Anda di halaman 1dari 75

IMPLEMENTASI PASAL 7 AYAT (2) UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM


PERADILAN PIDANA ANAK
(Studi di Polresta Pontianak Kota)

SKRIPSI

OLEH :
RURY RAHMA DANTI
NIM. A11112032

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2016
IMPLEMENTASI PASAL 7 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK
(Studi di Polresta Pontianak Kota)

SKRIPSI

OLEH :
RURY RAHMA DANTI
NIM. A11112032

SkripsiDiajukanSebagai Salah Satu Syarat Untuk


MemperolehGelarSarjanaHukum

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2016
IMPLEMENTASI PASAL 7 AYAT (2) UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK
(Studi di Polresta

Pontianak Kota)

Tanggung Jawab Yuridis Material pada

RURY RAHMA DANTI


NIM. A11112032

Disetujui Oleh :

Pembimbing I, Pembimbing II,

HAMDANI SH, M.Hum Suhardi, SH. MH


NIP :196812031994031002 NIP : 196708021994031001

Disahkan Oleh
Dekan,

Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, SH.M.Hum


NIP : 196305131988101001

TanggalLulus
Tanggal Lulus: : 16 September 2016
2016
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM

TIM PENGUJI

TANDA
JABATAN NAMA GOL
TANGAN

Hamdani SH, M.Hum


Ketua IV/B
NIP :196812031994031002

Suhardi, SH. MH
Sekretaris III/D
NIP : 196708021994031001

Karmindanu, SH. MH
Penguji Utama IV/C
NIP : 195409061979031003

Penguji Priyo Saptomo, SH, M.Hum


IV/B
Pendamping NIP : 196705011993031005

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan


Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
Nomor : 3757/UN22.1/EP/2016
Tanggal : 14 September 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul :

IMPLEMENTASI PASAL 7 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 11

TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI

POLRESTA PONTIANAK KOTA.

Dengan segala kesadaran penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini

jauh dari kata sempurna. Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ribuan

terimakasih kepada berbagai pihak yang telah ikut membantu. Oleh karena itu

pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-besarnya

kepada:

1. Prof. Dr. Thamrin Usman, DEA selaku Rektor Universitas Tanjungpura

Pontianak.

2. Dr. Sy. Hasyim Azizurahman, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Tanjungpura.

3. Bapak Edy Suasono, SH, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.

4. Bapak Hamdani SH, M.Hum selaku Pembimbing Utama dalam penulisan

Skripsi ini

5. Bapak Suhardi SH, MH selaku Dosen Pembimbing Pendamping dalam

penulisan skripsi ini.


6. Bapak Karmindanu SH, MH selaku Dosen Penguji Utama dalam penulisan

skripsi ini.

7. Bapak Priyo Saptono SH, M.Hum selaku Dosen Penguji Pendamping dalam

penulisan skripsi ini.

8. Bapak Idham SH, MH selaku Dosen Pembimbing Akademik.

9. Bapak / Ibu Dosen di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Tanjung

Pura Pontianak.

10. Pihak Kepolisian RI, BAPAS Pontianak dan kepada pihak-pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

11. Kepada kedua orang tua penulis yang selalu memberikan dukungan secara

moril sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

12. Terkhusus penulis mengucapkan terimakasih kepada Hafiz Maulana, karena

telah bersedia menemani, membantu, dan selalu mendukung penulis.

13. Kepada rekan-rekan mahasiswa/i sahabat semua pihak yang telah

memberikan sumbangsih baik secara moril dan materil kepada penulis

sehingga Skripsi ini selesai dibuat.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu penulis dengan senang hati bersedia menerima kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga

skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri.

Pontianak, Juni 2016


Penulis

Rury Rahma Danti


NIM A11112032
ABSTRAK

Sebagai sebuah negara hukum, kewajiban negara adalah melindungi segenap

tumpah darahnya tidak hanya melindungi korban tindak pidana, perlindungan juga

diberikan pada pelaku tindak pidana dengan tetap memberikan hak-haknya dalam

proses hukum. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak adalah undang-undang yang mengatur memberikan perlindungan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Salah satu perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum adalah pelaksanaan diversi dan restoraktif justice. Upaya diversi adalah

upaya penyelesaian perkara pidana anak diluar pengadilan namun upaya diversi

tersebut bukanlah semata menghilangkan sanksi terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum, namun lebih tepatnya pada penyelesaian perkara secara

kekeluargaan dengan melibatkan anak pelaku pidana, orang tua / wali anak

pelaku, korban, orang tua / wali korban, pembimbing kemasyarakatan.

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui Implementasi Pasal 7 Ayat (2)

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di

Polresta Pontianak Kota, Untuk mengetahui apakah pelaksanaan Pasal 7 ayat (2)

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

telah dilaksanakan secara optimal oleh aparat penegak hukum, Untuk mengetahui

faktor yang menghambat pelaksanaan diversi sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak di Polresta Pontianak Kota.


Pihak penyidik kepolisian telah berupaya secara optimal untuk

mengimplementasikan Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak dalam rangka pelaksanaan diversi terhadap perkara anak

yang diancam pidana di bawah 7 (tujuh) tahun dengan melibatkan seluruh pihak-

pihak yang berkompeten diantaranya pelaku, orang tua / wali pelaku, korban,

pegawai Bapas, pekerja sosial profesional, meskipun demikian pelaksanaan

diversi tidak dapat dilakukan seluruhnya pada anak yang berkonflik dengan

hukum di karenakan beberapa faktor yang menghambat proses diversi tersebut

diantaranya : Pihak korban tidak menginginkannya perdamaian dengan anak

sebagai tersangka, Pembimbing Kemasyarakatan hanya diberikan waktu selama 3

(hari) untuk melakukan Penelitian Kemasyarakatan untuk nanti disampaikan

kepada Penyidik, Kurangnya pengawasan dari orang tua, Serta sulitnya

menemukan keluarga atau orang tua dan tempat tinggal dari anak yang sedang

berkonflik dengan hukum.

Kata Kunci : Implementasi, Perlindungan Anak, Diversi


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …………………………………………………….. .. i

RINGKASAN SKRIPSI ……………………………………………………..iii

DAFTAR ISI................ .................................................................................... iv

DAFTAR TABEL................ ............................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah......... ............................................ 1

B. Rumusan Masalah.......... .................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ............................................................... 6

D. Kerangka Pemikiran......... .................................................. 7

1. Tinjauan Pustaka.......... ................................................ 7

2. Kerangka Konsep ......................................................... 13

E. Hipotesis............................................................................. 15

F. Metode Penelitian............................................................... 15

BAB II IMPLEMENTASI PASAL 7 AYAT (2) UNDANG-

UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK
A. Tinjauan Tentang Implementasi ....... ................................ 18

B. Tinjauan Undang-undang……..…….……….................... 20

C. Tinjauan Efektifitas Hukum ....................................... ...... 24

D. Tinjauan Tentang Anak ....................................................29

E. Tinjauan Umum Diversi ....................................................30

BAB III PEMBAHASAN

A. Analisis dan Pengolahan Data ......................................... .. 37

B. Pembuktian Hipotesis ........................................................ 55

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………..59

B. S a r a n …………………………………………………...60

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pelaku Tindak Pidana Anak Yang Dilaporkan di Polresta Pontianak


Kota ........................................................................................................ 39

Tabel 2 Penyidik Pembantu Yang Menangani Kasus Anak Pelaku Tindak


Pidana di Polresta Pontianak Kota ......................................................... 40

Tabel 3 Pelaksanaan Diversi Bagi Tersangka Anak Pelaku Tindak Pidana atau
Kejahatan yang Dilaporkan di Polresta Pontianak Kota ........................ 41

Tabel 4 Pelaksanaan Diversi Terhadap Kasus-kasus Tindak Pidana Anak yang


Dilaporkan di Polresta Pontianak Kota .................................................. 42

Tabel 5 Sebab Tidak Dilakukannya Upaya Diversi ............................................ 43

Tabel 6 Usia Anak Pelaku Kejahatan atau Tindak Pidana .................................. 44

Tabel 7 Penyidikan di Ruang Khusus Anak ....................................................... 45

Tabel 8 Saran, Pertimbangan Dari Pihak Bapas Dalam Pelaksanaan Diversi .... 46

Tabel 9 Pelibatan Orang Tua / Wali ................................................................... 47

Tabel 10 Pelibatan Korban .................................................................................... 48

Tabel 11 Proses Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak .......................................... 49

Tabel 12 Perkara Anak yang Tidak Berhasil Diversi ............................................ 50

Tabel 13 Sebab Tidak Berhasilnya Upaya Diversi Oleh Penyidik ....................... 51


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebuah negara hukum harus menjalankan atau menegakkan hukum tanpa

pandang bulu, hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga agar kestabilan antara hak

dan kewajiban masyarakat suatu bangsa/negara tetap terpenuhi meskipun

perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan oleh anak. Bertolak dari hal

tersebut, pada hakekatnya peraturan mengenai anak telah diatur dalam konstitusi

Indonesia dimana meskipun menjadi anak yang melakukan kejahatan namun hak-

hak asasi manusia sebagai anak tetap melekat pada dirinya sesuai dengan amanat

Undang-undang Dasar 1945 dimana anak berhak tumbuh dan berkembang serta

mendapkan perlindungan yang layak dari negara.

Regulasi peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat oleh negara

sebagai bentuk perlindungan terhadap anak-anak generasi penerus bangsa antara

lain : Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak; Undang-undang

Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; dan Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


Secara substansi Undang-undang tersebut mengatur perihal hak-hak anak

berupa hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk

beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi,

bergaul, mendapatkan jaminan sosial, mendapatkan perlindungan hukum.

Perlindungan hukum tidak hanya diberikan kepada anak yang menjadi

korban tindak pidana, namun juga diberikan kepada anak sebagai tersangka

pelaku tindak pidana, perlindungan hukum yang diberikan kepada anak sebagai

tersangka tidak serta merta membebaskan tersangka anak dari sanksi hukum,

melainkan harus juga memberikan rasa berkeadilan kepada korban.

Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari empat komponen atau

penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman (pengadilan) dan

Lembaga Pemasyarakatan yang harus bekerja sama secara terpadu demi tegaknya

supremasi hukum di negara ini. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan

gerbang pertama dan yang utama dalam rangka penegakan hukum dalam suatu

sistem peradilan pidana di Indonesia, sekaligus sebagai penentu apakah perkara

hukum akan dilanjutkan pada proses penuntutan umum dan sidang pengadilan

atau dapat diselesaikan melalui tindakan informal lainnya yang sesuai dengan

peraturan perundang-udangan yang berlaku.

Sebagai garda terdepan lembaga negara yang bertugas menegakkan hukum

dan langsung bersinggungan dengan masyarakat Kepolisian Resort Kota

Pontianak Kota sering sekali menangani perkara-perkara masyarakat yang


berkonflik dengan hukum, tidak hanya orang-orang yang telah dewasa yang

berkonflik dengan hukum, banyak juga perkara anak yang berkonflik dengan

hukum yang ditangani oleh pihak Kepolisian Resort Kota Pontianak Kota.

Dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum tentu

penanganannya tidak dapat disamakan dengan penanganan terhadap orang dewasa

yang berkonflik dengan hukum. Penanganan anak yang berpekara dengan hukum

lebih berpedoman terhadap aturan hukum mengenai hak-hak anak sebagaimana

telah diatur dalam regulasi hukum yakni Undang-undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak serta Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak.

Adapun hak-hak anak yajng berpekara dengan hukum yang diatur dalam

undang-undang tersebut antara lain adalah dirahasiakan identitasnya, diperlakukan

secara manusiawi, dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum dan

bantuan lainnya, melakukan kegaitan rekreasional, bebas dari penyiksaan,

penghukuman atau perlakukan lain yang kejam dan tidak manusiawi, tidak

dijatuhi hukuman pidana mati atau seumur hidup, tidak ditanggap, di tahan atau

dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir, memperoleh keadilan di muka

pengadilan anak yang objektif serta memperoleh pendampingan dari orang tua.

Selain itu Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak juga mengisyarakatkan bahwa sebagai bentuk perlindungan hukum


terhadap anak yang berpekara dengan hukum wajib dilakukan upaya diversi

dengan pendekatan restoraktif justice. Upaya diversi adalah upaya penyelesaian

perkara pidana anak diluar pengadilan namun upaya diversi tersebut bukanlah

semata menghilangkan sanksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,

namun lebih tepatnya pada penyelesaian perkara secara kekeluargaan dengan

melibatkan anak pelaku pidana, orang tua / wali anak pelaku, korban, orang tua /

wali korban, pembimbing kemasyarakatan.

Penyelesaian perkara anak melalui upaya diversi hanya dapat dilakukan

terhadap tindak pidana ringan seperti pencurian ringan, penganiayaan ringan, serta

tindak pidana lainnya yang ancaman hukumannya dibawah 7 tahun dan bukan

merupakan suatu pengulangan tindak pidana, namun apabila menyangkut tindak

pidana berat yang ancaman hukumannya diatas 7 tahun atau merupakan

pengulangan tindak pidana upaya diversi tidak dapat dilakukan terhadap anak

yang berpekara dengan hukum.

Pada tahun 2013 terdapat setidaknya 24 perkara hukum yang dilakukan

oleh anak kemudian, pada tahun 2014 terjadi sebanyak 21 kasus dan pada tahun

2015 terdapat 18 kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dari beberapa

kasus yang dilaporkan tersebut tidak seluruhnya dilakukan upaya diversi oleh

pihak Penyidik ataupun penyidik pembantu Kepolisian Resort Kota Pontianak

Kota.

Berdasarkan hal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa kewenangan atau

diskresi pihak kepolisian belum maksimal dipergunakan untuk menangani perkara


anak yang berhadapan dengan hukum. Faktor yang menyebabkan tidak

digunakannya diskresi Kepolisian terhadap anak yang berpekara dengan hukum

secara maksimal dikarenakan ada beberapa kasus anak yang harus diteruskan

kepada pihak penuntut umum seperti kasus pemerkosaan dan penyalahgunaan

narkotika, serta kasus menghilangkan nyawa orang lain atau pembunuhan baik

yang berencana ataupun tidak berencana seperti perkara kecelakaan lalu lintas

yang terjadi antara sdr. RE dengan sdr. IM yang mengakibatkan korban RE

meninggal dunia. Mengingat, menimbang dan memperhatikan bahwa sdr. IM

masih dikategorikan oleh hukum sebagai anak-anak dan menimbang bahwa

perbuatan yang dilakukan oleh sdr. IM dilakukan tanpa adanya kesengajaan, maka

atas kewenangan diskresi Kepolisian yang ada padanya, kemudian pihak

Kepolisian melakukan upaya diversi terhadap perkara yang dihadapi oleh sdr. RE.

Namun dalam prosesnya sdr. RE masih tetap menjalani proses hukum hingga ke

persidangan.

Kemudian juga terdapat perkara melawan hukum yang dilakukan oleh

anak dengan inisial DK yang secara melawan hukum mengambil barang milik

orang lain sehingga korban mengalami kerugian baik materil maupun moril,

perkara tersebut pelaku tidak mendapat perlindungan hukum untuk diselesaikan

perkaranya melalui proses diversi dengan alasan bahwa yang bersangkutan telah

sering melakukan pencurian.

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka peneliti tertarik

untuk meneliti dan menuangkannya kedalam tulisan dalam bentuk skripsi dengan

judul : IMPLEMENTASI PASAL 7 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR


11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI

POLRESTA PONTIANAK KOTA.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana Bentuk

Implementasi Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak Di Polresta Pontianak Kota?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini antara

lain:

1. Untuk mengetahui Implementasi

Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana di Polresta Pontianak Kota.


2. Untuk mengetahui apakah

pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah dilaksanakan secara

optimal oleh aparat penegak hukum.

3. Untuk mengetahui faktor yang

menghambat pelaksanaan diversi sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Pontianak Kota.

D. Kerangka Pemikiran

a. Tinjauan Pustaka

Istilah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) telah menjadi

istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan

dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Criminal justice system sebagai

pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.

“Adapun peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku

sosial”1.

Dalam pemerintahan kedudukan Polri sebagai alat negara yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang kepolisian baik secara preventif dan

represif dalam rangka Criminal Justice System. Tugas Pokok Polri, melalui
1
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996 ) Hal. 15
Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, dalam

Pasal 13 menjalankan tugas pokoknya yang meliputi :

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat’’.2

Sebagai anggota kepolisian menjalankan tugas dan fungsinya selalu

berpegang teguh pada aturan hukum dan undang-undang yang berlaku di Negara

Republik Indonesia. Dasar penegakan hukum yang dilakukan oleh anggota Polri

mengacu pada KUHAP dan KUHP, berkaitan dengan tindak pidana yang

dilakukan anak Polri dalam hal ini penyidik menggunakan regulasi hukum yang

ada yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak.

Untuk dapat disebut anak maka seseorang harus pada batas usia bawah

yakni 0 (nol) tahun termasuk masih dalam kandungan sampai batas usia

maksimum 18 tahun dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.

Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang dimaksud dengan anak adalah “seorang yang belum berusia 18

2
Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. (Jakarta: Fokus Media, 2003) Hal.3
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.3 Jadi yang

dimaksud belum dewasa (di bawah umur) berdasarkan pasal 330 KUHPerdata

adalah belum penuh berumur 21 tahun dan belum pernah kawin.

Terhadap anak sebagai pelaku kejahatan sering didengar dengan istilah

kejahatan anak atau Juvenile Delinquency. Secara etimologi Juvenile Delinqueny

berasal dari bahasa latin, “Juvenillis” yang berarti anak-anak, anak muda,

karakteristik pada masa muda, sifat-sifat remaja. “Delinquent” yang berarti

terabaikan, mengabaikan yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial,

criminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, dll.4

Kartini Kartono memberikan pengertian Juvenile Delinquency sebagai

berikut :

Juvenile Delinquency ialah perilaku jahat/ dursila, atau kejahatan/


kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada
anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial
sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.5

Romli Atmasasmita memberikan rumusan sebagai berikut :

“Juveline Delinquenci ialah setiap perbuatan/ tingkah laku seseorang anak


dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap
norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan
pribadi seseorang anak yang bersangkutan”. 6

3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
4
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta, Rajawali Pers, 1992 ) Hal 7
5
I b i d Hal 8
6
Romli gAtmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak Remaja, (Bandung: Armico 1983) Hal
40
Menurut Bimo Walgito kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Juvenile

delinquency adalah “tiap perbuatan, bila perbuatan itu dilakukan oleh orang

dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Jadi perbuatan yang melanggar

hukum yang dilakukan oleh anak, khusus anak remaja dinamakan kenakalan”.7

Kemudian Bismar Siregar menyatakan bahwa “sesungguhnya tidak ada

pengertian tertentu mengenai kejahatan anak yang ada ialah perbuatan

pelanggaran hukum dilakukan oleh seorang, mungkin ia seorang dewasa atau

seorang anak. Jadi hanya perbedaan siapa pelaku”.8

Selanjutnya dalam Undang-undang Peradilan Anak Nomor 3 Tahun 1997,

disebutkan definisi anak pelaku kejahatan. Dalam pasal 1 (2) diise butkan bahwa :

1. Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak

pidana

2. Anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan

yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik bagi peraturan

perundang-undangan maupun bagi peraturan hukum lainya yang

peka dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (patologi).


9

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 juga disebutkan bahwa

Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan

7
Bimo Walgito, Kenakalan Anak ( Juvenile Delinquency), (Yogyakarta: Fakultas Psykologi
UGM, 1982) Hal 2
8
Bismar Siregar, Masalah Penahanan dan Hukuman Terhadap kejahan Anak. Majalah Hukum
dan Pembangunan No.4 Tahun x, 1980.Hal 340
9
Enam Undang-undang, (Jakarta: CV. Eka Jaya, 2005) Hal 262
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi

tindak pidana.

Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian dan pendapat para sarjana

diatas bahwa juvenile delinquency adalah suatu perbuatan anak-anak yang

melanggar norma-norma sosial, hukum dan mengganggu ketertiban masyarakat.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

“Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu


masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegitan perlindungan
anak”.10

Menurut Undang-undang nomor 11 tahun 2012 perlindungan anak adalah

“segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasn dan

diskriminasi.

Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa “hukum

bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam

masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap

kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai

10
Ibid Hal 33
kepentingan di lain pihak”.11 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan

kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk

menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi”12

Menurut Satijipto Raharjo, “Perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan

perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-

hak yang diberikan oleh hukum”.13

Tanpa ada terkecuai perlindungan hukum harus tetap diberikan baik

kepada korban, saksi maupun pelaku tindak pidana, terlebih terhadap anak-anak

sebagai perwujudan dari Hak Asasi Manuasia.

Perlindungan hukum terhadap hak-hak tersangka, terlebih terhadap

tersangka anak telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dalam Pasal 18 “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku

tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”.

Selain itu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak juga mengisyaratkan untuk memberi perlindungan kepada

hak-hak anak sebagai tersangka atau pelaku tindak pidana sesuai dengan pasal 3

yakni :

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak :

a. diperlakukan secara manusiawi dengan


memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. dipisahkan dari orang dewasa;

11
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000) Hal 53.
12
I b i d Hal 69
13
I b i d Hal 54
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara
efektif;

d. melakukan kegiatan rekreasional;

e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan


lain yang kejam, tidak manusiawi, serta
merendahkan derajat dan martabatnya;

f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali


sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling
singkat;

h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak


yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum;

i. tidak dipublikasikan identitasnya;

j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan


orang yang dipercaya oleh Anak;

k. memperoleh advokasi sosial;

l. memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;

n. memperoleh pendidikan;

o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan


perundang-undangan.

Selain itu dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Peradilan Pidana Anak mengisyarakatkan hak-hak anak dalam sistem

peradilan pidana yakni “ Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana

dimasksud pada ayat (2) huruf a dan b wajib dilakukan upaya Diversi”.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan

pidana ke proses di luar peradilan pidana. Kemudian Pasal 6 Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Pidana Anak Diversi dilakukan

berdasarkan tujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak,

menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari

perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan

menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Tidak semua perkara pidana yang dilakukan terhadap anak dapat

dilakukan upaya diversi. Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “diversi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan

diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun dan bukan merupakan

pengulangan tindak pidana”.

3. Kerangka Konsep

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dapat dicela dan terdapat

sanksi yang mengatur larangan-laranagan atau perbuatan pidana yang tidak boleh

dilakukan oleh seseorang baik secara sadar ataupun karena kealpaannya sehingga

menimbulkan kerugian pada pihak lain. Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh

orang dewasa, namun tindak pidana juga telah dilakukan oleh anak.
Menurut hukum Positif di negara Indonesia anak merupakan seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk yang berada di dalam

kandungan.

Meskipun dikategorikan sebagai seorang anak menurut hukum positif di

Indonesia bukan berarti anak tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatan

pidana yang dilakukkannya. Pertanggungjawaban pidana mengandung arti bahwa

seseorang yang melakukan perbuatan pidana harus menanggung akibat hukum

yang ditimbulkannya. Namun sebagai anak sudah tentu dalam menangani perkara

hukum yang ditimbulkannya tentu tidak sama dengan penanganan terhadap

perkara hukum yang ditimbulkan oleh orang yang telah dewasa.

Penegakan hukum terhadap anak yang berperkara dengan hukum lebih

mengedepankan hak-hak anak yang diatur oleh Undang-undang. Salah satu hak

anak yang berperkara dengan hukum adalah wajib untuk dilakukan upaya diversi

dengan pendekatan restoraktif justisce. Diversi merupakan suatu pendekatan

penyelesaian perkara pidana anak di luar jalur persidangan, dengan kata lain

adalah upaya kekeluargaan dalam menyelesaikan perkara anak yang berhadapan

dengan hukum. Meskipun demikian saat ini masih terdapat perkara-perkara anak

yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan cara diversi sehingga

perkaranya sampai ke tahap sidang pengadilan.

Perkara-perkara anak melawan hukum yang tidak dapat diselesaikan

melalui jalur diversi tentu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya dapat

disebabkan faktor pidana yang dilakukan oleh anak itu sendiri yang dikategorikan
pidana berat dengan ancaman pidana diatas 7 tahun ataupun perbuatan pidana

yang dilakukan oleh anak tersebut sudah dilakukan berulang kali serta dapat juga

dipengaruhi oleh faktor penegak hukumnya yang belum secara optimal

mengusahaan penyelesaian perkara melalui jalur diversi.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang di kemukakan diatas, maka penulis merumuskan

hipotesis sebagai jawaban sementara atas masalah penelitian yang harus

dibuktikan kebenarannya. Adapun rumusan hipotesis tersebut adalah sebagai

berikut:

Bahwa Implementasi Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Belum Dilaksanakan Secara Optimal Oleh

Pihak Kepolisian Resort Kota Pontianak Kota Karena Masih Banyaknya Perkara

Anak Yang Diteruskan Hingga Ke Sidang Pengadilan.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Empiris dengan

pendekatan Deskriptif Analisis, yaitu suatu proses penelitian yang dilakukan

dengan menggambarkan dan menjelaskan gejala-gejala yang tampak pada saat

penelitian dilakukan. Menurut Hadari Nawawi :

“Metode deskriptif yaitu suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki


dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian
(seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak sebagaimana mestinya”.14

1. Bentuk Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu suatu kegiatan

penelitian yang dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur,

peraturan perundang-undangan serta pendapat para sarjana dan bahan-

bahan sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini. Menurut

Koentjaraningrat ‘‘studi pustaka merupakan cara pengumpulan data

dan informasi dengan bantuan macam macam materi terdapat di ruang

perpustakaan, misalnya dalam bentuk sejarah, koran, naskah, catatan

catatan, kisah sejarah, dokumen dan sebagainya yang relevan dengan

penelitian’’.15

b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu bentuk penelitian yang

dilakukan dengan cara melakukan penelitian secara langsung ke

lapangan, guna mendapatkan dan mengumpulkan data serta mengamati

data yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.

14
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987)
hal 63
15
Koentjaraningrat. Metode Penelitian Masyarakat. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1983 )
Hal 81.
2. Teknik dan Alat Pengumpul Data

a. Teknik Komunikasi Langsung, yaitu Kontak Langsung dengan sumber

data melalui wawancara (interview) dengan alat pengumpul data yang

digunakan adalah daftar wawancara.

b. Teknik Komunikasi Tidak Langsung, yaitu mengadakan kontak tidak

langsung dengan sumber data dan alat pengumpul data yang

dipergunakan adalah angket (Kuesioner).

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi merupakan sumber data dalam suatu penelitian, dan dalam

penelitian ini yang menjadi populasi adalah : Anggota Polri Unit PPA Polresta

Pontianak Kota dan Tersangka Anak yang dilaporkan di Unit PPA Polresta

Pontianak Kota, Korban Tindak Pidana yang dilakukan oleh anak yang dilaporkan

di Polresta Pontianak Kota.

b. Sampel

Sampel merupakan unit populasi yang berperan sebagai sumber data

dalam penelitian ini. Menurut pendapat Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan:

“Pada prinsipnya tidak ada peraturan yang ketat untuk secara mutlak berapa

persen sampel tersebut harus diambil dari Populasi Namun pada umumnya orang
berpendapat bahwa sampel yang berlebihan itu lebih baik dari pada kekurangan

sampel (over sampling is always better than under sampling)”.16

Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini, adalah :

1. 1 (satu) Penyidik Unit Perlindungan Anak dan Perempuan di

Polresta Pontianak Kota.

2. 8 (delapan) Penyidik Pembantu Unit Perlindungan Anak dan

Perempuan di Polresta Pontianak Kota.

3. 2 (dua) Pegawai BAPAS Kota Pontianak.

4. 5 (lima) Orang tua anak yang berkonflik dengan hukum yang

dilaporkan di Polresta Pontianak Kota.

5. 5 (lima) Orang tua korban tindak pidana yang dilakukan oleh anak

yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota.

16
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) Hal 47
BAB II

IMPLEMENTASI PASAL 7 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 11


TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

A. Tinjauan Tentang Implementasi

Secara etimologi “implementasi” mengandung pengertian bahwa

mengimplementasikan atau melaksanakan. Implementasi merupakan penyediaan

sarana untuk melaksanakan sesuatu yang mencapai tujuan terhadap sesuatu.

Menurut Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab,

implementasi secara etimologi adalah:

“Konsep Implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.


Dalam kamus Webster, to implement (mengimplementasikan) berarti to provide
the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu);
dan ti give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap
sesuatu).17

Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah

rencana yang disusun secara matang dan terperinci. Pelaksanan suatu undang-

undang dapat diartikan sebagai penerapan atau mengimplementasikan suatu

aturan yang berlaku. Pelaksanaan suatu undang-undang dalam tatanan aturan

hukum merupakan kehendak yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atasan atau

lembaga-lembaga yang berada di tingkat pusat untuk mendapatkan kepatuhan dari

lembaga atau pejabat di tingkat yang lebih rendah atau di daerah dalam upaya

memberikan pelayanan atau mengubah prilaku masyarakat atau kelompok sasaran

dari pelaksanaan undang-undang tersebut.

17
Sholihin Abdul Wahab, Public Policy: Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisis
Kebijakan Pemerintah, (Surabaya: Airlangga university, 2004) halaman 64
Menurut Mazmanian dan Sebastiar juga mendefinisikan Implfementasi

sebagai berikut: “Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar,

biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-

perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan

peradilan”.18

Selain pengertian Implementasi tersebut diatas, Van Meter dan Van Horn

memberikan definisi tentang Implementasi, yaitu: “Implementasi adalah tindakan-

tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu /pejabat atau kelompok

pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah

digariskan dalam keputusan kebijakan”.19

Menurut Grindle yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab, mengatakan

bahwa :

“Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar


bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan
politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi,
melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan, dan
siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak
terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang
penting dari keseluruhan proses kebijakan “.20

Pengertian lain mengenai Implementasi menurut Nurdin Usman dalam

bukunya yang berjudul Kontek Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan

pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan sebagai berikut :

“Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya

18
Ibid hal 64
19
Ibid
20
Ibid
mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu

kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”. 21

Melihat pendapat tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

pengertian implementasi adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber-

sumber yang ada di dalam suatu negara atau pemerintahan baik individu ataupun

kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh

pembuatan kebijakan. Jadi agar pelaksanaan kebijakan suatu undang-undang

dapat tercapai tujuannya serta dapat diwujudkan, harus dipersiapkan dengan

sebaik-baiknya. Proses pelaksanaan atau implementasi dari undang-undang

diserahkan kepada lembaga pemerintah.

B. Tinjauan Tentang Undang-Undang

Indonesia adalah Negara hukum dan memiliki konstitusi dasar Negara

yang sering dikenal dengan Undang-undang Dasar 1945 yang ditempatkan

sebagai sebuah dasar hukum (Fundamental Law) atau sumber pembuatan hukum-

hukum lainnya dan sebagai higher law Undang-undang Dasar 1945 merupakan

hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.22

Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut

21
Usman Nurdin, Konteks Implementasi Berbaisis Kurikulum, (Yogyakarta: Bintang
Pustaka, 2002) halaman 70
22
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV , (Jakarta: Disertasi Ilmu Hukum
Fakultas Pasca sarjana Universitas Indonesia, 1990) halaman 287
sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu Negara sebaiknya tidak disebut

sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma

fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan

norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.23

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi

membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur

tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hirarki tata hukum

Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,

struktur tata hukum Indonesia adalah.24

1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).


2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan.
3) Formellgesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung en AutonomeSatzung: Secara hirarki mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali

disampaikan oleh Notonagoro.25 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)

merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum

positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan

untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai

Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan

23
Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehreals System der rechtlichen Grundbegriffe,
Einsiedeln /Zurich/Koln: Benziger, 1948, halaman 31
24
Op cit, halaman 287
25
Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental
Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina
Aksara, 1988), halaman 27
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.26

Kemudian H. Soehino, memberikan pengertian istilah perundang-

undangan sebagai berikut:

1. Pertama, berarti proses atau tata cara pembentukan peraturan-peraturan


perundangan Negara dari jenis dan tingkat tertinggi yaitu undang-undang sampai
yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari kekuasaan
perundang-undangan.
2. Kedua, berarti keseluruhan produk peraturan-peraturan
perundangan tersebut. Pengertian perundang-undangan dalam hukum positif
Indonesia disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004, yang menyatakan bahwa “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan
mengikat secara umum”.27

Undang-undang yang merujuk pada jenis atau bentuk peraturan yang

dibuat oleh Negara, berasal darikata “wet” yang memiliki dua macam arti yaitu

“wet in formele zin” dan “wet in materiele zin” yaitu pengertian undang-undang

yang didasarkan pada bentuk dan cara terbentuknya serta pengertian undang-

undang yang didasarkan pada isi atau substansinya.”28

Menurut Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa “pembedaan keduanya

dapat dilihat hanya dari segi penekanan atau sudut penglihatan, yaitu suatu

undang-undang yang dapat dilihat dari segi materinya atau dilihat dari segi

bentuknya yang dapat dilihat sebagai dua hal yang sama sekali terpisah”29

Berbeda dengan pendapat A Hamid S Attamini yang menyatakan bahwa

kata “wet” tidak tepat diterjemahkan dengan Undang-undang, tidak tepat apabila

26
Op cit. Halaman 309
27
Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan
Daerah, Yogyakarta: UII Press, 2005
28
Amiroedidin Syarif. Perundang-undangan (Dasar, Jenis, Teknik Membuatnya). Rineka
Cipta. Bandung. 1997. Hal 4-6
29
Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-undang. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) halaman 34
kata “wet in formele zin” diterjemahkan dengan undang-undang dalam arti

formalataupun kata-kata “wet in materiele zin“ dengan undag-undang dalam arti

material”.30

Pemakaian istilah Perundangan berasal dari kata “Undang” dengan

dibubuhi awalan per- dan -an. Kata “Undang” berkonotasi lain dari kata

“Undang-undang”. Yang dimaksud dengan konteks penggunaan istilah ini adalah

kata yang berkaitan dengan “undang-undang “ bukan kata “undang” yang

mempunyai konotasi lain.31

Kemudian dikemukakan A Hamid S Attamini mengenai peraturan

perundang-undangan disini diartikan setiap peraturan dan ketetapan atau

keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh alat-alat

perlengkapan negara yang berwenang dan mengikat umum.32

C. Tinjauan Tentang Efektifitas Hukum

Secara konsepsional, arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang

mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai

tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian

pergaulan hidup.33

30
A Hamid S. Attamini. Peranan Keputusan Presiden Indonesia Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, (Jakarta: Disertasi UI, 1999) halaman 197
31
Machmud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Jurnal MK, Vol.5, 2010) halaman 115
32
Op.Cit. hal 200
33
Soerjono Soekanto, Op Cit halaman 9
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang

mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,

sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.

Kata efektivitas pada dasarnya berasal dari kata efek yang berarti

pengaruh yang duitimbulkan oleh sebab, akibat atau dampak. Kemudian kata

efektif yang berarti berhasil. Sehingga efektivitas memiliki pengertian ketepatan

guna, hasil guna, menunjang tujuan. 34

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas hukum

ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk

para penegak hukumnya, sehingga dikenal dengan asumsi bahwa “ Taraf

kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu

sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum

tersebut telah mencapai tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan

melindungi m,asyarakat dalam pergaulan hidup.”35

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono

Soekanto sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri

Ada kalanya praktek penegakan hukum dilapangan mendapatkan

pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini disebabkan karena

konsepsi keadilan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan

prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Suatu kebijakan atau tindakan

34
Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,
1994), halaman 128
35
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983)
halaman 7
yang sepenuhnya tidak berdasarkan hukum secara normatif namun bertujuan

mencapai kedamaian dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut

tidak bertentangan dengan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto efektivitas pada elemen hukum itu sendiri

ada pada undang-undang yang mengatur nilai-nilai normatif, ukuran efektivitas

pada elemen ini ada pada :

1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang


kehidupan tertentu sudah cukup sistematis
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang
kehidupan tertentu sudah cukup sinkron secara hirarki dan
horizontal tidak ada pertentangan terhadapnya.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan
yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
mencukupi.
4. Penertiaban peraturan-peraturan tertentu sudah
sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada.36

b. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan termasuk dalam kelompok atau golongan

yang menjadikan panutan terhadap masyarakat. Selain itu kepribadian atau

mentalitas petugas penegak hukum merupakan sebuah peran yang sangat penting

dalam efektivitas penegakan hukum, karena jika peraturan telah baik dan

berkualitas, namun penegak hukumnya yang tidak berkualitas atau baik dapat

mempengaruhi proses penegakan hukum.

Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga

aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik, kehandalan disini

36
Ibid
berkaitan dengan keterampilan dan profesionalitas dari aparat penegak hukum itu

sendiri.

Menurut Soerjono Soekanto, masalah yang berpengaruh terhadap

efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal

berikut:

1. Sampai sejauh mana petugas terkait oleh peraturan-


peraturan yang ada.
2. Sampai batas mana petugas diperkenankan
memberikan kebijaksanaan.
3. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh
petugas kepada masyarakat.
4. Sampai sejauh mana derajat singkronisasi
penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga
memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.37

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau Fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang

berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, dan peralatan yang memadai

dst. Sarana dan fasilitas memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum.

Soerjono Soekanto menerangkan bahwa efektivitas elemen-elemen

tertentu dari prasarana, dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang

menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat

di tempat atau di lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut antara lain:

1. Prasarana yang rusak harus diperbaiki


2. Prasarana yang tidak ada harus diadakan
3. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi
perlu ditingkatkan lagi fungsinya
4. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan
fungsinya

37
Ibid
5. Prasarana yang kurang harus ditambah. 38

d. Faktor Masyarakat

Warga masyarakat atau sedikit banyaknya kelompok masyarakat

memiliki kesadaran hukum sehingga adanya derajat kepatuhan terhadap hukum

merupakan indikator dari efektivitasnya penegakan hukum. Elemen pengukur

efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat, antara lain:

1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi


walaupun peraturan sudah baik.
2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi
peraturan walaupun peraturan sudah baik dan petugas sangat baik
3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi
peraturan walaupun peraturan sudah baik dan petugas sangat baik
dan fasilitas mencukupi.

Ketiga elemen tersebut diatas, memberikan pemahaman bahwa disiplin

dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul.

Internalisasi faktor ini ada pada setiap individu yang menjadi elemen terkecil dari

komunitas sosial. Dalam hal ini derajat kepatuhan masyarakat menjadi salah satu

parameter tentang efektivitas hukum, kepatuhan masyarakat terhadap hukum

dapat dimotivasi oleh dua hal yakni pada kondisi internal dan eksternal

masyarakat itu sendiri.

38
Ibid hal 8
e. Faktor Kebudayaan

Menurut Soerjono Soekanto, kebudayaan mempunyai peran dan fungsi

yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur atar

manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan

menentukan sikap.

Menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu

kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat

jdampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam

membimbing ataupun merubah prilaku manusia sehingga menjadi prilaku hukum.


39

Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya

kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat

terhadap hukum. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi

hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektifnya suatu

hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari prilaku

masyarakat.

Sedangkan menurut Bustanul Arifin efektifnya sebuah hukum didukung

oleh 3 pilar, yakni ;

a. Lembaga penegak hukum yang berwibawa dan dapat


diandalkan;
b. Peraturan hukum yang jelas dan sistematis
c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi ”. 40

39
Ibid
40
Zaenuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) halaman 62
Dalam rangka Efektivitas Penerapan Peraturan Perundang-undangan

dalam pelaksanaannya sering dikaitkan dengan pengertian Implementasi.

Impelentasi itu sendiri merupakan adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari

sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci.

D. Tinjauan Tentang Anak

Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat

disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan

seorang wanita yang melahirkan keturunannya, yang dimana keturunan tersebut

secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian berkembang biak di

dalam rahim wanita berupa suatu kandungan dan kemudian wanita tersebut pada

waktunya nanti melahirkan keturunannya.

Definisi anak sendiri terdapat banyak pengertiannya, pengertian tersebut

terdiri dari beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia, diantaranya yaitu:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam Pasal

1 butir 1 dan perubahannya Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

menyebutkan bahwa “anak adalah seseorang yang berlum berusia 18 tahun

termasuk anak yang ada di dalam kandungan”. Sehingga anak yang belum

dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah

mendapatkan suatu perlindungan hukum. Selain terdapat pengertian anak, dalam

undang undang ini terdapat pengertian mengenai anak telantar, anak yang

menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan, anak angkat dan anak asuh.
Selanjutnya berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, mendefinisikan tentang anak sebagai berikut “anak

yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang

telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.

E. Tinjauan Umum Diversi

1. Pengertian Diversi

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Diversi

adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke

proses di luar peradilan pidana.

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama

kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak

yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (President’s Crime Commission)

Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sebelum dikemukakannya istilah

diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti diversi telah ada sebelum

tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak (children’s courts) sebelum

abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi

untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di

Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian

Queensland pada tahun 1963.41

41
Marlina, Penerapan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Peradilan Pidana
Anak, Jurnal Equality, Vol 13 No. 1 Februari 2008, halaman 97
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan

pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih

banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu

pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang

dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk

menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana. United Nations Standard

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing Rules")

(Office of the High Commissioner for Human Rights, 1985) butir 6 dan 11

terkandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak

yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal

seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat baik pemerintah atau

non pemerintah. 42

Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem

peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi protection and

rehabilitation anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai

upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha

pencegahan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil

wewenang diskresi atau di Amerika serikat sering disebut juga dengan istilah

deinstitutionalisation dari sistem peradilan pidana formal.

Konsep diversi dalam perundang-undangan Indonesia sendiri tertuang

dalam Undang-Undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

42
Ibid, hal 98
Konsep Diversi serta konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh

tahun yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok

Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan

Restorative Justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan

tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan

memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan dating. Proses ini

pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi, yaitu

pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan

secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru

bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian

perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah

dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.

Sebagaimana kita ketahui bahwa diversi merupakan wewenang dari

aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil

tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan

tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya.43

Berdasarkan hal tersebut terdapat suatu kebijakan apakah pekara tersebut

diteruskan atau dihentikan. Apabila perkara tersebut diteruskan, maka kita akan

berhadapan dengan sistem pidana dan akan terdapat sanski pidana yang harus

dijalankan. Namun apabila perkara tersebut tidak diteruskan, maka dari awal

tingkat penyidikan perkara akan dihentikan guna kepentingan bagi kedua belah

pihak dimana prinsipnya memulihkan hubungan yang terjadi karena tindak pidana

43
Ibid, hal 98
untuk kepentingan masa depan bagi kedua belah pihak. Hal ini yang menjadi

prinsip mengapa dilakukan diversi khusunya bagi tindak pidana anak, dimana

untuk mewujudkan kesejahtraan bagi anak itu sendiri. Melalui diversi dapat

memberikan kesempatan bagi anak untuk menjadi sosok baru yang bersih dari

catatan kejahatan dan tidak menjadi resedivis.

2. Konsep Diversi

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan

kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non

formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya

memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak

pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum.

Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan

dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat (appropriate

treatment) tiga jenis pelaksanaan program diversi dilaksanakan yaitu :

a. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control


orintation) yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam
tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan
ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku
menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan
adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku


(social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk
mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan
pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri
keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
c. Menuju proses restroative justice atau perundingan
(balanced or restroative justice orientation), yaitu melindungi
masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab
langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan
bersama antara korban pelaku dan masyarakat, pelaksanaanya semua
pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai
kesepakatan tindakan pada pelaku. 44

Proses diversi dilakukan dalam upaya melakukan kesempatan untuk

mengeluarkan atau mengalihkan suatu kasus tergantung landasan hukum atau

kriteria yang ada dalam prakteknya. Di lingkungan juga terlihat ada suatu model

informal yang tidak meletakan kasus satu persatu secara formal (seperti polisi

memutuskan untuk tidak melanjutkan penyidikan, berpikir untuk bedamai)

keadaan ini merupakan satu tindakan untuk melakukan perubahan, pengembalian,

penyembuhan pada korban dan pertanggungjawaban pelaku. Secara konteks

variabel sepeti pengorganisasian, kedudukan dan faktor situasi juga relevan dalam

pelaksanaan diversi.

3. Tujuan Diversi

Tujuan utama dalam pelaksanaan diversi adalah untuk mendapatkan cara

menangani pelanggara hukum di luar pengadilan atau sistem peradilan formal.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan untuk menghindari efek negatif

terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem

peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum di dasari oleh

kewenangan aparat penegak hukum yang disebut dengan diskresi. 45

Menurut konsep diversi dalam penanganan kasus anak di Kepolisan yang

berhadapan dengan hukum, karena sifat avonturir anak, pemberian hukuman

44
Ibid, hal 5-6
45
Ibid, hal 2
terhadap anak bukan semata-mata untuk menghukum tetapi mendidik kembali dan

memperbaki kembali. Menghindarkan anak dari eksplolasi dan kekerasan, akan

lebih baik apabila diversi dan apabila dihukum maka tidak efektif. Konsep diversi

juga didasarkan pada kenyataan proses peradilan pidana terhadap anak pelaku

tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya

daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan

stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik

menghindarkannya keluar sistem peradilan pidana.

Diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu

kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali

melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat diversi

berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan

tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak

hukum.

Diversi sebagai usaha mengajak masyarkat untuk taat dan menegakan

hukum negara, pelaksanaanya tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai

prioritas utama disamping pemberian kesempatan kepada pelaku untuk

menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi, kerja sosial atau pengawasan orang

tuanya. Diversi tidak bertujuan mengabadikan hukum dan keadailan sama sekali,

akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk

membuat orang mentaati hukum.

Prinsip keadilan tetap dijunjung tinggi dalam penegakan hukum tidak

terkecuali saat penerapan prinsip-prinsip diversi dilaksanakan. Keadilan


menempatkan kejujuran dan perlakuan yang sama terhadap semua orang. Petugas

dituntut tidak membeda-bedakan orang dengan prinsip tindakan yang berubah dan

berbeda. Pelaksanaan diversi bertujan mewujudkan keadilan dan penegakan

hukum secara benar dengan meminimalkan pemaksaan pidana.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Analisis dan Pengolahan Data

Di dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian

diskriptif analisis dengan fokus masalah dititik beratkan kepada bagaimana

“Implementasi Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Rangka Pelaksanaan Diversi Terhadap

Perkara Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Dengan Ancaman Penjara

Dibawah 7 (Tujuh) Tahun Dan Bukan Merupakan Pengulangan Tindak Pidana

oleh pihak Kepolisian Resort Kota Pontianak Kota”.

Sebagai upaya pembuktian hipotesis, penulis berusaha menganalisa data yang

diperoleh melalui penyebaran angket / kuisioner dan pelaksanaan wawancara


kepada responden, untuk selanjutnya dianaliss dengan mempergunakan teknik

analisis kuantitatif.

Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini, adalah :

6. 1 (satu) Penyidik Unit Perlindungan Anak dan Perempuan di Polresta

Pontianak Kota.

7. 5 (lima) Penyidik Pembantu Unit Perlindungan Anak dan Perempuan

di Polresta Pontianak Kota.

8. 2 (dua) Pegawai BAPAS Kota Pontianak.

9. 5 (lima) orang tua anak yang berkonflik dengan hukum yang dilaporkan

di Polresta Pontianak Kota.

10. 5 (lima) orang tua korban tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang

dilaporkan di Polresta Pontianak Kota.

Untuk mengawali analisis data dalam penelitian ini, maka penulis tampilkan data

sebagai berikut pelaku tindak pidana anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak

Kota:

TABEL 1

PELAKU TINDAK PIDANA ANAK YANG DILAPORKAN

DI POLRESTA PONTIANAK KOTA

No Alternatif Frekuensi

1. 2013 24

2. 2014 21
3. 2015 18

Jumlah 63

Sumber Data: Polresta Pontianak Kota

Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 terdapat

sebanyak 24 kasus tindak pidana dilakukan anak yang dilaporkan di Polresta

Pontianak Kota, kemudian pada tahun 2014 terdapat sebanyak 21 kasus tindak

pidana dilakukan anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota, selanjutnya

pada tahun 2015 terdapat 18 tindak pidana dilakukan anak yang dilaporkan di

Polresta Pontianak Kota.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa di wiilayah Pontianak

khususnya di wilayah Hukum Polresta Pontianak Kota terdapat tindak pidana

yang dilakukan oleh anak, pada tahun 2013 berjumlah 24 kasus, tahun 2014

berjumlah 28 kasus dan pada tahun 2015 berjumlah 18 kasus.

Selanjutnya untuk mengetahui responden adalah sebagai penyidik pembantu yang

menangani perkara anak pelaku tindak pidana dapat diketahui dari data yang

penulis sajikan pada tabel 2 sebagai berikut:

TABEL 2

PENYIDIK PEMBANTU YANG MENANGANI KASUS ANAK PELAKU

TINDAK PIDANA DI POLRESTA PONTIANAK KOTA

n=5

No Alternatif Frekuensi %

1. Ya, Pernah 5 100


2. Tidak Pernah 0 0

Jumlah 5 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 2 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 5 orang

atau 100% responden menerangkan bahwa pernah menangani kasus atau perkara

anak sebagai pelaku tindak pidana, kemudian tidak terdapat satu orang responden

pun yang menerangkan bahwa tidak pernah menangani perkara atau kasus anak

pelaku tindak pidana di Polresta Pontianak Kota.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa seluruh responden Penyidik

Pembantu Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polresta Pontianak Kota

pernah menangani kasus atau perkara anak sebagai pelaku kejahatan atau tindak

pidana.

Selanjutnya, untuk mengetahui apakah pelaksanaan diversi bagi tersangka anak

pelaku tindak pidana atau kejahatan yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota

dilakukan atau tidak dapat di lihat dari data yang pelunis sajikan pada tabel 3

sebagai berikut:

TABEL 3

PELAKSANAAN DIVERSI BAGI TERSANGKA ANAK PELAKU TINDAK

PIDANA ATAU KEJAHATAN YANG DILAPORKAN

DI POLRESTA PONTIANAK KOTA

No Alternatif Frekuensi %

1. Di Lakukan 5 100
2. Tidak Di Lakukan 0 0

N=5 5 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 5 orang

atau 100% responden menyatakan bahwa pelaksanaan Diversi dilaksanakan

terhadap anak sebagai tersangka di Polresta Pontianak Kota dan tidak terdapat

satu orang responden pun yang menyatakan bahwa Diversi tidak dilaksanakan

terhadap tersangka anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pelaksanaan Diversi dan

terhadap anak sebagai tersangka di lakukan oleh Penyidik Polresta Pontianak

Kota.

Selanjutnya untuk mengetahui apakah seluruh tindak pidana anak yang dilaporkan

di Polresta Pontianak Kota dilakukan upaya Diversi dapat diketahui dari data yang

penulis tampilkan pada tabel 4 sebagai berikut:

TABEL 4

PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP KASUS-KASUS TINDAK PIDANA

ANAK YANG DILAPORKAN DI

POLRESTA PONTIANAK KOTA

No Alternatif Frekuensi %

1. Di Lakukan Seluruhnya 0 0
2. Tidak Di Lakukan Seluruhnya 10 100

N=10 10 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 10 orang

atau 100% responden menerangkan bahwa tidak seluruhnya dari kasus-kasus

tindak pidana anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota dilakukan upaya

Diversi, kemudian tidak terdapat satu orang responden pun yang menerangkan

bahwa diversi dilakukan terhadap semua kasus-kasus tindak pidana anak yang

dilaporkan di Polresta Pontianak Kota.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa tidak seluruhnya kasus-kasus

tindak pidana anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota dilakukan upaya

Diversi oleh Penyidik Kepolisian.

Selanjutnya untuk mengetahui penyebab tidak dilakukannya upaya diversi

terhadap kasus-kasus tindak pidana anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak

Kota dapat diketahui dari data yang penulis tampilkan pada tabel 5 sebagai

berikut:

TABEL 5

SEBAB TIDAK DILAKUKANNYA UPAYA DIVERSI TERHADAP

TINDAK PIDANA ANAK YANG DILAPORKAN DI

POLRESTA PONTIANAK KOTA

n=7

No Alternatif Frekuensi %
1. Ancaman Hukuman Lebih dari 7 Tahun, 7 100

Pengulangan Tindak Pidana

2. Tidak Memiliki Kuasa Hukum 0 0

3. Tidak Memiliki Uang 0 0

Jumlah 7 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 7 orang

atau 100% responden dari penyidik pembantu Kepolisian dan pegawai Bapas

menerangkan bahwa sebab tidak dilakukannya upaya diversi terhadap tindak

pidana anak yang di laporkan di Polresta Pontianak Kota adalah karena ancaman

hukuman dari kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak lebih dari 7

tahun dan pelaku anak telah berulang kali melakukan tindak pidana, tidak terdapat

satu orang responden pun yang menerangkan bahwa sebab tidak dilakukan upaya

diversi terhadap tersangka anak karena sebagai tersangka anak tidak memiliki

kuasa hukum ataupun tidak memiliki uang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa penyebab tidak dilakukan

upaya diversi oleh penyidik Kepolisian Resort Kota Pontianak terhadap tersangka

anak dalam tindak pidana anak di karenakan anak telah berulangkali melakukan

tindak pidana dan ancaman hukuman tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan

anak lebih dari 7 tahun seperti kasus pembunuhan dan narkotika.


Selanjutnya untuk mengetahui usia rata-rata anak yang melakukan tindak pidana

dan dilakukan upaya diversi terhadap kasus tersebut dapat dilihat dari data pada

tabel 6 sebagai berikut:

TABEL 6

USIA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA YANG DILAPORKAN

DI POLRESTA PONTIANAK KOTA

No Alternatif Frekuensi %

1. 5-10 Tahun 0 0

2. 10-15 Tahun 0 0

3. 15-18 Tahun 10 30

N=10 10 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 6 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 10 orang

atau 100% responden menerangkan bahwa usia anak sebagai pelaku tindak pidana

rata-rata berumur 15 – 18 tahun. Tidak terdapat satu orang atau responden yang

menyatakan bahwa usia mereka pada saat melakukan kejahatan di bawah usia 15

tahun.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa usia anak yang melakukan kejahatan

atau perbuatan pidana berusia antara 15-18 tahun, dalam usia tersebut anak dalam

rentang mengenyam pendidikan SMP – SMA.

Selanjutnya untuk mengetahui pelaksanaan pemeriksaan atau penyidikan yang

dilakukan terhadap anak pelaku tindak pidana dalam pelaksanaan upaya diversi

telah menggunakan ruangan khusus anak dan tidak di gabungkan dengan

pemeriksaan atau penyidikan orang dewasa dapat di lihat dari tabel 7 sebagai

berikut:

TABEL 7

PEMERIKSAAN / PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK PADA

RUANG KHUSUS ANAK DI POLRESTA

PONTIANAK KOTA

n=7

No Alternatif Frekuensi %

1. Dilakukan di Ruang Khusus Anak 7 100

2. Dilakukan di Luar Ruang Khusus Anak 0 0

Jumlah 7 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan tabel 7 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 7 orang atau 100%

responden dari Peyidik Pembantu Kepolisian dan Pegawai Bapas menyatakan

bahwa dalam hal pelaksanaan pemeriksaan atau penyidikan di lakukan di ruang


khusus anak-anak. Tidak terdapat responden yang menyatakan bahwa proses

penyidikan terhadap tersangka anak dilakukan di luar ruang khsusus anak.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa proses penyidikan yang

dilakukan oleh pihak Kepolisian telah sesuai dengan penerapan restorative justice

dengan melakukan pemeriksaan / proses penyidikan di ruang khusus anak.

Kemudian untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaan diversi Penyidik ataupun

Penyidik Pembantu meminta saran dan pertimbangan dari pihak Bapas dapat

dilihat dari data yang penuli sajikan pada tabel 8 sebagai berikut:

TABEL 8

SARAN DAN PERTIMBANGAN DARI PIHAK BAPAS DALAM

PELAKSANAAN DIVERSI

n=7

No Alternatif Frekuensi %

1. Ya 7 100

2. Tidak 0 0

Jumlah 7 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 8 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 7 orang

atau 100% responden dari pihak Penyidik Kepolisian dan Pegawai Bapas

menerangkan bahwa dalam pelaksanaan diversi terhadap anak sebagai tersangka

tindak pidana selalu di mintakan pertimbangan dan saran oleh Penyidik ataupun

penyidik Pembantu Kepolisian terhadap Pegawai Bapas, tidak terdapat satu orang
respondenpun yang menerangkan bahwa pertimbangan dan saran dari Pegawai

Bapas tidak diperlukan dalam proses diversi anak pelaku tindak pidana.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa pihak Penyidik ataupun

Penyidik Pembantu Kepolisian dalam hal melakukan upaya diversi selalu

berkoordinasi dan meminta saran dan pertimbangan dari Pegawai Bapas.

Kemudian, untuk mengetahui apakah dalam proses diversi anak sebagai tersangka

pelaku tindak pidana melibatkan orang tua / wali anak dapat dilihat dari data pada

tabel 9 sebagai berikut:

TABEL 9

PELIBATAN ORANG TUA / WALI ANAK PELAKU TINDAK

PIDANA YANG DILAPORKAN

No Alternatif Frekuensi %

1. Ya, Dilibatkan 10 100

2. Tidak Dilibatkan 0 0

N=10 10 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 10 orang atau 100%

responden dalam penelitian ini menerangkan bahwa orang tua / wali anak pelaku

tindak pidana di libatkan dalam proses diversi yang dilakukan Penyidik atau

Penyidik Pembantun Kepolisian, tidak terdapat satu orang respondenpun yang

menerangkan bahwa orang tua / wali anak pelaku tindak pidana tidak dilibatkan

dalam proses diversi yang dilakukan oleh Penyidik dan Penyidik Pembantu

Kepolisian.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa orang tua / wali anak yang

melakukan tindak pidana atau kejahatan selalu di libatkan dalam pelaksanaan

proses diversi.

Selanjutnya, untuk mengetahui apakah korban dari tindak pidana atau kejahatan

yang dilakukan oleh anak juga dilibatkan dalam proses diversi yang dilakukan

oleh Penyidik atau Penyidik Pembantu Kepolisian dapat dilihat dari tabel 10

sebagai berikut:

TABEL 10

PELIBATAN KORBAN DARI TINDAK PIDANA ATAU KEJAHATAN

YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PROSES DIVERSI

No Alternatif Frekuensi %

1. Ya, Dilibatkan 10 100

2. Tidak Dilibatkan 0 0

N=10 10 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 10 di atas, dapat diketahui sebanyak 10 orang atau

100% responden dari penelitian ini menerangkan bahwa korban tindak pidana

atau kejahatan yang dilakukan oleh anak dilibatkan dalam proses diversi yang

dilakukan oleh Penyidik atau Penyidik Pembantu Kepolisian. Tidak terdapat satu

orang responden pun yang menerangkan bahwa korban tindak pidana yang

dilakukan oleh anak tidak dilibatkan dalam pelaksanaan proses diversi.


Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa korban tindak pidana, atas

tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh anak juga dilibatkan dalam

proses diversi yang dilakukan oleh Penyidik ataupun Penyidik Pembantu

Kepolisian.

Selanjutnya untuk mengetahui apakah dalam pelaksanaannya proses diversi selalu

berhasil dilaksanakan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana atau kejatan

dapat dilihat dari tabel 11 sebagai berikut:

TABEL 11

PROSES PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP ANAK OLEH

PENYIDIK ATAU PENYIDIK PEMBANTU

n=7

No Alternatif Frekuensi %

1. Selalu Berhasil Dilaksanakan 0 0

2. Tidak Selalu Berhasil Dilaksanakan 7 10

Jumlah 7 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 11 di atas, dapat diketahui sebanyak 7 orang atau

100% responden Penyidik Kepolisian dan Pegawai Bapas menerangkan bahwa

proses diversi terhadap anak tidak selalu berhasil dilaksanakan, selanjutnya tidak

terdapat satu orang respondenpun yang menerangkan bahwa proses diversi

terhadap anak pelaku tindak pidana selalu berhasil dilaksanakan.


Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam proses diversi yang

dilaksanakan oleh Penyidik ataupun Penyidik Pembantu Kepolisian terhadap anak

pelaku tindak pidana tidak selalu berhasil dilaksanakan.

Kemudian untuk mengetahui kelanjutan perkara anak yang tidak berhasil

dilakukan upaya diversi oleh Penyidik atau Penyidik Pembantu Kepolisian dapat

dilihat dari data yang penulis sajikan pada tabel 12 sebagai berikut:

TABEL 12

PROSES PERKARA ANAK YANG TIDAK BERHASIL DILAKUKAN

UPAYA DIVERSI OLEH PENYIDIK

ATAU PENYIDIK PEMBANTU

n=5

No Alternatif Frekuensi %

1. Di Teruskan Ke Penuntut Umum 5 100

2. Tidak Dilanjutkan Ke Penuntut Umum 0 0

N=5 5 100

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 12 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 5 orang

atau 100% responden dari Penyidik Kepolisian menerangkan bahwa perkara anak

yang tidak berhasil dilakukan upaya diversi oleh Penyidik atau penyidik pembantu

Kepolisian perkaranya di teruskan ke pihak Penuntut Umum, dan tidak terdapat

satu orang responden pun yang menerangkan bahwa perkara tindak pidana yang
dilakukan oleh anak yang tidak berhasil dilakukan proses diversi tidak dilanjutkan

ke Penuntut Umum.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa terhadap perkara tindak pidana

anak yang tidak berhasil dilakukan upaya diversi, pihak Penyidik Kepolisian akan

meneruskan perkara tersebut pada tahap penuntutan dan berkas berkara akan

diserahkan kepada pihak Kejaksaan.

Selanjutnya untuk mengetahui penyebab tidak berhasilnya proses diversi yang

dilakukan terhadap tersangka anak oleh Penyidik Kepolisian dapat di lihat dari

data yang penulis sajikan pada tabel 13 sebagai berikut:

TABEL 13

SEBAB TIDAK BERHASILNYA UPAYA DIVERSI YANG DILAKUKAN

OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN TERHADAP PERKARA

ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

n=7

No Alternatif Frekuensi %

1. Korban Tidak Setuju Dilakukan Diversi 7 0

2. Tidak Memiliki Kuasa Hukum 0 0

3. Tidak Memiliki Uang 0 0

Jumlah 10 10

Sumber Data: Hasil Penelitian Lapangan

Berdasarkan data pada tabel 13 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 7 orang

atau 100% responden yang terdiri dari penyidik pembantu kepolisian dan pegawai
Bapas menerangkan bahwa tidak berhasilnya upaya diversi terhadap tersangka

anak dikarenakan korban dari tindak pidana yang dilakukan anak di setuju

dilakukannya diversi, dan tidak terdapat satu orang respondenpun yang

menerangkan bahwa tidak berhasilnya proses diversi terhadap tersangka anak

dikarenakan tersangka anak tidak di dampingi dengan kuasa hukum ataupun tidak

memiliki uang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa tidak berhasilnya upaya diversi

yang dilakukan oleh penyidik kepolisian terhadap tindak pidana yang dilakukan

oleh anak, dikarenakan korban tidak menginginkan adanya perdamaian atau

persetujuan dari korban dengan kata lain korban menginginkan proses hukum

tetap harus berjalan sebagaimana dengan undang-undang yang mengatur tentang

pelanggaran tindak pidana.

Setelah proses analisis data terhadap responden tersebut di atas, berikut penulis

tampilkan hasil rangkuman wawancara terhadap Penyidik Unit Perlindungan

Perempuan dan Anak Polresta Pontianak Kota sebagai berikut:

1. Unit PPA Polresta Pontianak Kota merupakan satuan unit khusus yang

memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan bagi

masyarakat khususnya bagi perempuan dan anak-anak, tidak hanya

sebagai korban tetapi juga sebagai pelaku kejahatan atau tindak

pidana.

2. Perlindungan yang diberikan terhadap tersangka tindak pidana

khusunya anak sebagai tersangka dilakukan sebagaimana yang telah di

ataru dalam undang-undang yang berlaku di Negara Republik


Indonesia diantaranya undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan anak, Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peralidan Anak.

3. Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peralidan Anak terhadap anak yang melakukan tindak pidana atau

kejahatan wajib untuk dilakukan diversi dan restoraktive justice dalam

penanganan perkaranya. Pelaksanaan diversi tidak berarti

menghilangkan hukuman atau sanksi terhadap anak yang melakukan

tindak pidana melainkan bertujuan untuk menghidarkan anak dari

stigma negatif dari penahanan yang dilakukan. Sanksi yang diberikan

pada anak lebih pada bentuk pengembalian kerugian dalam hal ada

korban dan menimbulkan kerugian baik materil maupun moril,

pelaksanaan rehabilitasi medis dan psikologi, penyerahan kembali

pada orang tua, mengikuti pendidikan atau pelatihan di lemgaga

pendidikan atau LPKS paling lama tiga bulan atau melakukan

pelayanan masyarakat selama 3 bulan.

4. Dalam pelaksanaannya proses diversi tidak selamanya mengalami

keberhasilan, terdapat beberapa tindak pidana yang tidak berhasil

dilakukan diversi, penyebab tidak berhasilnya dilakukannya upaya

diversi dikarenakan korban tindak pidana tidak menginginkannya

adanya perdamaian dan lebih menginginkan untuk dilakukan proses


hukum sebagaimana hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan

yang dilakukan.

5. Pelaksanaan diversi juga tidak selalu dilakukan terhadap tersangka

anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota, tidak dilakukannya

upaya diversi terhadap tersangka anak dikarenakan tersangka telah

berulang kali melakukan tindak pidana atau tindak pidana yang

dilakukan oleh anak di ancam dengan pidana penjara lebih dari tujuh

tahun.

6. Pelaksanaan diversi di Polresta Pontianak Kota telah dilakukan secara

optimal dengan melibatkan pihak-pihak yang berkompeten dalam

perkara pidana yang dilakukan oleh anak diantaranya dengan

melibatkan pegawai Balai Pemasyarakatan (BAPAS), orang tua / wali

anak, korban dan masyarakat.

Selanjutnya penulis juga akan menampilkan rangkuman hasil wawancara terhadap

pegawai Bapas Kota Pontianak sebagai salah satu responden dalam penelitian ini,

sebagai berikut:

1. Bahwa pihak penyidik kepolisian telah melaksanakan upaya diversi

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum secara optimal, namun

masih terdapat beberapa kendala yang masih di hadapi dalam

pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di

antaranya :
- Pihak korban tidak menginginkannya perdamaian dengan anak

sebagai tersangka,

- Pembimbing Kemasyarakatan hanya diberikan waktu selama 3

(hari) untuk melakukan Penelitian Kemasyarakatan untuk nanti

disampaikan kepada Penyidik,

- Sulitnya menemukan keluarga atau orang tua dan tempat tinggal

dari anak yang sedang berkonflik dengan hukum.

2. Pihak kepolisian juga melibatkan pegawai Balai Pemasyarakatan

(BAPAS) untuk melakukan penelitian dan memberikan rekomendasi

dalam pelaksanaan diversi terhadap anak yang bekonflik dengan

hukum.

B. Pembuktian Hipotesis

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data diatas, maka hipotesis yang telah

dikemukakan terdahulu akan dibuktikan kebenarannya sebagai berikut:

1. Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa di wiilayah

Pontianak khususnya di wilayah Hukum Polresta Pontianak Kota

terdapat tindak pidana yang dilakukan oleh anak, pada tahun 2013

berjumlah 24 kasus, tahun 2014 berjumlah 28 kasus dan pada tahun

2015 berjumlah 18 kasus.

2. Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat diketahui bahwa seluruh responden

Penyidik Pembantu Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polresta


Pontianak Kota pernah menangani kasus atau perkara anak sebagai

pelaku kejahatan atau tindak pidana.

3. Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa pelaksanaan Diversi

dan terhadap anak sebagai tersangka di lakukan oleh Penyidik Polresta

Pontianak Kota.

4. Berdasarkan tabel 4 di atas, dapat diketahui bahwa tidak seluruhnya

kasus-kasus tindak pidana anak yang dilaporkan di Polresta Pontianak

Kota dilakukan upaya Diversi oleh Penyidik Kepolisian.

5. Berdasarkan tabbel 5 di atas, dapat diketahui bahwa penyebab tidak

dilakukan upaya diversi oleh penyidik Kepolisian Resort Kota

Pontianak terhadap tersangka anak dalam tindak pidana anak di

karenakan anak telah berulangkali melakukan tindak pidana dan

ancaman hukuman tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan anak

lebih dari 7 tahun seperti kasus pembunuhan dan narkotika.

6. Berdasarkan tabel 6 di atas, diketahui bahwa usia anak yang melakukan

kejahatan atau perbuatan pidana berusia antara 15-18 tahun, dalam usia

tersebut anak dalam rentang mengenyam pendidikan SMP – SMA.

7. Berdasarkan tabel 7 diatas dapat diketahui bahwa proses penyidikan

yang dilakukan oleh pihak Kepolisian telah sesuai dengan penerapan

restorative justice dengan melakukan pemeriksaan / proses penyidikan

di ruang khusus anak.

8. Berdasarkan tabel 8 di atas, dapat diketahui bahwa pihak Penyidik

ataupun Penyidik Pembantu Kepolisian dalam hal melakukan upaya


diversi selalu berkoordinasi dan meminta saran dan pertimbangan dari

Pegawai Bapas.

9. Berdasarkan tabel 9 di atas, dapat diketahui bahwa orang tua / wali anak

yang melakukan tindak pidana atau kejahatan selalu di libatkan dalam

pelaksanaan proses diversi.

10. Berdasarkan tabel 10 di atas, dapat diketahui bahwa korban tindak

pidana, atas tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh anak juga

dilibatkan dalam proses diversi yang dilakukan oleh Penyidik ataupun

Penyidik Pembantu Kepolisian.

11. Berdasarkan tabel 11 di atas, dapat diketahui bahwa dalam proses

diversi yang dilaksanakan oleh Penyidik ataupun Penyidik Pembantu

Kepolisian terhadap anak pelaku tindak pidana tidak selalu berhasil

dilaksanakan.

12. Berdasarkan tabel 12 di atas, dapat diketahui bahwa terhadap perkara

tindak pidana anak yang tidak berhasil dilakukan upaya diversi, pihak

Penyidik Kepolisian akan meneruskan perkara tersebut pada tahap

penuntutan dan berkas berkara akan diserahkan kepada pihak

Kejaksaan.

13. Berdasarkan tabel 13 di atas, dapat diketahui bahwa tidak berhasilnya

upaya diversi yang dilakukan oleh penyidik kepolisian terhadap tindak

pidana yang dilakukan oleh anak, dikarenakan korban tidak

menginginkan adanya perdamaian atau persetujuan dari korban dengan

kata lain korban menginginkan proses hukum tetap harus berjalan


sebagaimana dengan undang-undang yang mengatur tentang

pelanggaran tindak pidana.

Bertitik tolak dari pembuktian hipotesis tersebut diatas, maka hipotesis yang

penulis kemukakan terdahulu dalam penelitian ini, “Bahwa Implementasi Pasal 7

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak Belum Dilaksanakan Secara Optimal Oleh Pihak Kepolisian Resort

Kota Pontianak Kota Karena Masih Banyaknya Perkara Anak Yang Diteruskan

Hingga Ke Sidang Pengadilan”. Adalah Tidak Terbukti.

Adapun kebenaran dari hipotesis tersebut antara lain:

- Bahwa pihak Kepolisian Resort Kota Pontianak Kota telah

mengimplementasikan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Rangka

Pelaksanaan Diversi Terhadap Perkara Anak Yang Melakukan Tindak

Pidana Dengan Ancaman Penjara Dibawah 7 (Tujuh) Tahun Dan Bukan

Merupakan Pengulangan Tindak Pidana secara optimal dengan

mengupayakan penyelesaian perkara di luar jalur persidangan dengan

cara diversi.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berangkat dari uraian di atas yaitu pada bab – bab yang terdahulu, mulai dari

judul, permasalahan, tujuan penulisan, landasan teori, kerangka konsep, hipotesis,

pembahasan dan analisis data maka dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai

berikut :

1. Bahwa terdapat kasus tindak pidana /perbuatan pidana atau kejahatan

yang dilakukan oleh anak dibawah umur di wilayah hukum Polresta

Pontianak Kota, kejahatan yang dilakukan oleh anak dibawah umur

yang dilaporkan di Polresta Pontianak Kota pada tahun 2013 sebanyak

24 kasus, pada tahun 2014 sebanyak 21 kasus, dan pada tahun 2015

sebanyak 18 kasus.

2. Bahwa Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam rangka pelaksanaan

diversi terhadap perkara anak yang diancam pidana dibawah 7 (tujuh)

tahun di Polresta Pontianak Kota telah di implementasikan secara

optimal oleh pihak Kepolisian Resort Kota Pontianak Kota dengan

melibatkan seluruh pihak-pihak yang berkompeten diantaranya pelaku,

orang tua / wali pelaku, korban, pegawai Bapas, pekerja sosial

profesional.
3. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat dari pelaksanaan

diversi diantaranya:

- Pihak korban tidak menginginkannya perdamaian dengan anak

sebagai tersangka,

- Pembimbing Kemasyarakatan hanya diberikan waktu selama 3

(hari) untuk melakukan Penelitian Kemasyarakatan untuk nanti

disampaikan kepada Penyidik,

- Sulitnya menemukan keluarga atau orang tua dan tempat tinggal

dari anak yang sedang berkonflik dengan hukum.

B. SARAN

1. Agar masyarakat dapat berperan aktif dalam memberikan kepedulian

terhadap prilaku anak sebagai bentuk upaya pencegahan terjadinya

kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak, karena salah satu

faktor penyebab anak melakukan tindak pidana atau kejahatan adalah

kurannya perhatian dari lingkungan masyarakat.

2. Agar pihak penegak hukum selalu berada pada koridor nya yakni

Undang-undang dalam setiap proses penegakan hukum yang dilakukan

sehingga esensi penegakan hukum untuk memberikan keadilan dapat di

rasakan bagi seluruh masyarakat.


3. Agar pihak korban terutama orang tua korban dapat lebih memahami dan

memandang pelaku juga sebagai korban tidak langsung dari faktor-faktor

eksternal seperti lingkungan sekitar dan media yang mengakibatkan

pelaku melakukan tindak pidana.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada


Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: UII Press, 2005
Bimo Walgito, Kenakalan Anak ( Juvenile Delinquency), Yogyakarta Fakultas
Psykologi UGM, 1982.
Bismar Siregar, Masalah Penahanan dan Hukuman Terhadap kejahan Anak.
Majalah Hukum dan Pembjangunan No.4 Tahun x, 1980.
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.niversity Pers. 1987.
Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehreals System der rechtlichen
Grundbegriffe, Einsiedeln /Zurich/Koln: Benziger, 1948
------------- Penelitian Terapan. Yogyakarta : Gajah Mada University Pers.1996.
Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali Pers, 1992.
Koentjaraningrat. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1983.
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
1988.
Machmud Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Jurnal MK, Vol.5, 2010
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama. 2008.
M. Ghufran H.Kordi K. Durhaka Kepada Anak “Refleksi mengenai Hak dan
Perlindungan Anak” (Yogyakarta : Pustaka Baru Press, 2015)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah
Fundamental Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan
Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara, 1988)
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan
tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan,
Jakarta: Pradnya Paramita. 1984
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak/ Remaja, Bandung. Armico
1983.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985.
Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
2000.
Sholihin Abdul Wahab, Public Policy: Pengertian Pokok Untuk Memahami dan
Analisis Kebijakan Pemerintah, , (Surabaya: Airlangga university, 2004)
Usman Nurdin, Konteks Implementasi Berbaisis Kurikulum, (Yogyakarta: Bintang
Pustaka, 2002)

Peraturan Perundang-undangan :
Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Fokus Media. Jakarta.
2003.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak

Anda mungkin juga menyukai