Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DEFINISI
Penyakit Hirchsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus,
meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi. (Behram
dkk, 1999).
Penyakit Hirschsprung”s (PH) adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional yang
berupa aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal dengan
panjang segmen tertentu, setidak –tidaknya melibatkan sebagian rektum. Penyakit
Hirschprung (PH) ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus auerbach dan
meissner (Kartono, 2004 dalam Trisnawan)
Hirschsprung (mengatakan "Hirschsprung") penyakit yang mempengaruhi usus besar
(kolon) dari bayi yang baru lahir, bayi, dan balita. Kondisi yang mencegah gerakan usus
(tinja) untuk melewati usus hilang karena sel-sel saraf di bagian bawah usus besar
mengalami cacat lahir. Sebagian besar, masalah dengan buang kotoran mulai dari lahir,
meskipun dalam kasus ringan gejala dapat muncul bulan atau tahun kemudian.
B. ETIOLOGI
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai penyebab
tersebut yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk
bermigrasi ke dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasu kolon dan
rektum. Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. Sehingga
menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat
serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian
proksimal sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus
yang mengalami aganglion. (Nurko, 2007)
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi hirschsprung (HSCR) dalam Haricharan (2008) berdasarkan panjang segmen
aganglionik dengan awal dari internal anal Sphincter, yaitu:
D. EPIDEMIOLOGI
Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 per 5000 kelahiran hidup. Mortalitas
keseluruhan Hirschsprung enterocolitis adalah 25-30%, yang menyumbang hampir semua
kematian dari penyakit Hirschsprung. Penyakit Hirschsprung adalah sekitar 4 kali lebih
umum pada laki-laki daripada perempuan. Hampir semua anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung didiagnosis selama 2 tahun pertama kehidupan. Sekitar satu setengah dari
anak-anak yang terkena penyakit ini didiagnosis sebelum mereka berusia 1 tahun. Sejumlah
kecil anak-anak dengan penyakit Hirschsprung tidak diakui sampai lama kemudian anak-
anak atau dewasa.
Namun, kejadian bervariasi secara signifikan antara kelompok etnis per 10000 kelahiran
hidup di Kaukasia, Afrika-Amerika, dan Asia, masing-masing). S-HSRC jauh lebih sering
daripada L-HSRC (80% dan 20%, masing-masing). Ada bias jenis kelamin dengan dominan
laki-laki yang terkena dan rasio jenis kelamin 4/1. Menariknya, laki-laki: perempuan rasio
secara signifikan lebih tinggi untuk S-HSCR daripada L-HSCR. Di Amerika Serikat penyakit
ini terjadi kurang lebih pada 1 kasus setiap 5400 hingga 7200 bayi baru lahir. Data Penyakit
Hirschprung di Indonesia belum ada. Bila benar insidensnya 1 dari 5.000 kelahiran, maka
dengan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per mil,
diperkirakan akan lahir 1400 bayi lahir dengan Penyakit Hirschsprung.
E. FAKTOR RISIKO
Genetik :
Adanya kelainan pada kromosom 13q22, 21q22, dan 10q.
Mutasi pada Ret proto-oncogene dikaitkan dengan adanya neoplasia endokrin multipel
(MEN) 2A atau 2B dan riwayat keluarga dengan penyakit hisprung
Dan mutasi gen lain yang terkait dengan penyakit hisprung termasuk gen sel glial, gen
reseptor endotelin-B, dan gen endotelin-3
Kondisi penyakit yang Berhubungan :
Penyakit hisprung sangat terkait dengan downsindrom 5 - 15 % dari pasien dengan
penyakit hisprung juga memiliki trisomi 21.
Kondisi lainnya termasuk sindrom waardenburg, tuli kongenital, malrotasi,gastric
divertikulum dan atresia usus.
Diduga terjadi karena faktor genetic sering terjadi pada anak dengan downsyndrome,
kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio
kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus (Kartono, 2004).
F. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)
G. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Bockus (1985), tanda, gejala dan onset dari gejala bervariasi. Di satu sisi,
kondisi pada bayi baru lahir mungkin menunjukkan distensi abdominal akut, muntah dan
gagal melewati mekoneum. Walaupun beberapa pasien mengalami konstipasi yang salah
satunya bisa terabaikan atau terkontrol hingga dewasa, diatas 90% pasien dengan penyakit
Hirschsprung akan gagal melewati mekonium pada awal kehidupan.
Umumnya bayi dengan Hirschsprung akan mengalami berselang (intermiten), konstipasi
progresif dan muntah secara episodik. Ibu bisa saja mendengar borborygmi. Bayi dengan
gejala berat akan menghambat pertumbuhan berat badannya dan menjadi rewel dan sakit-
sakitan. Ketika gejala konstipasi lebih ringan dan terkontrol dengan diet dan medikasi
sederhana, anak akan berkembang dan tampak seperti anak yang sehat pada umumnya.
Berdasarkan usia penderita, gejala penyakit Hirschsprung dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Periode neonates
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen. Terdapat 90% lebih kasus bayi
dengan penyakit Hirschspung tidak dapat mengeluarkan mekonium pada 24 jam
pertama, kebanyakan bayi akan mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48
jam). Muntah bilious (hijau) dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang apabila
mekonium dapat dikeluarkan segera. Bayi yang mengkonsumsi ASI lebih jarang
mengalami konstipasi, atau masih dalam derajat yang ringan karena tingginya kadar
laktosa pada payudara, yang akan mengakibatkan feses jadi berair dan dapat
dikeluarkan dengan mudah. (Kessman, 2006)
b. Periode anak-anak
Walaupuan kebanyakan gejala akan muncul pada bayi, namun ada beberapa kasus
dimana gejala-gejala tersebut tidak muncul hingga usia kanak-kanak (Lakhsmi, 2008).
Gejala yang biasanya timbul pada anak-anak yakni, konstipasi kronis, gagal tumbuh dan
malnutrisi. Pergerakan peristaltik usus dapat terlihat pada dinding abdomen disebabkan
oleh obstruksi fungsional kolon yang berkepanjangan. Selain obstruksi usus yang
komplit, perforasi sekum, fecal impaction atau enterocolitis akut dapat mengancam jiwa
dan sepsis juga dapat terjdi (Kessman, 2006).
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Adapun tanda-tanda yang dapat dilihat pada saat melakukan anamnesis adalah
adanya keterlambatan pengeluaran mekonium pertama yang pada umumnya keluar >24
jam, muntah berwarna hijau, adanya obstipasi masa neonatus. Jika terjadi pada anak
yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
Selain itu perlu diketahui adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita
keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia dua minggu
dengan riwayat tidak dapat defekasi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi. Bila
dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot
keluar dalam jumlah yang banyak dan tampak perut anak sudah kembali normal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui bau dari feses, kotoran yang menumpuk
dan menyumbat pada usus bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.
c. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya barium enema merupakan
pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi Hirschsprung secara dini pada neonatus.
Keberhasilaan pemeriksaan radiologi pasien neonatus sangat bergantung pada
kesadaran dan pengalaman spesialis radiologi pada penyakit ini, disamping teknik yang
baik dalam memperlihatkan tanda-tanda yang diperlukan untuk penegakkan diagnosis.
1) Foto polos abdomen
Hirschsprung pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus
letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Gambaran obstruksi usus
letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak
rendah, seperti atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk
diantaranya enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat
menyingkirkan diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster.
Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar
tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon
dan gambaran masa feses lebih jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos
juga menunjukan distensi usus karena adanya gas. Enterokolitis pada Hirschsprung
dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur
irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase
dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium enema.
2) Barium enema
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung. Tampak rektum yang
mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.
Foto polos abdomen pada noenatus dengan Hirschsprung. Pemeriksaan
barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan evakuasi
mekonium yang disertai dengan distensi abdomen dan muntah hijau, meskipun
dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah
mereda atau menghilang. Tanda klasik khas untuk Hirschsprung adalah segmen
sempit dari sfingter anal dengan panjang segmen tertentu, daerah perubahan
dari segmen sempit ke segmen dilatasi (zona transisi), dan segmen dilatasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Theodore, Polley, dan Arnold dari tahun
1974 sampai 1985 mendapatkan hasil bahwa barium enema dapat
mendiagnosis 60% dari 99 pasien dengan Hirschsprung. Dalam literatur
dikatakan bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 65-80% dan
spesifisitas 65-100%. Hal terpenting dalam foto barium enema adalah terlihatnya
zona transisi. Zona transisi mempunyai 3 jenis gambaran yang bisa ditemukan
pada foto barium enema yaitu 1. Abrupt, perubahan mendadak; 2. Cone,
berbentuk seperti corong atau kerucut; 3. Funnel, bentuk seperti cerobong.
Selain itu tanda adanya enterokolitis dapat juga dilihat pada foto barium enema
dengan gambaran permukaan mukosa yang tidak teratur. Juga terlihat gambar
garis-garis lipatan melintang, khususnya bila larutan barium mengisi lumen kolon
yang berada dalam keadaan kosong. Pemerikasaan barium enema tidak
direkomendasikan pada pasien yang terkena enterokolitis karena adanya resiko
perforasi dinding kolon.
Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema
merupakan hal yang penting pada Hirschsprung, khususnya pada masa
neonatus. Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan
foto polos abdomen untuk melihat retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu
barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion
normal. Retensi barium dengan obstipasi kronik yang bukan disebabkan
Hirschsprung terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun
yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda Hirschsprung. Apabila
terdapat jumlah retensi barium yang cukup signifikan di kolon, hal ini juga
meningkatkan kecurigaan Hirschsprung walaupun zona transisi tidak terlihat.
3) Biopsy Rectal
Metode definitif untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan
biopsy rectal full-thickness.
Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas garis dentata
karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat tersebut.
Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya perdarahan dan
pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia umum selama prosedur
ini dilakukan.
4) Simple Suction Rectal Biopsy
Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai teknik
mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologist
Mukosa dan submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder
khusus memotong jaringan yang diinginkan.
5) Manometri Anorektal
Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi dari internal sphincter setelah
distensi lumen rektal. Refleks inhibitorik normal ini diperkirakan tidak ditemukan
pada pasien penyakit Hirschsprung.
Swenson pertama kai menggunakan pemeriksaan ini. Pada tahun 1960,
dilakukan perbaikan akan tetapi kurang disukai karena memiliki banyak
keterbatasan. Status fisiologik normal dibutuhkan dan sedasi seringkali penting.
Hasil positif palsu yang telah dilaporkan mencapai 62% kasus, dan negatif palsu
dilaporkan sebanyak 24% dari kasus.
Karena keterbatasan ini dan reliabilitas yang dipertanyakan, manometri
anorektal jarang digunakan di Amerika Serikat
Keunggulan pemeriksaan ini adalah dapat dengan mudah dilakukan diatas
tempat tidur pasien.
Akan tetapi, menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari
sampel yang diambil dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit
dibandingkan pada jaringan yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy
Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan pewarnaan
asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf yang hipertropi
sepanjang lamina propria dan muskularis propria pada jaringan.
d. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Diagnosis patologi-anatomik penyakit Hirschsprung dilakukan melalui prosedur
biopsi yang didasarkan atas tidak adanya sel ganglion pada pleksus myenterik
(Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Di samping itu akan terlihat dalam
jumlah banyak penebalan serabut saraf (parasimpatik). Akurasi pemeriksaan akan
semakin tinggi apabila menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut saraf parasimpatik. Biasanya biopsi
hisap dilakukan pada tiga tempat yaitu dua, tiga, dan lima sentimeter proksimal dari anal
verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, maka dilakukan biopsi eksisi otot rektum
untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus
biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi.
e. Manometri Anorektal
Pemeriksaan anorektal manometri dilakukan pertama kali oleh Swenson pada tahun
1949 dengan memasukkan balón kecil dengan kedalaman yang berbeda-beda dalam
rektum dan kolon. Alat ini melakukan pemeriksaan objektif terhadap fungsi fisiologi
defekasi pada penyakit yang melibatkan spingter anorektal. Pada dasarnya, alat ini
memiliki 2 komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon
mikro dan kateter mikro, serta sistem pencatat seperti poligraph atau komputer.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah:
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Tindakan bedah
a. Tindakan bedah sementara
Dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon
yang mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dimaksudkan untuk
menghilangkan obstruksi usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui
sebagai penyebab utama kematian pada penderita penyakit Hirschsprung (Leonidas,
2004).
b. Tindakan bedah definitive :
1) Prosedure Swenson
Prosedure ini merupakan procedure pertama untuk operasi penyakit Hirschsprung
dengan metode pull-through :
2) Prosedure swenson I
Dilakukan pemotongan segmenkolon aganglionik direseksi dan punctum rectum
ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung
diluar rongga peritoneal. Pada procedure ini, enterokolitis kemungkinan dapat terjadi
akibat spasme punctum rectum yang ditinggalkan.
3) Prosedure swenson II
Dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum
ditinggalkan 2 cm di b a g i a n a n t e r i o r d a n 0 , 5 c m d i b a g i a n p o s t e r i o r
k e m u d i a n langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Prosedur ini sama
sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi
enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran
anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I.
Prosedure Swenson dimulai dengan melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi
rektum kebawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin kedinding
rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke luar
sehingga saluran anal menjadi terbalik. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan
cavum abdomen ditutup.
4) Prosedure Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan
diseksi pelvic pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah
menarik kolon proksimal yang ganglionik kearah anal melalui bagian posterior
rectum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik
dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk
ronggga baru dengan anastomose. Prosedure Duhamel memiliki beberapa
kelemahan diantaranya sering menyebabkan stenosis, inkontinensia dan
pembentukan fekaloma di dalam punctum rektum yang ditinggalkan apabila terlalu
panjang. Sehingga dilakukan beberapa modifikasi procedure Duhmel, diantaranya :
a) Modifikasi Grob
Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endo anal
setinggi 1,5 – 2,5 cm untuk mencegah inkontinensia
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch
Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose yang panjang
c) Modifikasi Ikeda
Dengan cara membuat klem khusus untuk melakukan anastomose yang terjadi
setelah 6 – 8 hari kemudian
d) Modifikasi Adang
Kolon ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan
secara tidak langsung, yakni pada hari ke 7 – 14 paska bedah dengan memotong
kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem. Kedua klem dilepas 5 hari
berikutnya. Pemasangan klem lebih dititikberatkan pada fungsi hemostatis.
(Ziegler, 2003).
2. Terapi lama
Tindakan non bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta komplikasi–komplikasi
yang mungkin terjadi dan untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai operasi
definitive dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan,
elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari
terjadinya perforasi usus serta terjadinya sepsis. Tindakan non bedah yang dapat dilakukan
:
1) Pemasangan pipa nasogastrik
2) Pemasangan pipa rectum
3) Pemberian antibiotic
4) Lavase kolon dengan irigasi cairan
5) Koreksi elektrolit
6) Pengaturan nutrisi (Warner, 2004).
3. Terapi Farmakologi
a. Penggunaan Laksatif
b. Modifikasi diet
c. Kortikosteroid
d. Obat anti – inflamatori
e. Antibiotik spektrum luas, dan
f. Mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena. (Ziegler, 2003).
J. KOMPLIKASI
1. Kebocoran Anastomose (penggabungan dua ujung usus yang sehat setelah usus
yang sakit usus dipotong oleh dokter bedah
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam. Kebocoran
anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh, terdapat infiltrat atau
abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam tinggi, pelvioperitonitis atau
peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran,
segera dibuat kolostomi di segmen proksimal.
2. Stenosis (penyempitan)
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan
luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan terbentuknya jaringan fibrosis, serta
prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi
prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi
abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi,
tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga sfinkterektomi posterior.
3. Enterokolitis (suatu keadaan dimana lapisan dalam usus mengalami cedera dan
meradang)
Enterokolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus. Semakin
berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin dipenuhi eksudat fibrin
yang dapat meningkatkan resiko perforasi (perlubangan saluran cerna) . Proses ini dapat
terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi pada 10-30%
pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang terkena panjang.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah :
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada pasien dengan
endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada
megakolon kongenital, mekanisme timbulnya enterokolitis menurut Swenson adalah karena
obtruksi parsial. Obtruksi usus pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter
ani dan kolon aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa
distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses keluar
eksplosif cair dan berbau busuk. Enetrokolitis nekrotikan merupakan komplikasi paling parah
dapat terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang sulit pada megakolon kongenital
adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan
pada konstipasi persisten dan enterokolitis berulang pasca bedah
4. Gangguan Fungsi Sfinkter
Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal untuk
menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit merupakan parameter yang sering
dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara
teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat
anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering.
Komplikasi lain :
A. Gawatpernapasan (akut)
B. Enterokolitis (akut)
C. Strikturaani (pascabedah)
D. Inkontinensia (jangkapanjang)
(Betz, 2002 : 197)
A. Obstruksiusus
B. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
C. Konstipasi
(Suriadi, 2001 : 241)
DAFTAR PUSTAKA
Nurko SMD. 2007. Hirschsprung Disease. Center for Motility and Functional Gastrointestinal
Disorders.
Badner JA, Sieber WK, Garver KL, Chakravarti A.(1990).A genetic study of Hirschsprung
disease. Am J Hum Genet 46:568–580.
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hisprung. Jakarta : Sagung Seto.
Bockus, Henry L. 1985. Bockus Gastroenterology Vol.4. Philadelphia : W.B. Saunders
Company