PENDAHULUAN
BAB 2
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Anemia aplastik adalah anemia kegagalan sumsum tulang ditandai dengan
adanya pansitopenia (anemia, leukopenia, dan trombositopenia) dengan sebagian
besar kasus terjadi kelainan sumsum tulang hypoplasia. Keluhan dan komplikasi
anemia aplastic disebabkan oleh keadaan sitopenia dengan akibat anemia dan
gejala yang diakibatkannya, infeksi maupun perdarahan. 1,2
2.2 EPIDEMIOLOGI
Dari tahun 1980 sampai tahun 2003 tercatat 235 kasus anemia aplastic
Insidennya adalah 3-6 kasus per 1 juta penduduk pertahun dan insiden meningkat
berdasarkan umur penderita. Anemia aplastic didapat umumnya muncul pada
usia 15 sampai 25 tahun dan lebih kecil muncul setelah usia 60 tahun. Laki-laki
lebih sering terkena anemia aplastik dibandingkan dengan wanita. Kebanyakan
kasus anemia aplastic adalah kasus berat. Angka bertahan hidup dari 3 bulan, 2
tahun dan 15 tahun adalah 73%,57%, dan 51%. 1,2,3
2.3 ETIOLOGI
Sebagai penyebab dari anemia aplastic adalah : 1,2
1. Idiopatik (jumlahnya hampir 50% dari semua kasus anemia aplastic)
2. Obat dan toksin (kloramfenicol, fenilbutasone, sulfonamide, benzene, karbon
tetra klorida)
3. Infeksi (Hepatitis virus, Parvo virus, Virus HIV, Tuberkulosis)
4. Timoma
5. Sindroma Mielodisplastik
6. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
2.4 PATOFISIOLOGI
Penyebab anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui atau bersifat
idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh
proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Penyebab anemia aplastik
dapat dibagi dua sebagai berikut: 1,2
1. Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain :
2
anemia fanconi,
non fanconi Seperti cartilage hair hypoplasia, pearson
syndrome, amegakaryotic thrombocytopenia, scwachman-
diamond syndrome, dubowitz syndrome, diamond
blackfan syndrome, familial aplastic anemia, dan
dyskeratosis congenital.
2. Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain :
akibat infeksi Seperti virus hepatitis, epstein barr virus,
HIV, parovirus, dan mycobacteria,
akibat terpaparnya radiasi, bahan kimia seperti Benzene,
Chlorinated hycrocarbons, dan organophospates,
akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol,
phenylbutazone,
akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis
dan systemic lupus erythematosus (SLE), dan
akibat kehamilan.
Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses
hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif
hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang. 2,4
Mekanisme pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan
kimia seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel
hematopoetik yang tidak bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi
klinik dan studi laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang,
sebagai contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft
versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis. 2,4
Mekanisme idiopatik, asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus obat
yang berasosiasi dengan anemia aplastik masih belum jelas tetapi dengan
terperinci melibatkan proses imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat
bertindak sebagai faktor penghambat dalam sel hematopoetik dalam
menyelesaikan produksi hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon
dan tumor nekrosis faktor . Efek dari imun sebagai media penghambat dalam
hematopoesis mungkin dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar
3
pasien dengan anemia aplastik didapat memiliki respon terhadap terapi
imunosupresif. 2,4
Pasien dengan anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10%
jumlah sel batang normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan
bahwa sel stromal dari pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan
dan perkembangan dari sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan
kuantitas faktor pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau
meningkat.4 7 Patofisiologi dari anemia aplastik, oleh karena itu disarankan dua
pendekatan utama untuk pengobatannya : penggantian sel induk yang tidak
sempurna dengan cara transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses
imunologi yang bersifat merusak. 2,4
Patofisiologi timbulnya anemia apalstik dapat digambarkan secara
skematik seperti pada Gambar 2.1.
G
a
m
Gambar 2.1 Patofisiologi Anemia Aplastik 2
Seperti dilihat dari Gambar 2.1, akibat adanya kerusakan sel induk (seed
theory), kerusakan lingkungan mikro (soil theory), dan adanya mekanisme
imunologik menyebabkan kerusakan sel induk hemopoetik yang menyebabkan
pansitopenia. Pada pansitopenia, eritrosit menurun akan menyebabkan sindrom
anemia, leukosit menurun akan menyebabkan tubuh mudah infeksi, dan
trombosit menurun akan menyebabkan pendarahan.
4
Gejala klinis yang timbul akibat anemia aplastik adalah anemia,
leukopenia dan trombositopenia. Gejala anemia bervariasi dari ringan sampai
berat. Leukopenia akan menyebabkan infeksi berupa ulserasi mulut, febris dan
sepsis atau syok septik. Trombositopenia akan menyebabkan pendarahan pada
kulit seperti petechie dan echymosis, perdarahan pada mukosa seperti epistaksis,
perdarahan subkonjungtiva, perdarahan gusi dan lain-lain. Tidak dijumpai
adanya organomegali.
5
g) neutropenia (< 1500/cmm)
(A) (B)
Gambar 2.2 Perbandingan spesimen sumsum tulang dengan biopsi dari
pasien anemia aplastic (A) dan pasien normal (B)
2.9 PROGNOSIS
Sebelum ditemukan adanya transplantasi sumsum tulang, 25% dari pasien
meninggal dalam waktu 4 bulan dan 50% meninggal dalam waktu 1 tahun. Pada
pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhannya
adalah 70-90%, walaupun 20%-30% dari pasien yang melakukan transplantasi
sumsum tulang mengalami Graft versus Host Disease (GvHD). Pemberian terapi
6
imunosupresif yang intensif memberikan peningkatan yang signifikan pada
Blood Countpada 78% pasien dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko 36% dari
pasien kambuh setelah 2 tahun. 2
BAB 3
PEMBAHASAN
7
3.1 TERAPI UTAMA 1,2
Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen
penyebab. Tetapi sering sulit untuk 6 mengetahui penyebab karena etiologinya
yang tidak jelas atau idiopatik.
8
BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12 minggu. Awasi
efek samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati.
Kortikosteroid dosis rendah-menengah.
Fungsi steroid dosis rendah belum jelas. Ada yang
memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4
minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena
memberikan efek samping yang serius.
Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor
(GM-CSF) atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor
G-CSF.
Terapi ini dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah
netrofil, tetapi harus diberikan terus menerus. Eritropoetin
juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan
transfusi sel darah merah
9
Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis
tinggi.
ALG dapat bekerja meningkatkan pelepasan haemopoetic growth
factor. Sekitar 40%- 70% dari kasus memberi respon terhadap pemberian
ALG. Terapi ATG dapat menyebabkan reaksi alergi, dengan pasien
mengalami demam, athralgia, dan skin rash sehingga sering diberikan
bersamaan dengan kortikosteroid. Siklosporin menghambat produksi
interleukin-2 oleh sel-T serta menghambat ploriferasi sel-T dari respon
oleh interleukin-2. Pasien yang diterapi dengan siklosporin membutuhkan
perawatan khusus karena obat dapat menyebabkan disfungsi ginjal dan
hipertensi serta perlu diawasi hubungan interaksi dengan obat lainnya.
Regimen terbaik adalah kombinasi dari ATG dan siklosporin.
Namun kedua obat ini juga dapat berpotensi toksik. ATG dapat
memproduksi pyrexia, ruam dan hipotensi sedangkan siklosporin dapat
menyebabkan nefrotoksik dan hipertensi. Oxymethalon juga memiliki
efek samping diantaranya, retensi garam dan kerusakan hati. Orang
dewasa yang tidak mungkin lagi melakukan terapi transplantasi sumsum
tulang, dapat melakukan terapi imunosupresif ini.
Terapi imunosupresif merupakan pilihan utama untuk pasien
diatas 40 tahun. Pada 227 pasien dengan anemia aplastic berat yang
diterapi imunosupresif selama 23 tahun (1978 sampai 1991), 78 pasien
merespon penuh pengobatan, 23 pasien merespon kecil, 122 pasien tidak
merespon, dan 4 pasien tidak teruji. Dari 122 yang tidak merespon
meninggal dalam waktu 3 bulan setelah dimulainya terapi. Banyak pasien
dengan Anemia Apalastik menunjukkan jumlah darah yang stabil selama
bertahun-tahun, tapi pansitopenia bisa memburuk seiring berjalannya
waktu.
ATG Brand Cells used for Animal Recom Comment
Immunization Species mended
Dose
ATGAM Human Horse 40 Standart Treatment
Thymocytes mg/kg x in US
4
10
Lymphoglubuline Human Horse 15 No longer available
Thymocytes mg/kg x
5
Thymoglobuline Human Rabbit 3,75/kg Only available in
Thymocytes x5 europe
ATG-Fresenius Jurkat T-ALL Rabbit 5 mg/kg Inferior respone
cell line x5 with limited
number of patien
Table 3. 1 Macam-macam ATG 3
11
untuk melawan sel sumsum tulang yang ditransplantasi. Dokter
harus meminimalisasi pemberian tranfusi darah,
e) Diberikan siklosporin A1 atau dosis tinggi cyclophosphamide4
untuk mengatasi adanya GvHD (graft versus Host Disease).
Pemberian obat-obatan tersebut meningkatkan resiko timbulnya
infeksi,
f) Memberikan kesembuhan 70%-90% dari kasus, dan
g) Anak-anak mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi
dibandingkan orang dewasa
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus
yang berumur dibawah 40 tahun, diberikan siklosforin-A untuk mengatasi
graft versus host disease (GvHD), transplantasi sumsum tulang
memberikan kesembuhan jangka panjang pada 60%-70% kasus, dengan
kesembuhan komplit. Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok
dengan pendonor terjadi pada kasus transplantasi sumsum tulang pada
pasien lebih muda dari 40 tahun yang tidak mendapatkan donor yang
cocok dari saudaranya.3,4
12
Gambar 3.1 Penatalaksanaan terapi jangka panjang 2
BAB 4
PENUTUP
13
Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen
penyebab. Terapi suportif diberikan sesuai gejalanya yaitu anemia, neutropenia,
dan trombositopenia. Terapi jangka panjang terdiri dari terapi imunosupresif dan
terapi transplantasi sumsum tulang.1,2,3
Sebelum ditemukan adanya transplantasi sumsum tulang, 25% dari pasien
meninggal dalam waktu 4 bulan dan 50% meninggal dalam waktu 1 tahun. Pada
pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, angka kesembuhannya
adalah 70-90%, walaupun 20%-30% dari pasien yang melakukan transplantasi
sumsum tulang mengalami Graft versus Host Disease (GvHD). Pemberian terapi
imunosupresif yang intensif memberikan peningkatan yang signifikan pada
Blood Countpada 78% pasien dalam 1 tahun. Walaupun ada resiko 36% dari
pasien kambuh setelah 2 tahun. 1,2
Dengan demikian seiring berjalannya waktu anemia aplastic sudah bisa
teratasi dengan terapi mutakhir yaitu transplantasi sumsum tulang belakang yang
memiliki angka harapan hidup 70-90%. Sayangnya terapi ini hanya bisa
dinikmati oleh kalangan menengah ke atas karena memakan biaya yang cukup
mahal. Oleh karena itu terapi yang masih sering digunakan untuk pasien anemia
aplastic yang dapat berlaku secara universal adalah terapi yang bersifat suportif
semata.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
4. Laksmi, Ni Made Dharma dkk. Anemia Aplastik. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Bagian Patologi Klinik Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Denpasar.
5. Damodar. (2015). Immunosuppressive Therapy for Aplastic Anaemia.
Journal of the Association of Physicians of India.
16