Anda di halaman 1dari 6

 Tajuk Sindo

Bank Sibuk Kumpul DPK


Koran Sindo
Sabtu, 20 Januari 2018 - 07:09 WIB

Pihak perbankan diingatkan agar tidak asyik sendiri mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK)
atau tabungan dari masyarakat, namun mengabaikan penyaluran kredit secara merata kepada
seluruh masyarakat. Ilustrasi/SINDOnews

A+ A-
Kalangan perbankan disentil Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pihak perbankan diingatkan
agar tidak asyik sendiri mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) atau tabungan dari
masyarakat, namun mengabaikan penyaluran kredit secara merata kepada seluruh
masyarakat.

Laporan yang sampai ke telinga Presiden bahwa situasi dan kondisi industri keuangan dalam
keadaan sehat, baik perbankan, asuransi, maupun pasar modal. Seharusnya industri keuangan
berkontribusi signifikan dalam memajukan pertumbuhan perekonomian secara berkualitas.

Sayang sekali potensi besar yang terdapat pada industri keuangan tak dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Sehubungan itu, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beserta pemerintah
harus menyiapkan banyak inovasi. Ada dua inovasi yang disodorkan Presiden, ialah ba-
gaimana menyiapkan bank khusus mikro yang melayani masyarakat bawah dan membentuk
bank wakaf mikro. Dengan demikian, diharapkan kegiatan perbankan tidak hanya tertuju
pada pengumpulan DPK lalu disalurkan sebagai kredit kepada masyarakat tertentu.

Gayung bersambut, Ketua Dewan Komisaris OJK Wimboh Santoso segera menerbitkan
sejumlah kebijakan strategis untuk mendorong industri keuangan agar mengambil peran yang
signifikan dalam mendorong ekonomi nasional. Untuk berkontribusi maksimal dalam
pembiayaan infrastruktur dan sektor prioritas, OJK melirik untuk mendorong pemanfaatan
instrumen pembiayaan lebih bervariasi, meliputi perpetual bonds atau obligasi bunga abadi,
yakni obligasi yang memiliki tingkat bunga dan pembayaran secara berkala tanpa batas
waktu.
Green bonds sebagai efek bersifat utang di mana hasil penerbitannya digunakan membiayai
kegiatan berwawasan lingkungan. Dan, obligasi daerah serta penerbitan ketentuan
pengelolaan dana tabungan perumahan rakyat (Tapera) dengan skema kontrak investasi
kolektif.

Selain itu, pihak OJK sedang menyiapkan pengembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Klaster, yakni penerima akan mendapat pendampingan dan pemasaran produk oleh perusa-
haan inti, baik badan usaha milik negara (BUMN), Badan usaha milik desa (BUMDes) ber-
dasarkan asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness agar
aspek perlindungan nasabah dapat terpenuhi.

Bagaimana sebenarnya kinerja industri keuangan belakangan ini, sampai Presiden Jokowi
menyentil perbankan yang cuma asyik mengumpulkan DPK? Berdasarkan publikasi terbaru
OJK terungkap bahwa permodalan lembaga jasa keuangan relatif kuat.

Sebagai bukti, rasio kecukupan modal (RKM) perbankan sekitar 23,36%, bandingkan rata-
rata RKM perbankan di kawasan Asia Tenggara sekitar 18%. Dengan RKM yang aman,
industri perbankan berpotensi menyalurkan kredit hingga Rp640 triliun. Adapun tingkat
risiko kredit terkendali dengan rasio kredit bermasalah sekitar 2,59% secara gross atau
1,11% secara net. Angka rasio kredit bermasalah berada dalam kecenderungan menurun.

Lalu, kinerja pasar modal pun cukup meyakinkan dibuktikan dengan penghimpunan dana
mencapai sebesar Rp 264 triliun, melampaui target yang dipatok sebesar Rp 217 triliun.
Begitupula industri keuangan nonbank yang menunjukkan kinerja positif dengan risiko
terkendali. Hal itu terlihat dari pertumbuhan aset industri asuransi sekitar 20,2% tahun lalu
atau melewati pertumbuhan tahun sebelumnya yang tercatat sekitar 18,2%, dan didukung
tingkat permodalan tersedia dalam membayar.
 Tajuk Sindo

Program Rumah DP 0 Rupiah


Koran Sindo
Jum'at, 19 Januari 2018 - 08:01 WIB

Maket Rumah DP 0 Rupiah yang sedang dibangun Pemprov DKI di Jakarta Timur, Kamis
(18/1/2018).
A+ A-
LANGKAH Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang akan merealisasikan program
Rumah Down Payment (DP) 0 Rupiah patut diapresiasi. Kebijakan yang diperuntukkan bagi
warga berpenghasilan rendah ini sekaligus akan meningkatkan kualitas hidup warga Jakarta,
terutama mereka yang belum punya tempat tinggal.

Meski yang akan dibangun adalah tempat tinggal berbentuk hunian vertikal, semua pihak
sudah seharusnya mendukung program ini. Setidaknya Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan sudah berupaya untuk memenuhi janji saat kampanye pilkada dulu.

Memberikan kritik sah-sah saja. Namun, alangkah bijaksananya kalau kritikan itu sifatnya
membangun, bukan untuk mem-bully atau memojokkan. Kita harus fair juga dengan
memberikan waktu kepada gubernur DKI untuk menjalankan program-programnya. Jangan
belum-belum kebijakan Gubernur Anies dikritik habis-habisan hanya gara-gara bukan
gubernur pilihannya.

Mengapa kita mendukung program Rumah DP 0 Rupiah? Pertama, masih banyak warga DKI
yang belum memiliki tempat tinggal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017
menyebutkan bahwa hampir separuh, tepatnya 48,91% dari sekitar 10,1 juta jiwa, penduduk
warga DKI Jakarta tidak memiliki rumah, bangunan, atau tempat tinggal sendiri. Berarti
sekitar 5 juta orang di Jakarta tidak punya rumah sendiri.

Besarnya jumlah warga Jakarta yang tidak memiliki tempat tinggal sendiri ini disebabkan
harga rumah yang sangat mahal sehingga tidak terjangkau kalangan menengah ke bawah.
Dengan begitu, tidak pada tempatnya kalau program mulia ini tidak didukung. Program
Rumah DP 0 Rupiah ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kemaslahatan warga
Jakarta.

Kedua, program Anies ini juga sekaligus mendukung program pembangunan Satu Juta
Rumah yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 April 2015. Hingga awal
Desember 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui
Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan baru merealisasikan program Satu Juta Rumah
sebanyak 765.120 unit.

Tentu program Rumah DP 0 Rupiah milik DKI ini akan semakin mendekatkan target
program Satu Juta Rumah pemerintah pusat menjadi kenyataan. Pada tahap awal Pemprov
DKI segera membangun 703 hunian vertikal di Kelapa Village, Pondok Kelapa, Jakarta
Timur.

Rumah tingkat berbentuk rusunami tersebut akan diperuntukkan bagi warga Ibu Kota yang
berpenghasilan rendah, yakni bergaji kurang dari Rp7 juta per bulan. Hunian vertikal ini akan
dijual dengan DP 0 rupiah dengan skema pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP) melalui Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD) yang segera dibentuk
oleh Pemprov DKI Jakarta.

Ketiga, terwujudnya program Rumah DP 0 Rupiah ini bisa menjadi inspirasi kepala daerah
yang lain untuk benar-benar melaksanakan setiap janji kampanye. Hal ini penting agar
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pilkada meningkat. Keempat, sudah semestinya
setiap pemimpin harus berupaya untuk kualitas hidup warganya. Kepemilikan tempat tinggal
merupakan kebutuhan hak asasi manusia (HAM).

Pemenuhan kebutuhan tempat tinggal ini juga akan mengurangi ketimpangan di Jakarta.
Kelompok menengah ke atas sudah punya akses terhadap perumahan, kredit rumah, dan
asetnya akan terus meningkat. Namun, tanpa bantuan seperti program Rumah DP 0 Rupiah,
hampir mustahil kelompok menengah ke bawah di DKI memiliki rumah.

Melihat berbagai faktor di atas, sudah semestinya seluruh stakeholder yang terkait dengan
program Rumah DP 0 Rupiah harus bekerja sama merealisasikannya sesuai target rencana,
yakni 1,5 tahun mendatang. Satu yang harus diperhatikan adalah bagaimana program Rumah
DP 0 Rupiah ini tepat sasaran.

Jangan sampai warga mampu ikut memanfaatkan program yang diperuntukkan bagi warga
menengah ke bawah ini. Begitu pun pascapembeliannya. Karena itu, pengawasannya harus
serius dan terus-menerus dilakukan sampai tak ada celah bagi warga yang nakal.
 Tajuk Sindo

Ujian Kemandirian KPU


Koran Sindo
Kamis, 18 Januari 2018 - 07:30 WIB

Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A+ A-
MAHKAMAH Konstitusi (MK) pada Jumat (12/1) menggelar sidang putusan atas uji materi
Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. MK membacakan putusan atas dua pasal di
UU Pemilu, yakni 173 ayat (1) dan (3) yang berkaitan dengan verifikasi partai politik
(parpol) serta Pasal 222 tentang ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Terhadap Pasal 173 ayat (1) dan (3), MK mengabulkan permohonan pemohon,
yakni Partai Idaman. Adapun Pasal 222 yang diajukan sejumlah pemerhati pemilu ditolak
MK.

Khusus Pasal 173, pemohon menggugat ke MK karena menilai ada ketidakadilan dalam
aturan verifikasi parpol. Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu mengatur bahwa parpol peserta pemilu
merupakan parpol yang telah ditetapkan atau lulus verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Adapun ayat (3) menyebutkan bahwa parpol yang telah lulus verifikasi dengan syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi diverifikasi dan ditetapkan sebagai parpol
peserta pemilu.

Dalam putusan MK menyatakan bahwa frasa "ditetapkan" dalam Pasal 173 ayat (1) dan
seluruh ketentuan pada Pasal 173 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK
menilai pasal tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945.

Putusan MK ini seharusnya mengakhiri perdebatan soal konstitusionalitas norma UU Pemilu


yang sejak lama diperdebatkan. Khusus putusan mengenai verifikasi parpol), putusan MK
dimaknai banyak pihak sebagai perintah untuk melakukan verifikasi faktual. Dengan kata
lain, verifikasi faktual tidak lagi hanya berlaku untuk enam parpol baru yang lolos penelitian
administrasi, melainkan juga bagi 12 parpol lama, yakni peserta Pemilu 2014.

Namun, putusan MK ini ternyata tidak mengakhiri perdebatan. Pasalnya, fraksi-fraksi di


Komisi DPR memberikan pemaknaan lain atas putusan MK. Dalam pandangan DPR, dalam
UU Pemilu hanya disebutkan "verifikasi". Istilah penelitian administrasi dan verifikasi
faktual hanya ada di Peraturan KPU (PKPU). Dengan demikian, DPR berpandangan bahwa
KPU bisa tetap menjalankan putusan MK itu dengan hanya melakukan verifikasi berupa
penelitian administrasi melalui sistem informasi partai politik (sipol), baik kepada parpol baru
maupun lama.

Pada rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan DKPP
yang digelar pada Selasa (16/1), Komisi II DPR bahkan memerintahkan KPU untuk
mengubah PKPU yang memuat ketentuan verifikasi faktual ini. Jika mengikuti logika
berpikir DPR ini, parpol peserta Pemilu 2019 hanya perlu lolos penelitian administrasi, tanpa
perlu lagi dilakukan verifikasi faktual di lapangan.

Sikap DPR ini memantik gelombang protes. Ini dinilai hanya akal-akalan parpol peserta
Pemilu 2014, terutama partai pemilik kursi di DPR. Tujuannya untuk menghindari verifikasi
faktual. Bukan tidak mungkin sikap partai di DPR ini dipicu ketidaksiapan mereka mengikuti
verifikasi faktual.

Saat RDP dengan Komisi II, KPU sebenarnya sudah siap menjalankan verifikasi faktual
sesuai putusan MK. Ada dua pilihan yang ditawarkan penyelenggara, yakni verifikasi faktual
terhadap 12 parpol dilakukan bersamaan waktunya dengan parpol baru, yakni pada 29 Januari
hingga 30 Maret 2018. Jika opsi ini dipilih, perlu dilakukan revisi UU Pemilu, yakni
mengubah jadwal tahapan penetapan parpol yang lolos pemilu yang sebelumnya ditetapkan
pada 17 Februari 2018.

Opsi kedua, KPU melakukan verifikasi faktual di sisa waktu yang ada dan penetapan parpol
peserta pemilu tetap sesuai jadwal 17 Februari. Namun, konsekuensinya adalah harus ada
penambahan anggaran karena petugas verifikasi yang akan terlibat jauh lebih banyak.

Namun, DPR mengabaikan opsi KPU ini dan justru meminta dilakukan perubahan pada
PKPU yang mengatur soal verifikasi faktual. Dalam situasi seperti ini, KPU kembali diuji
kemandiriannya. Sebagai lembaga penyelenggara independen yang kemandiriannya dijamin
undang-undang, sudah seharusnya KPU tidak tunduk pada kepentingan tertentu. Jika KPU
tidak bekerja secara mandiri, kualitas pemilu jadi taruhannya.

Anda mungkin juga menyukai