Anda di halaman 1dari 44

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung yang mempunyai otot dan
mengandung banyak jaringan limfoid. Apendiks vermiformis berbentuk tabung
buntu berukuran sebesar jari kelingking yang terletak pada daerah ileosekal, yaitu
pada apeks sekum. Panjangnya kira-kira 6-9 cm, dan berpangkal di sekum.
Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Namun
demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
melebar pada bagian ujung apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini
memungkinkan apendiks dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
periteritoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi
lateral kolon asendens.1,2

Gambar 1. Letak appendix.3


Apendiks terletak di regio iliaka dekstra dan pangkal di proyeksikan ke
dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan
spina iliaka anterior superior kanan dan umbilicus. Ujung apendiks mudah gerak
dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini :
1. Tergantung ke bawah ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding
pelvis kanan
2. Melengkung dibelakang sekum
3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral sekum, dan
4. Di depan atau belakang pars terminalis ileum
6

Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang paling sering ditemukan.1
Posisi apendiks sangat variabel dibandingkan daripada organ-organ lainnya.
Yang paling sering, sekitar 75% terletak di belakang sekum. Sekitar 20%
menggantung ke bawah tulang panggul.3
Persarafan apendiks berasal dari saraf parasimpatis cabang dari n.vagus
yang mengikuti arteri mesentrika superior dan a.appendikularis. Sedangkan saraf
simpatis berasal dari n.thorakalis x. karena itu nyeri visceral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilicus.4

Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri


tanpa kolateral. Jika erteri ini tersumbat, misalnya thrombosis pada infeksi,
apendiks akan menglami gangrene.4

Gambar 2. Perdarahan apendiks.4

2.2 Histologi Apendiks


Gambar ini memperlihatkan potongan melintang apendiks vermiformis
dengan pembesaran lemah. Morfologi mirip dengan kolon, kecuali adanya
beberapa modifikasi.7
Dalam membandingkan mukosa apendiks dengan kolon, epitel (1)
mengandung banyak sel goblet, lamina propria (3) di bawahnya mengandung
kelenjar intestinal (5) (kriptus Lieberkühn) dan terdapat muskularis mukosa
(2). Kelenjar intestinal (5) di apendiks kurang berkembang, lebih pendek dan
7

sering berjauhan letaknya dibandingkan di kolon. Jaringan limfoid difus (6) di


dalam lamina propria (3) sanga banyak dan sering terlihat di submukosa (8).7
Nodulus limfoid (4,9) dengan pusat germinal banyak ditemukan dan sangat
khas bagi apendiks. Nodulus ini berasal dari lamina propria dan meluas dari epitel
permukaan (1) hingga submukosa (8).7
Submukosa (8) memiliki banyak pembuluh darah (11). Muskularis
eksterna (7) terdiri atas lapisan sirkular dalam(7a) dan lapisan longitudinal
luar (7b). Ganglion parasimpatis (12) pleksus mienterikus (12) terletak
diantara lapisan otot polos sirkular dalam (7a) dan longitudinal luar (7b)
muskularis eksterna. Lapisan terluar apendiks adalah serosa (10) dengan sel
adiposa (13) dibawahnya.7

Gambar 3. Histologi Appendiks.6


2.3 Fungsi Apendiks
Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga
berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix
menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum.
Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis.
Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung
amilase, erepsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam bumen
dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks
berperan pada patofisiologi appendiks. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan
oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran
cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai
8

perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi


sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlah disaluran cerna dan seluruh tubuh.4

2.4 Apendisitis
2.4.1 Definisi
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendisitis akut menjadi
salah satu pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang
menunjukkan gejala iritasi peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak
penyebab persisten, progressive abdominal pain pada remaja. Belakangan ini
gejalanya kadang-kadang dibingungkan karena akut abdomen dapat menyerang
semua usia. Tidak ada jalan untuk mencegah perkembangan dari apendisitis. Satu-
satunya cara untuk menurunkan morbiditas dan mencegah mortalitas adalah
apendiktomi sebelum perforasi ataupun gangrene.9

Gambar 4. Peradangan pada apendiks vermiformis.3

2.4.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara
berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya turun
secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari.4
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30
9

tahun, setelah itu menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi.4
Angka insiden apendisitis per tahun adalah 1/1000 orang dan angka insiden
apendisitis seumur hidup adalah 7%. Terdapat sedikit peningkatan insiden pada
pria dan apendisitis merupakan kedaruratan bedah tersering pada anak-anak.8

Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat pada 3.400 kasus, 50%


ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan
limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1%6.
Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR appendicitis 5 per
1.000 penduduk di pedesaan, 9 per 1.000 penduduk di periurban, dan 18 per 1.000
penduduk di perkotaan.Penelitian Penfold et al (2008) di Amerika Serikat pada
anak umur 2-20 tahun didapat bahwa perforasi appendicitis lebih cenderung di
pedesaan (69,6%) dari pada perkotaan (30,4%)6.

2.4.3 Etiologi dan Patofisiologi


1. Obstruksi

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,
gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,
baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis
juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada
pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar
yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor
carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.10
10

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.


Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65%
pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus
Appendicitis acuta gangrenosa dengan perforasi. 10

Gambar 5. Appendicitis (dengan fecalith)


Sumber Prinz RA,2001
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan
meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang
akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-
samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium.10
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan
tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat
menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat.
Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata.
Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.10
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap
kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan
arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami
11

kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan


vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark
di batas antemesenterik.10
Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala
gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan
kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.10
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah
timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.10
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal
tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya,
peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi
Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark,
dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti
demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena
iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di
pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau
pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri
pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat
12

penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau


nyeri seperti terjadi retensi urine.10
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah
perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut.
Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat
tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48
jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi
tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang
melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak
yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess
tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat
pemeriksaan fisik.10
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering
dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat
iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abscess pelvis.10
Apendisitis disebabkan oleh obstruksi yang diikuti oleh infeksi. Kira-kira
60% kasus berhubungan dengan hyperplasia submukosa yaitu pada folikel
limfoid, 35% menunjukkan hubungan dengan adanya fekalit, 4% kaitannya
dengan benda asing dan 1% kaitannya dengan stiktur atau tumor dinding apendiks
ataupun sekum. Hiperplasi limfatik penting pada obstruksi dengan frekuensi
terbanyak terjadi pada anak-anak, sedangkan limfoid folikel adalah respon
apendiks terhadap adanya infeksi. Obstruksi karena fecalit lebih sering terjadi
pada orang tua. Adanya fekalit didukung oleh kebiasaan, seperti pada orang barat
urban yang cenderung mengkonsumsi makanan rendah serat, dan tinggi
karbohidrat dalam diet mereka.10
Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
13

peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan


menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium.10
Bila sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut sebagai apendisitis supuratif aku.10
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.10
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses
atau menghilang.10
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.10

2. Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix


normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan
bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi
Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang
menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan
tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan
peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa
dan Appendicitis perforata.10
14

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus


didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang
mengalami perforasi. Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada
Colon normal. Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali
Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri
yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis
perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi
dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.10

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta.10


Bakteri Aerob dan Bakteri Anaerob
Fakultatif
Batang Gram (-) Batang Gram (-)
Eschericia coli Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+) Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus Clostridium sp.
Streptococcus sp. Coccus Gram (+)
Enteococcus sp. Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis


perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur
selesai, seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang
dikultur dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob
secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien
dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau penyakit lain,
dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan
antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada
Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga
leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi
15

antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih


kontroversi.10
3. Peranan lingkungan: diet dan higiene

Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat


dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan
berhubungan dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit
Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di
atas dan lebih jarang diantara orang yang memakan makanan dengan kandungan
serat lebih tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada
perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai
kecenderungan untuk timbul fecalith.10

Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola


makan dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi
tinggi lemak dan rendah serat.Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
konsumsi rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis.
Kebiasaan konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith
menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko appendicitis yang lebih
tinggi 10.

Bagan 1 patofisiologi apendisitis


16

2.4.4 Gejala Klinis

1. Gejala klasik yaitu nyeri sebagai gejala utama


a. Nyeri dimulai dari epigastrium, secara bertahap berpindah ke region
umbilical,dan akhirnya setelah 1-12 jam nyeri terlokalisir di region
kuadrant kanan bawah.
b. Urutan nyeri bisa saja berbeda dari deskripsi diatas, terutama pada anak
muda atau pada seseorang yang memiliki lokasi anatomi apendiks yang
berbeda.
2. Anoreksia adalah gejala kedua yang menonjol dan biasanya selalu ada
untuk beberapa derajat kasus. Muntah terjadi kira-kira pada tiga
perempat pasien.
17

3. Urutan gejala sangat penting untuk menegakkan diagnose. Anoreksia


diikuti oleh nyeri kemudian muntah (jika terjadi) adalah gejala klasik.
Muntah sebelum nyeri harus ditanyakan untuk kepentingan diagnosis.10

Tabel 2.Gambaran klinis apendisitis akut


Gambaran klinis apendisitis akut4
1. Tanda awal  nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis
disertai mual dan anoreksia
2. Nyeri pindah ke kanan bawah menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum local dititik McBurney
a) Nyeri tekan
b) Nyeri lepas
c) Defans muskuler
3. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
a) Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing sign)
b) Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg sign)
c) Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti bernafas
dalam, berjalan, batuk, mengedan

2.4.5 Penegakan Diagnosa


2.4.5.1 Anamnesis
a. Nyeri / Sakit perut

Ini terjadi karena peristaltic untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri visceral dirasakan pada seluruh perut. Mula-
mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apabila telah terjadi
inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat
somatik. Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen.10
Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin
lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya
kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding
apendiks yang mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu
nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus
dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks
18

dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan
dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara klasik, nyeri
di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan
menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri
somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan
sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk
ataupun berjalan kaki.10

b. Muntah (rangsangan viseral)

Muntah terjadi akibat aktivasi n.vagus. Anoreksia, nausea dan vomitus


yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang
timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita
apendisitis akut. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang
berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Pada
apendisitis kronis dapat ditegakkan bila riwayat nyeri perut kanan bawah yang
lebih dari dari dua minggu, terbukti terjadi radang kronik apendiks baik secara
makroskopis maupun mikroskopis dan keluhan menghilang pasca apendiktomi.10
c. Obstipasi

Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi dan beberapa penderita


mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang
merangsang daerah rectum.10
d. Panas (infeksi akut)

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara
37,50 – 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi. 10

2.4.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk


sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan
penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses.9
19

Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari
tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:9
1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

Gambar 6. Titik Mc. Burney.9

2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri


lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan dalam di titik Mc. Burney.
3. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence
muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.
4. Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini
diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal
pada sisi yang berlawanan.
20

Gambar 7. Rovsing’s Sign.9

5. Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

Gambar 8. Psoas Sign.9

6. Obturator sign (+). Obturator sign dengan cara fleksikan paha kanan pasien
pada sendi paha dengan lutut ditekuk, dan kemudian lakukan rotasi tungkai
tersebut ke sebelah dalam pada sendi paha. Manuver ini akan meregangkan
muskulus obturator interna.10
21

Gambar 9. Obturator’s Sign.9

Tabel 3. Pemeriksaan Fisik yang Khas pada Apendisitis.12


Jenis Pemeriksaan Interpretasi
Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan
pada kuadran kiri bawah dan timbul nyeri
pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian
Obraztsova’s dilakukan ekstensi dari panggul kanan.
sign Positif jika timbul nyeri pada kanan
bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan
dilakukan rotasi internal pada panggul.
Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium
atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah
dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut
pada korda spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium
sign atau sekitar pusat, kemudian berpindah ke
22

kuadran kanan bawah.

Sitkovskiy Nyeri yang semakin bertambah pada perut


(Rosenstein)’s kuadran kanan bawah saat pasien
sign dibaringkan pada sisi kiri
Bartomier- Nyeri yang semakin bertambah pada kuadran
Michelson’s kanan bawah pada pasien dibaringkan
sign pada sisi kiri dibandingkan dengan posisi
terlentang
Aure-Rozanova’s Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit
sign triangle kanan (akan positif Shchetkin-
Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada
kuadran kanan bawah kemudian
dilepaskan tiba-tiba

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat peristaltik
normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata
akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam
menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka
tidak terdengar bunyi peristaltik usus.9
Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri bila
daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis
pelvika. Didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada yang mengalami komplikasi,
ampula teraba distensi/ cenderung kolaps pada anak-anak tidak perlu dilakuka
rectal toucher karena apendiksnya berbentuk konus atau pendek.9
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor
Alvarado, yaitu:
Tabel 4. Alvarado’s Score.9
Tanda Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan 1
23

Anoreksia 1
Mual atau Muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperatur (>37,5C) 1
Peningkatan jumlah leukosit ≥ 10 x 109/L 2
Neutrofilia dari ≥ 75% 1
Total 10
Interpretasi :
- Pasien dengan skor awal ≤ 4 sangat tidak mungkin menderita
apendisitis dan tidak memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali
gejalanya memburuk.
- Skor 5-6 : dipertimbangkan apendisitis akut tapi tidak perlu
operasi segera
- Skor 7-8 : dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
- Skor 9-10: hampir defi-nitif mengalami apendisitis akut dan
dibutuhkan tindakan bedah

2.4.5.3 Pemeriksaan Tambahan/Penunjang


1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang
akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui
proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu
80% dan 90%.5

2. Radiologi
Pemeriksaan apendikogram merupakan salah satu pemeriksaan alternatif
yang dapat dikerjakan pada penderita dengan kecurigaan apendisitis. Prinsip
24

pemeriksaan ini adalah dengan menggunakan bahan kontras barium sulfat serbuk
halus yang diminum hingga masuk ke daerah apendiks. Hasil dari pemeriksaan,
dapat menunjukkan pengisian apendiks secara penuh (full filling appendix) atau
partial filling appendix atau non filling appendix. Pengisian penuh pada apendiks
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya apendisitis, sedangkan non filling atau
partial filling appendix yang disertai maupun tanpa disertai adanya efek massa
ekstrinsik pada cecum merupakan tanda kemungkinan adanya apendisitis.5
Berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu melihat
terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Foto barium
enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut memperlihatkan tidak
adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi medial serta inferior dari
seccum; pengisisan menyingkirkan appendicitis.4
3. Analisa urin
Bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. sediment dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel
pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis
untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang.9
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase
Membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG)
Untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan.9
6. Pemeriksaan barium enema
Untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan
Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.9
7. CT-Scan dan USG
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-
25

scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari
appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan
92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.9
Gambaran radiologik foto polos abdomen dapat berupa apendikolit.dengan
enema barium terdapat non felling appendix,apendiks tampak tidak
bergerak,pengisian apendiks tidak rata atau tertekuk dan adanya retensi barium
setelah 24-28 jam.13
Pemeriksaan USG menunjukkan adanya adema apendiks.(radiologi
diagnostik).13

Gambar 10. CT-scan Appendiks (kiri) dan USG Appendiks (kanan).9

2.4.6 Diagnosa Banding


Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding.4
a. Kelainan ovulasi  folikel ovarium yang pecah mungki memberikan nyeri
perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis,
nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan
nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu
selam 2 hari.
b. Infeksi panggul  salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri
perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya
disertai keputihan dan infeksi urin.
c. Kehamilan di luar kandungan  hampir selalu ada riwayat terlambat haid
dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada rupture tuba atau abortus
26

kehamilan diluar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang


mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.
d. Kista ovarium terpuntir  timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang
tinggi dan teraba masa dalam rongga pelvis pada pemmeriksaan perut, colok
vaginal atau colok rectal. Tidak ada demam. USG untuk diagnosis.
e. Endometriosis eksterna  nyeri ditempat endometrium berada.
f. Urolitiasis  batu ureter atau batu ginjal kanan. Riwayat kolik dari
pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang
khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi
intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai
demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan dan piuria.
g. Gastroenteritis akut  Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi
biasanya mudah dibedakan dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus
merupakan salah satu infeksi akut self limited dari berbagai macam sebab,
yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik
abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium
biasanya normal.
h. Penyakit saluran cerna lainnya  Penyakit lain yang perlu diperhatikan
adalah peradangan di perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak
duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon,
obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid,
dan mukokel apendiks.

2.4.7 Penatalaksanaan

Penanggulangan konservatif / sebelum operasi


a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis
seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan.
Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh
diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya.9
Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan
hitung jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan
untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus,
diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam
setelah timbulnya keluhan.9
b. Antibiotik
27

Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic,


kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan tindak
bedah sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
appendicitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.9
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai
6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas
daerah apendiks.9
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilakukan sebelum pembedahan.9

1. Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:


a. Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan untuk
mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien tanpa
komplikasi apendisitis
1. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus
apendisitis ruptur atau dengan abses.
2. Antibiotic diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus apendisitis
rupture dengan peritonitis diffusa.
28

Penatalaksanaan apendiksitis sebelum operasi menurut Mansjoer:


1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi
2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin

3. Rehidrasi

4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara


intravena

5. Obat – obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil, largaktil


untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah
rehidrasi tercapai

6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.


29

Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).9
Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi.
Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.9
1. Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi)
2. Appendiktomi elektif (appendisitis kronis)
3. Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat)
Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud
Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid
Dengan peningkatan penggunaan laparoskopi dan peningkatan teknik
laparoskopik, apendektomi laparoskopik menjadi lebih sering. Prosedur ini sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih
cepat dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat
peningkatan kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi.
Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut
abdomen, terutama pada wanita. Beberapa studi mengatakan bahwa laparoskopi
meningkatkan kemampuan dokter bedah untuk operasi.9
a. Open Appendectomy
Tindakan operasi untuk apendisitis akut tanpa perforasi adalah dengan
menggunakan insisi pada right lower quadrant muscle splitting Mc.Burney
(oblique) atau rocky davis (transverse). Insisi yang dilakukan harus mencakup
daeran di mana nyeri tekannya maksimal dirasakan atau dimana teraba masa.9
Apabila telah terjadi perforasi dan terdapta tanda-tanda peritonitis, insisi
yang dilakukan adalah lower midline incision untuk mendapatkan eksposur yang
lebih baik pada kavum peritoneum.9
Setelah dilakukan insisi, lakukan identifikasi caecum. Lanjutkan dengan
identifikasi apendiks dengan mengikuti ketiga tinea coli sampai ke pertemuannya,
30

kemudian ujung apendiks dicari sampai seluruh apendiks dapat terekposur dengan
memobilisasi caecum.9
Lakukan pembebasan apendiks dari mesoapendiks sambil melakukan ligasi
a.apendikularis. setelah apendiks terbebas, lakukan appendectomy. Pada apndiks
perforasi atau gangrenous dilakukan pencucian rongga abdomen dengan normal
saline sampai bersih.9

b. Laparoscopy Appendictomy
Penderita harus dipasang kateter urin dan NGT sebelumnya. Operator
berdiri di sisi kiri penderita dengan monitor pada sisi kanan penderita. Kemudian
dibuat keadaan pneumoperitoneum. Trochar canulla sepanjang 10mm
dimasukkan melalui umbilikus. Forward viewing laparoscopy dimasukkan
melalui kanula tersebut dan dilakukan inspeksi cavum peritoneum. Kemudian
trochar 10mm kedua dimasukkan melalui regio suprapubik pada garis tengah dan
additional 5mm port dibuat di abdomen kanan atas dan kanan bawah.9
Eksposure dilakukan dengan merubah posisi pasien menjadi trendelenburg
dengan sisi kanan lebih tinggi. Identifikasi caecum dan apendiks. Kemudian
lakukan mesoapendiks melalui penarikan tip apendiks dengan atraumatic gasper
yang ditempatkan di trocher abdomen kanan atas. Mesoapendiks dipisahkan
dengan alat stapling atau elektrokauter untuk diseksi dan diklips atau ligating loop
untuk mengikat a. Appendikularis.9
Pemisahan mesoapendiks dilakukan sedekat mungkin dengan apendiks.
Setelah basis apendiks terekposue, 2 ligating loop ditempatkan di proksimal dan
distal basis apendiks. Kemudian laukan apendiktomi denga sassor dan
electrocauterization. Apendiks kemudian dibebaskan melalui trochar yang
terletak di suprapubik.9
31

Gambar 11. Laparoscopy Appendictomy9


2.4.8 Komplikasi

Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :


1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi.
Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi
tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut,
peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.5
Menurut Arif Mansjoer, Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda
dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai
kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi
jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa
tersebut.5
Tanda – tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding
perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi
dengan peritonitis umum pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertama
sekali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.5

2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran
32

infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan
begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin
syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang,
kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang.10
3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4
sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa
apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum
masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis,
lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah
mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi,
tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan,
lekosit dan netrofil normal.4

2.4.9 Prognosis

Kebanyakan pasien setelah operasi appendisektomi sembuh spontan tanpa


penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut.10
33

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Usia
Jenis kelamin
Apendisitis
Suku
Pekerjaan

3.2 Variabel dan Definisi Operasional


Sesuai dengan kerangka penelitian, maka yang menjadi definisi operasionil
adalah sebagai berikut:

Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur
Apendisitis suatu Rekam Observasi 1.Apendisitis Nominal
peradangan Medis
2.Apendisitis
pada apendiks
vermiformis akut
(Dorland,
2007).
3.Apendisitis
Penderita
yang termasuk kronis
apendisitis
adalah
4.Apendisitis
penderita
yang telah perforasi
didiagnosis
dengan
5.Perampidisitis
apendisitis
dan yang telah infiltrat
melakukan
apendektomi.
6.Tonsil
apendisitis

7.Periapendicular
34

abses

Usia Lamanya Rekam Observasi 1.Pasien berusia Interval


Medis
pasien hidup < 20 tahun
di dunia sejak
2.Pasien berusia
dilahirkan dan
antara 21-30
dinyatakan
tahun
dalam tahun.

3.Pasien berusia
> 30 tahun
Jenis Perbedaan Rekam Observasi 1.Laki-laki Nominal
Kelamin Medis
biologis dan 2.Perempuan
fisiologis
yang dapat
membedakan
laki-laki
dengan
perempuan.

Suku golongan ras Rekam Observasi 1. Suku Batak Nominal


Medis
dari suatu
2. Suku Jawa
bangsa.

3. SukuMinang

4. Suku Melayu
35

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan
pendekatan retrospektif untuk melihat karakteristik penderita apendisitis di RSU
Haji Medan pada tahun 2015.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di bagian rekam medis RSU Haji Medan dan
dilakukan selama dua bulan yakni pada bulan September-Oktober 2016.

4.3 Populasi dan Sampel


4.3.1 Populasi penelitian
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien yang populasi dari
penelitian ini adalah seluruh pasien yang menderita apendisitis di Rumah Sakit
Umum Haji Medan pada tahun 2016

4.3.2 sample penelitian


Sample yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien
apendisitis di Rumah Sakit Haji Medan pada tahun 2016.sample pada penelitian
ini diambil secara non random sampling dengan menggunakan tekhnik total
sampling dimana seluruh populasi penelitian diikut sertakkan menjadi sample
penelitian

4.4 Teknik Pengambilan Data


Metode pengambilan data adalah dengan menggunakan seluruh rekam
medis pasien penderita apendisitis selama tahun 2015 yang didapat dibagian
rekam medis RSU Haji Medan. Pada rekam medis tersebut dilihat variabel yang
akan diteliti yaitu umur, jenis kelamin, suku dan pekerjaan sebagai karakteristik
penderita apendisitis selama tahun 2015, lalu dilakukan pencatatan lalu tabulasi.

4.5 Pengolahan dan Analisa Data


4.5.1 Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut
36

1. Editing, dilakukan untuk pengecekan dan perbaikan dari data-data yang


dikumpulkan
2. Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan
3. Entry, yakni memasukkan data-data kedalam program atau software
komputer
4. Cleanning, pengecekan kembali untuk melihat kemungkinan-kemungkinan
adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidak lengkapan, dan
sebagainya,kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.
4.5.2 Analisa Data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah menggunakan program SPSS
(Statistical Product and Service Solution) hasil di sajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi, tabel tabulasi silang, serta diagram sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu untuk mengetahui karakteristik penderita apendisitis di RSU Haji
Medan.
37

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian


5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Haji Medan diresmikan pada tanggal 4 Juni 1992, berlokasi di
jalan Rumah Sakit Haji Estate di areal tanah seluas 6 ha dengan luas bangunan
13.017,59 m2 . Adapun visi, misi Rumah Sakit Haji Medan adalah:
Visi
Mewujudkan Rumah Sakit Haji Medan sebagai rumah sakit yang
bernafaskan Islam dalam semua kegiatannya di Sumatera Utara.
Misi
a. Pelayanan kesehatan yang Islami dan profesional dengan tetap peduli pada
kaum dhua’fa.
b. Melaksanakan dakwah Islamiah dalam setiap kegiatannya.
c. Sebagai sarana untuk menimba ilmu bagi cendikiawan muslim.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel

Penelitian dilakukan dengan melihat data sekunder berupa data rekam


medis dari 107 sampel pasien penderita appendisitis yang di rawat inap di Rumah
Sakit Haji Medan dari bulan januari-september 2016.
Karakteritik sampel yang diamati dalam penelitian ini berupa usia, jenis
kelamin, suku, pekerjaan, dan diagnosa. Data-data karakteristik pasien tersebut
disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

5.1.2.1 Distribusi Pasien Apendisitis Berdasarkan Usia

Distribusi data pasien apendisitis berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Usia
usia pasien

Frequency Percent

Valid <20 42 39,3

21-30 24 22,4

>30 41 38,3

Total 107 100,0


38

Dari data di atas dapat dilihat bahwa penderita apendisitis dengan kelompok
usia <20 tahun adalah sebanyak 42 orang (39,3%), kelompok usia 21-30 tahun
adalah sebanyak 24 orang (22,4%), kelompok usia >30 tahun adalah sebanyak 41
orang (38,3%).

5.1.2.2 Distribusi Pasien Apendisitis Berdasarkan Jenis Kelamin

Distribusi data pasien apendisitis berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat


pada tabel berikut :

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin


jenis kelamin pasien

Frequency Percent

Valid Perempuan 51 47,7

Laki-laki 56 52,3

Total 107 100,0

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa penderita apendisitis dengan


jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 51 orang (47,7%) dan laki-laki adalah
sebanyak 56 orang (52,3%).

5.1.2.3 Distribusi Pasien Apendisitis Berdasarkan Suku

Distribusi data pasien apendisitis berdasarkan suku dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Suku
suku pasien

Frequency Percent

Valid Batak 30 28,0

Jawa 26 24,3

Minang 35 32,7

Melayu 16 15,0

Total 107 100,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa penderita apendisitis dengan


suku batak adalah sebanyak 30 orang (28,0%), suku jawa adalah sebanyak 26
39

orang (24,3%), suku minang adalah sebanyak 35 orang (32,7%), suku melayu
adalah sebanyak 16 orang (15,0%).

5.1.2.4 Distribusi Pasien Apendisitis Berdasarkan Pekerjaan

Distribusi data pasien apendisitis berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada


tabel berikut ini :
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pekerjaan
pekerjaan pasien

Frequency Percent

Valid PNS 12 11,2

Pelajar 51 47,7

Wiraswasta 22 20,6

Tidak Bekerja 21 19,6

Petani 1 ,9

Total 107 100,0

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa penderita apendisitis yang


bekerja sebagai PNS adalah sebanyak 12 orang (11,2%), sebagai pelajar adalah
sebanyak 51 orang (47,7%), yang bekerja sebagai wiraswasta adalah sebanyak 22
orang (20,6%), yang tidak bekerja adalah sebanyak 21 orang (19,6%), dan yang
bekerja sebagai petani adalah sebanyak 1 orang (0,9%).

5.1.2.5 Distribusi Pasien Apendisitis

Distribusi data pasien apendistis dapat dilihat pada tabel berikut ii.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Pasien Apendisitis


Diagnosa Pasien

Frequency Percent

Valid Appendisitis 24 22,4

Appendisitis Akut 32 29,9

Appendisitis Kronis 15 14,0

Appendisitis Perforasi 31 29,0

Peri Appendisitis Infiltrat 3 2,8

Tonsil Appendisitis 1 ,9
40

Peri Appendicular Abses 1 ,9

Total 107 100,0

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa penderita apendisitis yang


didiagnosa dengan apendisitis adalah sebanyak 24 orang (22,4%), penderita
apendisitis yang didiagnosa dengan apendisitis akut adalah sebanyak 32 orang
(29,9%), yang didiagnosa dengan apendisitis kronis adalah sebanyak 15 orang
(14,0%), yang didiagnosa dengan apendisitis perforasi adalah sebanyak 31 orang
(29,0%), yang didiagnosa dengan peri apendisitis infiltrat adalah sebanyak 3
orang (2,8%), yang didiagnosa dengan tonsil apendisitis adalah sebanyak 1 orang
(0,9%), yang didiagnosa dengan peri apendicular abses adalah sebanyak 1 orang
(0,9%).

5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Penderita Apendisitis berdasarkan, Usia, Jenis Kelamin,
Suku, Pekerjaan, dan Diagnosis.
Berdasarkan karakteristik usia pada tabel 5.1. dapat dilihat bahwa penderita
apendisitis paling banyak ditemukan pada kelompok usia <20 tahun adalah
sebanyak 42 orang (39,3%), dan yang paling sedikit kelompok usia 21-30 tahun
adalah sebanyak 24 orang (22,4%). Apendisitis bisa terjadi pada semua kategori
usia, namun dari data yang didapat banyak terjadi pada usia < 20 tahun. Hal
tersebut bisa disebabkan oleh apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan melebar pada bagian ujung apendiks terletak di intraperitoneal.

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin pada tabel 5.2. dapat dilihat bahwa
penderita apendisitis yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah
penderita apendisitis dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 56 orang (52,3%),
dan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 51 orang (47,7%).
Berdasarkan karakteristik suku pada tabel 5.3. dapat dilihat bahwa penderita
apendisitis terbanyak terdapat pada suku minang adalah sebanyak 35 orang
(32,7%), dan yang paling sedikit pada suku melayu adalah sebanyak 16 orang
(15,0%).
Berdasarkan pekerjaan pada tabel 5.4. dapat dilihat bahwa penderita
apendisitis terbanyak ditemukan pada pelajar. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena sering makan, makanan yang siap saji, yang membuat kurangnya serat.
Akibatnya terjadi kesulitan buang air besar yang akan menyebabkan peningkatan
41

tekanan pada rongga usus dan pada akhirnya menyebabkan sumbatan pada saluran
apendiks.
Berdasarkan tabel 5.5. di atas dapat dilihat bahwa penderita apendisitis yang
didiagnosa paling banyak adalah apendisitis akut adalah sebanyak 32 orang
(29,9%), dan yang didiagnosa paling sedikit adalah tonsil apendisitis sebanyak 1
orang (0,9%), yang didiagnosa dengan peri apendicular abses adalah sebanyak 1
orang (0,9%).
42

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat


disimpulkan sebagai berikut :
Gambaran karakteristik penderita apendisitis berdasarkan usia paling
banyak di jumpai pada usia <20 tahun adalah sebanyak 42 orang (39,9%).
Gambaran karakteristik penderita apendisitis berdasarkan jenis kelamin paling
banyak di jumpai pada laki-laki adalah sebanyak 56 orang (52,3%). Gambaran
karakteristik penderita apendisitis berdasarkan suku paling banyak dijumpai pada
suku minang sebanyak 35 orang (32,7%). Gambaran karakteristik penderita
apendisitis berdasarkan pekerjaan paling banyak adalah pelajar sebanyak 51 orang
(47,7%). Gambaran karakteristik penderita apendisitis berdasarkan diagnosis
paling banyak di jumpai pada apendisitis akut sebanyak 32 orang (29,9%).

6.2 Saran
1. Bagi dokter dan tenaga medis lainnya agar hasil penelitian ini dapat
dijadikan data epidemiologi bagi Rumah Sakit Haji Medan, khususnya
bagian bedah, guna mengambil langkah-langka untuk mencegah dan
menurunkan angka kejadian apendisitis seperti mengedukasi, mendeteksi
dini, ataupun memberikan penatalakanaan yang adekuat.
2. Kepada pihak Rumah Sakit Haji Medan, khususnya yang bertanggun
jawab dalam kelengkapan data rekam medis, seperti dokter dan
paramedis untuk melengkapi data rekam medis serta dengan rapi dan
jelas sehingg pembaca dapat memahami dengan benar dan tepat.
3. Bagi penelitian selanjutnya disarankan agar lebih memperluas cakupan
penelitian seperti menambah variabel penelitian yang lain ataupun
melakukan penelitian yang bersifat analitik sehingga dapat lebih
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran
dan kesehatan.
43

LAMPIRAN
Input Data Penderita Apendisitis Berdasarkan Usia, Jenis kelamin, Suku,
Pekerjaan dan Diagnosis.

No Nama Usia Jenis kelamin Suku Pekerjaan Diagnosa


(Tahun)
1 Yuliana 18 Perempuan Melayu Pelajar Appendisi
Asti Caressa tis
2 Frida sianipar 27 Perempuan Batak PNS Appendisi
tis Akut
3 ZulhamEfend 14 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
i Dalimunthe tis Akut
4 Martini 37 Perempuan Jawa Tidak Appendisi
bekerja tis
perforasi
5 Trisno susilo 48 Laki-laki Jawa Petani Appendisi
tis Akut
6 Megawati 18 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
tis
perforasi
7 Yuriko 32 Perempuan Jawa PNS Appendisi
nofrianto tis
8 Yunisa 14 Perempuan Melayu Pelajar Appendisi
tis
perforasi
9 Abdurrahma 29 Laki-laki Minang Wiraswast Appendisi
n a tis
10 m.Baihaqi 14 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
Siregar tis Kronis
11 Fatma 36 Perempuan Jawa PNS Appendisi
tis Kronis
12 Triwaldi 53 Laki-laki Batak PNS Appendisi
saragih tis
perforasi
13 Kartini erlyna 66 Perempuan Batak Tidak Appendisi
hutajuluh bekerja tis Akut
14 Rizki helwina 22 Laki-laki Melayu Pelajar Appendisi
tis akut
15 Sari dewi 18 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
kartias tis
16 M. Irsaluddin 18 Laki-laki Melayu Pelajar Appendisi
tis akut
17 Masirwan 27 Laki-laki Jawa PNS Appendisi
Aleksander tis
Nasori perforasi
18 Zainal abidin 56 Laki-laki Jawa Wiraswast Appendisi
44

SOS a tis
perforasi
19 Andi Hakim 32 Laki-laki Batak PNS Appendisi
Nst tis
perforasi
20 Yusnita 38 Perempuan Jawa Tidak Appendisi
bekerja tis
21 Lamsehat 21 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
Simbolon tis akut
22 Bobbi 25 Laki-laki Minang Tidak Appendisi
Gunawan bekerja tis
perforasi
23 Adi dimas 31 Laki-laki Jawa PNS Appendisi
Gunawan tas kronis
24 Arma Nur 21 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
Indah tis kronis
25 Yusman 38 Laki-laki Melayu Wiraswat Appendisi
bahri a tis kronis
26 Annisa lisma 22 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
sari tis
27 Laila Fatzila 25 Perempuan Minang Tidak Appendisi
bekerja tis
perforasi
28 Suhartono 51 Laki-laki Jawa PNS Appendisi
NG tis Kronis
29 Murniati 33 Perempuan Batak Tidak Appendisi
Lubis bekerja tis
30 Mardi 73 Laki-laki Jawa Tidak Peri
bekerja Appendisi
tis Infiltrat
31 Suhartini 34 Perempuan Jawa Tidak Appendisi
bekerja tis kronis
32 Harianda 19 Perempuan Minang Pelajar Appendisi
Zulaika tis akut
33 Nur 40 Perempuan Melayu Tidak Appendisi
Mawanensih bekerja tis kronis
34 Sherla H. 14 Perempuan Minang Pelajar Appendisi
Lesmana tis kronis
35 Rasya Yuda 5 Laki-laki Minang Tidak Appendisi
bekerja tis
perforasi
36 M. Raja 17 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
Siregar tis
perforasi
37 Erwin 47 Laki-laki Batak Wiraswast Appendisi
matondang a tis
38 M. Rino 16 Laki-laki Minang Pelajar Appendisi
45

Ansari tis akut


39 Timbon 57 Laki-laki Minang Wiraswast Appendisi
a tis Akut
40 Dewi lestari 16 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
tis
41 Ayu lestari 17 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
tis akut
42 Azmi sholeh 15 Laki-laki Minang Pelajar Appendisi
muharman tis akut
43 Roma br. 47 Perempuan Batak Wiraswast Appendisi
Tampubolon a tis akut
44 Ashy Saffa 13 Perempuan Melayu Pelajar Appendisi
Febri Aulia tis kronis
45 Habibah 21 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
tis
Perforasi
46 Arman 57 Laki-laki Minang Wiraswast Appendisi
a tis akut
47 Irham 8 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
Hasibuan tis
perforasi
48 Bima 8 Laki-laki Minang Pelajar Appendisi
Caturahman tis
perforasi
49 Larasati 25 Perempuan Jawa Tidak Appendisi
pratiwi bekerja tis Akut
50 Samsuarni 49 Perempuan Jawa Tidak Appendisi
bekerja tis
perforasi
51 Andini 17 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
maulani tis kronis
harahap
52 M.Nurhadi 24 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
Salim tis
Pardede perforasi
53 Hayu ningsih 19 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
tis Akut
54 M. Irsyad 29 Laki-laki Minang Wiraswast Tonsil
Mashuri a Appendisi
tis
55 Inda jaya 57 Laki-laki Melayu Wiraswast Peri
a appendisit
is infiltrat
56 Agus levia 18 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
jeniane tis
mantol
57 Miftah Rizki 16 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
46

Addin tis Akut


Harahap
58 Ahmad 9 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
Afandi tis
nasution
59 Rahmad 44 Laki-laki Batak Wiraswast Appendisi
Sihotang a tis
perforasi
60 Sapren 44 Laki-laki Jawa Wiraswast Appendisi
a tis Akut
61 B Prisyono 58 Laki-laki Jawa Wiraswast Appendisi
a tis
62 M. Dzaki 8 Laki-laki Minang Pelajar Appendisi
Farel S Filli tis
perforasi
63 Nurhayati 45 Perempuan Minang Tidak Appendisi
bekerja tis akut
64 Deden 24 Laki-laki Jawa Tidak Appendisi
harisyahputr bekerja tis
a peforasi
65 Annisa 16 Perempuan Melayu Pelajar Appendisi
khairiya tis Akut
66 Cut fariza 15 Perempuan Minang Pelajar Appendisi
tis Akut
67 M.Ramadhan 20 Laki-laki Jawa Pelajar Appendisi
a tis Akut
68 Saharuddin 20 Laki-laki Batak Pelajar Appendisi
siregar tis akut
69 Yayang 17 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
Wulandari tis
70 Nilam 56 Perempuan Batak Wiraswast Appendisi
nirwana a tis akut
siregar
71 Alifah syafira 8 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
harahap tis
72 Evan ardi 30 Laki-laki Minang PNS Appendisi
tis
Perforasi
73 Feri Yusnita 42 Perempuan Melayu Wiraswast Appendisi
a tis Akut
74 Yunita 22 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
Batubara tis akut
75 Rizki Ananda 19 Laki-laki Minang Pelajar Appendisi
tis akut
76 Surya 33 Laki-laki Jawa Wiraswast Appendisi
novrianto a tis
perforasi
47

77 Relisyah 23 Laki-laki Melayu Tidak Appendisi


krisdavid bekerja tis
78 Melani astari 30 Perempuan Jawa PNS Appendisi
tis
79 Makmur 68 Laki-laki Batak Tidak Peri
dongoran bekerja appendicu
Harahap lar abses
80 Musthafa 12 Laki-laki Minang Pelajar Peri
appendisit
is infiltrat
81 Agus salim 32 Laki-laki Batak Wiraswast Appendisi
siregar a tis
82 Sugiman 43 Laki-laki Jawa Wiraswast Appendisi
a tis kronis
83 Miskinah 70 Perempuan Minang Tidak Appendisi
bekerja tis
perforasi
84 M.Supiyan 38 Laki-laki Minang Wiraswast Appendisi
a tis
85 Soekarmadi 63 Laki-laki Jawa Tidak Appendisi
bekerja tis
86 M. Dendi 11 Laki-laki Melayu Pelajar Appendisi
Purnama tis
perforasi
87 Annisa 14 Perempuan Melayu Pelajar Appendisi
Anggraini tis kronis
88 Sadrajad 27 Laki-laki Minang Belum Appendisi
bekerja tis
perforasi
89 Salim 40 Laki-laki Batak Wiraswast Appendisi
Harahap a tis akut
90 Monica 10 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
Aprelia tis Akut
Sitorus
91 Saprini 15 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
tis
92 Akmal 12 Laki-laki Melayu Pelajar Appendisi
setiawan tis kronis
93 Onalisa 39 Perempuan Minang PNS Appendisi
tis
94 Maili 12 Perempuan Minang Pelajar Appendisi
tis akut
95 Mujiono 41 Laki-laki Jawa Wiraswast Appendisi
a tis
perforasi
96 Yondri efendi 30 Laki-laki Melayu PNS Appendisi
tis
48

perforasi
97 Hepira 16 Perempuan Jawa Pelajar Appendisi
Rahayu tis
Perforasi
98 Anida sari 38 Perempuan Minang Wiraswast Appendisi
a tis
99 Widah 24 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
Hanum tis akut
Siregar
100 Putri febriani 24 Perempuan Melayu Pelajar Appendisi
tis
perforasi
101 Febri ahadi 23 Laki-laki Minang Pelajar Appendisi
tis
perforasi
102 Annisa 14 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
angraini lubis tis kronis
103 Rohmad 63 Laki-laki Minang Tidak Appendisi
bekerja tis
perforasi
104 M.Arif 10 Laki-laki Minang Pelajar Appendisi
Chairullah tis
Yusuf perforasi
105 Suci asrika 20 Perempuan Batak Pelajar Appendisi
Ayu tis
Marpaung
106 Nurhawani 55 Perempuan Batak Tidak Appendisi
dalimunthe bekerja tis Akut
107 Anil Asran 55 Laki-laki Minang Wiraswast Appendisi
a tis
perforasi

Anda mungkin juga menyukai