Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nurfitriani

NIM : 03021181520142
Kelas : B

Perbandingan Peraturan Perundangan Yang Menyangkut Reklamasi Penutupan


Tambang, Berdasarkan Aturan Yang Lama Dan Yang Baru.

Perbandingan UU No.11 Tahun 1967 (aturan lama) dengan UU No.4 Tahun 2009 (aturan
baru), dimana didalam kedua UU tersebut terdapat pasal mengenai reklamasi dan pasca
tambang.

 Mengenai UU No.11 Tahun 1967


Pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan pada tahun 1967 dimana,
sebuah undang-undang kembali diterbitkan, yakni UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Peraturan ini bisa dikatakan berhasil untuk
meningkatkan performa di sektor pertambangan karena selama tiga dekade berikutnya,
undang-undang di sektor pertambangan masih tetap mengandalkan UU No. 11 Tahun 1967.
Pada kurun waktu itu telah disetujui ratusan Kuasa Pertambangan. Namun, harus diakui
bahwa peraturan ini juga memiliki kekurangan, yakni terkait kelonggaran dan
ketidakdetilannya. Walaupun telah terbit banyak PP (Peraturan Pemerintah) yang berusaha
mendetilkannya, sejumlah kalangan menilai bahwa Indonesia membutuhkan peraturan baru
di sektor pertambangan.
Kelonggaran dan ketidakdetilan di UU No. 11 Tahun 1967 atau yang bisa dikatakan
masih minim pada pembahasan mengenai penutupan tambang ini, terlihat bahwa
pengaturannya hanya terdapat pada pasal 30, yang berbunyi sebagai berikut;
“Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat
pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan
mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya
penyakit atau bahaya ainnya bagi masyarakat sekitarnya.”
Kegiatan reklamasi merupakan salah satu kewajiban pemegang izin berdasarkan peraturan
dan perundangan, diantaranya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 30 yang mencantumkan kewajiban pemegang izin
tambang untuk melakukan kegiatan reklamasi lahan pasca pertambangan. Dalam aturan
tersebut dinyatakan bahwa reklamasi areal bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai
dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, reklamasi dinyatakan selesai setelah
disetujui oleh Dirjen, dan pemegang izin wajib menanami kembali daerah bekas tambang,
termasuk daerah sekitar projek area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.
Sebagai contoh kasus, jika melihat sepanjang jalan antara Kota Samarinda menuju
Tenggarong akan ditemukan sangat banyak lubang-lubang bekas galian tambang yang telah
ditinggalkan dan menjadi kolam-kolam air yang sangat luas, hal ini sangat memprihatinkan
mengingat kegiatan reklamasi lahan pasca tambang merupakan salah satu kewajiban bagi
pemegang IUP yang ditandai dengan pembayaran jaminan reklamasi pada saat pengajuan
IUP kepada Pemerintah. Sesuai peraturan yang berlaku kegiatan pertambangan seharusnya
hanya boleh dilakukan oleh pemegang IUP dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
daerah (provinsi/kabupaten). Namun pada kenyataannya sangat banyak kegiatan
pertambangan yang dilakukan tanpa IUP atau pertambangan ilegal, hal ini sangat mungkin
mengakibatkan banyaknya bekas-bekas galian yang ditinggalkan dan tidak dilakukan
kegiatan reklamasi setelah dilakukan eksplorasi dan produksi hasil tambang.
Sebenarnya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 dan dibantu dengan
banyaknya diturunkan peraturan pemerintah dibawahnya telah jelas bahwa yang dimaksud
dengan reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan
yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan
berdayaguna sesuai dengan peruntukannya. Kebijakan reklamasi ditujukan agar pembukaan
lahan untuk pertambangan seoptimal mungkin, dan setelah digunakan segera dipulihkan
fungsi lahannya. Reklamasi harus dilaksanakan secepatnya sesuai dengan kemajuan tambang
dan merupakan bagian dari rencana pemanfaatan lahan pasca tambang. Bahan tambang
batubara merupakan salah satu sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, memiliki
nilai ekonomi sangat tinggi, dan untuk pengelolaannya perlu SDM dengan kualifikasi yang
tinggi. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, ikan, ternak, tanaman
pertanian, memiliki nilai ekonomi rendah dan umumnya mudah rusak dan mengalami
gangguan dalam produksi, sehingga perlu adanya kombinasi antara kedua sumberdaya alam
tersebut melalui kegiatan reklamasi lahan pasca tambang.
Namun, hanya saja selama berlakunya UU No.11 Tahun 1967 ini belum ditegaskan
secara detail runtutan pentingnya kewajiban setiap perusahaan pertambangan sehingga masih
banyak perusahaan pertambangan kurang bahkan tidak komit dalam upaya reklamasi dan
penutupan tambang akibatnya sanksi pelanggaran tidak tampak jelas.
 Mengenai UU No.4 Tahun 2009
Pada awal tahun 2009, pemerintah akhirnya resmi mengeluarkan peraturan baru di
sektor pertambangan, yakni UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Undang-undang ini mengedepankan semangat meningkatkan added value dari
mineral dan batubara dengan pelaksanannya yang berwawasan lingkungan demi terciptanya
pembangunan yang berkelanjutan.
Sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, yang mengedepankan prinsip pelaksanannya yang berwawasan lingkungan demi
terciptanya pembangunan yang berkelanjutan dibahas lebih detail mengenai reklamasi dan
penutupan tambang.
Pembahasan mengenai penutupan tambang (mine closure) tidak akan bisa lepas dari
kegiatan pertambangan itu sendiri. Semuanya terintegrasi dan berhubungan antara satu
dengan yang lainnya. Pelaksanaan penutupan tambang di Indonesia dilakukan oleh badan
usaha / koperasi / perseorangan yang telah diberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) / Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Strategi penutupan tambang yang akan dilakukan perusahaan setidaknya harus
memenuhi 2 (dua) kriteria, yaitu:
1. Menyeluruh
Memerhatikan aspek teknis, lingkungan, dan sosial sebagai faktor utama program,
serta melibatkan stakeholders.
2. Berkelanjutan
Manfaat dari program bisa berlangsung secara terus-menerus, walaupun perusahaan
sudah pergi dari daerah tersebut.
Stakeholders yang dimaksud di atas adalah pihak-pihak yang ikut terlibat, yaitu perusahaan,
pemerintah, masyarakat, dan akademisi. Stakeholders ini kemudian berkumpul dalam suatu
forum untuk membahas hendak dijadikan seperti apa lahan bekas tambang di masa depan.
Hasil dari forum ini kemudian didokumentasikan dalam sebuah Rencana Penutupan
Tambang (RPT) seperti yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 18 Tahun
2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, dengan rincian sebagai berikut;
o Bab I Ketentuan Umum
o Bab II Prinsip-prinsip Lingkungan Hidup
o Bab III Tata Laksana (Rencana Reklamasi dan Rencana Penutupan Tambang)
o Bab IV Penilaian dan Persetujuan
o Bab V Pelaksanan dan Pelaporan (Reklamasi dan Penutupan Tambang)
o Bab VI Jaminan Reklamasi dan Penutupan Tambang
o Bab VII Pengawasan
o Bab VIII Sanksi Administratif
o Bab IX Ketentuan Peralihan
o Bab X Ketentuan Penutup
Dokumen RPT ini wajib dibuat oleh perusahaan dan menjadi prasyarat
dikeluarkannya IUP/IUPK Operasi Produksi sebagaimana diatur dalam UU No. 4 Tahun
2009 Pasal 99 Ayat 1, yang berbunyi;
“Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan
rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi
Produksi atau IUPK Operasi Produksi.”
Dokumen RPT dijadikan sebagai blueprint perusahaan dengan pengawasan pelaksanaannya
dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Apabila terdapat kejanggalan berupa
perbedaan dengan plan yang telah disepakati, maka kemudian dilaporkan untuk menjalani
proses lebih lanjut.
Salah satu semangat yang terkandung dalam UU No. 4 Tahun 2009 adalah terciptanya
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan
berkelanjutan merupakan suatu kondisi dimana tercipta ke-integrasian antara kegiatan
ekonomi yang dilakukan dengan integritas lingkungan, masalah sosial, dan keefektifan dari
sistem perusahaan. Selain itu, ada juga definisi yang diajukan oleh Komisi Dunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development atau
yang lebih dikenal sebagai Komisi Burtland).
“Sustainable development is development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own
needs.”
Inti dari prinsip pembangunan berkelanjutan adalah meningkatkan kualitas hidup manusia
dan mempertahankan peningkatan tersebut secara terus-menerus. Dari pengertian yang dibuat
oleh Komisi Burtland, kita bisa membaginya ke dalam 4 (empat) kondisi saat pembangunan
berkelanjutan tercipta, yaitu:
1. material dan kebutuhan lainnya untuk kehidupan yang lebih baik harus dipenuhi
untuk generasi sekarang;
2. dengan pelaksanaan seseimbang mungkin;
3. serta tetap memerhatikan keterbatasan ekosistem; dan
4. membangun basis yang dapat memberi jaminan bagi generasi mendatang untuk
mencukupi kebutuhannya.
Dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dijelaskan
bahwa pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan:
1. manfaat, keadilan dan keseimbangan;
2. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
3. partisipatif, transparansi dan akuntabilitas; dan
4. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
Penjelasan untuk asas ke-4, yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi
ekonomi, lingkungan dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan
batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.
Dimensi sosial budaya yang dimaksud di atas adalah masyarakat. Dalam
operasionalnya, perusahaan wajib untuk melibatkan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
UU No. 4 Tahun 2009 Pasal 108.
Ayat (1): “Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan
dan pemberdayaan masyarakat.”
Ayat (2): “Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikonsultasikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.”
Pada pelaksanaan penutupan tambang, biasanya perusahaan membuat sebuah tim yang
terbagi menjadi tiga divisi sesuai dengan aspek-aspek sustaibable development di atas. Divisi
lingkungan fokus mengurusi aspek lingkungan, divisi ekonomi mengatur operasional dan
pengelolaan asset perusahaan, dan divisi sosial budaya mengurus pegawai dan masyarakat.
Beberapa perusahaan tambang yang berkomitmen dan berhasil dalam melaksanakan
kegiatan reklamasi lahan pasca tambang yaitu PT. Bukit Asam, Tbk di Tanjung Enim, PT.
Adaro Indonesia di Kalimantan Selatan, dan PT. Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur.
Pembukaan lahan dan proses reklamasi areal tambang perusahaan tersebut telah dilaksanakan
sesuai dengan butir-butir ketentuan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 dan Peraturan
Menteri No 18 tahun 2008 mengenai Reklamasi dan Penutupan Tambang. Ketentuan tersebut
yaitu: 1) pembukaan lahan dilakukan bertahap, 2) penataan lahan timbunan yang sudah final
(pengaturan pola alir air, back slope, penghamparan topsoil), 3) pengendalian erosi
(pembuatan check dump, rip rap dan kolam pengendap lumpur), 4) revegetasi lahan (cover
crop dan tanaman tahunan), 5) pengelolaan limbah B3 (incinerator, pengiriman limbah B3 ke
pihak ketiga), 6) pengendalian air asam tambang, 7) perawatan tanaman dan sarana
lingkungan, dan 8) pemanfaatan tanaman kayu putih yang diolah menjadi minyak kayu putih,
sumber bahan diambil dari lahan reklamasi pasca tambang. Kegiatan reklamasi mampu
mengembalikan fungsi lahan sehingga sektor lain bisa berkembang, seperti kehutanan,
pertanian, perkebunan dan perikanan. Perusahaan tambang tidak hanya memerlukan
komitmen untuk melaksanakan reklamasi, tetapi juga harus memiliki tenaga teknis dan SDM
yang unggul terkait perencanaan hutan dan reklamasi lahan pasca tambang. Kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah di sektor pertambangan harus terus dievaluasi dalam
implementasi di lapangan, karena pemerintah memiliki kewenangan untuk mencabut izin
yang diberikan jika pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan. Selain itu masyarakat juga harus bisa menjadi mitra pemerintah dalam
mengawasi pelaksanaan kegiatan pertambangan serta implementasi kebijakan yang berlaku.
Selanjutnya di tahun 2014 dalam usaha menperdetail kewajiban setip perusahaan
dalam upaya reklamasi dan penutupan tambang, maka diturunkanlah Peraturan Menteri
ESDM No.7 Tahun 2014, dimana yang dimaksud dengan Pertambangan adalah sebagian atau
seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral
atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
Pascatambang. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan
ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Kegiatan Pascatambang, yang
selanjutnya disebut Pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut
setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi
lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah pertambangan.
Untuk dapat lebih jelasnya, silakan baca Permen ESDM 07 2014 tentang Pelaksanaan
Reklamasi dan Pasca tambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan
Tambang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Referensi:
http://www.darmawansaputra.com/2014/10/permen-esdm-07-2014-tentang
pelaksanaan.html
Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.
Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Anda mungkin juga menyukai