Anda di halaman 1dari 9

BIOSTRATIGRAFI

Biostratigrafi adalah cabang stratigrafi yang didasarkan pada pengetahuan


tentang fosil yang ada dalam batuan. Ilmu ini memanfaatkan kisaran
kronostratigrafi dari berbagai fosil untuk mengkorelasikan penampang-
penampang stratigrafi dan menafsirkan lingkungan pengendapan. Fosil berguna
karena sedimen yang berumur sama dapat terlihat sama sekali berbeda
dikarenakan variasi lokal lingkungan sedimentasi. Salah satu tujuan dari analisis
biostartigrafi ialah analisis lingkungan purba.
Paleoklimatologi adalah suatu ilmu yang mempelajari perubahan iklim di
seluruh rentang waktu sejarah bumi. Paleoklimat merupakan salah satu bidang
ilmu mempelajari iklim masa lampau dengan skala waktu puluhan sampai ribuan
tahun yang lalu, beserta implikasinya terhadap perubahan yang terjadi dalam
ekosistem bumi.
Paleoklimat menjadi salah satu ilmu yang penting, karena paleoklimat
dapat mengetahui iklim yang terjadi di masa lampau. Iklim dan cuaca merupakan
dua hal yang berbeda. Cuaca memiliki variabilitas yang sangat tinggi sehingga
susah untuk kita melakukan prediksi secara tepat. Berbeda dengan cuaca, iklim
memiliki variabilitas yang sangat rendah dan prediksinya lebih akurat.
Iklim di setiap periode bumi mengalami perubahan, oleh karena itu
paleoklimatologi menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Para ahli paleoklimat
berpendapat bahwa perubahan iklim tidak hanya terjadi pada saat ini, namun
perubahan iklim juga terjadi di masa lampau. Selain itu, apabila kita mengetahui
iklim di masa lampau kita juga bisa memprediksikan iklim yang akan ada di masa
yang akan datang.
Para ahli paleoklimatologi menggunakan berbagai macam keahlian untuk
sampai pada teori dan kesimpulan mereka.
a. Glasier dan kubah es banyak digunakan sebagai sumber data dalam
paleoklimatologi. Es pada glasier mengeras dalam pola yang dapat
diidentifikasikan, di mana setiap tahunnya meninggalkan suatu lapisan
penciri pada inti es.
b. Dendrokronologi merupakan ilmu mengenai penentuan umur kayu dan fosil-
fosil kayu
c. Lapisan sedimen. Karakteristik dari tumbuhan, binatang, dan serbuk sari yang
terawetkan.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk merekonstruksi perubahan iklim di
masa lalu. Berikut merupakan contoh paleoklimatologi :
a. Penggunaan lingkar pohon
Penggunaan lingkar pohoh seperti pohon pinus dan beench dapat digunakan
untuk paleoklimatologi. Hal ini dikarenakan ketebalan dari lingkaran tahun
sangat sensitif terhadap perubahan suhu atau curah hujan setiap tahunnya.
Lingkaran tahun menebal saat curah hujan tinggi, kemudian menipis saat
musim kering.
b. Penggunaan data inti es kutub
Penggunaan data inti es kutub dapat mendokumentasikan iklim masa lampau
dari ribuan hingga jutaan tahun. Data inti es diperoleh dari hasil pnggalian
berupa komposisi debu dan konsentrasi oksigen dalam gelembung-
gelembung udara.
c. Penggunaan data sedimen dasar laut
Penggunaan sedimen dasar laut hampir sama dengan inti es kutub.
Penggunaan sedimen dasar laut dapat ditentukan melalui jasad renik baik dari
tumbuhan atau hewan (foraminifera) dan komposisi bahan kimia yang
terkandung pada sedimen laut (seperti kandungan kalsium karbonat.
Studi sedimen dan mineral ini dilakukan untuk mengetahui kandungan dan
tekstur mineralogi, mekanisme transport sedimen, asal usul endapan sedimen,
tingkat pelapukan batuan, tingkat erosi dan jenis batuan sumbernya, sehingga
dapat menginterpretasi kondisi lingkungan dan iklim di masa lalu. Kajian tentang
pola sebaran foraminifera bentik bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
dampak perubahan iklim dan lingkungan terhadap biota yang hidup dalam
sedimen.
Analisis data petrografi (bivariat-multivariat plot) terdiri dari beberapa
tujuan dan acuan yang digunakan , sebagai berikut:
a. klasifkasi batupasir mengacu pada plot diagram Pettijohn (1987) dan Folk
(1974),
b. penentuan tatanan tektonik dan asal batuan (provenance) mengacu pada plot
diagram Dickinson & Suczek (1979),
c. penentuan batuan asal (parent rock) berdasarkan variasi komposisi kuarsa,
mengacau pada plot diagram Basu et. al., (1975) dan Tortosa (1991),
d. penentuan iklim purba pada diagram plot Q-F-L mengacu Suttner, et al.,
(1981), diagram log plot bivariat mengacu Suttner & Dutta (1986), dan relief
& ilkim purba mengacu pada diagram plot log-ratio semi-quantitative
weathering index mengacu Weltje et al., (1998).
Informasi tentang perubahan lingkungan dan iklim dapat diperoleh dari
interpretasi struktur dan tekstur dalam sedimen, meliputi mineral lempung dan
foraminifera. Pendapat ini didasarkan pada prinsip geologi, bahwa proses fisika
dan kimia yang terjadi di bumi di masa lalu sama dengan yang terjadi sekarang.
Karakter sedimen dan batuan yang tersingkap di bawah permukaan bumi maupun
bawah permukaan dapat digunakan untuk membaca fluktuasi maupun tren
perubahan kondisi lingkungan (Martin & Meybeck, 2006).
Aplikasi palinologi dalam penelitian paleoklimatologi diantaranya dapat
dipakai dalam penelitian ciri dari butir polen, produksi dan penyebaran polen
dalam hal ini polen sebagai gambaran perubahan vegetasi dan iklim, sumber fosil
polen, diagram polen dan pemetaan perubahan vegetasi.
Diagram Arboreal Pollen dengan Non Arboreal Pollen menggambarkan
perubahan kondisi hutan, dimana berkembangnya Arboreal Pollen yang
merupakan polen yang dihasilkan tumbuhan berkayu merefleksikan dari
perkembangan hutan dengan iklim yang diduga relatif hangat sedangkan
kebalikan perkembangan Non Arboreal Pollen yang dihasilkan kebanyakkan oleh
tumbuhan rumput, semak dan tumbuhan tidak berkayu mencerminkan iklim yang
relatif dingin seiiring dengan berkurangnya hutan.
Perubahan perputaran cangkang, perbedaan diameter pori-pori dan
kandungan isotop oksigen pada foraminifera tertentu dapat pula dipakai sebagai
data proxy untuk paleoklimatologi.
Sedimen dan mineral lempung merupakan elemen utama dari kerak bumi
baik di daratan maupun dasar laut sebagai fraksi sedimen berukuran kurang dari
0,063 mm. Mineral terbentuk oleh proses erosi dan pelapukan suatu batuan, yang
dikontrol oleh faktor-faktor iklim seperti suhu, presipitasi, evaporasi, kadar air,
curah hujan, angin, dan intensitas sinar matahari. Kelimpahan mineral lempung
seperti illite, nacrite, smectite, montmorilonite dan kaolinite digunakan sebagai
indikator iklim bersuhu dingin, hangat, tropis basah, panas dan kering (Martin &
Maybeck, 2006). Demikian pula halnya dengan foraminifera yang merupakan
organisme mikroskopis (berukuran 0,063 mm–1 mm), cangkangnya yang keras,
sebaran geografis dan sebaran geologisnya yang luas membuat taksa ini sangat
potensial digunakan sebagai petunjuk kondisi suatu lingkungan, baik pada masa
kini maupun masa lalu.
Rekonstruksi perubahan lingkungan laut yang menggunakan sampel dari
sedimen dasar laut, sampel yang dipakai harus berasal dari sedimen yang
terdeposisi secara menerus tanpa mengalami gangguan seperti erosi, redeposisi,
atau kerusakan-kerusakan oleh binatang. Sedimen laut yang paling baik untuk
kepentingan rekonstruksi lingkungan adalah sedimen yang berasal dari laut dalam.
Sedimen laut dalam dipilih karena tidak ada pengaruh pengendapan atau
transportasi material dari arah samping yang akan mengacaukan informasi
lingkungan yang terekam. Sedimen laut dalam hanya berasal dari material yang
diendapkan dari seluruh kolom air yang berada di atas dasar laut di mana sedimen
tersebut diendapkan. Sehingga sedimen laut dalam merupakan hasil pengendapan
kontinyu dan tak terganggu yang memberikan rekaman kondisi lingkungan secara
terus menerus.
DAFTAR PUSTAKA
Basu, A., Steven, W., Young, L.I., Suttner, W., Calvin, J., dan Mack, G.H..1975.
Re-evaluation of the use of undulatory extinction and polycrystallinity in
detrital quartz for provenance interpretation, Journal of Sedimentary
Research, Vol. 45, pp. 873-882.
Dickinson, W.R., &, Suczek, C.,. 1979. Plate Tectonic and Sandstone
Compositions. America : The American Association of Petroleum
Geologists, V. 63., No. 12, pp. 2164-2182.
Folk, R.L., 1974. Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publication Co.,
Austin,Texas.
Martin & Maybeck. 2006. Formation and alteration of clay materials. London:
Engineering Geology
Pettijohn, F.J., Potter, P.E., & Siever, R., 1987. Sand and Sandstone : Second
Edition. New York : Springer Verlag
Suttner & Dutta., 1986. Alluvial Sandstone Composition And Paleoclimate I.
Framework Mineralogy. Indiana : Department of Geology Indiana
University
Suttner, L.J., 1974. Sedimentary petrographic provinces: An evaluation. In: Ross,
C.A. (Ed.), Paleogeographic Provinces and Provinciality. SEPM Spec.
Publ., vol. 21, pp. 75– 84.
Suttner, L.J., Basu, A.,Mack, G.H., 1981. Climate and the origin of quartz
arenites. Journal of Sedimentary Petrology 51, 1235–1246.
Tortosa, A., Palomares, M., dan Arribas, J., 1991. Quartz grain types in Holocene
deposits from the Spanish Central System: Some problems in provenance
analysis. In: Developments in sedimentary provenance studies, Geol. Soc.
London Spec. Pub., 57, 47-54.
Weltje, G.J., Meijer, X.D., De Boer, P.L., 1998. Stratigraphic inversion of
siliciclastic basin fills: a note on the distinction between supply signals
resulting from tectonic and climatic forcing. Basin Res. 10, 129–153.
PLIOCENE-PLEISTOCENE RADIOLARIAN BIOSTRATIGRAPHY AND
PALEOCLIMATOLOGY AT DSDP SITE 278 ON THE ANTARCTIC
CONVERGENCE

John Keany and James P. Kennett, Graduate School of Oceanography, University


of Rhode Island, Kingston, Rhode Island

LATAR BELAKANG laboratorium standar. Lapisan


Sedimen yang kaya akan silika yang tersebut secara kualitatif diperiksa
terbentuk pada Akhir Pliosen hingga untuk menentukan spesies radiolaria
Awal Plistosen terletak pada daerah yang ada. Untuk sedimen Matuyama,
Antartika. Biostratigrafi dengan total populasi ialah 500-1200
kandungan radiolaria dan rekaman spesimen dihitung untuk mengetahui
paleoklimatologi. Zona radiolaria persentase Antartika Strelkovi pada
mengindikasikan bahwa tidak masing-masing sampel.
dijumpai lapisan berumur
Pertengahan Pliosen yang PEMBAHASAN
menandakan terjadinya Keany (1973) menunjukkan bahwa
disconformity. Ketiga zona radiolaria osilasi frekuensi dari Antartika
dijumpai pada lapisan yang tidak radiolarian air dingin. strelkovi
selaras dan dari perbandingan degan berhubungan erat dengan osilasi
studi sebelumnya, mengindikasikan paleoclimatic berdasarkan
urutan biostratigrafi yang terus foraminifera planktonik (Keany dan
menerus berkelanjutan pada awal Kennett, 1972). Peningkatan
periode dari normal paleomagnetik frekuensi A. strelkovi secara
(0.69 juta tahun yang lalu) ke bagian konsisten berkorelasi dengan interval
paling awal dari Masa Matuyama yang lebih dingin. Osilasi dalam
Reversed (2.40 juta tahun yang lalu). frekuensi A. strelkovi dicatat untuk
Frekuensi osilasi dari cool-water urutan yang hampir berlanjut pada
pada Antartika menunjukkan 9 atau usia Matuyama di Situs 278. Osilasi
10 periode warm-water yang tersebut menentukan setidaknya 9
dijumpai pada Masa Matuyama atau 10 interval hangat untuk bagian
Reversed, dengan satu episode Matuyama yang ada pada intinya
warm-water diperkirakan hilang (Gambar 3). A. strelkovi berkisar
dalam diskoformitas. Spesies dari antara 13% sampai 39% dari total
radiolaria dapat diamati dengan fauna, dengan rata-rata sekitar 20%.
menggunakan SEM dan LM. Hal ini sebanding dengan fluktuasi
sedimen usia Matuyama di inti piston
BAHAN DAN METODE pada lintang yang sama (Keany,
SAMPEL 1973). Untuk bagian Core 4 dimana
Sampel yang diambil pada interval tidak ada sampel yang tersedia, kurva
kira-kira 100-150 cm dicuci melalui paleoclimatic telah disimpulkan.
saringan 63 mikron. Lapisan dengan Kurva paleoklimatik radiolarian
populasi radiolaria yang untuk situs ini (Gambar 4),
representative disiapkan dengan menunjukkan korelasi yang baik
menggunakan preosedur dengan kurva paleoklimatik yang
telah ditetapkan sebelumnya (Keany pada aktivitas air bawah pada waktu
dan Kennett, 1972). Osilasi pasca-Gauss.
paleoklimatik yang paling cepat
terjadi segera setelah batas Pliosen-
Pleistosen, di mana puncak 12 dan
13 tampaknya benar-benar terdiri
dari beberapa osilasi cepat. Puncak
14 dan 15 di zona terlihat jelas,
sementara Peak 16 hilang dalam
diskonformitas. Kurva radiolarian
menunjukkan adanya puncak hangat
yang sebelumnya tidak tercatat
antara puncak 9 dan 10, meskipun
hal ini mungkin disebabkan oleh
gangguan pengeboran di Core 4.
Diskonformitas yang terletak pada
167,5 meter menunjukkan erosi
kapal selam yang kuat, setidaknya
selama Matuyama Gauss yang paling
awal. Pendinginan di Samudra
Selatan dan daerah beriklim mulai di
Gauss terbaru, dan berlanjut ke
Matuyama telah dijelaskan oleh
Kennett et al. (1971); Keany dan
Kennett (1972); Kennett dan Vella
(volume ini); dan Shackleton dan
Kennett (volume ini). Watkins dan
Kennett (1971) mengaitkan erosi di
Laut Selatan dan Laut Tasman
terhadap peningkatan produksi dan
kecepatan air bawah yang terjadi
pada waktu pasca-Gilbert atau pasca-
Gauss. Hal ini, pada gilirannya,
diakibatkan oleh peningkatan
glaciation Antartika. Fillon (1972)
menemukan diskonformitas meluas
yang meluas di atas cekungan dan
pegunungan di Laut Ross, dan
mengemukakan bahwa erosi
dihasilkan dari peningkatan aktivitas
air bawah yang terjadi setelah
almarhum Gauss. Disconformity
adalah fitur luas dan meluas di
Samudra Selatan, dan merupakan
perubahan mendasar yang terjadi
Figure 1 Stylotracta universa Hays. 278-2-1,
40-42 cm; ×165.
Figure 2 Theocalyptra davisiana
(Ehrenberg). 278-2-4, 90-92 cm; ×380.
Figure 3 Spongoplegma antarcticum
Haeckel. 278-3-6, 90-92 cm; × 140.
Figure 4 Stylochlamidium sp. 278-5-3, 90-92
cm; ×245.
Figure 5 Pterocanium trilobum Haeckel.
278-5-3, 90-92 cm; ×180.
Figure 6 Saturnalus circularis (Haeckel).
278-5-1, 90-92 cm; ×165.
Figure 7 Carpocanium sp. 278-5-3, 90-92
cm; X53O.
Figure 8 Pterycorys ob. Petrushevskaya.
278-5-1, 90-92 cm; ×260.
Figures 9, 10 Antarctissa denticulata
Petrushevskaya. 9. 278-5-1, 90-92 cm; ×415.
10. 278-6-3, 90-92 cm; ×38O.
Figure 11 Peripyramis circumtexta Haeckel.
278-2-4, 90-92 cm; ×245.
Figure 12 Spongotrochus glacialis Popofsky.
278-12-6, 86-88 cm; ×IOO.
Figures 13, 14 Antarctissa strelkovi
Petrushevskaya. 13. 278-8-2, 14-16 cm;
×440. 14. 278-3-6, 90-92 cm; X400.
Figure 15 Plectopyramis dodecoma Haeckel.
278-2-4, 90-92 cm; ×140.
Figure 16 Phorticium pylonium (Haeckel).
278-5-3, 90-92 cm; ×270.

KESIMPULAN
1. Site 278 berisi rangkaian endapan
sedimen silika yang hampir kontinu
pada akhir zaman purba Pliosen
hingga Awal Pleistosen (101-167,5
m). Biostratigrafi radiolarian
menunjukkan Masa Matuyama
Reversed yang hampir lengkap, yang
mencakup zona radiolarian x dan
sebagian zona radiolaria.
2. Frekuensi osilasi dari radiolaria
yang berasal dari Antarctissa
strelkovi menentukan 9 atau 10
episode suhu hangat di bagian
Matuyama yang dipelihara di Site
278.
3. Sebuah disconformity substansial
dijumpai setebal pada 167,5 meter,
ditandai dengan perubahan
mendadak dalam biostratigrafi
radiolaria, telah menghilangkan Hays, J. D. and Opdyke, N. D., 1967.
sebagian besar yang berumur Pliosen Antarctic Radiolaria, magnetic
Tengah (termasuk F. Matuyama reversals, and climatic change:
bagian paling bawah, seluruh F. Science, v. 158, p. 1001-1011.
Gauss, dan F. Gilbert paling atas). Keany, J., 1973. New radiolarian
Ketidakselarasan terkait dengan palaeoclimatic index in the Plio-
peningkatan bottom water Pleistocene of the Southern Ocean:
temperature di Samudera setelah Nature v. 246, p. 139-141.
zaman normal. Keany, J. and Kennett, J. P., 1972.
Pliocene-early Pleistocene
DAFTAR PUSTAKA paleoclimatic history recorded in
Bandy, O. L., Casey, R. E., and Antarctic-Subantarctic deep-sea
Wright, R. C, 1971. Late Neogene cores: Deep-Sea Res., v. 19, p. 529-
planktonic zonation, magnetic 548.
reversals, and radiometric dates, Kennett, J. P., Watkins, N. D., and
Antarctic to tropics: Am. Geophys. Vella, P., 1971. Paleomagnetic
Union, Antarctic Res. Ser., v. 15, p. chronology of Pliocene-early
1-26. Pleistocene climates and the Plio-
Cox, A., 1969. Geomagnetic Pleistocene boundary in New
reversals: Science, v. 163, p. 237245. Zealand: Science, v. 171, p. 276-279.
Fillon, R. H., 1972. Evidence from Mackintosh, N. A., 1946. The
the Ross Sea for widespread Antarctic convergence and the
submarine erosion: Nature Phys. distribution of surface temperatures
Sci., v. 238, p. 40-42. in Antarctic waters: Discovery Rep.,
Garner, D. M., 1959. The sub- v. 23, p. 177-212.
tropical convergence in New Zealand Opdyke, N. D., Glass, B., Hays, J.
surface waters: New Zealand J. Geol. D., and Foster, J., 1966.
Geophys., v. 2, p. 315-337. Paleomagnetic study of Antarctic
Gordon, A. L., 1972. On the deep-sea cores: Science, v. 154, p.
interaction of the Antarctic 349-357.
circumpolar current and the Watkins, N. D. and Kennett, J. P.,
Macquarie Ridge: Am. Geophys. 1971. Antarctic bottom water: major
Union, Antarctic Res. Ser. v. 19, p. changes in velocity during the late
71-78. Cenozoic between Australia and
Hays, J. D., 1965. Radiolaria and late Antarctica: Science, v. 173, p.
Tertiary and Quaternary history of 813818.
Antarctic seas: Am. Geophys. Union,
Antarctic Res. Ser., v. 5, p. 125-184.

Anda mungkin juga menyukai