Anda di halaman 1dari 9

Nama : Novita Anggraini

Kelas : X IIS -3
1. Gunung Sinabung Meletus

Awan panas Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara kembali memakan korban.
Tujuh orang meninggal dunia dan 2 orang kritis dengan luka bakar terkena awan panas bersuhu 700
derajat Celsius pada Sabtu sore, 21 Mei 2016.

Peristiwa nahas tersebut terjadi di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, kabupaten Karo.
Ketika awan panas datang, para korban melakukan kegiatan di kawasan yang merupakan zona
merah atau berjarak radius 5 kilometer Gunung Sinabung.

"Saat erupsi, seluruh korban sedang bertani yang masuk dalam zona merah. Tiba-tiba datang awan
panas Gunung Sinabung menyambar para korban," kata Kabid Humas Polda Sumatera Utara AKBP
Rina Sari Ginting.

Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho merinci tujuh
korban tewas itu adalah Karman Milala (60), Irwansyah Sembiring (17), Nantin Br. Sitepu (54), Leo
Perangin-angin, Ngulik Ginting, Ersada Ginting, dan Ibrahim Sembiring.

"Semua korban adalah warga Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo yang
berada di zona merah saat kejadian Gunung Sinabung meletus disertai luncuran awan panas pada
Sabtu 21 Mei 2016 pukul 16.48 WIB," kata Sutopo.

Usai kejadian, Tim SAR gabungan dari TNI, Polri, Basarnas, BPBD, PMI, relawan dan masyarakat
terus mencari korban dengan menyisir rumah dan kebun masyarakat. Sebab, tidak diketahui secara
pasti berapa banyak masyarakat yang berada di Desa Gamber saat kejadian luncuran awan panas.

"Harusnya tidak ada aktivitas masyarakat. Namun sebagian masyarakat tetap nekat berkebun dan
tinggal sementara waktu sambil mengolah kebun dan ladangnya," ujar Sutopo.Alasan ekonomi
adalah faktor utama yang menyebabkan masyarakat Desa Gamber tetap nekat melanggar larangan
masuk ke desanya. Pencarian korban dilakukan dengan tetap memperhatikan ancaman dari erupsi
Gunung Sinabung. Letusan disertai awan panas masih sering terjadi sehingga membahayakan bagi
petugas SAR.
2. Longsor di Purworejo

Bencana alam berupa banjir dan tanah longsor menghantam sebagian besar wilayah Jawa Tengah
pada pertengahan Juni 2016. Salah satu lokasi terparah yang banyak merenggut nyawa berada di
Purworejo. Puluhan orang tewas saat banjir disertai longsor menerjang sejumlah desa pada Sabtu
18 Juni 2016.

Proses pencarian korban bencana longsor di Kabupaten Purworejo secara resmi dihentikan sejak
Jumat, 24 Juni 2016, pukul 15.09 WIB. Tim SAR gabungan sudah tujuh hari mencari korban,
terutama di Dusun Caok, Desa Karangrejo, Kecamatan Loano, dan Desa Donorati, Kecamatan
Purworejo.

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, belum semua korban yang hilang bisa ditemukan.

"Tiga orang dinyatakan masih hilang, yaitu satu orang di Dusun Caok dan dua orang di Desa
Donorati," kata Sutopo.

Dia menambahkan, total korban meninggal dalam musibah ini 43 orang. Rinciannya, 39 meninggal
karena longsor dan empat orang meninggal karena banjir di Kabupaten Purworejo.

Korban meninggal akibat longsor yang terbanyak ada di Desa Karangrejo, yakni 15 orang. Adapun
korban yang belum ditemukan berada di Karangrejo dan Donorati.

Sementara BPBD Purworejo memperkirakan jumlah kerugian akibat bencana banjir dan longsor ini
sekitar Rp 15,7 miliar, dengan nilai kerusakan untuk rumah Rp 4,1 miliar dan infrastruktur Rp 11,6
miliar.
3.Bencana Gempa Tektonik di Yogyakarta

Bencana yang terjadi di daerah kota pendidikan sekaligus kebudayaan. Yogyakarta, pada 27 Mei 2006
diguncang dengan guncangan dahsyat berkekuatan 5,9 SR. Adapun pusat gempa berada di wilayah 25
km Selatan-Barat Daya Yogyakarta.

Gempa yang terjadi di pagi hari 5 menit menuju pukul 6 tersebut tidak terjadi kepanikan. Setelah
setengah jam, masyarakat pun berkumpul di tempat-tempat umum. Tiba-tiba datanglah 3 orang
boncengan dalam satu motor sambil berteriak, “Banyune wes kethuk Siluk” (Air sudah sampai Jembatan
Siluk).

Masyarakat pun berhamburan lari menyelematkan diri masing-masing. Banyk di antara kami termasuk
penulis naik gunung. Ya, kala itu seluruh warga Jogja pasti terbayang bagaimana dahsyatnya tsunami di
Aceh.

Namun ternyata kabar tersebut hanya isapan jempol. Meski warga sudah terlanjur naik ke gunung-
gunung, bahkan pergi ke luar kota, namun banyak di antara mereka yang tak kembali ke desa.

Saat kejadian itu, terdapat dua persepsi masyarakat Jogja. Bagi warga Jogja yang tinggal di daerah
utara, mereka mengira bahwa gempa bumi berasal dari Gunung Merapi yang meletus, sehingga mereka
berlari menuju ke kea rah selatan.

Begitu sebaliknya, warga Jogja yang berada di daerah selatan berlari ke arah utara karena mengira
gempa terjadi berasal dari pantai selatan. Setelah kejadian gempa, malamnya semua listrik padam.
Bahkan selama berbulan-bulan belum ada aliran listik. Hanya beberapa tempat saja yang menggunakan
listrik daya ganshet.

Adanya gempa di Joga tersebut menelan korban sebanyak 5.716 dengan korban terbanyak berada di
daerah Bantul dan korban luka-luka mencapai 7.927 orang (Media Center, 7 Juni 2006).
4. Banjir di Bandung, Jawa Barat

Sepanjang 2016, kawasan Bandung Raya beberapa kali terendam banjir.


Banjir merendam 15 kecamatan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, setelah
hujan deras mengguyur sejak Sabtu hingga Minggu (12-13/3/2106) dini hari.

Banjir itu merendam ribuan rumah warga dan menyebabkan dua orang tewas
serta tiga orang hilang. Korban tewas di Desa Citeureup, Kecamatan
Dayeuhkolot, dan Desa Sukasari, Kecamatan Pameungpeuk.

Berdasarkan data BNPB pada Selasa (15/3/2016) pukul 07.00 WIB, terdapat
sebanyak 5.900 kepala keluarga atau 24.000 jiwa terdampak banjir.
Sebanyak 2.840 kepala keluarga atau 10.344 jiwa mengungsi akibat banjir
tersebut. Mereka tersebar di 28 titik pengungsian seperti di GOR Baleendah,
POM Cikarees, Masjid Nurul Iman, Waskita, Warakawuri, Masjid Unilon.

Banjir juga memutus arus lalu lintas di beberapa lokasi dari arah Bandung
menuju Kecamatan Bojongsoang, Baleendah, Ciparay, dan Majalaya, yang
melintasi Sungai Citarum. Begitu juga jalur lalu lintas dari arah Bandung
melintasi Dayeuhkolot, Pameungpeuk, Katapang, dan Banjaran tak bisa
dilewati karena kecamatan-kecamatan itu terendam hingga setinggi 3 meter.

Banjir kembali melanda Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan


Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Rabu (21/9/2016). Hujan yang turun pada
Selasa (20/9/2016) malam membuat debit air Sungai Citarum meluap. Ribuan
rumah pun kembali terendam, sedangkan sejumlah jalan tidak bisa dilalui
karena tergenang air.
Dari data BPBD, total ada 101 jiwa yang terpaksa tinggal di tiga lokasi
pengungsian. Sebanyak 50 jiwa mengungsi di Inkanas Baleendah, 7 jiwa di
Gor Baleendah dan 44 jiwa di Desa Dayeuhkolot.

Banjir besar juga terjadi di Kota Bandung. Banjir kali ini menjadi yang terparah
dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Apalagi, banjir terjadi di lokasi bukan
langganan banjir, seperti Gedebage.

Banjir besar pertama tahun ini terjadi di Jalan Dr Djunjunan (Pasteur) pada 24
Oktober 2016 sekitar pukul 12.00 WIB. Ketinggian air mencapai satu meter
dan mengakibatkan lalu lintas di depan Bandung Trade Center (BTC) lumpuh
total akibat air dengan volume besar tumpah ke jalan. Gerbang tol Pasteur
ditutup selama sejam.

Di saat yang sama, banjir lebih parah terjadi di ruas Jalan Pagarsih,
Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar. Amukan Sungai Citepus
membuat pembatas sungai jebol.

Seorang warga bernama Ade Sudrajat (30), seorang karyawan swalayan


Borma, tewas dalam musibah tersebut. Korban yang hendak menolong warga
lain terpeleset dan terseret arus air deras dalam parit depan SMP Negeri 15
Bandung di Jalan Setiabudi.

Hingga akhir bulan Oktober, laporan masyarakat soal banjir terus


bermunculan seiring tingginya intensitas hujan di Bandung.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat memperkirakan


kerugian materiil akibat banjir itu mencapai Rp 16 miliar. Total rumah
terendam dari tiga kelurahan terdampak banjir mencapai 813 unit. Selain itu,
satu unit sekolah dengan enam ruang kelas dan satu ruang guru mengalami
kerusakan.

Sungai Citepus di Pagarsih kembali meluap pada 9 November 2016 sore hari.
Sama seperti banjir sebulan sebelumnya, banjir kali ini juga mengakibatkan
mobil terseret arus deras.

Sejumlah pengamat perkotaan menduga banjir besar tersebut terjadi karena


adanya perubahan tata guna lahan dan tata ruang di wilayah tangkapan air.
Curah hujan tinggi dan tak siapnya drainase kian memperburuk keadaan.

"Urban flood semacam ini hampir selalu mengancam kota besar di Indonesia.
Terlebih lagi secara geomorfologi Kota Bandung berupa cekungan yang
dikelilingi oleh banyak pegunungan," ucap Ketua Ikatan Ahli Bencana (IABI)
Sudibyakto, Selasa (25/10/2016).

Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS)


Supardiono Sobirin mengatakan, Bandung seharusnya tidak banjir karena
memiliki kontur miring yang bisa membuang air hujan ke 47 sungai yang
melewati kota ini. Akar masalahnya ada pada saluran drainase yang buruk
dan infrastruktur yang tidak selaras dengan alam.

Dewan Eksekutif Kemitraan Habitat, Nirwono Joga, menilai bahwa banjir


Bandung memperlihatkan komitmen pemerintah untuk melindungi warga
masih rendah.

Pemkot Bandung menyusun sejumlah strategi penangkal banjir. Solusi jangka


pendek, Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung membuat bak
kontrol yang dilengkapi pipa berdiameter sekitar 40 sentimeter di titik banjir.
Dibantu mesin pompa, pipa itu berfungsi untuk mempercepat buangan air di
jalan. Teknologi itu dikenal dengan sebutan tol air.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil mengatakan bahwa solusi jangka pendek
itu tidak menyelesaikan masalah sepenuhnya. Ridwan mengerahkan tim ahli
untuk mencari tahu sebab dan solusi banjir Bandung.

Selain karena cuaca ekstrem, Ridwan mengungkapkan bahwa banjir terjadi


karena banyak bangunan yang mempersempit badan sungai. Ridwan
mengambil langkah membongkar paksa sejumlah bagian rumah, pertokoan,
hingga jembatan yang dibangun serampangan.

"Ditemukan fakta menurut ahli ITB seperti di Pagarsih hanya dengan ada dua
bangunan yang menghalangi air. Air itu bisa masuk ke jalan," kata Ridwan,
Senin (14/11/2016).

Pemkot Bandung juga tengah memproses pembangunan kolam retensi di


delapan titik, yakni di Babakan Jeruk, Jalan Bima, Sirnaraga, Pagarsih,
Cigadung, Cikutra, Sarimas, dan Danau Gedebage sebagai proyek terbesar.
5. Tsunami Aceh

Delapan tahun lalu, tepat pada 26 Desember 2004, saat dunia tengah bersiap berganti nominal tahun,
tsunami dahsyat menerjang Aceh. Bencana yang kemudian didaulat sebagai salah satu yang terhebat di
abad 21 ini dimulai dari gempa 9,1 SR di Samudra Hindia.

Meganya besaran gempa memicu gelombang tsunami yang menghantam Aceh, Thailand, Sri Lanka,
India, Maladewa, dan pesisir timur Afrika. Tsunami menggelontorkan jutaan liter air laut ke darat dan
diperkirakan memakan korban hingga 280 ribu jiwa. Aceh menjadi wilayah paling teruk dengan korban
lebih dari 200 ribu jiwa.

Bahana gempa dan tsunami 2004 ini telah menjadi wake up call bagi bangsa Indonesia untuk mengerti
arti penting bencana. Bahwa bencana menjadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia.

Tersibak juga kenyataan bahwa kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat masih sangat rendah dalam
hal bencana. Oleh karena itu kemudian dibentuk UU No.27 tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana.

"Dalam UU tersebut mengatur bagaimana kelembagaan, mekanisme, dan pendanaan, tentang


penanggulangan bencana," demikian ujar Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Sutopo Purwo Nugoroho pada National Geographic Indonesia, Rabu (26/12).

Kemudian, tambah Sutopo, lahir produk-produk hukum lainnya. Tahun 2008 dibentuk BNPB dan BPBD
(Badan Penanggulangan Bencana Daerah). "Bahkan penanggulangan bencana menjadi prioritas
nasional."
Gempa dan tsunami Aceh juga menggerakkan dunia dalam satu jalur bersama keprihatinan. Sumbangan
negara-negara asing deras mengalir dalam melalui Multi Donor Fund (MDF) atau pun lembaga swadaya
mandiri lainnya.

Kepala Perwakilan Bank Dunia Stefan Koeberle menyampaikan, program pemulihan, pembangunan, dan
ketahanan yang dilakukan masyarakat Aceh pasca tsunami, menjadi kunci pelajaran bagi negara
lain."Nantinya, pelajaran ini akan menjadi titik dasar yang digunakan bangsa-bangsa lain di dunia saat
bencana menerjang," kata Koeberle beberapa waktu lalu.

Anda mungkin juga menyukai