Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan wilayah yang rawan ditimpa bencana. Baik bencana alam
maupun bencana yang ditimbulkan oleh ulah tangan manusia. Dari mulai tanah longsor,
konflik, kebakaran hutan hingga gempa bumi dan tsunami. Bencana yang menimpa
Indonesia seringkali menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Kejadian ini
diakibatkan oleh ketidaksiapan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana
yang terjadi. Maka dari itu, dibutuhkan pemahaman masyarakat dan pemerintah tentang
mitigasi bencana. Secara umum, mitigasi bencana dapat diartikan sebagai pengurangan
dampak bencana atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban ketika
bencana terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Setiap wilayah memiliki tingkat risiko
kerentanan bencana yang berbeda-beda. Risiko bencana dapat dikurangi jika kapasitas
daerah tersebut tinggi. Kapasitas itu sendiri adalah aspek-aspek positif dari situas dan
kondisi yang ada, yang apabila dimobilisasi dapat mengurangi risiko dengan
mengurangi kerentanan yang ada.
Kapasitas dapat diartikan juga sebagai kemampuan untuk memberikan tanggapan
terhadap situasi tertentu dengan sumberdaya yang tersedia (fisik, manusia, keuangan
dan lainnya). Kapasitas daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
merupakan parameter penting untuk menentukan keberhasilan untuk pengurangan
risiko bencana. Kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana harus mengacu
kepada Sistem Penanggulangan Bencana Nasional yang termuat dalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta turunan aturannya.
Selain itu kapasitas daerah juga harus melihat kepada tatanan pada skala internasional.
Komprehensivitas dasar acuan untuk kapasitas daerah diharapkan dapat memberikan
arah kebijakan pembangunan kapasitas daerah untuk penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
Arah kebijakan pembangunan kapasitas amat dibutuhkan dalam penyusunan
Rencana Penanggulangan Bencana. Oleh karenanya kajian kapasitas suatu daerah

1
menjadi salah satu upaya strategis untuk menyusun rencana induk penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah. Oleh karena itu, kajian kapasitas daerah perlu
disusun dalam parameter-parameter yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007. Selain itu kajian kapasitas daerah juga harus mampu memetakan kapasitas
umum daerah untuk semua ancaman bencana yang ada pada suatu kawasan.
Pemahaman yang beragam di daerah terkait peningkatan kapasitas daerah dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana menyebabkan terjadinya kesenjangan
kapasitas daerah. Selain itu pokok-pokok kapasitas yang perlu dibangun berdasarkan
Sistem Penanggulangan Bencana Nasional diselenggarakan oleh daerah berdasarkan
tingkat kemampuan dalam prioritas pembangunan yang beragam. Oleh karenanya
dibutuhkan suatu panduan yang dapat digunakan secara komprehensif untuk memantau,
menyusun dan mengimplementasikan, memonitoring dan mengembangkan kapasitas
daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di kawasannya masing-
masing.

1.2 Rumusan Penulisan


Dari latar belakang di atas,dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana cara mengkaji kapasitas daerah dalam menyelenggarakan
penanggulangan bencana?
2. Apa upaya untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam penanggulangan bencana?
3. Indikator apa saja yang digunakan dalam menghitung kapasitas bencana?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah kebencanaan
2. Menambah wawasan mengenai kapasitas di dalam kebencanaan
3. Memahami tentang bagaimana tindakan yang harus kita lakukan bila terjadi
bencana

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Risiko Bencana


Indonesia merupakan wilayah yang rawan ditimpa bencana. Baik bencana alam
maupun bencana yang ditimbulkan oleh ulah tangan manusia. Dari mulai tanah longsor,
kebakaran hutan hingga gempa bumi dan tsunami. Bencana yang menimpa Indonesia
seringkali menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Kejadian ini diakibatkan oleh
ketidaksiapan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana yang terjadi.
Maka dari itu, dibutuhkan pemahaman masyarakat dan pemerintah tentang mitigasi
bencana.
Secara umum mitigasi bencana dapat diartikan sebagai pengurangan dampak
bencana. Atau usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi korban ketika bencana
terjadi, baik korban jiwa maupun harta.
Dalam melakukan tindakan mitigasi bencana pada sebuah daerah, langkah awal
yang kita harus lakukan ialah melakukan kajian risiko bencana terhadap daerah
tersebut. Dalam menghitung risiko bencana sebuah daerah kita harus mengetahui
bahaya, kerentanan dan kapasitas daerah tersebut. Bahaya (hazard) merupakan suatu
kejadian yang mempunyai potensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera,
hilangnya nyawa atau kehilangan harta benda. Bahaya ini bisa menimbulkan bencana
maupun tidak. Bahaya dianggap sebuah bencana (disaster) apabila telah menimbulkan
korban dan kerugian, yang harus kita pahami selanjutnya ialah tentang kerentanan
(vulnerability). Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi yang menentukan
apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang terjadi akan dapat
menimbulkan bencana (disaster) atau tidak.
Rangkaian kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang
mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi,
persiapan dan tindak-tanggap terhadap dampak bahaya. Jenis-jenis kerentanan :
a. Kerentanan Materi: bangunan, infrastruktur, konstruksi yang lemah.

3
b. Kerentanan Sikap/Motivasi: ketidaktahuan, tidak menyadari, kurangnya percaya
diri, dan lainnya.
c. Kerentanan Sosial: kemiskinan, lingkungan, konflik, tingkat pertumbuhan yang
tinggi, anak-anak dan wanita, lansia.

Risiko bencana dapat dikurangi jika kapasitas daerah tersebut tinggi. Kapasitas
(capacity) adalah aspek-aspek positif dari situasi dan kondisi yang ada, yang apabila
dimobilisasi dapat mengurangi risiko dengan mengurangi kerentanan yang ada.
Kapasitas juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memberikan tanggapan
terhadap situasi tertentu dengan sumberdaya yang tersedia (fisik, manusia, keuangan
dan lainnya). Kapasitas ini bisa merupakan kearifan lokal masyarakat yang diceritakan
secara turun temurun dari generasi ke generasi. Salah satu contoh kearifan lokal yang
merupakan kapasitas sebuah daerah adalah cerita tentang ciri-ciri tsunami di Pulau
Simeuleu, Aceh. Masyarakat Simeulue telah mengetahui bahwa surutnya air laut pasca
terjadinya gempa adalah ciri-ciri tsunami dari cerita yang diturunkan oleh orang tua
mereka. Maka ketika terjadi gempa bumi yang diikuti surutnya air laut, mereka segera
mengungsi ke tempat tinggi untuk menghindari tsunami. Kondisi ini mengakibatkan
minimnya korban ketika bencana gempa dan tsunami mengguncang Aceh dan Pantai
Barat Sumatera pada 26 Desember 2004.
Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa risiko bencana merupakan
kemungkinan terjadinya kerusakan (akibat bahaya gempa atau bencana alam lainnya)
pada suatu daerah, akibat kombinasi dari bahaya, kerentanan, dan kapasitas dari daerah
yang bersangkutan. Rumus risiko bencana yaitu sebagai berikut:
Risiko (R) = Bahaya (H) x Kerentanan (V)/Kapasitas (C)

Setelah melakukan risiko bencana, yang harus kita lakukan ialah melakukan
tindakan untuk mengurangi risiko bencana tersebut. Tindakan yang dilakukan bertujuan
untuk mengurangi kerentanan dan menambah kapasitas sebuah daerah.
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko bencana antara lain :
a. Relokasi penduduk dari daerah rawan bencana, misal memindahkan penduduk yang
berada dipinggir tebing yang mudah longsor.

4
b. Pelatihan-pelatihan kesiapsiagaan bencana bagi penduduk di sebuah daerah.
c. Pengkondisian rumah atau sarana umum yang tanggap bencana.
d. Bangunannya relatif lebih kuat jika dilanda gempa.
e. Penciptaan dan penyebaran kearifan lokal tentang kebencanaan dan lain sebagainya.

2.2 Pengertian Kapasitas


Kapasitas adalah suatu kombinasi dari semua kekuatan yang ada pada suatu
kelompok masyarakat, sosial atau organisasi yang dapat mengurangi dampak dari suatu
bencana (UN-ISDR, 2004). Kapasitas mencakup fisik, sosial, ekonomi, serta
karakteristik keterampilan pribadi maupun karakteristik kolektif (Buckle, 2006 dalam
Dodon 2013). Menurut Buckle (2006), kapasitas dibedakan menjadi tiga aspek, yakni:
a. Kapasitas fisik dan lingkungan, meliputi kapasitas manusia untuk mengurangi
kecenderungan terkena dampak bencana melalui pembangunan yang bersifat fisik
pada lingkungan sekitar tempat tinggal.
b. Kapasitas sosial, meliputi sikap manusia untuk mengurangi kecenderungan
menderita dampak bencana melalui pengembangan perilaku dan budaya positif serta
pelaksanaan kegiatan yang bertujuan menambah wawasan terkait bencana.
c. Kapasitas ekonomi, meliputi upaya manusia untuk memperkecil dampak bencana
baik melalui pengelolaan harta benda.

Berdasarkan Perka BNPB No. 2 Tahun 2012, kapasitas adalah kemampuan


komunitas atau masyarakat untuk melakukan tindakan dalam mengurangi tingkat
ancaman bahaya dan dampak dari suatu bencana. Menurut metode pemetaan risiko
bencana Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2008, kapasitas adalah sumber
daya, cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan masyarakat
untuk mempertahankan dan mempersiapkan diri, mencegah, menanggulangi, meredam
serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana. Selain itu, penilaian kapasitas
dinilai dari dua komponen, yakni:
1. Komponen Struktur Fisik

5
Merupakan sumberdaya yang dimiliki suatu daerah atau masyarakat dalam wujud
fisik kebendaan yang mampu digunakan untuk mengurangi dan melindungi
masyarakat dari akibat bencana. Indikator komponen tersebut meliputi adanya
sistem peringatan dini, tempat dan jalur evakuasi, fasilitas kesehatan (rumah sakit,
puskesmas, obat-obatan, pangan, tenaga medis dan paramedis), rambu-rambu tanda
bahaya, jaringan telekomunikasi, jaringan TV, jaringan radio, jalan raya, jalan KA,
bandara, terminal dan/atau pelabuhan.
2. Komponen Sosial
Merupakan wujud sikap, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap bencana.
Diwujudkan dalam masyarakat yang sadar bencana dan memiliki pengetahuan
kebencanaan untuk melakukan antisipasi dan mitigasi bencana baik secara
terstruktur maupun mandiri, sehingga dapat mengurangi risiko jika terjadi bencana.
Indikator yang digunakan dalam metode adalah ada atau tidaknya
lembaga/organisasi penanggulangan bencana dan frekuensi kegiatan
pendidikan/pelatihan penanggulangan bencana.

2.3 Penilaian Kapasitas


Berdasarkan Peraturan Kepala BNPB No. 3 Tahun2012 tentang Panduan Penilaian
Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Bencana, penilaian kapasitas diadaptasi dari
Hyogo Framework for Action (HFA). Dalam HFA, terdapat lima prioritas indikator
penilaian kapasitas daerah. Prioritas tersebut antara lain adalah:
1. Adanya aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana
, meliputi; adanya kerangka hukum dan kebijakan, adanya sumber daya khusus,
adanya partisipasi dan desentralisasi komunitas, dan berfungsinya forum daerah
yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana.
2. Adanya peringatan dini dan kajian risiko bencana, meliputi; adanya kajian risiko
bencana daerah, adanya sistem pemantauan potensi bencana, adanya sistem
peringatan dini, dan adanya kajian risiko kerjasama antardaerah untuk pengurangan
risiko bencana.

6
3. Adanya pendidikan kebencanaan, meliputi; adanya informasi relevan mengenai
bencana yang dapat diakses oleh semua orang, adanya pendidikan. Kebencanaan di
lingkup sekolah, adanya metode riset kebencanaan, dan strategi-strategi dalam
meningkatkan kapasitas masyarakat.
4. Adanya pengurangan faktor risiko dasar, meliputi; adanya kegiatan pengurangan
risiko bencana, adanya rencana dan kebijakan pembangunan yang bertujuan
mengurangi kerentanan penduduk terpapar dan kerentanan dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi, adanya perencanaan dan pengelolaan permukiman, adanya kegiatan
pengurangan risiko yang terintegrasi dengan tahap rehabilitasi dan pemulihan pasca
bencana, dan adanya prosedur-prosedur penilaian dampak risiko bencana.
5. Adanya pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini meliputi; adanya kapasitas
teknis kelembagaan dan mekanisme penanganan darurat, adanya rencana
kontinjensi bencana, adanya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme
antisipasi, dan adanya prosedur relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana.

Kapasitas daerah merupakan salah satu dasar untuk upaya pengurangan risiko
bencana. Upaya pengurangan risiko bencana salah satunya dapat didukung oleh
peningkatan kapasitas daerah dalam menghadapi bencana. Penilaian kapasitas untuk
tingkat provinsi dilihat dari kapasitas masing-masing daerah. Kapasitas daerah tersebut
berlaku sama untuk seluruh bencana. Hal ini disebabkan karena difokuskan kepada
institusi pemerintah di kawasan kajian sehingga indeks kapasitas dibedakan
berdasarkan kawasan administrasi kajian.
Penilaian kapasitas daerah mengacu kepada Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas
Daerah dalam Penanggulangan Bencana. Berdasarkan aturan tersebut diketahui proses
pengkajian terhadap indeks kapasitas Provinsi. Pengkajian kapasitas provinsi mengacu
kepada prioritas program pengurangan risiko bencana. Setiap prioritas memiliki
indikator-indikator pencapaian sebagai berikut:

7
a. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas nasional
dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya, dengan
indikator pencapaian:
1) Kerangka hukum dan kebijakan nasional/lokal untuk pengurangan risiko
bencana telah ada dengan tanggung jawab eksplisit ditetapkan untuk semua
jenjang pemerintahan;
2) Tersedianya sumberdaya yang dialokasikan khusus untuk kegiatan pengurangan
risiko bencana di semua tingkat pemerintahan;
3) Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian
kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal;
4) Berfungsinya forum/jaringan daerah khusus untuk pengurangan risiko bencana.

b. Mengidentifikasi, menilai dan memantau risiko bencana dan meningkatkan sistem


peringatan dini untuk mengurangi risiko bencana, dengan indikator pencapaian:
Tersedianya kajian risiko bencana daerah berdasarkan data bahaya dan kerentanan
untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah:
1) Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau, mengarsip dan
menyebarluaskan data potensi bencana dan kerentanan-kerentanan utama;
2) Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk skala besar
dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan masyarakat;
3) Kajian risiko daerah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas guna
menggalang kerjasama antardaerah untuk pengurangan risiko.

c. Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun ketahanan


dan budaya aman dari bencana di semua tingkat, dengan indikator pencapaian:
1) Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di
semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring,
pengembangan sistem untuk berbagi informasi, dst);

8
2) Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan mencakup
konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai pengurangan risiko bencana dan
pemulihan;
3) Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisis
manfaat biaya (cost benefit analysist) yang selalu dikembangkan berdasarkan
kualitas hasil riset;
4) Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh komunitas dalam
melaksanakan praktik budaya tahan bencana yang mampu menjangkau
masyarakat secara luas baik di perkotaan maupun pedesaan.

d. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar, dengan indikator:


1) Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari kebijakan-
kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan dengan lingkungan hidup,
termasuk untuk pengelolaan sumberdaya alam, tata guna lahan dan adaptasi
terhadap perubahan iklim;
2) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial dilaksanakan
untuk mengurangi kerentanan penduduk yang paling berisiko terkena dampak
bencana;
3) Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang ekonomi dan
produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan kegiatan-kegiatan
ekonomi;
4) Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat unsur-unsur
pengurangan risiko bencana termasuk pemberlakuan syarat dan izin mendirikan
bangunan untuk keselama-tan dan kesehatan umum (enforcement of building
codes);
5) Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke dalam proses-
proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana;
6) Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak risiko bencana
atau proyek-proyek pembangunan besar, terutama infrastruktur.

9
e. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua
tingkat, dengan indikator:
1) Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta mekanisme
penanganan darurat bencana yang kuat dengan perspektif pengurangan risiko
bencana dalam pelaksanaannya;
2) Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi yang siap di
semua jenjang pemerintahan, latihan reguler diadakan untuk menguji dan
mengembangkan program-program tanggap darurat bencana;
3) Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang
siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan
pasca bencana;
4) Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana
terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat.

Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian kapasitas daerah maka kita dapat


membagi tingkat kapasitas tersebut kedalam 5 tingkatan, yaitu :
1) Level 1 Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya
pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam
rencana-rencana atau kebijakan.
2) Level 2 Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko bencana
dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum
adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.
3) Level 3 Komitmen pemerintah dan beberapa komunitas terkait pengurangan risiko
bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis,
namun capaian yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai
belum menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak
negatif dari bencana.
4) Level 4 Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam
pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang
berhasil, namun diakui ada masih keterbatasan dalam komitmen, sumberdaya

10
finansial ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan
risiko bencana di daerah tersebut.
5) Level 5 Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan kapasitas yang
memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan.

Penilaian kapasitas daerah merupakan salah satu langkah strategis yang dapat
dilakukan daerah untuk mengurangi risiko bencana di kawasannya. Penilaian kapasitas
ini juga menjadi salah satu acuan daerah dalam menyusun Rencana Penanggulangan
Bencana Daerah. Oleh karenanya pembaruan dan perbaikan atas status kapasitas daerah
perlu selalu dilaksanakan.
Idealnya pembaruan data dalam penilaian kapasitas daerah dilaksanakan setiap
tahun. Namun demikian disarankan minimal setiap 3 tahun data kajian diperbarui
disetiap daerah pada saat revisi Rencana Penanggulangan Bencana Daerah.
Dengan adanya kesamaan prioritas dan indikator untuk memetakan kapasitas daerah
dari nasional hingga kabupaten/kota, diharapkan mewujudkan sinkronisasi prioritas-
prioritas kebijakan antara pusat dan daerah dalam peningkatan kapasitas.

2.4 Matriks Hasil Penilaian Kapasitas Daerah


Tabel 1. Hasil Kajian Kapasitas Daerah Tahun 2015

11
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 1 provinsi yang
memiliki kapasitas rendah, 19 provinsi dengan tingkat kapasitas sedang, dan 14
provinsi yang memiliki kapasitas tinggi.

2.5 Studi Kasus Kapasitas Bencana dan peningkatannya


Meningkatkan Kapasitas Masyarakat Dalam Mengatasi Risiko Bencana
Kekeringan oleh Syamsul Maarif, Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Ancaman kekeringan semakin meningkat seiring dengan perubahan ilkim global,
meningkatnya degradasi lingkungan, bertambahnya jumlah penduduk, dan makin
terbatasnya ketersediaan air. Konflik perebutan penggunaan air makin meningkat di
masa mendatang, baik untuk air minum, kebutuhan domestik, pertanian, industri dan
sebagainya merupakan masalah yang sangat penting. Secara global, satu dari empat
orang di dunia kekurangan air minum dan satu dari tiga orang tidak mendapat sarana
sanitasi yang layak (Bouwer, 2000). Menjelang tahun 2025, sekitar 2,7 milyar orang
atau sekitar sepertiga populasi dunia akan menghadapi kekurangan air dalam tingkat
yang parah (Dinar, 1998). Dalam abad 21 air akan menjadi isu besar dunia dan
penyebab timbulnya konflik, jika tidak segera diatasi secara menyeluruh. Kondisi
krisis air di dunia terus meningkat dalam tiga dekade terakhir. Jika pada tahun 1950-
an hanya sedikit negara-negara yang menghadapi kekurangan air. Namun hingga
akhir tahun 1990-an, jumlah negara-negara yang mengalami defisit air meningkat
dengan jumlah penduduk sekitar 300 juta jiwa (Gleick, 1999). Diperkirakan 2/3
penduduk dunia akan mengalami kekurangan air pada tahun 2050 jika tidak segera
ditanggulanginya (Abu-Zeid, 1998).
Ancaman kekeringan yang menyebabkan krisis air tersebut, juga terjadi di
beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa studi mengenai neraca air menunjukkan
bahwa surplus air hanya terjadi pada musim hujan dengan durasi sekitar 5 bulan
sedangkan pada musim kemarau telah terjadi defisit untuk selama 7 bulan (KLH,
1997; Pawitan et al., 1996; Nugroho, 2008). Pulau Jawa memiliki tingkat risiko
bencana kekeringan yang paling besar dibandingkan dengan pulau lainnya di

12
Indonesia. Risiko bencana merupakan fungsi dari berbagai karakteristik dan
frekuensi kejadian bahaya (hazard) yang terjadi di suatu wilayah tertentu, tingkat
kerentanan (vulnerability), dan ketahanan (resilient) atau kapasitas (capacity) dari
sebuah sistem, komunitas dan masyarakat (Pribadi dan Sengara, 2010). Ditinjau dari
aspek bahaya dari kekeringannya, penurunan curah hujan di Jawa terjadi lebih
banyak dibandingkan dengan daerah lain terkait dengan dampak perubahan iklim
global terhadap curah hujan. Hujan musim kemarau mempunyai tren menurun
bervariasi dari 1 sampai dengan 9 mm per musim per tahun, sedangkan hujan musim
hujan lebih bervariasi dengan trend menurun 1 sampai 50 mm per musim per tahun
dan di Jawa Timur ada bagian dengan tren bertambah kurang lebih 1-10 mm per
musim per tahun (Soetamto, 2009). Diproyeksikan bahwa rata-rata hujan 2010-2020
akan lebih berkurang dibandingkan 1978-2007 dan rata-rata curah hujan periode
tahun 2016-2020 diproyeksikan lebih kering dibanding periode tahun 2010-2015.
Bahaya kekeringan umumnya terjadi secara perlahan sesuai karakteristik kekeringan
tersebut. Masyakarat dan lingkungan sekitar merespon bencana secara perlahan-lahan
seiring dengan makin berkurangnya ketersediaan air. Hal ini berbeda dengan bahaya-
bahaya yang timbul secara mendadak, seperti gempabumi, tsunami, banjir bandang,
putting beliung dan sebagainya yang langsung terjadi pada suatu wilayah.
Dari faktor kerentanan, Pulau Jawa dengan jumlah penduduk sebesar lebih dari
128 juta jiwa atau 59,0% dari jumlah penduduk nasional, tingkat pertumbuhan
penduduk per tahun 1,53%, dan kepadatan penduduk 1.413 jiwa/km2 (BPS, 2005)
dengan segala aktivitasnya, akan terpengaruh terhadap berkurangnyta ketersediaan
air. Kerentanan terhadap kekeringan adalah kondisi yang ditentukan oleh faktor-
faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat
meningkatkan rawannya sebuah bahaya terhadap komunitas terhadap dampak
bahaya. Masyarakat yang tinggal di daerah-daerah yang kondisi alamnya kering,
seperti di daerah pegunungan kapur, dataran tinggi, pesisir umumnya memiliki
ketersediaan air terbatas. Selain itu juga faktor ekonomi sangat berpengaruh terhadap
akses dalam pemenuhan kebutuhan air.

13
Faktor lain yang berpengaruh dalam risiko bencana kekeringan adalah faktor
kapasitas, yaitu sebuah sistem, komunitas atau masyarakat yang berpotensi terpapar
pada bahaya untuk beradaptasi atau berubah untuk mencapai atau mempertahankan
suatu tingkat fungsi dan struktur yang dapat diterima. Hal ini ditentukan oleh
sejauhmana sistem sosial tersebut mampu mengorganisir diri sendiri untuk
meningkatkan kapasitas untuk belajar dari bencana di masa sebelumnya demi
perlindungan di masa depan dan untuk meningkatkan tindakan-tindakan peredaman
risiko (UNISDR, 2004). Dalam pengertian yang bersesuaian, Soeriaatmadja (1998)
dalam Pribadi dan Sengara (2010), menyebut kapasitas (capacity) sebagai ketahanan.
Peningkatan kapasitas untuk mengurangi risiko bencana dari kekeringan dan
krisis air dapat dilakukan dengan berbagai upaya. Masyarakat dalam beradaptasi
terhadap ancaman atau bahaya kekeringan dan krisis air telah menjadi bagian budaya
dari kehidupannya. Di beberapa daerah yang rawan kekeringan, budaya masyarakat
hemat air dalam penggunaan air telah tumbuh berkembang sebagai respon dari
kondisi lingkungannya. Kapasitas di masyarakat tersebut merupakan aspek positif
dari situasi yang ada, yang apabila dimobilisasi dapat mengurangi risiko (risk)
dengan mengurangi kerentanan. Mengurangi risiko dari bencana kekeringan dapat
dideskripsikan sebagai mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas
(Awotona, 1997).
Untuk itulah, peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengurangi risiko
bencana kekeringan merupakan salah satu kajian menarik. Bagaimana metode dan
upaya-upaya yang dapat digunakan sebagai alternatif pilihan dalam mengurangi
risiko bencana perlu dikaji lebih mendalam.

BAHAN DAN METODE


Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif – kualitatif yang
menekankan pada penggambaran dan pemahaman fenomena yang kompleks pada
hubungan antar faktor yang berpengaruh terhadap bencana kekeringan. Data dan
informasi diperoleh berdasarkan studi literatur sehingga diharapkan dapat saling
menutupi kelemahan dan melengkapi data/informasi yang dibutuhkan serta

14
menangkap realitas masalah menjadi lebih diandalkan. Dengan studi literatur akan
diketahui sampai dimana terdapat kesimpulan dan generalisasi yang telah pernah
dibuat sehingga sitasi yang diperlukan dapat diperoleh (Sitorus, 1989; Nazir, 1999).
Beberapa studi pustaka dilakukan guna mengkaji beberapa metode atau pengalaman
di berbagai daerah yang telah berhasil dilakukan dalam mengatasi kekeringan.
Pengalaman tersebut digunakan sebagai lesson learnt untuk diadopsi sebagai
alternatif dalam bagian dari peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi
risiko bencana kekeringan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bencana kekeringan di Indonesia, sebagian besar terjadi di Pulau Jawa-Madura


karena di pulau tersebut memiliki bahaya dan kerentanan yang tinggi dibandingkan
dengan pulau-pulau lainnya. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan
penduduk dan pusat pemerintahan Indonesia mengalami pembangunan yang pesat di
berbagai sektor sehingga tuntutan masyarakat akan penggunaan air juga terus
berkembang. Persaingan dalam penggunaan air terjadi antar sektor, seperti domestik,
perkotaan, industri dan irigasi di berbagai wilayah administrasi maupun wilayah
sungai. Menurut kajian Bappenas (2005), untuk wilayah di luar Jabodetabek
ditemukan bahwa pada tahun 2003 sebagian besar (sekitar 77 persen) kabupaten telah
memiliki satu hingga delapan bulan defisit air dalam setahun. Pada tahun 2025
jumlah kabupaten defisit air meningkat hingga mencapai sekitar 78,4 persen dengan
defisit berkisar mulai dari satu hingga dua belas bulan, atau defisit sepanjang tahun.
Dari wilayah yang mengalami defisit tersebut, terdapat 38 kabupaten/kota atau sekitar
35 persen yang pada tahun 2003 telah mengalami defisit tinggi. Dalam hal ini,
kondisi neraca air diklasifikasi menjadi empat yaitu normal, defisit rendah, defisit
sedang, dan defisit tinggi. Kondisi normal menunjukkan bahwa tidak terjadi defisit
sepanjang tahun, sedangkan jika jumlah bulan defisit mencapai 3 bulan diklasifikasi
sebagai defisit rendah, dari 4-6 bulan diklasifikasi defisit sedang, dan >6 bulan
diklasifikasi defisit tinggi (Gambar 1).

15
Gambar 1. Sebaran defisit air kabupaten/kota tahun 2005 dan proyeksi
tahun 2025 di Pulau Jawa dan Madura

Di daerah-daerah kekeringan tersebut, sebagian besar yang terkena bencana


adalah masyarakat dengan tingkat pendapatan ekonomi yang menengah hingga
rendah. Keterbatasan ekonomi menyebabkan kesulitan untuk memperoleh akses
terhadap air. Terdapat hubungan yang signifikan bahwa kekeringan dapat
menimbulkan kemiskinan, dan sebaliknya kemiskinan dapat menimbulkan akses
terhadap penyediaan kebutuhan air menjadi terbatas. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan UN-ISDR (2008), bahwa dampak dari kekeringan telah menyebabkan
penduduk menderita malnutrisi kronis dan kurangnya sumber daya yang akhirnya
membuat penduduk semakin rentan dan jatuh ke dalam kemiskinan di sebagian
negara di Afrika.
Guna mengatasi masalah tersebutdi Afrika, sebuah NGO dari German bermana
Welthungerhilfe menginisiasi program pemanenan air hujan dan membuat tendon air
(rain water harvesting and storage) berbasis komunitas untuk meningkatkan
kapasitas para penduduk rentan untuk dapat survive mengatasi kekeringan yang
muncul tiap tahunnya di Kenya (Gambar 2). Program ini menekankan pada usaha

16
kesiapsiagaan menghadapi bencana kekeringan melalui pemberian akses yang lancar
terhadap air dan peningkatan kualitas kesehatan penduduk. Program yang
diimplementasikan selama 14 bulan (Oktober 2006 - Desember 2007) tersebut
menargetkan 36.000 penduduk yang berasal dari komunitas yang sangat kekurangan
air. Sebagai dampaknya, program ini telah berhasil dalam:
1. Menyediakan akses air bersih sebanyak 3 liter air minum per individu per hari
untuk tersedia minimum selama 90 hari selama musim kering. Jarak lokasi air
dapat ditempuh dengan berjalan kaki, maksimum 4 km. Untuk kebutuhan mandi
dan cuci ada sumber-sumber air lain dengan kualitas yang lebih rendah.
Mudahnya akses ini membantu penduduk sehingga masyarakat dapat fokus
dalam bekerja.
2. Meningkatnya kualitas kesehatan penduduk, dimana berkurangnya
penyakit-penyakit yang disebabkan oleh kekurangan air. Meningkatnya
kesehatan penduduk sangat berkontribusi dalam meningkatkan taraf
penghidupan masyarakat.
3. Meningkatnya ketahanan atau kapasitas penduduk dalam menghadapi bencana
kekeringan meningkat.

Gambar 2.Tandon air hujan yang digunakan untuk memenuhi


kebutuhan air masyarakat di perdesaan di timur Kenya
(Sumber: UNISDR, 2008)

17
Kunci keberhasilan dari program tersebut antara lain: a) Partisipasi aktif dan
genuine dari komunitas, mulai dari tahap awal sampai akhir; b) Monitoring secara
berkala adanya asistensi teknis dari para ahli; dan c) Peningkatan kapasitas
masyarakat sehingga ada kehlian-keahlian yang bertambah di komunitas. Pelajaran
positif (lesson learnt) yang dapat diambil dari program tersebut adalah: a)
Penampungan air hujan untuk kebutuhan air minum adalah aktivitas kesiapsiagaan
yang baik untuk menghadapi bencana kekeringan pada daerah-daerah yang tidak
punya air tanah. Pemanfaatan air hujan dengan cara penampungan akan berdampak
positif terhadap masyarakat; b) Perlunya edukasi secara intensif, sosialisasi, dan
pembangunan kapasitas masyarakat agar masyarakat merasakan kepemilikan
terhadap program tersebut dan menjaga keberlangsungan program.
Keberhasilan program tersebut, dapat diadopsi untuk berbagai wilayah di
Indonesia yang mengalami kekeringan. Metode konservasi tanah dan air dengan
pilihan-pilihan teknik pemanenan air hujan dapat diterapkan secara masif. Tentu saja
aspek ekonomi dari program tersebut perlu dipertimbangkan. Pemanfaatan metode
dan teknik konservasi tanah dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu metode
konservasi teknik sipil, metode konservasi tanah vegetatif dan metode lain-lain.
Pada intinya teknologi pemanenan hujan adalah suatu perlakuan konservasi pada
lahan sedemikian rupa sehingga air hujan teralirkan dan terkumpul pada suatu lahan,
yang airnya dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan.
Pendekatan teknologi ini harus memperhitungkan faktor sosial dan ekonomi
yaitu dapat dibandingkan dengan biaya dan risiko terhadap pertimbangan
pemeliharaan dan operasi serta biaya awal. Sehingga diharapkan teknologi ini akan
memperoleh kualitas air yang baik, murah pengembangannya, mudah mendapatkan,
dan kecil risikonya. Persyaratan dasar yang harus dipenuhi secara teknis yaitu :
- Kelerengan : kemiringan lereng ini merupakan faktor kunci pemanfaatan air hujan.
Kelerengan lebih besar dari 5 % secara ekonomis tidak direkomendasikan.
- Tanah : kriteria tanah sebaiknya sesuai untuk irigasi yang memiliki solum cukup
dalam, tidak terlalu asam atau basa, dan cukup subur.

18
- Biaya: besarnya volume pekerjaan dan kebutuhan material dalam konstruksi sangat
menentukan dapat diaplikasikan atau tidaknya teknologi ini.

Ada beberapa jenis teknologi pemanenan air hujan yang saat ini telah banyak
dikembangkan guna memperoleh air yang dapat dimanfaatkan untuk penyediaan air
saat musim kemarau. Beberapa jenis teknologi pemanenan air hujan adalah :
A. Pembangunan embung
Embung atau tandon air merupakan waduk berukuran mikro di lahan pertanian
(small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di
musim hujan. Air yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai sumber
irigasi suplementer untuk budidaya komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi
(high added value crops) di musim kemarau atau di saat curah hujan makin jarang.
Embung merupakan salah satu teknik pemanenan air (water harvesting) yang sangat
sesuai di segala jenis agroekosistem (Kementerian Pertanian, 2007). Dalam proses
pembuatannya perlu memilih tempat sumber air yang dapat terus mengeluarkan air
di musim kemarau. Tujuan pembuatan embung antara lain, (1) menyediakan air
untuk berbagai kebutuhan, baik domestik maupun untuk menyediakan air untuk
pengairan tanaman di musim kemarau, (2) meningkatkan produktivitas lahan,
intensitas tanam, dan pendapatan petani di lahan tadah hujan, (3) mengaktifkan
tenaga kerja pada musim kemarau sehingga mengurangi urbanisasi dari desa ke
kota, (4) mencegah luapan air di musim hujan, menekan risiko banjir, (5)
memperbesar “recharge” atau pengisian kembali air tanah. Pembuatan embung
tidak terikat oleh luas pemilikan lahan. Petani yang berlahan sempit atau luas, dapat
membuat embung sesuai dengan kebutuhannya. Embung dapat dibangun secara
bertahap; (1) awalnya dibuat dengan ukuran kecil lalu diperbesar pada masa
berikutnya, (2) memperdalam embung yang ada, (3) membuat embung yang serupa
di tempat lain. Di Indonesia, keberadaan embung sangat bermanfaat bagi
masyarakat sekitar dalam penyediaan kebutuhan air. Air embung dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti mengairi tanaman padi dan palawija

19
pada saat musim kemarau, disamping untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
seperti yang terdapat di Gunung Kidul, Wonosari, NTT dan sebagainya.

Gambar 3. Kondisi embung yang dibangun pada suatu cekungan di sekitar lahan
pertanian (Sumber: Kementerian Pertanian, 2007)

B. Tandon penampungan air hujan


Tandon penampung air hujan pada dasarnya adalah bangunan yang
diperuntukkan menampung air hujan yang jatuh untuk ditampung dan selanjutnya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bangunan tersebut menampung
air hujan yang jatuh di atas atap bangunan melalui talang. Dalam prakteknya,
tandon air ini secara tradisional digunakan sebagai cadangan air bersih bagi
masyarakat yang daerahnya hampir setiap tahun mengalami kekeringan, seperti di
Kabupaten Pidie, Pacitan, Gunung Kidul, Wonogiri, dan sebagainya (Gambar 4).

Gambar 4. Tandon penampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan air


(Sumber: Maryono dan Nugroho, 2006)

20
Di beberapa negara, misalnya Jepang, telah dikembangkan metode memanen air
hujan dengan membuat kolam tandon di bawah jalan raya highway. Drainase jalan
tidak dibuang ke sungai, melainkan ditampung di bawah konstruksi jalan tersebut.
Air hujan yang ditampung dapat dipakai untuk pemeliharaan jalan dan untuk
menyuiram tanaman peneduh di sepanjang jalan. apat juga digunakan sebagai air
bersih dengan penjernihan yang memadai. Metode ini di Indonesia belum lazim.

C. Sumur resapan
Bangunan sumur resapan adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air
berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur
gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air
hujan yang jatuh di atas atap rumah atau daerah kedap air dan meresapkannya ke
dalam tanah. Sumur resapan berfungsi memberikan imbuhan air secara buatan
dengan cara menginjeksikan air hujan ke dalam tanah.
Sasaran lokasi adalah daerah peresapan air di kawasan permukiman,
perkantoran, pertokoan, industri, sarana dan prasarana olah raga serta fasilitas
umum lainnya. Banyak manfaat dari sumur resapan, seperti: a) Mengurangi aliran
permukaan sehingga dapat mencegah/mengurangi terjadinya banjir dan genangan
air; b) Mempertahankan dan meningkatkan tinggi permukaan air tanah; c)
Mencegah penurunan tanah (land subsidance) dan manfaat lingkungan lain.
Memang, sumur resapan tidak secara langsung menyediakan air seperti halnya
embung dan tendon air. Namun pengaruh terhadap penyediaan air tanah sangat
besar. Konstruksi sumur resapan merupakan alternatif pilihan dalam mengatasi
banjir dan menurunnya permukaan air tanah pada kawasan perumahan, karena
dengan pertimbangan : a) pembuatan konstruksi sumur resapan tidak memerlukan
biaya besar, b) tidak memerlukan lahan yang luas, dan c) bentuk konstruksi sumur
resapan sederhana (Gambar 5).

21
Gambar 5. Ilustrasi sumur resapan untuk menambah cadangan air tanah

Dalam laporan UNISDR (2008), keberhasilan program-program pengurangan


risiko bencana, termasuk diantaranya mengatasi kekeringan di beberapa Negara
seperti di Kenya, Bolivia, India, Malawi, Nepal dan lainnya, peran partisipasi
komunitas menjadi penting karena dalam realitanya, penduduk dan organisasi
lokal merupakan aktor-aktor utama dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.
Komunitas adalah peserta aktif sekaligus penerima manfaat dalam kegiatan
pengurangan risiko bencana. Beberapa prinsip yang digunakan adalah partisipasi
masyarakat, dimana aktivitas yang dilakukan cukup tinggi. Hal ini penting karena
kesuksesan pengurangan risiko bencana dan dengan: berbasis masalah dan
peluang yang ada dalam komunitas; berbasis solusi yang dapat dicapai;
pastisipatoris, mendorong kemitraan dengan pihak lain; mengandalkan
pengetahuan dan keterampilan lokal, juga kebijaksanaan setempat; skalanya
kecil, berbasis komunitas; fokus pada kondisi awal; dan memiliki output yang
terlihat.

Peningkatan kapasitas masyarakat yang akhirnya mengurangi risiko bencana


kekeringan melalui program pengurangan risiko bencana dapat berdampak pada
pengurangan kemiskinan, dan sebaliknya program pengurangan kemiskinan dapat
mengingkatkan kapasitas masyarakat untuk mengatasi bencana. Dalam
pelaksanaannya pendekatan di tingkat komunitas merupakan komponen penting
dalam pengurangan risiko bencana maupun pengurangan kemiskinan, karena
dalam kenyataannya masyarakat dan organisasi lokal lah yang menjadi aktor
utama dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Kesemua program-program peningkatan

22
kapasitas dalam mengurangi risiko kekeringan yang ada memiliki potensi untuk
replikasi yang pengurangan kemiskinan akan dapat diperluas dampaknya.
Program yang berhasil ialah program yang sifatnya jangka panjang. Program
jangka panjang memiliki kesempatan untuk beradaptasi secara berulang kali
untuk memaksimalkan cakupan dan efektivitas program yang ada. Sayangnya,
sebagian besar kegiatan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, sifatnya
jangka pendek saja (waktu kurang dari 3 tahun), bahkan ada yang hanya sampai
pada tahap pilot project saja. Akibatnya program-program semacam ini akan
menemui kesulitan untuk pengembangan jangka panjangnya.
Program-program peningkatan kapasitas dalam mengurangi risiko bencana
kekeringan tidak dapat berdiri sendiri. Perlu kerjasama dan koordinasi antar
pelaku, baik pemerintah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (NGO) dan
masyarakat. Peran NGO dapat dioptimalkan, yaitu menjadi penghubung antara
pemerintah dengan masyarakat, dan juga antar masyarakat dengan organisasi-
organisasi lainnya. NGO juga dapat mendukung pembangunan keterampilan
individu maupun organisasi masyarakat, menyalurkan sumber daya, dan
membantu menyuarakan kebutuhan komunitas pada pemerintah.

KESIMPULAN
Risiko bencana kekeringan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa akan terus
meningkat di masa depan. Risiko bencana kekeringan meningkat seiring dengan
perubahan iklim global yang merubah pola curah hujan, meningkatnya degradasi
lingkungan, dan bertambahnya jumlah penduduk. Saat ini sekitar 77 persen
kabupaten/kota di Pulau Jawa mengalami defisit air dan diperkirakan meningkat
menjadi 78,4 persen pada tahun 2025. Jumlah bulan defisit maksimal mencapai 8
bulan dan meningkat menjadi 12 bulan pada tahun 2025, atau defisit sepanjang tahun.
Kekeringan dan defisit air tersebut menimbulkan dampak terhadap sosial, ekonomi
dan lingkungan bagi masyarakat. Untuk mengurangi risiko bencana kekeringan
tersebut maka ketahanan atau kapasitas masyarakat dapat ditingkatkan. Berbagai
pilihan teknik pemanenan hujan dapat dilakukan di masyarakat, seperti pembangunan

23
embung, tendon air hujan, sumur resapan dan lainnya. Air tersebut dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan air pada saat musim kemarau. Secara tradisional, di
beberapa daerah telah menerapkan teknik tersebut. Kapasitas masyarakat dapat
ditingkatkan melalui program-program pengurangan risiko bencana kekeringan untuk
mengatasi kekeringan dengan berbasis pada komunitas secara kontinyu dan
berkelanjutan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

2.6 Upaya Peningkatan Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Bencana


Wilayah Indonesia memiliki kekayaan alam yang banyak namun selain itu
wilayahnya rawan bencana, kejadian bencana pun sering terjadi. Ketika terjadi
bencana, tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana daerah seringkali
mengalami kendala. Yaitu salah satunya terkait dengan ketersediaan peralatan
penanggulangan bencana.
Salah satu upaya untuk meningkatakan kesiapsiagaan dalam menghadapi
bencana yaitu peralatan penanggulangan bencana harus selalu siap digunakan.
Peralatan penanggulangan bencana hendaknya selalu terawat, lengkap dan berfungsi
dengan baik. Berkaitan dengan penanggulangan bencana maka diperlukan
peningkatan kapasitas. Kekuatan dalam menghadapi bencana adalah tersedianya
peralatan penanggulangan bencana hal ini juga perlu didukung dengan sumber daya
manusia agar penggunaan peralatan penanggulangan bencana lebih efektif. Oleh
karena itu, seharusnya lebih ditingkatkan lagi kegiatan pelatihan dalam penggunaan
peralatan penanggulangan bencana terhadap sumberdaya manusia.
Penanggulangan bencana memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak.
Koordinasi yang baik antar berbagai pihak akan memperkuat penanggulangan
bencana. Membangun koordinasi dan SDM juga perlu ditunjang dengan peralatan
penanggulangan bencana.
Maka dapat menjadi catatan bahwa penanganan Bencana menemui berbagai
kendala yaitu minimnya peralatan penanggulangan bencana. Oleh karena itu
pemanfaatan peralatan penanggulangan bencana harus dilakukan maksimal. Dengan
perkenalan peralatan penanggulangan bencana ini dapat mengetahui kebutuhan

24
peralatan dalam penanggulangan bencana. Mudah-mudahan dengan pemanfaatan
peralatan penanggulangan bencana dapat menangani bencana lebih baik dan
memberikan pelayanan penanggulangan bencana kepada masyarakat lebih efektif.
Selain itu juga terdapat beberapa upaya peningkatan kapasitas daerah dalam
penanggulangan bencana yang ditinjau dari kendala yang dialami dalam
penanggulangan bencana selama ini yaitu, perlu adanya usaha:
1) Dibentuknya kelembagaan penanggulangan bencana di daerah-daerah
2) Masih tingginya ketergantungan pendanaan bantuan tanggap darurat dan bantuan
kemanusiaan kepada pemerintah pusat maka harus adanya usaha mandiri daerah
dalam hal pendanaan penanggulangan bencana melalui usaha partisipasi
sumberdaya manusia yang ada di daerah.
3) Selanjutnya masalah yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi
wilayah yang terkena dampak bencana antara lain adalah:
(a) Basis data yang tidak termutakhirkan dan teradministrasi secara reguler;
(b) Penilaian kerusakan dan kerugian pasca bencana yang tidak akurat;
(c) Keterbatasan peta wilayah yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan
analisa kerusakan spasial
Dari masalah yang tergambar diatas maka diperlukan koordinasi yang tepat
antara lembaga daerah penanggulangan bencana dengan lembaga pusat, agar
data yang diperlukan mudah diperoleh sehingga proses pendukung
rehabilitasi dan rekontruksi berjalan lancar.
4) Koordinasi penilaian kerusakan dan kerugian serta perencanaan rehabilitasi dan
rekonstruksi yang terpusat perlu ditingkatkan.
5) Perlu adaya peningkatan alokasi pendanaan bagi rehabilitasi dan rekonstruksi
yang bersumber dari pemerintah daerah

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bencana terjadi karena faktor alam dan faktor manusia. Secara umum bencana
menimbulkan risiko. Tinggi rendahnya risiko bencana sangat tergantung pada ancaman,
kerentanan dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana tersebut.Ancaman
bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam memang memiliki tingkat
dampak yang berbeda-beda.di tiap tempat. Serta potensi keterpaparannya juga tidak
mungkin sama, namun bencana sekali lagi merupakan sebuah hal yang dipengaruhi oleh
banyak aspek yang melekat. Ancaman bencana tidak boleh jika hanya dipandang
sebagai ‘amarah alam’ belaka, melainkan merupakan implikasi dari banyak aspek.
Setiap wilayah memiliki tingkat risiko kerentanan bencana yang berbeda-beda.
Risiko bencana dapat dikurangi jika kapasitas daerah tersebut tinggi. Kapasitas itu
sendiri adalah aspek-aspek positif dari situas dan kondisi yang ada, yang apabila
dimobilisasi dapat mengurangi risiko dengan mengurangi kerentanan yang ada.Untuk
itu setiap wilayah harus memiliki standard kapasitas daerah itu sendiri sehingga bisa
meminimalisir risiko bencana.
Kapasitas daerah sendiri merupakan salah satu dasar untuk upaya Pengurangan
Risiko Bencana. Upaya Pengurangan Risiko Bencana salah satunya dapat didukung
oleh peningkatan kapasitas daerah dalam menghadapi bencana.Salah satu contohnya
adalah kapasitas masyarakat dalam menghadapi kekeringan.Indonesia memiliki dua
musim yaitu musim hujan dan kemarau.Untuk menghadapi musim kemarau masyarakat
Indonesia harus bersiap menghadapi kekeringan yang akan terjadi.
Diantara pulau-pulau yang ada di Indonesia Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk
yang besar sebanyak lebih dari 128 juta jiwa atau 59,0% dari jumlah penduduk
nasional, tingkat pertumbuhan penduduk per tahun 1,53%, dan kepadatan penduduk
1.413 jiwa/km2 (BPS, 2005) dengan segala aktivitasnya, akan terpengaruh terhadap
berkurangnyta ketersediaan air.Sebagian besar yang terkena bencana adalah masyarakat
dengan tingkat pendapatan ekonomi yang menengah hingga rendah. Keterbatasan

26
ekonomi menyebabkan kesulitan untuk memperoleh akses terhadap air. Terdapat
hubungan yang signifikan bahwa kekeringan dapat menimbulkan kemiskinan, dan
sebaliknya kemiskinan dapat menimbulkan akses terhadap penyediaan kebutuhan air
menjadi terbatas.Untuk itu perlu adanya kapasitas msyarakat agar bisa menghadapi
bencana tersebut.
Untuk mengurangi risiko bencana kekeringan tersebut maka ketahanan atau
kapasitas masyarakat dapat ditingkatkan. Berbagai pilihan teknik pemanenan hujan
dapat dilakukan di masyarakat, seperti pembangunan embung, tendon air hujan, sumur
resapan dan lainnya. Air tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air pada
saat musim kemarau.
Peningkatan kapasitas masyarakat Akan mengurangi risiko bencana kekeringan
melalui program pengurangan risiko bencana dapat berdampak pada pengurangan
kemiskinan, dan sebaliknya program pengurangan kemiskinan dapat mengingkatkan
kapasitas masyarakat untuk mengatasi bencana. Dalam pelaksanaannya pendekatan di
tingkat komunitas merupakan komponen penting dalam pengurangan risiko bencana
maupun pengurangan kemiskinan. Program-program peningkatan kapasitas dalam
mengurangi risiko bencana kekeringan tidak dapat berdiri sendiri swhingga Perlu
adanya kerjasama dan koordinasi antar pelaku, baik pemerintah, dunia usaha, lembaga
swadaya masyarakat (NGO) dan masyarakat.

3.2 Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih tentang risiko kekeringan di wilayah-wilayah lain
sehingga masyarakat dapat mengetahui risiko bencana tersebut dan dapat bersiap
dalam menghadapi kekeringan.
2. Perlu adanya sosialisasi tentang program-program kapasitas bencana kekeringan
sehingga seluruh masyarakat mendapat pengetahuan untuk menanggulangi atau
menghadapi bencana tersebut.

27
DAFTAR PUSTAKA

https://www.bnpb.go.id/home/detail/3334/Pengenalan-Teknis-Peralatan-
Penanggulangan-Bencana
https://www.bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/471.pdf
Wesnawa, I Gede Astra dan Putu Indra Christiawan. 2014. Geografi Bencana. Jakarta:
Graha Ilmu

28

Anda mungkin juga menyukai