Disadur oleh:
Adiburrohman Putra Wasyim
16710251
Pembimbing:
dr. Bambang Indra, Sp. THT
Abstrak: Croup adalah infeksi pada saluran napas, terjadi pada anak antara usia 6
bulan dan 5-6 tahun. Tanda dari croup adalah “batuk menggonggong”, menyerupai
suara dari singa laut. Stridor diperparah oleh adanya agitasi atau tangisan, dan dapat
didengar saat istirahat, ini mungkin menunjukkan adanya penyempitan pada saluran
napas yang berbahaya. Virus awalnya menginfeksi saluran pernapasan atas dan
biasanya menyebabkan kebuntuan pada hidung dan nasofaring, kemudian
melibatkan laring, trakea dan bronkus. Tanda klasik dari croup adalah stridor, serak,
dan batuk yang sebagian besar timbul karena adanya inflamasi pada laring dan
trakea. Virus parainfluenza tipe 1 adalah penyebab paling sering pada croup,
dengan adenovirus, enterovirus dan Mycoplasma pneumonia. Diagnosis ditandai
dengan adanya manifestasi klinis, riwayat, terutama pada anak-anak. Evaluasi foto
roentgen tidak dibutuhkan, gambaran radiologis mungkin membantu dalam
diagnosis banding. Pedoman terapi pada croup telah diklasifikasi menjadi ringan,
sedang dan berat, skor Westley 0 sampai 2 termasuk kasus ringan, skor 3 sampai 7
termasuk kasus sedang, skor 8 sampai 11 termasuk kasus berat, dan skor 12 sampai
17 termasuk resiko tinggi dengan terjadinya kegagalan napas. Deksametason dan
budesonida efektif, nebul epinefrin atau epinefrin mungkin ditambahkan pada
deksametason untuk kasus croup yang berat.
Kata Kunci: Croup, batuk menggonggong, Virus Croup, Diagnosis dan Terapi.
I. Pendahuluan
III. Etiologi
Croup biasanya dianggap sebagai infeksi virus. Anak-anak yang dengan
croup di Bagian gawat darurat telah diidentifikasi satu atau lebih agen virus pada
80% spesimen dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR);
virus parainfluenza terdeteksi lebih sering. Tidak masalah alat yang digunakan
untuk mendeteksi, penelitian yang konsisten pada beberapa dekade menunjukkan
bahwa virus parainfluenza terutama tipe 1 adalah penyebab paling sering dari
croup. Hanya virus parainfluenza yang terkait dengan puncak kejadian kasus croup,
Parainfluenza tipe 1 telah diidentifikasi yaitu kira-kira seperempat sampai sepertiga
dari kasus. Parainfluenza tipe 3 umumnya merupakan virus kedua yang paling
banyak dikaitkan, yaitu sekitar 6% sampai 10% kasus per tahun. Meskipun infeksi
Respiratory syncitial virus (RSV) sangat umum terjadi di antara kelompok ini,
hasilnya relatif sedikit (sekitar 5% dari infeksi RSV) yang bermanifestasi pada
croup.
Studi yang baru dengan menggunakan metode RT-PCR telah mendeteksi
rhinovirus, enterovirus, dan bocavirus pada 9% sampai 13% spesimen dari anak-
anak dengan croup. Dalam banyak kasus, agen virus lainnya diidentifikasi
bersamaan. Confeksi dengan rhinovirus sangat sering terjadi. Anak-anak dengan
croup di sebuah departemen gawat darurat, dua pertiga spesimen menunjukkan
rhinovirus memiliki agen lain yang bersamaan dengan RT-PCR. Adenovirus dan
metapneumovirus diidentifikasi pada 1% sampai 2% anak-anak dengan croup
Mycoplasma pneumonia dan jarang ditemukan pada kasus croup (0% sampai
0,7%). Informasi yang didapatkan terbatas, namun ada yang menunjukkan bahwa
coronavirus adalah penyebab kecil (sekitar 2%) dari kasus croup. Studi baru ini
menemukan coronavirus NL63 yang sangat terkait dengan croup ketika terdeteksi
pada titer yang tinggi dan sebagai agen tunggal. Penyimpangan di Amerika Serikat
dan tempat lain berfungsi sebagai pengingat bahwa rubeola pada pre vaksin sering
menghasilkan croup yang parah dan rumit. Selama 1989-1999 kasus campak
bertambah di Amerika Serikat, sekitar 20% kasus campak di antara pasien rawat
inap di Los Angeles dan Houston terjadi laryngotracheobronchitis yang
menyulitkan. Komplikasi pada anak-anak dengan croup adalah terjadinya campak,
mereka memiliki kasus yang lebih parah, dan 17% sampai 22% memerlukan
intubasi. Dalam beberapa kasus anak, hasilnya adalah fatal.
IV. Patofisiologi
Infeksi virus croup menyebabkan terjadinya pembengkakan pada laring,
trakea, bronkus mengakibatkan terjadinya infiltrasi pada sel darah putih (terutama
histiocytic, limfosit, sel plasma, dan netrofils). Pembengkakan ini menyebabkan
kebuntuan pada saluran napas yang signifikan, peningkatan pernapasan ditandai
adanya turbulen, aliran udara bising yang dikenal sebagai stridor. Virus awalnya
menginfeksi saluran pernapasan bagian atas dan biasanya menyebabkan kebuntuan
pada saluran hidung dan nasofaring. Terutama selama infeksi primer, laring, trakea,
dan kadang bronkus ikut terlibat. Tanda klasik dari croup adalah adanya stridor,
suara serak, dan batuk yang sebagian besar timbul radang pada laring dan trakea.
Hasilnya adalah pembesaran pada subglotis karena merupakan bagian dari jalan
napas yang paling tidak mungkin karena diliputi oleh tulang rawan, dengan cincin
anterior yang sempit dan lamina kuadrangular posterior terbesar membentuk
"cincin tunggal". Aliran udara yang terhambat melalui area sempit menjadi suara
vibrator yang tinggi (high pitched) atau stridor. Tanda ini paling jelas pada saat
inspirasi karena tekanan intraluminal yang negatif cenderung mempersempit ekstra
torakal, merupakan saluran napas yang jauh, sama seperti mengisap sedotan yang
tersumbat kertas. Efek ini meningkat pada anak kecil karena penebalan dinding
saluran napas mereka.
Bahkan dengan sedikit inflamasi pada membran yang melapisi bagian sempit
dari laring dan glotis pada anak kecil menyebabkan tingkat obstruksi yang cukup
besar karena ketahanan terhadap aliran udara berbanding terbalik dengan kekuatan
keempat jari-jari jalan napas. Mukosa membran juga lebih longgar dan lebih
bervaskular, dan tulang rawan krikoid sedikit lentur. Kebuntuan pada hidung yang
disertai dengan tangisan dapat memperparah penyempitan saluran napas pada anak.
Dengan kebuntuan pada subglotic menurunkan volume tidal pada anak. Hal ini
dikompensasikan dengan kenaikan kecepatan pernafasan untuk mempertahankan
ventilasi alveolar yang memadai. Jika obstruksi memburuk, kecepatan pernapasan
dapat meningkat pada anak tersebut dan tidak lagi mempertahankan efek
kompensasi pernapasan yang diperlukan. Volume tidal dapat menurun, dan laju
pernafasan menurun, dan kemudian terjadi hipercarbia dan hipoksemia sekunder.
V. Presentasi Klinis
Croup ditandai dengan batuk "menggonggong", stridor, suara serak, dan
sulit bernapas yang biasanya memburuk pada malam hari. Batuk "menggonggong"
sering digambarkan menyerupai suara singa laut. Stridor memberat saat agitasi atau
saat menangis, dan bisa terdengar saat istirahat, ini mungkin mengindikasikan
terjadinya penyempitan pada saluran pernapasan yang kritis. Croup memburuk saat
stridor menurun secara signifikan. Sebagian besar anak-anak memiliki fase
prodromal dan rhinnorhea pada saluran pernapasan ringan, batuk, dan kadang
demam, 12 sampai 48 jam sebelum onset muncul yaitu batuk “kasar dan stridor”
pada croup. Batuk yang mendalam dan suara serak semakin memicu terjadinya
stridor pada pernapasan. Batuk mungkin tidak produktif, namun memiliki nada
yang kasar dan mencolok seperti "gonggongan anjing laut atau singa laut".
Pernapasan stridor mungkin disertai dengan retraksi dinding dada, biasanya paling
sering pada daerah supraclavikicular dan suprasternal. Beberapa anak mungkin
mengalami stridor pada inspirasi dan ekspirasi yang progressif. Rasio respirasi
mungkin sangat tinggi, namun rasio yang lebih tinggi dari 50 per menit biasanya
tidak terdapat pada anak-anak dengan croup, berbeda dengan tanda takipnea yang
sering terlihat pada bronkiolitis.
Onset terjadinya stridor biasanya terjadi pada malam hari, dan pada kasus yang
ringan dapat membaik di pagi hari, namun memburuk lagi di malam hari. Anak-
anak dengan croup ditandai dengan munculnya onset yang tiba-tiba pada malam
hari dengan sedikit fase prodromal timbulnya infeksi pada saluran pernapasan,
diikuti dengan membaiknya di siang hari, yang sering disebut sebagai "croup
spasmodik". Anak-anak yang mengalami episode ini akan berulang selama
beberapa hari atau bulan. Umumnya episode dari croup yang rekuren tidak dapat
dibedakan dari kasus yang sebenarnya pada temuan klinis virus croup atau oleh
etiologi virus lain. Dibandingkan dengan anak-anak dengan episode croup yang
berulang, anak-anak dengan episode tunggal telah terbukti tidak berbeda dengan
ciri demografi mereka, riwayat atopi, riwayat keluarga dengan atopi, atau ciri klinis
yang lain. Penyebab dari virus sudah diidentifikasi dengan RT-PCR pada 68%
anak-anak, dan proporsinya teridentifikasi sebagai infeksi virus yang tidak berbeda
secara signifikan antara anak-anak dengan episode tunggal croup dan yang
berulang/rekuren. Bagi kebanyakan anak, perjalanan croup kurang dari 3 sampai 4
hari. Meski batuk bisa bertahan lebih lama, ditandai dengan kualitas batuk yang
menggonggong dalam 2 hari pada sebagian besar anak.
VI. Diagnosis
Croup adalah diagnosis klinis. Langkah pertama adalah menyingkirkan
penyakit obstruktif lain pada saluran pernapasan atas, terutama epiglotitis, benda
asing di saluran pernapasan, stenosis subglotis, angioedema, abses retrofaring, dan
tracheitis bakteri. Diagnosis selalu dapat dilakukan berdasarkan karakteristik
epidemiologis, manifestasi klinis, dan riwayat, terutama pada anak usia 6 bulan
sampai usia 3 tahun. Prosedur diagnostik yang memperburuk distres napas anak
harus dihindari. Analisis laboratorium umumnya harus dibatasi pada tes yang
diperlukan untuk terapi pada anak lebih parah, seperti tes untuk menilai dehidrasi
dan oksigenasi. Jumlah sel darah putih jarang membantu dalam mendiagnosa croup.
Identifikasi agen virus yang spesifik biasanya juga tidak perlu dilakukan, swap pada
saluran pernapasan dan sekresi saluran pernapasan kemungkinan akan
meningkatkan terjadinya distres pernapasan anak. Identifikasi virus dapat
dilakukan bila terapi antivirus dianggap spesifik, seperti sakit parah atau anak
berisiko tinggi dengan influenza. Kebanyakan kasus, rapid antigen assay, seperti
immunofluorsen dan immunoassay enzim dapat digunakan. Tes RT-PCR adalah
yang paling sensitif, namun hasilnya sering tidak tersedia dalam waktu yang
dibutuhkan untuk memberi keputusan dalam terapi croup.
Evaluasi Roentgenographic biasanya tidak perlu untuk diagnosis croup dan, harus
dilakukan dengan hati-hati dan pemantauan secara hati-hati pada anak. Di antara
kasus atipikal, gambaran radiologis mungkin sangat membantu dalam diagnosis
banding. Manifestasi ditandai pada virus croup yang sudah ada pada gambaran di
anteroposterior leher yaitu adanya bayangan yang menyempit pada trakea 5 sampai
10 mm di daerah subglotis. Hal ini sering digambarkan sebagai "jam pasir" atau
"menara". Pada lateral leher mungkin menunjukkan adanya peningkatan pelebaran
space udara di daerah hipofaring. Pelebaran jalan napas di faring menyebabkan
peningkatan pernapasan pada anak akibat obstruksi di trakea. Nilai diagnostik dari
temuan roentgenographic ini tetap dipertanyakan. Mereka tidak mengamati secara
konsisten pada semua kasus virus croup, dan beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa mereka memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah
untuk mengkonfirmasikan atau mengesampingkan virus croup.
Diagnosis banding. Anak-anak yang memiliki ciri atipikal dan riwayat, diagnosis
banding harus dipertimbangkan. Suatu kasus harus dipertimbangkan diagnosa lain
jika anak tidak memiliki ciri-ciri yang paling umum dari croup. Terutama batuk
yang menggonggong seperti anjing laut atau singa laut dan suara serak. Riwayat
dari perjalanan penyakit yang cepat dan progresif, demam tinggi, timbulnya toksik,
dan adanya air liur menunjukkan adanya infeksi bakteri, terutama epiglotis dan
tracheitis bakteri. Kasus epiglotis bakteri jarang terjadi karena penggunaan vaksin
H.influenzae tipe B. Perbedaan dari epiglotitis meliputi onset cepat yang mencolok
dan progresif, ditandai dengan demam tinggi dan timbulnya toksik. Anak sering
duduk, mencondongkan tubuh ke depan, dan cemas. Riwayat infeksi saluran
pernapasan bagian atas dengan rhinorrhea dan laringitis biasanya tidak ada. Sebagai
gantinya anak mungkin memiliki suara yang redup/ lemah, ditandai disfagia dan
keluar air liur. Bacterialtrachetis memiliki onset akut dan ditampilkan serupa
dengan epiglottis. Onset yang cepat ditandai dengan stridor, demam tinggi, dan
dipsnea karena jumlah dahak yang purulen berlebihan. Anak bisa terjadi
penyumbatan jalan napas yang komplit secara progresif. Perjalanan ini tidak
responsif terhadap terapi dengan nebulisasi epinefrin, dan kasus ini harus ditangani
sebagai keadaan darurat. Selulitis bakteri dan abses pada leher bagian dalam,
termasuk abses peritonsillar dan retropharyngeal, juga dapat bermanifestasi dengan
temuan serupa mengenai demam tinggi, disfagia, dan keluar air liur. Tanda-tanda
pernapasan bagian atas yang khas, seperti suara serak dan batuk menggonggong,
biasanya tidak ada. Penyebab utama stridor dari riwayat pajanan C.diphtheriae,
walaupun sekarang jarang ditemukan di Amerika Serikat dan negara maju lainnya,
namun masih harus dipertimbangkan di negara-negara dengan tingkat imunisasi
yang rendah.
Penyebab penyumbatan non infeksius tidak sama seperti gejala croup yang meliputi
aspirasi dari benda asing, yang umumnya terjadi pada kelompok usia yang sama
dengan virus croup; trauma pada saluran napas bagian atas, seperti menelan racun,
dan edema angioneurotik. Kelainan anatomis seperti kelumpuhan pita suara dan
anomali yang menimpa area laryngotrachea dapat menyebabkan stridor, terutama
bila infeksi saluran pernapasan terjadi penyumbatan. Ini termasuk
traheolaryngomalacia, jaringan laryngeal, dan papiloma. Dalam kebanyakan kasus,
riwayat dan kurangnya tanda yang akut pada infeksi pernafasan mungkin berbeda .
Terkadang, episode stridor yang berulang/rekuren mungkin berhubungan dengan
gastrointestinal refluks.
VII. TERAPI
Terapi yang tepat untuk menghentikan croup ditentukan oleh tingkat
keparahan penyakit. Penilaian yang akurat pada status klinis anak sangat penting.
Fluktuasi secara alami dalam perjalanan croup sering mengacaukan evaluasi ini,
sekaligus dapat menilai keberhasilan terapi. Sebagian besar anak dengan croup
ringan mungkin dirawat di rumah. Menjaga anak tetap nyaman dan menghindari
prosedur yang mengganggu sangat penting karena kecemasan dan tangisan dapat
meningkatkan distres pernapasan. Anak harus diberi cairan dan antipiretik jika
perlu. Meskipun kebanyakan terapi di rumah untuk croup tidak ada bukti yang
efektif. Cara lain vaporizer untuk menghasilkan uap di rumah telah lama
disarankan. Pada abad yang lalu, dengan cara mengepul teh dari ceret yang
merupakan mode terapi utama yang maju. Meski demikian, efek uap belum
terbukti.
Beberapa sistem penilaian telah digunakan untuk menilai tingkat keparahan
croup. Sistem penilaian yang paling sering digunakan adalah skor Westley.
Temuan utama pada pemeriksaan fisik yang digunakan untuk skor ini adalah derajat
stridor, retraksi dinding dada, air entry, tingkat kesadaran atau kelelahan, dan
adanya sianosis. Pedoman untuk terapi croup umumnya memiliki klasifikasi
kelompok ringan, sedang, dan berat, dengan kasus ringan yang memiliki skor
Westley yang sesuai dari 0 sampai 2, kasus yang cukup parah memiliki skor 3
sampai 7, kasus berat memiliki skor 8 sampai 11, dan kasus pada kegagalan
pernapasan memiliki skor 12 sampai 17.
Terapi yang direkomendasikan bervariasi sesuai dengan tingkat penilaian
keparahan, namun terapi utama di luar perawatan suportif adalah deksametason.
Satu dosis deksametason secara oral atau, jika perlu diberikan secara intramuskular
ke pasien rawat jalan dan di instalasi gawat darurat telah terbukti efektif. Nebul
Epinefrin, epinefrin rasemat, atau epinefrin dapat ditambahkan ke deksametason
untuk anak-anak dengan croup berat. Karena perbaikan setelah epinefrin nebul
bersifat sementara, anak harus diobservasi paling sedikit 2 jam. Pemberian
campuran helium dan oksigen telah lama digunakan untuk memperbaiki pertukaran
gas dalam berbagai gangguan penyumbatan pada saluran pernapasan atas dan
bawah. Ada sedikit bukti, bagaimanapun bahwa pemberian heliox pada anak-anak
dengan croup adalah bermanfaat.
Prognosis. Croup tetap merupakan penyakit yang sering terjadi di kalangan anak
kecil, namun dengan modalitas penatalaksanaan saat ini, kebanyakan anak mungkin
dirawat di rumah, dan penyakitnya biasanya sembuh dalam 3-4 hari. Paling banyak
memiliki gejala ringan, dan hanya 5 % anak-anak dipulangkan dari bagian gawat
darurat/igd setelah pemberian kortikosteroid yang kembali karena gejala yang
memburuk. Jika gejala anak berkurang pada saat pulang, dan balik dalam waktu 24
jam tidak mungkin terjadi. Di Kanada semua anak dengan croup, sekitar 4%
diperkirakan memerlukan penanganan rawat inap, dan intubasi diperlukan pada 1
dari 170 anak yang dirawat di rumah sakit atau 1 dari 4.500 anak-anak dengan
croup. Rajapaksa dan rekan melaporkan bahwa virus croup biasanya bisa sembuh
sendiri dalam satu hari pada beberapa kasus dan 80% kasus dalam dua hari. Hal ini
sangat jarang mengakibatkan kematian akibat kegagalan napas dan atau karena
serangan jantung. Komplikasi umum lainnya meliputi trachetitis pneumonia
bakteri, dan edema paru.
VIII. Kesimpulan
Croup adalah penyakit yang biasa terjadi di seluruh dunia di kalangan anak
kecil. Modalitas terapi sudah tersedia saat ini, kebanyakan anak dengan gejala
ringan mungkin dirawat di rumah. Penelitian diperlukan untuk menguji metode
yang paling bermanfaat untuk menyebarkan pedoman penatalaksanaan croup dan
untuk meningkatkan bukti yang ada.