Anda di halaman 1dari 4

Nama: Nadiah

NIM: 201510300511007

Pendidikan Alternatif untuk Anak

Mengutip sedikit dari Kak Seto: "Setiap anak pada dasarnya cerdas, setiap anak
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dan, setiap anak sedapat mungkin
memperoleh pendidikan yang layak bagi diri mereka. Namun dalam pengalaman di lapangan
menunjukan bahwasannya banyak anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama
bersekolah. Sebut saja, kasus bullying, bentakan dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan
kreatifitas anak. Pengalaman-pengalaman yang kurang berkesan tersebut menimbulkan phobia
terhadap sekolah (School Fobia) bagi anak dan orangtua.

Kemudian upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan semua anak untuk seluruh
bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang tentunya berbeda-beda, karena setiap anak
adalah unik. Lebih jauh lagi, kurikulum yang terlalu padat dan tugas-tugas rumah yang menumpuk
membuat kegiatan belajar menjadi suatu beban bagi sebagian anak. Melihat kondisi ini, maka perlu
dicarikan solusi alternatif bagi anak-anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan formal,
salah satu bentuk kegiatannya yaitu Home Schooling.

Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan
alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & mach” yang cenderung praktis dan
katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program
pendidikan tersebut sering kita kenal dengan istilah home schooling. Di seluruh dunia terdapat
kurang lebih 6 juta home schooling tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Walaupun
bagi kalangan praktisi pendidikan sendiri substansi pendidikan home schooling secara simplistis
inheren dengan SMP terbuka, SMA terbuka, Universitas terbuka atau yang sekarang sedang trend
adalah e-learning, namun memang ada kecenderungan bahwa home schooling agak “berbeda” jika
dilihat dari tingkat fleksibilitas dan metodologi pengajarannya. Fleksibilitas konsep pendidikan
home schooling mengacu kepada kompetensi praktis hubungan antara ketertarikan/kemauan dan
hoby individual (baca : siswa) dengan orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang
tertentuyang menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode
belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta
menjamin tingkatkompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsepsi link & mach
memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model
ini. Apalagi jika kalangan duniaindustri sudah menjalin kerja sama dan membangun hubungan
dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi
kompetensi para lulusan (baca : dalam hal ijazah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya
pemerintah.

Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih
progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang
mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh
pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah
satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat
terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid
sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di “hantui “oleh tingginya kekerasan
sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas
dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu
faktor yang menyebabkan para orangtua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan
terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif “aman” buat anak-anaknya dan rezim
diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola
pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid
untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas lain
yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif
masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal
di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus
direspon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan
obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha).
Memang selama ini bagi sebagian kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi
bahwa kebutuhan kompetensi tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus
dikembangkan dalam setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK),
dan sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah kurikulum
lokal yang terus berganti. Konsep dan desain penerapan kurikulum tersebut dilakukan dengan
pendekatan pemikiran dan teori tentang kecerdasan berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan
emosional dengan asumsi bahwa mereka (baca: para pakar dan praktisi pendidikan) menganggap
bahwa setiap insan haruslah perlu diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi
pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan berupaya
mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya dengan pendekatan teoritical
education. Kecenderungan teoritical yang intens tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan
problematik teoritis dalam dunia pendidikan kita. Implikasinya bisa kita lihat dari terlalu seringnya
kurikulum berganti tanpa visi baik konten maupun format penerapannya di lapangan. Akibatnya
pula bukan cuma para guru yang kesulitan mengintepretasikan dan mengimplementasikan
program kurikulum yang dibuat pemerintah, para siswa pun akhirnya “terbelenggu” untuk
menerima konsep dan program pendidikan tersebut tanpa reserve.

Kasus kontroversi output penerapan standard kelulusan untuk siswa yang baru-baru ini
terjadi semakin menjadi salah satu pemicu kuat bagaimana persoalan standard dalam dunia
pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting mengapa masyarakat mulai beralih untuk lebih
jauh melihat standard bukan secara lokal namun sudah jauh ke standard yang lebih bersifat
mondial misalnya standard Amerika sampai standard ke taraf Internasional semisal lembaga
pendidikan yang menerapkan system ISO dalam program pendidikannya. Dan salah satu aspek
yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi
internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang
terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak
perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan
untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam
perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk di dalamnya memberikan solusi tentang
otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang diatur secara baku dan menjadi
domain pemerintah
Tinggal persoalannya adalah sejauh mana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan
home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program
pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita
sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang
menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi.
Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas
dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi
belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method
maupun off the job method, garansi dan konsepsilink & mach dengan dunia usaha dan industri dan
sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga didasarkan
atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau
eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang notabene bisa
saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas
memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak
menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya
program pendidikan home schooling ini yang notabene jelas tidak menspesifikasikan diri pada
aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung
individualistik.

Anda mungkin juga menyukai