Anda di halaman 1dari 14

BAB I

Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kondisi Indonesia yang rawan akan bencana tidak dapat dihindari bagi masyarakat
indonesia khususnya. Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia
menyebabkan banyaknya gunung api yang mengakibatkan sering terjadi bencana gempa bumi
tektonik maupun gempa vulkanik. Kondisi ini yang mengharuskan masyarakat indonesia hidup
berdampingan dengan bencana alam. Untuk itu perlu adanya upaya tanggap darurat dalam
menghadapi bencana mulai dari pra sampai pada pasca bencana alam.
Upaya tanggap darurat terdapat dalam Mitigasi Bencana yang dinaungi oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang sejak 2004 mulai gencar di sosialisasikan ke
seluruh masyarakat Indonesia terutama daerah yang rawan akan bencana alam. Hal ini
memerlukan sebuah perencanaan yang matang. Oleh karena itu perlu adanya sebuah perencanaan
yang berkelanjutan agar dapat meminimalisir korban akibat bencana alam. Kesadaran penuh
masyarakat dalam menghadapi bencana alam sangat perlu ditingkatkan agar masyarakat siap
siaga dalam menghadapi bencana alam.
Perencanaan Kontijensi dibuat sebagai salah satu upaya antisipasi dengan menentukan
langkah dan sistem penanganan yang akan diambil sebelum keadaan darurat terjadi. Ini sangat
berguna agar masyarakat dan pemerintah setempat agar tanggap terhadap bencana yang akan
terjadi. Proses Pembuatan Perencanaan Kontijensi ini membutuhkan kerjasama dari berbagai
pihak pemerintahan serta yang berkaitan dengan bidang kebencanaan karena perencanaan
membutuhkan berbagai kebijakan dan koordinasi antar pihak terkait. Dengan adanya
perencanaan ini diharapkan dapat menjadi acuan pengambilan keputusan tindakan tanggap
darurat dalam menghadapi bencana bagi pemerintah setempat dan masyarakat indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Perencanaan Kontijensi?
2. Mengapa Perencanaan Kontijensi diperlukan?
3. Bagaimana Perencanaan Kontijensi dibuat?
4. Dimana Penerapan Perencanaan Kontijensi dilakukan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Perencanaan Kontijensi
2. Untuk mengetahui pentingnya Perencanaan Kontijensi
3. Untuk mengetahui bagaimana pembuat Perencanaan Kontijensi
4. Untuk mengetahui lokasi Penerapan Perencanaan Kontijensi

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perencanaan Kontijensi


Kontijensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi
mungkin juga tidak akan terjadi. Sedangkan Perencanaan Kontijensi merupakan suatu upaya
untuk merencanakan sesuatu peristiwa yang mungkin terjadi, tetapi tidak menutup kemungkinan
peristiwa itu tidak akan terjadi. (dalam Jurnal Panduan Perencanaan Kontijensi Menghadapi
Bencana, Edisi ke II, BNPB 2011)
Dari definisi tersebut, dapat diketahui inti dari perencanaan kontijensi yaitu:
 Dilakukan sebelum keadaan darurat berupa proses perencanaan ke depan
 Lebih merupakan proses daripada menghasilkan dokumen
 Merupakan suatu proses pembangunan konsensus untuk menyepakati skenario dan tujuan
yang akan diambil
 Merupakan suatu kesiapan untuk tanggap darurat dengan menentukan langkah dan sistem
penanganan yang akan diambil sebelum keadaan darurat terjadi
 Mencakup upaya-upaya yang bersifat mencegah dan juga membatasi konsekuensi yang
kemungkinan akan terjadi

2.1.1 Prinsip – prinsip Perencanaan Kontinjensi


Perencanaan/penyusunan rencana kontijensi mempunyai ciri khas yang menjadi prinsip-
prinsip perencanaan kotinjensi. Perencanaan kontinjensi harus dibuat berdasarkan:
 Proses penyusunan bersama
 Merupakan rencana penanggulangan bencana untuk jenis ancaman tunggal (single
hazard) atau collateral/ikutan
 Rencana kontinjensi mempunyai skenario
 Dilakukan secara terbuka
 Menetapkan peran dan tugas setiap sektor
 Menyepakati konsensus yang telah dibuat
 Dibuat untuk menghadapi keadaan darurat

2.2.Perlunya Perencanaan Kontijensi.


Perencanaan kontijensi merupakan bagian kehidupan sehari hari. Diperlukannya
perencanaan kontijensi tergantung dari upaya mempertemukan antara besarnya kejadian
dengan tingkat dampak yang diakibatkan.Proses perencanaan kontijensi hanya sesuai
untuk peristiwa atau kejadian dengan tingkat besar dan parahnya dampak yang

2
ditimbulkan, sedangkan untuk kejadian-kejadian yang tidak terlalu parah, cukup
menggunakan kebijakan-kebijakan yang ada, bahkan jika tidak parah sama sekali tidak
perlu disusun rencana kontinjensi (Triutomo, 2011 dalam Roza, 2012).
Kontijensi adalah suatu kejadian yang bisa terjadi, tetapi belum tentu benar-benar
terjadi.Oleh karena ada unsure ketidakpastian, maka diperlukan suatu perencanaan untuk
mengurangi akibat yang mungkin terjadi yang disebut dengan perencanaan kontijensi.
Perencanaan kontinjensi adalah proses perencanaan ke depan dalam keadaan tidak
menentu, di mana skenario dan tujuan disetujui, tindakan manajerial dan teknis
ditentukan, dan sistem untuk menanggapi kejadian disusun agar dapat mencegah, atau
mengatasi secara lebih baik keadaan atau situasi darurat yang dihadapi (Triutomo, 2011
dalam dalam Roza, 2012).
Perencanaan kontijensi menurut The Inter Agency Standing Committee (IASC)
didefinisikan sebagai “Proses membentuk tujuan, pendekatan, dan prosedur program
untuk menanggapi situasi atau kejadian yang cenderung terjadi, yang meliputi upaya
mengidentifikasi kejadian serta mengembangkan skenario yang mungkin dan rencana
yang patut untuk menyiapkan diri terhadap dan menanggapi kejadian itu secara
efektif”(Vidiarina, 2010 dalam Roza 2012).
Rencana kontijensi ditekankan untuk kesiapsiagaan bencana. Kesiapsiagaan
bencana merupakan suatu proses yang mengarah pada kesiapan dan kemampuan untuk
meramal jika mungkin, mencegah bencana, mengurangi dampak, menanggapi secara
efektif dan memulihkan diri dari dampak bencana yang ditimbulkan.

Prinsip perencanaan kontinjensi. IASC, Badan Nasional Penanggulangan Bencana


(BNPB) dan Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
(Federasi Internasional) merangkum bahwa rencana kontinjensi mempunyai prinsip-
prinsip antara lain:
1. Proses pengembangan rencana adalah partisipatif,
2. Rencana itu berfokus pada bahaya tunggal,
3. Rencana itu berdasarkan skenario,
4. Skenario dan tujuan dikembangkan sebagai suatu kesepakatan bersama,sebagai hasil
konsesus umum,
5. Rencana itu tidak bersifat rahasia/tertutup,
6. Peran dan tanggung jawab harus diidentifikasi,
7. Rencana itu dibuat untuk menangani keadaan darurat.

3
2.3 Proses Pembuatan Perencanaan Kontinjensi
Penyusunan rencana kontinjensi dilakukan melalui tahapan/proses persiapan dan
pelaksanaan. Pada tahap persiapan kegiatannya meliputi penyediaan peta wilayah
kabupaten/kota/provinsi, data ”Kabupaten/Kota Dalam Angka”, data tentang ketersediaan
sumberdaya dari masing-masing sektor/pihak/instansi/organisasi dan informasi dari berbagai
sumber/unsur teknis yang dapat dipertanggung-jawabkan. Pada tahap pelaksanaan, kegiatannya
berupa penyusunan rencana kontinjensi yang dimulai dari penilaian risiko, didahului dengan
penilaian bahaya dan penentuan tingkat bahaya untuk menentukan 1 (satu) jenis ancaman atau
bencana yang diperkirakan akan terjadi (yang menjadi prioritas). Proses penyusunan rencana
kontinjensi secara diagramatis digambarkan sebagai berikut:

Gambar.1Diagram alir penyusunan rencana kontijensi


Sumber : Panduan Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana, Edisi ke II, BNPB 2011

A. Penilaian bahaya
Penilaian bahaya dilakukan melalui identifikasi jenis ancaman dan pembobotan ancaman.
a. Identifikasi jenis ancaman bencana dengan menggunakan catatan data/sejarah kejadian
bencana. b. Pembobotan/ scoring ancaman/bahaya dari beberapa jenis ancaman yang ada di suatu
kabupaten/kota dan dilakukan penilaian satu per satu. Tiap jenis ancaman diberikan nilai/bobot
dan diplot ke dalam tabel di bawah ini.

4
Tabel 1. Tabel Penilaian Bahaya

No. Jenis Ancaman/Bahaya P D


1. Gempabumi (tektonik)
2. Banjir
3. Longsor
4. Kerusuhan Sosial
5. Tsunami
6. Dst.

P : Probabilitas (Kemungkinan terjadi bencana )


D : Dampak (Kerugian / kerusakan yang ditimbulkan)

Keterangan :
 Skala Probabilitas
5 Pasti (hampir dipastikan 80 – 99 %)
4 Kemungkinan besar (60 – 80 % terjadi atau sekali dalam setahun mendatang )
3 Kemungkinan terjadi (40 – 60 % terjadi atau sekali dalam 10 tahun mendatang )
2 Kemungkinan kecil (20 – 40 % terjadi atau sekali dalam 100 tahun mendatang)
1 Kemungkinan sangat kecil (hingga 20 %)
 Dampak kerugian yang ditimbulkan
5 Sangat parah (80 – 99 % wilayah hancur dan lumpuh total)
4 Parah (60 – 80 % wilayah hancur)
3 Sedang (40 – 60 % wilayah rusak)
2 Ringan (20 – 40 % wilayah rusak)
1 Sangat ringan (kurang dari 20 % wilayah rusak)

Setelah langkah tersebut, hasil penilaian bahaya di -plot ke dalam Matriks Skala Tingkat
Bahaya untuk mengidentifikasi bahaya yang bersiko tinggi, sebagaimana matriks di bawah ini.

Gambar.2Matriks Skala Bahaya


Sumber : Panduan Perencanaan Kontijensi Menghadapi Bencana, Edisi ke II, BNPB 2011

5
B.Penentuan Kejadian
Dari data matriks skala tingkat bahaya tersebut diatas, jika terdapat 2 (dua) atau lebih
ancaman/bahaya yang menempati kolom ”warna merah” (paling urgen/dominan atau berisiko
tinggi) yaitu yang berada di 6 (enam) kotak sebelah atas-kanan, maka penentuan/penilaian resiko
bencana dilakukan dengan kesepakatan bersama (lintas sektor) yang dinilai paling urgen/prioritas.

C. Pengembangan Skenario
Berdasarkan peta wilayah, dapat diidentifikasi masyarakat dan daerah/lokasi yang
terancam bencana (daerah rawan bahaya/bencana) sehingga dapat diperkirakan luas/besarnya
dampak bencana yang mungkin terjadi. Dalam skenario juga diuraikan antara lain:
• waktu terjadinya bencana (misalnya : pagi, siang, malam).
• waktu terjadinya bencana (misalnya : pagi, siang, malam).
• durasi/lamanya kejadian (misalnya : 2 jam, 1 hari, 7 hari, 14 hari).
• tingginya genangan air (banjir).
• tinggi dan jarak jangkauan ombak ke daratan (tsunami).
• hal-hal lain yang berpengaruh terhadap besar-kecilnya kerugian/ kerusakan. Terdapat 5 (lima)
aspek yang terkena dampak bencana, yaitu aspek kehidupan/penduduk,
sarana/Prasarana/fasilitas/asset, ekonomi, pemerintahan, dan lingkungan.
• Dampak pada aspek kehidupan/penduduk dapat berupa: kematian, lukaluka, pengungsian,
hilang, dan lain-lain.
• Dampak pada aspek sarana/prasarana dapat berupa: kerusakan jembatan, jalan, instalasi PAM,
PLN, kerusakan rumah penduduk, dan lain-lain.
• Dampak pada aspek ekonomi dapat berupa: kerusakan pasar tradisional, gagal panen,
terganggunya perekonomian/perdagangan, transportasi, dan lain-lain.
• Dampak pada aspek pemerintahan dapat berupa: kehancuran dokumen/arsip, peralatan kantor,
bangunan pemerintah dan lain-lain.
• Dampak pada aspek lingkungan dapat berupa: rusaknya kelestarian hutan, danau, obyek
wisata, pencemaran, kerusakan lahan perkebunan/pertanian, dan lain-lain.
Untuk mengukur dampak pada aspek kehidupan/penduduk, perlu ditetapkan terlebih
dahulu pra-kiraan jumlah penduduk yang terancam , baru ditetapkan dampak kematian, luka-luka,
pengungsian, hilang, dan dampak lainnya sehingga diketahui jumlah/persentase dampak yang
ditimbulkan.

6
Tabel 2. Tabel Dampak pada aspek ekhidupan/penduduk

D. Penetapan Kebijakan dan Strategi


Kebijakan Kebijakan penanganan darurat dimaksudkan untuk memberikan
arahan/pedoman bagi sektor-sektor terkait untuk bertindak/ melaksanakan kegiatan tanggap
darurat. Kebijakan bersifat mengikat karena dalam penanganan darurat diberlakukan
kesepakatankesepakatan yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Contoh Kebijakan adalah (1)
penetapan lamanya tanggap darurat yang akan dilaksanakan (misalnya selama 14 hari), (2)
layanan perawatan/pengobatan gratis bagi korban bencana.
Strategi Strategi penanganan darurat dilaksanakan oleh masing-masing sektor sesuai
dengan sifat/karakteristik bidang tugas sektor. Stategi bertujuan untuk efektivitas pelaksanaan
kebijakan. Contoh, dari kebijakan “layanan perawatan/pengobatan gratis bagi korban” dapat
dirumuskan strategi “menunjuk rumah sakit pemerintah/swasta yang dijadikan sebagai rumah
sakit rujukan”.

E. Perencanaan Sektoral
Langkah pertama dalam perencanaan sektoral adalah identifikasi kegiatan. Semua
kegiatan untuk penanganan kedaruratan harus diidentifikasi agar semua permasalahan dapat
ditangani secara tuntas, tidak terdapat kegiatan yang tumpang tindih dan tidak ada kegiatan
penting yang tertinggal.
Para pelaku/pelaksana penyusunan rencana kontinjensi tergabung dalam sektor-sektor
misalnya: Manajemen dan Koordinasi, Evakuasi, Pangan dan Non-Pangan, Kesehatan,
Transportasi, Sarana/Prasarana. Tentang sektor ini, jumlah dan nomenklaturnya ditentukan
oleh para pelaku penyusunan rencana kontinjensi. Tidak ada ketentuan yang pasti/baku
dalam menentukan jumlah maupun penamaan untuk sektor-sektor.
• Situasi Sektor
Situasi sektor merupakan gambaran kondisi (terburuk) pada saat kejadian, yang
dimaksudkan untuk mengantisipasi tingkat kesulitan dalam penanganan darurat dan
upaya-upaya yang harus dilakukan.
• Sasaran Sektor
7
Dimaksudkan sebagai sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam penanganan
kedaruratan sehingga masyarakat/korban bencana dapat ditangani secara maksimal.
• Kegiatan Sektor
Adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan selama kedaruratan untuk
memastikan bahwa para pelaku yang tergabung dalam sektor-sektor dapat berperan
aktif.
Kegiatan sektor dilatar-belakangi oleh situasi sektor pada saat kejadian bencana.
• Identifikasi Pelaku Kegiatan
Pelaku penanganan kedaruratan yang tergabung dalam sektor-sektor berasal dari
berbagai unsur baik pemerintah dan non-pemerintah, termasuk masyarakat luas.
• Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Waktu pelaksanaan kegiatan oleh sektor-sekteor adalah sebelum/menjelang kejadian
bencana, sesaat setelah terjadi bencana dan setelah bencana atau setiap saat diperlukan.

Langkah selanjutnya adalah membuat proyeksi kebutuhan oleh tiap-tiap sektor yang
mengacu pada kegiatan-kegiatan sektor tersebut diatas. Kebutuhan tiap sektor dipenuhi dari
ketersediaan sumberdaya sektor. Dari kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya, terdapat
kesenjangan/kekurangan sumberdaya yang harus dicarikan jalan keluarnya dari berbagai sumber,
antara lain:

• Sumberdaya/potensi masyarakat dan pemerintah daerah setempat.


• Bantuan dari lembaga usaha/swasta.
• Sumberdaya/potensi daerah (kabupaten/kota) yang berdekatan.
• Sumberdaya/potensi dari level pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi/nasional).
• Kerjasama dengan berbagai pihak, baik unsur pemerintah maupun non-pemerintah,
bisa berbentuk Memorandum of Understanding (MoU), stand-by contract, meminjam,
atau kerjasama dalam bentuk lain.
• Bantuan masyarakat internasional yang sah dan tidak mengikat (bersifat melengkapi).

F. Pembentukan Sektor-sektor
Contoh pembentukan sektor :
• Sektor manajemen dan koordinasi
• Sektor Kesehatan
• Sektor Evakuasi dan transportasi
• Sektor logistik
• Sektor Barak
• Sektor Dapur Umum
8
• Sektor Komunikasi
• Sektor Keamanan
• Sektor Pendidikan

G. Struktur Komando dan Koordinasi Perencanaan Sektoral :
 Mempermudah koordinasi pemangku
 Menghindari kesemrautan
 Memberdayakan potensi dan sumber daya masyarakat dan para pihak terkait.

Gambar 3. Skema : Bagan Alur Komando, sumber: kotaku.pu.go.id

H. Sinkronisasi/Harmonisasi
Dari hasil perencanaan sektoral tersebut, semua kegiatan/pekerjaan yang dilakukan oleh
sektor-sektor diharmonisasi/diintegrasikan ke dalam rencana kontinjensi. Hal ini dapat dilakukan
melalui rapat koordinasi, yang dipimpin oleh Bupati/Walikota/Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk. Tujuannya adalah untuk mengetahui siapa melakukan apa, agar tidak terjadi tumpang
tindih kegiatan. Hasilnya berupa rencana kontinjensi berdasarkan kesepakatan/konsensus dari
rapat koordinasi lintas pelaku, lintas fungsi dan lintas sektor.
Materi bahasan dalam rapat koordinasi antara lain berupa:
- Laporan tentang kesiapan dari masing-masing sektor dalam menghadapi kemungkinan
terjadinya bencana.
- Masukan dari satu sektor ke sektor yang lain tentang adanya dukungan sumberdaya.
- Laporan tentang kebutuhan sumberdaya, ketersediaan dan kesenjangannya dari masing-
masing sektor.

9
- Pengambilan keputusan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan bersama dan komitmen
untuk melaksanakan rencana kontinjensi.

I. Formalisasi
Rencana kontinjensi disahkan/ditanda-tangani oleh pejabat yang berwenang yakni
Bupati/Walikota (untuk daerah kabupaten/kota) dan oleh Gubernur (untuk daerah provinsi) dan
menjadi dokumen resmi (dokumen daerah) dan siap untuk dilaksanakan menjadi Rencana
Operasi Tanggap Darurat (melalui informasi kerusakan dan kebutuhan hasil dari kegiatan kaji
cepat), dalam hal bencana terjadi. Selanjutnya rencana kontinjensi tersebut disampaikan juga ke
pihak legislatif untuk mendapatkan komitmen/dukungan politik dan alokasi anggaran.

2.3.1 Waktu Pembuatan Rencana Kontinjensi


Rencana kontijensi dibuat sesegera mungkin setelah ada tanda-tanda awal akan terjadinya
bencana atau adanya peringatan dini (early warning). Beberapa jenis bencana sering terjadi
secara tiba-tiba tanpa adanya tanda-tanda terlebih dahulu misalnya gempa bumi. Keadaan ini
sulit dibuat rencana kontinjensinya, namun masih dapat dibuat menggunakan data kejadian di
masa lalu. Sedangkan jenis-jenis bencana tertentu dapat diketahui tanda-tanda awal akan terjadi.
Terhadap hal ini dapat dilakukan pembuatan rencana kontinjensinya dengan mudah. Oleh karena
dinamikakerentanan dan kapasitas yang sangat cepat, maka rencana kontinjensiperlu dilakukan
penyesuaian dan pemutakhiran skenario.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa secara prinsip penyusunan rencana
kontinjensi selain disusun bersama oleh seluruh pemangkukepentingan, juga disusun scenario
dan dilakukan analisis kebutuhan.Setelah kebutuhan dihitung secara rinci, ditentukan siapa saja
pelakunya,dan tidak lupa dilakukan penilaian (ketersediaan) sumberdaya yang dimilikioleh
pelaku/pemangku kepentingan. Dari kebutuhan dan ketersediaansumberdaya tersebut akan
diketahui kesenjangannya yang akan dipenuhidari berbagai sumber yang mengutamakan
sumberdaya (dan potensi) lokal dan sekitarnya . (Triutomo, 2011 dalam Roza, 2012)

2.3.2 Unsur/Komponen yang terlibat


Rencana kontinjensi disusun secara bersama-sama oleh berbagai pihak/unsur/komponen
masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya kesiapsiagaan oleh semua pihak karena
penanggulangan bencana merupakan urusan bersama antara pemerintah, lembaga usaha, dan
masyarakat dimana pemerintah sebagai penanggung-jawab utamanya. Masing-masing
pihak/pelaku dapat berperan aktif sesuai dengan kemampuan, keahlian, kompetensi dan
kewenangannya serta menyumbangkan/menggunakan sumberdaya yang ada dalam lingkup
kekuasaan/kewenangannya. Unsur/pelaku penyusunan rencana kontinjensi antara lain:
 Instansi/lembaga pemerintah
10
 TNI / POLRI
 Lembaga usaha/swasta
 Organisasi kemasyarakatan
 Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
 Palang Merah Indonesia (PMI)
 Search and Resque (SAR)
 Relawan Penanggulangan Bencana
 ORARI/RAPI
 LSM/NGO
 Perguruan Tinggi
 Lembaga Usaha
 Media Massa
 Tokoh masyarakat/agama
 Pramuka
 Organisasi Pemuda
 Pihak-pihak/para pelaku lainnya yang relevan dengan jenis ancamannya

2.4 Contoh Penerapan Kontijiensi terhadap bencana di Indonesia


 Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 diduga mencapai 9,7 juta
hektar, dan 75 juta orang terkena dampaknya. Kerugian ekonomi diduga mencapai 9 milyar US
Dollar (Bappenas/ADB 1999). Kebakaran Hutan dan Lahan mengakibatkan bencana asap yang
dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kondisi iklim, dan aktivitas manusia dalam pengelolaan
hutan/kebun/lahan. Penyebab kebakaran di Indonesia hampir seluruhnya berasal dari kegiatan
manusia (99%), baik disengaja atau tidak (unsur kelalaian).Kegiatan konversi lahan
menyumbang 34%, peladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan sosial 14%, dan proyek
transmigrasi 8%. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran hutan dan
lahan adalah sumber energi berupa kayu, sisa tebangan, deposit batubara, dan gambut.

 Faktor Iklim

Dari sisi iklim, Indonesia tergolong memiliki iklim yang unik, dengan 407 tipe hujan, 342
zona musim, 65 nonzona musim dan 9 zona musim lokal, dengan kasus khusus Sulawesi dan
Maluku yang memiliki pola musim terbalik. Keunikan ini disebabkan karena letak Indonesia
yang berada di antara dua samudera (Pasifik dan Hindia), terletak di daerah tropis, dan wilayah
yang berbentuk kepulauan.

11
Kondisi iklim di Indonesia secara geografis dipengaruhi oleh fenomena El Nino/La Nina
yang bersumber dari wilayah timur Indonesia (Ekuator Pasifik Tengah/Nino34) dan Dipole
Mode yang bersumber dari wilayah barat Indonesia (Samudera Hindia–timur Afrika). Ada juga
fenomena regional yang mempengaruhi seperti sirkulasi monsun Asia-Australia dan Inter
Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan serta kondisi
suhu permukaan laut (SPL) sekitar wilayah Indonesia. Kondisi topografi wilayah Indonesia yang
bergunung, berlembah serta banyak pantai merupakan fenomena lokal yang menambah
beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu.

Gambar .4 Pola Iklim di Indonesia.


Dari gambar di atas, terlihat tiga kawasan pola curah hujan di Indonesia:
a. Daerah monsunal (Zona A) merupakan pola wilayah yang dominan di Indonesia
karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut memiliki satu
puncak pada periode November–Maretyang dipengaruhi oleh monsun barat laut yang
basah. Di samping itu, zona tersebut juga memiliki satu palung pada bulan Mei–
September yang dipengaruhi oleh monsun tenggara yang kering. Akibatnya, terdapat
perbedaan yang jelas antara musim kemarau (curah hujan bulanan <150 mm) dan
musim hujan (curah hujan bulanan >150 mm). Selain itu, daerah A berkorelasi kuat
terhadap perubahan suhu permukaan laut.

b. Daerah ekuatorial (Zona B) mempunyai dua puncak pada Oktober–November dan


Maret–Mei. Rata-rata hujan setiap bulan cukup tinggi, yaitu >150 mm. Pola ini

12
dipengaruhi oleh pergeseran ke utara dan selatan dari ITCZ atau titik equinox
(kulminasi) matahari. Puncak hujan biasanya terjadi saat posisi matahari berada di
atas suatu wilayah tersebut yang merupakan wilayah ITCZ.

c. Daerah iklim lokal (Zona C) mempunyai satu puncak pada Juni–Juli dan satu palung
pada November–Februari NDJF. Pola ini merupakan kebalikan pola di zona A: saat
wilayah zona A mengalami musim hujan, maka wilayah zona C dilanda musim
kemarau;demikian juga sebaliknya. Selain itu, akibat dari kondisi geografisnya
terdapat pula wilayah tipe lokal yang memiliki curah hujan cukup rendah sepanjang
tahun dengan rata-rata bulanan <150 mm. Di wilayah tipe lokal seperti ini musim
kemarau terjadi sepanjang tahun.

Tipe pola lokal yang dimaksud di atas adalah :


a. Daerah-daerah yang kering sepanjang tahun, yaitu Sulawesi (Luwuk dan Palu) dan 1 ZOM
di
Sumatera;
b. Daerah-daerah yang basah sepanjang tahun, yaitu sepanjang pantai Barat Bukit Barisan dan
Kalimantan Barat.
 Faktor Manusia

Motif untuk memperoleh keuntungan ekonomi merupakan penyebab utama terjadinya


kebakaran hutan dan lahan. Hal ini termanifestasikan dalam beberapa cara:
 Membakar merupakan cara yang paling mudah dan murah dalam kegiatan persiapan lahan.
 Kegiatan pembalakan kayu meningkatkan kerawanan kebakaran di dalam hutan.
 Api merupakan cara yang paling murah dan efektif yang digunakan dalam konflik sosial;
terutama masalah konflik kepemilikan lahan antara berbagai pihak terkait.
Kebakaran hutan dan lahan
Ada empat penyebab kebakaran langsung, yaitu:
(1) Api digunakan dalam pembukaan dan/atau penyiapan lahan.
Penggunaan api dalam rangka penyiapan lahan sudah dilakukan sejak lama, baik oleh
pengusaha perkebunan, pengusaha hutan tanaman industri (HTI), petani, dan
pembangunan pemukiman transmigrasi. Hal ini dikarenakan penggunaan api merupakan
cara yang lebih murah, mudah, dan efektif.Selain itu, degradasi hutan dan lahan
mengakibatkan keadaan yang peka terhadap bahaya kebakaran (seperti padang
alangalang).
(2) Api menyebar secara tidak sengaja.
Kebakaran timbul dari api yang tidak terkendali dari kegiatan penyiapan lahan yang
menyebar ke area hutan atau HTI.
(3) Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam.
13
Walaupun bukan merupakan faktor utama, namun kebakaran juga disebabkan
penggunaan api guna mempermudah akses dalam mengekstraksi sumberdaya alam,
seperti pengambilan ikan, berburu, dan mengumpulkan madu.
(4) Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah.
Pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit rentan terhadap konflik, terutama
konflik kepemilikan lahan.Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak
adil, dan tidak terkoordinasi menyebabkan masalah di mana api digunakan untuk
mengusir masyarakat yang sudah terlebih dahulu mengolah lahan tersebut; atau
digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh kembali lahan-lahan mereka.

Tahapan Kebakaran Hutan dan Lahan


a) Pembakaran
Proses ini dilakukan pada saat mulai memasuki musim kemarau dengan kegiatan
yang terencana, yaitu pembersihan dan pembakaran limbah tebangan oleh para
pengelola lahan seperti peladang, pengusaha kebun dan pengelola HTI. Setiap pengelola
lahan berusaha untuk mencegah tidak terjadi kebakaran. Dalam tahap ini ada unsur
kesengajaan.

b) Kebakaran

Proses ini merupakan persebaran api di luar kendali penanggung jawab kegiatan
karena kelalaian, kondisi cuaca, dan keadaan bahan bakar. Ukuran api tersebut bisa
sedang sampai dengan besar, tetapi cenderung akan membesar. Pada tahap ini, upaya
mobilisasi sumberdaya untuk pemadaman mulai dikerahkan.
c) Bencana
Pada proses ini kebakaran akan meluas dan telah menimbulkan gangguan terhadap
tata kehidupan dan mengancam keselamatan manusia.

14

Anda mungkin juga menyukai