radiologi (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan
- Pada akhir pengobatan
- Evaluasi radiologis pada pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan
untuk evaluasi hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-
10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan

44
 Evaluasi bakteriologi (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Evaluasi bakteriologik · Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Angka kejadian TB cukup tinggi terjadi di Indonesi, presentasi kasus TB


paru di dunia atau di Indonesia cenderung terjadi lebih besar pada pria pada semua
usia tetapi pada wanita cenderung menurun. Pada pria prevalensi terus meningkat
sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun. Di Indonesia Rasio penderita
TB pria dan wanita rata-rata 1,5 : 1 sampai dengan 3 : 1. Di Indonesia jumlah pasien
TB pada tahun 2016 pada laki-laki sekitar 96.382 kasus dan wanita 61.341 kasus.
Hal ini tidak terlepas dari faktor kerentanan terhadap penyakit dan faktor sosial
budaya.9 pada kasus didapatkan Tuberkulosis terjadi pada wanita dengan usia 49
tahun.
Pada teori didapatkan, gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak
selama 2 minggu atau lebih. Batuk yang terjadi dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.6 Sesuai yang didapatkan pada
kasus ini, pasien memiliki riwayat batuk berdahak berwarna putih, badan lemas
karena kurangnnya nafsu makan, berkeringat pada malam hari saat tidur malam
demam selama 3 minggu.
Pada teori, TB paru dengan lesi minimal yang ditemukan pada pemeriksaan
fisis dapat normal atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks
paru. Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus
meningkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi
terutama di apeks paru. Sedangkan pada kasus ditemukan bunyi suara ronkhi pada
basal paru.8
Gejala yang paling sering dialami oleh orang yang menderita TB milier
adalah penurunan nafsu makan, demam, penurunan berat badan, batuk berdahak,
keringat malam, mengiggil, nyeri dada, sakit perut, sakit kepala, batuk darah, mual
dan diare. Pada pemeriksaan foto thoraks yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang

46
hampir seragam.9,13,14 Pada kasus didapatkan pasien lemas, tidak napsu makan,
riwayat demam, penurunan berat badan, riwayat keringat malam, riwayat batuk
darah, dan mual. Pada hasil foto thoraks pasien didapat gambaran tuberkel halus
yang tersebar merata diseluruh lapangan paru dengan ukuran yang hampir sama.
TB Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan
untuk evaluasi hasil pengobatan. Pada kasus didapatkan Pada pasien didapatkan
pemeriksaan gen-Xpert bahwa penggunaan rifampisin pada pasien ini sensitive.
Sekaligus mengekslusikan diagnosis MDR.
Pada TB milier penanganan sesuai Panduan obat 2 RHZE / 4 RH Pada
keadaan khusus ( sakit berat ), tergantung keadaan klinis, radiologi dan evaluasi
pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang. Pengobatan fase
lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE /
7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3. Pada TB meningitis maka ethambutol diganti
streptomisin. Selain itu pada TB siste saraf pusat biasanya diberi 2 RHZS dan 10
RH dengan BB pasien 37 Kg.
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan obat. Evaluasi yang penting adalah: 4
 Evaluasi klinik
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap bulan.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya penyakit komplikasi.
- Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal
pengobatan, misalnya penambahan berat badan yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-
lain.

47
 Evaluasi radiologi (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan
- Pada akhir pengobatan
- Evaluasi radiologis pada pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan
untuk evaluasi hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-
10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan

 Evaluasi bakteriologi (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


Evaluasi bakteriologik · Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

48
BAB V
PENUTUP

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi


kuman mycobacterium tuberculosis. Faktor risiko TB meliputi Kuman penyebab
TB, Faktor individu yang bersangkutan, daya tahan tubuh dan perilaku. Klasifikasi
TB dibagi menjadi 2 yaitu TB paru dan TB ekstra paru. Diagnosis TB ditetapkan
berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala utama pasien TB paru
adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan
gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga
gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen
sistemik akibat penyebaran kuman Mycobacterium Tuberculosis dari kompleks
primer, yang biasnya terjadi 2-6 bulan setelah infeksi awal. Menentukan diagnosis
Tuberkolusis milier pada orang dewasa cukup sulit karena manifestasi klinik pada
TB milier yang tidak spesifik untuk mendiagnosis seseorang menderita TB milier.
Pemeriksaan foto thorax tidak selalu memberikan gambaran tipikal TB milier,
gambaran tipikal pada TB milier biasanya ditemukan pada stadium lanjut dan
biasanya pasien datang dengan berbagai komplikasi.
Pengobatan pada TB milier dapat dilakukan setelah menegakkan diagnosis TB,
penatalaksanaan TB sebaiknya secara cepat dan tepat sehingga tidak timbul
komplikasi yang dapat memperparah kondisi pasien. Setelah mendapat terapi tetap
harus dilakukan pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan evaluasi pasien
meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan obat. Evaluasi yang penting adalah: 4
 Evaluasi klinik

49
- Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap bulan.
- Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya penyakit komplikasi.
- Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau
membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal
pengobatan, misalnya penambahan berat badan yang bermakna,
hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-
lain.
 Evaluasi radiologi (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan
- Pada akhir pengobatan
- Evaluasi radiologis pada pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan
untuk evaluasi hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-
10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan

 Evaluasi bakteriologi (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


Evaluasi bakteriologik · Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
· Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

50
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul A, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
3. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.
5. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476.
Jakarta: Media Aesculapius, 2001.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2014.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis
Paru. Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.
8. Sastroasmoro N. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.
9. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.
10. Mete Kornelius Kodi, dkk; Profil kesehatan Nusa Tenggara Timur; 2015:
NTT.

11. PAPDI. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna
U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan
medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2006.
12. Dinihari T. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Edisi 1. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2014.

51
13. Bahar, A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal:715-719, 1998.
14. Dorland,Kamus Kedokteran Dorland,Edisi 29,Penerbit Buku Kedokteran
EGC,Jakarta,Hal:2306
15. Amin, M, Alsagaff, H, Saleh, T.W.B.M, 1996, Ilmu Penyakit Paru,
Airlangga University Press, Hal: 13-35, 2002.
16. Surendra K. Sharma, Alladi Mohan, and Abhishek Sharma. Challenges in
the diagnosis & treatment of miliary tuberculosis. Indian J Med Res. 2012
May; 135(5): 703–730
17. Tjandra Yoga Aditama, Muhammad Subuh. Trategi nasional pengendalian
TB di Indonesia 2010-2014. 2010. Kementerian Kesehatan REPUBLIK
INDONESIA Direktorat Jenderal pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan

52

Anda mungkin juga menyukai